PART 4
Ratih Puspa Sari aka Ratih
Raka Priambudi Gemilang aka Raka
Pov 3rd
Pintu ini terkunci....!", kata pemuda itu kepada Ratih.
Ratih mebelalakan mata. Terpancar wajah ngeri nya memandang keanehan pintu tersebut. Ia masih menggendong Yuli yang diam saja, ikut memperhatikan ketegangan mereka.
Raka mencoba nya sekali lagi dengan dorongan tenaga, tapi pintu itu tetap kokoh terkunci.
Aneh, padahal tadi Ratih melihat Yuli dengan tenang membuka pintu tersebut, gampang sekali. Yuli menutup nya lagi dengan pelan, nyaris tanpa suara sedikit pun. Baru beberapa detik, belum ada satu menit. Raka membuka nya tapi tidak berhasil.
"Pasti ada seseorang di dalam kamar ini, Tih", bisik Raka.
Ratih bertambah tegang, sebab setahunya di rumah ini tidak ada orang lain kecuali oom Hendro dan tante Wulan, Yuli serta diri nya sendiri.
Sudah berbulan-bulan rumah mewah itu lenggang, hanya di huni 4 manusia. Tapi sekarang, seperti nya ada seorang lagi yang tengah bersembunyi di kamar tersebut, kamar yang tak pernah di buka sejak ia menempati rumah itu. Siapa? Dan benarkah begitu?.
"Ada siapa di dalam sana, Yuli?", tanya Ratih kepada gadis kecil itu. Yuli diam saja. Wajah nya tampak datar, dan sorot mata nya begitu dingin. Ratih jadi ngeri memandang wajah Yuli yang biasa nya ceria itu.
Segera Ratih membawa anak itu masuk ke kamar tidur yang penuh dengan mainan anak-anak dan beberapa boneka kesukaan nya. Yuli di baringkan diatas ranjang berseprei bunga-bunga indah. Anak itu segera menyambut guling, dan memeluk nya dalam posisi miring. Mata nya berkedip-kedip bagai seorang yang tengah melamun.
"Yuli....", sapa Ratih dengan lembut dan hati-hati, kendati terasa bergetar suara nya. "Yuli tadi dari mana sih?".
"Main....", jawab anak itu dengan suara parau.
"Main? Main di mana?".
"Di sana....!". Yuli menunjuk ke arah kamar tempat ia keluar tadi.
"Kok, Yuli jadi ke sana sih? Bukankah tadi kakak sudah bilang, Yuli harus bobok, biar besok bisa bangun pagi dan ikut jalan-jalan.....".
"Yuli di ajak, kak". Kata Yuli dengan suara pelan.
Ratih mengerutkan dahi dan memandang Yuli dalam-dalam. Ah, tampaknya anak itu bicara jujur.
"Diajak oleh siapa?", pancing Ratih.
"Oleh....Oleh tante....", jawab nya polos.
Ratih seketika merinding. "Tante? Tante siapa?".
"Nggak tahu nama nya. Tante nya, cantik sekali, kak....".
Rasa merinding Ratih bertambah menjadi menegangkan. "Oh, jadi Yuli diajak tante cantik masuk kamar itu?".
Yuli yang mempunyai mata yang indah itu mengangguk sambil berkedip-kedip, seakan ia seseorang yang tengah merasa bersalah.
"Ada apa di kamar itu, Yuli?". Ratih bertanya dengan suara berbisik. Tapi Yuli tidak mau menjawab. Ia berbalik ke kiri, sambil tetap memeluk guling, Ratih tahu, Yuli sudah tidak ingin bicara lagi.
Raka muncul dengan berkeringat. Ratih segera tahu apa yang telah dikerjakan Raka. "Pasti pemuda bertubuh atletis ini telah berulang kali berusaha membuka pintu kamar tersebut. Agaknya ia gagal, sebab terlihat dari wajah nya yang lesu itu terbersit kedongkolan yang tertahan". pikir Ratih di hati nya.
"Aku gagal membuka kamar itu dengan cara ku sendiri", kata nya.
"Oh, Raka.... Kamu tak perlu mengulangi nya lagi", jawab Ratih mencoba menenangkan pemuda itu.
Raka duduk di kursi rotan bundar, dan bersandar dengan nafas orang kecapean.
"Hanya kegelapan yang dapat kulihat dari lubang kunci. Sedangkan lubang angin lain nya agak nya telah di plester dengan semen. Tidak ada tempat untuk melihat ke dalam".
"Raka, jangan penasaran. Nanti kalau oom Hendro tahu, jadi ribut!". Ratih tampak berharap cemas. Saat itu, Raka bangkit dan memeriksa Yuli yang tengah meringkuk memeluk guling, Raka sedikit heran.
"Dia sudah tidur lagi?!".
Ratih ikut menengok dan memperhatikan Yuli, dan ternyata memang benar. Yuli telah tertidur lagi dengan pulas. Padahal baru beberapa detik Ratih selesai bicara dengan nya, lalu Raka muncul, cukup singkat. Tapi Yuli telah tertidur lagi seperti sediakala. Aneh, bisakah anak kecil tertidur secepat itu?.
"Bagaimana ia dapat masuk ke kamar itu?", ucap Raka bertanya pada Ratih pelan.
Pertanyaan itu cukup membuat Ratih terkejut, bimbang untuk memberikan jawaban yang sebenar nya, akhir nya Ratih hanya mengatakan, "dia sedang mengingau, rupanya. Dan....Sejak tadi sulit diajak bicara".
Ratih sendiri tidak tahu, mengapa ia harus berbohong, bukankah ia sendiri merasa aneh dengan pengakuan Yuli itu? Bukankah ia sendiri ingin mendiskusikan pengakuan Yuli dengan orang lain?
Ah, mungkin Ratih tidak ingin kehadiran Raka yang baru pertama kali dikenalnya ini mengalami guncangan jiwa mendengar pengakuan Yuli. Mungkin Ratih ingin merahasiakan semua itu untuk sementara waktu, suatu saat ia pasti akan membicarakan nya dengan Raka. Namun, dapat kah Raka menjadi partner bicara nya dalam hal ini?.
.
.
.
Pov Ratih
Keesokan hari nya......
Untuk sementara ini, aku merenungkan sendiri apa yang ada di pikiran ku, mencari kemungkinan-kemungkinan, siapa tante cantik yang Yuli katakan tadi malam. Mungkin kah
tante cantik tersebut serupa dengan apa yang pernah di mimpikan oleh alm. Maman dan alm. Kusno? Atau mungkin kah pada waktu itu Yuli benar-benar dalam keadaan mengingau? Tapi, dari mana ia dapat masuk ke kamar tersebut? Bukan kah kunci kamar selalu ada di tangan oom Hendro, kendati pernah dikatakan beliau kamar itu tidak punya kunci lagi?.
"Sudah siap, Ratih?". Tegur tante Wulan di ambang pintu kamar Ratih.
"Hemmm....Sudah kok, tante".
"Raka sudah menunggu di teras. Tolong nanti sepulang nya dari kantor Raka, jangan mampir-mampir, ya? Kalau Raka ingin jalan-jalan melihat suasana kota, biarlah ia jalan-jalan sendiri".
"Ya, tante......", jawab Ratih sembari membubuhkan lipstik tipis di bibir nya.
Hari ini, aku di suruh mengantarkan Raka ke kantor pusat tempat Raka bekerja. Raka masih asing dengan ibukota jakarta, sehingga perlu penunjuk jalan. Aku dipercaya oleh oom Hendro sebagai penunjuk jalan yang akan membawa Raka ke kantor pusat nya.
Jujur sebenarnya aku masih kikuk jika harus semobil bersama Raka. Pemuda itu punya mata sedikit nakal, dan sering membuat ku berdebar dan tersipu malu. Namun justru kenakalan mata itulah yang semalam terbayang di benak ku dan sempat membuat debar-debar meresahkan.
"Kamu cenderung menjadi gadis pendiam, rupanya", kata Raka sewaktu mereka dalam perjalanan.
Aku hanya tersenyum tipis, mulut ku masih saja bungkam seperti tadi, aku sengaja tidak ingin banyak bicara, karena pikiran ku masih terganggu oleh peristiwa aneh semalam. Aku masih ingin menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan hati ku. Karena itulah aku lebih baik diam daripada ngobrol dengan nya. Bahkan ketika selesai mengantarkan Raka untuk urusan kantor, aku masih membisu. Hanya sepatah dua patah kata yang sesekali terlontar selebihnya bungkam yang ada.
Tiba-tiba aku terpaksa mempercepat mobil. Wajah Yuli terlintas beberapa kali di benak ku. Aku menjadi resah dan ingin cepat sampai ke rumah. Oh, ada apa, ya? Aku jadi berdebar-debar, seperti nya ada sesuatu yang harus aku hadapi secepatnya. Dua kali wajah Yuli muncul di kaca spion, lalu bayangan itu menghilang.
Bersambung......