Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Hitam, Putih, dan Abu - Abu

Adegan seks cuma bumbu, yang enak tuh yang pas....
 
#2

Kapas kelabu bergelung mengangkasa di langit, diselingi dengan bulir air tipis yang menetes turun malu - malu dari kapas itu. Sementara kabut mengudara dan mengaburkan penglihatan, sejuk kebekuan menyengat dan merasuk di kulit, seakan menyapa seluruh permasalahan yang sedang berbelit di kepala dan hati.

Pagi baru beranjak dan Andi sudah disuruh untuk mengeluh. Setidaknya itu yang ia pikirkan dalam perjalanannya saat mendatangi sebuah tempat. Gerimis yang turun mengakibatkan permukaan jalan menjadi licin dan sudah seharusnya ia lebih berhati - hati dalam berkendara. Namun itu pun tak menghentikan nalarnya untuk mengawang lebih jauh.

Untuk apa aku harus bersusah payah berjibaku menghadapi terjangan suasana gerimis yang menghunjam tubuh juga perasaanku ? Mengapa aku tidak berdiam diri saja di kamar, menutup pintu rapat - rapat, bergeliat manja di kasur, dan kembali berkunjung ke ruang mimpi?

Sebabnya ada pertemuan penting. Ia harus bertemu dengan kekasihnya. Sudah tiba waktu baginya untuk menatap sang kekasih, lalu menyentuhnya, kemudian menjamahnya, dan terakhir menggerakannya dengan mesra. Untuk kurang lebih 8 jam ke depan, mereka akan bermain serta menikmati waktu intim yang sudah disediakan bersama - sama.

Setelah motornya terparkir dengan sempurna, ia segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam suatu gedung yang berisi beberapa bilik lalu berbelok ke kanan menaiki deretan anak tangga yang melingkar hanya untuk menemui beberapa bilik lagi di lantai selanjutnya. Dan disanalah dia, sudah diam menunggu di dalam bilik paling pojok kiri. Ia pun datang mengusap wajahnya, lalu memutuskan untuk duduk pada sebuah kursi yang berhadapan langsung dengannya. Lekat ditatapnya dan cermat ditelusurinya tiap lekuk yang ada pada wajah kekasihnya. Namun itu semua (seperti yang selalu terjadi dalam setiap awal perjumpaan mereka), hanya dibalasnya dengan tatapan kehampaan.

"Woi, lo kenapa bengong kayak gitu? Mulai suka lo sama dia?" Tanya salah seorang pria membangunkan lamunannya. "Sarapan dulu, gih..."

Sebuah sandwich berisi daging kemudian mendarat di mejanya.

Tentu saja yang ditatapnya sedari tadi itu bukan kekasihnya. Itu adalah komputer milik perusahaan bank di kantornya yang selalu ia temui dan setia menjadi "kekasihnya” dari Senin hingga Jumat, mulai pukul 8 pagi hingga 4 sore. Menyedihkan, namun itulah realita. Bekerja di kantor itu baginya berarti harus merelakan diri untuk dicumbu dan dikuasai oleh komputer. Dan bertumpuk - tumbuk berkas. Suka maupun tidak.

"Lo liburan ke mana saja?" tanya Anto, salah satu temannya dari bilik di sebelah kanannya.

"Kagak ke mana - mana," jawab Andi.

"Nah ini dia, si jones," sahut Andre yang mendatangi Andi sembari menepuk pundaknya. Andi langsung menyingkirkan tangan Andre dari pundaknya.

"Apaan sih?" tanyanya dengan lesu. Ia paling tidak suka dengan bercandaan - bercandaan yang melibatkan topik mengenai perjodohan. Bukan karena ia sendiri tak mempunyai pacar, melainkan dirinya tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah hal yang lucu untuk dijadikan bahan bercanda dan tertawaan. Setiap orang punya jalannya masing - masing, dan pernikahan bukanlah satu - satunya jalan akhir yang akan ditempuh manusia.

Andre tersenyum, "Sudah dapat pacar?"

"Gak tertarik," jawab Andi tak mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Pertanyaan norak.

"Lo gak tanya gue liburan kemana gitu?" tanya Anto kepada Andre.

"Gak." Andre menggelengkan kepalanya. "Gue lebih tertarik untuk tahu apakah lo," Dia kembali menepuk pundak Andi, "sudah punya pacar atau belum."

Andi terpaksa menoleh karena risih diganggu. "Hubungannya sama lo apa?" tanyanya malas.

"Ya, kalau lo sudah dapat pacar, lo traktir kita," jawab Andre menyengir.

Andi mendengus lalu kembali menatap layar komputer. "Gak jelas." Ia menggelengkan kepalanya.

"Soalnya lo yang paling ganteng di antara kita semua, Di. Jadi, kemungkinan lo untuk dapat pacar itu yang paling tinggi." Andre kemudian menaruh kedua telapak tangannya di depan wajah Andi dan menepuknya pelan. Andi sontak terkejut dan mengalihkan perhatiannya pada Andre. Lagi.

"Nih, gue sudah taruhan sama lima Bekicot ini," Dia menunjuk beberapa orang yang ada di dalam bilik, termasuk Anto, "siapa yang lebih dulu dapat pacar di antara kita bertujuh. Gue sama Anto pilih lo. Si Miun sama si Seno dukung Boni. Yang sisanya milih diri mereka sendiri. Memang kagak berkaca tuh dua orang." Dia menggelengkan kepalanya.

Andi tak tertarik sama sekali. Ucapan yang dilontarkan Andre hanya menumpang lewat saja di telinganya. Ia pun kembali menatap layar komputer.

"Pasangan hidup orang dijadiin bahan judi..." gerutunya.

"Calon....pasangan hidup," timpal Soni berusaha membenarkan.

"Sudah ah, gak peduli," keluh Andi. "Gue mau kerja lagi."

"Ya elah, baru hari pertama masuk kerja," ucap Andre.

Andi seketika menoleh dan menatap Andre serta Anto tajam. "Nanti si bos lihat, habis lo semua!"

Andre dan Anto hanya bisa geleng - geleng kepala.

"Lo mah gak bisa diajak bercanda orangnya," ucap Anto.

"Bisa, kalau waktunya proper dan bercandaan lo gak garing." balas Andi langsung. Ia kembali menatap layar komputer.

"Ya, terserah lo, deh," kata Andre. Dia akhirnya pergi meninggalkan Andi dan Anto. Andi pun mulai tenggelam dalam pekerjaannya; sementara teman - temannya masih asyik bercengkerama.

Ia menghela napas. Ia ingin hari Sabtu segera menghampiri. Bukan karena tak tahan dengan pekerjaannya, melainkan tak tahan dengan orang - orang yang bekerja dengannya.

-----

Sore telah tiba. Waktu bagi Andi dan sebagian pekerja kantoran untuk melepas segala kepenatan yang mendera dan membuat otak mereka mengepul melebihi batas penggunaan wajar. Kali ini, ia menghabiskan sisa hari yang ada dengan pergi ke pusat perbelanjaan bersama teman – temannya bermodalkan satu misi yang sama: mengisi perut yang mulai keroncongan. Sebenarnya, ia tidak suka harus pergi mencari makan bersama teman - teman sekantornya yang menurutnya cukup menjengkelkan itu. Namun menolak, baginya, merupakan tindakan yang cukup merugikan karena ia tidak mau dianggap sebagai orang sombong. Selain rasanya tidak enak, dianggap sombong juga dapat membuatnya kesulitan dalam menjalankan tugasnya dengan baik di tempat kerja. Apalagi, ia menjabat sebagai seorang sekretaris. Jadi sekretaris sendiri saja sudah sukar: harus menyimpan rahasia banyak orang, menghadapi orang – orang yang ingin tahu rahasia tersebut, dan juga menjadi penjaga dari rahasia – rahasia tersebut.

Coba bayangkan sebuah skenario seandainya ia dianggap sebagai orang yang sombong: berawal dari kedengkian, teman – teman kerjanya mulai berbasa-basi-busuk mengenai tindakan buruk yang mungkin saja tidak dilakukannya atau bisa juga tindakan yang dilakukannya, tetapi ditanggapi oleh orang lain secara berlebihan. Lalu, salah satu dari teman kerjanya itu memutuskan untuk melapor pada bosnya. Lalu, bosnya memilih percaya lantaran banyak orang melaporkan hal yang sama. Belum lagi kalau bosnya ternyata resek setengah mampus...

Pada akhirnya, kamu harus menyerah pada keadaan dan pasrah mengikuti arus saja. Itu yang ia tanamkan baik - baik dalam kepalanya sejak hari pertama dirinya mulai bekerja di kantor itu.

Ketika sedang berjalan menuju area food court, Andi dan teman - temannya melewati sebuah toko buku dan melihat lajur antrean yang menjalar sangat panjang di sana. Saking panjangnya, antrean itu bahkan meluber hingga ke area luar toko.

"Ramai banget itu toko buku," ujar Andi. "Ada apaan sih?"

"Itu.... Novelnya si Rika," ucap Anto. Dia terlihat berpikir lalu sepertinya menyerah dan akhirnya menoleh pada Andre. "Apa judulnya?"

"Cinta?" ucap Andre seperti setengah tak yakin.

Anto mengangguk. "Nah, iya, itu."

"Ohh..." kata Andi pelan. Cinta. Sebuah karya novel dari Rika Anitasari. Seorang novelis pendatang baru yang akhir - akhir ini namanya sedang dibicarakan banyak orang karena berhasil meluncurkan sebuah novel yang laku luar biasa di seluruh penjuru negeri. Ia tentu pernah mendengarnya.

"Lo sudah baca novelnya si Rika?" tanya Andre.

Ia juga sudah pernah membaca karya novel Rika....

....dan ia tidak menyukainya.

"Sudah. Gue kurang suka," jawab Andi.

Ralat: Tidak menyukainya sama sekali. Ia berpikir, seandainya seluruh novel Cinta yang beredar di pasaran bisa dibakar, lebih baik dibakar saja.

Andre mengernyit, "Lha, kenapa?"

"Mmm....bukan tipe novel buat gue." Itu adalah alasan Andi yang sudah diperhalus. Alasan yang sebenarnya lebih tajam menusuk. Andi hanya malas mengutarakannya saja.

Novel Cinta bercerita mengenai dua sejoli SMA yang saling mencintai namun terhalang oleh status sosial keduanya. Klise dan menjijikan. Lagipula, pikirnya, siapa yang akan suka dengan percintaan menye - menye anak SMA yang menurutnya dibuat layaknya gulali kemanisan? Sepertinya hanya Andi dan segelintir orang saja yang berpikiran serupa karena faktanya novel tersebut terbukti laku keras di pasaran. Salah satu contohnya ada di hadapan Andi sekarang. Banyak orang rela mengantri di toko buku hanya untuk dapat membeli novel Rika tersebut. Dan entah mengapa, teman - teman Andi, baik perempuan maupun laki - laki, sangat menyukai sosok Rika tersebut.

Saat tengah berpikir, ia melihat seorang perempuan yang mengenakan topi fedora berwarna cokelat muda sedang memasukkan sesuatu ke dalam tas yang dia bawa sembari berjalan cepat beberapa meter di depannya. Dari tas itu kemudian dilihatnya selembar uang 50 ribu terjatuh. Tetapi perempuan itu sepertinya tidak menyadari. Nalar Andi segera bereaksi cepat. Ia mengambil uang itu.

"Bro, sebentar ya? Gue balikin duit orang dulu," ucapnya kepada teman - temannya.

"Ya elah, cuman 50 ribu doang," jawab Anto. "Simpan saja."

Andi tak menghiraukan ucapan Anto dan segera bergegas mengejar sang perempuan bertopi fedora itu. Kalau dipikir - pikir, sebenarnya buat apa pula Andi perlu mengembalikan uang tersebut, toh, tak bernilai jua.

Ralat: Bernilai. Uang tersebut senilai dengan harga dua porsi nasi dan dua potong ayam pop di sebuah restoran Padang, atau satu porsi nasi dan dua potong ayam pop, jikalau penjualnya berniat untuk menipu.

"Mbak, ini tadi uangnya jatuh," ucapnya sembari menepuk pundak perempuan itu. Sang perempuan kemudian memalingkan wajahnya ke arah Andi. Ia terkejut. Itu perempuan yang pernah ditemuinya di pesawat. Perempuan yang ketakutan setengah mati menghadapi turbulensi.

"Eh, mas yang ada di pesawat?"

Dia juga masih mengingatnya.

"Iya,” jawab Andi. “Masih ingat?"

"Masih dong," jawab perempuan itu. "Anggap saja lagi main rollercoaster. Cuman, satu tiket harganya 1 juta. Dengan durasi yang lebih lama," kutipnya dengan sempurna. "Gak pernah ada orang yang omong kalimat sejenius itu ke gue, kecuali lo."

Mereka berdua tertawa bersamaan. Andi bisa melihat teman - temannya di ujung sana tengah memicingkan mata. Ia menggunakan kesempatan ini untuk bertanya perihal pertanyaan yang gagal disampaikannya saat lalu di dalam pesawat.

"Maaf sebelumnya kalau lancang. Boleh kenalan gak?"

Alis perempuan tersebut bertaut dan bibirnya menyunggingkan sebuah senyum. Dia sepertinya tertawa dalam hati melihat tingkah kikuk pria di depannya itu.

"Memang kenapa? Gak boleh, ya? Ya sudah sih, gak apa - apa kalau gak boleh," jawab Andi tambah kikuk. Ia sungguh kelihatan tolol.

"Enggak, enggak..." Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Enggak apa - apa kok. Ayo, kenalan." Dia tersenyum lalu menjulurkan tangannya. Andi menjabat tangan tersebut.

"Saya Andi."

"Rika. Rika Anitasari."

Senyum yang nyaris mengambang dari bibirnya seketika pupus. Perasaan bahagia yang mulai menyeruak di dalam hatinya langsung musnah dibakar kekecewaan. Ia bingung apakah harus merutuk atau termangu dengan sebuah fakta bahwa perempuan yang berhasil menarik perhatiannya kala itu di pesawat ternyata sang novelis yang selama ini ia benci karyanya.

"Waduh, saya gak tahu lho kalau mbak itu penulis terkenal. Tahu seperti itu, saya minta tanda tangan kemarin..." lanjut Andi berbasa - basi. Ia ingin sekali mengakhiri perbincangan ini.

"Ah, lo berlebihan deh," timpal Rika. Dia kemudian mengecek jam tangannya dan mimik wajahnya seketika berubah. Dia terlihat kecewa.

"Maaf ya, saya lagi buru - buru. Lain kali, kalau mau mengobrol, datang saja ke perilisan novel saya.” Dia menatap Andi. “Thanks buat uangnya, walaupun gue sebenarnya gak butuh - butuh amat, sih. Nih," Dia memberikan uang tersebut kepada Andi, "kalau lo mau ambil juga gak apa - apa. Bye."

Dia pun pergi berlalu sambil melambaikan tangannya ke arah Andi; sementara Andi hanya memegang uang tersebut dengan perasaan hampa. Setelah Rika menghilang dari pandangannya, Andi pun berjalan kembali ke arah teman - temannya yang langsung menyambutnya dengan sumringah.

"Di, itu Rika. Rika!" ujar Anto penuh semangat.

"Iya, gue tahu," jawab Andi begitu malas.

"Kok lo kaya pernah kenal sama dia?" tanya Andre.

"Kita satu pesawat dulu." Anto tersenyum kecil. "Sebelahan-"

"Shit..." sergah Andre. "Kalau gue jadi lo, sudah gue minta nomor teleponnya. Cakep gitu orangnya."

"Alah, pikiran lo itu ketinggian," ujar salah seorang temannya lagi sambil menepuk kepala Andre dengan pelan. Andi tertawa kecil dalam hatinya. Hal itu juga dulu sempat terbesit dalam benaknya. Tadi pun ia hampir melakukannya kalau saja dia bukan...

"Yuk ah cabut, laper perut gue," ucap Andi segera. Persetan dengan Rika. Perutnya sudah tak bisa lagi diajak berkompromi.

-----

Rika berjalan dengan tak sabaran menuju pagar rumahnya. Udara yang cukup dingin malam itu membuatnya ingin sesegera mungkin menghangatkan diri di dalam rumah miliknya, rumah yang bisa ia beli dari uang tabungan dan hasil penjualan novelnya. Ukuran rumahnya tidak besar memang, bahkan cenderung minimalis. Tetapi, ia nyaman tinggal di rumah tersebut dan itu sudah lebih dari cukup.

Ia baru akan membuka pintu pagar saat menyadari ada sesosok perempuan berambut hitam sebahu dan berkacamata yang sudah berdiri berpangku tangan di depannya dengan mimik yang tak menyenangkan.

"Hei, Ka," ucap perempuan itu sedikit ketus.

"Lah, lo kagak bilang mau dateng," kata Rika terkejut.

Perempuan itu mengedikkan kepala, "Coba cek dulu HP kamu."

Buru - buru Rika merogoh tas yang ia bawa dan mengambil ponselnya. Dari layar ponselnya, ia baru mengetahui bahwa perempuan tersebut sudah menelponnya selama lebih dari sepuluh kali sejak 3 jam yang lalu. Tak kurang lima buah pesan juga masuk ke ponselnya dari orang yang sama.

"Shit!" pekiknya panik. "Sorry, gue gak baca." Ia mengelus pipi perempuan itu dan dicubitnya hingga menjadi kemerahan.

"Aduh! Sakit tau..." Erang perempuan itu sambil berusaha menepis jari tangan Rika yang asyik menjamah pipinya.

"Ya sudah, ayo masuk. Nanti masuk angin lagi," ucap Rika sembari merangkul tubuh perempuan itu. Keduanya pun berjalan beriringan masuk ke dalam rumah Rika.

Nama perempuan itu adalah Vina. Vina Nayarani. Rika masih mengingatnya dengan jelas. Pertemuan pertamanya dengan Vina terjadi di jenjang SMA, tepat ketika hari terakhir Masa Orientasi Siswa selesai dilaksanakan. Mereka berdua masih sama – sama anak baru. Saat itu, hari sudah mulai sore dan hampir seluruh siswa maupun siswi di sekolah tersebut telah pulang ke rumah mereka masing - masing. Rika baru akan pergi meninggalkan area sekolah ketika dirinya menemukan sesosok gadis dengan wajah tertunduk tengah duduk sendirian di bawah pohon rindang halaman sekolah. Merasa iba, ia pun mendatangi sang gadis dan berniat untuk mengajaknya berbincang. Alangkah terkejutnya ia ketika tahu bahwa gadis yang didekatinya tersebut terlihat seperti tertidur. Dengan sedikit rasa segan, ia pun mencoba menepuk pundak sang gadis untuk membangunkan dirinya. Yang terjadi selanjutnya adalah sang gadis jatuh ambruk ke tanah seperti selembar daun yang ditiup angin. Panik, ia pun berteriak minta tolong. Teriakkannya beruntung didengar oleh para satpam dan segelintir orang yang masih berada di area sekolah. Bersama - sama, mereka membawa tubuh sang gadis ke Unit Kesehatan Sekolah. Sepuluh menit kemudian, sang gadis siuman. Dia pun berterimakasih kepada Rika dan akhirnya berkenalan. Sejak saat itu, hubungan pertemanan mereka mulai terjalin, merekat, dan bertahan hingga sekarang.
 
Terakhir diubah:
Alurnya agak pelan ya, keep writing suhu. Jangan sampe macet sebelum tamat
 
Hitam, Putih, Abu-abu.
Apa buta warna ya.
Makasih updatenya Om @Earmuffs,
ditunggu lanjutannya n Tetap semangat dalam berkarya.:semangat:
:mantap:
 
Cool... Romance nya dapet banget, karakter Andi nya keren banget.

Selalu di tunggu hu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd