cukiberegu
Senpai Semprot
- Daftar
- 7 Apr 2014
- Post
- 981
- Like diterima
- 2.401
Real life tetap prioritas hu. Smoga lancar RL nya
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
-
Alamat alternatif sudah baru gan.
Bookmark alamat ini gan : https://bit.ly/ceksemprot
Atau buka dengan VPNIkuti alamat terbaru dari forum di : Follow Twitter @SemprotCom
DRAMA TAMAT GADIS DI DALAM FOTO (racebannon)
- Thread starter racebannon
- Start date
-
- Tags
- bastardverse drama racebannon
racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
Malam, sambil ngetik tabungan part berikutnya, saya jadi ngebayangin, kayaknya seru kalo bikin fanfic tentang adek2 NewJeans, tapi tentu saja saya gak pengen ada adegan panasnya, karena saya gak mau menodai kesucian mereka.
Maafkan kehaluan saya yang lagi keracunan NewJeans ini. Hahahahahahahahahaha.
Maafkan kehaluan saya yang lagi keracunan NewJeans ini. Hahahahahahahahahaha.
pandamen
Tukang Semprot
- Daftar
- 24 May 2014
- Post
- 1.399
- Like diterima
- 4.255
ditunggu fanficnya suhu @racebannon
pelisaurus
Pertapa Semprot
- Daftar
- 16 Feb 2016
- Post
- 4.201
- Like diterima
- 17.769
Sundul dulu coy
lazirdvoon
Suka Semprot
- Daftar
- 14 Jun 2023
- Post
- 4
- Like diterima
- 1
Mantap ditunggu update nya
pelisaurus
Pertapa Semprot
- Daftar
- 16 Feb 2016
- Post
- 4.201
- Like diterima
- 17.769
Sundul dulu coy
racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
GADIS DI DALAM FOTO
BAGIAN KEEMPAT PULUH SATU
PANGGIL AJA SARAS
--------------------
--------------------
“Maaf ya”
“Eh?”
“Maafin keluargaku” Laura senyum kecil, sambil duduk di sebelah gue, ngebawain kopi yang baru aja selesai dia beli.
“Gapapa, aku juga baru tau kalo sekarang kondisinya kayak gitu.....”
Gue dan Laura duduk berdua di salah satu kedai kopi chain internasional berlambang duyung hijau, yang gak jauh dari tempat makan bareng keluarganya tadi. Setelah makan dengan suasana awkward, gue dan Laura izin untuk misah, bilangnya mau ngopi bentar terus abis itu gue anterin Laura pulang.
Entah gimana bokapnya ngizinin, padahal naik motor dari Jakarta Selatan ke PIK terdengar cukup melelahkan. Nanti kalo gue kecapean mampir ke kosan dulu, dari sana anterin naik taksi atau go-car aja deh.
“Tapi kok bisa ya” gue masih amazed sama cerita Laura tadi, setelah misah sama orang tuanya.
“Gak tau sih.....” Laura meringis. Karena menurut ceritanya, kayaknya kakak pertamanya ini udah bikin malu berat keluarganya. “Aku sekarang jadi ga tau, apa yang ada di pikiran Ci Stephanie, kok bisa-bisanya dia kabur ke Bali sama laki orang”
“Itu si cowoknya udah cerai duluan ama istrinya, atau belum?” tanya gue. Jelas gue penasaran banget.
“Gak tau, soalnya beberapa waktu belakangan, dia jadi makin tertutup, temen-temen deketnya juga udah lama ga main sama dia lagi...”
Gue meringis dikit, sambil pelan-pelan menghirup wangi kopi panas yang baru aja dibeliin Laura. Stephanie, kakak pertamanya yang emang udah dari sebelumnya punya hubungan yang ga enak sama orang tuanya gara-gara batal nikah sama tunangannya gara-gara lebih milih karir, sekarang malah pindah ke Bali, dan tinggal bareng suami orang.
Katanya mereka udah deket sejak sebelum pindah ke Bali. Gue ga kebayang sekecewa apa bokapnya Laura. Buat orang yang percaya sama nilai-nilai tradisional keluarga dan lumayan kaku kayak beliau, pacaran dan kumpul kebo sama suami orang itu pasti bikin dia marah.
Saking marahnya, sehabis gue nanya kabar Stephanie, bokapnya jadi males ngomong. Literally males ngomong, bukan sama gue doang, tapi sama seisi meja.
Oh iya, not to mention katanya suami orang ini pun beda agama sama Stephanie. Udah bener-bener jadi rebel ini di mata bapaknya. Gue yang agamanya sama aja disinisin. Gimana beda agama?
“Lain kali jangan dimention sama sekali ya sayang...” bisik Laura sambil meminum minuman lucu yang ia pesan. Gue cuman ngangguk. “Papa super sensitive lately sama apapun yang ada hubungannya sama Ci Steph”
“Iya” jawab gue pelan juga. Cenderung lirih malah. Gue yang pengen punya kesan bagus di hadapan orang tua pacar sendiri sekarang kok malah blunder. Aya aya wae. Niat pengen nanyain kabar kakak tertuanya malah bikin gue jadi dipandang sebelah mata sama si bokap. Asem. Lagian, bukan salah gue kan kalo kakaknya Laura jadi pelakor. Lagian, itu juga kata orang. Siapa yang tau cerita aslinya? Lagian...
Ah udah, lagian terus. Gue ngeliat tampang lemes Laura yang lagi nyeruput minuman di tangannya jadi kasian juga.
Di satu sisi gue jadi ngerti banget kenapa kakak laki sama ortunya jadi lumayan protektif ama Laura. Mereka ga mau Laura jadi se”bebas” Stephanie. Ya, andaikan dia gak nyuri laki orang pun, faktanya dia kumpul kebo di Bali sana.
Kalo udah kayak gini, gue mesti bikin strategi yang bagus buat pacaran sama Laura. Gak mungkin ada nginep-nginepan lagi di kosan atau dimanapun. Kecuali kalo banyakan kali ya? Ga tau deh. Pokoknya hindarin dulu nginep, mau nganterin dia semalem apapun ke PIK pake motor pun gue jabanin deh.
Daripada jadi problem, ya kan?
--------------------
--------------------
--------------------
Setelah serangkaian komunikasi dengan asisten pribadi Aidan Sjarief, gue dan tim sedang termenung ngeliat rumah yang luar biasa gede ini. Dari luar gak begitu keliatan karena dia masuk ke dalam komplek elit di Selatan Jakarta.
Rumahnya bergaya modern dan berdiri dengan anggunnya di sore hari yang adem ini.
Sekarang sedang bulan puasa buat mayoritas penduduk di Indonesia, dan oleh karenanya, Aidan Sjarief meminta gue dan Laura datang kesini. Sebentar lagi Lebaran dan beliau pengen foto keluarga. Exclusive on film.
Gue sama Laura dari tadi deg-degan. Mungkin kru lighting yang gue bawa sekarang gak begitu deg-degan karena mereka semua cuman ngurusin pencahayaan dan disuruh-suruh doang.
Beberapa hari kebelakang gue dikirimin foto beberapa sudut rumah ini, sama asisten pribadinya Aidan. Cuman gak kebayang ternyata aslinya rumahnya segede ini. Gede banget gila. Rumah Laura yang menurut gue udah gede aja itu gak ada kali seujung kukunya rumah Aidan Sjarief.
Gue masih tertegun, berdiri berdua sama Laura, natap indahnya rumah bergaya modern di tengah pepohonan besar yang kayaknya agak mustahil tumbuh secara alami di kota ini. Mobil yang gue pinjem dari Benny lagi nangkring di parkiran, dimana dua orang kru dibantu ama beberapa satpam lagi nurunin barang-barang dari mobil.
“Gini ya rumah keluarga top 100 Forbes” bisik gue, sambil masukin tangan ke saku jeans, dengan muka melongo bego.
“Aku sering liat yang model gini di majalah-majalah sosialita, tapi ini kayaknya lebih gila lagi deh daripada orang-orang itu.....” jawab Laura, yang hari ini tampil casual dengan t-shirt polos ketat warna hitam dan jeans yang ngegemesin. Rambutnya seperti biasa, diikat ponytail.
“Majalah?”
“Iya, kayak Indonesian Tattler gitu”
“Oh...”
“Itu yang ngaku-ngaku crazy rich, bos MLM, sama selebgram ga ada apa-apanya lah ya...” sambung Laura.
“Hahaha” gue ketawa lepas, tiba-tiba. “Gak ada seujung kukunya”
Mendadak, dari arah garasi, tempat tadi para satpam ngarahin kru-kru buat masukin lighting, keluar sesosok cewek berkacamata yang keliatan tergopoh-gopoh. Dia pake polo shirt hitam dan celana jeans. Dia nyamperin gue dan Laura.
“Halo, Mas Yoga dan Mbak Laura ya”
“Eh Halo Mbak Tia”
“Yuk, kita langsung ke arah ruang kerja, Pak Aidan sekitar sejam yang lalu baru mendarat di CGK, sekarang sedang menuju kesini”
“Oh” gue sama Laura lagi-lagi kaget, karena kita baru tau kalo Aidan Sjarief ternyata gak ada di rumah.
“Emang beliau abis dari mana?” tanya Laura, curious, sambil menenteng tas berisi kamera-kamera analog yang bakal jadi andalannya dalam motoin keluarga Aidan Sjarief.
“Dari Hongkong, business trip” jawab Mbak Tia.
Gue sama Laura cuman bisa ngangguk-ngangguk aja. Kita berdua ngikutin Mbak Tia ke arah basement, yang bisa diakses dari tangga kecil di pinggir parkiran luar ini. Pelan-pelan kita ikutin dia, dan ternyata kita dibawa ke garasi.
Bangke. Gila. Bangsat.
Di garasi yang ada di basement itu, ada sekitar selusin mobil mewah yang semuanya sama sekali belom pernah gue liat langsung pake mata kepala sendiri. Mobil sport ceper warna merah berlogo kuda jingkrak, sedan yang mirip dengan warna kuning berlogo kebo, mobil SUV klasik asal inggris yang jelas-jelas kayak buat perang, dibanding buat jalan-jalan sama keluarga, dan beberapa motor gede yang harganya pasti lebih mahal daripada harga diri gue dan Laura.
Sesekali, sambil ikut jalan bareng Mbak Tia ke arah lift, gue dan Laura bingung dan liat-liatan. Di dalam kepala, gue mikir, kira-kira berapa duit yang harus dikeluarin sama Aidan Sjarief buat mobil-mobil ini. Dan gue jadi mikir, mobil apa yang dipake buat jemput mereka ke bandara?
“Kita kesini ya” Mbak Tia ngarahin kita ke lift.
“Kok kita gak bareng sama kru yang bawa barang ya Mbak?” tanya gue sambil nunggu lift. Ada berapa lantai rumah ini? Sampe perlu lift segala?
“Yang bawa barang tadi diarahin sama satpam ke belakang” jawabnya. “Lewat lift service supaya lampu studio yang gede-gede itu aman” aman... Maksudnya supaya gak kena-kena ke mobil mahal ini ya?
“Oh..” jawab gue melongo, sambil pelan-pelan masuk lift, menuju ke? “Eh, kita sekarang ke?”
“Nah Pak Aidan tadi bilang, katanya mau foto di ruang kerja dulu, terus baru di ruang keluarga, habis itu di ruang makan.. Ruang kerja Bapak ada di lantai tiga”
“Lantai paling atas?” Tanya Laura.
“Iya”
Oke, rumah ini ada tiga lantai. Ada basementnya, yang isinya mobil-mobil mewah, dan juga ada lift service. Ini rumah apa mall? Dan gue udah tiba di lantai 3, yang bikin gw merasa lebih kecil lagi. Ini lorongnya udah kayak lorong di hotel-hotel mewah minimalis di Bali. Ada beberapa patung dan lukisan yang harganya mungkin milyaran.
Gue ama Laura ngikutin Mbak Tia, ke sebuah ruangan yang deket banget sama Lift. Gue ngelirik ke void yang nembus ke lantai 1, gila, gue berasa banget ga ada seujung kukunya dia gini.
Kalo gue punya duit segini buat apa ya? Ngontrak Ronaldo setaun sama Messi terus disuruh diem di kamar doang? Atau nyew NewJeans buat konser pribadi di kamar kosan?
Dan Jreng. Gue masuk di ruangan kerja Aidan yang gedenya mungkin se Living Room-nya rumah Benny. Disini bentuknya udah kayak ruangan kantor di gedung-gedung. Keliatan minimalis, dan hi-tech. Lengkap dengan semua peralatan audio visual buat meeting online, buat meeting offline, dan masih banyak lagi.
Di deket jendela yang lebar, ada meja kerja yang keliatan berantakan. Banyak dokumen numpuk disana. Ada satu monitor PC gede banget, yang kayaknya lebih gede ukurannya daripada TV di kamar kosan gue.
Dan gue tertegun, ada tiga foto yang dipajang di dinding yang ngadep ke meja itu. Foto Aidan, Foto seorang anak yang baru lahir, dan istrinya. Istrinya cantik banget ya, elegan gitu. Rambutnya sebahu, pendek dan bergelombang. Jawlinenya tegas banget, alisnya tebel, kayak ulet bulu dan keliatannya beliau pinter banget.
Gue nelen ludah sendiri, dan gue ga sadar kalo kru gue udah disitu, nyusun lighting.
Kayaknya gue tau deh istrinya Aidan itu siapa, anaknya politisi kalo gak salah. Anak anggota DPR. Lupa tapi gue dari fraksi mana. Soalnya gue sempet dikit-dikit background check gitu soal keluarganya Aidan Sjarief.
“Kalo mau duduk disana boleh, siap-siap” Mbak Tia ngarahin gue dan Laura ke sofa yang ada di pojokan. Gue tersadar dan langsung menuju ke sofa tersebut. “Saya tinggal bentar ya” lanjut Mbak Tia. Gue cuman bisa ngangguk.
Selepas Mbak Tia pergi, gue dan Laura bengong. Kita bener-bener diem karena kita gak siap, ada di dalam rumah orang yang keluarganya dibilang masuk dalam jajaran 100 orang terkaya di Indonesia.
Ngeri.
“Yoga...”
“Kenapa?”
“Itu, aku mau masukin film dulu ke kamera”
“Oh..”
Gue gak sadar, dan gue buka backpack gue, ngasih beberapa roll film ke Laura, yang keliatan canggung dalam bersiap-siap. Motoin Tamara, selebgram gitu doang aja udah susah, gimana orang modelan gini? Bingung gue harus berhadapan sama orang yang kayak gimana. Waktu pertama kali ketemu Aidan, orangnya keliatan tegas dan saklek, walaupun gak neko-neko.
Setelah itu gue gak komunikasi lagi, karena udah dihandle sama Mbak Tia, asistennya.
Oh iya, gue juga mesti nyiapin kamera. Gue ngeluarin kamera SLR dari dalam tas gue, tentu aja ini kamera film. Gue juga nyiapin lensanya, milih dulu Lensa apa yang cocok buat keperluan close up modelan gini.
Dan mendadak.....
“Ini apa?” seorang anak yang keliatannya berumur tiga tahun, tiba-tiba nongol di hadapan gue. Untuk ukuran anak berumur tiga tahun, dia keliatan ganteng banget.
“Eh... Halo”
Gue kaget karena baru sekali liat anak umur tiga tahun serapih itu. Rambutnya rapih, pakaiannya rapih, dan dia senyum dengan tatapan mata yang curious.
“Om bawa apa?”
“Eh?”
“Itu apa om?”
“Syauqi?” tiba-tiba dari arah pintu kedengeran suara lembut yang elegan. “Kamu dimana nak?”
“Bunda ini ada om” anak yang dipanggil Syauqi itu nunjuk ke arah gue. Gue masih terpaku, karena gue kayak liat artis cilik, tapi artis holywood. Entah kenapa kesannya kayak gitu.
“Om nya mau foto kita sebentar lagi” lanjut suara itu.
“Foto pakai hape bunda?”
“Pakai kamera”
“Kamera itu apa bunda?”
“Itu yang dipegang sama Om nya... Halo... Pasti kalian Yoga dan Laura kan?”
“Eh.. Iya Bu...” gue dan Laura gelagapan, berdiri untuk menyambut sosok elegan itu. Perempuan berusia tiga puluh tahunan, dengan dandanan yang keliatan casual tapi bener-bener elegan. Dia pake celana jeans dan polo shirt bermerek terkenal asal inggris.
“Ya ampun, panggil Mbak aja kali...” lanjutnya. “Adinda Saraswati”
“Halo... Yoga...”
“Panggil aja Saras tapi”
--------------------
--------------------
BERSAMBUNG
BAGIAN KEEMPAT PULUH SATU
PANGGIL AJA SARAS
--------------------
--------------------
“Maaf ya”
“Eh?”
“Maafin keluargaku” Laura senyum kecil, sambil duduk di sebelah gue, ngebawain kopi yang baru aja selesai dia beli.
“Gapapa, aku juga baru tau kalo sekarang kondisinya kayak gitu.....”
Gue dan Laura duduk berdua di salah satu kedai kopi chain internasional berlambang duyung hijau, yang gak jauh dari tempat makan bareng keluarganya tadi. Setelah makan dengan suasana awkward, gue dan Laura izin untuk misah, bilangnya mau ngopi bentar terus abis itu gue anterin Laura pulang.
Entah gimana bokapnya ngizinin, padahal naik motor dari Jakarta Selatan ke PIK terdengar cukup melelahkan. Nanti kalo gue kecapean mampir ke kosan dulu, dari sana anterin naik taksi atau go-car aja deh.
“Tapi kok bisa ya” gue masih amazed sama cerita Laura tadi, setelah misah sama orang tuanya.
“Gak tau sih.....” Laura meringis. Karena menurut ceritanya, kayaknya kakak pertamanya ini udah bikin malu berat keluarganya. “Aku sekarang jadi ga tau, apa yang ada di pikiran Ci Stephanie, kok bisa-bisanya dia kabur ke Bali sama laki orang”
“Itu si cowoknya udah cerai duluan ama istrinya, atau belum?” tanya gue. Jelas gue penasaran banget.
“Gak tau, soalnya beberapa waktu belakangan, dia jadi makin tertutup, temen-temen deketnya juga udah lama ga main sama dia lagi...”
Gue meringis dikit, sambil pelan-pelan menghirup wangi kopi panas yang baru aja dibeliin Laura. Stephanie, kakak pertamanya yang emang udah dari sebelumnya punya hubungan yang ga enak sama orang tuanya gara-gara batal nikah sama tunangannya gara-gara lebih milih karir, sekarang malah pindah ke Bali, dan tinggal bareng suami orang.
Katanya mereka udah deket sejak sebelum pindah ke Bali. Gue ga kebayang sekecewa apa bokapnya Laura. Buat orang yang percaya sama nilai-nilai tradisional keluarga dan lumayan kaku kayak beliau, pacaran dan kumpul kebo sama suami orang itu pasti bikin dia marah.
Saking marahnya, sehabis gue nanya kabar Stephanie, bokapnya jadi males ngomong. Literally males ngomong, bukan sama gue doang, tapi sama seisi meja.
Oh iya, not to mention katanya suami orang ini pun beda agama sama Stephanie. Udah bener-bener jadi rebel ini di mata bapaknya. Gue yang agamanya sama aja disinisin. Gimana beda agama?
“Lain kali jangan dimention sama sekali ya sayang...” bisik Laura sambil meminum minuman lucu yang ia pesan. Gue cuman ngangguk. “Papa super sensitive lately sama apapun yang ada hubungannya sama Ci Steph”
“Iya” jawab gue pelan juga. Cenderung lirih malah. Gue yang pengen punya kesan bagus di hadapan orang tua pacar sendiri sekarang kok malah blunder. Aya aya wae. Niat pengen nanyain kabar kakak tertuanya malah bikin gue jadi dipandang sebelah mata sama si bokap. Asem. Lagian, bukan salah gue kan kalo kakaknya Laura jadi pelakor. Lagian, itu juga kata orang. Siapa yang tau cerita aslinya? Lagian...
Ah udah, lagian terus. Gue ngeliat tampang lemes Laura yang lagi nyeruput minuman di tangannya jadi kasian juga.
Di satu sisi gue jadi ngerti banget kenapa kakak laki sama ortunya jadi lumayan protektif ama Laura. Mereka ga mau Laura jadi se”bebas” Stephanie. Ya, andaikan dia gak nyuri laki orang pun, faktanya dia kumpul kebo di Bali sana.
Kalo udah kayak gini, gue mesti bikin strategi yang bagus buat pacaran sama Laura. Gak mungkin ada nginep-nginepan lagi di kosan atau dimanapun. Kecuali kalo banyakan kali ya? Ga tau deh. Pokoknya hindarin dulu nginep, mau nganterin dia semalem apapun ke PIK pake motor pun gue jabanin deh.
Daripada jadi problem, ya kan?
--------------------
--------------------
--------------------
Setelah serangkaian komunikasi dengan asisten pribadi Aidan Sjarief, gue dan tim sedang termenung ngeliat rumah yang luar biasa gede ini. Dari luar gak begitu keliatan karena dia masuk ke dalam komplek elit di Selatan Jakarta.
Rumahnya bergaya modern dan berdiri dengan anggunnya di sore hari yang adem ini.
Sekarang sedang bulan puasa buat mayoritas penduduk di Indonesia, dan oleh karenanya, Aidan Sjarief meminta gue dan Laura datang kesini. Sebentar lagi Lebaran dan beliau pengen foto keluarga. Exclusive on film.
Gue sama Laura dari tadi deg-degan. Mungkin kru lighting yang gue bawa sekarang gak begitu deg-degan karena mereka semua cuman ngurusin pencahayaan dan disuruh-suruh doang.
Beberapa hari kebelakang gue dikirimin foto beberapa sudut rumah ini, sama asisten pribadinya Aidan. Cuman gak kebayang ternyata aslinya rumahnya segede ini. Gede banget gila. Rumah Laura yang menurut gue udah gede aja itu gak ada kali seujung kukunya rumah Aidan Sjarief.
Gue masih tertegun, berdiri berdua sama Laura, natap indahnya rumah bergaya modern di tengah pepohonan besar yang kayaknya agak mustahil tumbuh secara alami di kota ini. Mobil yang gue pinjem dari Benny lagi nangkring di parkiran, dimana dua orang kru dibantu ama beberapa satpam lagi nurunin barang-barang dari mobil.
“Gini ya rumah keluarga top 100 Forbes” bisik gue, sambil masukin tangan ke saku jeans, dengan muka melongo bego.
“Aku sering liat yang model gini di majalah-majalah sosialita, tapi ini kayaknya lebih gila lagi deh daripada orang-orang itu.....” jawab Laura, yang hari ini tampil casual dengan t-shirt polos ketat warna hitam dan jeans yang ngegemesin. Rambutnya seperti biasa, diikat ponytail.
“Majalah?”
“Iya, kayak Indonesian Tattler gitu”
“Oh...”
“Itu yang ngaku-ngaku crazy rich, bos MLM, sama selebgram ga ada apa-apanya lah ya...” sambung Laura.
“Hahaha” gue ketawa lepas, tiba-tiba. “Gak ada seujung kukunya”
Mendadak, dari arah garasi, tempat tadi para satpam ngarahin kru-kru buat masukin lighting, keluar sesosok cewek berkacamata yang keliatan tergopoh-gopoh. Dia pake polo shirt hitam dan celana jeans. Dia nyamperin gue dan Laura.
“Halo, Mas Yoga dan Mbak Laura ya”
“Eh Halo Mbak Tia”
“Yuk, kita langsung ke arah ruang kerja, Pak Aidan sekitar sejam yang lalu baru mendarat di CGK, sekarang sedang menuju kesini”
“Oh” gue sama Laura lagi-lagi kaget, karena kita baru tau kalo Aidan Sjarief ternyata gak ada di rumah.
“Emang beliau abis dari mana?” tanya Laura, curious, sambil menenteng tas berisi kamera-kamera analog yang bakal jadi andalannya dalam motoin keluarga Aidan Sjarief.
“Dari Hongkong, business trip” jawab Mbak Tia.
Gue sama Laura cuman bisa ngangguk-ngangguk aja. Kita berdua ngikutin Mbak Tia ke arah basement, yang bisa diakses dari tangga kecil di pinggir parkiran luar ini. Pelan-pelan kita ikutin dia, dan ternyata kita dibawa ke garasi.
Bangke. Gila. Bangsat.
Di garasi yang ada di basement itu, ada sekitar selusin mobil mewah yang semuanya sama sekali belom pernah gue liat langsung pake mata kepala sendiri. Mobil sport ceper warna merah berlogo kuda jingkrak, sedan yang mirip dengan warna kuning berlogo kebo, mobil SUV klasik asal inggris yang jelas-jelas kayak buat perang, dibanding buat jalan-jalan sama keluarga, dan beberapa motor gede yang harganya pasti lebih mahal daripada harga diri gue dan Laura.
Sesekali, sambil ikut jalan bareng Mbak Tia ke arah lift, gue dan Laura bingung dan liat-liatan. Di dalam kepala, gue mikir, kira-kira berapa duit yang harus dikeluarin sama Aidan Sjarief buat mobil-mobil ini. Dan gue jadi mikir, mobil apa yang dipake buat jemput mereka ke bandara?
“Kita kesini ya” Mbak Tia ngarahin kita ke lift.
“Kok kita gak bareng sama kru yang bawa barang ya Mbak?” tanya gue sambil nunggu lift. Ada berapa lantai rumah ini? Sampe perlu lift segala?
“Yang bawa barang tadi diarahin sama satpam ke belakang” jawabnya. “Lewat lift service supaya lampu studio yang gede-gede itu aman” aman... Maksudnya supaya gak kena-kena ke mobil mahal ini ya?
“Oh..” jawab gue melongo, sambil pelan-pelan masuk lift, menuju ke? “Eh, kita sekarang ke?”
“Nah Pak Aidan tadi bilang, katanya mau foto di ruang kerja dulu, terus baru di ruang keluarga, habis itu di ruang makan.. Ruang kerja Bapak ada di lantai tiga”
“Lantai paling atas?” Tanya Laura.
“Iya”
Oke, rumah ini ada tiga lantai. Ada basementnya, yang isinya mobil-mobil mewah, dan juga ada lift service. Ini rumah apa mall? Dan gue udah tiba di lantai 3, yang bikin gw merasa lebih kecil lagi. Ini lorongnya udah kayak lorong di hotel-hotel mewah minimalis di Bali. Ada beberapa patung dan lukisan yang harganya mungkin milyaran.
Gue ama Laura ngikutin Mbak Tia, ke sebuah ruangan yang deket banget sama Lift. Gue ngelirik ke void yang nembus ke lantai 1, gila, gue berasa banget ga ada seujung kukunya dia gini.
Kalo gue punya duit segini buat apa ya? Ngontrak Ronaldo setaun sama Messi terus disuruh diem di kamar doang? Atau nyew NewJeans buat konser pribadi di kamar kosan?
Dan Jreng. Gue masuk di ruangan kerja Aidan yang gedenya mungkin se Living Room-nya rumah Benny. Disini bentuknya udah kayak ruangan kantor di gedung-gedung. Keliatan minimalis, dan hi-tech. Lengkap dengan semua peralatan audio visual buat meeting online, buat meeting offline, dan masih banyak lagi.
Di deket jendela yang lebar, ada meja kerja yang keliatan berantakan. Banyak dokumen numpuk disana. Ada satu monitor PC gede banget, yang kayaknya lebih gede ukurannya daripada TV di kamar kosan gue.
Dan gue tertegun, ada tiga foto yang dipajang di dinding yang ngadep ke meja itu. Foto Aidan, Foto seorang anak yang baru lahir, dan istrinya. Istrinya cantik banget ya, elegan gitu. Rambutnya sebahu, pendek dan bergelombang. Jawlinenya tegas banget, alisnya tebel, kayak ulet bulu dan keliatannya beliau pinter banget.
Gue nelen ludah sendiri, dan gue ga sadar kalo kru gue udah disitu, nyusun lighting.
Kayaknya gue tau deh istrinya Aidan itu siapa, anaknya politisi kalo gak salah. Anak anggota DPR. Lupa tapi gue dari fraksi mana. Soalnya gue sempet dikit-dikit background check gitu soal keluarganya Aidan Sjarief.
“Kalo mau duduk disana boleh, siap-siap” Mbak Tia ngarahin gue dan Laura ke sofa yang ada di pojokan. Gue tersadar dan langsung menuju ke sofa tersebut. “Saya tinggal bentar ya” lanjut Mbak Tia. Gue cuman bisa ngangguk.
Selepas Mbak Tia pergi, gue dan Laura bengong. Kita bener-bener diem karena kita gak siap, ada di dalam rumah orang yang keluarganya dibilang masuk dalam jajaran 100 orang terkaya di Indonesia.
Ngeri.
“Yoga...”
“Kenapa?”
“Itu, aku mau masukin film dulu ke kamera”
“Oh..”
Gue gak sadar, dan gue buka backpack gue, ngasih beberapa roll film ke Laura, yang keliatan canggung dalam bersiap-siap. Motoin Tamara, selebgram gitu doang aja udah susah, gimana orang modelan gini? Bingung gue harus berhadapan sama orang yang kayak gimana. Waktu pertama kali ketemu Aidan, orangnya keliatan tegas dan saklek, walaupun gak neko-neko.
Setelah itu gue gak komunikasi lagi, karena udah dihandle sama Mbak Tia, asistennya.
Oh iya, gue juga mesti nyiapin kamera. Gue ngeluarin kamera SLR dari dalam tas gue, tentu aja ini kamera film. Gue juga nyiapin lensanya, milih dulu Lensa apa yang cocok buat keperluan close up modelan gini.
Dan mendadak.....
“Ini apa?” seorang anak yang keliatannya berumur tiga tahun, tiba-tiba nongol di hadapan gue. Untuk ukuran anak berumur tiga tahun, dia keliatan ganteng banget.
“Eh... Halo”
Gue kaget karena baru sekali liat anak umur tiga tahun serapih itu. Rambutnya rapih, pakaiannya rapih, dan dia senyum dengan tatapan mata yang curious.
“Om bawa apa?”
“Eh?”
“Itu apa om?”
“Syauqi?” tiba-tiba dari arah pintu kedengeran suara lembut yang elegan. “Kamu dimana nak?”
“Bunda ini ada om” anak yang dipanggil Syauqi itu nunjuk ke arah gue. Gue masih terpaku, karena gue kayak liat artis cilik, tapi artis holywood. Entah kenapa kesannya kayak gitu.
“Om nya mau foto kita sebentar lagi” lanjut suara itu.
“Foto pakai hape bunda?”
“Pakai kamera”
“Kamera itu apa bunda?”
“Itu yang dipegang sama Om nya... Halo... Pasti kalian Yoga dan Laura kan?”
“Eh.. Iya Bu...” gue dan Laura gelagapan, berdiri untuk menyambut sosok elegan itu. Perempuan berusia tiga puluh tahunan, dengan dandanan yang keliatan casual tapi bener-bener elegan. Dia pake celana jeans dan polo shirt bermerek terkenal asal inggris.
“Ya ampun, panggil Mbak aja kali...” lanjutnya. “Adinda Saraswati”
“Halo... Yoga...”
“Panggil aja Saras tapi”
--------------------
--------------------
BERSAMBUNG
Sierpa73
Pertapa Semprot
- Daftar
- 4 May 2019
- Post
- 4.562
- Like diterima
- 27.282
Makasih ... @racebannon
pelisaurus
Pertapa Semprot
- Daftar
- 16 Feb 2016
- Post
- 4.201
- Like diterima
- 17.769
Mantap
Thanks update nya om
Thanks update nya om
Suwun update nya @racebannon
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
