Chapter 40
Giselle yang dapet perintah dari Sarah, dia langsung ikut lari turun ke bawah sambil nelfon temen-temennya. Kami turun ke basement apartemen, gua sama Sarah pakai mobil Mazda 3 Hatcbacknya Sarah. Sedangkan Giselle naik mobil Audi RS7 yang dipegangin ke dia.
Jam 11 malem, gua tancap gas ngebut ke kosannya Ghana. Jantung gua deg-degan bukan main, ternyata mereka emang licik! Dia gak bisa nangkep dan nemuin gua, dia malah nyakitin orang yang punya hubungan deket sama gua! Mereka bener-bener mulai serius!
Jarak dari apartemen Sarah ke kosannya Ghana sekitar 18 km. Gua akhirnya sampai di kosannya Ghana sekitar jam setengah 12 malem. Tapi waktu gua sampai di parkiran kosan, gua ngeliat ada banyak orang berkumpul di depan kamar kosannya Riska. Kamar Ghana justru sepi.
Gua keluar dari mobil, Giselle, Bross, Diana, dan Hanzel. Mereka berempat juga ikutan turun dari mobil mereka masing-masing. Giselle yang ngeliat kamar Riska rame akan orang. Dia kemudian berkata, “Ada bau darah, salah satu temen deket kamu baru aja mati dibunuh!”
Badan gua gemeteran waktu itu, tapi gua berusaha untuk tetep lanjut melangkah. Gua denger beberapa orang menyebut-nyebut nama Tuhan. Beberapa dari mereka ada yang nelfon petugas kepolisian. Tepat saat gua ada di depan kamar Riska, Giselle ngelarang Sarah untuk masuk.
“Kak Sarah, tunggu sini. Diana, Hanzel guard dari sisi barat dan timur! Biar gua dan Bross yang masuk ke dalem! Ayoo, Angga kita masuk!” Kami bertiga akhirnya masuk ke kosannya Riska. Gua lanjut jalan masuk ke kamarnya, tempat dulu gua dan Riska sering tidur bareng.
Gua langsung shock, bahkan hampir muntah. Gua ngeliat Riska kepalanya putus, kepalanya terjatuh di lantai. Sementara tubuhnya terkapar gak berdaya di atas kasur, dalam keadaan telanjang bulat. Darah membasahi seluruh tempat tidurnya, hingga berubah warna menjadi merah.
Gua bener-bener gak percaya, dengan apa yang gua liat. Gua beraniin diri untuk terus melangkah masuk, gua deketin tubuh Riska yang udah terpisah dengan kepalanya. Baru tadi siang, Riska ngabarin ke gua kalo dia hamil. Gua langsung jatuh bersimpuh di samping kasur.
“Me—Mereka, Mereka benar-benar biadab! CPO tidak seharusnya membunuh dan menyakiti warga sipil yang gak bersalah! Angga, jangan sentuh tubuhnya Riska! Jangan sisain satu pun sidik jari di tubuhnya dia!” ujar Bross yang juga keliatan kaget dan shock bukan main.
“Anjiingg! Anjiingg! Anjiingg! Bajingan kalian semuaa! Bener-bener bajingaan!” Gua bener-bener frustasi ngeliatnya, kemarin gua sama Riska baru aja ketemuan. Riska sama sekali gak ada niatan buat ngelawan mereka! Dia cuma ingin ngebantu gua untuk tetep hidup!
Gua mengepal tangan sekuat tenaga, sampai seluruh tubuh gua bergetar penuh kesedihan dan amarah. “AAARRGGHHHHH!!!!! KALO EMANG INI KEMAUAN KALIAAN! GUA AKAN BANTAI HABIS KALIAAN! GAK AKAN GUA BIARIN KALIAN TENANG! GUA AKAN BALES SEMUANYA!!”
“BANGSAAAT!! BANGSAAATT!! KALO KALIAN MEMANG INGIN MEMUTUS HUBUNGAN KELUARGA SEPENUHNYA!! GUA AKAN MAMPUSIN KALIAN!! GUA BERSUMPAH AKAN BUAT KALIAN SEMUA MAMPUUSS!! GUA AKAN KELUAR DAN TEMUIN KALIAN!! GUA BAHKAN AKAN INCER KALIAN!! GUA AKAN BIKIN SITUASINYA BERBALIIK!!” teriak gua penuh amarah.
Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, akhirnya gua menangis lagi. Riska sama sekali gak ada sangkut pautnya! Hubungan gua sama Riska, murni hubungan percintaan biasa. Di mana mereka juga ngelakuin itu sama istri gua! Gua gak bisa mentoleransi perilaku mereka!
Gua ngeliat kepalanya Riska, tergeletak menghadap langit sambil meringis. Kedua tangannya mengepal ke atas, gua rasanya ingin peluk potongan kepalanya. Gua sama sekali gak ngerasa takut, rasa mual gua terkalahkan dengan perasaan sayang dan hutang budi gua ke dia.
Tapi Bross minta gua untuk jangan sentuh anggota tubuh Riska. Gua bahkan ngeliat ada bercak sperma di dada, perut, dan vaginanya Riska. Itu artinya Riska diperkosa dulu sebelum dibunuh. Dan yang memperkosa pelakunya lebih dari dua orang, ada 4 bercak sperma.
Tiba-tiba di luar gua denger suara teriakan laki-laki. Teriakannya sangat keras, dan gua kenal ini suaranya Ghana. “Gha—Ghana? Dia masih hidup?” Gua langsung lari turun ke bawah, dan gua nemuin Ghana lagi dikerumunin banyak orang. Giselle dan Bross beruaha ngebuka jalan.
Dan gua ngeliat Ghana, seluruh jari kakinya putus. Jari kakinya ngeluarin darah segar sangat banyak. Ghana yang ngeliat kehadian gua, dia langsung berusaha megangin tangan kanan gua pakai kedua tangannya. “Baangg! Riska meninggal, Baangg! Mereka bunuh Riskaa!”
“Gua udah coba tolongin Riskaa!! Gua malah dibawa mereka ke mobil, jari kaki gua diputusin semua sama merekaa! Bahu gua ditusuk dua kalii! Ba—Baangg, tolong lindungin gua! Gua mohon tolong lindungin guaa! Gua gak punya masalah dengan mereka!” ujar Ghana.
Ghana menangis kesakitan, bahkan sampai ingus dan air liurnya keluar dan menempel di wajahnya. “Udah, sekarang lu gak perlu mikirin apa-apa. Orang-orang lagi manggil ambulan, biar kita coba lakuin pertolongan pertama. Supaya pendarahan di kaki dan bahu lu bisa berhenti.”
Gua peluk Ghana, gua coba tenangin dia sebisa mungkin. Kenapa mereka sampai sebegitu bencinya sama gua? Kenapa mereka ngincer orang-orang di sekitar gua? Apa mereka masih ada di sekitar sini? Atau mereka sebenarnya sedang berencana mengepung gua?
Namun setelah 30 menit, di mana keempat CPO bersiaga. Gak ada penyerangan apapun, tapi warga saat itu menangkap dua orang yang bawa samurai. “Ini pelakunyaa! Ini orang yang gorok perempuan di lantai atas! Akhirnya berhasil kita tangkep! Bajingan lu, brengsek!”
Dua orang itu jadi bulan-bulanan warga sekitar, setelah warga selesai mukulin mereka sampai babak belur. Gua coba deketin mereka, dan mereka hanya berpakaian kaos dalem dan celana pendek. Kata penghuni kosan di sini, mereka orang terakhir yang keliatan keluar dari kamarnya Riska.
Setelah Riska terdengar berteriak minta tolong, Ghana yang masih hidup. Memberikan kesaksian memang mereka berdua ada di sana. “Me—Mereka memang ada di kamarnya Riska, Bang! Tapi yang tadi bunuh Riska ada 7 orang, dua orang bawa gua keluar buat nyiksa gua.”
“5 orangnya lagi merkosa Riska sewaktu gua dibawa keluar. Setelahnya gua dibawa ke dalam mobil mereka, bahu gua ditusuk dua kali. Jari kaki gua dipotong pakai pisau. Setelahnya gua denger perbincangan mereka, mereka udah bunuh Riska,” lanjut Ghana ke gua saat itu.
Untuk penanganan sementara, bahu Ghana dililit pakai kain bersih. Kedua kaki Ghana juga dililit pakai kain bersih agar gak pendarahan lebih hebat. Mereka berdua yang dikeroyok, mungkin memang sengaja ditinggalin. Untuk dijadiin tumbal dihukum secara pidana.
Tapi itu semua percuma, Ghana masih hidup dan bisa kasih kesaksian ke kepolisian. Beberapa menit kemudian ambulan datang, satu ambulan bawa Ghana ke rumah sakit. Satunya lagi melakukan evakuasi potongan tubuh Riska bersama petugas kepolisian yang hadir.
Kedua pelaku yang gak berhasil kabur, ditangkap polisi dan dibawa ke kantor kepolisian. Sarah yang ngeliat gua frustasi parah, bahkan sampai terduduk lemas di aspal parkiran. Dia berusaha meluk gua, dan mendekap gua di dadanya. Bener-bener pergerakan gak disangka.
Bross ikut duduk di sebelah gua, dan dia coba berdiskusi sama gua. “Kalo udah masuk ke dalam kondisi kaya gini. Itu artinya mereka emang udah ngajak lu perang. Mereka bener-bener niat mau ngebunuh lu. Kita harus buruan cari dan temuin mereka secepatnya.”
“Kampung halamannya Riska di mana? Lu tau gak Angga?” tanya Diana menanyakan kampung halaman Riska.
“Setau gua kampung halamannya dia di Solo. Gua ada kepikiran mau dateng ke acara pemakaman Riska. Dia udah baik banget sama gua soalnya. Seenggaknya gua mau nemenin dia sampai ke peristirahatan terakhirnya,” jawab gua yang berniat dateng ke Solo.
Diana kemudian berkata lagi, “Adek lu itu, dia pasti dateng ke Solo. Dia akan dateng ke pemakaman Riska. Dia akan berlagak sedih dan berduka cita, dan memberikan simpati serta semangat ke kedua orang tuanya. Kalo lu mau ngehajar dia, di sana waktu yang tepat.”
Sarah yang denger penjelasan Diana, dia langsung mengambil keputusan. “Aku gak tau seberapa baik Riska sama kamu, Angga. Tapi kamu bilang, dia yang bantuin kamu hidup sampai ketemu aku. Kalo gitu, kita berangkat ke Solo bareng keluarganya Riska. Udah waktunya kita kasih mereka perlawanan!”
biar gw colok si Andri
