Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Love, Friendship, and Other Miscellaneous Things

Bab 1

Sebuah ruang kelas. Tiga puluh kursi lipat kuliah tertata dengan rapih di sana, membentuk formasi sebagai berikut: lima baris menyamping dan enam deret ke belakang. Dua puluh diantaranya sudah ditempati oleh para mahasiswa, sementara sisanya tak berpenghuni. Angga termasuk ke dalam dua puluh orang itu. Ia duduk di pojok kiri ruangan, kursi kedua dari deret belakang. Kelopak matanya beberapa kali membuka dan menutup secara berulang.

Angga tidak bisa fokus mencerna materi consumer behavior yang disampaikan sang dosen di depan kelas. Kelopak matanya semakin memberat karena selalu melihat ke arah papan tulis sejak dua jam yang lalu. Agar tidak bertambah parah, ia pun memutuskan untuk menoleh ke arah yang berbeda: jendela. Terlihat kabut tengah bergelung di luar sana. Warna abu-abu yang begitu mendominasi. Dari rasa dingin yang meraba kulitnya, ia menebak kalau awan sesaat lagi akan menumpahkan tangisnya ke tanah.

Angga lantas beralih menuju objek lain: teman-temannya. Matanya melihat seseorang di pojok kanan ruangan yang tengah menguap. Beberapa yang lain bahkan sudah membenamkan wajahnya dalam-dalam pada permukaan meja. Ia tidak heran sama sekali dengan tingkah laku mereka. Suasananya begitu sedap untuk tidur. Suara ocehan dosen yang serupa lantunan nina bobok juga banyak membantu membangun suasana tersebut.

Suara guntur terdengar menggelegar. Nalarnya seketika dilintasi sebuah pertanyaan: bagaimana caranya aku pulang ke kos seandainya hujan turun nanti? Akan sulit baginya untuk mencari tukang ojek dalam keadaan seperti itu.

Angga kemudian teringat dengan seseorang. Ah, Sonia. Dia masih di kampus, bukan? Lebih baik kutanyakan padanya sekarang, pikirnya.

Ia segera mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan untuk Sonia. "Lu di mana sekarang?"

Beberapa menit kemudian, Sonia membalas:

"Kantin. Lagi kerja kelompok. Kenapa?"

Angga mengetik. "Ini kalau jadi hujan, gue nebeng, ya?"

Gemerencik seketika menyapa telinganya di tengah-tengah suara ocehan dosen. Gerimis telah terjadi di luar sana. Pesan baru kembali masuk. Ia membacanya.

"Siap. Nanti lu kalau sudah keluar kelas, samperin saja langsung di kantin."

"Ok," balas Angga.

Ia pun keluar dari menu pesan dan melihat jam digital pada ponsel yang tengah menunjukkan pukul 15:45. Menurut jadwal, mata kuliahnya akan usai tepat pukul 16:00. Ia lantas mengunci ponsel dan kembali menatap jendela.

Saat itu juga, Angga merapalkan sebuah mantra dalam hati: oh, lima belas menit. Datanglah dengan cepat.

-----

Kelas telah selesai. Angga kini berjalan menyusuri koridor kantin untuk mencari keberadaan mahluk lucu bernama Sonia Zenitha. Segelas teh manis hangat yang ada di tangannya digenggam erat-erat agar tidak lepas dan terjatuh. Angga sengaja membeli minuman itu untuk Sonia. Ia tahu kalau Sonia membutuhkannya di tengah kondisi cuaca seperti sekarang. Tetapi, hatinya bertanya: di mana dia?

Angga tersenyum. Ia menemukan keberadaan Sonia. Dia bersama Abel, Susi, Ona, dan satu perempuan berambut keriting yang tidak dikenalinya. Mereka duduk di pojok terujung kantin. Pantas dari tadi tidak terlihat oleh matanya.

