Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA H-Virus

mantab iniiii... wajib lanjut... btw, ngebayangin santi, jd kebayang si DJ katty Butterfly.. hahahaha
 
Virus ini kan menular lewat cairan tubuh yaa..
Terus si Santi gimana tuch suhu, tertular kah??
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Damn, What a good story! Gw suka nih sama ini cerita, lanjutin terus....
 
AKU MAU JADI BUDAKNYA

JAM 8:05pm. Dr. Jennifer Simmons Ph.D, kepala lab pathologi CDC memandang layar monitor yang menunjukkan tampilan mikroskop dari sampel darah. Ini adalah kiriman dari Dakota County, yang telah kehilangan 40% populasinya karena wabah sejak tiga tahun lalu. Melalui kerja keras dan terkoordinasi dengan WHO, penyebaran H-Virus ke seluruh dunia bisa dibatasi. Sudah enam bulan ini tidak ada lagi insiden baru orang meninggal dengan tubuh merah, atau kehilangan kewarasan.

Tapi, sampel darah yang dibawa ini menunjukkan hal lain. Simmons mengklik replay dari rekaman sampel darah satu bulan lalu, tiga bulan lalu, setahun lalu... Dua tahun lalu. Kini perbedaannya nyata. H-Virus kini mempunyai flagella, ukurannya pun menjadi semakin besar -- walau tentunya masih berukuran jauh lebih kecil daripada sel manusia. Dahulu, virus langsung menempel pada inti sel dan membuat perubahan. Kini, H-Virus tidak terus memasuki inti sel, hanya ada benang-benang halus yang terbentuk di sekitar nukleus.

"Kerja lembur, Simmons?" sapa seorang pria tegap tapi kepalanya berambut tipis. Jennifer mengangkat pandangannya dari monitor mikroskop yang kini sedang merekam.

"Ya Pak Direktur Coulson. Lihatlah ini adalah sampel dari Dakota. Jelas bahwa ada peningkatan viral lantency dari H-Virus, dan kini nampak dalam keadaan dormant."

"Ini mutasi virus ke berapa?"

"Ini variasi ke tujuh Pak."

"Hmm... H-Virus pertama menyebabkan kematian 99,9%, dengan tingkat penularan kecil.... Kita prihatin dengan kematian ratus ribuan orang yang pertama kali terpapar, namun dengan jangka waktu penularan dan kematian hanya dua minggu, kita bisa melakukan pembatasan penyebaran dengan lebih mudah.

Tapi, kalau viral latency (kemampuan untuk virus berdiam diri dalam sel inang, tanpa melakukan sesuatu alias dormant) seperti ini.... Jadi mereka tidak menyebabkan kematian dalam waktu dua minggu?"

"Tidak pak. Kini H-Virus telah bermutasi menjadi sejenis cytomegalovirus."

"HCMV? Ada hubungannya dengan herpes?" -- (HCMV = Human Cyto Megalo Virus)

"Ya Pak, nampaknya mutasi ini terjadi karena interaksi ketika penderita herpes tertular H-Virus."

"Dan jadi lebih menular?"

"Nampaknya demikian. Dari modelnya, ini dapat menular lewat cairan tubuh, sentuhan, air... Bahkan lewat udara. Ini nampaknya jauh lebih menular dibanding herpes."

"Ya Tuhan.... Eh... Sebentar. Saya tdak mengerti. Anda bilang virus latency tinggi, tapi juga sangat menular? Kok bisa? Kalau virusnya dormant, diam saja, tentunya tidak menular."

"Ini fasenya sangat tidak normal, Pak. Virus biasa butuh waktu untuk masuk, menetap, dan terus menyebar. H-Virus kini masuk dan terus menyebar lalu masuk dalam fase latency, diam. Kecuali...."


Jennifer dengan cepat menekan tuts keyboard. Melakukan searching. Tiba-tiba, wajahnya menjadi tegang. Ia terus menoleh kepada Pak Direktur Coulson.

"Lihat ini data dari orang-orang yang sudah kehilangan kewarasan saat penularan pertama. Otak besar mereka dikuasai oleh virus, yang menjadi lebih aktif di sekitar hormon oxytocin dan vasopressin... Errr... Itu adalah hormon seks. Virus ini mendorong aktivitas seks karena menyukai level tinggi dari oxytocin.

Ini adalah data-data dari virus saat ini. Tetapi kemungkinan virus ini baru aktif saat orang sudah.... Meninggal."

"Orang mati tubuhnya tidak bekerja lagi, Jen." tukas Coulson.

"Betul, tapi dalam hal ini virusnya mengambil alih fungsi inti sel. Selain itu metabolisme dan penyerapan oksigen juga meningkat, membuat tubuh menjadi lebih kuat... Setelah orang itu mati."

Coulson menggelengkan kepalanya. Dahinya berkerut.

"Apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kita mengobati?"

"Tidak diketahui, Pak. Satu-satunya cara.... Kita harus mendapatkan sampel dari orang yang hidup saat pertama H-Virus terlepas. Hanya ada 6 orang."

"Baiklah. Tetap rahasiakan hal ini, Jen. Mulai sekarang, perkembangan apapun harus dilaporkan langsung kepada saya saja. Bagaimanapun kita tidak ingin menimbulkan kepanikan di masyarakat."

"Baik, Pak."


Pak Direktur Coulson bergegas ke ruang kantornya dan mengambil berkas-berkas dari atas meja kerjanya. Ia melihat sebuah kartu nama tergeletak di balik tumpukan: Phil Morris, Truman Pharmaceutical. Coulson mengambil handphone dan menekan nomor pribadi yang tercetak halus di kartu nama itu.

"Phil? Ini Coulson. Mutasi sudah masuk ke tujuh. Sebaiknya kalian bergegas. Okay? Bye."


~~~~~~~~~~~~~~``|~~~~~~~~~~~~~~``​


Homer adalah sebuah desa kecil dengan penduduk tidak sampai 1000 orang, terletak di Dakota County, Nebraska. Keluarga Willburn berkumpul di rumah Hotah Willburn, karena istrinya Chumani terjatuh hingga terbentur kepalanya, tidak sadarkan diri selama dua hari. Mereka sangat khawatir, masalahnya si tua Hotah tidak mau memanggil ambulan. Ia adalah seorang indian keturunan suku Sioux, dan cukup yakin dengan kesembuhan dari pengobatan tradisional.

Tapi jerit tangis dari kamar memberi pertanda lain. Hotah menunduk, air mata menetes di wajahnya yang tua. Chumani begitu manis, usianya baru 39 tahun, enam belas tahun lebih muda dari dirinya. Mereka sudah menikah selama 20 tahun, mempunyai empat orang anak, semuanya bersekolah di Homer Elementary School tempat Chumani mengajar. Arti kata Chumani dalam bahasa sioux adalah 'tetesan embun', begitulah sifatnya yang segar, halus, dan cantik. Oh, Chumani... Mengapa harus pergi lebih dahulu? Hotah memasuki kamar mereka, di mana jenazah istrinya terbujur seperti sedang tidur. Tidak kaku seperti biasanya jenazah. Masih hangat.

Ia menyuruh keempat anaknya dan semua orang lain keluar dari kamar. Hotah menginginkan saat berdua terakhir dengan istrinya, walau kini sudah tidak lagi bernafas. Wajahnya yang berkerut-kerut itu menunduk, memberikan ciuman di bibir Chumani yang indah. Bibir itu terasa hangat, tidak dingin. Seperti mencium seorang yang masih tidur... Hanya ini benar-benar tidak ada nafasnya. Tidak ada denyut jantungnya.

Penasaran, Hotah memeriksa dada istrinya, menekan tempat nadi di leher. Benar-benar tidak ada lagi detakan. Benar-benar sudah meninggal, tapi tubuhnya tidak dingin. Ia memperhatikan wajah istrinya yang seperti sedang tidur, dan mulai melihat bahwa di bawah kulit wajah, muncul garis-garis hitam, seperti pembuluh darahnya menghitam. Daerah di sekitar mata juga menjadi hitam, semakin lama semakin cepat. Chumani kini seperti memakai sebuah topeng hitam menjadi pita di sekitar matanya, kulitnya hitam seperti terbakar.

Dan tiba-tiba saja, denyut jantungnya terasa kembali di dada. Chumani mendadak membuka matanya, menghirup nafas kuat-kuat. Perempuan itu menjerit "RAAAAAAHHHHHHHHHH!!" sampai Hotah terlempar jatuh dari ranjang, menghantam dinding. Perempuan itu langsung bangkit, berdiri membungkuk seperti seekor monyet, memandang ke arah suaminya. Matanya yang hitam membelalak. Hotah sangat ketakutan, sehingga tidak mampu bergerak.

Dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti pandangan mata, Chumani bergerak dengan cepat dan menindih Hotah yang tergeletak di lantai. Ia terus menggigit leher pria tua itu. Hotah menjerit.

Tapi dari gigitan itu, Hotah seperti mengalami rangsangan yang sangat hebat. Penisnya yang tua segera menjadi keras, sangat tegang. Chumani seperti masih mengingat tentang celana laki-laki, tangannya dengan cepat membuka ikat pinggang dan kancing dan resleting, dan dengan satu gerakan cepat menarik lepas celana panjang berikut celana dalam. Penis lelaki itu mengacung tegak, keras. Chumani merobek celana dalamnya sendiri, terus mengangkang dan memasukkan penis itu ke dalam vaginanya yang basah.

Sejenak, kedua orang itu terdiam. Kemudian, Chumani dengan liar menaik turunkan pinggangnya dengan kuat, sambil terus menunduk dan kembali menggigit, sambil menghisap darah yang mengalir deras dari leher. Ketika perempuan itu selesai, suaminya sudah tidak bernafas di lantai yang bersimbah darah.

Di saat itu, pintu kamar berhasil didobrak orang. Mereka semua tercengang melihat pemandangan horor itu, Hotah yang tergeletak di lantai yang digenangi darah, sedang Chumani wajahnya berlumuran darah. Tiga orang laki-laki besar segera masuk untuk menenangkan Chumani, tapi mereka terkejut karena perempuan itu mempunyai kekuatan yang sangat besar. Dengan satu gerakan, Chumani melemparkan dua orang lelaki besar ke dinding, hingga ruang terasa bergetar. Dua orang lain datang, mereka juga terus terhantam oleh Chumani yang kekuatannya besar sekali.

Perempuan itu terus berlari ke pintu keluar, bertelanjang kaki keluar dari pekarangan, terus menyeberangi jalan, dan memasuki hutan di atas bukit dengan kecepatan yang luar biasa.

~~~~~~~~~~~~~~``|~~~~~~~~~~~~~~``​


Dikisahkan Santi

Kak Rio mencabut kontolnya dari memekku. Aku merasakan batangnya masih keras, meluncur keluar. Ia terus bangkit berdiri. Aku masih megap-megap, kehabisan nafas. Kenikmatan yang bertubi-tubi, bahkan rasa sakitnya pun nikmat. Kontol yang tegang itu masih nampak besar, jauh lebih besar daripada punya Bapak. Lebih besar daripada... kontol laknat yang dahulu memperkosaku.


Aku merasa memekku sakit, ngilu, dan bahagia. Mungkin, begini rasanya pengantin baru. Memek ngilu, karena baru dimasuki batang kontol suami yang besar. Aku memandang Kak Rio, merasakan getaran. Apakah ini cinta?

Kekuatannya, kejantanannya... Gila, aku sungguh tergila-gila.

Di saat seluruh tubuhku terasa basah berkeringat, di saat pantatku terasa basah -- ini spreinya harus diganti karena basah semua -- dan aku masih bisa mencium wangi persetubuhan kami berdua, adakah ini adalah cinta? Aku memandang Kak Rio. Masih merasa seperti bermimpi, yang kalau diceritakan maka akan jadi cerita cabul esek esek saru. Tapi aku merasa indah, dan mendengar kata-kata cintanya, walau aku tahu ini tidak mungkin, aku sangat bahagia.

Kak Rio menaruh tubuhnya yang telanjang dan basah di sisiku. Sprei basah sudah tidak terpikirkan, tidak masalah. Yang penting adalah saat itu, ketika Kak Rio merangkulku, memelukku. Ketelanjangan kami berdua membuat tidak ada lagi pemisah, rangkulan erat oleh tangan dan kaki dan lidah yang bertautan. Aku menangis, bahagia. Aku mencucurkan air mata.


Ia menatapku dengan bingung. Panik? Tapi aku tersenyum lebar, dengan mata basah, aku berbisik di telinganya,

"Kak Rio… saya kini milikmu."

"Sayang…." desahan berat itu menggetarkan jiwaku.

"Saya mau melayani…

Mungkin…. Mungkin saya tidak pantas jadi istri. Tapi, kalau boleh, sekali ini,

Biar saya melayani. Jadi budakmu pun… saya bahagia…"


"Huss…. Jangan bilang begitu… "

Aku lantas bangkit duduk di atas ranjang. Kak Rio masih berbaring di situ. Gagah sekali. Baru saja menggagahiku… aku mau digagahi. Ditiduri. Lagi, lagi. Aku menundukkan wajahku. Mataku memandang kontolnya yang melemas, masih basah berlendir.

"Kak Rio… saya terima kenyataan. Saya tidak pantas Kak…

Kakak mau meniduri saya saja, sudah lebih dari yang saya bayangkan.

Saya mengerti kalau nanti Kakak harus pergi.

Tapi sekarang, kalau boleh saya ingin melayani Kakak…"

Aku mengangkat wajah. Menatap wajah tampan itu, menjadi Arjunaku dalam hidup.

Kak Rio wajahnya nampak sangat serius. "Aku cinta padamu…"

"Kak Rio… kita baru berkenalan. Kak Rio belum kenal saya sedalamnya. Bagaimana bisa berkata cinta?

Tapi, saya bahagia kalau bisa melayani Kak Rio bercinta…"

Aku meraih kontolnya yg lemas itu. Basah. Lengket. Aku melepaskan ikatan rambutku, tergerai sampai ke ujung putingku. Aku menunduk. Memakai rambut untuk mengelap kontol merah tua, yang kepalanya licin merah muda. Masih belum bersih. Jadi, aku menunduk lebih dalam, menggunakan bibirku, lidahku, mulutku. Rasanya asin gurih, kontol itu terasa lembut kenyal di mulutku. Aku menjilatinya, membersihkannya. Aku senang mendengar rintihan nikmat Kak Rio.

Kontol itu berdenyut-denyut di mulutku, mengeras, membesar. Aku merasa bergairah. Aku bisa membangkitkan kembali keperkasaannya. Kekuatannya. Aku menghisap kepala yang merah muda itu, seperti mengulum lolipop. Karena kontolnya sudah kembali menjadi panjang dan besar, aku melingkarkan jari-jariku yang lentik. Ketika ujung ibu jari dan jari tengah bertemu, pas melingkari kontol yang kokoh ini. Aku mulai menyukai urat-uratnya, guratan-guratannya. Terasa enak ketika lidahku menyapu di sepanjang batang yang indah ini. Membuat memekku berdenyut. Aku ingin memasukkannya kembali.

Kegiatan menjilat dan menghisap itu membuatku seperti merangkak di atas ranjang. Kedua lutut di pinggir ranjang, kedua siku menopang, dan kepala dan bahuku merunduk ke bawah, bagaikan rusa betina yang sedang minum air yang segar dengan rakusnya. Aku masih asyik menjilat dan mengulum dan menghisap ketika Kak Rai memberiku perintah pertamanya.

"Diam ya… tunggu…"

Aku terdiam. Menunggu, dengan posisi masih menungging. Cairan dari memekku meleleh di sepanjang pahaku. Terasa dingin di sore yang panas itu. Kak Rio bangkit, berdiri ke samping ranjang. Ia melangkah, mengitari ranjang. Menempatkan diri persis di belakangku. Aku merasakan tangannya mengelus kedua pantatku. Merenggangkannya. Ujung kontolnya menyentuh memekku. Aku menahan nafas, menanti.

Kepala bulat licin itu mencari jalan menguak bibir memekku. Melesak. Aku merasa seperti kena setrum, tidak bisa menahan erangan nikmat. Aku membenamkan wajahku di permukaan ranjang yang basah.

Aku mencium wangi lendir membasahi hidungku. Rangsangannya luar biasa. Kak Rio mendorong maju. Aku merasa kontol itu menerobos masuk kembali ke memekku yang sempit. Keluar lagi. Aku merintih, memohon agar kontolnya dimasukkan kembali. Kak Rio mendorong kembali dengan kekuatan besar. Menerobos. Menancap. Menarik. Menancap. Menarik. Menancap.

"Tuan… ayo… puaskan dirimu…" aku ingin Kak Rio menikmatiku. Aku mengeraskan otot di sekitar memekku, berusaha mencengkram kontol besar kekar itu. Tuanku menjadi semakin cepat, lendir basah membuat memekku licin dan batang lelaki itu bagaikan belut yang masuk dan keluar liangnya. Kak Rio seperti kesetanan, ia memegang pangkal pahaku dan membuat tubuhku terguncang keras setiap kali kontolnya menghujam dalam-dalam. Nyeri, tapi sungguh nikmat. Inilah yang pantas untukku: ditusuk kuat-kuat. Dalam-dalam. Apapun juga, asalkan Tuanku suka. Aku sungguh mau menjadi budaknya.

"Haaahhhhh…. Ggrraaahhhhh….. " sang jantan menggeram. Gerakannya semakin cepat. Aku turut menjerit di bawah tekanan. Aku ingin mencengkram dan tidak melepaskan kontol yang masuk dan keluar dengan cepat. Tusukan semakin kuat, berirama, masuk semua sampai ke pangkalnya. Setiap kali paha kami beradu, terdengar suara plak, plak, plak. Pandangan mataku gelap, nanar dalam hantaman orgasme yang hebat. Memekku mencengkram kontol itu sejadi-jadinya, sementara tuanku membenamkan lagi sekuat-kuatnya, sampai aku tertekan ke ranjang. Ia mengejang-ngejang, aku merasakan denyutan-denyutan kuat. Menyembur. Masuk. Memenuhi liang.

Tenggelam dalam birahi yang memuncak. Terpancar. Lega, rasanya lega sekali. Memuaskan laki-laki. Memuaskan Kak Rio, tuanku. Lelaki gagah ini sekali lagi mencabut kontolnya, lendir meleleh dari lubang memekku yang membesar, mengalir di sepanjang pantat dan paha, menetes ke atas ranjang. Aku ambruk saking lelah dan nikmatnya, seluruh syarafku seperti kelebihan beban rasa.

"Ke kamar mandi yuk." kata Kak Rio. Aku mengangguk, tanpa mampu banyak bersuara. Konon, budak tidak boleh banyak bersuara, bukan? Kami mandi. Aku keramas, membersihkan lengket di rambutku. Di tubuhku. Membersihkan selangkanganku.

"Di cukur?" Kak Rio bertanya sambil meremas jembutku. Aku mengangguk. Mengambil pisau cukur dan krim punya Bapak, aku menyemprotkan busa putih di rambut kemaluan, lalu mulai mencukur. Sepuluh menit kemudian aku selesai dan bersiram di bawah pancuran air hangat. Selangkanganku bersih seperti anak-anak. Tapi bibirnya sudah tebal dan kini agak membesar, setelah melayani kontol besar itu dua kali berturut-turut.

Kak Rio dengan senang mengusap-usap memekku yang kini jadi licin.

"Hehehe…. Kalau dikasih madu di sini, enak ya… tapi… saya kok lemes sekarang…"

"Kak Rio… saya masakin apa buat makan?"

"Mie?"

"Bentar ya…"

Selesai mandi, dan mengeringkan badan, aku bergegas ke dapur. Telanjang berbalut handuk saja, toh hanya ada kami berdua. Udara terasa semakin dingin malam ini. Mie kuah hangat pasti terasa istimewa. Selesai menyediakan mie di atas meja makan, aku terus ke kamar Kak Rio. Menarik sprei dan melepas sarung bantal. Bawa ke tempat cucian, masukkan ke ember untuk direndam semalam.

Selesai semua pekerjaan, aku melihat Kak Rio baru saja menyelesaikan makannya.

"Minum kopi?" tanyaku. Bapak biasa minum kopi di sore hari begini, kalau ada di rumah. Kak Rio tersenyum, mengangguk. "Tambah telor setengah matang?" Sempurna. Aku bergegas mempersiapkan semuanya. Menghidangkannya.

"Sini…." Kak Rio memanggil. Dengan patuh aku menurut. "Duduk di atas meja."

Meja itu dari kayu mahoni, besar dan kuat. Jadi tanpa ragu aku membereskan apa yang ada, kecuali secangkir kopi dan semangkuk telur setengah matang itu. Aku duduk di hadapan Kak Rio.

"Naikin kakinya. Buka…" Aku menaikkan kakiku, kedua telapak kaki persis di pinggir meja. Tubuhku terbaring. Pahaku terlipat menempel betis. Mengangkang. Handukku tersibak terbuka. Memekku yang licin terpampang di hadapannya. Aku menanti.

Kak Rio menyendok telur setengah matang yang hangat itu lalu mengucurkannya, persis di atas kelentitku. Satu sendok teh saja. Terasa hangat mengalir di bibir memekku. Ia kemudian menunduk dan menjilat cairan kuning itu. Seketika aku seperti disetrum, tubuhku mengejang, tapi aku menahan diri dari bergerak atau bersuara. Hanya nafasku saja yang tersengal-sengal. Enaknya bukan main.

"Enak bukan main…." desah Kak Rio. Ia menjilati memekku plus telur itu sampai bersih, lalu menuangkan lagi. Menjilatinya lagi. Memekku segera banjir oleh cairan cintaku, semuanya dijilat bersih. Kak Rio menuang lagi. Menjilat lagi. Menghisap kelentitku. Mengigit gemas bibir memekku. Aku tak tahan lagi.

Ketika semangkuk telor setengah matang itu hampir habis, orgasme hebat melandaku. "Aaaauuhhhh…. Tuaannnn…." aku tak tahan. Terlalu enak. Terlalu gila, tidak pernah dibayangkan akan begini, tapi nyatanya luar biasa. Mungkin waktunya hanya semenit, tapi terasanya lama sekali, bergelombang, sesuatu yang tidak pernah kualami dalam hidup. Sesuatu terbuka dalam diriku. Tidak ada lagi batasan. Bagi lelaki ini, semuanya kuberikan.

Aku duduk di atas meja. Kulihat tuanku sudah mengeluarkan kontolnya, tegak mengacung. Tanpa perintah kata-kata, aku tahu itu adalah tanda. Aku segera turun dari meja, mengangkanginya. Menurunkan tubuh, sekali lagi batang itu menghujam memekku yang licin basah setelah orgasme tadi. Rasanya kembali mengikat, mendorong, memelintir, merobek penahan, menghilangkan pembatas... Aku menari-nari dengan kontol menancap di memekku. Aku menggoyang pinggul bak pedangdut, membuat putaran dan pelintiran serta erangan.

Tuanku sungguh perkasa. Setelah tiga kali hari ini, kekuatannya seperti makin bertambah, mengeras, memanjang. Memenuhi liangku. Memenuhi diriku. Mengambil hatiku. Walau aku hanya budak. Aku.... sekali lagi tangan yang kekar itu memegang pinggangku yang ramping erat-erat, menekan tubuhku ke bawah. Tertanam dalam, karena sedetik kemudian sekali lagi kunikmati denyut-denyut dan semburan di deoan mulut rahimku. Aku terbenam dalam pelukannya, jatuh kelelahan dalam dekapannya.

Malamnya, hujan lebat mengguyur Jakarta. Kami hanya berdua saja di sana, di ruang keluarga. Televisi menyala, berita diisi tentang genangan air dan banjir Ibukota. Kak Rio duduk di sofa. Seperti biasa, aku duduk bersimpuh di bawah. Mata ke televisi tapi pikiran dan badan masih terasa melayang, belum mendarat setelah tadi terbang berkali-kali.

"Sayang..."

"Ya tuan?"

"Lho, kok tuan?"

"Yaaa... kan saya pembantu..."

"Tapi aku cinta padamu!"

Aku menunduk. Aku juga cinta pada tuanku... Tapi aku duduk di tempat berbeda.

"Saya masih tetap hanya pembantu."

"Aku tidak peduli! Aku cinta sama kamu!"

Aku menunduk dalam-dalam. Air mata membasahi pipiku, mengalir, menetes.

"Saya tetap saja begini, tuan. Walau, saya juga... cinta.

Tapi saya tidak berharap bisa lebih. Saya sudah bahagia kalau saya... kalau saya diterima. Kalau tuan mau meniduri saya... rasanya bahagia."

"Jangan... jangan bilang begitu..."

Aku tersenyum sedih. Aku mengangkat wajah, memandangnya. Menatap matanya, lelaki yang telah mendapatkan seluruh hati dan tubuhku.

"Tuan kan hanya liburan. Nanti akan kembali lagi ke luar negeri. Saya tetap jadi pembantu di sini. Tuan nanti akan bertemu gadis lain, yang pasti cantik, dan pantas untuk tuan. Nanti tuan akan melupakan saya.

Saya sudah bahagia bisa begini. Saya juga enak dan nikmat. Tapi kalau nanti tuan pergi dan lupa pada saya.... saya tidak akan melupakan tuan."

Kening tuanku berkerut. Ia nampak marah. Astaga, apakah aku sudah berkata salah? Aku menjadi takut. "Ma... maafkan saya, tuan. Saya sudah berkata lancang..." Tuanku terdiam. Aku merasa tidak karuan.

"Permisi, tuan..." dengan gugup aku bangkit lalu kembali ke kamarku. Ambil baju dan handuk, aku terus kembali mandi. Mengenakan pakaian lengkap seperti biasa. Tubuhku terasa lelah sekali... hari belum larut saat aku membenamkan wajahku di kasur. Di sanalah aku menangis sejadi-jadinya, hingga lelah dan ketiduran.

Keesokan paginya, jam empat pagi aku bangun dengan pikiran kusut tak karuan. Merasa pantatku lembab. Pegang selangkangan... oh sial. Darah. Aku mens semalam, dan sekarang semuanya jadi kotor. Jadi pagi-pagi dihabiskan dengan mencuci celana dalam, daster, dan seprai. Darah mensku nampak tidak sekental biasanya... aku menemukan ada sisa lendir Kak Rio, yang sebelumnya dibenamkan dalam. Benihnya, keluar lagi semua. Hatiku makin muram...

Setelah membereskan kamar, aku mulai membersihkan rumah. Membersihkan bekas-bekas lendirku di meja makan, di kursi, di lantai. Membersihkan air mani Kak Rio di sana sini. Bersih tak berbekas, aku menyemprot dengan pembersih yang wangi lavender, kesukaan ibu, kesukaanku juga. Setelah itu mulai mempersiapkan dapur, memasak nasi, air panas… Aku mempersiapkan sarapan pagi. Untuk Kak Rio. Untuk… tuan.

Matahari sudah terbit di balik awan mendung ketika aku memasuki kamarnya. Kak Rio masih tertidur pulas. Aku membawa senampan sarapan dan kopi panas itu, kuletakkan di meja sebelah ranjang. Ah, memandang ranjang itu… kemarin aku membenamkan wajahku di sana, sementara kontolnya terbenam di memekku… Aku tersenyum. Kenangan itu akan selalu kuingat, setiap aku memasuki ruang tidur untuk tamu ini.

Aku terus duduk di lantai, di sisi ranjang. Memandang wajah yang tampan itu, berkhayal bahwa lelaki ini menjadi milikku. Ah, khayalan yang tidak akan pernah terwujud… tapi kukira aku masih boleh berkhayal, bukan? Walaupun mungkin nanti aku akan menjadi sedih. Mungkin Kak Rio tidak akan ingat lagi, kalau ia sudah kembali ke amerika. Ia berasal dari keluarga kaya raya. Sedang aku? Aku hanya punya tubuh ini, itupun sudah dinodai.

Kak Rio membuka matanya. Aku tersenyum, menyambutnya di hari yang baru.

"Met pagi, tuan…"

"Met pagi…"

"Sarapan?"

"Ehm… ada kamu kan?"

"Kok ada saya?"

"Iya, saya mau sarapan kamu"

"Hihihi…. Saya bukan makanan, tuan. Itu, sarapan di atas meja."

Kak Rio mengkerutkan keningnya.

"Kok sekarang jadi manggil tuan…?"

Aku tertunduk. Terdiam. Bagaimana aku bisa mengatakannya? Jika aku tidak menjadikannya tuan, maka… maka hatiku akan sakit. Bagaimana aku dapat memanggilnya sebagai kekasih, walaupun kini aku mencintainya dengan seluruh tubuh dan jiwaku?

"Aku cinta padamu," Kak Rio duduk di tepi ranjangnya. Aku masih bersimpuh di lantai.

"Ini… maafkan aku. Mungkin seharusnya… aku tidak berbuat itu terhadapmu."

"Berbuat apa?"

"Kemarin, kita… seks.

Kamu tahu, di amerika, semua mudah berhubungan badan.

Beberapa perempuan mengajakku juga. Kamu… mengerti?"

Aku mengangguk. Denyut jantungku makin cepat. Aku mengerti. Aku merasa… sakit. Membayangkan ia sedang menghujamkan kontolnya ke memek lain, terasa menyakitkan.

"Tapi, aku tidak pernah melakukannya."

"Tidak pernah?" Aku mengejapkan mata. Kak Rio mengatakan bahwa ia pertama kalinya meniduri perempuan… tapi aku kira ia bercanda. Atau bermaksud lain. Bagaimana bisa baru pertama, kalau kemarin sudah sehebat itu?

"Tidak pernah. Aku tahu, teman-temanku sudah melakukannya. Kami sudah, well, sering nonton pasangan yang begituan di sana sini. Teman sekamarku melakukannya di ranjang sebelah ranjangku. Perempuan lain pernah mengajakku, bahkan mereka sudah… yah, menggunakan mulutnya.

Tapi, aku belum pernah meniduri perempuan. Karena aku belum pernah mencintai perempuan, seperti aku mencintaimu.

Karena itu… jadilah kekasihku. Aku bukan… aku bukan tuan. Aku tidak ingin menjadi tuan. Aku mencintai kamu."

"Tapi… nanti akan kembali ke amerika dan… dan saya masih di sini…."

"Kuliah itu paling lama hanya dua tahun lagi. Tunggulah, ya? Aku akan kembali untukmu. Sungguh."

Aku menggelengkan kepala. "Jangan… saya tidak pantas. Saya hanya pembantu. Apa kata keluarga, apa kata Bapak dan Ibu? Mereka juga… pasti punya harapan untuk tuan, untuk… Kak Rio. Bagaimana kalau mereka melihat kita… jalan berdua?

Tidak mungkin… saya hanya… pembantu."

Aku memejamkan mata. Kurasakan nafas hangat di pipiku. Bibir hangat mencium pipiku, mencium air mataku. Aku masuk dalam pelukannya.

"Kita sudah jadi… setubuh. Masih aku rasakan. Kamu masih ingin?"

Aku menggeleng. Kak Rio mendadak nampak khawatir. "Kenapa?"

"Saya… semalam saya datang bulan."

"Oh… mens ya?"

Aku mengangguk. Kak Rio tersenyum,

"Kalau begitu, kita berpelukan saja seharian ini."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Untuk sementara, hari-hari ini adalah hari bahagiaku. Biarlah… jika waktu berlalu, entah kemana nasibku melaju. Aku mau jadi budaknya… menjadi yang lain pun, aku bersedia.
 
Pertalite nich...
Yeeesss... Santi jadi ketagihan..
Hahahaha...
 
Sumpah ane terkesima hu .. .. semoga bisa update sesuai jadwal yah hu ..
 
KECANTIKAN DI UJUNG KEMALUAN

Dikisahkan Rio.
Aku membuka mata dengan jantung berdegup kencang. Bagimana tidak? Semalam aku bermimpi aneh. Aku bermimpi berciuman dengan bibir… bibir vagina perempuan. Bibir yang berwarna merah lembut, basah mengkilap, agak tembem, hangat. Lembut, mengingatkan pada halusnya daging kerang yang merekah. Gurih, agak asin. Kenikmatan berciuman yang tak terkatakan. Really intoxicating. Addicting.

Don't get me wrong, jangan salah: aku tahu bagaimana berciuman dengan perempuan. Di Amerika, orang bisa berciuman begitu saja, tanpa harus berpacaran. Aku tahu seperti apa berciuman dengan bibir di mulut perempuan. Juga jangan salah: aku tahu seperti apa bentuknya memek perempuan. Beberapa perempuan berjiwa ekshibisionis dan berbahagia jika vaginanya dilihat banyak orang, walau penampilannya sama sekali tidak mengagumkan.

Ketika semua orang begitu bebas dan terbuka tentang seks setelah melewati usia 18, aku justru merasa takut. Bukan takut dengan seks, namun aku merasakan kehampaan di sana sini. Seks menjadi suatu hal yang sangat biasa, seperti berak atau kencing atau kentut. Mula-mula terasa menggairahkan karena serba dilarang, tetapi begitu kebabasan diraih maka tubuh perempuan menjadi… tubuh saja. Putih. Hitam. Coklat. Kekuningan. Mengangkang, merintih-rintih, dan berganti-gantian. Aku takut, karena dengan begitu aku menjadi seperti binatang, yang memuaskan insting kawin demi dorongan hormonalnya.

Jadi, aku sudah melihat serendah-rendahnya orang berhubungan seks. Teman-temanku cukup baik hati untuk tetap mengajakku nonton film porno setiap akhir pekan, juga tetap menghormatiku yang memilih duduk minum Budweiser Beer sementara mereka bertelanjang bulat dan merintih-rintih sepanjang malam. Kadang aku turut menikmati oral, kalau lagi mau, hingga mengejang-ngejang menyembur dua wajah bule cantik yang menyukai ukuranku yang besar -- bahkan bagi orang bule. Tapi, that's it. Segitu saja. Mungkin aku belum bersedia untuk menurunkan diriku lebih rendah lagi, lebih korup lagi. Aku masih ingin hidup.

Dan disanalah aku menemukan denyut memek yang hangat itu, hidup, memabukkan. Membuatku tidak tahan untuk segera memasukkan penisku ke dalam sana, merasakan kehangatannya, jepitannya di antara dinding-dinding yang licin basah, memompa masuk dan keluar. Membuatku membuka mata dan…

Aku memandang wajah cantik itu di sana, tersenyum segar, dan mata berbinar indah. Pijaran mata yang hanya dapat dilihat pada seorang yang benar-benar sedang jatuh cinta. Aku mengerjapkan mata. Pembicaraan selanjutnya dapat dibayangkan: romantis, seperti anak muda yang jatuh cinta, karena aku benar-benar jatuh cinta padanya. Namun, tidak begitu adanya. Santi tidak melihatku sebagai kekasihnya. Santi tidak mengharapkanku jadi suaminya. Dan aku tahu, sebagian dari dirinya berkata benar, bahkan kami dari dua dunia yang berbeda.

Dan kalau kami mau meneruskan mimpiku itu -- karena ternyata bayangan tentang vagina indah itu sama sekali bukan mimpi -- itupun tidak bisa karena menstruasi.

"Kalau begitu, kita berpelukan saja seharian ini." Dan aku memeluknya. Merasakan kehangatan dirinya, rambut yang wangi shampoo, bahu yang bulat lembut, dan tangan yang agak kasar karena banyak bekerja. Tapi, aku suka memegang tangannya, melibatkan jari jemarinya di antara jari jemariku. Seperti mengikat, hanya kini aku tidak bisa berharap ada cincin yang mengikat kami berdua.

"Duh, aku kebelet pipis," aku mengernyitkan dahi. Penisku menegang, seperti biasa di antara para lelaki di pagi hari. Santi tersenyum. Ia berdiri sambil membelai penisku yang keras. "Sana gih…." Dan akupun bangkit secepatnya untuk menunaikan hajat buang air seperti biasa. Tapi, kali ini tidak seperti biasa, aku mencuci penisku. Mungkin…

Ketika aku kembali ke kamar, Santi sedang sibuk merapikan baju-baju dan barang-barangku yang berserakan. Aku meraihnya, memutar tubuhnya, dan mencium bibirnya. Tanpa liptstick, warnanya merah muda. Giginya putih rata berderet-deret. Dan kami berciuman dengan haus, dengan keinginan yang meluap untuk saling menghisap, melibatkan lidah dan bibir dan hati yang menyatu. Aku mencintainya. Dia mencintaiku. Tapi kami tidak bisa bersama.

Penisku yang melemas setelah dicuci tadi, segera mengeras kembali. Santi merasakan tonjolan itu di perutnya. Ia terus berjongkok dan melepas celana pendekku. Memandang penisku yang keras mengacung. Santi tidak ragu untuk memasukkan penis itu dalam mulutnya dan mulai menghisapi ujungnya, menjilat sepanjang pangkalnya. Aku mendesah.

"ohhh…. San… enak…"
"Hihihi…. Enak ya? Baru pertama kali nih."
"Kok bisa?"
"Yaaa…. Pernah lihat ibu begituan sama bapak. Sekali waktu ibu menghisap kontolnya bapak…."
"What?! Lihat dimana?"
"Yah, habis mereka mainnya di ruang tengah sih, di sofa…" Sambil berkata demikian Santi melepaskan Tshirt nya. Ia tidak memakai BH. Buah dadanya bergoyang ketika ia kembali mengerjakan mulutnya di penisku.

Membayangkan Bude dan Pakde sedang bermain, membuatku semakin horny. Jilatan dan hisapan Santi terasa semakin enak, semakin menegangkan, semakin menggairahkan, semakin…. Aku merasa kedutan-kedutan itu. Tanda mau menyembur sudah dekat. Somehow, kini aku lebih cepat ejakulasi, lebih sering. Tapi tak lama aku mengeras kembali di tangan Santi.

"Santi…. Aku mau…. Aaarhhh…." Penisku menyembur ke mukanya, ke dadanya. Santi memejamkan mata sambil terkekeh-kekeh senang dan geli. Setelah selesai, ia terus berbalik dan bilang, "saya mau ke kamar mandi!"

"San, ikutan mandi…"
"Jangan… saya kan sedang mens…"

Aku menatap tubuh bertelanjang dada itu keluar kamar, menuju kamar mandi. Keindahannya tetap membuatku terpesona. Cantik sekali: tinggi, tegap, dada yang besar, tetek yang bulat, pinggang yang ramping, paha yang kencang, kuat menjepit… Aku menghela nafas.

Begini, sebenarnya aku mempunyai keluarga yang sangat…. Berhasil. Ayahku pengusaha multinasional. Aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ibuku sudah bercerai dengan ayahku sejak aku SMA. Tapi siapa peduli? Mereka sangat sibuk, keliling dunia. Proyek di China, di Afrika Selatan, di Tunisia. Bude adalah adik bungsu ayahku, dia menikah dengan Pakde yang jadi konsultan teknis -- bukan jadi pengusaha yang paling kaya sih. Usia Bude terpaut 9 tahun dari usia ayah, karena ayahku sendiri ada 6 bersaudara. Lalu setelah itu, Bude punya anak laki-laki hampir bersamaan dengan hari kelahiranku. Malangnya waktu usia anaknya 2 tahun kena demam berdarah -- terlambat disadari. Akhirnya meninggal dunia. Padahal Bude susah sekali bisa punya anak lagi karena komplikasi saat melahirkan… jadi aku "diambil" sebagai kesayangan Bude dan Pakde. Tetapi aku masih tetap anak ayahku, bersama kakak-kakakku -- 2 lelaki dan 2 perempuan -- mewarisi puluhan perusahaan di Indonesia dan belasan perusahaan di berbagai negara lain di dunia.

Singkat kata, sebenarnya aku sangat kaya raya. Kalau dulu ayah membiarkan Pakde yang membayari seluruh kuliahku di Amerika, itu lebih karena ia ingin memberi kesempatan kepada Pakde untuk menyatakan cinta kasihnya. Ayahku bukan seorang yang memanjakan anak dan ia lebih senang aku mandiri. Tetapi sekarang, aku mempunyai asetku sendiri, yang nilai pasarnya sudah mencapai belasan juta dollar… Dan itulah yang membuatku diterima. Sebagian kecil teman menginginkanku sebagai teman. Sebagian besar lain menginginkan kekayaanku. Dan itu menyebalkan.

Aku tidak pernah mengungkapkan hal ini kepada Santi. Dia hanya tahu aku ini keponakan Bude yang dibiayai kuliah di Amerika. Santi tidak mengharapkan uangku. Ia begitu bersikukuh tidak akan menjadi pendampingku, tidak akan menjadi istriku -- dia tidak tahu bagaimana usaha para perempuan di Amerika yang tahu kekayaanku, bagaimana mereka berusaha memikat hati dan dompetku. Kalau mereka ada di posisi Santi, kukira mereka sudah menegaskan akan memperoleh bagian dari harta ini….

Tapi Santi tidak mencari uangku. Ia mencintaiku, aku tahu dari tubuhnya, ciumannya, dan rintihannya. Ia menyediakan tubuhnya, bahkan memanggilku tuan, seperti siap menjadi budak, yang tidak berharap apapun juga, selain bisa melayani dengan sepenuh hati.

Dan setelah itu, ia juga siap untuk dilupakan.

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan Santi? Ironis. Ketika aku menemukan gadis yang aku cintai dan sebaliknya juga ia mencintaiku tanpa pamrih soal harta, sepertinya aku tidak bisa bersama dengannya.

Selesai mandi, kami memanggil taksi, jalan-jalan ke Grand Indonesia. Santi menjadi teman yang menyenangkan, bercakap-cakap, bergurau, dan sama sekali tidak mata duitan. Ia tidak pernah meminta apapun. Ia bahkan menolak saat aku ingin membelikannya sepatu atau tas yang dilihatnya dengan semangat -- seperti mata semua perempuan yang melihat barang bagus. Tidak, katanya, karena barang bagus hanya indah kalau dilihat di etalase. Begitu sampai di rumah, apa gunanya bagi seorang pembantu?

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Santi benar, ia tidak membutuhkan semua itu selama ia masih jadi pembantu. Aku mengajaknya makan di restoran mahal, tetapi Santi malah mengajakku ke tempat yang lebih ramai dan murah. Lebih bebas makannya, katanya. Nggak bingung dengan menu yang bermacam-macam dan banyak aturan. Santi lalu menunjuk ke kiri dan ke kanan, kepada pasangan-pasangan yang jelas sedang pacaran, dan berkomentar lucu tentang mereka.

"Tebak-tebakan yuk."
"Apaan?"
"Tebak, mereka udah tidur bareng atau belon?"

Tentu saja kami tidak mungkin bertanya apakah mereka sudah berhubungan seks atau belum; tapi lucu membayangkan kemungkinannya, dilihat dari cara berpegangan tangan, berpelukan, dan menempelkan tubuh. Menjelang semakin malam, Santi semakin dekat memegang tanganku, membiarkanku memeluknya, dan kami saling menempelkan tubuh. Kalau ada orang lain yang melihat, pasti menebak bahwa kami sudah tidur bareng.

Tidak salah, karena aku sangat ingin mengulangi lagi. Tapi, Santi masih bolak balik mengganti pembalut, dan rupanya hal itu membuatnya lemas. Perempuan yang sedang mens memang tidak sesehat seperti iklan pembalut di televisi yang meloncat-loncat itu…

Selama Santi berada di Toilet, handphoneku berbunyi. Jantungku terlonjak kaget, karena suaranya adalah nada yang khusus, yang berarti ini komunikasi yang penting dan terenkripsi. Sesuatu yang jarang aku dengar, tapi tidak pernah aku abaikan. Aku menekan kode password di hp, supaya bisa menerima panggilan itu dengan membuka kode enkripsinya. Aku menekankan ibu jariku di finger print scanner -- hanya aku yang boleh menerima panggilan itu.

"Rio here," kataku singkat.
"Rio, sudah lama tidak bicara. Ini ada situasi genting, kami tidak punya pilihan selain mengaktifkan dirimu. Tolong segera berangkat ke Denpasar. Laporkan penerbanganmu.
Dan Rio... Apakah kamu pernah berhubungan seks dengan seseorang di Indonesia?"

Rio mengernyitkan dahinya. Apa-apaan mereka bertanya begitu? Tapi ia menjawab juga.
"Ya, sudah."
"Kamu harus mengajaknya serta."
"What?!"
"Ini penting. Kalian harus datang berpasangan. Atau lebih. Kamu harus mengajak semua perempuan yang pernah tidur denganmu."
"Oh hell... NO! Saya hanya tidur dengan satu gadis."
"Kalau begitu, bawa dia saja. Nanti dihubungi lagi di Airport Denpasar."

Santi keluar dari toilet, senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. Sungguh mempesona. Dan aku harus membawanya serta ke Denpasar, dalam urusan dengan CIA, yang tidak pernah boleh aku ungkapkan kepadanya. Damn! Damn!

Sambil berjalan pulang pakai taksi, aku memesan dua tiket pesawat ke Bali besok. Untung ada aplikasi di handphone, semua mudah. Cuma butuh input KTP Santi... haehh repot bener.

Ketika taksi sampai di pintu gerbang, hari sudah cukup larut. Aku tidak membiarkan Santi membawa semua barang belanjaanku -- ya, toh kali ini aku yang berbelanja kebutuhanku sendiri -- masuk ke dalam rumah. Dasar Santi, ia kembali menjadi pelayan yang baik. Tapi aku tidak membiarkannya; aku adalah lelaki yang harus tahu diri jika kekasihnya sedang lemas karena mens. Bukankah begitu? Dan, rupanya Santi juga menyadarinya.

"Makasih ya, Kak Rio…." kami berciuman lagi. Lama. Kini tanpa nafsu eros, tanpa niat seks, hanya ingin saling menempelkan lidah saja, memadukan bibir, dan menyatakan kasih sayang. Dan aku harus membawanya pergi... Hal pertama yang aku lakukan adalah menelepon Bude, minta ijin untuk membawa serta Santi ke Denpasar. Bisa dibayangkan, Bude luar biasa terkejut dan sedikit kesal, tapi dia juga terlalu sayang padaku.

Jadi, urusan ijin Bude sudah beres. Tinggal memberi tahu Santi.

"San... Besok, pagi-pagi benar, siap-siap berangkat ya."
"Oh? Berangkat ke mana?"
"Kita ke Bali, sayang."
Santi membelalakkan matanya yang indah.

"Waah? Gimana nanti kata Ibu?"
"Bude sudah aku beritahu, sudah dapat ijin."
"Tapi...."
"Nggak ada tapi. Kita jalan-jalan ke Bali, berangkat besok."
"Waahhh...."
"Punya KTP kan?"
"Ada Kak Rio.... Ini sungguhan? Bukan becandain Santi kan?"

"Haduh, masa becanda. Sini KTP nya, saya foto."

Aku memotret KTP Santi, untuk melengkapi info tiket pesawat. Diam-diam, aku juga mengirimkan foto KTP itu kepada controller di ops room. CIA tahu harus berbuat apa dengan itu.

Bandara Ngurah Rai siang itu terasa mendung. Bali agak sepi musim begini, banyak hujan dan ombak di laut terlalu besar untuk surfing. Tapi bagus untuk operasiku di Bali -- eh jalan-jalan dong! -- kami berdua terus melangkah keluar dari airport seperti pengantin baru. Wajah Santi nampak bersemu merah, senyum selalu memenuhi wajahnya yang cantik. Betapa dia menjadi matahariku!

"Rental mobil, tuan?" seorang pria setengah baya mendatangi kami.
"Matahari terik ya?" tanyaku padanya. Prosedur standar untuk konfirmasi.
"Mendung lebih sejuk," jawabnya tersenyum. Konfirmasi sudah dipenuhi.
"Saya Rio," kataku sambil mengulurkan tangan.
"Kawana," sahutnya singkat. "Mau cari penginapan bagus di Bali?" Aksennya agak asing, seperti orang bule, tapi kulit tuanya berwarna coklat kemerahan seperti orang Bali.
"Tentu saja. Yuk sayang," sahutku sambil menggamit tangan Santi. Wanita muda itu tersenyum bingung.

Tapi semua memang sudah dipersiapkan. Kami dibawanya ke sebuah villa di Ubud, cukup jauh dari kota, tapi tempatnya sangat indah. Dengan berbinar Santi melihat-lihat pemandangan. Aku terus mengeluarkan kamera sambil menawaran, "San, ini ada kamera lho. Mau foto-foto?" Dia pasti butuh banyak waktu berkeliling berfoto, sementara aku mengerjakan urusanku di dalam.

"Asyik! Boleh ya Kak?" Seperti anak kecil, Santi menerima Canon EOS-M itu dan terus memotret ke sana ke mari. Kawana membawakan tas kami masuk dalam villa sambil tersenyum. "Sungguh cantik, Rio," katanya menggoda. Aku mengangkat bahu saja.

"Jadi, briefing?" tanyaku. Senyum hilang dari wajah Kawana. "Lewat sini," katanya. Aku terus berjalan mengikutinya tanpa berkata-kata.

Mrs. Yellen Stombauch sudah berada di ruang kantor villa, di sebelah belakang ruang resepsionis. Ruang itu agak sempit dan bergaya Bali, sedang atasanku ini memakai T-Shirt merah dan rok kembang-kembang besar khas Bali. Payudaranya besar membusung, terlihat tonjolan puting di kiri kanannya. Dasar bule, dia nggak pakai beha. Pemandangan yang tidak terduga.

"Hai Rio, apa kabar?" Tanyanya berbasa basi.
"Baik, Ma'am," sambutku datar. Yellen tidak suka dijawab dengan basa basi lainnya. Ia menunjuk kursi di hadapannya. Sebuah laptop dibuka dengan tent mode, menghadap ke arahku. Foto seorang wanita paruh baya terpampang. Cantik.

"Saat ini di Denpasar sedang diadakan konferensi para ahli patologi dunia," katanya memulai. "Di antaranya ada seorang bernama Dr. Maureen Raskin. Dia mempunyai tugas membangun kerjasama dengan sejumlah ahli, untuk menangani sebuah virus yang berbahaya. Dr. Raskin membawa sejumlah sampel, itu harus dijaga baik-baik.

Masalahnya, tidak ada agen yang bisa ditugasi menemani Dr. Raskin ke Amerika. Itu menjadi tugasmu, beserta teman perempuanmu."

"Hanya itu saja, Ma'am?" tanyaku lagi.
"Santai sajalah Rio, ini bukan tugas sulit. Konferensi akan berakhir empat hari lagi. Sementara itu kalian bisa bersenang-senang di Bali. Kami yang tanggung biayanya."
"Baik, Ma'am," jawabku, terus melangkah keluar. Isi hatiku merasa agak... Ada sesuatu yang aneh di sini, tapi kesempatan bersenang-senang gratis tentunya menyenangkan untuk dinikmati.

Dua hari kemudian diisi dengan ngobrol dan jalan dan aktivitas olahraga bersama. Tiga hari yang membuatku semakin jatuh cinta pada Santi, karena tidak ada seks dan tidak ada uang. Hanya ada hati, dan kesediaan untuk saling membantu. Empat hari sudah sejak aku ngeseks dengannya -- dan terus terang semakin lama aku semakin menginginkannya. Santi juga.

Jadi, ketika hari menjelang siang dan udara hari itu terasa panas sehingga aku memilih duduk-duduk saja di ranjang sambil menikmati AC dan lagu, Santi datang sambil tersenyum.
"Coba tebak."
"Apaan?"
"Apa yang paling enak hari ini…?"
"Ummm…. Makan? Makan apa ya?"
"Bukaaannn!"
"Main? Nonton!"
"Bukan juga!"
"Apa dong….?"

Santi naik ke atas ranjang. Merangkak di atasku. Matanya berbinar. Nakal. Mendadak, aku tahu jawabannya.

"Saya udah bersih nih…. Gak pake lagi." Santi mengambil tanganku, lalu menariknya ke selangkangannya. Aku mengelus memeknya. Terasa daging. Tidak ada pembalut. Penisku terus membesar. Santi menunduk, membuka celana pendekku, lalu menariknya lepas. Penisku mengacung ke atas. Ia menunduk, mencium ujung penisku. Kecantikan di ujung kemaluanku. Sinar matahari membuat rambutnya yang diikat ke belakang nampak berkilauan. Indah, sekaligus sangat merangsang. Wajah cantik itu menunduk. Penisku masuk ke mulutnya. Merasakan kehangatan lidahnya.

Aku sangat menginginkannya.

"Santi…." aku duduk. Mendorong Santi dengan lembut. Melepaskan baju kaosnya. Melepaskan baju kaosku. Melepaskan celana pendek Santi, sekaligus dengan celana dalamnya. Aku menginginkan tubuhnya kembali menjadi telanjang -- dan demikianlah aku melihat vaginanya yang licin itu. Santi sekarang rajin mencukur rambut kemaluannya.

"Kak Rio…" Santi mengangkang di atas penisku yang basah oleh liurnya. Ia menggesek-gesekkan vaginanya di ujung penisku. Geli. Ingin. Aku menatapnya. Santi tersenyum, memejamkan matanya, dan menurunkan pantatnya. Aku merasakan ujung penisku merekahkan bibir vaginanya. Sesaat kemudian, hampir seluruh batang penisku melesak masuk.

"Uuugghh…. Enak sekali rasanya… " desah Santi. Ia membuka mata. "Enak, tuan?"

Aku hanya bisa mengangguk, sementara Santi mulai meliukkan pinggul dan pantatnya, mulai dari perlahan menjadi semakin cepat. Santi bergerak naik turun di atasku, semakin lama penisku terbenam makin dalam, hingga seluruhnya melesak masuk. "Uhh… penuh tuan… saya penuhhh…."

Vagina Santi meremas-remas penisku, dan tiba-tiba saja terasa hangat. Santi merintih, cairan pre-orgasmenya mengalir deras. Gerakannya semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya ia ambruk di atas dadaku, mengejang-ngejang dan merintih-rintih. Aku merasakan vaginanya memeras penisku dengan kuat, luar biasa enaknya. Tetapi aku belum keluar. Aku lantas membaringkan Santi di bawah. Kedua kakinya yang indah naik ke atas pundakku. Pantatnya diganjal guling. Vaginanya yang basah menganga, menanti.

Aku mendorong masuk kembali penisku, menancap, menarik, dan menancapkannya kembali. Santi merintih-rintih. Aku menggeram. Ingin memasuki Santi lebih, menjadikannya tubuhku sendiri, daging dari dagingku, tulang dari tulangku. Memenuhi lubang yang ada padanya. Aku masuk semua, menekan Santi ke bawah, beralas ranjang. Perempuan ini membuka kedua pahanya yang indah, halus panjang, mengangkang lebar. Membuka jalan bagiku untuk masuk sesenti lebih dalam lagi, dan di sanalah aku memuntahkan semua kerinduanku. Saat itu juga Santi menjerit lirih, sekali lagi mengalami orgasmenya.

Kami berangkulan, berpelukan, menyatukan. Tidak mau dipisahkan. Tidak bisa dipisahkan, penisku masih kaku keras di dalam vaginanya, memenuhinya. Sesaat itu, tidak ada yang bisa bernafas, ketika merasakan diri terlontar tinggi ke angkasa. Lalu perlahan-lahan kesadaran datang kembali, dalam kenikmatan yang hangat dan lembut. Aku pasti akan menginginkannya lagi, dan lagi, sepanjang hari ini. Sepanjang kehidupanku, yang tidak akan sama lagi seperti dahulu. Aku sudah menemukan bagian dari diriku yang hilang dalam pelukannya. Dalam jepitan vaginanya.

Ah. Namun besok tugas menanti. Perjalanan kami akan panjang.
 
Support update nya Suhuu...
Ga sabar nunggu lanjutannya...
 
Bimabet
Hehe... sabar ya...
Pembaca yang budiman, Anda sekalian luar biasa. Tadinya saya pikir tulisan ini kelewat panjang... tapi malas juga kalau postingnya pendek-pendek ya.

Terima kasih untuk semua komentar dan like nya. Kalau suka, jangan lupa like nya ya.

Salam semprot!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd