Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
-
Alamat alternatif sudah baru gan.
Bookmark alamat ini gan : https://bit.ly/ceksemprot
Atau buka dengan VPNIkuti alamat terbaru dari forum di : Follow Twitter @SemprotCom
DRAMA TAMAT GADIS DI DALAM FOTO (racebannon)
- Thread starter racebannon
- Start date
-
- Tags
- bastardverse drama racebannon
pandamen
Tukang Semprot
- Daftar
- 24 May 2014
- Post
- 1.399
- Like diterima
- 4.255
terimakasih updatenya suhu @racebannon , ini entah mantan yang beneran baik, atau mantan yang masih nunggu jatah mantan selanjutnya 
Garonk84
Semprot Sejati
- Daftar
- 5 May 2020
- Post
- 10.869
- Like diterima
- 52.441
Nuhun kang @racebannon
Wah beda klo sdh maetro alur ceritanya enk aja di baca thx suhu @racebannon
pelisaurus
Pertapa Semprot
- Daftar
- 16 Feb 2016
- Post
- 4.201
- Like diterima
- 17.769
Sundul dulu coy
racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
GADIS DI DALAM FOTO
BAGIAN KETIGA PULUH DUA
ADA AMIN SAUDARA SAUDARA?
--------------------
--------------------
Capek? Capek banget. Tapi hari ini entah kenapa enggak berasa capeknya.
Sorry kalo gue ga nyeritain pas hunting foto-foto kesana kemarin bareng Tamara, karena emang melelahkan dan ga ada hal-hal yang menarik sama sekali. Apalagi besok udah hari terakhir disini. Besok kita ke Park Guell sama La Sagrada Familia, lagi-lagi mau photoshoot session sama Tamara.
Jadi setelah di hari pertama kita photo session ke Gothic Quarternya Barcelona, besoknya kita ke Camp Nou sama jalan-jalan di sekitar La Rambla, lanjut terus ke Rambla del Mar buat muasin egonya Tamara dengan segala macam pose di depan kamera.
Di Barcelona ini, Reggie gabung ama kita lagi. Seperti biasa dia cuman ngintilin sama cengengesan doang. Kadang ilang, ga tau kemana. Kalo menurut gue sih dia ngilang buat ngentontin perek semenanjung Iberia. Gak salah kan? Wong kelakuannya paling sebelas duabelas sama Tamara yang isi otaknya kayaknya cuman kelamin aja.
Kadang gue masih bergidik sendiri, gimana jadinya kalo gue khilaf dan mau aja ngewe ama Tamara kemaren-kemaren pas di Granada. Mungkin selanjutnya gue diajak threesome sama Reggie dan Tamara. Males banget. Gak kuat gue ngebayanginnya.
“Kenapa bengong gitu kamu?”
“Hmm?”
“Mikirin apa, kok kayak banyak pikiran?”
“Engga, gapapa” Gue cuma ngebayangin hal-hal buruk yang bakal kejadian kalo gue salah langkah kemaren sih di Granada. Mungkin gue ga akan bisa nikmatin hari ini bareng Laura.
Gue dan Laura ada di atas atap La Pedrera, salah satu karya arsitek mbeling Antonio Gaudi, di atas sana, selain kita bisa menikmati atap gedung aneh yang nampak seperti karya seni hidup ini, disana juga ada satu cafe kecil, dimana kita bisa menikmati sore ini dengan segelas wine.
Atau sepasang gelas wine, untuk lebih tepatnya.
“Capek?”
“Kalo capek sih udah pasti kan?” gue ngejawab pertanyaan Laura dengan senyum. Laura dengan gerakan pelan, coba untuk megang tangan gue yang lagi nganggur di atas meja.
Hari ini hari bebas, kebetulan. Reggie, Tamara dan Jihan pada belanja luxury goods di La Roca Village, premium outlet di pinggiran Barcelona. Gue sama Laura sih ga ikut. Kalo ikut mana bisa pacaran?
“Makasih by the way” sambung Laura.
“Makasih buat apa?” tanya gue balik.
“Makasih karena kamu udah bela-belain bawa aku kesini”
“Jalannya emang begini”
“Dan kamu bikin aku makin yakin buat pursue karir ini”
“Kalo awalnya kayak gini, aku yakin sih, kedepannya kamu pasti makin berkembang” bales gue panjang lebar. “Taste kamu bagus, skill kamu juga bagus, sekarang kesempatan udah kamu ambil, portofolio udah langsung bagus.... Mau si Tamara blangsak kayak apa juga, pengalaman kamu selama berhari-hari mantengin dia buat jadi fotografernya, itu udah ngejual banget”
“Karena yang tau Tamara sebejat itu kan kita doang paling” tawa Laura.
“Mungkin engga, tapi seenggaknya dia bisa kasih kita exposure yang lebih kenceng lagi” bales gue. “Jauh lebih kenceng daripada kita usaha sendiri”
“Berarti aku mesti terimakasih juga dong sama dia”
“Jelas, Jihan juga”
“Kalo Jihan sih udah pasti ya” sambung Laura. “Dia temen yang baik, walau suka rada...”
“Rada slebor?” samber gue.
“Iya... hahahahaha”
“Jujur aja sih tapi, aku pengen cepet pulang” lanjut gue.
“Loh kenapa?”
“Emang enak sih bisa ke luar negri gratis, cuman kalo kayak gini, aku lebih pengen ke luar negri itu bukan sama Tamara” jawab gue. “Plus, aku pengen bisa ngejalanin hari-hari yang normal balik ke Jakarta bareng kamu”
“Hahaha” tawa Laura, dengan mukanya yang selalu tampak lugu. “Itu bener juga sih, aku malah belom mikirin itu”
“Belom mikirin apa?”
“Belom mikirin nanti dinamika kita kedepannya pas udah balik Jakarta kayak apa” tatapan Laura kayak nerawang ke dalam isi kepala gue. “Kita lihat nanti deh” dia senyum, tapi gue ga tau itu senyum beneran senyum, atau senyum kecut.
Kalo itu beneran senyum, maka gak ada yang harus gue khawatirin. Tapi kalau ini senyum kecut, atau senyum miris, maka gue gak tau harus ngadepin apa nanti di Jakarta. Apa keluarganya yang kayaknya ribet itu? Apa kenyataan kalau gue dan Laura itu beda banget?
Tapi masa gitu sih, ini kan udah taun berapa? Udah abad 21 masa manusia masih bisa dikotak-kotakin berdasarkan suku, agama, ras dan golongannya? Jaman sekarang orang udah pada kampanye dan promosi dimana-mana soal hubungan sesama jenis, soal gender yang fluid, dan soal hal-hal aneh yang bahkan buat gue yang toleran pun, ini udah kelewat melenceng.
Agama gue dan Laura sama, dan sejauh ini gue sama dia nyambung. Apa itu gak cukup? Gak tau sih. Apakah gue pantes overthinking kayak gini soal hubungan gue dan dia yang masih seumur jagung ini.
Yang pasti, kalo emang layak, pasti gue perjuangin.
Sekarang, gue senyum balik dulu ke dia, biar dia ngerasa lebih tenang, dan mudah-mudahan seterusnya bisa tenang.
--------------------
--------------------
--------------------
“Tahan”
“...”
“Dikit lagi”
CEKREK!!
“Oke, done”
Gue ngegulung roll film terakhir di Spanyol ini. Setelah kelar, gue buka body kamera analog gue, dan nyabut roll film itu dari dalam body.
“It’s a wrap”
“Cool” Tamara senyum, entah senyum karena projectnya udah kelar, atau apa gue gak tau. Setelah kejadian di Granada, gue gak mau ngobrol sama dia lagi dan dia kayaknya juga udah tau kalo gue jaga jarak banget ama doi.
“Jihan!” gue celingukan, nyari temen gue yang slengean itu, karena dia yang bertugas ngumpulin semua roll film hasil karya gue dan Laura, sambil dia nyatetin roll film yang mana, itu hasil karya siapa.
Kok gue ga dapet respon. Gue celingukan, gak keliatan tuh ada dia. Yang ada cuman orang-orang seliweran di deket pintu keluar La Sagrada Familia, yang udah mau ngadep jalan. Tamara yang udah kelar foto-foto, jalan ke arah gue dan dia berusaha keluar dari area gereja ini.
“Dia di dalem kali, sibuk ngeliatin interior gereja”
“Masa?”
“Tadi sih gue liat dia ke dalem”
Gue ngangguk doang ngedenger omongan Tamara, dan mulai jalan ke arah dalem gereja. Gue beberapa kali hampir nabrak rombongan orang yang mau keluar, karena emang sore ini gereja bentar lagi ditutup.
Besok soalnya hari minggu, bakal ada kebaktian besok pagi jadi ruangannya mau disterilin dari turis dulu.
Tamara udah ngilang dan gue udah masuk ke dalam gereja.
Di dalam gereja yang interiornya serba indah, serba bercahaya dan serba surreal itu, gue celingukan, mencoba mencari wajah perempuan Indonesia yang kalo pake baju suka asal dan terbuka itu.
Nah, itu dia.
Dia keliatan lagi berdiri di salah satu sudut gereja, di tengah kerumunan orang yang masih berusaha foto-foto. Pasti dia juga pengen selfie di salah satu sudut gereja unik ini.
“Jihan” gue nyamperin dia dan dia ngebales sapaan gue dengan gerakan alis yang pelan.
“Kenapa?”
“Gue udah kelar”
“Oh bagus, sini”
Gue nyamperin dia dan ngasih roll film terakhir itu. Dia ngerogoh tasnya dan dia ngeluarin spidol, dan setelah dia nerima roll film itu, dia nulis nama gue dan nyemplungin semua benda yang dia pegang ke dalam tas.
“Yowes gih, sana, gue lagi ngantri mau foto”
“Foto apaan?”
“Ini kalo lo foto dari spot itu, keliatan semua itu ceilingnya yang keren” jawab Jihan.
“Oh, bodo amat”
“Bukannya lo harusnya moto juga ya, kan lo fotografer”
“Gue kerja, kalo mau moto ginian juga gue mah ga usah antri, bisa cari sudut yang bagus”
“Sombong”
“Biarin”
“Mendingan lo temenin cewek lo tuh”
“Mana Laura?”
“Tuh” Jihan nunjuk ke arah kursi jemaat yang berbaris dengan rapih. Beberapa boleh didudukin sama turis, dan salah satunya adalah Laura.
“Oh, dia disana rupanya abis ngelarin roll terakhir” gue langsung jalan ke arah Laura. Dia keliatan lagi diem dengan tenangnya di kursi itu.
Gak berapa lama gue sampe dan gue langsung duduk di sebelah dia.
“Lagi ngapain?”
“Oh, engga” Laura senyum ke arah gue.
“Aku lagi mikir, pengen doa disini, tapi kan aku bukan Katolik ya” dia meringis dengan aura ngegemesin.
“Hmmm...” gue mencoba mikir secara logis. “Tapi ini kan rumah ibadah, plus kita kan kristen juga kan, walau beda, bukan Katolik, aku pikir gapapa doa dengan serius disini”
“Oh, bener juga”
“Aku temenin deh”
“Oke”
Lantas kita berdua duduk bersimpuh di lutut, dan ngambil posisi berdoa. Tanpa diminta, tangan gue kayak otomatis bersatu, mencoba berkonsentrasi dalam doa. Dan dalam hati, sambil nutup mata, gue ngucapin banyak hal. Selain ngucap syukur atas semua hal yang bisa gue nikmatin sampai hari ini, gumaman gue semuanya berpusat ke kehidupan gue, keluarga gue, temen-temen gue, pekerjaan gue, dan semua-muanya.
Dan kali ini nambah elemen baru dalam doa gue, yakni Laura. Entah kenapa gue pengen banget semuanya lancar bareng dia.
Gue tau mungkin bakal susah, tapi bakal gue perjuangin.
Gue buka mata, dan nemuin Laura masih berdoa. Gue masih bertahan di posisi yang sama, ngeliat ke atas langit-langit, dan berandai-andai. Apakah doa gue sama dengan doa Laura?
Yang pasti, gue Cuma minta, kehidupan gue sama dia kedepannya diaminin. Ada amin saudara-saudara?
--------------------
--------------------
BERSAMBUNG
BAGIAN KETIGA PULUH DUA
ADA AMIN SAUDARA SAUDARA?
--------------------
--------------------
Capek? Capek banget. Tapi hari ini entah kenapa enggak berasa capeknya.
Sorry kalo gue ga nyeritain pas hunting foto-foto kesana kemarin bareng Tamara, karena emang melelahkan dan ga ada hal-hal yang menarik sama sekali. Apalagi besok udah hari terakhir disini. Besok kita ke Park Guell sama La Sagrada Familia, lagi-lagi mau photoshoot session sama Tamara.
Jadi setelah di hari pertama kita photo session ke Gothic Quarternya Barcelona, besoknya kita ke Camp Nou sama jalan-jalan di sekitar La Rambla, lanjut terus ke Rambla del Mar buat muasin egonya Tamara dengan segala macam pose di depan kamera.
Di Barcelona ini, Reggie gabung ama kita lagi. Seperti biasa dia cuman ngintilin sama cengengesan doang. Kadang ilang, ga tau kemana. Kalo menurut gue sih dia ngilang buat ngentontin perek semenanjung Iberia. Gak salah kan? Wong kelakuannya paling sebelas duabelas sama Tamara yang isi otaknya kayaknya cuman kelamin aja.
Kadang gue masih bergidik sendiri, gimana jadinya kalo gue khilaf dan mau aja ngewe ama Tamara kemaren-kemaren pas di Granada. Mungkin selanjutnya gue diajak threesome sama Reggie dan Tamara. Males banget. Gak kuat gue ngebayanginnya.
“Kenapa bengong gitu kamu?”
“Hmm?”
“Mikirin apa, kok kayak banyak pikiran?”
“Engga, gapapa” Gue cuma ngebayangin hal-hal buruk yang bakal kejadian kalo gue salah langkah kemaren sih di Granada. Mungkin gue ga akan bisa nikmatin hari ini bareng Laura.
Gue dan Laura ada di atas atap La Pedrera, salah satu karya arsitek mbeling Antonio Gaudi, di atas sana, selain kita bisa menikmati atap gedung aneh yang nampak seperti karya seni hidup ini, disana juga ada satu cafe kecil, dimana kita bisa menikmati sore ini dengan segelas wine.
Atau sepasang gelas wine, untuk lebih tepatnya.
“Capek?”
“Kalo capek sih udah pasti kan?” gue ngejawab pertanyaan Laura dengan senyum. Laura dengan gerakan pelan, coba untuk megang tangan gue yang lagi nganggur di atas meja.
Hari ini hari bebas, kebetulan. Reggie, Tamara dan Jihan pada belanja luxury goods di La Roca Village, premium outlet di pinggiran Barcelona. Gue sama Laura sih ga ikut. Kalo ikut mana bisa pacaran?
“Makasih by the way” sambung Laura.
“Makasih buat apa?” tanya gue balik.
“Makasih karena kamu udah bela-belain bawa aku kesini”
“Jalannya emang begini”
“Dan kamu bikin aku makin yakin buat pursue karir ini”
“Kalo awalnya kayak gini, aku yakin sih, kedepannya kamu pasti makin berkembang” bales gue panjang lebar. “Taste kamu bagus, skill kamu juga bagus, sekarang kesempatan udah kamu ambil, portofolio udah langsung bagus.... Mau si Tamara blangsak kayak apa juga, pengalaman kamu selama berhari-hari mantengin dia buat jadi fotografernya, itu udah ngejual banget”
“Karena yang tau Tamara sebejat itu kan kita doang paling” tawa Laura.
“Mungkin engga, tapi seenggaknya dia bisa kasih kita exposure yang lebih kenceng lagi” bales gue. “Jauh lebih kenceng daripada kita usaha sendiri”
“Berarti aku mesti terimakasih juga dong sama dia”
“Jelas, Jihan juga”
“Kalo Jihan sih udah pasti ya” sambung Laura. “Dia temen yang baik, walau suka rada...”
“Rada slebor?” samber gue.
“Iya... hahahahaha”
“Jujur aja sih tapi, aku pengen cepet pulang” lanjut gue.
“Loh kenapa?”
“Emang enak sih bisa ke luar negri gratis, cuman kalo kayak gini, aku lebih pengen ke luar negri itu bukan sama Tamara” jawab gue. “Plus, aku pengen bisa ngejalanin hari-hari yang normal balik ke Jakarta bareng kamu”
“Hahaha” tawa Laura, dengan mukanya yang selalu tampak lugu. “Itu bener juga sih, aku malah belom mikirin itu”
“Belom mikirin apa?”
“Belom mikirin nanti dinamika kita kedepannya pas udah balik Jakarta kayak apa” tatapan Laura kayak nerawang ke dalam isi kepala gue. “Kita lihat nanti deh” dia senyum, tapi gue ga tau itu senyum beneran senyum, atau senyum kecut.
Kalo itu beneran senyum, maka gak ada yang harus gue khawatirin. Tapi kalau ini senyum kecut, atau senyum miris, maka gue gak tau harus ngadepin apa nanti di Jakarta. Apa keluarganya yang kayaknya ribet itu? Apa kenyataan kalau gue dan Laura itu beda banget?
Tapi masa gitu sih, ini kan udah taun berapa? Udah abad 21 masa manusia masih bisa dikotak-kotakin berdasarkan suku, agama, ras dan golongannya? Jaman sekarang orang udah pada kampanye dan promosi dimana-mana soal hubungan sesama jenis, soal gender yang fluid, dan soal hal-hal aneh yang bahkan buat gue yang toleran pun, ini udah kelewat melenceng.
Agama gue dan Laura sama, dan sejauh ini gue sama dia nyambung. Apa itu gak cukup? Gak tau sih. Apakah gue pantes overthinking kayak gini soal hubungan gue dan dia yang masih seumur jagung ini.
Yang pasti, kalo emang layak, pasti gue perjuangin.
Sekarang, gue senyum balik dulu ke dia, biar dia ngerasa lebih tenang, dan mudah-mudahan seterusnya bisa tenang.
--------------------
--------------------
--------------------
“Tahan”
“...”
“Dikit lagi”
CEKREK!!
“Oke, done”
Gue ngegulung roll film terakhir di Spanyol ini. Setelah kelar, gue buka body kamera analog gue, dan nyabut roll film itu dari dalam body.
“It’s a wrap”
“Cool” Tamara senyum, entah senyum karena projectnya udah kelar, atau apa gue gak tau. Setelah kejadian di Granada, gue gak mau ngobrol sama dia lagi dan dia kayaknya juga udah tau kalo gue jaga jarak banget ama doi.
“Jihan!” gue celingukan, nyari temen gue yang slengean itu, karena dia yang bertugas ngumpulin semua roll film hasil karya gue dan Laura, sambil dia nyatetin roll film yang mana, itu hasil karya siapa.
Kok gue ga dapet respon. Gue celingukan, gak keliatan tuh ada dia. Yang ada cuman orang-orang seliweran di deket pintu keluar La Sagrada Familia, yang udah mau ngadep jalan. Tamara yang udah kelar foto-foto, jalan ke arah gue dan dia berusaha keluar dari area gereja ini.
“Dia di dalem kali, sibuk ngeliatin interior gereja”
“Masa?”
“Tadi sih gue liat dia ke dalem”
Gue ngangguk doang ngedenger omongan Tamara, dan mulai jalan ke arah dalem gereja. Gue beberapa kali hampir nabrak rombongan orang yang mau keluar, karena emang sore ini gereja bentar lagi ditutup.
Besok soalnya hari minggu, bakal ada kebaktian besok pagi jadi ruangannya mau disterilin dari turis dulu.
Tamara udah ngilang dan gue udah masuk ke dalam gereja.
Di dalam gereja yang interiornya serba indah, serba bercahaya dan serba surreal itu, gue celingukan, mencoba mencari wajah perempuan Indonesia yang kalo pake baju suka asal dan terbuka itu.
Nah, itu dia.
Dia keliatan lagi berdiri di salah satu sudut gereja, di tengah kerumunan orang yang masih berusaha foto-foto. Pasti dia juga pengen selfie di salah satu sudut gereja unik ini.
“Jihan” gue nyamperin dia dan dia ngebales sapaan gue dengan gerakan alis yang pelan.
“Kenapa?”
“Gue udah kelar”
“Oh bagus, sini”
Gue nyamperin dia dan ngasih roll film terakhir itu. Dia ngerogoh tasnya dan dia ngeluarin spidol, dan setelah dia nerima roll film itu, dia nulis nama gue dan nyemplungin semua benda yang dia pegang ke dalam tas.
“Yowes gih, sana, gue lagi ngantri mau foto”
“Foto apaan?”
“Ini kalo lo foto dari spot itu, keliatan semua itu ceilingnya yang keren” jawab Jihan.
“Oh, bodo amat”
“Bukannya lo harusnya moto juga ya, kan lo fotografer”
“Gue kerja, kalo mau moto ginian juga gue mah ga usah antri, bisa cari sudut yang bagus”
“Sombong”
“Biarin”
“Mendingan lo temenin cewek lo tuh”
“Mana Laura?”
“Tuh” Jihan nunjuk ke arah kursi jemaat yang berbaris dengan rapih. Beberapa boleh didudukin sama turis, dan salah satunya adalah Laura.
“Oh, dia disana rupanya abis ngelarin roll terakhir” gue langsung jalan ke arah Laura. Dia keliatan lagi diem dengan tenangnya di kursi itu.
Gak berapa lama gue sampe dan gue langsung duduk di sebelah dia.
“Lagi ngapain?”
“Oh, engga” Laura senyum ke arah gue.
“Aku lagi mikir, pengen doa disini, tapi kan aku bukan Katolik ya” dia meringis dengan aura ngegemesin.
“Hmmm...” gue mencoba mikir secara logis. “Tapi ini kan rumah ibadah, plus kita kan kristen juga kan, walau beda, bukan Katolik, aku pikir gapapa doa dengan serius disini”
“Oh, bener juga”
“Aku temenin deh”
“Oke”
Lantas kita berdua duduk bersimpuh di lutut, dan ngambil posisi berdoa. Tanpa diminta, tangan gue kayak otomatis bersatu, mencoba berkonsentrasi dalam doa. Dan dalam hati, sambil nutup mata, gue ngucapin banyak hal. Selain ngucap syukur atas semua hal yang bisa gue nikmatin sampai hari ini, gumaman gue semuanya berpusat ke kehidupan gue, keluarga gue, temen-temen gue, pekerjaan gue, dan semua-muanya.
Dan kali ini nambah elemen baru dalam doa gue, yakni Laura. Entah kenapa gue pengen banget semuanya lancar bareng dia.
Gue tau mungkin bakal susah, tapi bakal gue perjuangin.
Gue buka mata, dan nemuin Laura masih berdoa. Gue masih bertahan di posisi yang sama, ngeliat ke atas langit-langit, dan berandai-andai. Apakah doa gue sama dengan doa Laura?
Yang pasti, gue Cuma minta, kehidupan gue sama dia kedepannya diaminin. Ada amin saudara-saudara?
--------------------
--------------------
BERSAMBUNG
L-co
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 13 Apr 2018
- Post
- 2.096
- Like diterima
- 13.103
Makasih updatenya om @racebannon 
check_mate
Pertapa Semprot
- Daftar
- 23 Apr 2018
- Post
- 4.847
- Like diterima
- 21.638
pelisaurus
Pertapa Semprot
- Daftar
- 16 Feb 2016
- Post
- 4.201
- Like diterima
- 17.769
Mantap
Thanks update nya om
Thanks update nya om
ariaprawira
Semprot Sejati
- Daftar
- 25 Nov 2020
- Post
- 10.800
- Like diterima
- 63.190
Makasih updatenya @racebannon
ThunderBlade3
Pendekar Semprot
- Daftar
- 16 Apr 2022
- Post
- 1.917
- Like diterima
- 9.247
Makasih apdetannya bro @racebannon
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
