AKU TAHU RASANYA DISETUBUHI
Dikisahkan Santi.
Kalian perlu tahu, kalau ini adalah cerita fiksi. Jangan berusaha mencariku, walau mungkin kalian berpapasan denganku di jalan. Atau di mall. Karena aku dulu datang ke kota besar ini setelah melalui perjalanan panjang, naik kapal laut, kereta api, dan bis. Sampai dahulu itu, aku berjalan di terminal besar Ibu Kota yang panas dan berasap.
Tempat asalku juga panas, di Kalimantan. Ibuku orang Cina-Jepang, dan bapakku -- menurut Nenek -- seorang Inggris yang dahulu mengerjakan proyek tambang batubara. Aku tidak tahu bagaimana persisnya cerita Ibu, karena aku tidak mengingatnya berbicara. Aku diurus oleh kakek dan nenek, sekedarnya karena mereka tidak punya harta. Kami semua orang miskin di Kalimantan. Konon dulu sekali, kakek dan nenek tinggal di pulau Jawa, tapi ketika penjajah Jepang datang mereka memaksa nenek melayani segala keperluan tentara. Memang nenek cantik, namun kalau diperhatikan, ibuku lebih cantik lagi. Ia tidak perlu berdandan, aku sudah melihatnya menonjol dibanding semua perempuan lain di desa kami. Jadi, entah bagaimana, akhirnya aku hadir di dunia, dan tidak pernah mengenal atau melihat bapakku.
Ketika aku kira-kira berusia enam tahun, di waktu subuh kampung kami diserang oleh para perampok. Waktu itu kakek dan nenek tidak ada di rumah, hanya ada aku dan ibu. Aku melihat ibuku yang cantik diseret keluar, sementara aku bersembunyi di balik pintu. Ibu memberi tanda supaya aku lari, jadi ketika tidak ada yang melihat, aku berlari sekencang-kencangnya di jalanan yang masih agak gelap menjelang terbitnya matahari. Untung agak gelap, karena rupanya dua orang perampok melihat diriku berlari dan mulai mengejar, seperti memburu mangsa anak kecil. Aku ketakutan setengah mati.
Berlari melewati hutan, aku menjumpai seorang kakek yang sedang mengumpulkan kayu-kayu. Ia memandang heran padaku, anak perempuan kecil yang berlari kesetanan sepagi ini. Belum sempat ia bertanya, muncullah dua orang pengejarku. Aku terlalu letih dan ketakutan untuk bergerak, kakiku lemas di hadapan si kakek.
"Enyah, kakek tua!" seru salah satu pengejarku. Aku gemetar ketakutan. Tapi kakek tidak kehilangan ketenangannya, dan aku melihat dalam satu gebrakan kakek membuat kedua orang pengejarku terkapar di jalan, tidak bergerak lagi. "Mari Nak, kita ke kampungmu," kata kakek sambil meraih tanganku yang dingin. Aku melangkah disisinya, dituntun dengan halus, sampai kami sampai di rumah. Kakek menyuruhku tinggal di luar, sementara ia terus masuk ke dalam rumah dan merobohkan entah berapa orang penjahat lagi.
Tapi, saat itu ibuku sudah diperkosa dan dibunuh oleh para penjahat itu. Aku tidak pernah melihat jenazah ibuku, mereka terus menguburkannya hari itu juga. Kakek tidak pernah meninggalkan desa itu, dan sejak itu juga aku diajari kakek ilmu silat. Aku juga diajarinya baca tulis serta berbagai ketangkasan di hutan. Umur sepuluh, aku sudah bisa berlari-lari dari satu dahan pohon ke dahan pohon lain. Sayangnya, hutan kini menjadi semakin tipis. Para penebang kayu menghabisi hutan dari bagian tengah, membuat dataran padang gersang dipenuhi tonggol-tonggol kayu mati yang panas. Kakek yang juga jadi guruku bilang bahwa aku sudah mengerti semua ilmu silat yang perlu diturunkannya, dan ia harus terus pergi lagi. Aku sedih sekali, tapi bisa apa? Ia hanya memesan agar aku tidak melupakan ilmunya dan terus berlatih. Tapi, aku masih anak-anak, hanya ingat pesan itu dua bulan. Di bulan ketiga aku sudah bosan. Untuk apa tahu ilmu silat?
Ketika aku berusia sebelas tahun, kurus dan kulitku coklat dibakar matahari serta dibasuh sungai Kapuas, adik nenekku datang dan mengajakku ke Ibu Kota. Ke pinggiran, satu kota satelit yang bernama Depok, di mana ia punya toko besi. Ia punya cucu perempuan sebaya diriku, masih terbilang sepupu jauh, dari anaknya satu-satunya yang meninggal dunia kecelakaan motor. Jadi, daripada aku belajar di sekolah dasar seadanya, ia mengajakku tinggal bersamanya. Nenekku nampak senang, bahkan ia mendesakku untuk turut pergi. Demikianlah aku berangkat membawa sedikit milikku yang tiada berharga.
Jangan salah menduga: aku memang dari keluarga miskin, tapi aku tidak bodoh. Aku bisa berpikir dengan baik. Aku bisa belajar dengan baik, selalu menjadi juara di kelas. Jadi, walau aku awalnya tertinggal banyak dibanding teman-teman di Depok, aku bisa mengikuti semua pelajaran dan akhirnya lulus dengan nilai terbaik. Lagipula, aku sepertinya tumbuh lebih cepat daripada yang lain. Umur 12, aku sudah mens padahal dede angkatku (cucu adik nenek) yang seumur masih belum punya payudara. Kulitku menjadi lebih putih, dan rupanya mataku berwarna agak kehijauan. Tinggi badanku lebih dari 160 centi, dan aku suka memelihara rambut hitam panjang sedikit di bawah bahu. Kalau aku memandang diriku di cermin, aku tahu diriku cantik. Mungkin, sedikit lebih cantik daripada ibuku. Dan itu membuatku takut.
Ketika aku masuk SMP, aku sibuk dengan pelajaran, dengan tugas sekolah, dan tidak banyak bergaul. Aku berpakaian panjang, menutup seluruh tubuh. Aku tidak mau dilihat orang, karena aku takut. Dulu ketika aku masih kecil, aku melihat bagaimana para perampok menatap ibuku. Aku tidak mau ditatap seperti itu. Jadi, aku bahkan mencoba memakai hijab, walau aku bukan muslimah. Aku hanya merasa lebih aman begitu, selama bersekolah di SMP.
Di kelas tiga SMP, kesibukan sekolah semakin tinggi, untuk persiapan ujian akhir. Sekali waktu, aku harus mengikuti tambahan karena guru mau mengajarkan trik khusus untuk menyelesaikan soal dengan cepat. Waktu pulang sudah jam setengah lima sore, jadi aku harus naik kendaraan umum. Aku berangkat pulang bersama beberapa teman sekelas, mereka satu per satu turun di jalan -- aku masih harus naik angkutan umum ini sampai di terminal, di dekat rumah. Salah satu teman sekelasku ikut naik angkutan bersama kakaknya yang sudah SMK dan teman-teman SMK-nya. Teman sekelasku turun lebih dulu di jalan, tapi kakaknya dan teman-temannya masih di angkutan, sampai terminal. Kami turun bersama-sama. Waktu menunjukkan jam setengah enam sore, sudah gelap, mendung tebal.
Aku tidak ingat persisnya di awal bagaimana, tapi aku digiring kakak temanku ke sebuah rumah dekat terminal. Di situ mereka berempat memegangi aku di atas ranjang, sambil berusaha menelanjangiku. Sumpah, seumur hidup aku belum pernah berpikir atau mencari tahu soal hubungan laki-laki dan perempuan. Aku tidak pernah berminat pada laki-laki yang menginginkanku jadi pacar. Aku selalu menghindar.
Tapi di situ, sore itu, bajuku dirobek dengan kasar, dan aku merasakan ketelanjangan di bawah tindihan. Aku menjerit, tapi suara hujan lebat lebih besar. Kamar itu lampunya temaram, tapi aku bisa melihat bagaimana laki-laki memelorotkan celananya. Aku melihat di selangkangannya seperti ada besi, keras mengacung. Aku melihat buah dadaku dibuka, kedua nenen -- istilah untuk payudara -- ini diremas-remas dengan paksa. Aku melihat bagaimana celana dalamku direnggut, dipelorotkan, kemudian kedua pahaku direnggangkan paksa. Laki-laki yang satu itu terus memperhatikan memekku dengan seksama, lalu meludahinya.
Pemuda itu tidak jelas wajahnya, tetapi aku jelas melihat batangnya diarahkan ke memekku. Aku mau menghindar, tapi tidak bisa. Rasa takutku terlalu besar. Aku merasa diriku lumpuh tak berdaya.
"Pegang!" katanya kepada temannya. Ia mendorong, tapi luput. Tidak kena lobang memekku. Kedua temannya yang memegangi kakiku tertawa. Aku sangat ketakutan, merasakan pinggir memekku disundul benda tumpul. Ia mencoba lagi. Kepala batang kemaluan laki-laki itu menekan, menyeruak. Masuk. Sakit, luar biasa sakitnya. Aku menjerit. Pemuda keparat itu tidak peduli, ia terus mendorong. Aku merasakan batang lelaki itu masuk, tapi waktu itu aku sama sekali tidak mengerti. Aku hanya merasa sakit, berharap siksaan ini segera berakhir dan aku terus mati.
Namun, aku tidak mati. Memekku basah berlendir oleh cairan yang mereka tumpahkan, keempat laki-laki sialan itu bergiliran memperkosaku sampai malam. Aku tidak mengerti, belum paham waktu itu, bahwa aku sedang diperkosa. Aku hanya menjerit, merasa sakit, tidak pernah terjadi sebelumnya. Aku tidak tahu apa-apa. Bodohnya aku.
Beberapa jam kemudian, mereka selesai dan pergi. Aku mengambil baju yang ada, memakainya sebisaku -- tanpa celana dalam yang sudah robek. Aku pulang. Aku tidak berani bicara apa-apa, malu. Lagipula, begitu sampai rumah aku dimarahi karena pulang kemalaman. Aku terus masuk kamar, menyimpan rapat-rapat apa yang terjadi sepanjang sore sampai malam itu.
Aku gagal lulus SMP dengan nilai baik. Hikmahnya, dede angkatku senang karena nilainya lebih baik daripada nilaiku. Sebagai tamu di rumahnya, mungkin memang sebaiknya aku tidak nampak lebih pandai. Jadi dedeku bisa masuk SMA favorit, sedang aku hanya masuk SMA negeri yang tidak jauh. Aku berusaha tampak lusuh, tidak mau tampil cantik. Aku tidak suka tertawa. Dingin. Takut.
Penyesalanku yang paling dalam, aku tidak melakukan perlawanan. Aku melupakan semua ilmu silatku dari kakek. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa lupa? Kenapa jadi tak berdaya? Siapa suruh lalai berlatih? Sejak itu, aku kembali memulai latihanku. Latihan pernapasan. Latihan berlari, tiap pagi subuh aku berlari mengelilingi komplek yang masih sepi. Di lapangan bola yang gelap, aku kembali mengulang seluruh gerakan-gerakan jurus silat, membayangkan pukulanku menghajar anak-anak jahanam itu.
Aku tidak meneruskan SMA. Percuma, toh gurunya juga jarang masuk mengajar. Malah aku melihat bagaimana teman perempuanku dengan genitnya memperlihatkan teteknya kepada teman laki-laki. Mungkin dia sudah tidur dengan dua atau tiga orang teman laki-laki. Saat itu aku baru mengerti apa yang terjadi… aku dulu itu diperkosa, dientoti. Aku bukan perawan lagi. Tapi, aku juga tidak mau lagi laki-laki. Semua hidupku dimulai dari bapakku yang jahat dan tidak bertanggung jawab. Kalau dulu dia tidak meniduri ibuku, aku tidak akan ada di sini.
Jadi di kelas sebelas aku keluar dari SMA, aku pergi dari Depok. Aku cari pekerjaan, masuk jadi pembantu rumah tangga. Aku bekerja pada keluarga kecil, suami istri orang Jawa, dengan satu anak baru dua tahun walau mereka sudah berusia lebih dari tiga puluhan. Biasa orang karir, kawinnya telat. Aku berusaha tampil baik, sedikit banyak aku tahu bagaimana menjaga anak kecil. Dulu di Kalimantan aku kan pernah ditugasi menjaga anak tetangga.
Di keluarga ini aku bisa hidup lebih tenang, hanya mengurus rumah dan satu orang anak. Aku merasa lebih bebas, daripada harus bersekolah tanpa tujuan, malah bergaul kacau balau seperti itu. Umurku waktu itu enam belas tahun, hampir tujuh belas, waktu aku mulai bekerja. Tapi, ternyata urusan bersetubuh masih mengikutiku, dengan tidak disengaja. Kira-kira setahun kemudian, terjadilah.
Waktu itu, aku sudah dikamarku, mau tidur. Bapak dan Ibu belum pulang, katanya ada kondangan.
Mereka menelpon menyuruhku tidur saja, tidak usah menunggu. Tapi aku terbangun karena mendengar ada suara-suara aneh dari ruang keluarga, dari sofa di depan TV. Aku takut, jangan-jangan ada maling masuk…. Jadi diam-diam aku mengintip.
Ruang keluarga lampunya masih menyala semua. Aku melihat Ibu sudah telanjang, berbaring terlentang di sofa. Sebelah kakinya dinaikkan ke atas senderan, sebelah lagi menjuntai ke lantai. Bapak juga telanjang, dan aku melihat kemaluannya hitam besar, keras. Kontras dengan tubuh ibu yang kuning langsat agak kecoklatan khas orang jawa. Yang satu gagah, satu lagi indah. Kemaluan Bapak nampak melesak masuk, tidak terlalu jelas karena terhalang paha. Aku mengintip dari pintu di sisi tv, jadi bukannya menonton tv, aku malah melihat pertunjukan hidup, live show. Aku tidak bisa memalingkan mata. Aku menahan nafas.
Bapak menekankan pantatnya ke bawah. Aku membayangkan batang kemaluan itu melesak masuk. Ibu tidak ragu-ragu menjerit, merintih, dan meminta, "Aaahhh! Aaaahhhhhh! Maaassss…. Enak maaasss…. Makin cepat ayoooo…."
Tangan Bapak meremas-remas tetek Ibu yang besar. Aku meraba tetekku sendiri, ukurannya hampir sama. Aku pernah mencoba BH Ibu, ukurannya pas. Aku membayangkan kalau tangan yang kekar itu meremas tetekku sendiri. Aku membayangkan kalau kemaluan yang besar itu masuk ke memekku sendiri. Untuk pertama kalinya aku merasa bergairah. Memekku turut menjadi basah.
Aku mengangkat rok yang panjang, supaya tanganku bisa merogoh ke balik celana dalam. Meraba memekku yang kini sudah lebat berbulu. Aku menggosoknya. Enak. Aku mendesah. Ibu mengerang. Aku turut bernafas makin cepat. Bapak terlihat bergerak naik turun dengan cepat. Aku menggosok memekku lebih cepat. Cairannya membanjiri jari-jariku.
Bapak nampak membenamkan pantatnya kebawah. Kemaluannya pasti melesak masuk dalam-dalam. Ibu menjerit. Aku mengejang. Memekku menyemprotkan cairan, yang membasahi jari, membasahi tangan, sampai menetes di lantai. Bapak menoleh ke pintu. Nampaknya ia melihatku! Tapi aku masih pening, jadi tidak bisa segera beranjak dari situ. Bapak masih membenamkan kemaluannya tidak bergerak. Aku perlahan-lahan beringsut dari pintu, kembali ke kamarku.
Sejak saat itu, aku merasa lebih bergairah. Aku memilih rok yang lebih pendek. Kalau aku sedang sendiri sedang si ade anak majikan sedang tidur, aku meraba dan menggosok memekku sendiri, menjadi basah, ngilu, enak, dan aku mengejang. Orgasme, itulah istilahnya. Aku masturbasi secara teratur, hampir setiap hari. Tiap kali aku membayangkan kemaluan Bapak yang keras, panjang, berotot seperti tongkat besi, tertanam dalam memekku yang sudah tidak perawan lagi ini. Tapi itu hanya bayanganku saja. Khayalan bodoh.
Suatu ketika, semalam Bapak demam, sehingga ia tinggal di rumah. Ibu di kantornya ada rapat nasional di puncak, jadi ia harus pergi tiga hari. Pulangnya nanti hari Sabtu. Aku dititipi rumah dan menjagai Bapak. Mungkin dia cuma masuk angin, kata Ibu.
Bapak masih tidur waktu aku masuk kamar utama, membereskan handuk dan baju kotor untuk dicuci. Waktu aku balik lagi mau mengepel lantai, Bapak baru bangun. Jam sudah hampir delapan pagi.
"Mau sarapan, Pak?" tanyaku sambil tersenyum. Konon senyum manis di pagi hari berkhasiat memberi kesehatan.
"Iya Nduk…." Bapak masih seperti belum bangun benar. Aku tidak jadi mengepel, sebaliknya aku ke dapur mempersiapkan sarapan pagi kesukaan Bapak, nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang dua buah. Juga kopi. Kali ini aku membawa semuanya ke kamar tidur.
Bapak makan tanpa banyak bicara, tapi ia meminta aku menemaninya di pinggir ranjang. Sambil makan, matanya tidak lepas menatapku.
"Nduk, kamu ini cantik sekali ya…. Haha, pembantu paling cantik yang pernah ada," kata Bapak. Walah, bagaimana aku harus menjawabnya?
"Kamu ini tinggi, putih, indah…. Kenapa jadi pembantu? Masih muda begini, mestinya masa depan lebih cerah," kata Bapak lagi. Mau bagaimana lagi, mungkin aku cantik tapi bisaku hanya begini. SMA saja tidak lulus. Tapi, aku tertunduk saja dan mengucapkan terima kasih.
"Nduk…. Kamu beberapa malam yang lalu, mengintip saya dan ibu sedang…. Eee… begitu yaa…?" tanya Bapak lagi.
Aku kaget. Mau berbohong, aku tidak berani. Jadi aku mengangguk.
"Halah…. Nduk… nanti kalau kamu lihat, lantas kamu jadi takut, gimana? Kamu takut ndak?"
Aku menggeleng. "Nggak, Pak. Hanya… kayaknya enak sekali… "
Bapak tertawa kecil. Lalu terbatuk.
"Halah…. Ya sudah. Nduk, Bapak mau dipijat pagi-pagi, kamu bisa memijat?"
Aku tidak bisa memijat, hanya tahu sedikit dari nenek dahulu. Tapi, entah mengapa aku ingin memegang tubuh Bapak. Jadi aku mengiyakan. Maka Bapak melepas baju piyamanya. Ia juga melepas celananya…. Aku terkesiap.
Bapak tidak memakai celana dalam! Ia kini telungkup bertelanjang bulat!
"Nduk, nggak apa-apa ya Bapak bugil begini. Kan kamu juga sudah lihat semua… Ya sekarang pijat saja. Itu ada body lotion di atas meja."
Aku mengambil body lotion. Aku pernah baca, memijat dimulai dari kaki. Jadi aku mulai dari tepi ranjang, aku memijat kaki Bapak, mulai dari telapak kaki. Bapak terdiam, entah apakah ia merasa enak, aku tidak tahu. Tubuh Bapak kekar dan padat, warnanya tembaga gelap. Kontras dengan tanganku yang putih, antara kulit orang Cina dan Eropa. Entah, apakah Bapak juga merasakan tanganku yang kapalan karena kerja di rumah.
Pijatanku dari kaki naik ke betis, lalu ke paha. Aku berhenti di sana. Ragu-ragu.
Bapak merenggangkan kakinya. Aku melihat bola pelirnya dikasur, di antara selangkangan.
"Nduk, pijatnya naik terus dong ke atas, jangan ragu-ragu," pinta Bapak. Jadi aku meneruskan memijat ke atas, memijat pantatnya. Sampai pinggang. Balik lagi ke telapak kaki. Naik, betis, paha, pantat. Tiap kali aku memandang pelirnya yang kehitaman. Aku merasakan darahku berdesir. Merasakan memekku jadi ngilu.
"Kaki satunya lagi, Nduk"
Tadi kaki kiri, kini kanan. Cara yang sama: pijatan yang sembarangan, tapi diulang-ulang mulai dari telapak kaki, lalu betis, paha, pantat, pinggang. Balik lagi ke telapak.
"Nduk, di pantat lebih banyak pijat ya"
Aku duduk di samping pantat Bapak. Aku memijat pantatnya, yang kemarin turun naik di atas badan Ibu. Memegang pantat kekar ini, aku mengingat kembali semua yang terjadi malam itu. Berusaha membuang pikiran, aku terus memijit ke atas, mengurut ke arah kepala. Bahu, tengkuk, kepala.
"Balik ya Nduk."
Bapak terus membalikkan tubuhnya dari telungkup menjadi terlentang. Ia terlentang dan aku melihat kemaluan Bapak mengacung keras.
"Tuhh… lihat Nduk, pagi-pagi jadi begini karena pijiatmu…." kata Bapak. Nafasnya tidak teratur. Tapi nafasku juga tidak teratur.
Aku kembali ke telapak kaki. Memulai dari jari-jari kakinya. Lalu betis, lalu paha. Tanganku menyentuh kemaluannya.
"Nduk pegang kontolku…"
"Apa Pak?"
"Itu, eee… yang mengacung itu"
"Begini?" Aku memegang kontolnya. Baru kali ini aku diajari istilah itu oleh Bapak. Sebelumnya, aku tidak tahu apa namanya, selain kemaluan -- seperti diajari nenek dahulu.
"Nduk… pijati ya"
Aku memijat, meremas tanpa tahu caranya. Tidak pernah mengerti bagaimana. Bapak meringis.
"Sudah, sudah. Kaki saja lagi." Jadi aku memulai lagi dari kaki kiri, ke atas. Kaki kanan, ke atas. Tiap kali, aku melihat kontol itu makin menegang dan di kepalanya ada cairan-cairan keluar. Baru kali ini aku memperhatikan kemaluan laki-laki, setelah dahulu empat kontol masuk ke memekku dengan kasar. Baru kali ini aku tahu bahwa sebenarnya kontol itu lembut sekali kepalanya.
"Nduuukk…." sini…
Aku mendekat.
"Nduk, kamu tahu kan, kemaren itu enak sekali Bapak dan Ibu ngentot. Kamu nonton sampai habis ya…"
Aku mengangguk. Aku tidak bercerita bahwa saat itu aku juga merogoh memekku sendiri. Dan merasa enak.
"Nduk, mau merasai seperti Ibu?"
"Ibu nanti marah, Pak"
"Lha, Ibu kan menitip aku padamu. Lagipula, tidak usah cerita… ini hanya supaya kamu tahu rasanya saja."
Aku hanya bisa mengangguk. Tapi, Bapak nampak senang sekali. Ia meraihku. Aku tidak mengelak, aku membiarkan diri dipeluknya. Enak dipeluk laki-laki yang bertelanjang bulat ini.
"Nduk, nggak bisa begini. Kalau aku bugil, kamu juga ya."
Aku mengangguk lagi. Memang ingin bugil seperti Ibu. Jadi aku melepaskan tshirt, lalu rok spanku.
"Celana dalamnya juga ya? Eh… kamu mens?" Bapak seperti khawatir karena aku masih memakai pembalut.
"Nggak Pak, ini sudah selesai… baru saja. Ini hanya jaga-jaga kalau masih ada keluar mens nya…"
"Ooohh… nggak apa-apa ya, di buka?"
Aku diam saja, tapi tangan dan badanku meloloskan celana dalam itu. Kini kami berdua bertelanjang bulat.
Bapak membaringkan aku di ranjangnya yang empuk. Ia menciumku dengan lembut di pipi. Aku tidak bisa berciuman di bibir. Bapak lembut sekali, ia mencium leherku yang putih jenjang. Ia sangat senang dengan kedua tetekku yang membusung, putingku mengeras. Memekku makin basah, padahal biasanya habis mens tidak begini. Aku khawatir membasahi sprei, tapi nanti ini bisa diganti….
Aku tidak ingat lagi bagaimana dahulu aku diperkosa. Ini sangat berbeda. Bapak ada di atasku, tapi ia tidak memaksa. Tidak menekan. Ia mengelus lembut, membuatku merasa diinginkan. Aku merasa bergairah. Kalau dahulu ada dua laki-laki merenggangkan pahaku, kini aku merenggangkan pahaku sendiri selebar-lebarnya. Aku pikir Bapak akan menaruh kemaluannya di memekku, tapi ia tidak melakukannya. Ia malah mencium putingku. Yang kanan. Yang kiri. Menjilatnya.
Aku menggelinjang, jilatan di puting itu rasanya luar biasa. Bapak meneruskan dengan ciuman, lalu hisapan. Ia seperti bayi menyusu pada putingku. Aku tidak bisa menahan suara, aku merintih. Mungkin tidak sekeras Ibu, tapi cukup untuk membuat diriku sendiri terangsang. Tangan Bapak meraih memekku. Menggosok biji yang menonjol.
"Wah… kelentitmu udah besar, Nduk."
Bapak menggosok daging yang dia sebut kelentit itu. Aku tidak bisa menahan desahan, "aaauuuhhhh…. Aaaauuuhhhh……" setiap kali ia memainkannya.
Aku tidak tahu bagaimana gerakannya, tapi tahu-tahu Bapak sudah berada di antara kedua pahaku. Aku merasakan kontolnya di depan memekku yang basah sekali ini.
"Nduk, Bapak masuk yaaa…."
Bless… licin, masuk.
"Ohhh…. Nduk…. Kamu sudah pernah yaa…." Bapak terdengar kecewa.
Tapi, mau bagaimana lagi? Toh dulu aku tidak mau diperkosa, tapi harus terima nasib….
Bapak terus bergerak. Aku menggerakkan pantatku mengimbanginya. Aku mengeraskan otot memekku, merasakan kontol di dalamnya. Sempit, gesekannya terasa sampai ke ubun-ubun. Aku mengejan dengan cepat, orgasme. Bapak masih terus mengentotiku, menyetubuhiku. Aku tidak sempat 'turun', sebaliknya aku terus naik lagi, lebih tinggi. Sepuluh menit kemudian, aku orgasme lagi, lebih hebat dari yang tadi.
Waktu aku orgasme, badanku seluruhnya mengejang. Memekku menjepit sekuat-kuatnya. Gesekan kontol di memekku itu terasa menggila. Rupanya Bapak juga tidak bisa bertahan, ia melesakkan kontolnya dalam-dalam, seperti waktu itu ke dalam memek Ibu. Aku merasakannya, masuk semua - kontolnya tidak terlalu panjang sebenarnya - dan menyemprotkan cairan di dalam sana. Luar biasa enaknya.
Kalau dilihat, kami hanya bersetubuh kira-kira 40 menit, tapi rasanya capai luar biasa. Aku enak sekali, dan pastinya aku menginginkannya lagi, kalau Bapak mau. Bapak juga terengah-engah… terdiam. Ia melepaskan kontolnya, lalu turun dari atasku, turun dari ranjang. Terus masuk kamar mandi.
Aku mengambil tisu, mengelap memekku yang masih melelehkan cairannya Bapak. Putih kental. Wanginya aneh, tapi aku suka. Aku mengambil baju, mengenakannya lagi. Kembali ke kamarku, lalu aku juga mandi di kamar mandi pembantu.
Siang itu, Bapak bertanya bagaimana aku sudah tidak perawan lagi. Aku dengan gugup menceritakan pengalaman burukku selama SMP kelas tiga dahulu. Bapak mengangguk-angguk, nampak lega. Setidaknya, aku bukan perempuan jalang yang tidur sembarangan. Tapi aku tidur dengan lelaki beristri… Malam itu aku baru memikirkannya, dan aku menyesal. Tapi, aku juga ingin lagi…
Di malam hari, ketika ade sudah tidur, aku menemani Bapak menonton TV.
"Nduk…. Bapak minta maaf ya. Tadi pagi, Bapak khilaf…." Aku hanya terdiam. Lalu aku mengangkat wajah, memandang Bapak sambil tersenyum kecut… "sama Pak… saya juga minta maaf. Tapi, sejujurnya… eee… tadi itu enak…" Aku merasa wajahku memerah.
Bapak tersenyum kecut juga. Setelah itu kami kembali ke kamar tidur masing-masing. Belakangan aku baru tahu kalau lelaki tidak bisa selalu mengeras kontolnya; bagi orang yang berusia mau 40 seperti Bapak, kalau sudah keluar sekali, sudah cukuplah untuk hari itu.
Tapi saat itu, aku bisa berkata , "sekarang Aku tahu rasanya disetubuhi……"
Dikisahkan Santi.
Kalian perlu tahu, kalau ini adalah cerita fiksi. Jangan berusaha mencariku, walau mungkin kalian berpapasan denganku di jalan. Atau di mall. Karena aku dulu datang ke kota besar ini setelah melalui perjalanan panjang, naik kapal laut, kereta api, dan bis. Sampai dahulu itu, aku berjalan di terminal besar Ibu Kota yang panas dan berasap.
Tempat asalku juga panas, di Kalimantan. Ibuku orang Cina-Jepang, dan bapakku -- menurut Nenek -- seorang Inggris yang dahulu mengerjakan proyek tambang batubara. Aku tidak tahu bagaimana persisnya cerita Ibu, karena aku tidak mengingatnya berbicara. Aku diurus oleh kakek dan nenek, sekedarnya karena mereka tidak punya harta. Kami semua orang miskin di Kalimantan. Konon dulu sekali, kakek dan nenek tinggal di pulau Jawa, tapi ketika penjajah Jepang datang mereka memaksa nenek melayani segala keperluan tentara. Memang nenek cantik, namun kalau diperhatikan, ibuku lebih cantik lagi. Ia tidak perlu berdandan, aku sudah melihatnya menonjol dibanding semua perempuan lain di desa kami. Jadi, entah bagaimana, akhirnya aku hadir di dunia, dan tidak pernah mengenal atau melihat bapakku.
Ketika aku kira-kira berusia enam tahun, di waktu subuh kampung kami diserang oleh para perampok. Waktu itu kakek dan nenek tidak ada di rumah, hanya ada aku dan ibu. Aku melihat ibuku yang cantik diseret keluar, sementara aku bersembunyi di balik pintu. Ibu memberi tanda supaya aku lari, jadi ketika tidak ada yang melihat, aku berlari sekencang-kencangnya di jalanan yang masih agak gelap menjelang terbitnya matahari. Untung agak gelap, karena rupanya dua orang perampok melihat diriku berlari dan mulai mengejar, seperti memburu mangsa anak kecil. Aku ketakutan setengah mati.
Berlari melewati hutan, aku menjumpai seorang kakek yang sedang mengumpulkan kayu-kayu. Ia memandang heran padaku, anak perempuan kecil yang berlari kesetanan sepagi ini. Belum sempat ia bertanya, muncullah dua orang pengejarku. Aku terlalu letih dan ketakutan untuk bergerak, kakiku lemas di hadapan si kakek.
"Enyah, kakek tua!" seru salah satu pengejarku. Aku gemetar ketakutan. Tapi kakek tidak kehilangan ketenangannya, dan aku melihat dalam satu gebrakan kakek membuat kedua orang pengejarku terkapar di jalan, tidak bergerak lagi. "Mari Nak, kita ke kampungmu," kata kakek sambil meraih tanganku yang dingin. Aku melangkah disisinya, dituntun dengan halus, sampai kami sampai di rumah. Kakek menyuruhku tinggal di luar, sementara ia terus masuk ke dalam rumah dan merobohkan entah berapa orang penjahat lagi.
Tapi, saat itu ibuku sudah diperkosa dan dibunuh oleh para penjahat itu. Aku tidak pernah melihat jenazah ibuku, mereka terus menguburkannya hari itu juga. Kakek tidak pernah meninggalkan desa itu, dan sejak itu juga aku diajari kakek ilmu silat. Aku juga diajarinya baca tulis serta berbagai ketangkasan di hutan. Umur sepuluh, aku sudah bisa berlari-lari dari satu dahan pohon ke dahan pohon lain. Sayangnya, hutan kini menjadi semakin tipis. Para penebang kayu menghabisi hutan dari bagian tengah, membuat dataran padang gersang dipenuhi tonggol-tonggol kayu mati yang panas. Kakek yang juga jadi guruku bilang bahwa aku sudah mengerti semua ilmu silat yang perlu diturunkannya, dan ia harus terus pergi lagi. Aku sedih sekali, tapi bisa apa? Ia hanya memesan agar aku tidak melupakan ilmunya dan terus berlatih. Tapi, aku masih anak-anak, hanya ingat pesan itu dua bulan. Di bulan ketiga aku sudah bosan. Untuk apa tahu ilmu silat?
Ketika aku berusia sebelas tahun, kurus dan kulitku coklat dibakar matahari serta dibasuh sungai Kapuas, adik nenekku datang dan mengajakku ke Ibu Kota. Ke pinggiran, satu kota satelit yang bernama Depok, di mana ia punya toko besi. Ia punya cucu perempuan sebaya diriku, masih terbilang sepupu jauh, dari anaknya satu-satunya yang meninggal dunia kecelakaan motor. Jadi, daripada aku belajar di sekolah dasar seadanya, ia mengajakku tinggal bersamanya. Nenekku nampak senang, bahkan ia mendesakku untuk turut pergi. Demikianlah aku berangkat membawa sedikit milikku yang tiada berharga.
Jangan salah menduga: aku memang dari keluarga miskin, tapi aku tidak bodoh. Aku bisa berpikir dengan baik. Aku bisa belajar dengan baik, selalu menjadi juara di kelas. Jadi, walau aku awalnya tertinggal banyak dibanding teman-teman di Depok, aku bisa mengikuti semua pelajaran dan akhirnya lulus dengan nilai terbaik. Lagipula, aku sepertinya tumbuh lebih cepat daripada yang lain. Umur 12, aku sudah mens padahal dede angkatku (cucu adik nenek) yang seumur masih belum punya payudara. Kulitku menjadi lebih putih, dan rupanya mataku berwarna agak kehijauan. Tinggi badanku lebih dari 160 centi, dan aku suka memelihara rambut hitam panjang sedikit di bawah bahu. Kalau aku memandang diriku di cermin, aku tahu diriku cantik. Mungkin, sedikit lebih cantik daripada ibuku. Dan itu membuatku takut.
Ketika aku masuk SMP, aku sibuk dengan pelajaran, dengan tugas sekolah, dan tidak banyak bergaul. Aku berpakaian panjang, menutup seluruh tubuh. Aku tidak mau dilihat orang, karena aku takut. Dulu ketika aku masih kecil, aku melihat bagaimana para perampok menatap ibuku. Aku tidak mau ditatap seperti itu. Jadi, aku bahkan mencoba memakai hijab, walau aku bukan muslimah. Aku hanya merasa lebih aman begitu, selama bersekolah di SMP.
Di kelas tiga SMP, kesibukan sekolah semakin tinggi, untuk persiapan ujian akhir. Sekali waktu, aku harus mengikuti tambahan karena guru mau mengajarkan trik khusus untuk menyelesaikan soal dengan cepat. Waktu pulang sudah jam setengah lima sore, jadi aku harus naik kendaraan umum. Aku berangkat pulang bersama beberapa teman sekelas, mereka satu per satu turun di jalan -- aku masih harus naik angkutan umum ini sampai di terminal, di dekat rumah. Salah satu teman sekelasku ikut naik angkutan bersama kakaknya yang sudah SMK dan teman-teman SMK-nya. Teman sekelasku turun lebih dulu di jalan, tapi kakaknya dan teman-temannya masih di angkutan, sampai terminal. Kami turun bersama-sama. Waktu menunjukkan jam setengah enam sore, sudah gelap, mendung tebal.
Aku tidak ingat persisnya di awal bagaimana, tapi aku digiring kakak temanku ke sebuah rumah dekat terminal. Di situ mereka berempat memegangi aku di atas ranjang, sambil berusaha menelanjangiku. Sumpah, seumur hidup aku belum pernah berpikir atau mencari tahu soal hubungan laki-laki dan perempuan. Aku tidak pernah berminat pada laki-laki yang menginginkanku jadi pacar. Aku selalu menghindar.
Tapi di situ, sore itu, bajuku dirobek dengan kasar, dan aku merasakan ketelanjangan di bawah tindihan. Aku menjerit, tapi suara hujan lebat lebih besar. Kamar itu lampunya temaram, tapi aku bisa melihat bagaimana laki-laki memelorotkan celananya. Aku melihat di selangkangannya seperti ada besi, keras mengacung. Aku melihat buah dadaku dibuka, kedua nenen -- istilah untuk payudara -- ini diremas-remas dengan paksa. Aku melihat bagaimana celana dalamku direnggut, dipelorotkan, kemudian kedua pahaku direnggangkan paksa. Laki-laki yang satu itu terus memperhatikan memekku dengan seksama, lalu meludahinya.
Pemuda itu tidak jelas wajahnya, tetapi aku jelas melihat batangnya diarahkan ke memekku. Aku mau menghindar, tapi tidak bisa. Rasa takutku terlalu besar. Aku merasa diriku lumpuh tak berdaya.
"Pegang!" katanya kepada temannya. Ia mendorong, tapi luput. Tidak kena lobang memekku. Kedua temannya yang memegangi kakiku tertawa. Aku sangat ketakutan, merasakan pinggir memekku disundul benda tumpul. Ia mencoba lagi. Kepala batang kemaluan laki-laki itu menekan, menyeruak. Masuk. Sakit, luar biasa sakitnya. Aku menjerit. Pemuda keparat itu tidak peduli, ia terus mendorong. Aku merasakan batang lelaki itu masuk, tapi waktu itu aku sama sekali tidak mengerti. Aku hanya merasa sakit, berharap siksaan ini segera berakhir dan aku terus mati.
Namun, aku tidak mati. Memekku basah berlendir oleh cairan yang mereka tumpahkan, keempat laki-laki sialan itu bergiliran memperkosaku sampai malam. Aku tidak mengerti, belum paham waktu itu, bahwa aku sedang diperkosa. Aku hanya menjerit, merasa sakit, tidak pernah terjadi sebelumnya. Aku tidak tahu apa-apa. Bodohnya aku.
Beberapa jam kemudian, mereka selesai dan pergi. Aku mengambil baju yang ada, memakainya sebisaku -- tanpa celana dalam yang sudah robek. Aku pulang. Aku tidak berani bicara apa-apa, malu. Lagipula, begitu sampai rumah aku dimarahi karena pulang kemalaman. Aku terus masuk kamar, menyimpan rapat-rapat apa yang terjadi sepanjang sore sampai malam itu.
Aku gagal lulus SMP dengan nilai baik. Hikmahnya, dede angkatku senang karena nilainya lebih baik daripada nilaiku. Sebagai tamu di rumahnya, mungkin memang sebaiknya aku tidak nampak lebih pandai. Jadi dedeku bisa masuk SMA favorit, sedang aku hanya masuk SMA negeri yang tidak jauh. Aku berusaha tampak lusuh, tidak mau tampil cantik. Aku tidak suka tertawa. Dingin. Takut.
Penyesalanku yang paling dalam, aku tidak melakukan perlawanan. Aku melupakan semua ilmu silatku dari kakek. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa lupa? Kenapa jadi tak berdaya? Siapa suruh lalai berlatih? Sejak itu, aku kembali memulai latihanku. Latihan pernapasan. Latihan berlari, tiap pagi subuh aku berlari mengelilingi komplek yang masih sepi. Di lapangan bola yang gelap, aku kembali mengulang seluruh gerakan-gerakan jurus silat, membayangkan pukulanku menghajar anak-anak jahanam itu.
Aku tidak meneruskan SMA. Percuma, toh gurunya juga jarang masuk mengajar. Malah aku melihat bagaimana teman perempuanku dengan genitnya memperlihatkan teteknya kepada teman laki-laki. Mungkin dia sudah tidur dengan dua atau tiga orang teman laki-laki. Saat itu aku baru mengerti apa yang terjadi… aku dulu itu diperkosa, dientoti. Aku bukan perawan lagi. Tapi, aku juga tidak mau lagi laki-laki. Semua hidupku dimulai dari bapakku yang jahat dan tidak bertanggung jawab. Kalau dulu dia tidak meniduri ibuku, aku tidak akan ada di sini.
Jadi di kelas sebelas aku keluar dari SMA, aku pergi dari Depok. Aku cari pekerjaan, masuk jadi pembantu rumah tangga. Aku bekerja pada keluarga kecil, suami istri orang Jawa, dengan satu anak baru dua tahun walau mereka sudah berusia lebih dari tiga puluhan. Biasa orang karir, kawinnya telat. Aku berusaha tampil baik, sedikit banyak aku tahu bagaimana menjaga anak kecil. Dulu di Kalimantan aku kan pernah ditugasi menjaga anak tetangga.
Di keluarga ini aku bisa hidup lebih tenang, hanya mengurus rumah dan satu orang anak. Aku merasa lebih bebas, daripada harus bersekolah tanpa tujuan, malah bergaul kacau balau seperti itu. Umurku waktu itu enam belas tahun, hampir tujuh belas, waktu aku mulai bekerja. Tapi, ternyata urusan bersetubuh masih mengikutiku, dengan tidak disengaja. Kira-kira setahun kemudian, terjadilah.
Waktu itu, aku sudah dikamarku, mau tidur. Bapak dan Ibu belum pulang, katanya ada kondangan.
Mereka menelpon menyuruhku tidur saja, tidak usah menunggu. Tapi aku terbangun karena mendengar ada suara-suara aneh dari ruang keluarga, dari sofa di depan TV. Aku takut, jangan-jangan ada maling masuk…. Jadi diam-diam aku mengintip.
Ruang keluarga lampunya masih menyala semua. Aku melihat Ibu sudah telanjang, berbaring terlentang di sofa. Sebelah kakinya dinaikkan ke atas senderan, sebelah lagi menjuntai ke lantai. Bapak juga telanjang, dan aku melihat kemaluannya hitam besar, keras. Kontras dengan tubuh ibu yang kuning langsat agak kecoklatan khas orang jawa. Yang satu gagah, satu lagi indah. Kemaluan Bapak nampak melesak masuk, tidak terlalu jelas karena terhalang paha. Aku mengintip dari pintu di sisi tv, jadi bukannya menonton tv, aku malah melihat pertunjukan hidup, live show. Aku tidak bisa memalingkan mata. Aku menahan nafas.
Bapak menekankan pantatnya ke bawah. Aku membayangkan batang kemaluan itu melesak masuk. Ibu tidak ragu-ragu menjerit, merintih, dan meminta, "Aaahhh! Aaaahhhhhh! Maaassss…. Enak maaasss…. Makin cepat ayoooo…."
Tangan Bapak meremas-remas tetek Ibu yang besar. Aku meraba tetekku sendiri, ukurannya hampir sama. Aku pernah mencoba BH Ibu, ukurannya pas. Aku membayangkan kalau tangan yang kekar itu meremas tetekku sendiri. Aku membayangkan kalau kemaluan yang besar itu masuk ke memekku sendiri. Untuk pertama kalinya aku merasa bergairah. Memekku turut menjadi basah.
Aku mengangkat rok yang panjang, supaya tanganku bisa merogoh ke balik celana dalam. Meraba memekku yang kini sudah lebat berbulu. Aku menggosoknya. Enak. Aku mendesah. Ibu mengerang. Aku turut bernafas makin cepat. Bapak terlihat bergerak naik turun dengan cepat. Aku menggosok memekku lebih cepat. Cairannya membanjiri jari-jariku.
Bapak nampak membenamkan pantatnya kebawah. Kemaluannya pasti melesak masuk dalam-dalam. Ibu menjerit. Aku mengejang. Memekku menyemprotkan cairan, yang membasahi jari, membasahi tangan, sampai menetes di lantai. Bapak menoleh ke pintu. Nampaknya ia melihatku! Tapi aku masih pening, jadi tidak bisa segera beranjak dari situ. Bapak masih membenamkan kemaluannya tidak bergerak. Aku perlahan-lahan beringsut dari pintu, kembali ke kamarku.
Sejak saat itu, aku merasa lebih bergairah. Aku memilih rok yang lebih pendek. Kalau aku sedang sendiri sedang si ade anak majikan sedang tidur, aku meraba dan menggosok memekku sendiri, menjadi basah, ngilu, enak, dan aku mengejang. Orgasme, itulah istilahnya. Aku masturbasi secara teratur, hampir setiap hari. Tiap kali aku membayangkan kemaluan Bapak yang keras, panjang, berotot seperti tongkat besi, tertanam dalam memekku yang sudah tidak perawan lagi ini. Tapi itu hanya bayanganku saja. Khayalan bodoh.
Suatu ketika, semalam Bapak demam, sehingga ia tinggal di rumah. Ibu di kantornya ada rapat nasional di puncak, jadi ia harus pergi tiga hari. Pulangnya nanti hari Sabtu. Aku dititipi rumah dan menjagai Bapak. Mungkin dia cuma masuk angin, kata Ibu.
Bapak masih tidur waktu aku masuk kamar utama, membereskan handuk dan baju kotor untuk dicuci. Waktu aku balik lagi mau mengepel lantai, Bapak baru bangun. Jam sudah hampir delapan pagi.
"Mau sarapan, Pak?" tanyaku sambil tersenyum. Konon senyum manis di pagi hari berkhasiat memberi kesehatan.
"Iya Nduk…." Bapak masih seperti belum bangun benar. Aku tidak jadi mengepel, sebaliknya aku ke dapur mempersiapkan sarapan pagi kesukaan Bapak, nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang dua buah. Juga kopi. Kali ini aku membawa semuanya ke kamar tidur.
Bapak makan tanpa banyak bicara, tapi ia meminta aku menemaninya di pinggir ranjang. Sambil makan, matanya tidak lepas menatapku.
"Nduk, kamu ini cantik sekali ya…. Haha, pembantu paling cantik yang pernah ada," kata Bapak. Walah, bagaimana aku harus menjawabnya?
"Kamu ini tinggi, putih, indah…. Kenapa jadi pembantu? Masih muda begini, mestinya masa depan lebih cerah," kata Bapak lagi. Mau bagaimana lagi, mungkin aku cantik tapi bisaku hanya begini. SMA saja tidak lulus. Tapi, aku tertunduk saja dan mengucapkan terima kasih.
"Nduk…. Kamu beberapa malam yang lalu, mengintip saya dan ibu sedang…. Eee… begitu yaa…?" tanya Bapak lagi.
Aku kaget. Mau berbohong, aku tidak berani. Jadi aku mengangguk.
"Halah…. Nduk… nanti kalau kamu lihat, lantas kamu jadi takut, gimana? Kamu takut ndak?"
Aku menggeleng. "Nggak, Pak. Hanya… kayaknya enak sekali… "
Bapak tertawa kecil. Lalu terbatuk.
"Halah…. Ya sudah. Nduk, Bapak mau dipijat pagi-pagi, kamu bisa memijat?"
Aku tidak bisa memijat, hanya tahu sedikit dari nenek dahulu. Tapi, entah mengapa aku ingin memegang tubuh Bapak. Jadi aku mengiyakan. Maka Bapak melepas baju piyamanya. Ia juga melepas celananya…. Aku terkesiap.
Bapak tidak memakai celana dalam! Ia kini telungkup bertelanjang bulat!
"Nduk, nggak apa-apa ya Bapak bugil begini. Kan kamu juga sudah lihat semua… Ya sekarang pijat saja. Itu ada body lotion di atas meja."
Aku mengambil body lotion. Aku pernah baca, memijat dimulai dari kaki. Jadi aku mulai dari tepi ranjang, aku memijat kaki Bapak, mulai dari telapak kaki. Bapak terdiam, entah apakah ia merasa enak, aku tidak tahu. Tubuh Bapak kekar dan padat, warnanya tembaga gelap. Kontras dengan tanganku yang putih, antara kulit orang Cina dan Eropa. Entah, apakah Bapak juga merasakan tanganku yang kapalan karena kerja di rumah.
Pijatanku dari kaki naik ke betis, lalu ke paha. Aku berhenti di sana. Ragu-ragu.
Bapak merenggangkan kakinya. Aku melihat bola pelirnya dikasur, di antara selangkangan.
"Nduk, pijatnya naik terus dong ke atas, jangan ragu-ragu," pinta Bapak. Jadi aku meneruskan memijat ke atas, memijat pantatnya. Sampai pinggang. Balik lagi ke telapak kaki. Naik, betis, paha, pantat. Tiap kali aku memandang pelirnya yang kehitaman. Aku merasakan darahku berdesir. Merasakan memekku jadi ngilu.
"Kaki satunya lagi, Nduk"
Tadi kaki kiri, kini kanan. Cara yang sama: pijatan yang sembarangan, tapi diulang-ulang mulai dari telapak kaki, lalu betis, paha, pantat, pinggang. Balik lagi ke telapak.
"Nduk, di pantat lebih banyak pijat ya"
Aku duduk di samping pantat Bapak. Aku memijat pantatnya, yang kemarin turun naik di atas badan Ibu. Memegang pantat kekar ini, aku mengingat kembali semua yang terjadi malam itu. Berusaha membuang pikiran, aku terus memijit ke atas, mengurut ke arah kepala. Bahu, tengkuk, kepala.
"Balik ya Nduk."
Bapak terus membalikkan tubuhnya dari telungkup menjadi terlentang. Ia terlentang dan aku melihat kemaluan Bapak mengacung keras.
"Tuhh… lihat Nduk, pagi-pagi jadi begini karena pijiatmu…." kata Bapak. Nafasnya tidak teratur. Tapi nafasku juga tidak teratur.
Aku kembali ke telapak kaki. Memulai dari jari-jari kakinya. Lalu betis, lalu paha. Tanganku menyentuh kemaluannya.
"Nduk pegang kontolku…"
"Apa Pak?"
"Itu, eee… yang mengacung itu"
"Begini?" Aku memegang kontolnya. Baru kali ini aku diajari istilah itu oleh Bapak. Sebelumnya, aku tidak tahu apa namanya, selain kemaluan -- seperti diajari nenek dahulu.
"Nduk… pijati ya"
Aku memijat, meremas tanpa tahu caranya. Tidak pernah mengerti bagaimana. Bapak meringis.
"Sudah, sudah. Kaki saja lagi." Jadi aku memulai lagi dari kaki kiri, ke atas. Kaki kanan, ke atas. Tiap kali, aku melihat kontol itu makin menegang dan di kepalanya ada cairan-cairan keluar. Baru kali ini aku memperhatikan kemaluan laki-laki, setelah dahulu empat kontol masuk ke memekku dengan kasar. Baru kali ini aku tahu bahwa sebenarnya kontol itu lembut sekali kepalanya.
"Nduuukk…." sini…
Aku mendekat.
"Nduk, kamu tahu kan, kemaren itu enak sekali Bapak dan Ibu ngentot. Kamu nonton sampai habis ya…"
Aku mengangguk. Aku tidak bercerita bahwa saat itu aku juga merogoh memekku sendiri. Dan merasa enak.
"Nduk, mau merasai seperti Ibu?"
"Ibu nanti marah, Pak"
"Lha, Ibu kan menitip aku padamu. Lagipula, tidak usah cerita… ini hanya supaya kamu tahu rasanya saja."
Aku hanya bisa mengangguk. Tapi, Bapak nampak senang sekali. Ia meraihku. Aku tidak mengelak, aku membiarkan diri dipeluknya. Enak dipeluk laki-laki yang bertelanjang bulat ini.
"Nduk, nggak bisa begini. Kalau aku bugil, kamu juga ya."
Aku mengangguk lagi. Memang ingin bugil seperti Ibu. Jadi aku melepaskan tshirt, lalu rok spanku.
"Celana dalamnya juga ya? Eh… kamu mens?" Bapak seperti khawatir karena aku masih memakai pembalut.
"Nggak Pak, ini sudah selesai… baru saja. Ini hanya jaga-jaga kalau masih ada keluar mens nya…"
"Ooohh… nggak apa-apa ya, di buka?"
Aku diam saja, tapi tangan dan badanku meloloskan celana dalam itu. Kini kami berdua bertelanjang bulat.
Bapak membaringkan aku di ranjangnya yang empuk. Ia menciumku dengan lembut di pipi. Aku tidak bisa berciuman di bibir. Bapak lembut sekali, ia mencium leherku yang putih jenjang. Ia sangat senang dengan kedua tetekku yang membusung, putingku mengeras. Memekku makin basah, padahal biasanya habis mens tidak begini. Aku khawatir membasahi sprei, tapi nanti ini bisa diganti….
Aku tidak ingat lagi bagaimana dahulu aku diperkosa. Ini sangat berbeda. Bapak ada di atasku, tapi ia tidak memaksa. Tidak menekan. Ia mengelus lembut, membuatku merasa diinginkan. Aku merasa bergairah. Kalau dahulu ada dua laki-laki merenggangkan pahaku, kini aku merenggangkan pahaku sendiri selebar-lebarnya. Aku pikir Bapak akan menaruh kemaluannya di memekku, tapi ia tidak melakukannya. Ia malah mencium putingku. Yang kanan. Yang kiri. Menjilatnya.
Aku menggelinjang, jilatan di puting itu rasanya luar biasa. Bapak meneruskan dengan ciuman, lalu hisapan. Ia seperti bayi menyusu pada putingku. Aku tidak bisa menahan suara, aku merintih. Mungkin tidak sekeras Ibu, tapi cukup untuk membuat diriku sendiri terangsang. Tangan Bapak meraih memekku. Menggosok biji yang menonjol.
"Wah… kelentitmu udah besar, Nduk."
Bapak menggosok daging yang dia sebut kelentit itu. Aku tidak bisa menahan desahan, "aaauuuhhhh…. Aaaauuuhhhh……" setiap kali ia memainkannya.
Aku tidak tahu bagaimana gerakannya, tapi tahu-tahu Bapak sudah berada di antara kedua pahaku. Aku merasakan kontolnya di depan memekku yang basah sekali ini.
"Nduk, Bapak masuk yaaa…."
Bless… licin, masuk.
"Ohhh…. Nduk…. Kamu sudah pernah yaa…." Bapak terdengar kecewa.
Tapi, mau bagaimana lagi? Toh dulu aku tidak mau diperkosa, tapi harus terima nasib….
Bapak terus bergerak. Aku menggerakkan pantatku mengimbanginya. Aku mengeraskan otot memekku, merasakan kontol di dalamnya. Sempit, gesekannya terasa sampai ke ubun-ubun. Aku mengejan dengan cepat, orgasme. Bapak masih terus mengentotiku, menyetubuhiku. Aku tidak sempat 'turun', sebaliknya aku terus naik lagi, lebih tinggi. Sepuluh menit kemudian, aku orgasme lagi, lebih hebat dari yang tadi.
Waktu aku orgasme, badanku seluruhnya mengejang. Memekku menjepit sekuat-kuatnya. Gesekan kontol di memekku itu terasa menggila. Rupanya Bapak juga tidak bisa bertahan, ia melesakkan kontolnya dalam-dalam, seperti waktu itu ke dalam memek Ibu. Aku merasakannya, masuk semua - kontolnya tidak terlalu panjang sebenarnya - dan menyemprotkan cairan di dalam sana. Luar biasa enaknya.
Kalau dilihat, kami hanya bersetubuh kira-kira 40 menit, tapi rasanya capai luar biasa. Aku enak sekali, dan pastinya aku menginginkannya lagi, kalau Bapak mau. Bapak juga terengah-engah… terdiam. Ia melepaskan kontolnya, lalu turun dari atasku, turun dari ranjang. Terus masuk kamar mandi.
Aku mengambil tisu, mengelap memekku yang masih melelehkan cairannya Bapak. Putih kental. Wanginya aneh, tapi aku suka. Aku mengambil baju, mengenakannya lagi. Kembali ke kamarku, lalu aku juga mandi di kamar mandi pembantu.
Siang itu, Bapak bertanya bagaimana aku sudah tidak perawan lagi. Aku dengan gugup menceritakan pengalaman burukku selama SMP kelas tiga dahulu. Bapak mengangguk-angguk, nampak lega. Setidaknya, aku bukan perempuan jalang yang tidur sembarangan. Tapi aku tidur dengan lelaki beristri… Malam itu aku baru memikirkannya, dan aku menyesal. Tapi, aku juga ingin lagi…
Di malam hari, ketika ade sudah tidur, aku menemani Bapak menonton TV.
"Nduk…. Bapak minta maaf ya. Tadi pagi, Bapak khilaf…." Aku hanya terdiam. Lalu aku mengangkat wajah, memandang Bapak sambil tersenyum kecut… "sama Pak… saya juga minta maaf. Tapi, sejujurnya… eee… tadi itu enak…" Aku merasa wajahku memerah.
Bapak tersenyum kecut juga. Setelah itu kami kembali ke kamar tidur masing-masing. Belakangan aku baru tahu kalau lelaki tidak bisa selalu mengeras kontolnya; bagi orang yang berusia mau 40 seperti Bapak, kalau sudah keluar sekali, sudah cukuplah untuk hari itu.
Tapi saat itu, aku bisa berkata , "sekarang Aku tahu rasanya disetubuhi……"