Angga pun segera menghampiri Sonia. Sonia sedang mengetik sesuatu di laptop, tak menyadari kedatangannya. Teman-teman Sonia sadar. Mereka terlihat saling berbisik-bisik dengan arah pandangan tertuju pada Angga.

Angga akhirnya tiba dan memilih duduk berhadapan dengan Sonia. Dia masih saja sibuk mengetik.

"Ni," panggil salah satu teman Sonia, Abel, kepada Sonia.

"Mmm?" Mata Sonia tidak lepas dari layar laptop. Jemarinya terus menari di atas papan tombol jari.

"Pacar lu sudah datang," lanjut Abel.

"Pacar?" Sonia berhenti mengetik. Lalu, beberapa detik kemudian, dia kembali mengetik. Angga geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

"Sayang. Ini, aku bawain minuman," kata Angga penuh kasih. Sonia baru mendongakkan kepala. Angga menyodorkan gelas yang ia pegang.

"Oh. Gue kira siapa. Pacar?" Sonia menerima gelas itu dan menyeruput sedikit isinya. Rasa segar segara bersembur di kepalanya, membuatnya lebih bersemangat untuk menyelesaikan tugas. "Thanks, ya?" Dia kembali mengetik.

"Sama-sama," jawab Angga. "Gak cium pipi?"

Jemari Sonia berhenti bergerak. Pupil matanya naik. Dia menatap Angga tajam sekali. "Najis."

Angga dan teman-teman Sonia tertawa.

"Kalian tuh lucu banget, sih," ucap sang perempuan berambut keriting. "Pacaran beneran?"

Angga menggeleng. "Enggak."

"Ah. Nih berdua gak ngaku saja," keluh Abel. "Setiap dikasih pertanyaan selalu dijawab dengan jawaban yang sama." Dia menggelengkan kepalanya berulang kali. "Gak pernah percaya gue."

"Ya... terserah sih kalau gak percaya," balas Angga seraya tertawa kecil. Ia tak pernah peduli akan pendapat orang lain tentang hubungannya yang terlihat taksa dengan Sonia. Toh, kenyataannya mereka memang tidak menjalin asmara dan semuanya berlangsung baik-baik saja.

"Dekat begini sudah lama?" tanya sang perempuan berambut keriting. "Ketemu di mana? SMA? SMP? SD?"

"Baru dua tahun," jawab Angga. "Ketemu di-" Ia berhenti berucap. Ia melihat Sonia tengah melirik tajam ke arahnya.

"Ga," panggil Sonia dengan penuh tekanan. Dia tak suka situasi itu. Gemuruh keki telah berkumpul menyelubungi dirinya. Awas saja, katanya dalam hati.

Angga mengernyit. "Kenapa?"

Sonia memajukan badannya ke depan. "Lo serius mau kasih tahu?" bisiknya.

Angga tidak tahu kenapa Sonia memilih untuk berbisik. Jaraknya dan teman-teman Sonia terhitung dekat. Semua yang meriung di meja itu masih bisa mendengar suara bisikan Sonia. "Ya... emangnya kenapa?"

"Iya," ucap Abel mendesak, penasaran. "Kenapa, sih, Ni?"

Teman-teman Sonia menanti jawaban dari Sonia dengan penuh harap. Tetapi, Sonia memilih untuk menutup rapat mulutnya. Angga tersenyum. Ini adalah sifat Sonia yang begitu khas. Jika ditilik sekilas, Sonia memang terlihat sebagai sesosok manusia yang tertutup. Mengunci diri. Pelit bicara. Tetapi sesungguhnya, dia sedang memamerkan kemapuan bertahannya. Dia agak pemalu. Pemalu di sini bukan dalam artian sulit berinteraksi, melainkan tidak ingin mendapati citranya tercoreng.

"Biar gue yang jawab," kata Angga. "Kita ketemuan di tinder."

"Apa?" Hampir seluruh teman-teman Sonia berkata demikian. Sonia menatap Angga tajam, seakan ia akan segera dicincang menjadi irisan-irisan daging segar.

"Tinder," jelas Angga sekali lagi. "T-i-n-d-e-r."

Abel agak terkinjat. "Kok bisa?" Dia tidak percaya dan menuntut penjelasan lebih.

Angga tersenyum. "Match. Terus ketemuan. Terus-"

"Heh!" sergah Sonia. Informasi yang dibeikan Angga dirasanya lebih dari cukup. Dia kemudian menunjuk satu persatu teman-temannya. "Kalian kalau gak mau bantu gue kerja, mending minggat dari sini sekarang."

"Ampun, Bos," ucap Abel pelan. Dia lupa kalau temannya yang satu itu sesungguhnya seekor singa jadi-jadian.

Angga berdecak. "Gimana coba gue bisa pacaran sama orang kayak gitu?" katanya kepada teman-teman Sonia. Mereka tertawa menyetujui. Sonia hanya berdengus memburu seperti seekor banteng yang sedang bertarung dengan seorang matador.

"Kalian gak ada yang saling suka gitu?" tanya sang perempuan berambut keriting. "Seringnya kan kalau cowok sama cewek temenan dekat, salah satu dari mereka pasti ada yang suka."

"Enggak," jawab Angga dan Sonia bersamaan. Keduanya pun saling pandang sejenak sebelum Sonia kembali fokus pada pekerjaannya di laptop.

"Mungkin, karena kita sudah tahu tahi masing-masing, ya?" ujar Angga sembari tertawa kecil kepada perempuan berambut keriting. "Serius, deh. Kita ini sudah kayak cenayang bagi lawannya masing-masing. Gue tahu dia lagi ngapain. Dia tahu gue lagi ngapain."

"Bukannya itu kayak orang pacaran, ya?" Sang perempuan berambut keriting lanjut bertanya. Dia kemudian menyadari sudah melempar sebuah pertanyaan berbahaya setelah melihat Sonia berhenti mengetik dan menatapnya teramat geram.

"Emang lu pernah pacaran?" tanya Sonia.

Perempuan berambut keriting itu tidak berani menjawab maupun melihat Sonia.

Angga pun merasa kasihan terhadap perempuan itu. Buru-buru ia menjawab, "Intinya, kita sudah terlalu kenal untuk mengetahui kalau kita ini gak cocok jadi sepasang kekasih."

Perempuan berambut keriting itu tersenyum kepadanya. Lebih aman memang untuk bertanya kepada Angga. Baginya, sejak Angga tiba hingga saat ini, ia terhitung sebagai golongan makhluk jinak.

"Dari tadi ada yang diam, nih." Abel tiba-tiba menyenggol lengan Susi yang ada di sebelahnya. Susi membalasnya dengan mata yang membelalak. Sesuatu tengah diperamnya di dalam hati dan dia tak mau memberitahukan.

"Iya, kenapa, sih?" tanya Angga pada Susi. "Aku gak gigit, lho."

Susi hanya menekur. Angga mengernyit heran.

"Dia kenapa?" tanyanya pada teman-teman Sonia. Tidak ada yang menjawab. Sonia menepuk punggung tangan Angga yang diletakkan di atas meja. Angga menoleh ke arah Sonia.

"Dia suka sama lu, bego," ucap Sonia tanpa suara.

"Hah? Suka sama gue?" tanya Angga bersuara.

Sonia langsung menebah punggung tangan Angga. Dia tak pernah mengerti mengapa sahabatnya yang satu itu selalu sukar menganalisa gelagat orang yang menyimpan perasaan kepadanya. Angga bukan hanya pernah bertemu dengan Susi sekali dua kali saja.

"Anjir!" Angga meringis. Sakit sekali. Matanya melihat bekas berwarna merah telah tercipta di sana. Ia lantas menggunakan tangannya yang lain untuk mengelus bagian itu.

Tanpa disadari, kesunyian datang melanda meja itu dan singgah untuk waktu yang cukup lama. Angga sibuk melihat hujan yang memburuk. Gempuran air kian bertambah banyak jumlahnya dari sebelum ia bersambang ke kantin. Dingin yang luar biasa pun menyerang kulitnya tanpa ampun. Rasanya persis seperti dimasukkan ke dalam kulkas.

"Nih," ucap Sonia memecah kebuntuan. "Tugasnya sudah selesai. Terima kasih, ya? Dari tadi gak ada yang bantuin gue."

Teman-teman Sonia meledak dalam tawa, baru menyadari keteledoran yang mereka buat.

"Eh, kalian habis ini mau ke mana?" tanya Sonia kepada teman-temannya. "Pulang?"

"Hujan deras begini," jawab Abel menatap ke arah luar area kantin. "Gimana mau pulang?"

"Gue bawa mobil, sih," ujar Sonia bermaksud menawarkan tumpangan. "Tapi, satu jatahnya sudah diambil sama curut ini." Kepalanya mengedik ke arah Angga.

Angga tertawa dalam hati. Sonia telah menyamakan dirinya dengan curut. Ia berucap satir dalam hati: aku benar-benar sayang padamu, Sonia.

"Gak," ucapnya menggeleng. "Gue pulang sendiri saja. Biar kalian naik mobil sama Sonia."

Sonia mengernyit. "Masih muat, kok." Dia menatap teman-temannya. "Berempat, kan?"

"Son. Gak apa-apa, lah. Gue bisa kok pulang se-"

"Eh!" Sonia memotong pembicaraan Angga. "Lu jangan mulai sok 'gue laki-laki' ya? Nanti lu masuk angin. Gue gak mau lu sakit."

"Emang masuk angin itu ada?" Angga mengernyit. "Itu kan cuma sebuah penyakit yang terjadi di Indonesia-"

"Terjadi di Indonesia," potong Sonia sekali lagi.

"Dan belum terbuktikan kebenarannya di dunia medis," lanjut Angga. "Orang luar mana kenal sama yang namanya 'enter wind'."

Sonia menatap tajam Angga. "Diem lu, bawel. Ikut sama gue."

Angga baru membuka mulut untuk berbicara, tetapi Sonia sudah mengatakan satu kata tambahan yang langsung membuatnya terdiam.

"Titik."

Angga menyerah. Ia tahu bahwa Sonia begitu peduli terhadapnya dan tidak ada yang bisa mengalahkan dia kalau sudah seperti itu.

-----

Mobil Sonia keluar pelan dari pelataran parkir kampus. Di dalamnya terdapat Angga, Sonia, Abel, Susi, Ona, dan Putri (Angga baru mengetahui namanya tak lama setelah mereka masuk ke dalam mobil). Sonia berada di kursi pengemudi dan Angga tepat di sebelahnya. Sisanya duduk di kursi belakang, saling berhimpitan.

"Ini siapa yang mau diantarkan duluan?" tanya Sonia sembari fokus menyetir.

Abel ikut membantu dengan bertanya, "Yang paling dekat siapa?"

"Gue," jawab Susi. "Jalan Lingkar Sejati nomor 30. Lurus, lewatin lima perempatan."

"Selanjutnya?" Abel lanjut bertanya.

"Gue," jawab Ona. "Lu tahu kan rumah gue?" tanyanya kepada Sonia.

Sonia mengangguk.

"Selanjutnya?" tanya Abel lagi. Dia kemudian cengengesan. "Oh, gue sendiri. Selanjutnya?"

"Beta," jawab Putri. "Beta pe rumah ada di jalan-"

Abel mengernyit dan memotong, "Lu kenapa ganti logat segala?"

"Gak apa-apa, kan?" tanya Putri balik. Dia hanya iseng melakukannya.

Abel mengedikkan bahu. "Selanjutnya."

"Gue," jawab Angga.

Sonia mengeryit dan melirik ke arah Angga sekilas. "Ga?"

"Iya?"

"Gue kok lupa ya rumah lu ada di mana?"

Angga mendengus. Ia tahu pasti kalau Sonia tengah bercanda. "Tahi."

Sonia tertawa. Dia memang senang menggoda Angga dan melihat reaksinya yang apa adanya.

Mobil terus melaju, menyibak jalanan di tengah gemuruh hujan. Suara dari radio yang memutarkan lagu-lagu mancanegara dan dalam negeri setia dalam menemani perjalanan.

Tak terasa, mobil sudah sampai di depan rumah Susi. Susi lantas pamit dan keluar dari dalam mobil. Mobil pun kembali berjalan untuk menempuh tujuan berikutnya.

Selama itu, tidak ada satu pun dari mereka yang menghembuskan kata dari mulut. Semuanya asyik memandang ke arah jendela. Memandangi langit yang melukiskan warna abu pekat. Memandangi butir air yang jatuh dari langit dan mengenai jendela mobil. Memandangi kendaraan demi kendaraan yang bergerak lebih lambat terdahului oleh mobil yang mereka tumpangi.

"Can we talk about something?" Ona akhirnya memutus keheningan itu. "Gue bosan."

"Sure," jawab Abel. "What do you want to talk about?"

"Kalian punya kecengan di kampus, gak?" tanya Ona.

Abel tertawa kecil. "I know why you just throw that question right now. Takut krik krik pas ada Susi tadi?"

"Iya." Ona mengangguk.

Semua orang di dalam mobil seketika tertawa, kecuali Angga. Ia menyadari kalau dirinya ikut memberikan andil dalam menjadikan Susi sebagai lumbung tertawaan dan merasa tidak terima diperlakukan seperti itu.

Abel menatap Angga. "Lagian, lu jadi cowok gak peka banget, sih."

"Lha!" Angga mengernyit heran. "Gue kan beneran gak tahu."

"Iya." Sonia menganggukan kepalanya. "Nih curut satu emang." Tangannya memukul pelan bahu Angga. "Laki-laki paling gak peka sedunia yang pernah gue kenal."

Semua orang di dalam mobil kembali tertawa, kecuali Angga. Ia sekarang merasa seperti seonggok siput yang sedang dikepung empat ekor gajah. Tidak bisa kabur dan tidak bisa menghindar. Hanya bisa pasrah.

"Woi!" pekiknya. "Ini gak ada yang mau bela gue apa?"

Sonia tersenyum menyambut. "Gak ada yang mau karena lu itu gak bisa diharapkan."

Mereka kembali tertawa. Angga mendengus. Ia sah jadi bulan-bulanan di mobil ini. Ia pun mulai menyesali keputusan yang sudah dibuatnya. Lebih baik tadi ia pulang sendiri saja. Tidak perlu mendengarkan nyamuk-nyamuk resek berdenging di telinga.

"Back to Ona," kata Abel membenarkan kembali jalur pembicaraan. "Lu kenapa nanya itu?"

"Gue mau curhat," jawab Ona. "Dengerin, ya?" Dia berdeham untuk menjernihkan tenggorokan. "Jadi, begini. Lu semua tahu Dalton, kan?"

Semua mengangguk. Kecuali Angga.

"Tunggu." Ia mengernyit. "Dalton siapa?"

"Anak bisnis," jawab Abel.

"Yang mana?" tanya Angga. Tidak ada yang menjawab. Angga seakan enggan dianggap. Ia pun memilih memandang ke arah jendela. Terserahlah, katanya dalam hati. Ia memang tidak punya bakat dalam bergunjing.

Putri bertanya, "Terus?" Dia penasaran dengan kelanjutan cerita Ona.

"Oke," Ona berkata. "Si Dalton kan tetanggaan sama gue. Otomatis, gue sering ketemu sama dia. Say hello. Semua berlangsung sama sampai dua malam yang lalu. Gue lagi ke taman kompleks perumahan karena gak bisa tidur. Gak tahu juga kenapa pilih pergi ke taman. Nah, jam-jam segitu, itu taman emang sepi. Jarang ada yang datang ke sana kalau malam-malam. Tempatnya agak spooky soalnya. Tahu apa yang gue lihat?"

Semua kepala menunggu jawaban dari Ona. Ona menghela napas.

"Gue lihat Dalton lagi ciuman sama cowok. Terpotek langsung hatiku."

Seisi mobil sekonyong-konyong membuat sebuah koor. "Yah..."

"Maybe, he's a bi," ucap Abel mencoba positif. "You still have the chance kalau begitu persoalannya."

"No." Ona menggeleng. "Gue sudah terlanjur patah hati. Harus cari target lain. Ada rekomendasi, gak?"

"Ada," jawab Putri bersemangat. "Rusdi. Anak desain grafis. Cakepnya." Dia mendecak berkali-kali.

"Rusdi?" Ona terlihat berpikir. "Oh..." Ona mengangguk-anggukan kepalanya, "iya, iya, iya." Dia lantas mengernyit. "Dia gay juga?"

"Gak." Putri menggeleng. "Seratus persen hetero."

Ona mengangguk pelan. Dia sudah mendapatkan satu rekomendasi. Keheningan lalu mendatangi seisi mobil sejenak.

"Ni," panggil Ona kepada Sonia. "Dari lu ada rekomendasi, gak?"

"Sonia mah kagak ada yang dikecengin di kampus," Abel membalas. "Padahal, dia bi."

Seluruh orang di dalam mobil tertawa.

"Ni," Putri berkata. "Lu gak pernah suka salah satu dari teman dekat perempuan lu?"

"Enggak." Sonia menggeleng. "Memang lu kira biseks gimana?"

"Gak tahu." Putri mengedikkan bahu. "Rasanya gimana, sih?"

"Sama saja kayak hetero kalau jatuh cinta," jawab Sonia. "Bedanya, gue bisa kayak gitu buat laki-laki dan perempuan." Ia berpikir agar dapat menjelaskan pernyataan itu secara mudah. "Lu kalau lihat Kiwil, jatuh cinta, enggak?"

Putri menggeleng. "Enggak."

"Ok," ucap Sonia. "Sekarang, posisikan diri lu sebagai laki-laki hetero. Kalau lihat Elly Sugigi jatuh cinta?"

"Enggak." Putri menggeleng lagi.

"Ya, sama. Gue juga begitu," balas Sonia. "Jadi, tergantung orangnya."

Putri mengangguk-angguk mengerti. Angga bersyukur Sonia punya teman yang berpikiran terbuka. Itu semua berkat seleksi ketat yang diterapkan Sonia. Dia memang seperti itu; tidak pernah berteman dengan orang yang tidak penting dan tidak sesuai dengan prinsipnya. Maka dari itu, banyak yang menganggap dia sebagai pribadi yang galak atau kata berkonotasi buruk semacamnya. Padahal, dia jauh dari kata-kata itu. Dia merupakan orang yang baik hati dan menyenangkan.

Hanya saja, bagi yang berteman dekat dengannya, dia terkadang menyebalkan. Mulutnya jarang memuntahkan kata. Tetapi, sekalinya bercanda, apa yang keluar dari mulutnya adalah sebentuk racun yang menginjeksikan rasa malu yang begitu kuat ke dalam tubuh sang objek penderita. Tidak ada yang bisa mengalahkan kapabilitasnya. Siapapun.

"Ini pada ngomong kecengan," sela Angga. "Emang kalian gak ada yang lagi pacaran?"

"Yang pacaran di mobil ini cuma Abel," jawab Sonia. "Sudah lima tahun sama pacarnya dari SMA. Moga langgeng terus, ya?"

"Amin," semua serempak menjawab. Abel kemudian menoleh ke arah Angga.

"Kalau lu, Ga," ucapnya. "Siapa?"

Angga mengernyit. "Siapa apa?"

"Siapa kecengan lu di kampus."

Angga terdiam. Ia punya jawabannya, tetapi tidak mau memberitahu. Biarlah menjadi sebuah rahasia. Yang mengetahui perihal tersebut hanya dirinya dan Sonia. Ya, Sonia. Mahluk satu itu tentu mengetahui rahasianya. Tidak pernah ada yang ia sembunyikan dari Sonia.

Mobil masih melaju. Di hadapan, ada sebuah lampu lalu lintas yang sedang menunjukkan warna hijau. Tersisa sepuluh detik bagi para pengendara untuk melewatinya dengan keadaan serupa. Angga ingin sekali mobil yang ditumpanginya lolos agar pembicaraan itu segera berakhir atau terpotong atau apalah.

Tetapi, Sonia yang mengendalikan mobil. Tentu saja dia dengan sengaja melambatkan laju mobilnya agar terjebak lampu merah, hanya untuk membuat Angga bertambah kesal dan malu.

Mobil kemudian berhenti tepat di belakang zebra cross. Angga pun tidak bisa tidak menggerutu dalam hati. Ia menoleh kepada Sonia. Sonia tengah tersenyum kucing. Angga dapat melihat dua buah tanduk merah yang mulai mencuat dari ubun-ubun Sonia. Ia sudah hafal betul perangai itu. Sangat berbahaya. Ia harus mewaspadai serangan yang akan dilancarkan Sonia berikutnya.

Tidak sampai lima detik, serangan itu sudah terjadi.

"Pinjam ponsel," kata Sonia.

Angga menggeleng. "Enggak. Buat apa?"

"Paket kuota internet sama pulsa gue habis," ucap Sonia. "Gue perlu kirim sms ke teman gue yang lain. Janjian buat kerja kelompok."

Angga tetap menggeleng. "Nanti kan bisa."

"Gak bisa nanti." Sonia balas menggeleng.

Angga menatapnya tajam, berharap dia mau berhenti merengek. Sonia tak menyerah.

"Serius gue, Ga." Dia menoleh ke arah Abel. "Benar kan, Bel?"

Angga ikut menoleh.

"Benar, Ga." Abel mengangguk.

Sonia memberikan ponselnya kepada Angga. "Nih, lu cek sendiri kalau pulsa sama paket gue habis."

Angga lantas menyalakan ponsel itu dan mengecek. Benar apa yang dikatakan Sonia. Kuota internetnya sudah tak bersisa dan pulsanya hanya tersisa lima ratus. Ia mengembalikan lagi ponsel itu kepada pemiliknya.

Angga kemudian merogoh saku celananya dengan tangan, tempat ia menaruh ponselnya. Dengan setengah hati, Angga memberikan ponsel itu kepada Sonia. Baru saja tangan Sonia meraih, ia merasakan suatu telata yang aneh. Mengapa dia begitu cepat menyentuh ponselnya? Dia pasti berbohong.

Angga tidak jadi melepaskan ponselnya dari tangan. Mereka berdua sama-sama menggenggam ponsel itu.

Sonia mengernyit. "Mana ponsel lu? Sini."

"Kok, maksa, sih?" tanya Angga, juga mengernyit.

Sonia berusaha menarik ponsel itu lagi. Angga berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Ia berharap kalau ponselnya tidak jatuh ke bawah hingga meninggalkan goresan di sana. Apalagi rusak. Sangat buruk. Amit-amit.

Sonia akhirnya berhenti beraksi beberapa detik kemudian. Angga menghela napas lega. Ia pun sedikit melemaskan genggamannya pada ponsel. Sakit juga menahan serangan dari Sonia.

Tiba-tiba, tangan Sonia dengan cekatan mengelitik Angga di bagian perut. Sonia mengetahui kelemahan Angga dan Angga gagal mengantisipasinya. Angga pun hanya bisa tertawa geli dan ponselnya berhasil direbut Sonia dengan sangat mudah. Sonia lantas memberikan ponsel itu kepada Abel.

"Jawabannya ada di galeri foto."

Abel segera membuka menu galeri foto. Ketiga teman Sonia yang lain serempak mendekat. Sialan, rutuk Angga. Ia tidak menyadari kalau manusia yang bertanduk merah di dalam mobil bukan hanya Sonia semata.

"Clamidina?" tanya Abel.

Nama itu. Mendengarnya, Angga seketika menekur.

"Iya," jawab Sonia. "Foto gue--yang notabene teman dekatnya--bahkan jauh lebih sedikit daripada dia di sana."

Wajah Angga menjadi masam. Harus ke manakah wibawa ia taruh? Ganti pertanyaan. Itu tidak tepat. Yang benar: apakah wibawaku masih tersisa atau sudah hancur ditanduk mahluk-mahluk bercula di dalam mobil ini?

Angga menoleh ke arah Sonia. Sonia menatap Angga dengan bibir yang menyunggingkan senyum hahahaguesenangbangetbisangerjainluhahaha. Kekesalan Angga pun segera meruap; jumpalitan di dalam kepala dan hati. Sonia harus segera diberi pelajaran.

Mata Angga melirik ke arah papan elektronik penghitung waktu lampu lalu lintas. Tiga puluh detik lagi lampu baru akan berganti warna menjadi hijau. Masih ada waktu.

"Oh, gitu ya?" ucap Angga kepada Sonia dengan penuh tekanan. Tangannya pun segera mengacak-acak rambut Sonia. "Mmm? Mmm?"

Teman-teman Sonia sontak tertawa menyaksikan kejadian itu. Sonia setengah mati berusaha mengelak. Dia paling sebal kalau rambutnya tak keruan.

"Angga!"

Angga tidak mau mendengarkan pekik itu. Menurutnya, Sonia pantas diberi pelajaran. Itulah akibat dari senang mengusili orang. Mahkota kepala Sonia yang sering dia banggakan kini luluh lantak karena ulah tangan Angga.

Angga kembali melirik ke arah papan elektronik. Angka sepuluh tertera dan kian berkurang. Ia pun berhenti memainkan tangan di rambut Sonia.

Sonia menatap Angga dengan cemberut. Bibirnya terjungur, meratapi nasib rambutnya yang buruk. Tangannya lantas menyugar rambutnya dengan sia-sia. "Hu... rambut gue."

Angga tak mau menatapnya. Seraya tersenyum raja, ia berkata, "Biarin."

Lampu merah kemudian berubah menjadi hijau. Mobil Sonia pun kembali melaju di jalanan.

-----

Malam hari. Angga berbaring di atas tilam kamar kosnya sehabis bersih-bersih diri.

Ia mengambil ponselnya yang terletak di dekat bantal dan membuka galeri foto. Embus napas segera jebrol dari hidungnya. Clamidina. Dia begitu indah. Wanita terindah yang pernah Angga tahu. Jemarinya lantas menyapu-nyapu layar untuk melihat foto-foto Clamidina yang lain.

Ah, Clamidina. Dia selalu berhasil membawakan kenyamanan dan ketenangan bagi Angga. Seringkali, pikirannya yang kalut menjadi terjernihkan begitu saja dengan raut wajah Clamidina. Foto-foto Clamidina juga selalu membuatnya tidur nyenyak di malam hari. Terkadang, Clamidina jugalah yang mengantarkan rasa kantuk kepadanya ketika insomnia datang menyiksa. Angga tak pernah mengerti. Wajah Clamidina sudah seperti semacam obat baginya. Yang menguatkan. Yang menabahkan. Yang menyembuhkan.

Angga kemudian teringat akan sesuatu. Creative strategy; mata kuliahnya besok.

Benar. Ia akan bertemu dengan Clamidina.
 
Semoga ceritanya langgeng gan, biar dk jenuh semprot kebanyakan cerita cukload, perlu refresh. Di tunggu next ny gan..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd