Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT GELOMBANG NESTAPA

Terakhir diubah:
EPISODE 43

KOKOHNYA SEBUAH BATU KARANG




Dua hari yang lalu di sebuah tempat hiburan malam, seorang wanita setengah baya dengan berpakaian sexy sedang duduk di sebuah meja jauh dari hingar bingar para pengunjung lainnya, di hadapannya duduk sesorang lelaki .

“Bang Juned, kenapa cari gue? Bukannya Abang sudah gak tertarik lagi untuk jajan!” ujar wanita itu memulai pembicaraan dengan lelaki di hadapannya yang ternyata adalah Bang Juned.

“Tuti..Tuti... Itu adalah masa lalu, jaman kita masih muda dulu. Lagian kapan aku jajan dengan yang lain. Seingatku, cuma sama kamu ‘kan? Dan kamu, ternyata masih tak berubah Tut. Kamu masih terlihat cantik dan sexy meskipun kamu sedikit montok bikin ngiler Abang. Hehehe... Kamu masih sendiri, Tut?” Bang Juned tersenyum sambil memanggil nama wanita itu.

“Akh, Abang bisa aja! Siapa pula yang mau dengan wanita sepertiku ini? Lagi pula, Cuma ada seseorang yang mampu singgah di hati Tuti. Tapi lelaki itu telah pergi dengan menikahi anak buahku dan sekarang dia telah berbahagia dengannya,” timpal Tuti nama wanita itu. Dia sedikit kaget dengan gaya bicaranya Bang Juned sekarang lalu Tuti memalingkan wajahnya dengan muram menutupi kegundahan hatinya pada sosok lelaki ini di hadapannya.


“Apa lelaki itu dulu tidak memberi pilihan untuk hidup bersama kamu?” tanya Bang Juned sedikit mengintimidasi Tuti.


“Ya, dia dulu memberi suatu pilihan. Hidup bersamanya dan mau meninggalkan gemerlap kehidupan malam, atau …. !! Tuti tak meneruskan perkataannya, di sudut matanya mulai menggenang air mata sambil memperhatikan para pengunjung yang sedang berjingkrak-jingkrak menikmati irama musik yang dimainkan oleh seorang DJ. Bang Juned menatap wajah Tuti dengan rasa haru.


“Ya, dulu aku sangat mencintaimu Tut. Aku ingin menikahimu tapi kamu tak mau meninggalkan profesi kamu. Dan di saat hatiku hancur, hanya Mirna yang mau mengerti aku. Dia mampu menggantikan kamu di hatiku dan akhirnya aku menikahi dia!” ujar Bang Juned.


“Ya, semua itu telah kusadari. Aku lebih memilih kehidupan malam, dan Tuti lihat, Abang telah berubah tidak seperti waktu itu.” jawabnya pelan.


“Tidak, aku masih sama seperti Juned yang dulu. Aku tau alasan kamu, Tut. Kamu waktu itu dipaksa harus membayar hutang orang tuamu dengan menjual tubuhmu. Di bawah ancaman seseorang, bahwa mereka akan membunuh Ibu dan Bapakmu jika kamu tak melunasi hutang itu ‘kan?” Bang Juned memegang tangan Tuti di atas meja, Tuti terbelalak matanya saat Bang Juned mengetahui alasan dirinya menolaknya dulu.


“Mirna sudah bercerita semuanya tentang kamu! Dan aku pun menyesali telah meninggalkan kamu sendirian di sini!” Bang Juned tersenyum sambil melirik seorang wanita lain yang mendatangi mereka.

“Teh..!” sapa wanita itu. Tuti pun menoleh ke belakang, dan seketika matanya terbelalak saat melihat siapa yang datang menemuinya.


“Mirna…!” Tuti berdiri lalu memeluk Mirna yang ternyata adalah Istri dari Bang juned. “Kamu sehat, Mir. Aku kangen kamu Mir, udah lama kita gak ketemu. Kamu sekarang punya anak berapa?” Tuti menarik tangan Mirna agar duduk di sampingnya.

“Sehat, Teh. Anak Mirna dua, Teh. Sepasang, paling gede 4 tahun yang kecil 2 tahun, Teteh sendiri gimana kabarnya?” jawab Mirna lalu ia pun duduk di samping Tuti.

“Masih seperti ini, Mir. Masih mencari rupiah di selangkangan mereka.” Tuti tersenyum dingin sambil pandangannya tertuju pada sekumpulan gadis muda yang tak jauh dari tempatnya.

“Maaf, terbawa suasana! Oiya, pada ngapain kalian berdua mencariku?” Tuti mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya. Dalam hatinya, ada perasaan cemburu pada Mirna yang telah merebut hati kekasih hatinya itu. Mirna yang dulunya kupu-kupu malam sama seperti dirinya sekarang dia telah berbahagia dengan Bang Juned.

“Mir. Abang dulu ya, yang bicara?” ujar Bang Juned. dijawab dengan anggukan Mirna.

“Tut, Apa Tuti mengenal orang ini?” Bang Juned menunjukan sebuah foto lelaki berwajah oriental, Tuti mengkerut lalu mengangguk.

“Iya, Bang kenal. Dia adalah salah satu pelanggan VIP tempat ini dan juga pelanggan tetap aku. Dia selalu berani membayar mahal untuk gadis yang dipesannya untuk menemaninya setiap dia ingin berkencan, Bang!” Tuti menjelaskan sosok foto itu yang ternyata adalah pelanngannya.

“Iya. Aku tau itu. Makanya, aku coba menemuimu. Bahwa dia sering mencari gadis lewat kamu,” ujar Bang Juned menjelaskan maksud kedatangannya menemui Tuti.

“Kalo Abang tau. Terus kenapa?” Tuti sedikit meninggikan suaranya. Dia mulai sedikit kesal dengan perkataan Bang Juned barusan. “Abang mengetest aku ya, kalo Abang tau dia adalah pelangganku?”

“Hahaha... Abang itu hanya menguji kamu, Tut. Apa abang masih ada di hati kamu? Lagian Abang tau, kamu gak akan membocorkan identitas pelanggan kamu meskipun itu adalah orang terdekat kamu, tapi ke Abang kamu pasti akan mengatakannya karena Tuti percaya ke abang.” ujar Bang Juned seakan telah tau isi hati Tuti, dan Tuti pun tertunduk malu apa lagi di samping dirinya ada Mirna istri Bang Juned.

“Gak usah malu Teh, Mirna juga tau kok. Hihihi!!” canda Mirna menggoda Tuti sambil memeluk Tuti dari samping.

“Udah ah. Jangan becanda mulu!” Tuti sedikit cemberut.

“Gini, Tut. Abang udah menyelidiki ini orang dari dulu. Kamu tau siapa dia, kehidupannya serta pekerjaannya?” tanya Bang Juned kemudian.

“Iya, Bang. Tuti tau siapa dia. Tapi dia orang yang sangat berbahaya backing di kepolisian dia banyak. Beberapa kali dia lolos dari penggerebegan!” ujar Tuti menjelaskan.

“Abang tau itu, Tut. Tapi dia itu adalah musuh Abang dan temen Abang. Dia bersama komplotannya selalu berusaha menghancurkan keluarga temen Abang. Dan sekarang Abang akan memberi perhitungan pada dia!! Abang memohon ke kamu Tut supaya kamu mau bantuin Abang, Kamu mau ‘kan?” Pinta Bang Juned. Tuti menatap tajam Bang Juned seakan ingin bertanya, dia tidak mengerti maksud dan tujuan Bang Juned.


“Gini, Tut. Abang hanya meminta kamu agar dia bisa keluar dari persembunyiannya. Selama ini dia selalu luput dari pengejaran Abang. Gimana kamu mau ‘kan bantuin Abang?” ujar Bang juned dengan penuh harap. Tuti tak menjawab malah menoleh pada Mirna, Mirna mengangguk dan tersenyum pada Tuti.

“Baik, Bang. Tuti akan bantuin Abang!” jawab Tuti namun ia sedikit ada keraguan di hatinya. “Tapi..?”

“Kamu gak usah takut, Tut. Abang akan lindungi kamu, selamanya!” ucap Bang Juned dengan mengelus pipi Tuti. Pada saat mengucapkan kata ‘selamanya’ Bang Juned sengaja memberi penekanan agar Tuti mengerti arah pembicaraannya.

“Abang bisa aja. Selamanya dari Hongkong, yang ada malah Tuti dipelototin sama Mirna. Hehehe...” Tuti terkekeh kecil, “Nah, Bang Juned sudah bicara! Sekarang kamu Mir, kamu mau bicara apa?” lanjut Tuti menoleh ke arah Mirna dengan memasang wajah serius.

“Bang...!” Mirna seakan meminta ijin pada suaminya sebelum berbicara.

“Abang hanya mengikuti keinginan kamu, Mir. Abang gak akan memaksa kamu. Kamu tahu ‘kan maksud Abang? Abang tak ingin lagi menyakiti wanita, Mir.” jawab Bang Juned seakan berat untuk mengatakannya.

“Ada apaan, sih? Kok, pada melankolis gini? Lagian Bang Juned lebay amat nggak seperti Bang juned yang kukenal, deh. Hahaha... Malu sama titel, dong?” Tuti menertawakan Bang Juned, tapi tawa Tuti tak merubah rona wajah Juned dan Mirna.

“Lah, kok! Wajahnya, serius amat. Helllooowww... Kalian masih ada di sini! Hahaha...” ujar Tuti terus tertawa sambil melambaikan tangannya di hadapan Juned dan Mirna.

“Teh...!” Mirna tertunduk, kedua tangannya memainkan ujung pakaiannya membuat tawa Tuti berhenti melihat Mirna.


“6 tahun lalu dengan berbekal ijazah SMP, Mirna mencari pekerjaan ke kota ini. Tapi semua sia-sia. Dan pada akhirnya, Mirna mencari uang dengan menjajakan diri. Di saat itu, Mirna mengenal Teteh. Sosok yang selalu melindungi Mirna dari lelaki jalang yang selalu menyiksa Mirna. Meskipun kita hanya seorang PSK, tapi Teteh sangat menyayangi Mirna dan akhirnya Mirna pun menganggap Teteh sebagai Kakak Mirna. Tapi apa balasan Mirna pada Teteh setahun kemudian, Mirna telah menyakiti Teteh. Hiks... Mirna telah merebut hati kekasih Teteh. Hiks...” Mirna menceritakan tentang masa lalunya, namun akhirnya ia tak sanggup melanjutkan perkataannya. Mirna menangis tersedu-sedu lalu disandarkannya kepala Mirna pada bahu Tuti.

“Sudah lah, Mir. Teteh sudah ikhlas, kok. Teteh seneng kamu sudah bahagia dan bisa meninggalkan dunia hitam ini!” ujar Tuti menentramkan Mirna sambil mengusap kepalanya, Bang Juned hanya terdiam memperhatikan mereka.

“Hiks... Karena itu, Teh. Mirna merasa berdosa pada Teteh. Teteh yang selalu baik dan sayang pada Mirna, tetapi justru Mirna tega melakukan semuanya. Hiks...” Dengan suara terisak-isak Mirna melanjutkan perkataannya yang sempat terhenti.

“Mungkin ini jalan nasib Teteh, Mir. Doakan saja Teteh mampu melewatinya.” Tak terasa Tuti pun meneteskan air matanya.

“Tidak, Teh. Mirna akan menebus dosa Mirna ke Teteh!” Mirna pun seketika bangun dari sandarannya, mengusap air matanya dan mulai tersenyum pada Tuti. Lalu Mirna memegang bahu Tuti agar memandang ke arahnya.

“Teh, Mirna sudah memikirkan dan berbicara pada Bang Juned. Dan Mirna pun tahu apa yang ada di hati Bang Juned, dia pasti akan setuju demi Teteh.” lanjut Mirna

Hmmm...! Maksudnya...?” Tuti memandang Mirna dengan penuh tanda tanya.

“Mirna akan melamar Teteh, untuk Bang Juned!” jawab Mirna mantap dengan wajah serius.

“Apa-apaan kamu, Mir? Kamu tuh, seenaknya main lamar Teteh. Hahaha....” Tuti tertawa dingin jauh di hatinya perasaan pedih yang mendalam.

“Teh, aku mohon! Terima lamaran aku ini! Mirna ingin Teteh hidup bahagia dengan kekasih hatinya seperti Mirna.” Mirna terus memaksa dengan suara memelas dan mengiba.

Tuti pun langsung terdiam, kepalanya menunduk terdengar lirih isak tangis dari Tuti. Bang juned pun berdiri dan mendekati mereka lalu memberi tanda agar dirinya menggantikan Mirna duduk di samping Tuti dan Mirna pun berdiri memberi kesempatan pada Juned.

“Tut, Abang gak bisa memohon dan memaksa kamu. Tapi tolong dengarkan perkataan Mirna dan mau menerima lamaranya. Dua tahun ini, hampir setiap malam ketika Abang tidur. Abang selalu mendengarnya menangis dan menyebut nama kamu Tut. Dia merasa berdosa pada kamu. Pernah suatu saat, Abang berkata agar dia melupakanmu karena Abang telah bahagia hidup bersamanya tapi kenyataannya dengan besarnya rasa bersalah pada kamu bikin dia malah menangis makin menjadi. Akhirnya, beberapa bulan lalu dia ingin mencari kamu dan meminang kamu untuk menjadi istri Abang. Abang pun sempat menolak tapi saat Abang lihat diri kamu yang masih seperti dulu Abang putuskan untuk kali ini Abang bersedia menuruti kehendaknya karena di hati Abang masih ada kamu, Tut. Rasanya teriris melihat seseorang yang dulu Abang sayangi hidupnya tak berubah. Jadi Abang mohon, terima pinangan Abang ya? Abang ingin kamu meninggalkan kehidupan seperti ini, meskipun kehidupan Abang seperti ini tapi Abang ingin ngebahagiakan kamu ngebahagiaan Mirna anak-anak Abang. Kamu masih mencintai dan menyayangi Abang ‘kan, Abang tahu kok, ‘kan tadi Abang ngetest Tuti apa Abang masih di hati Tuti dan kenyataanya Abang masih di hati kamu. Hehehe...” ujar Bang juned dengan sedikit tersenyum menentramkan hati Tuti sambil mengusap lembut punggung Tuti. Tubuh Tuti bergetar menahan tangis tak tahu apa yang dirasakan pada hatinya.

“Tapi Tuti gak mau merusak kebahagiaan Mirna, Bang!”

“Teh, tadi denger ‘kan Bang Juned akan melindungi selamanya. Itu bukti bahwa Teteh akan menjadi istri Bang Juned selamanya bersama Mirna. Teteh gak usah takut akan merusak kebahagiaan Mirna, bagi Mirna kebahagiaan Mirna adalah kebahagiaan Bang Juned, anak-anak serta Teteh!!” Mirna pun mendekat dan memeluk mereka berdua.

“Teteh nerima lamaran Mirna ‘kan?” Mirna mencium pipi Tuti, akhirnya Tuti pun menjawab dengan anggukan kepala.

Alhamdulilah, Bang. Teh Tuti udah nerima lamaran Mirna.” ujar Mirna berucap syukur dengan hati lega dan puas. Lalu ia berpesan pada Bang Juned. “Mirna harap bahagiakan juga dia Bang seperti Abang ngebahagiakan Mirna.”

“Pasti, Mir. Abang bakalan ngebahagiakan kalian berdua. Makasih Tut, kamu mau menerima pinangan aku!!” timpal Juned senang dan sedikit terharu.

“Oiya, satu syarat lagi buat Abang…!” ujar Mirna dengan tegas.

“Apaan? Kok, ada syaratnya, Mir?” tanya Juned sedikit bingung.

“Bini Abang udah ada dua sekarang. Jangan pernah, Abang cari bini lagi! Apalagi jajan cewek, awas... kalo gak Mirna potong terong Abang!” ancam Mirna dengan mata melotot sambil meremas selangkangan Juned.

“Ampun, Mir. Satu aja gak abis-abis, sekarang Mirna kasih satu lagi. Untuk layanin kamu, Abang udah kewalahan, apalagi dua bakalan gempor lutut Abang. Hahaha...” ujar Juned dengan pura pura memasang mimik ketakutan sambil terus tertawa dan diikuti tawa Tuti di sela-sela tangisnya.

“Makasih, Mir. Teteh bahagia melihat keikhlasan kamu menerima Teteh jadi istri Bang Juned” ujar Tuti. Dia sudah bisa tersenyum lebar.

“Malam ini adalah malam terakhir bagi Teteh di sini! Untuk selanjutnya, Mirna gak akan maafin Teteh kalo Teteh masih ada di sini!” ancam Mirna serius.

“Makasih, Mir.” jawab Tuti.

“Oiya, Teh.” sambung Mirna bertanya.“Teteh masih ngontrak di tempat dulu?”

“Sudah gak, Mir. Teteh sekarang tinggal mengontrak tak jauh dari sini!”

“Bagus. Kalo begitu, mulai malam ini. Teteh musti tinggal bersama kami, ya ‘kan Bang?”

“Iya. Abang mah ngikut aja, apa kata kamu.” jawab Bang Juned pasrah. “Mir, Tut. Abang mau menelepon seseorang dulu!” Bang Juned pun meninggalkan mereka berdua.

Saat bang Juned pergi menjauhi mereka

“Mir, apa Bang Juned itu takut ama kamu sampe-sampe dia nurutin terus kehendak kamu?” tanya Tuti penasaran.

Hmmm...! Mungkin itu pandangan, Teteh. Padahal, Mirna lah yang takut sama dia. Mirna takut kehilangan suami kayak Bang Juned, meskipun Bang Juned itu seorang berandalan tapi dia mampu menjadi seorang pemimpin bagi Mirna, dia tak pernah melupakan arti tanggung jawab seorang suami dan seorang ayah, Mirna tau di hati Bang Juned masih ada sosok Teteh di sana. Makanya, Mirna juga pengen ngebahagiakannya bersama Teteh. Teteh bisa lihat dia lebih menghargai Teteh ama Mirna, dia memanggil dirinya ‘aku’ dan ke kita memanggil ‘kamu’ padahal tahu sendiri diluaran dia sering ngucapin ‘gue’ ama ‘lu’. Hihihi...” terang Mirna sambil menatap Bang Juned yang sedang berjalan kembali mendekati mereka.

“Iya, sih. Makanya Teteh juga kaget waktu tadi dia memanggil Teteh ‘kamu’.” jawab Tuti membenarkan.

“Dia telah berubah Teh, saat bertemu dengan sahabatnya ini. Makanya, dia mati-matian untuk ngebela sahabatnya ini!” lanjut Mirna tersenyum ketika Bang Juned tiba di meja mereka.

“Kalian ngomongin Abang, ya?” kata Bang Juned saat tiba di hadapan Tuti dan Mirna.

“Yey, Abang Ge-er! Kagak kali!” jawab Mirna bercanda lalu bertanya balik pada Bang Juned. “Udah, Bang nelponnya?”

“Udah. Ayo Tut, Mir. Kita angkut barang-barang kamu ke rumah! Ntar di rumah, kita bahas rencananya!” ajak Juned dan akhirnya mereka pulang tapi sebelumnya mereka singgah terlebih dulu ke kontrakan Tuti untuk mengemasi barang-barangnya karena mulai malam ini Tuti tinggal bersama mereka.







Lanjut ke bawah
 
Terakhir diubah:
Lanjutannya



Di siang hari, dua hari sebelumnya...


Tiga orang laki-laki sedang berada dalam suatu ruangan kerja. Salah satunya sedang duduk di kursi kerjanya sampil menopang kaki ke atas meja dan dua orang lagi berdiri di kiri kanannya.

Kriing...

"Boss, dari kapal menelepon!" ujar lelaki yang berdiri di sebelah kanannya sambil menyodorkan HP padanya.

Lelaki itu lalu menerima HP itu dan menjawabnya.




Tutt...



"Ya." jawab seseorang dengan pakaian perlente layaknya seorang Boss mafia.

"Paket udah merapat Boss. Tinggal nunggu perintah!" sahut suara dari ujung telepon sana.

"Bagus. Lu tinggal laksanakan aja apa yang diperintahkan sama karyawan bea cukai yang memeriksa cargo ‘ntar. Tenang aja, sebagian dari mereka itu orang orang kita. Lu jangan pasang muka mencurigakan Sewajarnya aja!"

"Baik, Boss!" sahut orang dari ujung telepon sana mengerti dengan instruksi yang di dengarnya barusan.

Klik.



Lalu lelaki perlente itu melanjutkan menelepon seseorang.


"Hallo. Barang gue udah sampe. Kalian atur agar lolos dari pemeriksaan! Jangan menunggu lama! Kalian musti kirim tuh barang ke tempat gue!" ujarnya memberikan intruksinya pada seseorang di ujung telepon sana.

"Baik Boss Shenchen! Akan kami atur agar lolos dari pemeriksaan rekan sejawat kami. Tapi..?" jawab seseorang yang di telepon di seberang sana. Ternyata lelaki perlente itu adalah Shenchen orang kedua di kelompok Hendrik atau bisa dibilang tangan kanan paling utama Hendrik.

"Apa...? Lu pada ragu. Oke, gue sekarang langsung kirim orang ke sana bawa uangnya tiga ratus juta rupiah ‘cash’!" potong Shenchen saat lwan bicaranya seakan ragu untuk melaksanakan instruksinya.

"Tidak, Boss. Cuma sekarang, anu Boss. Kalo bisa, Boss lebihkan! Saya mesti menutup mulut atasan baru saya ini!" sahut seseorang dari seberang telepon sana memberikan alasannya.

"Hahaha... Brengsek kalian! Setiap minta nambah pasti alasannya untuk menutup mulut atasan baru! Ok, aku kirim lima ratus juta rupiah ‘cash’. Dan kalian ingat, ‘jika gagal, tak hanya karir kalian yang hancur. Tapi hidup, anak bini kalian jadi taruhannya’. Ingat itu!" shencen menyanggupi dengan memasang wajah dingin

"Bbaik, Boss. Tenang aja, pokoknya semua akan beres dan...!!" jawab orang itu mencoba meyakinkan Shenchen tetapi masih ada kata-kata yang menggantung.




Tiba-tiba...


Kliik



Shenchen menutup telepon sebelah pihak, merasa malas menimpali obrolan mereka.

"Brengsek..! Dasar orang-orang bea cukai nggak tau diri! Mentang-mentang itu daerah kekuasaan mereka seenak jidat meminta nambah upeti. Dartooo..!" Shenchen memanggil anak buahnya.

"Iya, Boss!" Seseorang bertubuh gemuk muncul di hadapan Shenchen.

"Lu tambahin, duit yang ada di kardus indomie jadi lima ratus juta rupiah. Terus, lu antar ke mereka! Ntar sepulang dari sana kawal barang lu simpan di gudang kita di Bekasi.” Shenchen memberikan perintah sekaligus arahannya pada anak buahnya.

"Siap, Boss!" sahut Darto. Tanpa banyak bicara lagi Darto langsung meninggalkan ruangan itu.

"Boss, apa sebaiknya kita lapor ke Boss besar, bahwa barang sudah sampe?" tanya lelaki yang berdiri di sebelah kanan Shenchen.

"Nggak usah, ntar aja! Dia suka seenaknya menyuruh. Aku lagi males, pengen senang-senang dulu malam ini! Kentung. ‘Lu dah ada kabar belum, pesenanku dari si Tuti’!"

"Belum, Boss." jawab lelaki yang berdiri di sebelah kirinya.

"Akh, bosan gue!"



Kriiing...



"Boss. Tuti nelepon!" Kentung menunjukkan HP-nya pada Shenchen.

"Biar aku yang angkat!" Shenchen merebut HP Kentung



“Hallo Bossku..!! Gimana foto yang aku kirim tadi? Apa Bossku mau booking mereka? Mereka itu barang baru! Kasihan lho, mereka lagi butuh uang. Hihihi...” ujar seorang wanita berbicara genit dari ujung telepon sana.

“Hahaha.... Mantap kali! Kamu tau aja, seleraku! Berapa yang aku bayar untuk mereka berdua?”

“Wooow, Bossku. Nggak salah nih! Mahal lho mereka itu!” ujar wanita itukaget bercampur senang dari ujung telepon sana.

“Masalah uang, nggak masalah. Asalkan mereka mau nemenin aku seharian penuh.” Shenchen menjawab santai lewat HP Kentung.

“Yakin nih, Boss! Ntar keteter lho, mereka ini masih muda pasti service-nya oke!” Suara wanita dari ujung telepon sana terdengar centil dan menggoda Shenchen.

“Hahaha… Kamu masih punya obat kuat ‘kan, Yang dulu kamu tawarkan ke aku? Tanya Shenchen pada lawan bicara di ujung telepon sana.

“Iya, masih lah. Aku ‘kan selalu sedia, jikalau ada pelanggan yang membutuhkan itu!” jawab orang itu dari seberang sana.

“Ok. Aku pesan itu! Sekalian, ‘ntar kirimkan mereka ke tempatku!” jawab Shenchen pada lawan bicaranya di telepon.

“Duh, Bossku! Mereka ini bukan gadis sembarangan lho, mereka nggak mau melayani klien kalo di tempat Bossku!! Mereka pengennya melayani Bossku dikost-kostan mereka. Gimana Bossku, mau nggak? Kalo nggak mau, aku tawarin ke yang lainnya nih!”ujar wanita itu sedikit merajuk dengan sedikit mengancam Shenchen untuk menawarkan ke orang lain.



“Di mana itu?” ujar Shenchen bertanya dengan sedikit keraguan di hatinya.

“Tenang aja, Bossku! Aman kok, tempatnya. Di perumahan di perbatasan kota Depok.” Ujar wanita itu mencoba meyakinkan Shenchen yang masih nampak ragu-ragu, lalu wanita itu menyebutkan sebuah perumahan Elite.

“Bentar! Aku tanya dulu!” jawab Shenchen lalu tangannya menutup mikrofon HP-nya dan bertanya pada dua orang di sisinya.



"Kalian tau perumahan **********! Di sana, aman nggak! " Kedua anak buahnya menjawab dengan mengacungkan jempolnya.

“Oke, aku ambil itu! Kirimkan alamatya dan berapa yang musti aku bayar?” tanya shenchen seolah tak sabar ingin memuaskan nafsu birahinya.

“Untuk Bossku. Murah kok, cuma tiga puluh juta rupiah untuk mereka berdua dan aku kasih bonus gratis untuk obat kuatnya.” jawab wanita itu dari ujung telepon sana.

“Baik! Aku transfer sekarang uangnya!” Shenchen menunjuk Kentung dan mengacungkan tiga jari padanya agar membuka laptop mengirim uang pada wanita itu, Kentung yang seolah mengerti lalu membuka laptop melakukan transaksi.

“Makasih Bossku. Kalo dah masuk, aku kirim alamatnya! Dagh... Bossku!” jawab wanita itu lalu menutup teleponnya.


"Dung, Tung. Antar gue ke tempat yang nanti di SMS Si Tuti! Gue mau siap-siap dulu!" Shenchen berdiri lalu keluar meninggalkan ruangan kerjanya.

.

.

.

.

Sore harinya, sebuah mobil Suzuki Katana klasik warna hitam keluaran tahun 1993 dengan nomor polisi B 8OS SCN sedang melaju kencang menyusuri jalan ibukota. Di dalam mobil itu tampak Shenchen sedang duduk santai di kursi belakang mobil sambil menghisap cerutu. Ia tidak sendiri di dalam mobil ini, Shenchen ditemani dua orang anak buahnya Dudung dan Kentung. Dudung pria berkepala plontos dengan tubuh dan lengan cukup kekar sedang fokus menyetir, sedangkan Kentung yang bertubuh cukup tambun namun tinggi sedang duduk di sebelah Shenchen sambil menghisap rokok putih di tangannya.


"Eh, Dung. Masih jauh tempatnya?" ucap Shenchen mulai bersuara.

"Dikit lagi, Boss. Kita sampai." jawab Dudung cepat.


Tidak berselang lama Shenchen berbicara akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.


"Benar. Ini tempatnya?" Shenchen pun bertanya untuk memastikan.

"Iya, Boss. Menurut SMS si Tuti. Ini tempatnya!" jawab Dudung yakin setelah sebelumnya dikabari oleh Tuti lewat SMS.


TTTREEKKKK!!..

BBBRUKKK!!..


Shenchen langsung bergegas turun dari mobil lalu ia berdiri di depan sebuah rumah berukuran sedang yang berposisi di pinggir jalan raya, Shenchen menatap tajam ke arah rumah sambil sesekali ia menghisap cerutu yang ia pegang. Dudung dan Kentung berjalan santai mengawal Boss mereka yaitu, ‘Shenchen’.


"Tung, Ketuk tuh, pagar rumah!" Perintah Shenchen pada anak buahnya yang bertubuh tambun dan sedikit tinggi.

"Baik, Boss!" sahut Kentung sigap.


Kentung pun langsung berjalan menuju depan pagar rumah, dengan kencang ia mengetuk pagar luar rumah.


TTOOKKK...TTRRROKKK..TTRRROOKKK..!!


"Permisi...!" ucap Kentung dengan suara lantang.


TTOOKKK..TTTOOKK....TTOOKKK!!..!!


Tak berselang lama, dari arah dalam rumah. Muncullah seorang wanita muda berparas cantik. Wanita itu berjalan cepat menuju ke arah pagar rumah.

"Om Shenchen, bukan?" tanya wanita itu memastikan.

“Saya anak buahnya.” jawab Kentung cepat lalu ia menunjuk ke belakang. “Itu... Bos Shenchen!”

"Oiya, langsung masuk aja!" ajak wanita itu cepat.

Wanita itu langsung membukakan pintu pagar rumahnya, Shenchen dan kedua anak buahnya langsung masuk ke dalam rumah. Setelah menutup pintu, wanita itu langsung berjalan menyusul Shenchen dari arah belakang.

"Silahkan duduk, Om!" Wanita itu dengan ramah mempersilahkan tamunya.

Shenchen dan dua orang anak buahnya langsung duduk di bangku kayu yang berbeda di depan rumah.

"ooo.. ooo.. oo.. Kamu salah satu wanita yang Tante Tuti, tunjukan ke saya." ucap Shenchen terpesona akan kecantikan wanita di hadapannya.

"Iya, Om."

"Nama kamu, ‘Risti’ ya?" tanya Shenchen.

"Bukan, Om. Nama saya, ‘Nita’, kalau ‘Risti’ itu teman saya." jawab wanita itu. Dia ternyata bernama Nita.

“Oh...!” seru Shenchen, lalu dia bertanya lagi. “Di mana teman kamu itu?”

“Ada, Om. Di dalam!" jawab Nita cepat.

Dudung dan Kentung tampak sedang memandangi tubuh Nita dengan tatapan penuh nafsu.

"Hemm...! Cantik juga kau, Nita." kata Shenchen sambil berdiri dan mengelus dagu Nita.

Tubuh Nita sedikit bergetar saat Shenchen mengusap dagunya, dengan sedikit gugup Nita berusaha menerima perlakuan Shenchen.

"Om, mending kita ke dalam!" kata Nita pelan.

“Hemm...! Oke.” Jawab Shenchen cepat lalu memerintahkan anak buahnya berjaga di luar rumah. “Dung, Tung. Kalian jaga di luar!”

Dudung dan Kentung hanya mengangguk pelan, setelah itu Shenchen dan Nita langsung masuk ke dalam rumah.
.
.
.
.

"Silahkan duduk, Om!" Nita mempersilahkan Shenchen duduk di kursi tamu.

"Oke, makasih." sahut Shenchen sambil duduk di kursi tamu itu.

“Mau minum apa, Om?” Nita menawarkan minuman buat tamunya.“Sekalian saya mau manggil teman saya!”

"Air putih, saja." sahut Shenchen.

"Oke, Om." Nita langsung membalikkan badan lalu ia berjalan masuk ke dalam ruangan tengah rumah.


Shenchen sangat menyukai susana dalam rumah ini walaupun terlihat sangat sederhana. Saat Shenchen sedang menatap ke sekeliling dalam rumah terlihat dari arah dalam rumah muncul seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh dua tahun, berparas cantik dan seperti ada darah keturunan bule, dengan postur tubuh tinggi semampai, sedang berjalan mengarah ke Shenchen dan langsung duduk persis di sebelahnya.


"Siang, Om." sapa wanita itu ramah sambil tersenyum manis ke arah Shenchen.

Beautiful Girl.” ucap Shenchen berdecak kagum pada wanita di hadapannya saat ini. Kamu ‘kan, yang namanya Risti?”

"Thanks, Om. Iya, Om." jawab wanita itu yang ternyata bernama Risti.

"Umur berapa kamu?" tanya Shenchen.

"Baru dua puluh dua, Om." jawab Risti.

"Woww... Masih fresh graduate." ucap Shenchen senang.

"Hihihi... Buah kali, Om." Kekeh Risti bercanda.

"Peribahasa. Hahaha...” Shenchen tertawa lebar sambil mencolek pinggang Risti.

"Hahaha... Si Om, belum apa-apa udah colek-colek aja." Risti tertawa centil di hadapan tamunya.

“Habis ini, nih!” Tangan Shenchen mulai meraba payudara sebelah kiri Risti. “Bikin gua tergoda buat diremas.”

"Aww... Geli, Om!" seru Risti merasa kegelian saat payudaranya diremas kasar Shenchen.

"Geli, apa enak? Hahaha." tanya Shenchen tertawa lebar.


Saat Shenchen dan Risti sedang bercanda mesra, Nita tampak sedang berjalan pelan sambil membawa segelas air putih, namun kali ini Nita sudah berganti pakaian seolah ia sudah mengerti apa yang akan terjadi setelah ini, Nita mengenakan sebuah tengtop berwarna hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih lalu dengan bawahan hanya mengenakan celana pendek berbahan tipis.

Ehemm....!” Nita Berdehem ketika melihat tangan nakal Shenchen sudah mulai menggerepe tubuh Risti temannya. “Pada mesum duluan nih, enggak ajak-ajak Nita!" Nita lalu menaruh gelas itu di atas meja.

"Hahaha... Kamu enggak, ketinggalan acara kok. Saya belum nyuruh mulai." sahut Shenchen.

Nita langsung duduk di sebelah kanan Shenchen berlawanan dengan posisi Risti.

"Huhh... Nikmatnya! Diapit oleh daun muda." ujar Shenchen girang.

“Hahaha...” Risti tertawa melihat tingkah Shenchen. “Si Om belom apa-apa udah nikmat aja, sekarang Risti buat Om bakal terbang ke langit ke tujuh.” Risti pun mulai meraba selangkangan Shenchen.

"Ssssshhh.... Aaaahh...." Shenchen sedikit mendesah ketika tangan Risti mulai membelai alat vitalnya.

"Nita bikin Om lemes, ya." Bisik Nita di telinga Shenchen, dengan lembut Nita mencium leher Shenchen.

"Sssshhh... Ssshhh... Aaahhh..." Shenchen mulai terangsang karena mendapatkan rangsangan awal dari dua orang wanita yang sedang meraba tubuhnya.

“Om. Punya Om udah bangun aja, nihh...! Risti jadi penasaran.” Bisik Risti sambil terus meraba penis Shenchen yang mulai mengeras di balik sempak dan celana yang masih ia kenakan.

"Ssshhh...” Desah Shenchen yang mulai terangsang. “Buukaa aajaa beeiieb.. Oh...!”

Risti langsung bangkit dan berputar, posisinya kini jongkok menghadap Shenchen. Dengan lembut ia membuka ikat pinggang dan menurunkan celana panjang yang Shenchen kenakan.

"Ssshhh... Om, Nita buka ya, bajunya!" Bisik Nita dengan nada suara mendesah.

“Lakukan, girls!” ujar Shenchen sudah terbakar nafsu.

Nita pun langsung membuka kancing kemeja yang Shenchen kenakan satu persatu, sedangkan Risti kini tampak sedang meraba-raba penis Shenchen yang sudah mengacung keras di hadapannya.

"Yang sabar ya, Om!" ujar Risti memberitahu lalu sesaat kemudian Risti mulai menghisap penis Shenchen dengan lahap.



“Sluurrpphh... Sluurrpphh... Sluurrpphh...”


Risti sangat bersemangat menghisap penis Shenchen hingga suara hisapan cukup keras terdengar.


"Owhhh... Ahh...." Shenchen kini sudah tidak bisa menahan rasa nikmat yang kini menyerang di sekitar alat vitalnya.

"Terus, girls! Ohhh...!" Seru Shenchen dengan suara mendesah kenikmatan.


Nita yang dari tadi hanya memberikan rangsangan ringan pada area leher Shenchen, kini mulai berpindah posisi. Dia memalingkan wajah Shenchen menghadap ke arah wajahnya.

"Adu lidah yuk, Om!" ujar Nita.

"Boleh!" sahut Shenchen singkat.

Nita pun langsung melumat habis bibir Shenchen, kini lidah mereka saling bertemu dan beradu mesra seolah tak ada yang mau mengalah, seiring pergelutan lidah yang Nita lakukan ia menuntun tamgan Shenchen untuk meraba payudara yang menyembul menantang di balik tangtop yang ia kenakan.

Sluurrpphh... Ploopp... Sluurrpphh... Sluurrpphh...

Risti dengan liarnya menghisap batang penis Shenchen, yang sudah basah dengan air liurnya.

"Sssshhh... Ahhh.... Sssshhh... Ahhh...!" Shenchen merasakan gelombang kenikmatan terasa di sekujur tubuhnya.

"Owwhh Ristii, udah dulu! Tahan...!" ujar Shenchen sambil mendorong pelan kepala Risti karena ia merasa sesuatu kenikmatan akan keluar.

Risti kini terdiam sambil tersenyum manis ke arah Shenchen.

"Kalian berdua, sekarang berdiri di depan saya!" kata Shenchen memerintah.

Risti dan Nita langsung berdiri di depan Shenchen.

"Huftt..! Kalian bisa, live lesbian!" Pinta Shenchen pada Nita dan Risti.

“Om mau, kita lesbi?” tanya Risti memastikan.

"Yupzz...!" sahut Shenchen singkat.

"Siapa takut?" jawab Nita yang langsung mendekap dan melumat bibir Risti.

Risti pun tak canggung berciuman dengan Nita karena bukan kali ini saja mereka melakukan pertunjukan Lesbi. Kedua mata mereka terpejam, bibir mereka saling melumat dan menyatu. Rabaan erotis saling mereka lakukan pada tubuh masing-masing.

Shenchen yang sedang duduk, tampak puas melihat pemandangan yang ada di hadapannya ini.

“Sluurrpphh... Muuachh... Sluurrpphh... Ssshhh... Aahhh...”

Nita dan Risti kini semakin membara melakukan kissing, perlahan Nita mulai melucuti pakaian yang Risti kenakan. Hingga kini tubuh Risti tak tertutupi oleh satu helai benang pun, ter-ekspose lah tubuh Risti yang sangat menggairahkan. Kulitnya yang sangat putih dan mulus, kedua payudara yang berukuran sedang dengan puting berwarna pink menggantung bebas. Dan tampak vagina yang cukup mulus tampa ditumbuhi bulu bergesekan lembut dengan paha Nita.

“Ssshhh... Aaahhhh... Oowwhh... Ssshhh... Aaahhhh... Aaahhhh... Aaahhh...”

Risti mendesah nikmat saat Nita meraba payudaranya lalu mengusap lembut vagina-nya.

“Ooohh.. Yesss...! Oooh.. Yesss...! Fuck me... Oh... Oh... Ohhhhh...!” Desahan Risti kini tak terbendung lagi, karana ia merasa mencapai titik orgasme setelah Nita beberapa menit melakukan penetrasi di vaginanya.

"Enak, sayang?" ucap Nita sambil meraba payudara Risti.

"Hossh... Uuhh...! Enak, sayangg." jawab Risti dengan tatapan mata sayu karena sudah terbakar nafsu birahi.

Risti perlahan melepaskan pelukan tubuh Nita, lalu ia berjalan menghampiri Shenchen.

"Om...! Ssshhh... Aaahhh... Sodok memek Risti, Om. Owhh... Gatel banget nih, udah enggak kuat!" desis Risti sambil membelai lembut Penis Shenchen yang sudah mengacung keras.

“Hehehe...” kekeh Shenchen menggoda Risti. “Sudah enggak tahan, cantik.”

"Ssshhh... Aaahhh...! Iya, Om!" Tubuh Risti tampak gelisah dengan mata yang sayu menahan birahinya yang sudah tinggi.

"Eh, Om. Sebelum main, nih Om! Minum pil ini, dulu!" timpal Nita sambil menyerahkan sebuah pil berwarna hitam kepada Shenchen.

“Pil, tombak Papua.” Seru Shenchen setelah melihat pil itu. “Dapet dari mana kamu?” Shenchen tersenyum jahil kepada Nita.

"Ada deh. Pokoknya. Tuh punya Om, bakal kaya tombak deh!" jawab Nita centil.

"Hahaha...” Shenchen tertawa lebar. “Sudah tau saya. Pasti dari si Tuti, ya!”

Shenchen langsung menegak pil yang diberikan Nita kepadanya, setelah melihat Shenchen menaruh gelas berisi air putih di atas meja. Dengan cepat Risti langsung melompat ke pangkuan Shenchen dan mengarahkan penis Shenchen ke lubang Vagina-nya yang sudah becek dan licin oleh cairan kenikmatan.

“Plakkkk...” Shenchen menepuk keras pantat Risti.

“Oww...!” desah Shenchen. “Ganas sekali, kau Risti.”

"Owwwhh...! Yess." Risti mendesah keenakan saat penis Shenchen bergesekan dengan lubang Vagina-nya.

"Game play, girls." kata Shenchen.

Dengan hentakan pelan, Shenchen memasukan panisnya ke dalam Vagina Risti.

"Oww... Aahhh...! Yess. Aahh... Owhhh...!" Risti mengerang keenakan saat penis Shenchen yang mulai perlahan mengeras dan sedikit memanjang dari ukuran aslinya, masuk ke dalam lubang Vagina-nya.

Shenchen langsung menggerakkan pingulnya ke atas dan ke bawah dengan cepat.

“Ohhhhh... Ohhhhh... Ohhhhh... Ohhhhh... Yess, fuck me... Ohhh... Yesss...!”

PLLAAKKKK... PPLLOOKK... PPLLAAKK... PPPLLOOKKK...

Suara paha Shenchen dan paha Risti terdengar cukup kencang, Shenchen sangat menikmati posisi bersenggama seperti ini, seiring penisnya keluar masuk lubang Vagina Risti, Shenchen menghisap lembut kedua puting payudara Risti yang bergoyang bebas di hadapannya.

“Ohhh... Ohhh.. yess... Ohhh... Omm... penis om... enak... Ohhh... yess... Ohh... Aduhh... Ohhh.. Ohhh...”

Saat Shenchen dan Risti sedang bercinta dengan hebatnya, di hadapan mereka terlihat Nita kini sedang duduk mengangkang sambil menggesek Vagina-nya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, Nita kini sudah telanjang bulat.

"Ohh yyeesss Girls, ohh yess Nikmat memek kamu." seru Shenchen keenakan matanya merem melek menikmati persetubuhan itu.

"Ohh omm... Percepat sodokannya, Risti mau sampai lagi. Ohhhhhh..." Erang Risti keenakan, ia merasa akan mendapat titik orgasme kedua kalinya.

"Oke, sayang!" sahut Shenchen.

Shenchen langsung mempercepat genjotannya, tubuh Risti kini berguncang hebat seiring dengan genjotan yang Shenchen lakukan.

"Owwhhh aahhhhhhhh, ahh ahhhh."

Tubuh Risti langsung bergetar kencang saat ia mendapat orgasme yang kedua.

"Owhh becek banget sayang, muuachhh." ucap Shenchen sambil melumat bibir Risti.

Merasa bosan dengan posisi saat ini, Shenchen mendorong tubuh Risti dengan lembut, lalu ia memutar tubuh Risti membelakangi dirinya.

"Doggy style, bebb." ujar Shenchen.

Risti langsung menunggingkan pantatnya ke arah Shenchen. Shenchen makin bernafsu saat melihat Risti dalam posisi doggy style, dengan cepat ia memasukan kembali penisnya ke dalam Vagina Risti.

"Owhh... Omm... Ahhhhh...!" Erang Risti keenakan.

PLOKK...PPLLLAAKK..PPLLLOOKK...PPLLOOKK..PPLLOOKKK..

“ohh..ohhh..ohhh..uuhh..aahh...ohh..aahh..ahh...yeess..ohh.ohh”

Risti melenguh keenakan, Shenchen menggenjot Vagina Risti dengan memainkan ritme terkadang pelan dan terkadang ia mencepat gerakannya.

"Ohhhhhh...oommm...Riiisstii..engga..kuattt." Erang Risti keenakan dan ia kini merasa akan mendapat titik orgasme ketiga kalinya.

"Ohhh fuck enak banget Risti. Ahhh...!" ucap Shenchen.

"Aaaaaaa...ohhh..ohh..oohhh!!."

Tubuh Risti bergetar hebat saat ia mencapai titik orgasme ketiga kalinya, tubuh Risti langsung ambruk ke lantai rumah, ia sudah merasa tak sanggup lagi melayani permainan penis Shenchen yang membuat Vagina-nya kualahan.

"Oshh..hhhooss..Om sumpah Risti nyerah, nggak sanggup lagi disodok sama penis om yang keras." ucap Risti sambil berbaring di lantai rumah.

“Hahaha...” Shenchen tertawa puas. Padahal saya belum apa-apa, beb."

"Tapi saya-nya yang nyerah Om." sahut Risti sambil sekarang mengatur nafasnya yang terengah-engah.

“Hahaha...” Sekali lagi Shenchen tertawa girang. “Mantap kali, pil tombak papua ini.”

Dari arah bangku sebelah kiri terlihat Nita sedang berjalan menghampiri Shenchen.

"Puasin Nita juga dong, Om." ucap Nita sambil mengocok pelan penis Shenchen.

"Kamu mau juga, di buat tepar." sahut Shenchen.

"Ssshhh... Mau Om." jawab Nita sambil mengelus lembut tubuh Shenchen.

"Oke.. mmmuaachhh..." Shenchen langsung melumat habis bibir Nita dengan gerakan cepat.

“Sluurrpphh... Mmuuach... Sluurrpphh... Sluurrpphh...”.

Lidah Shenchen dan Nita kini salang beradu, mereka saling menghisap dan melumat dengan gerakan cepat.

"Ssshhh... Om... Main di kamar, yuk!" Ajak Nita manja.

"Hemm...! Boleh, yuk!" sahut Shenchen sambil meraba payudara Nita.

Shenchen dan Nita langsung berjalan menuju ke ruangan kamar yang berada di sisi kiri rumah, setelah mereka masuk dan menutup pintu kamar, Shenchen langsung menarik tangan Nita dan merebahkan tubuh Nita di atas kasur.

"Omm... Jilatin memek nita, dong!" Pinta Nita sambil mengangkang, hingga Vagina miliknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus terlihat jelas oleh Shenchen.

Tanpa mejawab Shenchen langsung melumat habis Vagina Nita yang sedikit basah oleh cairan kenikmatan wanita.

“Sluurrpphh... Sluurrpphh... Sluurrpphh...”

“Ohh, yess! Ohh, ya..! Jilat, Om... Ohh, yes..!” Nita mengerang keenakan saat lidah Shenchen melumat habis area vaginanya.

"Ssshhh... Ahhhhh... Ommmmm... Aaahh... Oohhh... Aaahhhhh...." Tubuh Nita bergeliat karena merasakan sensasi nikmat di area Vaginanya.

"Ohh, ya Omm. Di situhh..! Ohhh, yess Om. Clitoris-nya Ahh...! Enak. Ahh... Gatel. Ohh...!" Nita mengerang kenakan saat Shenchen menjilat bagian clitoris Vaginanya.

"Ahh... Omm... Nita pengen keluar!" ujar Nita merasa ia akan mendapat orgasme yang pertama.

Dengan cepat Shenchen menghentikan aksinya, lalu ia memasukan tiga jari ke dalam Vagina Nita lalu ia mengocoknya dengan cepat.

"Aaahhh... Ohhh... Ommm... Ahhh..." Tubuh Nita bergetar, cairan squirt cukup banyak keluar membasahi tangan dan seprei tempat tidur.

"Kamu sangat nafsuin Nita." kata Shenchen dengan senyum mesumnya.

Dengan gerakan pelan Shenchen naik ke atas kasur, ia membuka lebar paha Nita, dan dengan lembut ia mengesekan batang penis miliknya dengan Vagina Nita.

"Ohh, yesss Omm... ! Ohhh... Masukin aja, Om! Udah gatel." ujar Nita dengan tatapan wajah sayu.

Dengan hentakan pelan Shenchen memasukan penisnya ke dalam Vagina Nita yang sudah elastis dan licin dengan cairan kenikmatan.

"Owwhhh...!" Erang Nita saat penis Shenchen masuk seutuhnya di dalam Vaginanya.

"Uhh...! Legit banget, vagina kamu." ucap Shenchen saat merasakan rapatnya vagina Nita.

Shenchen mulai memaju mundurkan pinggulnya, dan kini penis miliknya sedang keluar masuk Vagina Nita, Nita terlihat memejamkan matanya dan ia mengigit bibir pelan bagian bawahnya.


"Ohh.. Ohh.. Owwhh.. yess! Ahhh... Ahhh...!" Desah Nita keenakan dengan mata merem melek.

"Ohh, gila legit. Ahhhh....!" Erang Shenchen keenakan karena batang penisnya terasa dihimpit oleh dinding dalam Vagina Nita.

Shenchen mempercepat sodokan penisnya ke liang Vagina Nita, kedua payudara nita yang berukuran cukup sedang dengan puting berwarna coklat bergoyang cepat mengikuti goyangan tubuh Nita.

"Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh..." Nita berteriak keenakan.

"Owww yess fuck girls, yess ohhh." Ucap Shenchen.

Cukup lama mereka tercinta dengan posisi seperti ini, dan saat Shenchen makin mempercepat sodokan nya, terasa sebuah rasa Nikmat akan keluar dari penis nya.

"Oww... yess! Ohhh... Nitaa... Om mau keluar....!" ucap Shenchen yang akan merasakan penisnya akan meledak.

"Ohh...! Iya, Om. Nita juga mau keluar!" sahut Nita yang juga ingin merasakan orgasmenya.

Dengan cepat Shenchen langsung menggenjot Vagina Nita, dan tak berselang lama cairan sperma akan keluar dari penisnya.

"Aaahhh...! Nitaaaa!!."

CCRRRROOTT..CCRROOTT...CCRROOTT!!.

"Ahhhhhh....!"

Tubuh Shenchen bergetar hebat, sekitar 4 kali ia menyemburkan cairan seperma di dalam Vagina Nita. Nita tampak lemas, ia hanya bisa berbaring, mengatur nafasnya yang tersengal-segal. Shenchen langsung ambruk di sebelah Nita, ia merasa sangat lelah sekali walau pun ia hanya baru sekali bermain dengan Nita.

"Hosshh... Hosshh... Nita, gilaa... Om cuma kuat main sekali sama kamu, memek kamu legit banget dan efek obatnya kayaknya udah habis nih!" ucap Shenchen lemas.

"Ssshhh... Udahh Omm... Sekali juga udah tepar Nita." sahut Nita yang kini terbaring lemas di atas ranjang.

Tubuh Shenchen sangat terasa lemas, keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya, pandangan mata Shenchen mulai merabun, ia sangat merasa kelelahan saat ini, perlahan ia mulai menutup kedua bola matanya dan tertidur pulas.




lanjut ke bawah
 
Terakhir diubah:
Lanjutannya




Siang hari sebelum kejadian di rumah Bang Juned. Juned sedang duduk berdua dengan Tuti di sofa panjang ruang tamu.

“Bang, makasih ya! Udah mau menerima Tuti jadi bini Abang.” Tuti menyandarkan tubuhnya pada Juned.

“Aku nggak akan meninggalkan kamu lagi, Tut. Dari dulu Abang sayang sama kamu.” Juned merangkul tubuh Tuti.

“Tuti pasti akan jadi bini yang baik untuk Abang.” Disandarkan kepalanya ke pundak Juned.

“Eheem...” Tiba-tiba ada suara berdehem. “Duh yang lagi mesra-mesraan, sampe lupa ama bini lama.” Mirna tiba-tiba muncul sambil membawa minuman untuk suaminya.

“Sini Mir, duduk di sini!” Juned menepuk sofa di sebelahnya, lalu Mirna pun duduk menyandar di tubuh Juned sehingga Juned terapit oleh Tuti dan Mirna.

“Abang janji nggak akan menyia-nyiakan kalian dan janji akan membahagiakan kalian berdua!” Juned memeluk tubuh Mirna dan Tuti.

“Eh, Bang. Tadi mau ngomongin bantuan Tuti, emang apaan sih??” tanya Tuti penasaran.

“Itu, Abang mau menangkap si Shenchen. Karena dia itu sangat licin, makanya Abang minta bantuan kamu.” jawab Juned menjelaskan maksudnya meminta bantuan Tuti.

“Maksud Abang?” Tuti bangkit dari dari sandarannya.

“Tut, apa kamu mendapat pesanan gadis dari si Shenchen ini? Abang akan menjebak dia saat sedang mengumbar nafsunya pada gadis yang dipesannya saat dia lengah Abang akan menangkap dia.” lanjut Juned menjelaskan rencananya.

“Dua hari yang lalu dia sempat menelepon Tuti, dia minta dicarikan gadis yang belum pernah melayani dia!!” ujar Tuti lalu meneguk air yang disuguhkan Mirna. “Tuti tau maksud Abang dan sebentar Tuti mau nelepon dulu!!”



“Hallo, Nit. Ada orderan buat kamu, apa kamu mau ambil?”

“Hallo, Mih. Kebetulan nih, Nita lagi pusing buat bayar semesteran. Nita ambil deh, kalo dia mau dilayani Nita! Oiya, Mih. Kebetulan Nita punya temen nih yang lagi butuh duit buat berobat suaminya. Namanya ‘Risti’ bisa Mamih carikan job buat dia?”

“Hmmm... Coba kamu kirimkan fotonya biar Mamih tawarin!”

“Oke, Mih. Nita kirim deh, fotonya. Ntar kabarin Nita ya, Mih??”

“Oke.”


kliik


“Siapa yang Teteh, hubungin tadi?” tanya Mirna.

“Sepupu aku, Mir. Dia selalu minta job buat kuliahnya!” jawab Tuti dingin.

“Tut, apa kamu gak malu mengajak sepupu kamu?” tanya Juned keheranan.

“Untuk kita, kenapa musti malu? Semua ini hanya demi meraih cita-cita agar bisa merubah nasib meskipun harus menjual harga diri, Abang pasti nggak akan mengerti karena nggak mengalami ini semua. Hanya aku dan Mirna sudah mengalami semuanya, Bang. Mirna yang sudah lebih dulu mendapatkan apa yang dicita-citakan dan sekarang mungkin giliran aku, Bang!!” jawab Tuti tersenyum manis.


Cliiing… Bunyi HP Tuti menerima pesan lalu Tuti tersenyum setelah membuka pesan itu. Lalu dikirimkan kembali pesan itu pada seseorang.


“Siapa, Teh?” tanya Mirna.

“Nita. Dia mengirim foto temannya. Aku rasa si Shenchen bakalan tertarik. Sudah aku kirim ke dia, bentar aku menelepon dulu! Sssttt...! Kalian jangan berisik, ya!” jawab Tuti tersenyum pada Mirna sambil mengacungkan telunjuk di depan bibirnya.

Lalu Tuti menelepon dan menekan tombol loud speaker-nya agar terdengar oleh Juned dan Mirna.


“Hallo, Bossku..!! Gimana foto yang aku kirim tadi, apa Bossku mau booking mereka, mereka itu barang baru, kasihan lho mereka lagi butuh uang hihi??” ujar Tuti berbicara genit dengan seseorang.

“Hahaha... Mantap kali, kamu tau aja selera aku!! berapa yang aku bayar untuk mereka berdua??”

“Wooow... Bossku! Nggak salah nih, mahal lho mereka itu!” Tuti mengerlingkan mata pada Juned.

“Masalah uang gak masalah, asalkan mereka mau nemenin aku seharian penuh” jawab orang itu dari ujung sana.

“Yakin nih, Boss! Ntar keteter lho, mereka ini masih muda! Pasti servicenya, oke!!”

“Hahaha… Kamu masih punya obat kuat ‘kan yang dulu kamu tawarkan ke aku? Tanyanya dari ujung telepon sana.

“Iya, masi lah. Aku ‘kan selalu sedia jikalau ada pelanggan yang membutuhkan itu!”

“Ok, aku pesan itu sekalian! Ntar kirimkan itu sekalian dengan mereka ke tempatku!” jawabnya, mendengar itu Bang Juned menyilangkan tangannya dan menggelengkan kepalanya agar jangan mengikuti kemauan dia. Tuti menganguk dan mengerti maksud Bang Juned.

“Duh, Bossku! Mereka ini bukan gadis sembarangan lho, mereka nggak mau melayani klien kalo di tempat Bossku! Mereka pengennya melayani Bossku di kost-an mereka. Gimana Bossku mau nggak, kalo nggak aku tawarin ke yang lainnya nih?” Tuti sedikit merajuk dengan sedikit mengancam.

“Di mana itu?” tanya orang itu sedikit terdengar ragu-ragu.

“Tenang aja, Bossku. Aman kok, tempatnya. Di perumahan di perbatasan kota Depok.” Tuti lalu menyebutkan suatu perumahan Elite.

“Bentar aku tanya dulu!” jawabnya.




Beberapa detik kemudian...

“Oke, aku ambil itu! Kirimkan alamatnya dan berapa yang musti aku bayar?” Orang itu berbicara dengan tegas dari ujung telepon sana.

“Untuk Bossku. Murah kok, coma 30jt untuk mereka berdua dan aku kasih bonus gratis untuk obat kuatnya.” sahut Tuti sambil menoleh pada Juned dan Juned mengacungkan jempolnya pada Tuti.

“Baik, aku transfer uangnya.”

“Makasih Bossku, kalo dah masuk aku kirim alamatnya..! Dag Bossku!” ujar Tuti lalu menutup teleponnya.


“Gimana, Bang?” tanya Tuti.

“Bener-bener hebat untuk calon bini Abang ini!” puji Juned.

“Siapa dulu dong, Teteh Tuti? Hahaha...” canda Mirna sambil tertawa lebar.

“Oke, Tut. Sekarang kamu hubungi Nita beserta temannya supaya ke rumah Abang dulu, untuk menceritakan rencana selanjutnya!” Juned meminta Tuti untuk menghubungi Nita dan temannya untuk menjalankan rencana mereka.

“Ok, Bang. Aku telepon Nita dulu!” ujar Tuti tanggap.




“Hallo Nit. Oke, klien Teteh mau ama kalian berdua.”

“Maksud Teteh?”

“Yah dia ingin dilayani ama kalian berdua, apa temen kamu keberatan?”

“Ooo... Bentar Teh, aku tanya Risti dulu?” Beberapa saat terdengar Nita berbicara dengan seseorang di balik telepon.

“Oke, Teh. Dia mau katanya.”

“Baik, kalo gitu sejam lagi kamu datang ke alamat yang Teteh kirim, Teteh mau cerita sesuatu dulu ama kalian berdua! lanjut Tuti menjelaskan pada Nita.

“Cerita apaan?”

“Ntar, Teteh certain di sini!”

“Oke, deh. Kirim alamatnya Teh!”

Lalu Tuti menutup telepon dan lalu mengirimkan alamat rumah Bang Juned.


Tuti menutup telepon, lalu mengirimkan alamat rumah bang Juned.

“Gimana, Tut?” tanya Juned.


“Sukses, Bang!!” jawab Tuti singkat.

“Bagus kalo gitu. Bentar Abang mau keluar dulu!” Bang Juned langsung meninggalkan mereka berdua.

“Teh, apa mereka bisa dipercaya?” tanya Mirna.

“Kamu nggak usah khawatir, Mir. Nita, anaknya baik. Dia tak sembarangan menjual dirinya. Jadi Teteh juga yakin, dia nggak akan membocorkan rencana ini.” jawab Tuti meyakinkan Mirna tentang sosok Nita sepupunya itu.

“Ya sudah, kalo gitu kita tunggu mereka.” ujar Mirna selanjutnya.

“Mir, anak kamu pada ke mana?” tanya Tuti setelah tidak melihat kedua anak Mirna. “Kok, dari tadi nggak keliatan?”

“Hihihi... Lagi dititipin ke orang tua Bang Juned.” Kekeh Mirna saat menjawab pertanyaan Tuti barusan. “Kan, Mirna musti ketemu Teteh di tempat tadi. Masa bawa anak ke sana!”

“Hihihi... Iya juga sih.” sahut Tuti ikutan terkekeh. “Mir, makasih ya! Udah mau nerima teteh!”

“Alaaah... Nggak usah dipikirin.” jawab Mirna santai. “Yang jelas, Mirna bahagia. Kalo Teteh juga bahagia!”

“Iya, deh. Dan Teteh juga bahagia kalo Mirna bahagia.” Tuti pun memeluk Mirna.

Akhirnya mereka pun mengobrol dan tertawa membahas masa lalu mereka yang kelam.



Beberapa jam kemudian....


Ketika mereka bertiga sedang bersantap siang bersama, terdengar suara orang sedang mengetuk pintu.

Tok.. Tok... Tok...

“Tunggu bentar!” sahut Bang Juned dari dalam. “Tut, buka pintu! Pasti itu mereka.”

“Iya, Bang!” Tuti pun beranjak membukakan pintu depan.


“Teteh…!” seru seseorang ketika pintu itu terbuka. Orang itu ternyata Nita bersama temannya. Dia langsung memeluk dan bercipika-cipiki pada Tuti.

“Kok, Teteh di sini sih?” tanya Nita kaget. “Emang ini rumah siapa?”

“Masuk, Nit. Ajak teman kamu juga!” ajak Tuti saat melihat wanita di belakang Nita.


Akhirnya mereka pun masuk dan duduk di sofa tamu.

“Nit, Teteh sekarang tinggal di sini, di rumah calon suami teteh!” terang Tuti menjelaskan pada Nita.

“Ahhhh....! Teteh mau menikah? Akhirnya, Teteh menikah juga. ‘Selamat dong’. Nita seneng dengernya, jadi kapan teteh akan menikah?” Nita antusias mendengar pernyataan Tuti yang akan menikah.

“Kamu ini, kebiasaan.” sahut Tuti setelah mendengar perkataan Nita barusan. Kenalin dulu, kek. Temennya, ke Teteh!”

“Oiya ding, hampir lupa. Ris, kenalin. Nih, Teteh aku! Namanya, ‘Teh Tuti’. Dia sepupuku dari kampung. Teh, kenalin. Ini ‘Risti’. Dia temen kuliahku tapi dia udah kawin ama pacarnya soalnya udah ngebet pegen dikelonin. Hihihi...” Nita mencoba mengenalkan Tuti pada Risti.

“Kamu akh, bikin Risti malu!” Seketika wajah gadis itu berubah menjadi merah merona.

Eheem...!” Bang juned muncul diikuti Mirna di belakangnya yang sedang membawa nampan.

“Eh, kenalin. Ini, ‘Bang Juned’ calon suami Teteh!” Tuti mengenalkan Juned pada Nita sebagai calon suaminya.

“Nita.” ujar Nita mengenalkan diri dengan menyodorkan tangannya diikuti oleh Risti.

“Nah, ini ‘Teh Mira’ istri Bang Juned!” lanjut Tuti mengenalkan Mirna pada Nita dan Risti.

“Maksud Teteh?” Nita bingung dengan perkataan Tuti barusan.

“Iya. Ini, ‘Mirna’ Istri tua Bang Juned dan Teteh ‘ntar yang bakalan jadi istri mudanya.” terang Tuti tanpa malu menerangkan statusnya nanti.

“Kamu bukan istri muda. Bagi Abang, nggak ada istilah istri muda dan tua kalian itu semua istri Abang. Abang nggak suka ngedengernya, Tut!” Juned langsung menyahuti perkataan Tuti. Dia menolak pernyataan Tuti barusan.

“Maaf, Bang!” Tuti pun menyadari kesalahan yang diucapkannya. Nita dan Risti hanya bisa diam.

“Sudah! Jangan merengut gitu! Abang nggak marah, cuma Abang risih denger istilah, ‘istri muda dan istri tua’. Kok, kamu jadi sedih?”Bang Juned mencoba menghibur Tuti setelah melihat Tuti bermuram wajahnya.

“Iya, Teh. Jangan murung, dong! Maafin Mirna karena lupa ngasih tau ke Teteh!” Tuti pun mencoba tersenyum.

“Ayo duduk, aku ingin bicara ke kalian berdua!” ujar Tuti pada Nita dan Risti

“Nit, sebelumnya Teteh minta maaf ke kamu. Karena Teteh, kamu menjadi wanita panggilan.” Tuti sejenak menarik nafasnya.

“Nggak, Teh. Malahan, Nita ucapin terimakasih ke Teteh yang terus ngebantu dan mengingatkan Nita. Kalo nggak ada Teteh, mungkin Nita nggak akan bisa meneruskan kuliah!” jawab Nita.

“Nit, Teteh akan meninggalkan profesi ini. Dan ini adalah yang terakhirnya Teteh menjadi Mamih bagi kamu. Teteh ingin hidup normal seperi wanita umumnya yang berbakti pada suaminya. Tapi sebelum Teteh mengakhiri semua ini, Teteh mau meminta bantuan kamu dan teman kamu ini, Teteh harap kamu mau menerimanya!” ujar Tuti mengawali pembicaraan serius.

“Teh, Nita pun ingin memberitahukan sesuatu pada Teteh. Bahwa kali ini adalah kali terakhir Nita jadi wanita panggilan. Sama seperti Teteh, Nita pun sudah jenuh Teh dengan semua ini. Alhamdulillah, Teh. Nita sudah ada panggilan kerja di suatu perusahaan Custumer Goods terbesar di Indonesia. Tap,i Nita butuh uang untuk membereskan admistrasi kuliah agar ijazah Nita cepet keluar” jelas Nita.

“Begitu juga Risti, Teh. Risti pun nggak akan melakukan ini jika bukan karena terpaksa. Suami Risti butuh biaya pengobatan operasinya, makanya Risti memberanikan diri menjual diri!” papar Risti.


Risti adalah teman kuliah Nita dia kawin muda tuntutan para orang tuanya, tapi baru 4 bulan menikah suami Risti mengalami kecelakaan lalu lintas saat hendak bekerja hingga diharuskan dioperasi pada tulang kakinya. Biaya rumah sakit yang lumayan besar bagi Risti dan tak sanggup terpenuhi dalam waktu singkat akhirnya Risti menemui Nita agar mau menolong dirinya meskipun harus rela dengan menjual tubuhnya.

“Dan ini, pengalaman pertama dan terakhir bagi Risti, Teh. Risti harap, Teteh mau menjaga rahasia ini!” lanjut Risti. Tuti hanya menghembuskan nafas tak bisa berkata sedangkan Juned dan Mirna sedari tadi hanya diam.

“Jadi, Teh. Bantuan apa yang Teteh inginkan pada kami berdua?” tanya Nita kembali ke pertanyaan Tuti tadi.

“Ris, sebenernya Teteh nggak tega mempekerjakan kamu, tapi Teteh butuh bantuan kamu. Teteh janji, ‘rahasia Risti akan kami simpan rapat-rapat’. Tapi Teteh harap, ‘kamu jangan terjerumus lagi ke lembah hitam ini meskipun sulitnya hidup kamu’. Teteh butuh bantuan kalian berdua untuk melayani klien Teteh hingga lelah tak berdaya hanya itu saja yang kalian lakukan!” ujar Tuti menjelaskan bantuan apa yang ingin dimintanya.

“Hahaha... Cuma gitu doang, kalo gitu mah serahin sama Nita aja masalah itu nggak usah dengan Risti.” timpal Nita.

“Tapi klien kita ini sangat berbahaya, Nit. Dia bukan orang sembarangan. Cuma ke kalian berdua Teteh percaya mampu menolong kami. Teteh tau selera dia, jadi mau nggak mau Teteh melibatkan Risti.” jelas Tuti.

“Tenang, Teh. Cuma layani dia ‘kan masalah kecil apalagi berdua sama Risti. Ya, nggak Ris?” ujar Nita.

“Iya, Teh.” sahut Risti singkat.

“Ya udah. Nih, Teteh udah dikirim uang oleh dia 25 juta! Udah Teteh transfer ke Nita, jadi kalian bagi dua saja uang itu!” sambil menunjukan sms transaksi transfer uang.

“Loh, kok! Nggak dipotong untuk bagian Teteh!” protes Nita.

“Dengan kalian udah sanggup mau bantuin Teteh, itu udah cukup bagi Teteh. Lagian Teteh ‘kan mau berhenti, Nit. Sudah, sekarang kamu denger penjelasan Bang Juned!!” jawab Tuti.

“Ya udah, kalo gitu. Makasih, Teh! Ris, bagian lu mau diambil sekarang atau entar?” ucap Nita.

“Terserah kamu, Nit. Teh, makasih!” jawab Risti.

“Ya udah, kita ambil deh sekarang! Sekalian lewat kita ke rumah sakit untuk bayar operasi suami lu!” lanjut Nita.

“Makasih, Nit. Aku ngikut kamu aja.” jawab Risti seolah sungkan.

“Oke, Nit. Seperti Teh Tuti jelaskan tadi, kalian berdua cukup melayani nafsu birahi si Shenchen hingga dia kelelahan dan kebetulan dia itu nafsu aja yang gede tapi kemampuannya menurut info dari Teh Tuti jauh di bawah rata-rata, makanya dia selalu mengkonsumsi obat kuat yang dijual Teh Tuti untuk memuaskan nafsunya. Nah, tugas kalian cukup merangsang nih orang untuk terus menerus menggauli kalian dan terus menggunakan ini obat hingga dia tertidur kelelahan terus kalian tinggal hubungi Teh Tuti jika si Shencen ini terlelap tidur. Cuma itu aja, selebihnya kalian nggak usah pikiran. Itu bagian Abang, gimana?” papar Juned sambil mengasongkan beberapa bungkus obat kuat di atas meja tamu.

“Yaelah, Cuma gitu doang. Ini mah kecil, Bang! Kapan kami mulainya, Bang?” ujar Nita.

“Malam ini, Nit. Untuk tempat udah Teteh siapin di sebuah rumah milik pelanggan Teteh. Teteh udah atur supaya nih orang mau ke tempat itu!” sahut Tuti sambil menyerahkan sebuah kunci rumah dan secarik kertas alamat rumah tersebut.

“Kalian, hati-hati! Jangan sampai kamu dicurigai, terutama dengan bodyguard-nya. Mereka tak akan segan menyiksa wanita.” lanjut Tuti mewanti-wanti.

“Tenang, Teh. Percaya ‘kan pada kami! Yaudah, Teh. Kita pergi dulu, sekalian aku mau ngambil uang bagian Risti. Kayaknya dia butuh buat bayar rumah sakit!” pamit Nita dan akhirnya mereka pun pergi meninggalkan rumah Juned.

Sepeninggal Nita dan Risti...

“Mir, Tut. Abang juga mau pergi dulu mau persiapkan untuk ‘ntar malam.” ucap Juned.

“Iya, Bang. Hati-hati!” jawab mereka serempak. Sebelum pergi Bang Juned mencium kening mereka berdua.




Masih berlanjut ke bawah
 
Terakhir diubah:
Lanjutannya




Di dalam sebuah gudang kontainer, sesosok lelaki yang tidak sadarkan diri sedang terikat pada sebuah kursi, dikelilingi tumpukan barang yang terbungkus oleh alumunium foil.

“Arggh…! Ddiiimmmaaannnaaa ggue...?” Shencen membuka kelopak matanya, dan menyadari bahwa ia sedang berada di tempat yang asing.

“Heyyy…! Siapa yang ngiket gue? Aaarrrgh.... Lepasin gue.. Risti… Nita.. Kalian jangan main-main, lepasin ikatan gue!” Shenchen menyadari dirinya telah terikat pada sebuah kursi, meronta-ronta ingin melepaskan ikatannya tapi tak seorang pun menjawab sahutan dia. Matanya tertuju pada empat sosok tubuh yang juga sama-sama terikat dan terkapar di sela-sela tumpukan barang di hadapannya.

“Dudung… Kentung... !” serunya saat ia mengenali dua sosok tubuh yang terkapar dalam keadaan pingsan tersebut. Sementara di seberang Dudung dan Kentung, ada 2 orang laki-laki lain yang duduk terikat sambil mengerang kesakitan, salah satu di antaranya mengenakan seragam bea dan cukai. Ia belum mengenal mereka karena posisi mereka membelakanginya.

“Bajiiingan!!! Bangsat!!! Siapa kalian yang udah membunuh anak buah gue?? Kalo berani hadapi gue!!” teriak Shenchen berang sambil terus meronta-ronta ingin melepaskan diri.

Prok.. Prok.. Prok..


Tiba-tiba terdengar suara seseorang bertepuk tangan lalu mulai berbicara pada Shenchen.“Selamat datang untuk tuan raja di kerajaan ilusinya.” Orang itu mengenakan jaket kulit saat ia memasuki gudang diikuti delapan orang lainnya di belakangnya.

“Siapa lu? Lepasin gue, anjing!! Lu belum tau siapa gue?” maki Shencen.

“Kenalin gue Junaedi bin Jumadi alias Juned.” ujar Bang Juned memperkenalkan dirinya kemudian meraih bangku lalu duduk nggak jauh dari hadapan Shenchen.

“Ngapain lu nangkep gue?” jawab Shenchen bingung dan terus meronta ingin melepaskan diri. “Lu butuh uang berapa agar lu mau lepasin gue?”

“Hahaha...” Bang Juned tertawa nyaring. “Gue gak butuh duit haram lu!” Bang Juned berdiri dan mendekati Shenchen lalu menepuk-nepuk pipi Shencen lalu menganggukkan kepalanya pada salah satu anak buahnya. Dua orang anak buah bang Juned dengan memakai sarung tangan karet menggusur salah satu orang yang berseragam beacukai lalu dibuat bersimpuh hadapan Shenchen.

“Sssastro!! Shencen mengenali dia meskipun wajahnya berlumuran darah akibat pukulan. Sastro adalah salah seorang staff pegawai bea cukai yang Shenchen suap agar dapat meloloskan barang kirimannya saat diperiksa jajarannya.

Bruukk!!

Kaki salah seorang anak buah Juned menendang tubuhnya hingga tersungkur. Ia menelentangkan tubuh Sastro dan menduduki badannya agar tidak banyak bergerak. Seorang lainnya mendekati dan membantu menahan rontaan kaki Sastro.

“Aammmppunnn, baangg! Lepasssin saayaa, saaya hanya melaksanakan tugas dan perintah diiaa.”

“Aaapa maksud kamu atas ssemua ini?” sahut Shenchen, nada suaranya mulai terdengar gentar melihat perlakuan anak buah Juned.

Juned tersenyum menyeringai meledek Shencen.



Siang hari di waktu yang sama di Pelabuhan peti kemas

“Sukri, apa kamu sudah periksa peti kemas itu!” ujar Sastro menunjuk ke suatu peti kemas berukuran kecil sambil menenteng berkas dan stiker bea cukai. Lalu ia memberikan suatu kode lewat gerak badannya.

“Ooh sudah Pak. Isinya hanya boneka Panda. Sudah kami periksa, semua clear Pak. Apa barang itu sudah mau diambil?” sahut Sukri seperti sudah mengerti maksud dari atasannya.

“Oke, kalo gitu! Pasang stiker lolos pemeriksaan dan lakukan lagi pemeriksaan yang lainnya! Aku mau memanggil supir yang akan mengambil peti kemas ini! Oiya, Suk. Itu di mobilku ada bungkusan pisang goreng ambil sama kamu terus kamu bagikan sama yang lainnya dan awas mesti kebagian semua!” ujar Sastro sambil memberikan kunci mobilnya.

“Siap Pak, makasih. Bagian saya mau saya bungkus aja buat anak istri di rumah. Makanya Pak, mesti cepet kawin biar bisa bawa oleh pisang goreng buat dia. Hahaha...” jawab Sukri sambil tertawa meledek status Sastro yang masih melajang. Sukri seolah sudah mengerti yang maksud pisang goreng dari Sastro dan setelah menyerahkan kunci mobilnya lalu Sastro pun pergi ke parkiran truk

Tak lama kemudian sebuah truk mendekati dan mulai mengangkut peti kemas, Saat truk container akan melaju pergi.

“Tunggu bentar, To!” Panggil Sastro pada penumpang di sebelah supir yang ternyata dia adalah Darto anak buah Shencen.

“Iya, Boss. Ada apa?” jawabnya singkat lalu meminta supir truk container di sebelahnya untuk menghentikan mobilnya.

“Bilang ke Boss Shencen, ‘mungkin untuk beberapa bulan ke depan, saya nggak bisa membantu dulu. Sedang gencar-gencarnya pihak Pusat melakukan inspeksi dadakan. jika aman, aku akan kabarin dia’.”ujar Sastro sambil menyerahkan berkas untuk melewati gerbang bea cukai.

“Siap Boss, ntar saya sampaikan ke dia!” jawab Darto sambil mengacungkan jempol lalu menyuruh supir truk container untuk kembali menjalankan mobilnya.

“Pak, ini kunci mobilnya. Makasih, Pak. Ternyata pisang gorengnya kali ini banyak.” ujar Sukri yang muncul di belakang.

“Itu cukup sampe beberapa bulan untuk sementara kita cari aman, Suk!! Ya sudah, aku mau makan siang dulu!” jawab Sastro lalu melangkah ke parkiran dan pergi ke restoran langganannya.

Setelah usai makan siang, Sastro pun kembali menuju mobilnya. Pada saat dirinya akan menyalakan mesin mobilnya, tiba tiba...


Buuuuuggghhh... Sebuah benda tumpul melayang ke arah kepalanya dan membuat Sastro hilang kesadarannya.


Beberapa saat kemudian, Sastro tersadar.

“Uhmmm.. Uhhmmm…!” guman Sastro yang tubuhnya telah terikat dengan mata tertutup dan mulut tersumpal kain dalam tempat yg sesak dan panas dalam bagasi mobilnya.


.



“Saaastroo..!!” Bang Juned mengeja nama yang tertulis pada pakaiannya.

Hmmm....! Jadi hanya segini pengabdian kamu Pak Sastro. Hanya karena uang, kamu meloloskan pemeriksaan kiriman paket mereka!” kata Juned lalu memerintahkan anak buahnya yang lain untuk mengambil sebuah bungkusan aluminium foil padanya. “Mungkin kamu harus merasakan dulu apa yang dia loloskan tadi.” Bang Juned membuka bungkusan tersebut.

“Aaaaampppun Baaang…! Jangaaan bunuuuh sayaaa…! Kaasihaanilah saayaa!” pinta Sastro sambil meronta ketakutan.

“Jangan takut, Pak Sastro! Masa’ makan duitnya, kamu suka. Sedangkan barangnya, tidak.” ledek Juned sambil mengangguk pada salah seorang anak buahnya yang memberikan bungkusan tadi.

Anak buahnya membuka paksa mulut Sastro, sementara tangan Juned merogoh dan menggenggam isi bungkusan berisi serbuk putih sehingga tercecer dari genggamannya. Lalu Juned menyumpalkan bubuk putih itu pada mulut Sastro dan menahan mulut Sastro agar bubuk itu termakan olehnya.

Tak cukup sekali Juned mencekoki Sastro dengan bubuk putih tersebut dan akhirnya tubuh Sastro berkelenjotan kuat dengan mata yang terbelalak hingga beberapa saat tubuhnya diam tak bergerak.

Plok.. Plok… Juned menepuk tangannya untuk membersihkan bubuk pada telapak tangannya.

“Nikmatilah uang kamu di neraka nanti, Sastro.” ujar Juned. Shencen yang sedari tadi melihat perlakuan Juned pada Sastro membuat nyali Shencen menciut.

“Eeeuu..eeuu.” erang dua orang tangan kanan Shencen mulai tersadar.

“Anjiiiing…! Siapa yang berani pada kami? Lepaskan kami, lawan kami satu persatu jika berani.” maki Kentung sambil meronta-ronta.

“Bangsat!!! Ini pasti kelakuan dua sundal tadi.” begitu juga Dudung yang meronta mencoba membebaskan diri.

“Sudah sadar, kalian?” Juned berdiri di hadapan mereka. Dudung dan Kentung memperhatikan sekitarnya dan akhirnya matanya tertuju pada Shenchen yang terikat pada kursi.

“Bangsat, lu! Kalo kamu berani, ayo lawan kami jangan kayak banci gini!” maki Kentung pada Juned.

“Duel sama, Lu. Hahaha… Kalo kalian mau duel, lawan kalian bukan gue. Tapi..” Bang Juned tertawa sambil matanya tertuju pada pintu masuk yang terbuka lalu dua orang memasuki gudang.

“Itu lawan kalian, bukan gue! Hahaha...” tawa Juned lalu kembali duduk di hadapan Shencen. Kentung dan Dudung menoleh ke arah pintu dan mereka terkejut saat melihat kedua sosok yang datang.



“Tung, gue nyesel kagak minta cewek ke Boss. Masa’ dia enak-enakan sama cewek di dalem, sedangkan gue di sini udah 3 jam cuma ditemenin ama lu!” ujar Dudung mengeluh.

“Lah, lu lagi salah, Dung. Pake bilang,’ tau tempat ini’. Kalo enggak, mungkin kita nggak di sini dan gue bisa ngunjungin anak angkat gue!” jawab Kentung seenaknya.

“Lu tuh emang kagak doyan cewek, dari dulu tugas lu senengnya nyodomi bocah. Hahaha...” ledek Dudung.

“Terserah gue!” acuh Kentung sambil menyalakan rokoknya.

Kreeekkk...




Pintu depan terbuka dan Nita keluar menemui mereka dengan hanya berbalut pakaian dalam membuat Kentung meneguk ludah melihat kemolekan Nita.

“Bang. Kata Boss, ‘maaf, dia mau tidur dulu bentar’! Apa Abang mau Nita dibuatin kopi?” ujar Nita dengan nada genit menggoda.

“Boleh.. Boleh!” jawab Dudung cepat. Matanya tak berkedip menatap tubuh Nita.

“Yaudah, Abang-Abang tungggu dulu! Bentar, Nita mau bikinin kopi dulu! Eh, atau kalian mau masuk?” tawar Nita.

“Boleh.. boleh!” jawab Dudung yang masih melongo menatap Nita.

Peletak..!! Tangan Kentung menampol jidat Dudung.

“Lu mau cari mati, berani godain dia! Udah Neng, bikinin kopi dua!” ketus Kentung. Nita hanya tertawa cekikikan melihat Dudung yang kesakitan lalu kembali masuk ke dalam.

“Tung, kalo lu gak mau cewek jangan halangin gue dong, lagian si boss pasti lagi molor kecapaian. Gue juga pengen dong icip-icip mereka.” kesal Dudung.

“Dah, lu cari lagi aja. Jangan lu usik mainan si Boss, kalo masih pengen hidup!”

Lalu Nita kembali muncul dan sekarang Nita telah memakai pakaian yang sedikit tertutup dan ditemani oleh Risti yang membawa kopi.

“Nih Bang, kopinya!” tawar Risti mempersilahkan.

Srruuupp… Mereka meneguk kopi.

“Nikmatnya kopi yang dibuat gadis cantik ini.” puji Dudung.

“Akh, bisa aja si Abang.” jawab Risti sambil tersenyum menggoda.

“Neng, bisa Abang minta nomor telepon kalian, kalo-kalo Abang butuh kalian bisa dong?” gombal Dudung.

“Bisa Bang, kalo mau… Bentar!!” jawab Nita sambil merogoh sakunya.

“Udah, udah kalian masuk lagi dan temeni si Boss, biar si Dudung gue layanin.” potong Kentung sambil mengusir kedua gadis itu.

“Ogah gue disodomi lu, mending nyodomi si Neng! Hehehe.. Mau ‘kan, Neng?” Dengan tertawa mesum Dudung masih mencoba merayu Nita dan Risti.

“Udah sana, masuk ke dalem! Dan lu, Dung. Habisin tuh kopi, jangan macem-macem!” ujar Kentung sedikit keras mengusir Nita dan Risti. Dan kedua wanita ini kembali masuk dengan cekikikan menertawakan Kentung yang wajahnya terlihat mesum pada mereka.

“Ah, lu mah! Kagak ngerti temen.” gerutu Dudung dongkol.

“Lu boleh maen sama cewek mana yang lu mau. Asal jangan cewek yang lagi dipake Boss Shencen! Dia berbeda ama Boss Hendrik!” ujar Kentung mengingatkan Dudung temannya.

“Iya, iya. Gue ngerti.” sahut Dudung sambil kembali mereka meminum kopi.

Beberapa menit kemudian...

“Dung, lu jaga duluan! Gue mau tidur bentar ya, gue ngantuk!” ujar Kentung yang udah mangut-mangut menahan kantuk, tapi ternyata Dudung telah lebih dahulu tidur. Akhirnya, mereka pun tertidur lelap dan tak sadar kalau ada orang yang mengikat tubuh mereka berdua.


Dua orang lelaki tegap setengah baya memasuki gudang dengan memegang dua buah golok di masing-masing tangannya.

“Halo, Dudung alias Karso lama kita nggak jumpa, masih inget ama saya??” ujar seorang lelaki tegap setengah baya yang memakai kaos hitam.

“Kalo kowe pasti inget sama aku ‘kan. ‘Eko alias Kentung’. Seorang ayah yang anaknya mati disodomi oleh tetangganya sendiri.. Hahaha...” ucap lelaki lainnya yang hanya memakai baju kutung.

“Kaaang Jaamal.....!” seru Dudung tertahan melihat sosok yang dulu ia takuti. Jamal adalah bekas tantara AD merangkap pelatih beladiri tapi kemudian dipecat secara tidak hormat lantaran dituduh atas kepemilikan shabu dalam rumahnya.

Semua ini adalah hasil perbuatan dari Karso yang sengaja menjebak Jamal yang mengetahui bahwa Karso telah menjadi pemakai dan pelindung bandar shabu. Tapi tak lama setelah Jamal ditahan, Karso pun dipecat dari kesatuannya akibat pesta narkoba di kontrakannya. Setelah bebas, Jamal bergabung dengan kelompok Juned. Selama bergabung dengan Juned, Jamal terus mencari keberadaan Karso untuk membalaskan dendam atas perlakuannya pada dirinya hingga akhirnya hari ini upayanya tersampaikan.

“Mmaas Joko… aappaa kaabbaarr??” Kentung alias Eko yang berkeringat panas dingin melihat sosok di hadapannya.

Teringat 8 tahun yang lalu dia telah menyodomi anak bungsunya Joko hingga tewas akibat penyiksaan dia. Dulu saat mengetahui anaknya Joko telah mati. Eko langsung panik, apalagi yang telah dia sodomi adalah anak dari jagoan di desanya. Ia lari ke ibukota dan menghilang di sana. Joko yang mengetahui Eko melarikan diri ke ibu kota, langsung mengejar ke sana tapi malangnya Joko terlibat perkelahian dengan beberapa orang dari kelompok musuhnya Juned hingga akhirnya Joko mesti di penjara 3 tahun atas tindak pidana penganiayaan hingga orang terluka. Semasa dalam penjara, Joko tinggal satu sel dengan Juned dan dari situ mereka mulai bersahabat dan berlanjut hingga sekarang. Dan dalam kelompok Juned sendiri, Joko dan Jamal adalah salah satu tangan kanan Juned, selain Badai dan Sakti.

“Hahaha...” Joko tiba-tiba tertawa. “Eko, Eko. Basa-basimu sudah basi. Ned, tadi aku dengar dia nantangi kamu. Biar aku aja, ngadepin dia. Sedari dulu, aku pengen habisin dia sebagai ganti anakku yang mati sama dia. Mal, maaf aku duluan. Soalnya, ngeliat muka dia aku sudah muak.” Joko menatap sejenak pada Juned dan Jamal.

“Silahkan, emang udah gue siapin buat lu! Hahaha...” jawab Juned sambil mengacungkan jempol. Lalu Juned menyuruh beberapa orang membuka tali ikatan Kentung alias Eko.

“Ya sudah, gue nonton dulu!” jawab Jamal sambil berpindah tempat ke pinggir. Diikuti anak buah Juned lainnya untuk memberi ruang berduel pada Joko.

Cliiing.. clingg.. cling.. Salah satu golok yang dipegang Joko dilemparkan ke arah Kentung. Kentung yang gemeteran melihat tatapan tajam pada dirinya membuat dirinya tak mampu berdiri.

“Akh...! Kukira tangan kanan Boss Shencen yang ditakuti itu, kayak apa? Kagak taunya, hanya preman kampung yang suka nyodomi anak kecil. Hahaha....” ujar Juned sambil tertawa meledek Boss Shencen.

“Ayo ambil goloknya! Aku kasih kamu pilihan, kamu bisa hidup dan pergi dari sini jika kamu bisa bunuh aku atau kamu mati dengan mulut yang tersumpal sama kontolmu itu!” ujar Joko dingin.

“Maass aaampunnn, Mas! Aku dulu khilaff...!” Eko yang enggan mengambil golok memohon ampun pada Joko.

“Sekali lagi apa?? Khilaafff…?? Apa aku nggak salah dengar? Yang dimaksud kamu khilaf apaan? Sudah puluhan bocah, lu sodomi dan lu bilang khilaf. Apalagi kalo kagak khilaf mungkin ratusan bocah di Ibukota, sudah kamu sodomi!” geram Joko. Kentung semakin berkeringat dingin saat Joko tau bahwa penyimpangan seksualnya ini masih berlanjut hingga hari ini.

“Baiklah, kalo kamu nggak mau bertarung. Aku matiin aja, ‘kamu’.” ujar Joko matap sambil mendekat menenteng golok. Dengan keadaan terpaksa, akhirnya Kentung meraih golok dan langsung berdiri menyerang Joko dengan mengibas-ngibaskan goloknya tanpa arah.

“Hahaha... Hanya segini kemampuan kamu, Ko! Aku nggak lihat, sesuatu yang spesial dari kamu!” ledek Joko sambil terus berkelit dari bacokan Eko, sesekali Joko mengibaskan goloknya untuk menakut-nakuti Eko.

“Jok, sudah cepetan akhirin dia, tangan aku udah gatal nih!” teriak Jamal dari pinggir arena duel.

“Hahaha... Bentar, Mal. Aku pengen jajal kemampuan dia yang katanya salah satu orang terbengis di kelompoknya.” sahut Joko sambil terus berkelit menghindari kibasan sembarang dari golok Eko. Mungkin orang awam yang jarang berduel dengan senjata tajam pasti akan ciut melihat kibasan golok dari Eko, tapi tidak bagi Joko, kibasan-kibasan golok Eko seperti kibasan seorang anak kecil yang mengusir lalat di sekitar tubuhnya.

“Huahaha... Dia mah, jagonya nyodomi anak kecil Jok. Cepet habisi dia! Balaskan dendam kamu!” tawa keras Jamal, lalu tawa Jamal berhenti seketika saat dia mengingatkan Joko untuk tujuannya. Mendengar itu Joko langsung mundur seketika lalu terdiam menatap Eko. Eko yang tersengal-sengal sesaat mengatur nafasnya. Joko langsung melemparkan goloknya ke pinggir arena.

Haaaap!!!

Tangannya menerima sebuah batang besi hitam sebesar kepalan tangan, sepanjang ukuran tinggi bahunya dan diujungnya sengaja diukir seperti kepala penis.

“Baiklah. Cukup kita, bermain-main! Hey, Eko! Jika dalam waktu 15 menit, aku tak mampu menyumpal mulut kamu dengan potongan kontol kamu dan besi ini tidak mengoyak bool kamu, aku akan melepaskan kamu pergi. Jadi bersiaplah, menerima ajalmu kali ini!” teriak Joko membuat semua orang menyaksikan bergidik mendengar sumpah Joko pada Eko. Keringat dingin pun mulai menjalar di sekujur tubuh Eko; sesekali dirinya menoleh ke kiri dan ke kanan melihat celah untuk meloloskan diri.

“Jangan harap kamu bisa kabur dari hadapanku, Eko.” teriak Joko sambil berlari mengacungkan batang besi di lengan kanannya.

Melihat kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, Eko pun mengibaskan goloknya pada lengan kiri Joko.

Buuuggghhh… Terdengar sebuah hantaman keras.

Krrrraaaakkk… ”Argggghhhhhhhh...!!”

Cliiing.. Cliing..

Terdengar suara tulang lengan yang patah disusul lolongan Eko yang kesakitan. Tangan yang memegang golok ditangkis oleh batang hitam Joko hingga pergelangan tangannya patah dan goloknya terlepas dari genggamannya.

Joko tak memberi waktu untuk Eko menikmati rasa sakit pada lengannya. Diayunkannya kembali batang besi itu beberapa kali pada betis kanan Eko.

Buugghh... Buuggghh... Buugghh...

“Arrrrrgggggggghhhhh!”

Lolongan Eko memekakan telinga semua orang yang menyaksikannya, tapi semuanya hanya terdiam. Dudung, Shencen dan Darto yang mulai tersadar dari pingsannya hanya menelan ludah kengerian melihat kesadisan Joko pada Eko. Tumpuan kaki kanan Eko tak kuat untuk menopang tubuhnya dan tubuhnya ambruk bersimpuh di hadapan Joko.

Joko mengayunkan batang besinya ke arah kepala Eko lalu memukulnya sekuat tenaga, dengan reflek Eko menangkis dengan tangan kirinya dan…

Peletaaak…..



Kraaaakkkkk….

Terdengar kembali tulang yang patah saat Joko mengayunkan batang besinya.

Akhirnya Eko tersungkur dan terjerembab kesakitan akibat dua lengannya yang patah. Joko memerintahkan dua orang temannya untuk memegangi Eko lalu membuka celananya. Ditunggingkannya pantat Eko ke atas hingga lubang analnya terlihat oleh Joko. Joko mendengus melihat keadaan Eko di hadapannya, lalu dirinya memejamkan matanya sesaat seperti mengingat sesuatu dalam benaknya. Terlihat sudut mata Joko meneteskan air mata.

“Uaakhh aaammpunn maaasss, ampuni saayaaa, sayaaa khilaff!!” Terdengar rintihan Eko meminta ampun pada Joko.

“Kamu rasakan, Eko, perlakuan kamu pada bocah-bocah yang kamu cabuli. Hiaaaa…..” teriak Joko sambil menusukan batang besi pada lubang analnya.

Bleeeeessss..


“Awwwww.... Aduh, SAKIT!” Jerit Eko rasa sakit yang amat sangat pada lubang analnya saat ditusuk oleh batang besi.

“Gimana rasanya, Eko, bool kamu ditusuk, yah itulah rasa sakit yang dirasakan oleh anakku!!” bisik Joko pada telinga Eko yang masih menungging menahan rasa sakit, lalu tangannya meraih golok yang tadi dipakai oleh Eko. Joko mengenggam penis dan testis yang mengantung dan…

Craaassshhhhhh!!!!

“Aarrrgghhh...!” Eko menjerit sambil matanya mendelik saat kemaluanya dipotong habis oleh Joko lalu disumpalkan ke dalam mulutnya yang menganga. Darah segar mulai menetes di pangkal paha hingga Eko berkelojotan meregang nyawa, ia tak kuasa menahan sakit dengan posisi menunging dan batang besi yang masih menancap pada anusnya.

“Tak pantas anjing kayak kamu hidup di dunia ini. Di penjara pun aku tak masalah asal hidupmu mati di tanganku.” ujar Joko lalu dia berdiri dan mengangkat kakinya.

Bluug.. bluug..!!!

Dua kali Joko menginjak kepala Eko dengan sekuat-kuatnya dan menatap Shenchen yang wajahnya pucat pasi melihat anak buahnya meregang nyawa dalam kondisi mengenaskan. Lalu Joko mendekati Shenchen. Shenchen yang ketakutan mulai meronta-ronta melihat Joko dengan tangan berlumuran darah. Sambil menyeringai Joko mengelapkan tangannya pada wajah dan baju Shenchen sambil berkata, “Tenang boss, nyawa kamu gak pantas mati di tanganku. Hahaha...” Joko lalu berjalan ke arah Jamal.

“10 menit...” ucap Jamal memberitahu. “Memang hebat, kamu bisa menghabiskan dia dalam waktu cepat. Sekarang giliranku!” Jamal tersenyum sambil menepuk pundak Joko.

“Hati-hati teman! Dia itu bukan orang sembarangan.” Joko mengingatkan Jamal.

“Hahaha… Tenang, aku tau nyali dia!” sahut Jamal sambil berjalan ke tengah arena.

“Buka ikatannya dan kasih dia golok!” perintah Jamal.

Meskipun hati Karso gentar, tapi egonya sebagai mantan anggota TNI menutup rasa takutnya menghadapi mantan pelatih beladirinya sewaktu di kesatuan. Dengan tubuh gempal dan perut buncit, tak salah jika dipanggil Dudung, ia menggenggam golok yang ada di lantai dengan sedikit sesumbar untuk mengitimidasi Jamal.

“Hahaha... Kang Jamal, apa lu kagak malu kalo lu dikalahkan ama anak didik kamu ini? Masa kejayaan lu udah lewat!” ujar Dudung sesumbar dengan sedikit memperagakan keahlian golok lalu mendekati Jamal.

“Ya memang, masa kejayaanku sudah lewat dan hancur oleh kelicikan kamu. Tapi aku adalah mantan seorang tentara yang masih memegang teguh Sumpah Sapta Marga dan Janji Prajurit yang kuucapkan dulu, tak seperti kamu layaknya seekor anjing yang mengonggong dan menggigit pada tuannya dan sekarang aku akan menghabisi kamu yang telah mencoreng nama TNI AD!” Jamal balik mencibir, lalu tangan kirinya membelitkan kain dengan kuat pada tangan kanannya yang sedang mengenggam golok agar tak terlepas dari genggamannya.

“Anjing... Rasakan ini!” Karso mengayunkan goloknya ke arah leher Jamal. Tapi dengan sedikit menggeser kakinya Jamal bisa mengelak dari sabetan golok dengan mudah. Ia pun melancarkan serangan balik dengan menendang tulang rusuk kiri Karso alias Dudung.

Buugghh...

Karso yang sedikit kesakitan terhuyung-huyung saat tulang rusuknya terkena tendangan Jamal, lalu melangkah mundur sambil mengusap bagian yang tertendang.

“Ternyata tubuhmu tak sekuat bualan mulut kamu Karso. Hahaha...” Jamal tertawa dingin.

“Anjing… Bangsat… Terima ini!” Karso melompat sambil menebaskan goloknya pada lengan kiri Jamal. Mendapat serangan kejutan dari Karso, Jamal bergerak mundur dan ikut menebaskan goloknya untuk menangkis golok Karso.

Tring... Tring...

Beberapa kali terdengar bunyi suara golok yang saling beradu.

Tapi Jamal menginjak genangan darah Eko sehingga ia terpeleset. Kesempatan itu dipakai oleh Karso dengan menebaskan goloknya ke arah tubuh Jamal. Tapi Jamal pun tak mau mati konyol, ia menjatuhkan badannya hingga golok Karso hanya menggores perut Jamal.

“Hahaha… Hanya segitu, kemampuan mantan pelatih beladiri?” ledek Karso karena merasa sedang berada di atas angin.

Jamal lalu bangkit dan membuka kaos hitamnya.

“Ini hanya luka kecil Karso, kamu jangan merasa menang dulu!” sahut Jamal sambil mengelap darah pada luka di perutnya.

“Baiklah, Kang Jamal. Jika kamu emang mau mati di tanganku!” Karso kembali menyerang dengan buas sambil terus-menerus mengibaskan goloknya ke arah tubuh Jamal. Jamal mulai tersenyum melihat bekas anak didiknya yang mudah terpancing oleh emosinya sendiri. Dia hanya mengelak ke kiri dan ke kanan untuk menghindari tebasan golok Karso sambil sesekali melancarkan serangan balik. Saat Jamal mulai melihat Karso yang mulai kelelahan dengan nafasnya tersengal-sengal, ia menundukan tubuhnya untuk menghindari tebasan golok Karso ke arah kepalanya. Bersamaan dengan itu, ia mengayunkan goloknya, dan Braakkk….

“Aaarggghhh...!” Lengan kanan Karso terkena bacokan Jamal, membuat goloknya terlepas dari genggamannya.

“Itu hanya luka keci Karso, masih jauh ke organ vital kamu. Nggak usah kamu cengeng begitu!” ledek Jamal lalu membuka bebatan kain yang mengikat genggaman goloknya.

“Rasanya tak adil jika kamu tidak mempergunakan golok, baiklah kita adu tangan kosong!!” lanjut Jamal.

“Bangsat!” maki Karso sambil memegang lengannya yang terluka, lalu dia memasang kuda-kuda.

Ia melayangkan pukulan ke arah pelipis Jamal, tapi bisa ditepis Jamal dengan mudah sambil melakukan pukulan balik pada dada Karso.

“Huuekkkss.. huekss.”

Karso terhuyung-huyung mundur sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.

“Cuma segini kemampuan kamu, Karso? Mana sesumbar kamu yang tadi?”gertak Jamal.

“Aampuunn, Kang. Karso menyerah dan minta maaf ke akang atas perbuatan Karso dulu yang udah menjebak akang, tolonglah kang ampuni nyawa karso ini!!” Karso memohon sambil memegang dadanya dan sesekali meludahkan darah segarnya.

“Hahaha... Karso, Karso. Inilah sebenarnya yang ada di diri kamu, dulu kamu memang gak pantas bergabung dengan AD. Nyalimu hanya sebesar kutil anjing kudisan, saat mau mati hanya bisa merengek kayak anak kecil yang ditinggal ibunya.” Jamal menghina Karso kembali, lalu wajah Jamal berubah serius dan berkata. “Tapi kelakuan kamu itu udah banyak merugikan banyak orang. Berapa banyak nyawa yang melayang karena kelicikan kamu?”


Jamal mengingat kembali saat dirinya bersama Karso dalam satu regu ketika menjaga perbatasan negara. Saat itu, Karso hanya bisa lari kocar-kacir saat regunya diserang oleh sekelompok separatis. Beberapa orang mati dalam serangan itu, tapi Karso malah tertawa saat dirinya dinobatkan menjadi salah satu prajurit terbaik, bahkan dia berani menjebak Jamal dengan memasukan narkotika pada tas ranselnya.

“Kamu sebagai prajurit tak mengerti makna dari Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, yang ada hanyalah ambisi kesenangan kamu saja. Sebagai penghianat negara yang merusak para pemuda, kamu memang tak pantas hidup di negeri ini!!” Jamal kembali menerjang Karso dan melancar pukulan bertubi-tubi pada tubuhnya. Karso yang sudah tak berdaya hanya bisa pasrah menerima hantaman pada sekujur tubuhnya hingga akhirnya.

Tubuhnya limbung dan bersimpuh tak berdaya di hadapan Jamal. Jamal meraih golok sambil berkatata: “Salam untuk malaikat di neraka … Karso..!!” teriak Jamal sambil memenggal leher Karso.

Darah segar muncrat saat kepala Karso terpenggal dan terpisah dari tubuhnya. Karso pun mati seketika.

“Annnjiiiiiing kalian..!” teriak Darto yang sudah tak tahan melihat dua orang temannya telah mati. Hanya Shenchen yang tak bicara, badannya terus menggigil sampai tak terasa dia terkencing-kencing melihat kebengisan dua orang tadi yang telah membunuh tangan kanannya.

“Sudah mulai sadar dia.. sekarang giliran gue!” ujar bang Juned sambil melenggang ke arah arena.

Darto yang sudah dilepas ikatannya langsung meraih golok di dekatnya.

“Anjinggg... Bangsat... Lu yang buat gue pingsan tadi!”



Mira yang sedang asik mengobrol di ruang tamu melihat kedatangan Bang Juned

“Loh bang Kok abang dah pulang??” tanya Mirna

“iya Mir, Tut. Ada Sebelum Abang jemput Nita dan Risti. Abang mau minta tolong satu kali lagi pada kalian!” pinta Bang Juned

“Apaan Bang?” tanya mereka berdua serempak.

“Hehehe... Kalian Abang minta pake pakaian yang sexy kemudian ikut Abang ya!!” kekeh Bang juned sambil berwajah mesum pada kedua wanita yang dia cintai ini.

“Apaan sih, Abang? Kok gitu! Katanya, ‘tubuh molek kami, cuma Abang yang nikmati. Tapi sekarang. Kok, Abang nyuruh. Nggak mau ah, ‘ntar ada yang goda Mirna!” protes Mirna dengan wajah cemberut.

“Ayo dong, Mir! Cuma sekali ini aja, lagian buat mancing doang kok. yah..yah?” rayu Bang Juned.

“Bener nih Abang nyuruhnya cuma sekali ini aja, Tuti dan Mirna pakai pakaian sexy keluar?” tanya Tuti curiga.

“Iya sayang. Cuma kali ini aja, selanjutnya kalian hanya bisa memakai pakaian sexy hanya untuk Abang aja. Itu pun hanya di rumah ini di hadapan Abang.” ujar Bang Juned sambil mencolek pipi Tuti dengan genit.

“Bener nih, Abang. Nggak nyesel, ‘ntar kedua bininya yang cantik ini di godain orang tau rasa!” timpal Mira sambil memelet wajahnya.

“Terus yang jagain anak-anak, siapa Bang?” lanjut Mirna bertanya.

“Nyak ama Babe yang jagain bentar.. Tuh mereka dateng!”jawab Bang Juned sambil menunjuk ke arah halaman rumah.

“Beneran, Mir. Laki kita penuh dengan perencanaan yang matang kita musti hat-h atis ama dia!” ledek Tuti.

“Iya, Teh. Bang Juned suka rencana yang tak terduga. Ayo teh, kita salin pakaian dulu! Abang tunggu sini, ya! Awas kalo ngintip kita berdua, tau rasa ‘ntar!” ajak Mirna sambil menarik tangan Tuti ke kamarnya.

Selama menunggu berdandan Juned mengobrol dengan kedua orang tuanya.

“Beneran lu mau kawin lagi, emang si Mirna mau lu diduain?” tanya Babe-nya Juned.

“Iya, Beh. Lagian ini maunya Mirna Beh. Kalo Juned mah seneng-seneng aja punya bini dua bisa dikelonin kiri kanan kalo lagi tidur. Hehehe...” canda Juned, meskipun Juned seorang berandalan tapi dia tau siapa yang mesti dia hormati sepanjang hidupnya.

“Lu mah yang ada kesenengan dapet bini dua. Otak lu emang mesum nggak jauh sama Engkong lu yang punya bini empat. Pokoknya, Enyak cuma bisa nitip pesen. ‘Lu harus berlaku adil sama mereka. Enyak gak mau kalo anak Enyak cuma bisa nyakitin anak orang. Kalo lu sampe nyakitin mereka Enyak nggak akan maafin lu dunia akherat! Kapan lu ngawinin si Tuti?” timpal Enyaknya Juned.

“Secepatnya, Enyak. Kalo urusan Juned kelar. Pokoknya, Enyak sama Babe musti langsung lamarkan Juned ke orang tuanya Tuti… Nyak, Beh. Makasih udah ngasih restu buat ngawinin si Tuti. Pokoknya Enyak dan Babeh doain Juned bisa nafkahin mereka dan bahagiain mereka!” Juned meminta doa dan restunya pada dua orang tuanya.

“Iya. Enyak sama Babe cuma bisa doain lu” ujar Babe-nya Juned.

“Enyak .. Beh maaf Mirna dandan dulu nih nggak nyambut Enyak Babe.” Mirna muncul dengan menggendong si bungsu diikuti Tuti yang menggandeng kakak anak tertua Juned lalu mereka mencium tangan mertuanya. Enyak dan Babe terperangah melihat penampilan kedua mantunya.

“Apa-apaan lu pade pake-pakean gitu? Apa lu kekurangan duit, sampe nggak bisa beli kain buat baju? Enyak kaga redo liat menantu Nyak, kayak gitu. Malu-maluin aja kamu Juned!” omel Enyak Juned. Mirna dan Tuti hanya terkekeh mendengar omongan ibu mertuanya.

“Enggak, Enyak. Mirna disuruh Juned pake pakaian gini untuk nemenin ke suatu acara, Enyak gak usah khawatir Juned jagain kedua mantu kesayangan Enyak ini.” sahut Juned sambil mencium tangan kedua orang tuanya.

“Hati-hati lu, Ned! Jangan buat masalah!” Babe Juned mengingatkan anaknya.

“iya, Beh. Kakak sama Adek di cini dulu ya, sama Engkong dulu! Ayah mau pergi sama Ibu dan Bunda! Jangan rewel kalian!” Juned mencium kedua putra putrinya.




Beberapa waktu kemudian sebuah container melintas di sebuah jalanan yang sepi, lajunya tertahan oleh sebuah mobil yang mogok menghalagi jalan.

“Bang Darto, lihat noh dua cewek cantik ngehalangin jalan! Keliatannya mereka butuh bantuan.” ujar supir truk menghentikan laju kendaraannya. Lalu Darto turun menemui mereka.

“Hallo cantik, lagi ngapain kalian di sini?” Darto menyapa dengan gaya tebar pesona di hadapan kedua gadis ini.

“Ini, Bang. Bisa bantuin enggak. Mobil aye ban-nya bocor, ane ‘kan, gak bisa gantiin bannya.” ujar wanita itu dengan memamerkan belahan dadanya.

“Bisa, apa sih yang nggak bisa buat Neng!” Darto tersenyum mesum lalu membuka bagasi mobil dan mengeluarkan ban serep, ketika Darto akan melepas ban yang kempis salah seorang dari mereka jongkok di hadapan Darto memperhatikan Darto yang mengganti ban hingga pakaian dalamnya terlihat Darto, Darto hanya meneguk air liurnya menahan nafsunya sesekali lengannya mengusap dahinya yang lainnya.

“Kok, Abang gelisah gitu!” ujar wanita itu yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

“Ehhh....Aaaanuu...”

“Pasti kamu ngintip, ya!” bisik wanita itu ke telinga Darto, membuat Darto tersentak malu lalu berdiri menghilangkan kegugupan saat tubuhnya berbalik hendak berbicara pada wanita itu.

Buuuuggghhh.... Sesuatu benda tumpul menghantam kepalanya yang membuat dia jatuh limbung.

Saat sebelum dia kehilangan kesadarannya terdengar seseorang lelaki berbicara.

“Mir, Tut. Sudah kalian pulang! Tunggu aku di rumah, tapi sebelumnya ganti aku risih melihatnya!” Terdengar seorang pria berbicara pada kedua wanita itu.

“Hihihi... Lagian Abang, nyuruh ane- aneh, Yuk akh daahh!” jawab salah satu wanita itu.

“Pot, lu dah di bayar sekarang! Antar gue ke gudang mereka!” Darto mendengar lagi pria itu berbicara pada supir truknya, hingga semuanya hening seiring hilangnya kesadaran Darto.






”Hahaha... Emang, iya. Terus...?” ledek Bang Juned menertawakan Darto.

“Bangsat, Lu. Kalo lu berani kenapa kagak nantangin aja maen umpan pake cewek segala terus bokongin gue dari belakang, dasar pengecut!!” umpat Darto tetapi matanya sesekali tertuju pada tiga sosok tubuh yang telah mati menggenaskan membuat ciut hatinya.

“Hahaha... Ini lah bacot preman yang cari muka di muka umum berkoar-koar di depan banyak orang agar terlihat jagoan kalo dia menang tapi kalo dia kalah pasti ada yang lerai.” Terus saja Juned meledek Darto.


“Uaannjing, cuuih!” Darto meludah wajah Juned merasa tak terima dihina oleh Juned.

“Oke. Kalo gitu, kita buktikan omongan lu!” Bang Juned langsung menyerang melancarkan pukulan.

Buugghh.. Buugghh.. Dua pukulan tepat mengenai pelipis Darto yang tak siap menangkis pukulan Juned.

“Arrgghh... Bangsat!” teriak Darto kesakitan dengan tubuh limbung Darto malah melakukan serangan balik pada Juned tapi pukulan yang tak terarah dengan mudah Juned patahkan. Dengan cukup sapuan kaki pada betis Darto membuat dirinya terjerembab ke depan. Wajahnya langsung membentur lantai dengan sangat keras.. Seeerrr... Darah segar mengalir dari lubang hidung Darto.

“Waaannjjiinnghhss lluhhhsss....” Darto memaki Juned sambil menutup hidungnya.

“Bang, sudah lah. Orang ini banyak omongnya, cepet habisin dia!” Jamal teriak dipinggir arena.

Bang juned hanya mengacungkan jempolnya.

“Rrraaasssaaakkkaaannn ini!” Darto melayangkan pukulannya pada arah wajah Juned. Tapi Juned tak menangkis pukulan itu malahan dia membalas pukulan Darto dengan pukulannya hingga terjadilah adu pukul.

Krraaaakkkk... Bunyi tulang jari-jari yang retak.


“Aarrgghhh.... Aduh....!” Darto menjerit melolong kesakitan sambil memegangi kepalan tangannya yang retak akibat pukulan Juned.

Juned mendeket lalu menjambak rambutnya hingga wajahnya menengadah dan berbisik. “Kemampuan lu itu hanya bacot doang.” Lalu dipitingnya leher Darto dan digusur ke hadapan Shenchen.

“Mmmaaauu aaapppa kamuu..? Janggann mendekaat!” ujar Shenchen ketakutan.

“Mau memperlihatkan kematian anak buahmu yang setia ini!” jawab Juned dingin.

Krreeeekkk... Juned memiting leher Darto hingga patah. Darto pun mati di hadapan Shenchen dengan mata yang melotot.

“Toolllong lepassskan saaaya, kalian mau aapaa saja akan kuberikan asalkan kalian membiarkan saya hidup..!” Shenchen sudah menyadari orang ini memang ingin menghabisi hidupnya.

“Kami nggak butuh duit lu, simpan aja buat lu bekal di neraka sana!” ujar Juned dengan ekspresi muka datar dan dingin. Beberapa orang memasuki ruangan dan mereka mengangkat banyak dus lalu ditumpahkan isu dus itu pada tubuh Shenchen. Ternyata isi dus itu adalah sejumlah uang dari hasil penjualan narkoba selama ini yang memang sengaja di sembunyikan oleh Shenchen di sekitar gudang ini.

Tubuh Shenchhen sekarang telah tertimbun tumpukan uang kertas, hanya kepalanya saja yang masih terlihat. Lalu beberapa orang menyiram bensin pada tumpukan uang itu dan tumpukan bungkusan narkoba.

Byuurrr..

“Tolooong jangaan bunuuh sayaa, saya masih pengen hidup!” ujar Shenchen meminta tolong belas kasihan agar dibebaskan.

“Nggak ada guna kamu tetap hidup di muka bumi ini yang ada hanya bisa merusak generasi muda saja!” ucap Juned sambil menyalakan korek api dan dilemparkan pentul korek yang menyala pada tumpukan uang, lalu juned dan kawan-kawan pun meninggalkan Gudang itu tanpa belas kasihan sedikit pun.


Bllaaarrrrrrr… kobaran api mulai merambat di Gudang membakar seluruh isinya.


Juned dan kawan-kawan tanpa sepatah kata hanya menatap kobaran api yang makin membesar dari kejauhan hingga terdengar sirene mobil pemadam mereka pun langsung bubar kembali ke rumahnya masing-masing.





berlanjut ke bawah
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Lanjutan




Dalam ruangan yang sudah berantakan akibat ulah pelampiasan amarahnya yang dengan cara melempar barang yang ada di dekatnya, Hendrik duduk menatap berkas kopian laporan Surya pada atasannya.

"Brengsek, semua yang kubangun dari nol sekarang hancur berantakan gara-gara si Surya!” sambil melempar papan namanya pada sebuah bingkai foto saat dirinya masih bersama Surya.

Braaakkk..!!!


Praaang..!!!

Bingkai foto itu pun hancur berantakan.

"Ini semua gara-gara si Hendra yang terlalu berambisi untuk memiliki Soffie, istri si Surya. Dan taktik begonya si Apong dalam memperalat si Surya.” Hendrik merasa kesal mengapa dulu dia menyetujui keinginan Hendra dan Apong untuk memperalat Surya lewat Soffie.

Ternyata semua itu tidak berpengaruh pada Surya yang malah diam-diam mengorbankan istrinya. Dan sekarang permainan yang dulu Apong lakukan berimbas padanya dan sekarang juga dirinya. Rasa takut akan dendam Surya membuat Hendrik membuat cara bagaimana menghancurkan Surya tapi itu sia-sia. Setiap langkah yang ia buat selalu berakhir dengan terbongkarnya aksi mereka oleh Surya yang akibatnya jabatan dia hilang setelah salah satu anak buahnya berkicau tentang keterlibatannya. Sudah hampir satu tahun Hendrik hanya menjadi seorang perwira yang tak punya jabatan apapun di kepolisian. Kini malah ia sendiri yang terkena imbasnya, ia sedang menanti proses hasil penyidikan Surya pada dirinya.

Dan yang membuatnya terkejut lagi adalah keterlibatan Anton, anaknya Surya yang ikut membongkar dirinya. Seseorang yang dulu dia remehkan sekarang telah menjadi batu besar yang akan menghadangnya.

Dengan perasaan gelisah Hendrik mondar-mandir dalam ruangan kerjanya. Hingga akhirnya, berhenti sambil menatap halaman upacara melalui jendela kantornya.

Tok... Tok...

“Masuk!" seru Hendrik dari dalam ruangan kerjanya.

"Ndan, maaf ganggu.” ucap Briptu Arni setelah ia masuk kembali menemuinya. Sesaat ia mematung sambil memperhatikan sekeliling ruangan yang telah berantakan. Ia hanya bisa terdiam tak bisa berkomentar.

"Mau apa lagi lu ke sini? Tadi gue perintahkan ‘ntar malam, kamu temani gue!” ujar Hendrik sinis.

"Aaanu... ‘Ndan. Saya hanya mau ngasih kabar, suami saya tidak mengizinkan saya lembur.” jawab Briptu Arni lalu menundukkan kepalanya.

Hendrik berjalan kembali ke tempat duduknya, lalu dia mengeluarkan pistolnya dari dalam laci.

"Gue nggak peduli, lu tau gue nggak pernah basa-basi. Lu tinggal pilih, ‘ikutin perintah gue. Atau suami, anak dan semua keluarga kamu bisa mati di tanganku’.” ujar Hendrik dingin sambil memasukan butir peluru ke dalam pistolnya.

"Hiiks..." Briptu Arni menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Dia menangis, menyesali kebodohannya yang kini bukan hanya menjerat hidupnya, tapi juga keselamatan keluarganya. Sementara itu, Hendrik terlihat tersenyum penuh kemenangan saat melihat reaksi Arni yang pasti akan memilih untuk mengikuti perintahnya.

Kriing...


Bunyi HP dalam saku celananya membuat Briptu Arni tersadar. Dengan cepat ia mengusap air matanya lalu merogoh saku dan memandang sebuah nama yang tertera pada layar HP-nya dengan wajah bingung.

"Siapa yang menelepon?” tanya Hendrik dingin.

"Pppak Ssuurya.” jawabnya lirih karena masih sesegukan meredakan tangisnya.

"Angkat. Mau apa dia?” perintah Hendrik. Briptu Arni hanya mengangguk lemah lalu mengangkat telpon tersebut.


“Hallo, Ar. Kamu sekarang di kantor?” suara di ujung telepon sana berbicara. Ternyata yang meneleponnya adalah Briptu Eka, sahabatnya semasa pendidikan dulu. Briptu Eka ternyata menggunakan nomor HP Pak Surya, atasannya.

“Iya, Ka. Kenapa?” sahut Briptu Arni setelah mengaktifkan loud-speaker HP-nya agar terdengar oleh Hendrik. Hendrik hanya mengacungkan jari telunjuknya dan sejurus kemudian melambaikan tangannya agar Briptu Arni mendekati dirinya.

“Ar, ini komandan nyuruh kamu bawa beberapa rekan kita untuk ngejaga rumah Beliau! Eh, bentar Ar! Nih, komandan mau bicara!” ujar Briptu Eka berbicara dari ujung telepon sana.

Sambil menunggu suara Surya di seberang. Briptu Arni mendekati Hendrik agar percakapan mereka lebih bisa terdengar olehnya. Saat sudah dekat, tiba-tiba Hendrik menarik tubuhnya agar duduk di atas pangkuannya.

Tangan nakal Hendrik mulai meremas payudara Briptu Arni yang saat itu sedang menunggu telepon dari Sury. Sekilas Briptu Arni mencoba menepis tangan Hendrik dan berusaha meronta agar Hendrik menghentikan aksinya, tapi Hendrik menghardiknya pelan.

"Diam kamu, dan teruslah bicara!” Hendrik setengah mengancam sambil meremas keras payudara Briptu Arni hingga ia meringis kesakitan.

Lalu terdengar suara Surya yang berbicara dari ujung telepon sana. “Ar, kamu di kantor, ya. Tolong, kamu perintahkan beberapa orang untuk jaga rumahku! Untuk surat penugasan, ‘ntar Eka yang buat untuk laporannya! Yang jelas kamu sekarang mesti ke sana, ini darurat! Di situ ada siapa saja??”

Briptu Arni melihat sejenak ke arah Hendrik dan Hendrik membisiki satu nama tanpa suara; Briptu Arni pun mengangguk tanda mengerti.

“Siap, ‘Ndan. Kebetulan di sini, ada Briptu Bakti! Biar dia memerintahkan yang lainnya untuk segera meluncur ke sana!” jawab Briptu Arni. Ia berbohong dengan menyebutkan nama Briptu Bakti sesuai dengan perintah Hendrik. Briptu Arni mulai merasakan tangan Hendrik yang menelusuri tubuhnya dan hinggap pada selangkangannya.

“Bagus. Oh iya, tolong juga perintahkan beberapa petugas untuk patroli ke sekolah putriku sekarang! Aku akan segera menuju ke sekolah putriku. Dia sedang ada dalam masalah!” Surya kembali memberikan perintah pada Briptu Arni.

Seketika Hendrik menghentikan aksinya lalu mendorong tubuh Briptu Arni agar berdiri dari pangkuannya.

“Siap, ‘Ndan. Laksanakan!” sahut Briptu Arni yang juga terkejut melihat reaksi Hendrik.

Kliik.



“Anjiiing…!” umpat Hendrik berang. “Gagal lagi semua rencana gue, siapa yang membocorkan rencana ini, hah?” Hendrik pun mencekik leher Briptu Arni.

"Akh...! Aaaammmpunnn ‘Ndaaan. Aarrni gaakk tauuu....!” jawab Briptu Arni terbata-bata karena menahan sakit di lehernya dan berusaha menahan cengkeraman tangan Hendrik.

Hendrik menghempaskan tubuh Briptu Arni ke sofa. Briptu Arni langsung meringkuk dan menangis kesakitan menerima perlakuan Hendrik yang begitu kasar.

“Surya, makin ke sini keberuntungan lu malah semakin berpihak ke lu!!” gerutu Hendrik marah.

Kriiing..

HP Hendrik berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Hendrik langsung mengangkatnya.


“Hallo.”

“Ggawat, ’Ndan. Aksi saya ketahuan.” Suara seseorang dari ujung telepon sana terdengar terengah-engah seperti sedang panik.

Hendrik melihat ke layar HP-nya untuk mengetahui siapa yang memberikan laporan. Setelah mengetahui identitas sang penelpon, ia pun berkata, “Bakti, maksud lu apaan?”

“Mmaaf ‘Ndan, saya telah gagal melaksanakan tugas yang komandan berikan. Saat saya akan mengambil beberapa senjata tiba-tiba ada inspeksi perlengkapan senjata ke gudang dan ketika mereka memeriksa surat penugasan mereka mulai mencurigai bahwa itu palsu, saya langsung lari tanpa mereka sadari sekarang saya jadi buronan mereka, ‘Ndan.” ujar Bakti melaporkan aksinya yang hampir tertangkap melalui sambungan telepon.

“Guooooblok..! Apa lu bego, hah? Lu tau ‘kan, jadwal mereka memeriksa gudang senjata. Kenapa lu sampe barengan?” maki Hendrik dengan ekspresi marah.

“Mereka melakukan inspeksi mendadak, ‘Ndan.” jawab Bakti dengan nafas masih terengah-engah lalu melanjutkan bicaranya.“Karir saya sudah tamat, mereka pasti akan mencari saya. Saya mesti apa, Ndan?” Terdengar suara Briptu Bakti melemah dan seperti terdengar sedang ketakutan.

Hendrik hanya terdiam sambil mondar-mandir. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu, hingga matanya tertuju pada Briptu Arni yang masih meringkuk sambil menangis. Seulas senyum licik pun menyeringai dari bibirnya.

“Lu di mana sekarang?” tanyanya balik lewat HP-nya.

“Sekarang saya sedang di sekitar jalan S********” sahut Briptu Bakti memberitahu lokasinya berada saat ini.

“Ok. Lu sekarang langsung menuju rumah Surya dan tunggu gue di sana!” Hendrik memerintahkan Briptu Bakti dengan tegas melalui ponselnya.

“Siap, ‘Dan!!” sahut Briptu Bakti mengerti.

Kliik


“Ar, tadi si Surya menyuruh untuk mengirim anak buah ke rumahnya?” ujar Hendrik sambil menjambak rambut Briptu Arni agar menengadah melihat ke arahnya.

“Hiiikkss… Iiiiiyaaa…” jawab Briptu Arni sambil menangis menahan rasa sakit karena jambakan Hendrik.

“Bagus. Sekarang, lu ajak si Sukri dan Iman ikut gue!” perintah Hendrik sambil berjalan ke balik meja kerjanya dan mengambil senjata dari dalam laci.

“Kiita mmau ke mana?” tanya Briptu Arni bingung.

“Melaksanakan tugas yang Surya berikan pada lu!” sambil menarik lengan Briptu Arni agar bangun dan mengikutinya.

.
.

.
Setengah jam kemudian…



Briptu Bakti sudah tiba di depan kediaman Surya. Ia menunggu Hendrik sambil merokok sekedar menghilangkan rasa tegang. Begitu melihat mobil yang dikendarai oleh Hendrik datang, ia langsung masuk ke dalam mobil itu.

“Ndan, klo boleh tau kita mau ngapain di sini?” tanya Briptu Bakti masih bingung dengan tugasnya.

“Kita jalankan rencana cadangan. Mumpung si Surya sedang sibuk menyelamatkan putrinya, kita culik bininya!” jawab Hendrik dingin.

“Ndaan. Arni nggak mau ikut kali ini. Ini sangat berbahaya dan Arni takut karir Arni hancur gara-gara ini.” Briptu Arni sedikit menolak rencana komandannya.

“Arni.. Arni… karir lu itu mungkin sudah hancur semenjak penggerebegan dulu, sekarang lu harus mau mengikuti perintah gue agar bisa menutupi aib lu. Hahaha…” Hendrik menjawab perkataan Briptu Arni sambil tertawa nyaring kemudian ia membuka pintu mobil dan keluar.

“Sekarang gue sudah tamat dan semua ini pasti berimbas pada kalian. Dan gue putuskan, kalau gue hancur maka Surya juga harus mengalami kehancuran.” umpat Handerik dengan penuh amarah.

“Kalian jaga di gerbang biar kami bertiga yang masuk!” perintah Hendrik pada anak buahnya yang lain.

“Siap, Ndan!” Mereka menjawab serempak, hanya Briptu Arni yang tak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah rumah Surya.

Dengan tergesa, Surya memasuki gerbang rumah sambil membenarkan posisi pistolnya, diikuti oleh Briptu Bakti dan Briptu Arni.

Tok... Tok... Tok...




Lanjut ke bawah
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd