check_mate
Pertapa Semprot
- Daftar
- 23 Apr 2018
- Post
- 4.846
- Like diterima
- 21.630
Thanks apdetnya @racebannon
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
-
Alamat alternatif sudah baru gan.
Bookmark alamat ini gan : https://bit.ly/ceksemprot
Atau buka dengan VPNIkuti alamat terbaru dari forum di : Follow Twitter @SemprotCom
DRAMA TAMAT GADIS DI DALAM FOTO (racebannon)
- Thread starter racebannon
- Start date
-
- Tags
- bastardverse drama racebannon
Garonk84
Semprot Sejati
- Daftar
- 5 May 2020
- Post
- 10.862
- Like diterima
- 52.431
nuhun kang @racebannon
L-co
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 13 Apr 2018
- Post
- 2.096
- Like diterima
- 13.103
Makasih updatenya om @racebannon 
Laguboti17
Guru Semprot
- Daftar
- 17 Sep 2019
- Post
- 547
- Like diterima
- 495
Terimakasih @racebannon . Karya mu selalu ku tunggu. Sehat terus author
pandamen
Tukang Semprot
- Daftar
- 24 May 2014
- Post
- 1.399
- Like diterima
- 4.255
om @racebannon ini preferensi wanita cantik ala jaksel banyak ya, terimakasih updatenya, ada tokoh baru yang dimasukkin ke bastardverse ini
Ninja turtels
Suhu Semprot
- Daftar
- 22 Aug 2016
- Post
- 3.394
- Like diterima
- 2.720
itu tokoh lama om..coba baja cerita penanti..ada tokoh aidan sm saras..
ThunderBlade3
Pendekar Semprot
- Daftar
- 16 Apr 2022
- Post
- 1.916
- Like diterima
- 9.245
Makasih apdetannya bro @racebannon
racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
I'm a mess mess mess mess mess mess mess mess...
racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
GADIS DI DALAM FOTO
BAGIAN KEEMPAT PULUH DUA
MAKANAN FAVORIT BUNDA
--------------------
--------------------
“Yak... Tahan nafas sedikit Mas...”
Cekrek. Gue baru aja ngambil foto Aidan yang duduk di sofa, di ruang keluarga. Sesi foto-foto di ruang kerja sudah, ruang makan udah, dan sekarang terakhir, di ruang keluarga.
“Itu om bisa foto pake itu?”
“Bisa sayang”
“Gimana caranya bunda?”
“Wah, panjang, boleh bunda cari tahu nanti Bunda jelaskan ke kamu tidak?”
“Ayah kok gak punya yang kayak gitu?”
“Fotografer yang punya, Syauqi”
“Ayah punyanya handphone ya?”
“Iya...”
“Kayak waktu di Jepang ya Ayah foto Syauqi banyak ya?”
“Banyak sayang, sampai Bunda bingung pilih yang bagus yang mana”
Fak, gila elegan banget ini perempuan ngejawabin pertanyaan anaknya.
“Oke, sekarang Mbak Saras sama Syauqi join lagi sama Mas Aidannya ya” perintahku. Laura diem gak bersuara di sebelahku, nunggu aba-aba giliran dia yang masuk untuk moto. Kita berdua emang bener mati kutu karena ngerasa kebanting banget sama keluarganya Aidan, cuman kita pengen keliatan profesional.
Gila ini juga, anak umur tiga tahun tapi udah kayak umur lima tahun. Pinter banget. Disekolahin dimana anak sekecil ini, keliatan curious banget dan keliatan sopan banget. Buset deh.
“Laura”
“Ya?”
“Giliran kamu yang arahin”
“Oke...” Laura tampak ragu dengerin kalimat gue, tapi gue ngerasa kalo dia lagi ngumpulin keberanian dan pikiran untuk ngelangkah ke step selanjutnya.
“Eh sebentar” Aidan motong gue dan Laura.
“Ya mas?”
“Ini kan sebentar lagi mau buka puasa, saya sekalian pesenin makan ya untuk kalian...”
“Aduh ga usah repot-repot Mas...”
“Enggak kok.. Tia?” Aidan manggil asisten pribadinya.
“Ya Pak?”
“Tolong siapin ya, makan buat mereka, kamu pesenin aja yang cocok”
“Baik Pak”
“Nah, shall we continue?” senyum Aidan dengan nada yang tenang, tapi kok intimidatif ya?
“Eh, boleh Mas...” gue ngejawab dengan nada awkward, dan berusaha natap Laura yang keliatan ragu-ragu buat ngelarin pose selanjutnya.
Gue cuman bisa natap keluarga kecil Aidan Sjarief, sambil ngebayangin, mungkin gak suatu saat gue, atau keturunan gue bisa hidup kayak gini. Yang pasti, mereka bisa tajir bukan karena kakeknya doi rajin nabung, tapi karena kakek beliau ngambil resiko. High risk high return. Pengen deh gue minimal bisa lebih menghasilkan dari sekarang.
Karena bukan cuman duitnya aja yang bikin gue seneng, tapi ngeliat orang kayak Aidan gini bisa memperkerjakan banyak orang, bikin lapangan kerja, bisa ngasih makan ribuan orang lewat usahanya, itu yang lebih penting menurut gue. Minimal dia tajir, gak jadi tajir sendiri, tapi orang lain ikut bisa hidup gara-gara dia tajir.
Itu yang namanya berkah buat semua orang, ya gak?
--------------------
Hening.
Suasana makan di ruang makan milik Aidan Sjarief ini hening.
Bukan karena sungkan.
Tapi karena semua udah pada laper. Sehabis adzan maghrib, para kru yang muslim pada langsung makan nggragas aja, sesuai dengan instruksi Mbak Tia. Mereka langsung pada makan kayak orang kesetanan.
Berhubung gue dan Laura non-muslim, jadi ya kita santai aja. Tapi seru juga sih kayak gini, vibenya kayak lagi buka puasa di rumah temen yang tajir. Sementara Aidan dan istrinya katanya gak langsung makan, tapi solat maghrib dulu.
Setelah sesi foto-foto selesai dan waktu buka puasa udah tiba, mereka permisi setelah ngebatalin puasa mereka, Cuma pake minum air sama kurma. Mereka katanya mau solat maghrib dulu sebelom makan.
Gila, kayaknya keluarga ini ibadahnya kenceng, walau sang istri gak pake jilbab. Kalo yang sempet gue googling sih, generasi ibu-ibunya keluarga ini udah pake jilbab beberapa. Maksud gue, generasi diatasnya Aidan. Alias generasi kedua. Kalo Sjarief Hidajat almarhumnya kan generasi pertama.
Gimana ya rasanya punya kekayaan yang turun temurun gini. Gak cuman duit sih kayaknya yang diturunin. Tapi ilmu. Keluarga model gini biasanya anak-anaknya pada disekolahin ke luar negeri. Setau gue, Aidan sama istrinya tuh ketemu pas sama-sama kuliah di Inggris.
Edan. Ketemu jodoh di Inggris. Kenapa gak sama bule sekalian ya?
BTW, di rumah seluas ini, di semua sudutnya gak boleh ngerokok sama sekali lho. Gila gak. Sebegitu anti sama rokoknya nih si Aidan Sjarief. Jadi gue dan beberapa kru yang ngerokok, terpaksa sok adem ayem aja sampe selesai makan. Karena kan selesai makan ini kita bakal pulang.
Mendadak, beberapa kru yang ada di hadapan gue, diem matung. Mereka ngeliatin ke jalan masuk ruang makan.
“Loh, kenapa berhenti, lanjut aja”
Suara adem dari perempuan itu kembali kedengeran. Dia udah ganti baju, yang tadinya pake baju yang bertema lebaran, kembali pake polo shirt dan jeans lagi. Dan masih tetep cakep. Gimana ya, cakepnya tuh bukan yang cakep banget, tapi gak ngebosenin sama sekali buat diliat lama-lama. Gak kayak Dian Sastro gitu juga, kayak siapa ya, apa kayak Putri Marino gitu kali ya? Yang pertama kali liat biasa aja, tapi kalo diliat lama-lama jadi kayak yang cakep banget.
“Makan Mbak” gue nyapa Saras, istrinya Aidan yang nyamperin kita dan duduk di ujung meja, sebelah Laura yang lagi nyantap burger yang katanya paling enak se-Jakarta ini.
“Iya, kalian udah mau abis lagi, laper ya puasa-puasa gini kerja” lanjutnya dengan suara yang tertata rapi.
“Syauqinya mana Mbak, kok gak ikutan makan di bawah” Laura keliatan mencoba berbasa-basi dengan Saras.
“Oh, dia lagi mandi, lagi dimandiin lebih tepatnya”
“Hehe, untung gak repot ya Mbak, ada baby sitter yang mandiin ya?” sambung Laura.
“Eh? Engga kok, Bapaknya yang mandiin Syauqi” jawab Saras dengan kalem, dan senyum.
Fak. Orang yang jauh lebih kismin dari mereka aja masih pake baby sitter buat ngurus anak, lah ini mandiin anak sendiri.
“Ha..” Laura melongo sebegitunya. Mungkin dia ngebayangin Brianna, keponakannya yang masih bocil, seringnya ditanganin sama baby sitter. “Apa gak repot Mbak, gak pake Baby Sitter, soalnya kakakku aja baby sitternya dua....”
“Ohhh... Pake kok” jawab Saras. “Mereka yang jagain kalau kita berdua ngantor atau lagi keluar. Tapi kalau kita ada di rumah, sebisa mungkin Syauqi kita yang pegang. Dan kalau kita keluar bertiga, ya gak ada baby sitter yang ikut.... Kita pengen banyak interaksi sama anak kita, karena itu yang bikin mereka lebih cepat tumbuh kembang”
Orang-orang di meja ini pada diem aja, sambil ngangguk-ngangguk. Gila sih ilmunya, boleh ini diterapin kalo nanti gue udah punya anak.
“Nah, sekarang kita dinner dulu” senyumnya, sambil ngebuka bungkus burger itu dengan sumringah.
Red Comet Burger.
Yang katanya burger paling enak di Jakarta. Berawal dari satu warung kecil di Kemang, sekarang udah ada beberapa cabang di PIK, Blok M dan Bintaro ya kalo ga salah? Pokoknya jadi banyak deh.
Katanya yang punya itu suami istri. Another family business.
Tapi emang enak banget. Gue bisa liat ekspresi muka Saras keliatan bahagia banget makan burger itu. Kayak lagi ketemu pacar yang udah lama gak ketemu. Kayak gitu ekspresinya.
“Bunda”
“Eh, Sayang, mau ikut makan sama Bunda?”
“Syauqi sukanya fries!”
Tiba-tiba suara anak itu terdengar manis dari ujung ruangan. Bapaknya, dengan langkah yang teratur, dengan t-shirt polos dan jeans yang rapih, masuk ruangan ini sambil ngegendong anaknya.
“Sini Sayang” sahut ibunya, sambil balik badan. Tapi entah kenapa, ketika dia natap suaminya, ekspresi bahagianya kok kayak ilang ya.
“Punyaku yang itu?” tanya Aidan ke Saras, dengan nada yang pelan tapi tegas.
“Iya”
“Oh oke, nanti aku makannya, aku sama Syauqi dulu, gantian” balas Aidan.
Gue ngeliat mereka harmonis, tapi kok rasanya gue kayak ngeliat hubungan mereka kayak semacam orang yang ngantor bareng ya? Gak begitu mesra sih, ada kehangatan ala keluarganya, tapi kayak ada jarak. Hmm.. Apa cuman dalam kepala gue aja ya.
“Bunda makan apa Ayah?” tanya Syauqi, saat Aidan udah mau jalan keluar dari ruangan ini.
“Oh, itu Burger”
“Burger itu apa Ayah?”
“Itu makanan favorit Bunda kamu” Aidan pun berlalu.
Entah kenapa, pas ngomong gitu, gue ngeliat ekspresi Aidan agak berubah. Ekspresinya jadi agak dingin, kayak waktu dia lagi negur si Reggie untuk matiin rokok, pas pertama kali kita ketemuan. Dan ekspresi Saras berubah lagi. Dari ekspresi bahagia pas makan, jadi kalem, sekarang jadi datar.
Entah kenapa gue bisa ngerasa ada yang aneh. Gue gak tau yang lain ngerasa apa enggak, tapi anak-anak sama Laura keliatan cuek aja dan lanjut makan.
Hmm.... Kayaknya mesti gue cairin suasana dikit deh.
“Kok bisa suka sama burger sebegitunya Mbak?” tanya gue.
“Oh..” Saras diem. Dia batuk kecil dan ngelirik gue. “Ngingetin sama temen lama”
“He?”
“Hahaha, udah, makan aja” tawa Saras, dia kembali keliatan bahagia pas dia gigit Red Comet Burger ini. Gue bales dengan ketawa garing, sambil mencoba mencerna apa maksud di balik ucapan Makanan Favorit Bunda itu.
--------------------
--------------------
BERSAMBUNG
BAGIAN KEEMPAT PULUH DUA
MAKANAN FAVORIT BUNDA
--------------------
--------------------
“Yak... Tahan nafas sedikit Mas...”
Cekrek. Gue baru aja ngambil foto Aidan yang duduk di sofa, di ruang keluarga. Sesi foto-foto di ruang kerja sudah, ruang makan udah, dan sekarang terakhir, di ruang keluarga.
“Itu om bisa foto pake itu?”
“Bisa sayang”
“Gimana caranya bunda?”
“Wah, panjang, boleh bunda cari tahu nanti Bunda jelaskan ke kamu tidak?”
“Ayah kok gak punya yang kayak gitu?”
“Fotografer yang punya, Syauqi”
“Ayah punyanya handphone ya?”
“Iya...”
“Kayak waktu di Jepang ya Ayah foto Syauqi banyak ya?”
“Banyak sayang, sampai Bunda bingung pilih yang bagus yang mana”
Fak, gila elegan banget ini perempuan ngejawabin pertanyaan anaknya.
“Oke, sekarang Mbak Saras sama Syauqi join lagi sama Mas Aidannya ya” perintahku. Laura diem gak bersuara di sebelahku, nunggu aba-aba giliran dia yang masuk untuk moto. Kita berdua emang bener mati kutu karena ngerasa kebanting banget sama keluarganya Aidan, cuman kita pengen keliatan profesional.
Gila ini juga, anak umur tiga tahun tapi udah kayak umur lima tahun. Pinter banget. Disekolahin dimana anak sekecil ini, keliatan curious banget dan keliatan sopan banget. Buset deh.
“Laura”
“Ya?”
“Giliran kamu yang arahin”
“Oke...” Laura tampak ragu dengerin kalimat gue, tapi gue ngerasa kalo dia lagi ngumpulin keberanian dan pikiran untuk ngelangkah ke step selanjutnya.
“Eh sebentar” Aidan motong gue dan Laura.
“Ya mas?”
“Ini kan sebentar lagi mau buka puasa, saya sekalian pesenin makan ya untuk kalian...”
“Aduh ga usah repot-repot Mas...”
“Enggak kok.. Tia?” Aidan manggil asisten pribadinya.
“Ya Pak?”
“Tolong siapin ya, makan buat mereka, kamu pesenin aja yang cocok”
“Baik Pak”
“Nah, shall we continue?” senyum Aidan dengan nada yang tenang, tapi kok intimidatif ya?
“Eh, boleh Mas...” gue ngejawab dengan nada awkward, dan berusaha natap Laura yang keliatan ragu-ragu buat ngelarin pose selanjutnya.
Gue cuman bisa natap keluarga kecil Aidan Sjarief, sambil ngebayangin, mungkin gak suatu saat gue, atau keturunan gue bisa hidup kayak gini. Yang pasti, mereka bisa tajir bukan karena kakeknya doi rajin nabung, tapi karena kakek beliau ngambil resiko. High risk high return. Pengen deh gue minimal bisa lebih menghasilkan dari sekarang.
Karena bukan cuman duitnya aja yang bikin gue seneng, tapi ngeliat orang kayak Aidan gini bisa memperkerjakan banyak orang, bikin lapangan kerja, bisa ngasih makan ribuan orang lewat usahanya, itu yang lebih penting menurut gue. Minimal dia tajir, gak jadi tajir sendiri, tapi orang lain ikut bisa hidup gara-gara dia tajir.
Itu yang namanya berkah buat semua orang, ya gak?
--------------------
Hening.
Suasana makan di ruang makan milik Aidan Sjarief ini hening.
Bukan karena sungkan.
Tapi karena semua udah pada laper. Sehabis adzan maghrib, para kru yang muslim pada langsung makan nggragas aja, sesuai dengan instruksi Mbak Tia. Mereka langsung pada makan kayak orang kesetanan.
Berhubung gue dan Laura non-muslim, jadi ya kita santai aja. Tapi seru juga sih kayak gini, vibenya kayak lagi buka puasa di rumah temen yang tajir. Sementara Aidan dan istrinya katanya gak langsung makan, tapi solat maghrib dulu.
Setelah sesi foto-foto selesai dan waktu buka puasa udah tiba, mereka permisi setelah ngebatalin puasa mereka, Cuma pake minum air sama kurma. Mereka katanya mau solat maghrib dulu sebelom makan.
Gila, kayaknya keluarga ini ibadahnya kenceng, walau sang istri gak pake jilbab. Kalo yang sempet gue googling sih, generasi ibu-ibunya keluarga ini udah pake jilbab beberapa. Maksud gue, generasi diatasnya Aidan. Alias generasi kedua. Kalo Sjarief Hidajat almarhumnya kan generasi pertama.
Gimana ya rasanya punya kekayaan yang turun temurun gini. Gak cuman duit sih kayaknya yang diturunin. Tapi ilmu. Keluarga model gini biasanya anak-anaknya pada disekolahin ke luar negeri. Setau gue, Aidan sama istrinya tuh ketemu pas sama-sama kuliah di Inggris.
Edan. Ketemu jodoh di Inggris. Kenapa gak sama bule sekalian ya?
BTW, di rumah seluas ini, di semua sudutnya gak boleh ngerokok sama sekali lho. Gila gak. Sebegitu anti sama rokoknya nih si Aidan Sjarief. Jadi gue dan beberapa kru yang ngerokok, terpaksa sok adem ayem aja sampe selesai makan. Karena kan selesai makan ini kita bakal pulang.
Mendadak, beberapa kru yang ada di hadapan gue, diem matung. Mereka ngeliatin ke jalan masuk ruang makan.
“Loh, kenapa berhenti, lanjut aja”
Suara adem dari perempuan itu kembali kedengeran. Dia udah ganti baju, yang tadinya pake baju yang bertema lebaran, kembali pake polo shirt dan jeans lagi. Dan masih tetep cakep. Gimana ya, cakepnya tuh bukan yang cakep banget, tapi gak ngebosenin sama sekali buat diliat lama-lama. Gak kayak Dian Sastro gitu juga, kayak siapa ya, apa kayak Putri Marino gitu kali ya? Yang pertama kali liat biasa aja, tapi kalo diliat lama-lama jadi kayak yang cakep banget.
“Makan Mbak” gue nyapa Saras, istrinya Aidan yang nyamperin kita dan duduk di ujung meja, sebelah Laura yang lagi nyantap burger yang katanya paling enak se-Jakarta ini.
“Iya, kalian udah mau abis lagi, laper ya puasa-puasa gini kerja” lanjutnya dengan suara yang tertata rapi.
“Syauqinya mana Mbak, kok gak ikutan makan di bawah” Laura keliatan mencoba berbasa-basi dengan Saras.
“Oh, dia lagi mandi, lagi dimandiin lebih tepatnya”
“Hehe, untung gak repot ya Mbak, ada baby sitter yang mandiin ya?” sambung Laura.
“Eh? Engga kok, Bapaknya yang mandiin Syauqi” jawab Saras dengan kalem, dan senyum.
Fak. Orang yang jauh lebih kismin dari mereka aja masih pake baby sitter buat ngurus anak, lah ini mandiin anak sendiri.
“Ha..” Laura melongo sebegitunya. Mungkin dia ngebayangin Brianna, keponakannya yang masih bocil, seringnya ditanganin sama baby sitter. “Apa gak repot Mbak, gak pake Baby Sitter, soalnya kakakku aja baby sitternya dua....”
“Ohhh... Pake kok” jawab Saras. “Mereka yang jagain kalau kita berdua ngantor atau lagi keluar. Tapi kalau kita ada di rumah, sebisa mungkin Syauqi kita yang pegang. Dan kalau kita keluar bertiga, ya gak ada baby sitter yang ikut.... Kita pengen banyak interaksi sama anak kita, karena itu yang bikin mereka lebih cepat tumbuh kembang”
Orang-orang di meja ini pada diem aja, sambil ngangguk-ngangguk. Gila sih ilmunya, boleh ini diterapin kalo nanti gue udah punya anak.
“Nah, sekarang kita dinner dulu” senyumnya, sambil ngebuka bungkus burger itu dengan sumringah.
Red Comet Burger.
Yang katanya burger paling enak di Jakarta. Berawal dari satu warung kecil di Kemang, sekarang udah ada beberapa cabang di PIK, Blok M dan Bintaro ya kalo ga salah? Pokoknya jadi banyak deh.
Katanya yang punya itu suami istri. Another family business.
Tapi emang enak banget. Gue bisa liat ekspresi muka Saras keliatan bahagia banget makan burger itu. Kayak lagi ketemu pacar yang udah lama gak ketemu. Kayak gitu ekspresinya.
“Bunda”
“Eh, Sayang, mau ikut makan sama Bunda?”
“Syauqi sukanya fries!”
Tiba-tiba suara anak itu terdengar manis dari ujung ruangan. Bapaknya, dengan langkah yang teratur, dengan t-shirt polos dan jeans yang rapih, masuk ruangan ini sambil ngegendong anaknya.
“Sini Sayang” sahut ibunya, sambil balik badan. Tapi entah kenapa, ketika dia natap suaminya, ekspresi bahagianya kok kayak ilang ya.
“Punyaku yang itu?” tanya Aidan ke Saras, dengan nada yang pelan tapi tegas.
“Iya”
“Oh oke, nanti aku makannya, aku sama Syauqi dulu, gantian” balas Aidan.
Gue ngeliat mereka harmonis, tapi kok rasanya gue kayak ngeliat hubungan mereka kayak semacam orang yang ngantor bareng ya? Gak begitu mesra sih, ada kehangatan ala keluarganya, tapi kayak ada jarak. Hmm.. Apa cuman dalam kepala gue aja ya.
“Bunda makan apa Ayah?” tanya Syauqi, saat Aidan udah mau jalan keluar dari ruangan ini.
“Oh, itu Burger”
“Burger itu apa Ayah?”
“Itu makanan favorit Bunda kamu” Aidan pun berlalu.
Entah kenapa, pas ngomong gitu, gue ngeliat ekspresi Aidan agak berubah. Ekspresinya jadi agak dingin, kayak waktu dia lagi negur si Reggie untuk matiin rokok, pas pertama kali kita ketemuan. Dan ekspresi Saras berubah lagi. Dari ekspresi bahagia pas makan, jadi kalem, sekarang jadi datar.
Entah kenapa gue bisa ngerasa ada yang aneh. Gue gak tau yang lain ngerasa apa enggak, tapi anak-anak sama Laura keliatan cuek aja dan lanjut makan.
Hmm.... Kayaknya mesti gue cairin suasana dikit deh.
“Kok bisa suka sama burger sebegitunya Mbak?” tanya gue.
“Oh..” Saras diem. Dia batuk kecil dan ngelirik gue. “Ngingetin sama temen lama”
“He?”
“Hahaha, udah, makan aja” tawa Saras, dia kembali keliatan bahagia pas dia gigit Red Comet Burger ini. Gue bales dengan ketawa garing, sambil mencoba mencerna apa maksud di balik ucapan Makanan Favorit Bunda itu.
--------------------
--------------------
BERSAMBUNG
Suwun update nya @racebannon
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
