Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA H-Virus

Asyiikkk... Akhirnya Suhu Duckller turun gunung jg setelah lama bertapa...
Cerita ente bener2 keren & imajinatif abis...

Klo boleh diceritakan detail peningkatan kekuatan & kemampuan fisik si Rio.
Kira2 si Rio bakal balikin bule2 cantik ga yaa...
 
Wiiihh serangan zombie haus sex nantinya..
Hihihi...
 
EXTREME BEAUTY JADI PEMBANTU


Dikisahkan Rio.


"Rio, kapan liburan kuliah?"

"Bulan depan Bude"

"Ohh… sudah hampir tiga tahun nggak pulang, kamu main ke sini 'kan?"

"Umm… ya, sebenernya sih ada temen ngajak ke Bali…"

"Walah. Ngapain ke Bali? Lihat cewek cantik ya? Hihihihi…."

"Aduhh… Bude, ngegodain aja."

"Nggak usah jauh-jauh ke Bali. Tahu nggak, di rumah Bude sekarang ada pembantu yang cantik."

"Ha? Maksudnya?"

"Ya cantik. Kayak artis. Eh… lebih cantik daripada artis sinetron itu. Nggak dandan, cantik banget."

"Beneran, Bude?"

"Bener! Haha…. Kalau mau lihat yang beneran cantik, main lagi aja ke rumah."

"Bude… itu…"

"Lagipula Bude kangen ingin melihat kamu. Pakde juga."

"Baiklah, Bude…."

Setelah bercakap beberapa hal lain, aku menutup telpon dengan pikiran bingung. Penasaran. Bude mana pernah memuji ada pembantu cantik? Lagipula, kalau memang cantik…. Apa Bude nggak cemburu? Tapi nampaknya Bude sangat suka pada pembantu itu, terasa dari nada suaranya, dari caranya bicara. Jadi… yah, kayaknya si Anton harus pergi sendiri ke Bali. Toh dia berniat hunting foto-foto burung… aku senang memotret, tapi tidak terlalu suka burung. Lebih baik memotret cewek cantik.

Namaku Rio, umurku 20, tingkat tiga, kuliah di Ohio University, walau tetap saja berteman dengan orang Indonesia… banyak teman cewek, banyak yang cantik, dan aku suka memotret mereka semua. Bagus buat difoto, tapi tidak untuk jadi pacar. Terlalu manja. Terlalu minta diperhatiin, ditolong, dan serba nggak bisa. Makin cantik, jadi makin seperti porselen Cina: harus ditangani dengan halus dan ekstra hati-hati. Melelahkan. Ngapain pacaran kalau ketemu cewek seperti itu? Satu lagi, walaupun sama-sama sudah tingkat tiga, atau tingkat dua, nampaknya yang cantik-cantik itu kok kurang belajar, ya? Sibuk makeup. Sibuk shopping. Sibuk showing. Sibuk f_cking.

Aku lebih suka yang cerdas dibandingkan yang cantik polesan. Ketemu pembantu cantik, itu membayangkannya…. Terasa sangat menarik. Bikin penasaran.

Ketika liburan tiba, meninggalkan segala kejenuhan dan kepusingan dan ribet serta ruwetnya AS, aku membayangkan diriku berada di BSD, di rumah Bude. Sudah tiga tahun tidak menginjak kaki di sana. Rencana, rencana, rencana…. Jalan ke Anyer-Carita, tentunya. Lalu nonton di Grand Indonesia. Cuci mata di Mall Taman Anggrek, sambil main ice skating. Yang asyik adalah menemukan yang cantik berputar-putar di atas es dengan kaki yang sexy terentang, terangkat. Pemandangan indah. Tidak kalah menarik dibanding Bali… dan kali ini ada bonusnya: pembantu yang lebih cantik daripada artis, walau kagak dandan. Sampai disebut-sebut oleh Bude sendiri! Fiuh! Astaga, kalau ini lelucon, Bude sungguh luar biasa.

Perjalanan dari Ohio ke Indonesia diisi belasan jam di udara, mendarat di pagi hari. Pakde sudah menanti di Cengkareng, betapa menyenangkan kembali menaiki Mercedes tua yang masih mulus ini. Mengembalikan ingatan masa kecil dahulu, sejak SD, SMP, SMA… tiap kali liburan selalu menumpang mobil ini. Kebanggaan Pakde. Menjelang siang di hari Sabtu yang cerah ini, kami sampai.

"Rio! Aduuuhhh…. Kamu main tinggi, makin putih…." -- itulah hasil workout di gym seminggu tiga kali, plus latihan jujitsu dan yudo seminggu empat kali, plus matahari di sana tidak pernah sepanas Jakarta. Bude melakukan ritualnya: peluk erat, cipika cipiki, dan memanggil pembantu.

"Santiiiiii……… sini, bantuin angkat koper..." Biasanya aku bilang, "jangan repot-repot!" Tapi kali ini aku diam, menanti.

Damn. Buset. Benar, cantik sekali!

Santi ini, wajahnya putih, seperti orang Korea. Atau Jepang? Rambut hitam, dikuncir kuda. Wajahnya lonjong, agak lancip, dengan dagu yang membulat. Bibirnya merah muda alami, tidak berlipstik, dengan bentuk yang cantik. Hidung mancung. Tulang pipi tinggi. Mata membulat, dengan model seperti daun, dengan bulu mata yang panjang lentik. Dia tidak butuh bulu mata palsu lagi. Matanya bewarna coklat muda. Alisnya hitam, rapat, modelnya seperti pedang di lengkungan dahinya, alami, bukan hasil gambar pensil alis, bukan hasil tatoo seperti yang dilakukan anak-anak perempuan kampus.

Wajah dan kepala cantik itu ada ditopang leher yang jenjang, putih, tidak bergaris. Bahu yang lebar dan berisi. Dia memakai baju T-Shirt merah yang agak lusuh, tapi bersih, yang tidak bisa menyembunyikan dadanya. Jelas besar, plus kelihatan ada ujung putingnya menonjol, sangat sexy. Pinggang yang ramping. Pinggul yang padat, pantat yang membulat, terbalut oleh rok yang panjang sampai ke mata kaki. Aku melirik jari kakinya yang bersandal jepit: bahkan jari kakinya pun indah, putih bersih, kukunya terpotong rapi.

Dari segala sudut pandang, menurut penilaianku sebagai fotografer, gadis ini sempurna. Lebih indah daripada si Clara yang mengimajinasikan dirinya sebagai model, walaupun pinggangnya sama sekali tidak ramping. Lagipula ada sinar berbinar-binar dari matanya yang besar itu.

Aku merasa wajahku memerah, karena sudah menatapnya begitu lama. Aku memandangnya dan tersenyum. Tapi saat itu nampaknya ia juga hanya terpaku disitu, memandang. Aku melihat rona merah di pipinya juga.

"Ah…"

"Eh…"

Aku dan gadis itu bersama-sama membuka suara. Menggelikan.

Bude yang tertawa paling keras. "Hehehehehehe….. Rio, ini Santi, yang Bude cerita. Nah, Santi, ini Rio, ponakan Bude tersayang yang sekarang kuliah di Amerika. Dari dulu tiap liburan dia kemari… Sekarang, Santi bawa koper Rio ke kamarnya di sebelah ruang makan ya. Ibu mau ngobrol dulu dengan Rio…."

"Iya, Bu. Kak Rio." Santi lantas mengangkat koperku ke loteng. Aku ditarik Bude untuk bercerita tentang kehidupanku di Amerika. Begini, aku sudah seperti anak mereka. Sebenarnya dahulu sekali, Pakde dan Bude punya satu orang anak laki-laki, seumuran denganku, tapi sepupuku ini kena demam berdarah dan akhirnya meninggal dunia. Mereka susah sekali punya anak kedua, karena Bude ada masalah dengan rahimnya sejak pertama melahirkan. Untungnya, kini mereka sudah punya anak kedua, masih kecil.

Sejak kematian itu, aku disayangi Pakde dan Bude seperti anak mereka sendiri. Kuliahku di Amerika juga dibiayai oleh Pakde dan Bude, karena sejak anak mereka lahir mereka sudah menabung. Karena kasih sayang mereka, aku selalu menghabiskan liburan bersama Pakde dan Bude di Jakarta. Orang tuaku sendiri... Mereka bercerai. Sucks. Tahu rasanya jadi anak dari dua orang tua yang bercerai? Menyebalkan. Sudahlah, jangan minta aku bercerita tentang itu, ok?

Seminggu kemudian di hari Senin, kami semua sudah siap berangkat ke Anyer, pantai Carita. Kami punya tempat yang selalu dibooking saat liburan, Mutiara Carita. Pakde bahkan dari dulu sudah mengenal beberapa nelayan di desa sebelah resort, menghabiskan waktu duduk-duduk merokok sambil menikmati hari senja. Namun melihatnya menjadi semakin tua, rasanya perjalanan ini akan berbeda… Lagipula kali ini kami akan berangkat berlima. Pakde, Bude dan Rian ade kecil, aku, dan… Santi.

Santi sama sekali tidak tampak seperti pembantu. Namun Santi 100% mengerjakan apa yang pembantu kerjakan. Angkat koper. Masak air. Masak nasi. Masak sayur. Memasak ikan - surprisingly good! - ala Kalimantan. Membersihkan rumah. Mencuci baju, termasuk baju-bajuku yang tidak sempat dibawa ke laundry waktu balik ke Indonesia. Dan untuk perjalanan inipun Santi yang cekatan bekerja: mempersiapkan kopi untuk Pakde, memasak nasi goreng seledri untuk makan pagi, lalu bumbu dan sambal untuk makan siang. Mempersiapkan baju ganti, mengisi koper-koper, mengurus anak kecil yang biasanya dikerjakan oleh Bude. Kali ini Bude hanya duduk dan memberitahu ini dan itu dan semuanya diselesaikan lebih cepat oleh Santi.

Selama satu hari di rumah, aku lebih banyak tidur, nonton TV (siaran ESPN, tidak bisa ketinggalan NBA), makan, jogging, makan, nonton, tidur…. Habis jetlag sih. Sementara itu, aku memperhatikan gadis cantik ini sibuk kesana kemari. Menakjubkan, secantik itu dan sesibuk itu. Lalu, tibalah waktu kami berangkat ke Anyer.

Sepanjang perjalanan, aku menyetir dan bercakap-cakap dengan Pakde yang duduk di kursi depan. Bude dan Santi duduk di belakang tanpa banyak suara. Sesekali aku mengintip ke belakang lewat kaca spion, Bude sudah pulas. Santi sedang duduk tenang, memandangiku… dan tersenyum. Cantiknya! Buset, apakah aku crush dengan seorang maid?

Setibanya di resort, Santi kembali sibuk membongkar koper, menaruh baju-baju di gantungan lemari yang tersedia. Pakde sudah ngeloyor pergi ke pantai sejak tiba. Bude meneruskan tidur di kamar. Aku, well…. Aku sibuk memandangi gadis cantik ini bekerja. Membereskan baju-baju perempuan -- Bude, Rian dan Santi satu kamar. Aku dan Pakde di kamar sebelahnya.

Karena Bude sudah tidur pulas mendengkur, aku tidak berkata-kata selama Santi sibuk di kamarnya. Belakangan ia masuk ke kamarku dan membongkar koper, kami pun mulai bercakap-cakap… Ternyata, Santi seorang yang cukup cerdas dan enak diajak mengobrol. Banyak yang dia belum ketahui, namun segala hal diingatnya dengan cepat dan bersemangat. Sudah lama aku tidak menikmati bisa ngobrol sambil mengajari seorang perempuan cantik seperti ini… Merasa diri jadi berarti di mata perempuan ini. Tidak istimewa sih, sebenarnya… Santi bahkan tidak menyelesaikan sekolahnya, sedang aku sudah jauh belajar di seberang samudera. Jadi kalau dipikir, ya pastilah aku ada di atas angin… still, tetap terasa menyenangkan memperoleh perhatiannya. Tulus, tidak dibuat-buat. Tidak berharap.

Tidak berharap?

"Kak Rio…. Makasih ya… sudah mau ngobrol dengan Santi." Duh, formal banget.

"Ahaha…. Kenapa, San? Saya juga suka sama kamu kok."

"Oh… ehhh…. Jangan, Kak Rio jangan suka sama saya."

"Lho?"

"Ya… soalnya… Santi nggak…. Santi nggak pantas." Sehabis ngomong begitu, ia terus bangkit dan berjalan ke dalam kamarnya, mengerjakan sesuatu, terus kesana kemari, mencoba mengerjakan sesuatu.

Hanya, di resort ini sudah lengkap semua pelayan. Tidak ada yang perlu dibereskan. Tidak butuh tambahan maid lagi. Santi juga terhitung tamu, bukan pembantu.

Jadi aku membiarkannya, lalu pelan-pelan menemuinya. Tidak ada yang bisa dikerjakan, kami mengobrol kembali. Tapi, kali ini terasa benar ada awan mendung di langit sore yang cerah, di antara deburan ombak yang terdengar sayup-sayup. Berdebur seperti debaran hati.

Setelah berkali-kali tarikan nafas, kisah hidup Santi mulai terurai satu per satu, berderai air matanya, menunduk. Seperti sampah-sampah yang dikeluarkan dari hati, kisah pilu dari ibu dibunuh perampok, pengalaman buruk, diperkosa, dihina, tidak diterima, dicemburui, dikejar iri hati karena bagaimana mungkin orang secantik ini bisa semiskin itu. Santi yang berusaha tetap tegar, tidak jadi perempuan jalanan, tidak mau jadi pelacur seperti banyak tawaran. Melarikan diri, bersembunyi dari tangan sindikat yang suka menculik perempuan cantik. Takut. Takut setiap hari.

Tapi, diperkosa saat muda, digilir beberapa pemuda…. Itulah yang membuatnya merasa tidak berharga. Seperti piring yang telah retak. Seperti baju yang telah robek. Dia berpikir aku harusnya menerima perempuan yang utuh, yang 'layak'. Santi tidak merasa berharga, jadi kalau bisa berbicara seperti ini pun, dia berulang kali mengatakan 'maaf', dan 'jangan marah ya' dan 'permisi ngomong'….

Ah, seandainya saja Santi tahu. Di Athens Ohio, Amerika, masih banyak perempuan yang menjaga diri. Tapi ada juga gadis-gadis yang berbahagia jika sudah ditiduri semua pejantan di klub football. Yang sengaja memakai g-string dan rok super mini dan cunt -- err, memek -- yang dicukur habis, sehingga saat kakinya yang jenjang itu diangkat tinggi, semua bisa sekejap melihat bibir vagina merah muda merekah menyembul di antara tali-tali g-string yang tipis.

Santi menatap takjub saat aku menyelesaikan penuturan heboh ini.

"Beneran? Kok mereka mau sihhh…..?"

"Wah, saya nggak tahu kenapa mereka mau…."

"Tapi… kalo Kak Rio, mau?"

"Mau apa?"

"Err…. Ya itu…. Kak Rio ikut melihat…. Itu?" Sambil menunjuk selangkangannya. Aku mengangguk. Merasa wajahku menjadi panas. Pastinya nampak merah.

"Eh… yah… namanya laki-laki, saya kan normal, jadi…. "

"Jadi, Kak Rio udah….?"

Aku terdiam sejenak. Harus menghela nafas, mengeluarkan udara yang menyesakkan paru-paru.

"Belum San, seumur hidup belum pernah tidur dengan perempuan."

"Ohh… tapi, kenapa? Kalau Kak Rio…. Ganteng begini…. Ya pasti banyak yang mau kan?"

"Yaaahhh…. Iya sih, ada yang mau. Beberapa malah, yang mengajak.

Tapi, saya pikir, mereka membuat seks… err… hubungan begituan, jadi seperti makan di restoran. Lapar, makan. Ingin seks, ya cari tempat di sini atau di sana, terus tancap.

Saya punya teman sekamar, room mate, yang suka seks. Pernah sekali waktu, mereka ngeseks di kamar, padahal saya masih tidur di situ. Tapi, kalau sudah begitu, sudah tidak ada rasanya lagi, San….

Kadang terasa seperti binatang, kamu tahu? Ngeseks karena ingin. Berhasrat, tancap. Yang cewek ingin digarap memeknya, sampai puas. Yang cowok juga. Bukannya gak enak, itu rasanya luar biasa, tapi juga jadi seperti binatang. Mereka tidak peduli perasaan intim, perasaan memiliki. Ngeseks, tapi tidak saling memiliki. Tidak saling menghargai. Itu hanya saling memenuhi kebutuhan, supaya tidak merasa…. Well, mungkin mereka merasa kesepian, karena mereka sangat hanya memikirkan diri sendiri.

Beda jauh, kamu sangat berbeda. Kalau soal seks, kamu sudah diperkosa, tapi bukan berarti kamu jadi sembarangan. Kamu masih jaga. Santi masih menjaga diri, tahu diri, bukan sembarangan. Pada akhirnya, kan bukan soal seksnya, tapi bagaimana kita memperlakukan dan menghargai diri sendiri. Memperlakukan dan menghargai orang lain juga.

Kamu cantik sekali, Santi…. Tapi kamu menghargai diri dan melayani orang lain dengan baik."

Aku memandang Santi yang wajahnya merona merah. Ia menggeleng.

"Tidak Kak…. Saya kan memang pembantu, ya harus bekerja begini."

"Bude bercerita, kamu benar-benar istimewa. Kamu mengerjakan sangat baik, lebih dari pembantu sebelum kamu."

"Tapi, saya memang harus…. Lagipula, saya…. Saya sudah salah besar pada Ibu."

"Salah besar?"

Santi terdiam.

"Kak Rio, nanti… Kak Rio kalau tahu salah saya, pasti akan memandang saya buruk sekali."

"Kalau Santi baik, kan bukan karena perkataan kamu San.
Kalau saya memandang kamu baik, itu karena mata saya memandang apa yang baik.
Bukan karena mendengar apa yang baik.
Kalau saya mendengar yang buruk…. Tidak berarti saya pasti memandang kamu dengan buruk."

Santi terisak.

"Tapi saya bersalah besar, ini beban berat…."

"Kalau tidak diceritakan, bebannya selalu memberati kamu, San"

"Kak Rio tidak akan meneruskan cerita saya 'kan?"

"Ini hanya di antara kita berdua saja, San."

Santi bercerita pengalaman lainnya. Terbata-bata. Tentang bagaimana Santi mengintip Pakde dan Bude sedang bercinta. Tentang birahi yang muncul. Tentang Santi yang membiarkan dirinya menemani Pakde yang sakit. Tentang Pakde yang minta dipijit. Tentang Pakde yang akhirnya ngeseks dengan Santi. Khilaf.

Pakde dan Santi tidak pernah melakukan itu lagi setelah itu. Sama-sama merasa bersalah. Bagi Pakde, setelah mencicipi tubuh Santi, sudah. Bagi Santi yang semula menganggap Pakde jadi ayah, merasa bahwa semua kejadian itu adalah salahnya. Membuatnya jadi merasa rendah. Melacurkan diri.

Di akhir cerita, Santi tidak berani mengangkat wajahnya. Ia menangis, tidak bersuara, tapi air matanya berderai, mengalir di pipinya yang halus. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menggeser duduk, kini di sisinya. Aku meraih kedua pundaknya, menariknya. Santi sedikit lebih pendek dari tubuhku, wajahnya jadi terbenam di dadaku. Aku merasakan air mata membasahi baju kaos, terasa di dada. Hangat. Aku memeluknya. Santi menangis, jadi semakin keras. Kedua tangannya lemas di sisi tubuh, jadi aku memeluknya lebih erat.

Lima menit berlalu. Kami tidak berkata-kata. Santi menggeser tubuhnya, lebih merapat sehingga kepalanya bersandar di bahuku. Aku memeluknya erat, tidak melepas.

Saat itu aku baru menyadari bahwa kedua buah dada yang bulat kenyal sedang menekan dadaku. Santi memakai BH kain yang tipis, tidak ada busanya. Aku merasakan kehangatan yang istimewa dari tubuhnya. Ingin lebih. Aku tidak pernah merasakan sedekat ini dengan perempuan manapun. Dan rasanya, Santi lebih cantik daripada perempuan yang manapun yang aku temui… walau dia hanya seorang pembantu yang tidak lulus sekolah. Kecerdasan seorang bukan karena sekolahnya sampai di mana, bukan? Karena aku juga sudah menemukan gadis-gadis yang sudah lulus high school tapi sama sekali tidak cerdas.

Kali itu, aku ingin menjadi bagian darinya. Aku ingin menciumnya. Aku merenggangkan pelukanku. Santi masih tertunduk, malu. Tanganku memegang dagunya yang lembut dan basah. Mengangkatnya. Wajahnya memandangku, mata yang basah, agak sembab, sekaligus lega. Matanya memandang ke samping, tidak berani menatap.

"Santi…."

Kami saling bertatapan. Aku memandang matanya terkejut, bersiap menghadapi hinaan atau cercaan. Tapi Santi hanya menemukan tatapanku yang menginginkannya. Aku melihat sinar mata yang berterima kasih. Senyum yang merekah di bibir yang merah. Aku mendekatkan wajahku. Santi memejamkan matanya. Aku mencium bibirnya. Seperti, orang yang baru saja pernah berciuman - walau aku sudah sering berciuman dengan perempuan. Tapi ini berbeda, karena perasaanku tercurah kepada gadis yang bukan gadis lagi ini. Bukan, Santi seorang wanita yang mendambakan kasih sayang.

Dan aku mengasihinya dengan segenap hati.

Tubuhnya melemas dalam ciuman yang dalam. Aku memeluknya, menopangnya. Ciuman itu menghabiskan nafas kami, karena sepanjang ciuman itu nafas ditahan dalam-dalam. Rasanya seperti ada aliran listrik di bibirnya, menyengat lembut, mengalir, menggetarkan, dari kepala sampai selangkangan. Aku merasakan penisku mengeras di balik celana pendekku. Mengetahui bagaimana gadis ini sudah mengenal seks…. Membuat beberapa hal menjadi lebih mudah. Setidaknya aku tidak akan membuatnya berdarah-darah.

Tapi kami tidak melakukan apa-apa di sepanjang perjalanan ini. Hanya kini, setelah Santi tahu bahwa aku bisa menerima dirinya apa adanya, dia jadi lebih bebas, dan nampak lebih bahagia. Lebih banyak tersenyum dan tertawa. Ternyata, Santi seorang periang yang humoris juga. Pakde, Bude, Rian, aku, dan Santi, kami berlima seperti keluarga utuh yang sedang menikmati liburan bersama. Kegiatan utama adalah foto dan foto dan foto. Aku kan fotografer dan Santi lebih dari cukup untuk jadi seorang model. Tubuh ideal model: ramping, cukup tinggi, proporsi sempurna.

Perjalanan balik ke BSD lebih banyak diisi oleh Pakde dan Bude yang tidur, sementara aku menyetir dan Santi bercerita dan bertanya tentang apa saja, seperti "kenapa pesawat bisa terbang?" Sesampainya di rumah, Pakde dan Bude mengeloyor masuk ke dalam, sementara aku dan Santi mengeluarkan semua koper. Santi dengan cekatan membawa koper-koper ke dalam rumah sebagian demi sebagian. Kembali jadi super-maid, membereskan segala sesuatu dengan kecepatan dan efisiensi tinggi. Lalu dilanjutkan dengan membersihkan rumah yang sudah beberapa hari ditinggal.

"San, istirahat dulu."

"Kak Rio aja istirahat, kan sudah nyetir. Tadi Santi udah istirahat terus sepanjang jalan."

Aku mengeloyor masuk, membawa koperku masuk ke kamar. Kamar tamu yang selama ini selalu menjadi kamarku sepanjang liburan. Setidaknya, Santi tidak perlu membereskan koperku; aku bisa mengeluarkan pakaian kotor dan menaruhnya di keranjang cucian. Setelah itu aku mengambil handuk, terus menikmati shower air dingin, setelah melalui perjalanan panas dan membosankan di sepanjang tol dari Anyer sampai BSD. Untung ada Santi yang menemani ngobrol. Aku tahu, dia sama sekali tidak beristirahat….

Keluar dari kamar mandi, aku hanya memakai celana pendek. Bertelanjang dada, toh berkat gym rutin aku memiliki dada yang cukup lebar dan perut six pack. Aku tidak membawa celana dalam tadi, jadi begini saja terasa adem, sementara hari semakin gelap. Aku mengambil secangkir kopi panas, berdiri di depan teras, menikmati matahari yang segera terbenam. Nampaknya sepi sekali, seperti tidak ada orang. Aku tidak tahu Santi ada di halaman, membersihkan daun-daun. Ketika aku melihatnya, ia seperti sedang tertegun menatapku.

Oh, gimana sih, ia memandangiku tanpa baju. Aku terus bergegas masuk kembali, taruh gelas kosong, langsung ke kamar memakai baju t-shirt. Juga, memakai kembali celana dalam. Aku tidak tahu… mungkin Santi tadi bukan hanya memperhatikan dadaku yang telanjang. Mungkin…. Soalnya aku memiliki penis yang ukurannya cukup besar, bahkan di saat sedang tidur begini. Kalau dibanding teman-temanku yang bule dan african sih, mungkin hampir sama saja, atau sedikit lebih besar. Tapi kalau dibandingkan ukuran orang asia… Dan itu nampak dari luar celana pendekku, kalau aku tidak mengenakan celana dalam. Bodohnya aku...

Saat makan malam, Pakde memberitahuku bahwa ia dan Bude harus segera ke Semarang selama dua minggu. Pakde minta maaf karena tidak bisa melanjutkan rencana kami; tapi ini ada rekan bisnisnya di Semarang yang mendadak mengubah jadwal dalam penyusunan proyek, di mana Pakde saja yang mengerti detailnya. Perubahan ekonomi, katanya, jadi Pakde harus membereskan pekerjaan dua bulan dalam waktu sepuluh hari. Maka, dua belas hari ia harus berada di Semarang, ditemani Bude bersama Rian, yang kangen dengan adik-adiknya di sana.

Pakde merasa sangat menyesal. Seharusnya aku jalan-jalan di Bali saja. Tapi, kali ini aku memilih di rumah… Toh ada Santi. Bude memberi saran, barangkali Santi bisa menemani jalan ke mall. Bisa melayani keperluanku. Bisa…. Entah kenapa si Bude ini, tapi dia nampak tulus.

Jadi keesokan paginya aku mengantar Pakde, Bude dan Rian ke Cengkareng. Balik lagi ke rumah, sudah lewat tengah hari. Lapar. Sehabis memasukkan mobil ke garasi, aku terus ngeloyor ke dapur. Santi sedang mengupas sesuatu -- bawang, mungkin -- dia tidak melihatku. Aku terpana, tidak bersuara. Santi baru saja mandi, keramas, rambut hitamnya tergerai. Memakai tanktop putih. Bahu yang putih berisi. Memakai celana pendek yang ketat, memperlihatkan bongkahan pantatnya, bulat. Paha yang putih jenjang, halus.

"Santi…."

"Ehhh…. Kak Rio…" Santi berbalik. Deg. Aku melihat puting susunya di balik kaos yang tipis. "Ehh…." Santi terus berbalik lagi.

"Kak Rio sudah makan?"

"Belum, lapar nih."

"Santi panaskan sayur ya. Kakak tunggu saja di meja makan." Ia menungguku berlalu.

Beberapa saat kemudian, Santi datang ke meja makan dengan t-shirt dan BH, dan rambut basahnya diikat handuk. Ia memakai rok panjang sampai ke betis. Sayang, kakinya indah sekali kini tertutup….

"Makan yuk."

"Umm… Santi makan di dapur aja."

"Jangan, di sini aja."

"Nggak pantas Kak, Santi kan pemban…"

"San, kan kamu manusia juga." tukasku cepat.

Santi terpana, tapi nampak senang. Ia mengambil piring nasinya lalu duduk di sisiku. Bersebelahan.

"Santi, aku jauh lebih ingin ditemani kamu makan daripada makan apapun yang dibilang enak namun sendirian."

"Iya… iya deh. Haha… sebenernya Santi malu. Masakan Santi mungkin nggak enak."

"Ahh…. Apa aja yang dari Santi pasti enak."

"Nggak lahh…"

"Bener. Bibir Santi enak."

"Kak Rio…. Santi juga…. Eh… itu, yang pertama kali… ee… ciuman…" wajah cantiknya merona merah. Makin cantik.

"Bibir Santi yang lain mungkin lebih enak." Aku menjadi lebih nakal. Lebih berani.

"Bibir Santi yang lain?"

"Duhhh…. Udah, makan dulu."

Aku makan, terburu-buru. Tidak banyak. Yang saat itu aku inginkan bukan makanan, tapi aku menikmati keberadaan Santi yang sedang makan di sisi kananku. Di rumah yang kosong, hanya berdua.
Anyway, masakan Santi, terasa enak. Benar-benar enak.

"San, masakan kamu enak."

"Kak Rio cuman asal memuji."

"Beneran."

"Masa?"

"Sini, cobain…"

Aku merengkuh Santi. Mencium bibirnya. Ia menyapukan lidahnya di bibirku.

"Gimana?"

"Enak…"

"Bener 'kan? Lagi…?"

"Kak Rio…."

Ciuman itu semakin dalam. Semakin menginginkan. Ingin lebih. Aku memeluknya dengan tangan kanan. Telapak tangan kiriku menyentuh buah dadanya. Bulat. Kenyal. Di antara jari-jariku, kurasakan puting susunya mengeras.

Karena Santi duduk di sisi kananku, kedua tangannya bisa menyentuh pahaku. Aku merasakan jari-jarinya meraih penis yang mengeras di selangkanganku. Ia mengusap tonjolan membulat di luar celana pendek katun tipis itu. Getarannya membuat ciumanku semakin dalam. Lidah kami saling menyapu, memijit, membelit.

Tangan kiriku turun ke bawah. Ke paha. Mengelus kaki yang terbalut rok, menuju ke selangkangan wanita cantik ini.

"Ohhh…. Kak Rio… aku…"

Santi mendorong tubuhnya. Kursi makan berderit karena gerakan tiba-tiba itu. Ia terus berdiri, memunggungiku.

Aku juga berdiri. Menghampiri Santi, aku terus memeluknya dari belakang.

"Jangan Kak…. Saya tidak pantas…. Kak Rio sangat baik…"

"Kenapa, San? Apa yang tidak pantas?"

"Kak Rio nanti menyesal."

"Saya tidak menyesal San.

Sungguh, sebenarnya, saat ini saya bahagia. Saya tidak pernah menemukan gadis seperti kamu."

"Saya tidak pantas…."

"Apanya?"

"Saya tidak baik, Kak… Aku…." Santi terisak.

Aku memutar tubuh Santi. Kini ia berdiri berhadapan denganku. Masih tertunduk, menangis.

"Saya belum menemukan yang lebih baik dari kamu."

"Saya miskin. Keluarga saya… dan… dan saya sudah cacat, Kak."

"Kenapa, karena kamu sudah diperkosa?"

"Iya. Sudah… saya juga sudah suka ditiduri. Ingin… tapi tidak pantas… malu… jangan…."

"Itu tidak membuat kamu jadi buruk… Saya juga ingin…"

"Saya tidak perawan lagi. Saya sudah… sering… memegang ini saya sendiri… membayangkan Kak Rio…."

"Santi, bagaimana kamu jadi tidak pantas, kalau kamu menginginkan saya?"

"Perempuan seharusnya tidak boleh menginginkan…. Itu…"

"Lihat saya, San…"

Santi menengadah. Matanya bening berkaca-kaca. Alisnya berkerut. Menatapku. Hasratnya nampak membara, setengah mati ditahannya. Menjadi siksaan. Menyiksaku juga.

"Aku juga menginginkanmu."

Santi memejamkan matanya. Aku menciumnya lagi. Kali ini tidak ada keraguan, ciuman ini adalah pelepasan gairah, memuaskan nafsu yang ditahan-tahan. Sambil berciuman, sambil berdiri aku meraih ke pinggang belakang Santi. Melepas kaitan roknya. Menurunkan resletingnya. Rok panjang itu terjatuh.

Aku meremas pantatnya. Merasakan tonjolan penisku menekan selangkangannya. Kemudian aku menarik t-shirt melalui kepala Santi. Menikmati keindahan tubuh yang elok, terbungkus oleh celana dalam kain biasa dan bh katun yang tipis. Kedua putingnya menonjol.

Beberapa langkah dari meja makan adalah pintu ke kamarku. Aku terus membopong Santi ke atas ranjangku, sambil terus berciuman. Tangannya merangkul erat. Tidak mau terpisah. Ingin menyatu. Ingin bersetubuh.

Di atas ranjang, Santi melepaskan kait BH nya. Aku melepas baju kaosku. Melepas celana pendekku. Kami berdua kini hanya bercelana dalam. Aku mencari bibir yang indah itu. Tanganku meremas susunya. Kedua pasang kaki kami saling membelit. Hangat. Panas.

Sabtu merenggangkan pahanya. Kedua kakinya diangkat. Kini penisku yang keras menekan tonjolan empuk vaginanya. Hanya kain celana dalam yang membatasi. Aku menekan, menarik, menekan. Setiap kali membuat nafas Sabtu semakin memburu. Tangan Santi meraba tepian celanaku, menariknya. Berusaha melepasnya, walau Aku masih menindihnya. Tanda bahwa Santi menginginkan.

Untukku, pertama kalinya, aku sungguh-sungguh menginginkannya.

Aku berdiri. Melepas celana dalamku. Penis yang keras terasa menyakitkan di bagian pangkalnya. Terlalu lama ditahan. Terlalu tegang, besar. Menanti pengalaman pertama, aku sedikit gemetar.

Santi terdiam. Menunggu. Aku meraba kedua kakinya yang panjang dan indah. Betis yang bulat berisi. Otot yang terlatih dengan segala pekerjaan rumah tangga. Aku merabanya, turun ke pahanya yang halus dan kencang. Aku meraih celana dalam Santi. Ia menatapku, menunggu. Menyerahkan. Aku menarik celana dalamnya, memperlihatkan vagina yang rapi. Santi sedikit mencukur bulu vaginanya di bagian tepi, rambut jembutnya lebat di tengah-tengah. Aku melihat bibir merah basah. Merah muda. Merekah. Memanggil.

Aku tidak pernah melakukan ini, tapi saat itu benar-benar ingin mencium vagina yang indah milik Santi. Jadi aku menaruh bibirku bersentuhan dengan bibir vaginanya, membuat Santi merintih-rintih. Wangi. Rasanya sedikit asin. Aku menjilat. Santi menggelinjang, merintih makin keras.

"Kak Rio…."

Aku mencumbu vagina yang semakin basah dan berdenyut-denyut itu. Kedua tanganku memeluk kedua pahanya, yang menjepit kepalaku. Santi tidak hanya merintih, kini ia menjerit lirih. Beberapa menit kemudian, tubuhnya mengejang. Orgasme. Pantatnya naik turun, melonjak-lonjak, membuatku kesulitan mempertahankan bibirku menempel bibir vaginanya. Aku juga tidak tahan lagi.

Aku mengambil posisi di atas tubuh Santi. Kedua pahanya mengapit pinggulku. Kedua lututku bertumpu di ranjang, mengambil kuda-kuda. Aku merasakan kepala penisku persis ada di vagina Santi -- atau memek? Ya, memek gadis itu basah. Aku tidak tahu, tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Aku masih perjaka.

Aku tidak lagi ingin jadi perjaka. Aku menekan ke bawah. Ujung penisku tergelincir.

"Ohh… San… sorry…"

"Kak Rio… belum pernah ya?"

"Belum."

"Dengan Santi, yang pertama ya?"

"Iya…"

Santi meraih pangkal penisku. Mengarahkannya.

"Masukin Kak… "

Aku menekan. Pantatku berayun turun. Aku merasakan penisku menyeruduk masuk. Sempit, tapi elastis, licin berlendir, berdenyut-denyut.

"Oohhh Kak…. Besar sekali…."

"Sempit…"

"Punya Kakak sangat besar. Paling besar…. Rasanya…. Rasanya sakit… tapi enak."

Aku jadi khawatir.

"Boleh terus?"

"Masukin… masukin semua ya Kak."

Aku menurut. Aku menekan, sampai tidak ada lagi yang bisa masuk.

"Ahhh…. Penuh Kak! Penuh! Kakak memenuhi Santi…."


Memek Santi berdenyut lagi, semakin keras. Aku tahu ia baru orgasme, tapi nampaknya Santi terus mengejar orgasmenya lagi. Ia menggetarkan pantatnya, kakinya menjepit tubuhku erat. Aku mengikuti gerakannya dengan naik turun. Penisku keluar sedikit. Masuk lagi. Keluar lagi. Terus begitu, semakin cepat. Aku tidak bisa berpikir. Aku tidak bisa menahan. Aku melesakkan penisku dalam-dalam.

Santi orgasme, memeknya memeras penisku. Aku menggelinjang, otomatis bergerak lebih cepat. Santi yang baru menikmati puncaknya, malah terus naik lagi, mengimbangi gerakanku. Tubuh kami menggeliat bersama, berirama. Kepala Santi mengayun ke kiri dan kanan. Ia mencapai orgasmenya lagi. Aku makin kesetananan. Penisku menggosok kuat-kuat. Santi menjerit lirih, ia juga merasakan desakan kuat, lebih keras lagi. Berguncang.

Hampir sejam sejak penisku menembus vaginanya, Aku ejakulasi, berdenyut-denyut menembak di dalam.

Kami menahan nafas. Waku berhenti. Kami melayang ke langit. Aku baru tahu bahwa kenikmatan seks adalah seperti ini. Tapi bagiku, ini bukan hanya fisik, tetapi penyatuan. Saat itu aku tahu, bahwa aku ingin bersatu selamanya dengan Santi. Bahkan, seandainya Santi hamil pun, aku menerimanya dengan bahagia. Aku sudah jadi satu tubuh dengannya. Bukan hanya satu tubuh, tapi juga satu jiwa.

Kami berpelukan kuat. Santi masih mengepit tubuhku dengan kakinya yang indah. Nikmat. Aku baru sadar sekarang kenapa perempuan yang kakinya panjang nampak seksi.

"Santi…" aku memandangnya.

"Kak Rio… keluar… di dalam?"

"Santi, aku cinta padamu."


Penisku masih keras tertancap di dalam dirinya.
 
"kau:aduh: jepitnya terlampau kuat sich, San! mana bisa nahan... :konak:keceplosan lha akhirnya."​
 
Waaahh....baguuuss suhuu...
Alur cerita (skenario) nya kuat nih, bahasa nya enak dibaca dan... Humanis.
Jangan sampe melenceng dari konsep H-Virus nya ya huu... (Berharap seperti yg gw bayangin)
Semangat suhu..!!
Jangan nggantung yak update an nyah..
 
Bimabet
Ceritanya mantab suhu. Selalu mantau perkembangan. Alurnya juga enak. Semangat suhu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd