Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Love, Friendship, and Other Miscellaneous Things

Earmuffs

Semprot Baru
Daftar
25 Oct 2017
Post
30
Like diterima
9
Bimabet
Pembuka

Selamat pagi / siang / sore / malam semuanya.

Izinkan saya membuat sebuah cerita baru di sini.

Cerita ini sangat minim adegan "panas". Jadi, jikalau tidak berkenan, anda sekalian dapat memilih membaca cerita lain yang tersedia di forum ini. Tetapi, ada baiknya cerita ini dicicipi dulu. Sedikit saja tak apa.

Dan karena cerita ini mengandung beberapa topik--yang mungkin--bersifat "sensitif", dimohon dengan sangat agar dapat menerimanya dengan pikiran terbuka. Terima kasih.


Daftar Isi:

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5



 
Terakhir diubah:
Prolog

Angga Baskoro menatap lekat layar ponsel miliknya yang tergenggam di tangan. Ia tengah membuka aplikasi tinder yang baru saja diunduhnya beberapa hari lalu. Akan tetapi, alasannya mengunduh aplikasi itu bukan untuk mencari perempuan yang dapat dijadikan pasangan, melainkan perempuan yang mampu memberikannya kepuasan batiniah. Menyediakan asupan bagi nafsu hewaninya. Ia tidak berharap perempuan itu akan membuat suatu ikatan romansa dengannya. Cukup melayani kebutuhan seksualnya saja.

Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Ia baru saja "terpasang" dengan seorang perempuan bernama Sonia. Rambut legam bertipe long choppy bob seleher dan tidak berponi yang aduhai. Kacamata berbingkai horn melindungi dua bola mata hitam berbentuk elips yang meneduhkan. Bibir tebal merona yang mencuatkan hasrat bagi siapapun yang memandangnya. Itu semua terlihat pada gambar profil Sonia. Sungguh menawan.

Ia lantas memilih menu untuk berkomunikasi via pesan. Ibu jari tangannya bergerak konstan dalam menekan-nekan layar, mengetik kata demi kata. Belum sempat kata-kata itu terangkai menjadi sebuah kalimat pembuka, sang perempuan telah terlebih dahulu mengirimkannya pesan.

"How could you said that life is not cruel?

A man applied to art school. He's failed. Twice. The name of the man is Hitler. As you may know, he end up doing fascism for his whole life.

Life is--indeed--cruel. But, the most important thing for you to do is make yourself tough to face the cruelness of life and develop that struggle into endearment for other people.

ONS only.

Gue suka profile description lu. Btw, itu beneran? Hitler pernah ngelamar jadi mahasiswa seni?"

Angga menghapus kata-kata yang telah terketik dan menggantinya dengan sebuah balasan sederhana. "Yap." Ia kemudian mengirimkan beberapa lukisan hasil buah tangan Hitler yang didapatnya dari internet.

"Ok... Fuck. I guess world is really cruel, eh?" balasan dari Sonia. Angga tertawa kecil. Sebuah pesan baru dari Sonia masuk.

"Asal lu tahu, hari ini gue udah enam kali beruntun dapet cowok yang match dan langsung minta ‘send nude’ di kalimat pertamanya. Satu kali lagi, gue kayaknya dapat piring gratis."

Angga tertawa kecil membaca pesan tersebut. Pesan tersebut masih bersambung.

"Gue tahu mereka semua mau cari teman ngewe. Tapi, show some respect, lah."

Angga mengirimkan sebuah emoji tertawa untuk Sonia. Sebuah pesan kembali masuk tidak lama setelahnya.

"Jangan bilang habis ini lu mau minta nude pics gue?"

Angga tersenyum. Diketiknya:

"Tenang. Gue gak sehorny itu, kok. Anyway, lu gak masalah kan kalau gue hanya pengen ONS?"

"Iya. Sesuai dengan profile description, gue emang lagi cari yang mau ONS saja sama gue," balas Sonia. Angga kembali mengetik.

"Besok ketemuan?"

"Boleh," Sonia menjawab. "Di mana?"

"Mall A? Sounds boring?"

"Gak. Jam berapa?"

"Sekitar sore."

"Jam tiga?"

"Deal. See you tommorow at three o'clock in the afternoon, then."

"All right. See you tommorow, too."

Angga keluar dari aplikasi itu dan mengunci ponselnya.

-----

Hari itu tiba. Sabtu. Sebuah hari di mana Sonia Zenitha mendapatkan berkah berupa 24 jam yang membebaskannya dari kesibukan jadwal kampus. Hari itu bagaikan oase di tengah gurun pasir yang sedang menjepitnya.

Guyuran air dari shower menghunjami tubuh telanjangnya. Ia tengah mandi untuk bersiap-siap bertemu dengan Angga Baskoro. Berdasarkan komunikasi yang telah mereka lakukan kemarin, Angga tercitra sebagai sesosok pria yang menarik. Tidak memaksa. Perhatian. Tampan. Kulit sawo matang nan eksotis, rambut bertipe undercut yang sederhana namun elegan, mata cokelat yang menghipnotis...

Bukan untuk dijadikan pacar tentunya. Tidak boleh. Ia sedang tidak mencari pacar.

Di dalam benak, ia dapat membayangkan kalau hari ini akan menjadi hari yang sangat menyenangkan untuknya. Angga Baskoro sudah menanti untuk melayaninya. Melayani hatinya, juga melayani tubuhnya di atas ranjang. Ia pun menjadi tidak sabar karena pemikirannya itu.

Sembari menggosok-gosokkan jemari pada sekujur tubuh dengan sabun, ia berulang kali mendengar suara hatinya mengucapkan sebuah kalimat yang sama: semoga gue benar.

Semoga gue benar. Semoga gue benar. Semoga gue benar...

-----


Mall A adalah sebuah mall yang terletak di pusat kota dan termasuk ke dalam jajaran mall terbaik yang ada di kota tersebut. Hampir seluruh warga kota menjadikan mall itu sebagai tujuan rekreasi mereka ketika hari libur tiba, seperti contohnya: hari ini. Mall A terlihat begitu ramai dengan lautan manusia. Angga Baskoro juga tidak ketinggalan untuk ikut serta dalam meramaikan isi mall A. Hanya saja, tujuan sesungguhnya ia datang ke sana agak bersimpangan dengan kebanyakan orang-orang itu. Ia mau melakukan cinta satu malam dengan seorang perempuan.

Saat ini, Angga tengah duduk menunggu di sebuah kedai minuman. Mulutnya menyeruput segelas cappuccino latte yang selalu menjadi pesanan minuman favoritnya. Tidak lama kemudian, seorang perempuan dengan wajah familiar mendekat ke arahnya dengan percaya diri. Itu dia. Perempuan yang ditunggunya.

"Angga?" tanya perempuan itu padanya.

Angga mengernyit. "Sonia?"

Perempuan itu menganggukan kepala dan mendekat. "Sorry, telat."

"Gak apa-apa." Angga tersenyum. "Silahkan duduk."

Sonia meraih kursi di hadapannya dan duduk di sana. "Sudah lama?"

"Baru, kok. Santai." Ia mengambil sebuah menu yang ada pada meja dan memberikannya pada Sonia. "Mau pesan apa?"

Mata Sonia melihat isi menu dengan cepat. "Ice chocolate milkshake."

Angga memanggil salah satu pelayan dan menyampaikan permintaan Sonia. Pelayan pun menghilang setelah selesai mendengarkan.

"Sekali lagi gue minta maaf ya kalau gue telat?" ujar Sonia. "Gue soalnya paling sebal kalau ada orang yang telat."

Angga tersenyum. "Gak." Ia menggeleng. "Lu gak telat, kok." Ia kembali menyeruput cappuccino lattenya.

Sonia menghela napas. "Gue habis nganterin teman gue kerja kelompok soalnya di jalan mawar, dekat kampus gue itu-"

"Tunggu," potong Angga. "Lu kuliah di Satyadikara?"

Sonia mengangguk. "Iya."

"Sama dong." Angga mengernyit.

Sonia sedikit kaget. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa meluputkan pria semenarik Angga di kampusnya sendiri.

"Tapi, kok gue gak pernah lihat muka lu, ya?" tanya Angga.

"Sama sekali?"

"Iya."

"Yakin?" Mata Sonia menyipit.

Angga menganggukan kepala. "Iya."

"Di akun IG satyadikarababes, lu gak pernah lihat?"

Letupan tawa kecil terlepas dari mulut Angga. Satyadikarababes terdengar sungguh menggelikan di telinganya.

"Gue bahkan gak tahu apaan itu satyadikarababes." Ia menggeleng. "Dengar nama itu saja baru sekarang." Alisnya bertaut. "Emang, satyadikarababes itu apaan?"

Sonia menghela napas agak keras. "Ya... akun yang isinya kumpulan foto-foto cewek cantik di universitas Satyadikara," jelasnya dengan nada malas.

"Dan lo termasuk?"

Sonia mengangguk. Angga kembali tertawa kecil.

"Gue mau nanya." Ia memajukkan posisi duduknya. "Lu merasa terhormat gak sih dinobatkan sebagai salah satu cewek tercantik di kampus?"

"Gak," jawab Sonia cepat. "Soalnya cewek-cewek yang masuk di sana palingan dijadiin bahan masturbasi doang."

Angga dengan susah payah berusaha menahan desakan gelak yang kian menggumpal besar. "Terus, lu tahu kalau lu masuk satyadikarababes itu dari mana?"

"Teman gue yang kasih tahu," jawab Sonia. "Entah nyomot dari mana itu foto gue di sana."

Segelas ice chocolate milkshake mendarat di atas meja mereka setelah diantarkan oleh salah seorang pelayan minuman. Sang empunya pesanan pun segera menyesap minuman tersebut.

"Omong-omong, gue juga gak pernah lihat lu di kampus," lanjut Sonia.

"Ya... gue kan bukan siapa-siapa di sana," jawab Angga mengedikkan bahu. "Gak termasuk ke dalam jajaran 'elite' kayak lu." Ia menyengir. "Eh, akun satyadikaratampan sudah ada yang buat belum, ya?"

Sonia mengernyit. "Setahu gue belum."

"Gue buat, ah." Angga menyeringai. "Isinya foto gue semua." Kepalanya mengedik. "Nanti lu bantu promoin, ya?"

Sonia dan Angga seketika tertawa bersamaan.

"Eh, lu mau nonton film gak?" tanya Angga. Sonia tampak berpikir.

"Boleh. Nonton apa?"

Angga menukas cepat. "Coco?"

"Boleh. Gue belum nonton," jawab Sonia. "Btw, i love pixars. Kecuali saat mereka rilis Cars 2." Dia menggetarkan bibirnya secara cepat dan singkat sehingga terdengar seperti suara kentut.

Angga tertawa kecil. Ia setuju dengan pendapat Sonia.

"Film-film mereka itu hampir semuanya selalu menang Oscars. Hebat, ya?"

"Mmm..." Angga hanya bergumam, tidak menunjukkan ketertarikan lebih. "Gue sebenarnya gak percaya Oscar."

"Kenapa?" Sonia mengernyit.

"It's so political and studio oriented." Angga mempersiapkan diri untuk berbicara panjang dengan menghabiskan isi minumannya. "Begini. Yang broadcast Oscar di sana itu saluran ABC. Tahu pemilik saham ABC siapa? Disney. Coba lu lihat kategori film animasi dan original soundtrack. Kalau film mereka masuk nominasi, 90% pasti menang. Apa lagi itu namanya kalau bukan monopoli," jelasnya. "Ibaratnya di sini itu kayak Panasonic Gobel Award. Pernah nonton?"

"Ya. Secara kepaksa."

"Yang nyiarin siapa coba?

"RCTI."

"RCTI kan? MNC medialah. Lihat siapa yang paling banyak bawa pulang piala di acara itu."

Sonia mengangguk pelan, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang mengalir deras dari mulut Angga.

"Lagi pula, film bagus gak selalu harus menang, bahkan masuk nominasi Oscar, kok. Banyak contohnya: Don't Look Now, Zodiac, Point Blank, A Town Called Panic-"

"Hampir sebagian film yang lu sebutin tadi gak pernah gue dengar," potong Sonia.

Angga tersenyum; bahagia karena ia punya segudang film yang dapat direkomendasikan untuk Sonia. Tetapi, ia perlu menanyakan sesuatu terlebih dahulu agar film yang disarankannya sesuai dengan minat Sonia. "Film favorit lu apa?"

"Moulin Rouge," jawab Sonia cepat.

"Mmm..." Angga menganggukan kepalanya berulang kali dengan mulut yang mengerucut, "lu tuh termasuk jiwa-jiwa yang merasa nyaman dengan ‘rumah’ dan celebration of true love, ya?"

"Iya," jawab Sonia. "Tapi gue lagi malas nyari true love. Nanti saja. Ribet. Sekarang, gue lagi sibuk bangun 'rumah sementara'. Lebih praktis dan nyaman. Kalau sudah gak betah, tinggal dirubuhkan."

Angga begitu tertarik mendengar penjelasan Sonia. "Habis patah hati?"

"Enggak."

"Atau justru pernah mengalami patah hati dulu... banget, tapi bekasnya masih terasa sampai sekarang?"

Sonia mengangguk. Angga menyeringai. Ia suka ketika dirinya menerka sesuatu dan mendapati kalau terkaannya itu benar. Dengan spontan, ia berkata:

"Bingo."

Sonia mengernyit. Ia merasa ada sesuatu yang ingin dipatahkan Angga. Kalimat-kalimat yang dia ucapkan tadi seakan mengarah ke sana. Ia harus memastikannya.

"Tapi lu sadar kan kalau lu juga termasuk ke dalam 'rumah sementara' gue?"

Angga mendengus pelan. "Iya. Gue gak niat jadi pacar lu, kok. A deal is a deal."

Sonia tersenyum lega. Hening sejenak.

"Kalau lu?" tanyanya balik pada Angga, "Film favoritnya apa?"

"Eternal Sunshine of the Spotless Mind," jawabnya tegas.

"Oh... bosenan ya orangnya?" terka Sonia. "Banyak dekat sama perempuan yang eksklusif, cerdas, mind blowing, tapi sebenarnya yang lu cari cuman seorang perempuan yang bisa ngerti sama lu dan ngomong, 'sayang, aku cinta kamu'."

Angga nyaris tersedak ludahnya sendiri. Apa yang diucapkan Sonia benar adanya. Tetapi, ia tidak mau mengakuinya kepada Sonia. Tidak perlu. "Ngaco."

"Buktinya, hari ini kita bakal ONS," sanggah Sonia. "Jangan bilang kalau lu juga lagi senang bangun 'rumah sementara'?"

"Kalau memang begitu, terus gue harus gimana?" tanya Angga.

"Cowok kayak lu? Nyari rumah sementara?" Sonia tertawa kecil. "Bro, gue bilangin saja ya sekarang? Lu ganteng. Cowok kayak lu itu banyak diminati perempuan. Pasti banyaklah yang ngedeketin."

Angga menggeleng. "Gak ada."

"Gak ada atau lu langsung pentalin karena membosankan?" tanya Sonia sembari memajukkan badannya. "Yang kedua, kan?"

Ia mau menyangkal perkataan Sonia kembali, tetapi tidak mampu karena kata-kata Sonia tadi telah berubah menjadi sebentuk plester yang membungkam mulutnya rapat-rapat. Ia pun dibuat berpikir tentang kehidupannya di kampus, bagaimana dirinya selalu menjadi sesosok manusia yang cukup akrab dengan banyak laki-laki dan perempuan. Tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang tersangkut menjadi teman dekatnya. Soal perempuan yang cukup akrab dengannya... Mungkinkah ada sesuatu yang berusaha ditunjukkan mereka namun tidak pernah ia sadari?

Matanya menangkap kalau Sonia sedang cekikikan. Sialan. Rasa malu kini membungkus ketat sekujur tubuhnya. Perbincangan mengenai topik ini dirasanya harus segera berakhir. Ia tidak mau tambah tertindas lagi. Rekomendasi film untuk Sonia bisa ia sampaikan di lain waktu.

"Sudah selesai minumnya?" tanyanya.

Sonia mengangguk. "Sudah."

"Ayo kita ke bioskop. Nanti gak dapat tiket."

Angga memanggil pelayan untuk membayar pesanan masing-masing sebelum akhirnya ia dan Sonia bangkit berdiri dan bergegas menuju bioskop.

-----


Lampu teater dinyalakan. Daftar nama pemeran serta kru film telah bergulir pelan di layar. Beberapa penonton mulai beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan. Angga dan Sonia masih terpaku pada kursi mereka masing-masing.

"Sonia," ucap Angga dengan mata berkaca-kaca, "this movie is so go-"

Dia menoleh. Didapatinya dua butir air tengah mencelat dari kelopak mata Sonia dan bergerak turun menyusuri pipinya. "Lu nangis juga?"

"Iya."

Sonia terisak. Ia mendadak malu karena teringat akan tempatnya berada sekarang. Beberapa tatapan penonton yang melirik penasaran ke arahnya pun semakin memaksa dirinya melesakkan diri ke dalam kubang kesedihan. Ia tidak ingin dilihat banyak orang dalam keadaan seperti itu.

"Gue minta maaf." Sonia menekur.

Angga mengernyit. "Kenapa harus minta maaf?"

Sonia menggeleng karena sulit memberikan penjelasan. Angga berdecak.

"Setiap manusia dikasih kemampuan untuk nangis, dan ngelarang manusia buat nangis itu sama saja kayak ngelarang manusia buat jadi manusia yang seutuhnya," ujarnya. "Tapi, kalau boleh tahu, kenapa lu nangis, tho?"

"Ingat sama masa kecil gue," jawab Sonia singkat. Ia kemudian menatap Angga. "Lu sendiri kenapa nangis?"

"Gue punya adik yang meninggal sepuluh tahun lalu. Dia mirip kelakuannya sama Miguel," jawab Angga tersenyum.

Mendengar itu, air di pelupuk mata Sonia kian menggenang. Ia merasa kasihan dengan Angga.

"Aww."

Jemarinya lantas menghapus bulir air mata yang mengalir turun di pipi Angga. Ia kemudian tersenyum dan mendekap tubuh Angga erat-erat. Keduanya pun membiarkan diri mereka menjadi tontonan para petugas yang sedang membersihkan teater.

-----



Jam makan malam. Banyak manusia berlalu-lalang berusaha mencari tempat duduk di area food court. Bising percakapan dan alat masak yang beradu membuat keadaan menjadi serba saru dan agak kacau. Wangi aneka masakan menguar, saling berlomba untuk memenuhi segala penjuru ruangan dan tentunya menggoda bibit lapar dalam perut manusia. Di antara kesesakan hal yang terjadi, Angga dan Sonia telah duduk di sana, tengah menikmati hidangan.

Film itu rupanya berdampak panjang pada Sonia. Hingga sekarang, ia masih saja betah berkubang pada kesenduan. Tenggelam di antara lumpur pilu. Suapan demi suapan nasi goreng ikan teri yang biasanya sudah meledakkan rasa nikmat di lidahnya kali ini seolah tidak bertaji.

Angga mengetahui kalau Sonia tengah dirundung kemuraman. Wajah Sonia yang selalu cemberut sedari keluar dari dalam bioskop menegaskan hal tersebut. Ketika mereka makan malam, ia sempat berharap kalau Sonia bakal menunjukkan tanda-tanda perubahan. Ternyata tidak.

Angga terus memperhatikan Sonia. Ia kini hampir meyakini kalau cemberut itu akan segera tercetak abadi di wajah Sonia. Mungkin Sonia perlu campur tangan dari dirinya lebih jauh. Dia butuh kata-kata magis itu.

"Lu masih sedih karena film tadi?" tanyanya.

Sonia menggelengkan kepala sembari tersenyum. Angga mengetahui kalau itu adalah sebuah senyum kecut. Nalarnya berusaha keras memikirkan sebuah rencana agar dapat mengubah itu. Ia lantas menelan satu suapan dari nasi timbel ayam bakar yang dipesannya ke dalam mulut untuk membantu.

"Habis makan, kita main ke timezone, ya?" ajaknya.

Sonia berhenti menyuapkan makanan. "Buat apa ke timezone?"

"Makan," jawab Angga.

Sonia mengernyit. Angga tertawa kecil.

"Ya, main lah," ralatnya.

Sonia tertawa kecil. "Iya. Maksud gue, kenapa harus ke timezone?"

"Manyun di bibir lu itu harus dihilangin," tunjuk Angga ke arah Bibir Sonia. "Ayolah. Gue gak mau lu sedih terus. This day should be a fun one, not a sad one."

Sonia terlihat merenung mendengar kalimat itu. Angga pun menunggunya dengan sabar.

Lima menit lantas berlalu. Tanpa disadari Sonia, kalimat itu telah bermetamorfosa menjadi sebentuk kesadaran yang menolongnya keluar dari dalam kubang.

Ia akhirnya mengangguk setuju atas ajakan Angga.

-----

Timezone. Angga telah menggenggam sebuah kartu yang telah berisi saldo untuk bermain. "Oke. Kita main apa dulu?"

Sonia terlihat tidak tertarik. Pikirannya seakan mengawang ke antah berantah. Teriakan riang anak-anak yang bergema kencang membuatnya tidak memperhatikan Angga. Angga menghela napas.

"Oke, biar lebih seru, gue mau mengadakan sesuatu," usulnya.

"Apa?" Sonia mengernyit dan menoleh.

"Kita duel," ucap Angga. "Mau di mana? Gue sih menyarankan Slam-A-Winner. Gue jago di sana."

Tidak ada respon dari Sonia. Angga pun bertanya:

"Kalau lu, paling jago main arcade apa?"

"Street Basketball." Sonia menjawab yakin. Itulah permainan yang sering dimainkannya di timezone. Jika keahliannya ditarungkan dengan Angga, ia sendiri tidak tahu siapa yang akan menang. Ia belum pernah mencobanya. Tetapi, apakah ia fasih? Jawabannya iya.

"Nah." Angga menggosok-gosokkan telapak tangannya, antusias. "Dari antara dua itu, lu mau yang mana buat dilombakan?"

Sonia tersenyum. "Gue sih terse-"

"Gue ambil pilihan lu," potong Angga cepat.

Sonia mengernyit. Ia merasa tertantang mendengar kalimat itu. "Serius?"

"Serius." Angga menggangguk.

"Baiklah," Sonia mengedikkan bahu. Ia tidak sabar untuk melihat Angga menelan kekalahan darinya. Keyakinannya telah membubung tinggi.

Di sisi lain, keyakinan serupa juga dimiliki oleh Angga. Ia berkaca pada hasil yang didapatnya ketika bertarung dengan kawan-kawannya, yang beberapa di antaranya sempat termasuk ke dalam tim inti basket sekolah ketika mereka SMA dahulu. Ia selalu saja menang. Tidak pernah meraih posisi kedua, apalagi kalah. Mengalahkan Sonia tentu akan jauh lebih mudah daripada mengalahkan kawan-kawannya itu.

Keduanya pun telah sampai di depan arena yang dimaksud. Angga tersenyum. Ia ingat betul bentuk permainan arcade ini. Durasi permainan berlangsung selama tiga menit. Terdapat empat stage, masing-masing dengan jumlah waktu yang berbeda. Stage 1 sebanyak 60 detik, stage 2 sebanyak 50 detik, stage 3 sebanyak 40 detik, dan terakhir, stage 4 sebanyak 30 detik. Pada stage 1, posisi ring diam; sementara stage selanjutnya, ring akan bergerak secara bergantian ke arah kanan terlebih dahulu, baru ke arah kiri. Di antara setiap stage akan ada jeda selama 5 detik.

"Siapa duluan?" tanyanya.

"Suit," jawab Sonia. "Yang menang berhak memilih mau duluan atau belakangan."

"Ok." Angga mengangguk.

Keduanya melakukan suit. Angga mengeluarkan telunjuk; Sonia mengeluarkan kelingking. Angga menang.

"Lu saja duluan," ucapnya. Ia sengaja memilih itu untuk memberi kesempatan bagi Sonia berunjuk gigi.

Sonia mengedikkan bahu. Ia bersiaga. Direnggangkannya jemari serta lengan. Angga menggesekkan kartu pada tempat yang disediakan untuk memulai permainan.

Sonia menghela napas. Bola lantas bergulir ke arahnya. Permainan dimulai.

Dengan gesit, tangan Sonia memasukkan bola-bola yang ada ke dalam ring. Saking cepatnya, tangan itu hanya berbentuk bayang-bayang saja di mata Angga. Stage 1 pun selesai dengan raihan poin 100.

Stage 2 akan segera dimulai. Sonia mengerjapkan matanya berulang kali, bersiaga. Bola pun bergulir. Kembali, dengan gesit tangannya beraksi. Bola demi bola masuk bergiliran dan berulang ke dalam ring. Angka 300 menjadi raihan poinnya.

Jelang stage 3 dimulai, Sonia sempat berkata kepada Angga:

"Makanya. Jangan pernah menyepelekan orang."

Angga hanya terdiam membisu. Tidak habis pikir dari mana Sonia mampu mengetahui kalau ia meremehkan Sonia.

Durasi stage 3 yang singkat terasa kian singkat tatkala Sonia selalu berhasil memasukkan bola ke dalam jaring dengan sempurna. 510 poin berhasil didapatkannya.

Pada stage 4, Sonia terus membombardir jala ring dengan bola beruntun sejak detik pertama dimulai. Membabi-buta. Angga pun hanya bisa geleng-geleng kepala dibuatnya.

Saat waktu dinyatakan berakhir, angka 700 telah tersemat di papan skor elektronik. Jumlah poin yang fantastis berhasil diraih Sonia. Ia tersenyum puas. Didekatinya Angga yang sedikit tercengang melihat hasil pada papan skor elektronik.

"You." tunjuknya ke arah Angga. "Beat that shit."

Angga menghela napas keras. Ia merasa akan kesulitan mengejar raihan poin Sonia. Tetapi, ia tidak mau menyerah. Tidak akan, sampai ia telah mencobanya.

Sebelum memulai permainan, ia memejamkan matanya. Mengambil nafas dalam-dalam. Dirasakannya udara yang masuk melalui lubang hidungnya, bergerak menuju paru-paru, bertukar tempat dengan karbon dioksida, naik kembali ke arah hidung, dan keluar dari lubang hidung. Tangannya menggesekkan kartu pada tempat yang disediakan untuk memulai permainan.

Matanya membuka. Kini, ia sudah siap. Dihibahkannya kartu itu kepada Sonia.

Bola bergulir. Stage 1. Bola demi bola berhasil dijaringkannya dengan mudah. Ring yang diam tentu tidak memberikannya permasalahan berarti. 100 poin berhasil diraihnya. Stage 2 juga dilewatinya tanpa suatu permasalahan berarti. 300 poin.

Di pertengahan stage 3, petaka menghampiri Angga. Tangannya dilanda sedikit rasa kebas. Alhasil, beberapa bola yang ditembakkan tidak langsung mengarah langsung ke dalam jaring, melainkan berputar-putar dahulu di atas ring atau mematul pada papan ring. Perpindahan pelemparan bola dari satu bola ke bola selanjutnya yang begitu cepat juga menyebabkan bola-bola yang baru dilempar sering menabrak bola yang tengah berputar atau memantul sehingga bola-bola tersebut akhirnya tidak jadi masuk ke dalam ring.

Ketika stage 3 berakhir, angka 490 menjadi jumlah poin milik Angga. Itu jelas lebih rendah daripada angka 510 milik Sonia. Angga harus bekerja keras di stage terakhir untuk menebusnya.

Dengan semangat yang menggebu, Angga memulai stage 4. Konsentrasi tinggi dihimpunnya. Suasana sekitar timezone mendadak sunyi. Hanya ada dirinya, bola, dan ring basket. Tangannya adalah perantara yang mengantarkan bola untuk melewati jalan yang benar. Jalan yang diinginkannya.

Tanpa terasa, hanya tinggal lima detik waktu yang tersisa. Angka 699 terpampang di papan skor elektronik. Dua poin lagi bagi Angga untuk memenangi duel tersebut. Ia melirik sekilas ke arah Sonia. Dia terlihat begitu khawatir. Matanya membulat penuh.

Ia lantas kembali berkonsentrasi. Sebuah bola yang bergulir menyentuh tangannya. Segera dilempar. Tidak masuk ke dalam jaring, hanya mengenai papan ring. Dua detik lagi. Ia mengambil bola terakhir. Dibidik ke sasaran lalu dilemparnya bola tersebut. Menyentuh sisi ring dan terpental ke luar. Waktu habis.

"Yes! Gue menang." Tangan Sonia mengepal ke angkasa. Ia terlihat begitu gembira. Skor akhir 700-699 untuk kemenangan dirinya.

Angga hanya mengguratkan sebuah senyum simpul di bibir. Dua tembakannya tadi meleset. Bukan karena hilang fokus atau apa; ia memang sengaja berbuat demikian. Tidak penting baginya untuk menang dalam pertandingan itu. Yang diinginkannya hanyalah agar Sonia menjadi senang.

"Baik, Nyonya." Angga menekur bak pelayan yang tengah melayani majikannya. "Apa permintaan anda?"

Sonia tersenyum. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Angga lalu berbisik penuh hasrat:

"Antar aku ke kosmu sekarang juga."

Angga menelan ludahnya dengan susah payah.

-----

Angga membuka pintu kamar kosnya. Ia menyalakan pula saklar lampu. Terang pijar seketika menjamah kamar itu.

Kamar itu terlihat apik di mata Sonia. Kasurnya bersih. Barang-barangnya (seperti buku-buku yang terlihat di satu meja) tertata rapih. Debu-debu pun nyaris tidak ada yang menempel di sudut-sudut ruangan. Angga telah menyiapkan yang terbaik agar Sonia merasa nyaman di sana.

Sonia melihat sebuah jendela di pojok ruangan. Ia mendadak tertarik untuk melihat pemandangan di luar sana. Ia pun berjalan mendekati jendela. Matanya mendapati pemandangan malam yang khas: lampu jalan, lampu mobil, gedung pencakar langit...

Pemandang ini kemudian membuat benaknya memutar kembali rekaman perjalanan yang telah ia alami seharian bersama Angga. Sikap, gestur, tutur kata; semuanya berusaha ia telisik. Kesimpulannya: Angga menarik. Terlalu menarik untuk dijadikan sebagai pelampiasan nafsu seksual belaka. Tetapi, ia sudah berjanji untuk tidak mengikat hati dengan Angga. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak mau melewatkan manusia macam Angga dalam hidupnya begitu saja.

Angga menutup pintu kamar dan menguncinya pelan-pelan. Setelah itu, tapak demi tapak penuh keyakinan dilangkahkannya ke arah Sonia yang masih memandangi keadaan kota di malam hari. Apa yang telah mereka jalani bersama selama satu hari ini dalam membangun afinitas dirasakannya sudah cukup. Cukup untuk meramu afinitas itu menjadi sebentuk hubungan tahap akhir yang diinginkan keduanya sejak awal: proses persenggamaan.

"Sonia?"

Sonia berbalik. Mata mereka bersirobok. Tangan Angga kemudian menggamit tangan Sonia. Sebuah sinyal tak kasat mata saling pancar dari masing-masing individu, menyuruh sang lawan untuk menipiskan jarak yang ada. Dengan begitu, maka keduanya pun memajukan wajah mereka. Serempak. Mendekat.

Tiba-tiba, riak keraguan mencuat dari hati Sonia dan terus merayapi tubuhnya ke atas hingga nalarnya tergelitik. Dia merasa kalau semua ini salah besar. Nuraninya pun mulai berteriak menyuruh untuk segera menghentikan kegiatan itu.

Tanpa diketahui Sonia, riak serupa juga tengah dirasakan oleh Angga. Ia merasa kalau Sonia sesungguhnya tidak pantas untuk dijadikan sebagai cinta satu malam. Dia pantasnya menerima sebuah harkat yang lebih tinggi dari pada itu: seorang teman dekat.

"Ga?" panggil Sonia. Jarak itu tak lagi menipis.

"Ya?"

"Gue harus ngomong. Gue gak nyaman untuk ngeseks sama lu." Sonia berdecak penuh penyesalan. "Sorry, ya? Tapi kayaknya lu gak bisa one night stand sama gue. Lu cocoknya jadi teman gue."

Mendengar itu, riak di hati Angga pun menjadi tenang. Apa yang diucapkan Sonia serupa dengan apa yang ia rasakan.

"Gue juga... ngerasa hal yang sama, sih." Angga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Beneran?" Mata Sonia berbinar. Dia bersyukur kalau hal ini tidak perlu dilaluinya dengan drama tidak penting nan melelahkan. Angga--beruntungnya--adalah sesosok manusia yang pengertian.

"Iya." Angga mengangguk. "Vibe lo itu kayak teman dekat gue. Kayak ada yang salah, gitu, kalau ngewe sama teman dekat sendiri."

"Baguslah," respon Sonia tersenyum. Kemudian, hening menyaputi keduanya.

"Terus, sisa malam ini mau diapain?" tanya Angga akhirnya memecah kebuntuan. Sonia mengernyit. Nalarnya sedang bekerja. Matanya lantas menemukan sebuah jawaban dalam bentuk pemutar DVD yang dilihatnya.

"Nonton film saja." Kepalanya mengedik. "Bagaimana?"

"Ide bagus." Angga tersenyum.

Sonia lantas duduk di tepi tilam. Angga memilah tumpukan DVD yang ada di dekat pemutar DVD. Ia tahu apa yang akan diputarnya: Office Space. Sebuah film komedi yang basis ceritanya berasal dari kehidupan pekerja kantoran. Untuk sebuah malam yang gemilang, ia merasa perlu untuk mengakhirinya dengan gelak ramai, dan film itu dirasanya mampu memicu hal tersebut.

Setelah berhasil mendapatkan DVD yang diinginkan, ia pun menyalakan pemutar DVD dan memasukan benda cakram itu ke dalamnya.

"Ini judulnya Office Space," ucap Angga. "Belum nonton, kan?"

Sonia mengangguk.

"Dijamin bagus." Angga tersenyum. Ditekannya tombol untuk memutar isi cakram. Ia kemudian berjalan dan duduk di sebelah Sonia.

Keduanya pun menghabiskan sisa malam yang ada dengan tertawa terbahak-bahak.

 
Terakhir diubah:
Wah tsakep betul nih ceritanya. Nampang dulu deh di sini.

Btw, ada perubahan pronoun dari Angga dari gue-lu ke aku-kamu di tengah tuh emang ada maksud tersendiri apa luput dari proofreading ya?
 
TS you have my attention now. Ijin pasang patok dulu dsini. Semoga update nya makin berkualitas
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd