Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761

BAGIAN 19
GILA


Tidak terasa sudah tiga bulan aku bekerja dikantor milik Pak Danang, dan selama itu aku tidak menemukan satu petunjukpun tentang kematian Intan ataupun Mas Hendra. Dikantor ini yang kudapat hanyalah kesibukan, sebagaimana orang yang sehari – harinya bekerja dikonsultan. Kelapangan, membuat laporan, setor kekantor dan akhir bulan gajian, hanya itu saja.

Dilapanganpun seperti tidak ada kendala yang berarti. Ketiga gudang yang misterius di desa utara, menjalankan kegiatannya sehari – hari tanpa merasa terganggu dengan proyek kami. Kegiatan kamipun juga tidak disentuh oleh mereka. Aneh banget.

Selain itu juga, aku tidak pernah melihat Satria datang kegudang itu lagi. Entah aku yang tidak pernah melihat waktu dia datang, atau memang dia sudah tidak pernah datang sama sekali.

Oh iya, PT. Bangun Kukuh Bersama milik Pak Danang, bertugas sebagai Konsultan pengawas untuk pekerjaan jalan ini. Sedangkan untuk kontraktor pelaksana, PT. Yang Penting Bisa Kerja.

Untuk pimpro pelaksanaan pekerjaan jalan, yang ditunjuk adalah Pak Doni. Aku mengenal beliau dengan baik selama dilapangan. Beliau juga memberikan tugas tambahan kepadaku dan Joko, untuk membuat laporan akhir dan gambar milik kontraktor. Tentu saja tugas itu sudah sepengetahuan Pak Jarot dan Pak Jaka.

Sekarang kembali lagi kepermasalahan kantor. Untuk gaji pertama kami dikantor Pak Danang, aku dan Joko mendapatkan masing – masing sebesar dua ratus lima puluh ribu. Gila, banyak banget itu.

Itupun hanya gaji pokok kami, belum ditambah dengan uang makan dan transportasi. Dalam sebulan aku dan Joko masing – masing mendapatkan tambahan seratus lima puluh ribu. Luar biasa.

Penghasilan mengamen kami, sebenarnya bisa saja dapatnya mendekati senilai itu dalam satu bulan. Tapi kami harus mengamen dari pagi sampai malam, itupun harus setiap hari dan dengan catatan harus ditempat keramaian. Bisa gak kuliah kalau begitu caranya.

Kalau bekerja dikantor Pak Danang ini, kami gak perlu seharian. Maksimal cukup tiga jam saja dilapangan, kami sudah mendapatkan hasil yang sangat luar biasa itu. Disisa waktunya kami bisa berkuliah, mengerjakan tugas, dan menyempatkan mengerjakan laporan harian proyek.

Selama tiga bulan inpun, aku dan Joko masih bisa menghendle semuanya dengan baik. Kami masih bisa menyeimbangkan antara jadwal kuliah dan pekerjaan. Entah bagaimana kalau semester depan atau depannya lagi. Semoga saja kami masih bisa menghendlenya terus menerus.

Untuk Kimba sendiri, kami sudah bisa melunasinya dibulan kedua. Uang tabungan kami untuk pembayaran semester depanpun, sudah aman. Luar biasakan.?

Apa perjalanan hidup kami akan datar dan berhasil seperti ini terus, sampai selesai kuliah.? Apa tidak ada ganjalan atau sandungan yang begitu berarti.? Semoga saja tidak. Semoga Sang Pencipta terus mencintai aku dan Joko, karena niat tulus kami yang ingin meraih impian ini.

Tapi bagaimana tentang mistery kematian Intan dan Mas Hendra, kalau kondisinya seperti ini terus.? Sudahlah, biarkan waktu yang akan menjawabnya. Aku yakin mistery itu cepat atau lambat, akan segera terungkap.

Sekarang kembali lagi dengan kehidupanku hari ini. Hari ini jadwal yang super padat sudah menanti aku dan Joko. Mulai persiapan untuk ujian akhir semester, sampai peninjauan hasil proyek pengerjaan jalan oleh dinas pemerintahan. Minggu kemarin proyek pengaspalan kami telah rampung dan hari ini akan diperiksa oleh dinas terkait.

Aku dan Joko sudah stanby dikantor mulai jam tujuh pagi, dengan setumpuk laporan dan gambar yang kami kerjakan selama ini.

Seluruh karyawan belum ada yang datang, kecuali penjaga kantor yang lagi bersih – bersih. Terus terang kami berdua sedikit tegang dengan pemeriksaan pekerjaan nanti, karena kami belum pernah menjalaninya. Semalampun kami berdua dibuat tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kami berdua takut kalau ada temuan – temuan dilaporan ataupun gambar, yang tidak sesuai dengan pengerjaan dilapangan. Walaupun sebenarnya kami sudah mengerjakan sebaik mungkin, tapi ketakutan itu pasti ada dan membayangi kami berdua.

Hiufftt, huuu.

“Nang njobo disek yo.” (Keluar dulu yo.) Ajakku kepada Joko.

“Ayolah, lambeku sepet.” (Ayolah, mulutku gak enak.) Ucap Joko dan kami berdua langsung keluar kantor dan berdiri didepan teras.

Aku dan Jokopun langsung membakar rokok masing – masing.

“Piye cok.?” (Gimana cok.) Tanya Joko seperti biasa ketika membuka obrolan, lalu dia menghisap rokoknya.

“Piye opone.?” (Gimana apanya.?) Tanyaku balik, lalu aku menghisap rokokku juga, sambil melihat kearah depan jalan sana.

“Piye engko cok.? Gak wedi lek ono temuan ta.?” (Gimana nanti cok.? Gak takut ada temuan kah.?) Tanya Joko dengan nada yang agak grogi.

“Temuan opo.? Nyantai aelah. Seng penting iku, awak dewe wes kerjo sesuai perencanaan.” (Temuan apa.? Santai ajalah. Yang penting itu, kita sudah kerja sesuai dengan perencanaan.) Jawabku yang kubuat setenang mungkin, walaupun sebenarnya aku juga agak tegang.

“Lambemu lek ngomong uenak cok. Koyok wong ngelak, terus diombeni TM. Ngelak’e ilang, kari mabok’e seng nyaduk. Assuu.” (Mulutmu kalau ngomong enak cok. Seperti orang yang haus, terus dikasih minum TM. Hausnya hilang, tinggal mabuknya yang nendang. Anjinngg) Gerutu Joko.

“Enak endi, mabuk TM opo mabuk cinta.?” (Enak mana, mabuk TM apa mabuk cinta.?) Tanyaku kepada Joko sambil memainkan kedua alis mataku.

“Maksudmu opo cok.?” (Maksudmu apa cok.?) Tanya Joko dengan herannya.

Akupun langsung mengkode Joko untuk melihat kearah jalan yang ada didepan kami sana. Terlihat sebuah angkot berhenti dan Mba Denok sedang membayar, lalu setelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah kami.


Denok


“Asuuu.” Maki Joko pelan dan dia terlihat salah tingkah.

Sahabatku ini memang jatuh cinta sekali dengan Mba Denok, tapi dia tidak berani mengucapkan kepada wanita pujaannya itu. Jangankan mengucapkan perasaannya. Bertemu dengan Mba Denok ketika dikantor ini saja, Joko hanya diam dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Sahabatku ini seperti hanya menjadi pengagum rahasia Mba Denok. Joko terlalu lemah dan pengecut dengan perasaannya sendiri.

“Lapo gak koen jak metu cok.?” (Kenapa gak kamu ajak keluar cok.?) Bisikku.

“Kate lapo dijak metu iku.?” (Mau apa diajak keluar itu.?) Bisik Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“Mangan cok, mosok kate koen jak neseng.” (Makan cok, masa mau kamu ajak buang air besar.) Ucapku dengan cueknya.

“Matamu.” Maki Joko Pelan dan Mba Denok sudah tidak jauh berjalan kearah kami, dengan senyuman yang mengambang dibibir manisnya.

“Manis cok.” Bisikku.

“Hem.” Jawab Joko singkat.

“Ngomong dewe opo kate tak omongi.?” (Ngomong sendiri apa mau aku omongkan.) Tanyaku kepadanya.

“Ngomong opo cok.?” Tanya Joko.

“Cinta.” Jawabku yang kubuat semerdu mungkin.

“Ra usah macem – macem koen cok.” (Ga usah macam – macam kamu cok.) Ucap Joko yang langsung melihat kearahku.

“Ngomong dewe opo kate tak omongi.?” (Ngomong sendiri apa mau aku omongkan.) Tanyaku lagi dan Mba Denok sudah tinggal beberapa langkah didepan kami.

“Assuu arek iki.” (Anjinngg anak ini.) Maki Joko dan aku hanya tersenyum saja.

“Hehehe.” Aku hanya tertawa pelan.

“Hey. Tumben kalian sudah dikantor pagi – pagi.” Ucap Mba Denok yang sudah berdiri dihadapan kami, dengan suaranya yang sangat merdu.

“Iya Mba, cuman cinta yang bisa buat kami seperti ini.” Ucapku dengan santainya.

“Cukk.” Gumam Joko pelan.

“Hem.” Ucap Mba Denok sambil melebarkan kedua matanya dan memiringkan kepalanya sedikit.

“Cinta pekerjaan Mba.” Ucapku.

“Oooo.” Ucap Mba Denok sambil menegakkan kepalanya, lalu tersenyum lagi.

“Hiuufff, huuu.” Joko menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Dia seperti lega mendengar ucapanku barusan.

Suasana langsung sedikit canggung, karena dua mahluk yang ada didekatku ini sama – sama terkurung dalam perasaan cintanya. Joko terlihat salah tingkah, sambil sesekali mencuri pandang kearah Mba Denok. Sedangkan Mba Denok melihat kearahku, tapi juga sesekali melirik kearah Joko.

Orang dua ini kenapa sih.? Mau saling melihat aja, kenapa harus malu – malu seperti ini.? Kenapa gak langsung saling menatap, siapa tau kata cinta langsung terucap. Kan mantap. Hehehe.

“Kalau cinta malu mengeluarkan celotehan, burung – burung akan berterbangan dengan kegelisahan.” Ucapku, lalu aku menghisap rokokku dengan cueknya.

“Ha.?” Mereka berdua langsung terkejut dan melihat kearahku.

“Burungnya itu loh, malu – malu terbangnya.” Ucapku sambil menunjuk kearah sepasang burung yang terbang diudara.

Merekapun langsung melihat kearah yang aku tunjuk.

“Kalau menurutku, burung – burung itu justru lagi kasmaran Mas.” Ucap Mba Denok lalu melihat kearahku.

“Mungkin sang pejantan sudah mengutarakan isi hatinya, dan sibetina melayang dengan hati yang berbunga – bunga.” Ucap Mba Denok sambil melihatku lalu melirik kearah Joko.

“Mungkin sih. Tapi ngomong – ngomong, sang pejantan yang ada disebelahku ini juga membicarakan betina yang baru berdiri dihadapanku.” Ucapku sambil melirik kearah Joko lalu melihat kearah Mba Denok lagi.

“Assuu.” Gerutu Joko pelan.

“Maksudnya.?” Tanya Mba Denok dengan herannya.

“Kita tau sama taulah Mba, masa harus dipertegas sih.?” Jawabku.

“Jadi Mas Gilang nyamakan aku dan Mas Joko dengan burung – burung itu.?” Tanya Mba Denok.

“Bukan tentang fisik mba, tapi tentang perasaan burung - burung yang lagi kasmaran tadi.” Jawabku.

“Oooo. Emang tadi dia ngomong apa.?” Tanya Mba Denok kepadaku, sambil melirik kearah Joko lagi.

“Emang kenapa Mba.?” Tantaku balik dengan santainya.

“Tinggal jawab aja kok susah banget sih.?” Ucap Mba Denok dan suaranya sekarang terdengar sedikit ketus.

“Apa ya.?” Ucapku lalu tersenyum.

“Gak usah macem – macem.” Gerutu Joko pelan, sambil menyenggol sikutku dengan sikutnya.

“Ngomongin apa.?” Tanya Mba Denok lagi sambil melipatkan kedua tangannya didada.

“Kata teman saya ini, Mba kelihatan makin cantik aja setiap hari.” Jawabku dan Joko langsung menoleh kearahku sambil melotot.

“Bajingaan.” Maki Joko.

“Benar ya Mas.?” Tanya Mba Denok ke Joko.

“Anu Mba, itu anu.” Ucap Joko yang langsung grogi.

“Berarti Mas Gilang bohong ya.?” Tanya Mba Denok.

“Eng, eng, engak Mba.” Ucap Joko terbata.

“Terus kenapa tadi memaki.?” Tanya Mba Denok ke Joko.

“Anu Mba, itu anu.” Jawab Joko lagi.

“Kenapa anunya.?” Tanya Mba Denok sambil membenarkan kacamata yang dipakainya.

“Anunya Joko, pengen berduaan sama anunya Mba Denok.” Sahutku.

“Jiancok.” Maki Joko kearahku.

“Maksudnya.?” Tanya Mba Denok, sambil mengerutkan kedua alisnya.

“Maksudnya itu, Joko mau kenal Mba secara dekat. Joko kepengen ngajak Mba makan berdua saja, waktu gajian pertama bulan lalu. Tapi dia malu ngomongnya.” Ucapku menjelaskan.

“Ooo.” Ucap Mba Denok.

“Asuuu.” Gumam Joko pelan lalu menunduk.

Mba Denok lalu berjalan melewati kami dan ketika dia memegang gagang pintu kantor, Mba Denok melihat kearahku.

“Katanya anak teknik itu nyalinya besar, katanya anak yang biasa hidup dijalan itu nekat, dan katanya anak yang biasa mandiri itu berani. Tapi kenapa temanmu itu pengecut sih.? Ngomong seperti itu saja, harus disampaikan orang lain.” Ucap Mba Denok sambil melihat kearahku, lalu masuk kedalam kantor dengan cueknya.

“Bajingann.” Ucap Joko sambil memeteng leherku.

“Arrgghh. Opo ae seh.? Koyok arek cilik ae.” (Arrgghh. Apa sih.? kayak anak kecil aja.) Ucapku sambil melepaskan petengan Joko.

“Koen iku seng koyok arek cilik cok. Lapo koen ngomong ngono maeng.? Nggatheli.” (Kamu itu yang kayak anak kecil cok. Kenapa kamu ngomong begitu tadi.? Menjengkelkan.) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Bener gak seng tak omongi.?” (Benar gak yang ku ucapkan.?) Tanyaku sambil menatap kearah matanya.

“Kapan aku ngomong ngono cok.?” (Kapan aku ngomong begitu cok.?) Tanya Joko balik.

“Bener gak seng tak omongi.?” (Benar gak yang ku ucapkan.?) Tanyaku lagi.

“Yo moso ngono ngomomonge.? Terlalu jujur koen cok.” (Ya masa begitu ngomongnya.? Terlalu jujur kamu cok.) Ucap Joko yang mulai menurun nada bicaranya.

“Bener gak seng tak omongi.?” (Benar gak yang ku ucapkan.?) Tanyaku sekali lagi.

“Yo, yo, tapi.” Ucapnya terbata dan terpotong.

“Assuuu. Bener seng diomongi Mba Denok mau. Awakmu iku arek teknik seng biasa urip nde djalan, tapi gak nduwe nyali.” (Anjinngg. Bener yang diomongin Mba Denok tadi. Kamu itu anak teknik yang biasa hidup dijalan, tapi gak punya nyali.) Omelku.

“Ini bukan masalah anak teknik atau anak yang biasa hidup dijalan cok. Ini masalah hati. Kamu tau hati gak.? Hati itu keras atau lembut.? Kalau hati itu keras sekeras hidup dijalan, sudah kubantai hatinya Denok dari kemarin – kemarin. Tapi gak gitukan.? Sekeras apapun kehidupanmu, hati ini tetap lembut cok.” Ucap Joko dengan sangat serius sekali.

“Jangankan dikasarin pakai fisik, pakai kata – kata aja, hati itu mudah rapuh. Ngerti gak kamu.?” Ucap Joko lagi sambil melotot.

Kata – kata Joko inipun serasa menusuk jantungku dan aku hanya terdiam mendengar ucapannya. Akupun langsung teringat dengan Intan yang ada dikosan. Memang sih hubungan kami sudah membaik beberapa bulan ini, tapi tetap saja tidak ada senyum dari Intan buatku. Apa mungkin karena aku belum ikhlas dengan cintaku.? Atau karena aku terlalu sering menyindir dia dengan cintaku.? Apa ikhlas ini hanya keluar dari mulutku, dengan embel – embel kata menikmati.? Kalau aku menikmatinya, harusnya aku diam dan tidak mengumbarnya dengan kata – kata. Apa yang aku keluarkan dari mulutku, pasti menyakiti hati Intan. Jiancokk.

“Nggedabrus.” (Omong kosong) Ucapku sambil mendekatkan wajahku kearah wajah Joko, untuk menutupi kegelisahan hatiku. Aku lalu berbalik dan berjalan masuk kedalam kantor.

“Jiancok. Koen iku arek opo telek.? Diarani telek, kok urip. Diarani arek kok cangkemmu mambu. Assuu.” (Jiancok. Kamu itu orang atau kotoran.? Dibilang kotoran kok hidup.? Dibilang hidup kok bau. Anjinngg.) Omel Joko, tapi aku cuek saja sambil terus berjalan kearah ruangan pengawasan lagi.

“Oooo, bajingaan.” Omel Joko lagi, sambil mengikutiku dibelakangku.

Kami berduapun langsung masuk kedalam ruang pengawasan lagi, lalu duduk dikursi masing – masing. Kembali aku membolak – balik laporan, untuk membaca laporan yang aku buat. Jokopun juga sama, dia membuka gambarnya dan memelototi gambar perencanaan untuk dicocokkan dengan gambar lapangan yang dia buat.

Terlihat Joko sangat gelisah sekali. Entah karena pemeriksaan nanti atau karena ucapan Mba Denok barusan. Tapi yang jelas, dia seperti hidup segan mati tak mau. Assuu.

Beberapa saat kemudian, karyawan - karyawan mulai berdatangan diruangan lain, Sedangkan diruangan kami ini, Pak jarot belum datang juga.

“Suwine Pak Jarot iki.? Jam piro kate nang lapangan.?” (Lamanya Pak Jarot ini.? Jam berapa mau kelapangan.?) Gerutu Joko.

Kelihatannya Joko masih belum puas dengan pembahasan masalah cinta tadi. Mungkin kalau bukan aku lawan bicaranya, Joko berdebatnya bukan pakai mulut aja, tapi juga pakai tangannya. Hehehe.

“Santai ae cok. Pak Jarot wes biasa ngadepi masalah koyok ngene iki.” (Santai aja cok. Pak Jarot sudah biasa menghadapi masalah seperti ini.) Jawabku.

“Hem.” Jawab Joko sambil tetap melihat gambarnya.

“Pak Jarot mana ya.?” Tanya seseorang dari arah pintu ruangan kami.

Aku dan Joko langsung melihat kearah orang yang bersuara tadi.

Seorang pemuda berdiri sambil menyandarkan pundaknya dipintu, dengan wajah yang terlihat angkuh sekali. Akupun terkejut melihat pemuda ini, karena aku pernah bertemu dengannya dua kali.

Cok, ngapain orang ini ada disini.? Apa dia orang dinas yang akan kelapangan bersama kami.? Tapi gak mungkin, pakaiannya terlihat santai dan bukan seragam dinas. Apa dia mau mendaftar kerja dikantor ini.? Gak ah, itu lebih gak mungkin. Karena dia seperti mengenal dekat Pak Jarot. Mungkin dia ini salah satu mitra bisnis kantor ini.

Pemuda itu melihat kearahku dan mencoba mengingatku. Sementara Joko yang butuh pelampiasan hasil perdebatannya dengan aku, langsung terlihat emosi. Joko seperti mengingat pemuda ini dan dia menyimpan dendam, karena pemuda ini dianggapnya menyakiti perasaanku.

“Eh, kamu yang hari itu ribut sama pacarku Gendhis di rumah makan sana kan.? Ngapain kamu disini.?” Tanyanya sambil menunjuk kearah wajahku, dan wajahnya langsung terlihat emosi.

Rupanya pemuda ini masih mengingat aku. Pemuda ini adalah Dani, pacar dari wanita yang sudah mengecewakan aku, Gendhis.

“Emang kenapa kamu tanya begitu.?” Tanya Joko yang langsung emosi, karena Dani menunjuk wajahku.

“Oh, kamu pengamen yang memaki aku dan Gendhis malam itu ya.?” Tanya Dani dan dia melotot kearah Joko.

“Cok, terus koen kate lapo.?” (Cok, terus kamu mau apa.?) Ucap Joko yang langsung berdiri dengan emosinya.

“Jok. Jok.” Ucapku yang juga berdiri dan menahan tubuh Joko.

“Sombong sekali ucapanmu. Pasti kalian karyawan baru kan.? Pemangen seperti kalian itu bisa apa dikantor ini.? Pasti cuman berat – beratin keuangan kantor aja.” Ucap Dani yang sangat meremehkan kami berdua.

“Kamu gak nyadar posisimu saat ini.? Kalian berdua diterima dikantor ini, pasti karena tampang kalian yang memelas. Kalian pasti gak punya skill sama sekali kan.? Pengamen jalanan aja, sok banget.” Ucap Dani yang sekarang membuat telingaku panas mendengarnya. Tapi aku tetap mencoba menahan diri dan juga menahan Joko, supaya tidak membuat keributan dikantor ini.

“Lambene arek iki cok. kate tak pancal ae rasana.” (Mulutnya anak ini cok. Mau kuinjak aja rasanya.) Ucap Joko dengan geregetannya.

“Jok, tenang cok, tenang.” Ucapku kepada Joko.

“Assuuu.” Ucap Joko sambil melirik kearahku.

“Dan, mending kamu keluar aja sekarang.” Ucapku dengan nada yang kubuat sesopan mungkin kepada Dani.

“Bangsat. Gak tau diri sekali kamu ini. Kamu itu karyawan disini, berani – beraninya ngusir anaknya pemilik kantor ini.” Ucap Dani sambil melotot dan menunjuk wajah kami berdua bergantian.

Cok. Dani ini anaknya Pak Danang.? Bajingann.

“Aku itu anaknya bosmu. Dasar orang miskin gak tau diri.” Ucap Dani yang makin emosi saja.

“Jiangkre’i. Lapo lek awakmu anak’e bos.? Koen seng nduwe kantor iki ta cok.? Seng nduwe kantor iki Bapakmu cok, Bapakmu, dudu awakmu. Seng mbayari gaji yo duduk awakmu, tapi kantor iki. Lek gak onok awak – awak ngene, koen dadi opo cok.? Kate ngawasi proyek dewe ta.? Kate nggawe laporan dewe.? Kate nggambar dewe.? Kate nyupiri Bapakmu dewe.? Kate ngelako’no kantor iki dewe.? Kari ngempeng mbokmu ae, sombongmu ora umum. Raimu iku loh. lek gak nde kantor, tak tungkak raimu iku. Jiancok.” (Kurang ajar. Kenapa kalau kamu anaknya bos.? Kamu yang punya kantor inikah cok.? Yang punya kantor ini Bapakmu cok, Bapakmu, bukan kamu. Yang bayarin gaji ya bukan kamu, tapi kantor ini. Kalau gak ada kami – kami ini, kamu jadi apa cok.? Mau ngawasin proyek sendirian kah.? Mau buat laporan sendiri.? Mau gambar sendiri.? Mau sopirin Bapakmu sendiri.? Mau jalankan kantor ini sendiri.? Tinggal nyusu sama Ibumu aja, sombongmu gak karuan. Wajahmu itu loh. Kalau bukan dikantor, sudah kuinjak mukamu itu. Jiancok.) Ucap Joko dengan emosinya, sampai Dani terkejut dan memucat.

“Jok, Jok.” Ucapku yang terus menenangkan Joko.

Beberapa karyawanpun, tampak berdiri didepan ruangan pengawasan ini dan melihat kearah kami.

“Gak telek – telek’an cok. Awak dewe kerjo nde kene, dibayar gak digawe nyek – nyek’an cok. Bajingan arek iku.” (Gak taik – taik an cok. Kita kerja disini, dibayar bukan untuk dihina. Bajingan anak itu.) Ucap Joko sambil menunjuk wajah Dani yang sekarang ketakutan, melihat Joko yang sangat emosi seperti ini.

“Iyo Jok, iyo. Tenang sek ta lah.” (Iya Jok, iya. tenang dulul ah.) Ucapku dengan nada yang agak meninggi dan Jokopun langsung menggelengkan kepalanya, dengan mata yang terlihat masih emosi.

“Kamu Dan, saya gak perduli statusmu sebagai apa dikantor ini. Tapi kalau kamu terus menghinaku dan sahabatku, kubantai kamu diruangan ini.” Ucapku sambil melihat kearahnya dengan tatapan tajam.

“Kalian sudah berbuat salah sama aku. tunggu akibatnya nanti ya.” Ucap Dani, lalu dia pergi dari ruangan kami.

Para karyawan yang ada didepan pintu kamipun, langsung membubarkan diri.

“Jiancok.” Maki Joko sambil membalikan tubuhnya, lalu dia menjambak rambutnya dengan kuat.

Dia terlihat jengkel karena emosinya belum terlampiaskan.

“Tenang cok, tenang.” Ucapku dan Joko berdiri dengan memunggungi aku.

“Gak iso cok, gak iso. Aku wes emosi ambe arek iku, ket awak dewe ketemu nde kafe bengi iku.” (Gak bisa cok, gak bisa. Aku sudah emosi sama anak itu, semenjak kita ketemu dicafe malam itu.) Ucap Joko dan dia tetap tidak melihat kearahku.

“Iyo, ngerti aku cok. Saiki tenangno pikirmu.” (Iya, ngerti aku cok. Sekarang tenangkan pikiranmu.) Ucapku sambil menepuk punggungnya.

“Matamu iku tenang. Aku gak iso tenang, lek gak mancal cangkeme arek iku.” (Matamu itu tenang. Aku gak bisa tenang, kalau gak injak mulutnya anak itu.) Ucap Joko yang emosinya belum mereda.

“Gak po – po gak kerjo ndek kene. Gak patheken aku.” (Gak apa – apa gak kerja disini. Gak sakit aku.) Ucap Joko yang makin emosi saja.

Bajingan. Joko kalau sudah emosi seperti ini, susah banget ditenangkan. Mulutnya pasti kasar banget, sebelum emosinya terlampiaskan.

“Mas Jo.” Tiba – tiba terdengar suara lembut dari arah pintu dibelakang kami.

Aku dan Jokopun langsung berbalik dan melihat kearah pintu ruangan.

Mba Denok berdiri sambil menatap kearah Joko dan dia memberikan senyuman termanisnya, kepada sahabatku yang lagi dikuasai emosi ini.

“Mba Denok.” Ucap Joko dengan suara yang pelan dan tidak terdengar lagi, emosinya yang menggila.

“Nanti kalau sudah dari lapangan, jemputin Denok ya. Denok mau pulang bareng sama Mas Jo.” Ucap Mba Denok.

“I, i, iya Mba.” Ucap Joko dengan terbata dan emosinya benar – benar hilang, ketika mendengar kata Mas Jo, keluar dari bibir manis wanita pujaannya. Jiancok..

“Terimakasih.” Ucap Mba Denok lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah kearah ruangannya.

Akupun langsung membalikkan tubuhku dan melihat kearah wajah Joko. Wajahnya yang tadi emosi, sekarang terbengong dan wajahnya terlihat bahagia sekali. Disekitar kepalanya pun, seperti dikelilingi bayangan – bayangan yang berbentuk love. Bajingan.

“Mas Jo.” Panggilku dengan suara yang lembut dan mengejutkannya, lalu dia melihat kearahku.

“Gathell.” Makiku lalu aku berjalan kearah mejaku lalu duduk dengan santainya.

“Matamu.” Gerutu Joko.

“Ayo kelapangan.” Ucap Pak Jarot yang tiba – tiba muncul didepan ruangan kami.

“Oh iya pak.” Ucapku yang terkejut dan langsung berdiri. Aku lalu mengemasi laporan yang akan dibawa kelapangan.

Pak Jarotpun langsung melangkah pergi dengan santainya.

Cok, sejak kapak Pak Jarot sampai dikantor ini.? Apa beliau mendengar keributan tadi.? Tapi kalau mendengar, kenapa tidak langsung menceramahi kami berdua.? Ucapan – ucapan yang keluar dari mulutku dan juga Joko, pasti sangat kasar dan itu pelanggaran yang keras. Apalagi kata – kata tadi untuk anak pemilik kantor ini. Harusnya kami bisa langsung dipecat.

“Terus piye iki cok.?” (Terus gimana cok.?) Tanya Joko yang juga menyimpuni gambar yang akan dibawa.

“Cok. Piye - piye ae ket mau.” (Cok. gimana - gimana aja dari tadi.) Jawabku sambil membawa laporan dan berjalan kearah pintu.

“Assuu. Mari teko lapangan engko, aku langsung mengundurkan diri.” (Anjinngg, habis dari lapangan nanti, aku langsung mengundurkan diri.) Ucap Joko yang berjalan kearahku.

Astaga. Terus harus bagaimana ini.? Bukannya aku tidak mau berhenti dari kantor ini. Kalau masalah biaya kuliah dan kehidupan sehari – hari, kami masih bisa mengamen lagi. Tapi kami belum menemukan apa – apa tentang mistery kematian Intan dan Mas Hendra.

Harusnya dengan adanya Dani tadi, mungkin sudah ada jalan menuju kearah sana. Tapi pertemuan yang singkat tadi, malah mengacaukan segalanya.

“Mengundurkan diri dari apa.?” Tanyaku yang sebenarnya tau arah pembicaraan Joko.

“Kerjoan nde kantor iki lah.” (Kerjaan di kantor ini lah.) Jawab Joko.

“Yo ngomongo nang Mba Denok, ojo ngomong nang aku.” (Ya ngomong sama Mba Denok, jangan ngomong sama aku.) Ucapku.

“Urusane nang Mba Denok opo cok.? Aku mlebu kene iku bareng awakmu.” (Urusannya ke Mbak Denok apa cok.? Aku masuk kantor ini bareng sama kamu.) Ucap Joko.

“Ngomong Mba Denok, engko ben disampekno nang Pak Danang.” (Ngomong sama Mba Denok, nanti biar disampaikan ke Pak Danang.) Ucapku dan kami berdua sudah berdiri didepan kantor.

“Kalian bareng naik mobil ini kan.?” Tanya Pak Jarot yang berdiri didekat mobil.

“Saya naik kimba aja Pak.” Jawabku.

“Mau hujan loh.” Ucap Pak Jarot sambil menunjuk kearah desa utara, yang diselimuti awan tebal.

“Cok. disini panas, kok disana mendung.?” Ucap Joko.

“Gak apa – apa Pak, kami mau naik kimba aja.” Ucapku sambil melirik kearah Joko.

Joko pun paham dengan arti lirikanku.

“Iya Pak, kalau hujan ya kami mandi hujan. Hehehe.” Sahut Joko.

“Ya sudah, terserah. Laporan sama tustelnya masukan kedalam mobil.” Ucap Pak Jarot.

“Siap Pak.” Ucapku lalu aku dan Joko memasukan dokumennya kedalam mobil, beserta tas kami. Setelah itu kami berdua kelokasi proyek menggunakan kimba.

Hiufftt, huuu.

Cok, setelah ketenangan selama beberapa bulan yang kami rasakan, hari ini semua langsung berantakan gara – gara kemunculan mahluk yang bernama Dani. Seorang anak pemilik konsultan tempat aku bekerja dan aku baru mengetahuinya.

Gila, kemana aja mahluk satu itu dan kenapa baru sekarang muncul dikantor Bapaknya.? Atau dia sering kekantor tapi kami gak pernah bertemu, dan hari ini baru bertemunya.

Terus sekarang aku harus bagaimana.? Apa aku berhenti juga dari kantor ini, seperti Joko.? Enggak, enggak boleh aku berhenti dari kantor Pak Danang secepat ini. Aku harus bertahan demi Intan. Mungkin ini maksud Mas Pandu hari itu, kalau Dani akan menjadi pembuka jalan menuju kearah kematian Intan.

Terus bagaimana dengan Joko.? Ahh, biarlah kalau dia mau berhenti. Aku tidak mau membebaninya dengan masalahku. Maafkan aku sobat, maafkan kali ini kalau kita tidak bisa sejalan. Aku harus menyelesaikan ini sampai tuntas.

“Hiufftt, huuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, sambil terus menarik gas kimba kearah desa utara.

Trenteng, teng, teng, teng.

Awan tebal sudah berada diatas kami, dan perlahan rintik hujan mulai turun membasahi kepala kami yang panas ini.

“Piye cok.?” (Gimana cok.?) lagi – lagi Joko Joko membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang sama.

“Opone.?” (Apanya.?) Tanyaku.

“Leren ta.? udan iki loh.” (Berhentikah.? Hujan ini loh.) Ucap Joko

“Ra usah. Engko awak dewe malah dienteni.” (Ga usah, nanti kita malah ditunggu.) Jawabku.

“Yo wes.” (Ya sudah.) Ucap Joko.

Hujan pun semakin deras dan aku tetap memacu kimba, menembus hujan yang deras ini.

“Piye cok.?” (Gimana cok.?) Tanya Joko lagi, sambil mendekatkan mulutnya ditelinga kananku.

“Emboh, sak karebmu.” (Gak tau, terserah kamu.) Jawabku.

“Sakarebku piye.? Awakmu paham pertanyaanku ta.?” (Terserah gimana.? Kamu paham pertanyaanku kah.?) Tanya Joko lagi.

“Gak ngerti cok. awakmu iku ket mau piye – piye ae. Bajingaann.” (Gak ngerti cok. Kamu itu dari tadi gimana – gimana aja. Bajingaann.) Omelku lalu aku menyapu wajahku dengan telapak tangan kananku.

“Assuu. Aku kate leren kerjo cok. Piye menurutmu.?” (Anjingg. Aku mau berhenti kerja cok. Gimana menurutmu.?) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Leren yo lerenno cok. Lapo koen muring – muring nang aku.?” (Berhenti ya berhentilah cok. Kenapa kamu marah – marah sama aku.?) Ucapku dan kubuat sesantai mungkin.

“Koen ngono cok. Gak abot ta, kerjo gak ono aku.?” (Kamu gitu cok. Gak berat kah, kerja ga ada aku.?) Ucap Joko sambil melingkarkan tangannya diperutku.

“Cok, njijik’i.” (Cok, menjijikan.) Ucapku sambil menggoyangkan tubuhku kekanan dan kekiri.

“Bajingan.” Ucap Joko sambil melepaskan rangkulannya.

Kami lalu diam beberapa saat, sambil menikmati hujan yang deras ini. Air hujan dan hawa dingin kota ini, menyelimuti tubuhku yang basah kuyub ini.

Trenteng, teng, teng, teng.

“Saranku, awakmu engko metu ae disek karo Mba Denok. Maringono terserah awakmu, kate leren opo lanjut kerjo nang kantor.” (Saranku, kamu nanti keluar aja dulu sama Mba Denok. Setelah itu terserah kamu, mau berhenti apa lanjut kerja di kantor.) Ucapku.

“Abot cok, abot.” (Berat cok, berat.) Jawab Joko.

“Lek abot, ojo disunggi. Ditumpakno kimba ae.” (Kalau berat, jangan dipikul. Dinaikkan kimba aja.) Ucapku.

“Maksudmu opo seh.?” (Maksudmu apa sih.?) Tanya Joko dengan bingungnya.

“Jaremu Mba Denok abot, yo tumpakno kimba iki loh.” (Katamu Mba Denok berat, ya naikan kimba ini loh.) Jawabku.

“Jiancok. Kene’ udan otekmu kok kempel ngono cok.? Maksudku iku dudu Mba Denok seng abot, tapi masalah iki seng abot. Lek aku ngomong nang Mba Denok, terus ga diolehi leren piye.?” (Jiancok. Kena hujan kok otakmu menggumpal gitu cok.? Maksudku itu bukan Mba Denok yang berat, tapi masalah ini yang berat. Kalau aku ngomong sama Mba Denok, terus dia ga ngijinin berhenti gimana.?) Tanya Joko yang kebingungan.

“Terserah Mas Jo kalau gitu.” Ucapku mengejeknya, dengan panggilan yang diucapkan Mba Denok tadi.

“Kirek.” (Anjingg.) Gerutu Joko dan terdengar dari nada suaranya, dia seperti malu tapi suka dengan panggilan itu.

“Gak usah seneng ngono koen cok. Awakmu gak ngerti, Mba Denok mari nyelok ngono iku, de’e langsung gumoh cok.” (Gak usah senang gitu kamu cok. Kamu gak tau, Mba Denok habis manggil begitu itu, dia langsung muntah.) Ucapku yang terus mengejeknya.

Plak.

“Cokk.” Ucap Joko sambil memukul bagian belakang helm yang kukenakan.

“HAHAHAHA.” Aku tertawa keras, sampai air hujan masuk kedalam mulutku.

“Gathel.” Maki Joko lagi dan kamipun sampai digerbang desa utara.

Kimba terus melaju dijalan yang mulus ini, sampai melewati gudang satu. Dan pandanganku langsung tertuju pada seorang pemuda, yang berteduh didepan gudang satu bersama teman – temannya.

Cok. itu Satria. Kenapa lagi dia ada disitu.? Bajingaann.

Akupun tetap menarik gas kimba, sampai melewati gudang dua dan gudang tiga. Aku takut terlambat dipemeriksaan ini, makanya aku tidak berhenti digudang satu tadi. Dan ketika sampai didereksi keet, kantor dilapangan itu tampak terkunci dan tidak ada orang. Mobil Pak Jarotpun juga tidak ada.

“Kok sepi.?” Ucap Joko.

“Paling wong – wong iku jek nde djalan.” (Paling orang – orang itu masih dijalan.) Ucapku sambil memutarkan kimba, kearah jalan keluar desa.

“Terus kate nangdi iki.?” (Terus mau kemana ini.?) Tanya Joko.

“Nang ngarep.” (Kedepan.) Ucapku lalu,

Kletek. Trenteng, teng, teng, teng.

Aku menjalankan kimba kearah gudang satu dan kondisi disini masih hujan deras.

“Cok, cok, cok. Lapo rene.?” (Cok, cok, cok. kenapa kesini.?) Tanya Joko ketika aku mengarahkan kimba kearah jalan masuk gudang satu.

“Ngiyup dilut.” (Berteduh sebentar.) Jawabku sambil menghentikan kimba dihalaman gudang satu.

Belasan orang yang berteduh diemperan gudang itupun, langsung melihat kearah kami dengan tatapan tajam.

“Awak iki wes kebes ngene cok, lapo ngiyup.? Ngiyupe nde kene maneh, nggolek perkoro koen cok.” (Kita ini sudah basah kuyub cok, kenapa berteduh.? Berteduh disini lagi, cari masalah kamu cok.) Ucap Joko pelan.

“Mudun cok.” (Turun cuk.) Ucapku.

“Assuu.” Maki Joko sambil turun dari kimba.

Aku lalu menstandartkan kimba ditengah hujan yang deras ini, lalu berjalan kearah emperan gudang satu. Tatapan mereka semakin tidak bersahabat dan salah satu dari mereka langsung menghadangku.

“Mau apa kamu kesini.?” Tanya Orang itu dengan nada yang sangat tidak suka sekali.

“Berteduh Mas.” Jawabku lalu aku tersenyum dan Joko langsung berdiri disampingku.

Aku lalu melirik kearah Satria yang sedang menikmati rokoknya. Satria tampak dikelilingi orang – orang yang usianya jauh diatasnya. Dia terlihat tenang dan tidak canggung sama sekali. Gila juga pergaulan anak ini.

“Kamu tau atau tidak, tentang kesepakatan kami dengan bosmu.?” Tanya orang itu dan aku langsung menatap matanya.

“Saya cuman mau berteduh mas, saya gak mau mengganggu siapapun disini.” Ucapku dengan tenangnya.

“Begal.” Panggil seseorang dibelakang sana.

Orang yang berdiri dihadapanku inipun, langsung membalikkan tubuhnya dan melihat kearah orang yang memanggilnya itu.

“Kenapa Ndes.?” Tanya orang yang bernama Begal.

“Biarkan aja dia.” Ucap orang yang dipanggil Ndes itu.

Begal langsung menggelengkan kepalanya dan melihat kearahku.

“Kalau sampai ada sedikit saja gerakan yang mencurigakan, aku sendiri yang bantai kamu.” Ucap Begal kepadaku dan aku hanya tersenyum saja.

“Hehehe.” Terdengar Joko tertawa pelan.

“Kenapa kamu tertawa.? Kamu kira aku main – main.?” Tanya Begal sambil menunjuk kearah Joko.

Joko langsung melangkah kearah Begal dengan ekspresi wajah yang berubah sedikit emosi.

Tap.

Aku menahan tubuh Joko sambil menggelengkan kepalaku pelan.

“Aku cuman mau minta maaf sama Mas ganteng ini. Gak mungkin aku mau mencari gara – gara.” Ucap Joko sambil melihatku lalu melirik kearah Begal.

Terdengar ada penekanan kata yang diucapkan Joko dan seperti sedang menahan emosinya.

“Begal.” Panggil orang yang bernama Ndes tadi.

“Iya Ndes, Gondes.” Ucap Begal kepada Gondes, tapi dia menatap tajam kearah Joko.

Beberapa saat kemudian, Begal langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah Gondes. Mereka berdua dan diikuti beberapa orang lagi, masuk kedalam gudang satu. Sementara Satria masih diemperan gudang, bersama beberapa orang yang berwajah sangar.

“Huuu.” Ucapku yang kedinginan, sambil berjalan kearah Satria.

Aku dan Joko lalu berdiri didekat sekumpulan orang itu dengan santainya. Kalau aku lihat dari tempatku berdiri sekarang, sekumpulan orang ini seperti ada masalah tapi mereka tidak membahasnya. Mereka semua diam dan saling memberi kode karena kehadiranku didekat mereka.

“Cok, rokokku teles.” (Cok, rokokku basah.) Ucapku sambil memegang bungkusan rokokku yang basah, lalu membuangnya.

“Asuu.” Maki Joko yang tidak membawa rokok.

“Sat. Minta rokokmu dong.” Ucapku ke Satria dan dia langsung melihatku dengan ekspresi yang terkejut.

Teman – temannyapun juga terkejut, karena aku mengenal Satria.

“Ada rokokmu gak.?” Tanyaku lagi.

Teman – temannya langsung melihat kearah Satria.

“Urusan kita belum selesai.” Ucap salah satu orang ke Satria, setelah itu mereka semua masuk kedalam gudang, meninggalkan Satria bersama aku dan Joko.

“Jiancok.” Gumam Satria pelan, lalu dia menunduk sebentar dan menghisap rokoknya lagi.

“Sat.” Panggilku dan dia langsung melihatku.

Cuukkk, mengerikan sekali tatapan anak ini. Walaupun sepertinya dia baru saja ada masalah entah apa itu, tatapannya tidak terlihat takut sedikitpun. Gila. Anak seusia dia, bermasalah di sarang preman seperti ini.? Luar biasa.

“Sampean ini siapa sih.? Sok kenal banget sama aku.?” Tanya Satria.

“Aku itu butuh rokokmu, bukan pertanyaanmu.” Jawabku.

Satria langsung tersenyum dengan sinisnya, lalu dia mengeluarkan bungkusan rokoknya dan menyerahkan kepadaku. Aku mengambilnya sebatang, lalu menyerahkan bungkusan rokok ini kepada Joko.

“Ngapain kamu disini.?” Tanyaku lalu aku membakar rokok yang menyelip dibibirku ini.

“Selain sok kenal, sampean itu mau tau aja urusan orang lain.” Ucap Satria sambil mengambil bungkusan rokok yang diserahkan Joko.

“Kalau kami gak kenal Ayahmu, kami akan singgah ditempat ini.” Sahut Joko dan Satria langsung mengerutkan kedua alisnya.

“Oh iya, sampean berdua ini yang ngamen dirumah saya beberapa bulan yang lalu ya.?” Tanya Satria yang rupanya mengingat kami berdua.

“Sudahlah itu gak penting. Yang penting itu, kenapa kamu ada disini.?” Tanyaku, lalu aku menghisap rokokku.

“Pertanyaan sampean itu malah gak penting bagi saya. Sampean gak perlu tau urusan saya.” Ucap Satria dengan wajah yang santai, tapi penekanan kata sangat tegas.

“Pertanyaanku ini cuman mewakili perasaan seorang Ayah, yang sangat menyanyangi anaknya.” Jawabku.

“Ayahku itu memberikan aku kebebasan dan gak mengekang aku. Apalagi bertanya dengan pertanyaan – pertanyaan gak penting, seperti yang sampean tanyakan tadi.” Ucap Satria sambil memalingkan wajahnya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Seorang Ayah itu jarang meluapkan kegelisahan lewat perkataan. Bahasa tubuh dan tatapan mata seorang Ayah, harusnya membuat kita lebih peka sebagai anak. Jangan hanya karena sebuah kata kebebasan, kita membuat Ayah meratap ketika beliau lagi menyendiri.” Ucapku dan Joko hanya tertawa dengan sinisnya.

Satria langsung melirikku dengan tajam dan aku langsung menghisap rokokku lagi.

“Aku tau darah muda itu darah yang panas, dan aku tau juga kalau itu bagian dari pencarian jati diri. Tapi bukan berarti semua itu tidak ada batasan – batasannya Sat. Batasan dalam pencarian jati diri itu, bisa dari kepercayaan dan harapan yang diletakkan dipundak kita. Mungkin kamu gak sadar akan hal itu, tapi jangan sampai air mata seorang Ayah yang akan menyadarkannya.” Ucapku.

“Jangan sok bijak menasehati aku Mas. Kamu gak tau tentang kehidupanku.” Ucap Satria dan tatapan matanya sekarang sangat tajam sekali kearahku.

“Aku memang gak tau bagaimana tentang kehidupanmu dan jalan mana yang kamu lalui. Tapi kamu berdiri ditempat ini saja, sudah cukup alasan bagiku memberikan kamu beberapa kata yang mungkin kamu dengar tidak bermanfaat ini.” Ucapku lalu aku menghisap dalam – dalam rokokku, lalu aku membuang puntung rokok yang sedikit lagi menyentuh filternya ini.

“Satria, masuk.” Panggil Gondes dari arah pintu gudang.

Aku, Satria dan Joko, langsung melihat kearah pintu gudang itu.

“Aku lagi bicara sama adikku.” Ucapku sambil menatap mata Gondes.

“Dan aku paling tidak suka, kalau ada yang memotong pembicaraanku.” Ucapku pelan tapi tegas.

“Gak usah bicara seenaknya. Disini aku tuan rumah dan disini aku yang punya aturan.” Ucap Gondes dan terlihat dia sedikit emosi.

“Kalau masalah keluarga, aku tidak perduli mau dimanapun tempatnya. Keluarga adalah keluarga, jadi kamu jangan ikut campur.” Ucapku kepada Gondes, yang usianya mungkin sama seperti Mas Pandu.

“Kamu cari mati ya disini.?” Tanya Gondes sambil melangkah kearahku.

Beberapa orang langsung keluar dari gudang dan berjalan dibelakang Gondes. Aku dan Joko langsung bersiap, dengan suasana yang mulai panas dan hujan yang mulai berhenti.

Dan ketika Gondes serta beberapa orang temannya sudah didekatku,

TIN, TIN, TIN.

Sebuah mobil berhenti depan sana dan mengklakson kami. Kami semua langsung melihat kearah mobil itu. Pak Jarot tampak membuka kaca depan bagian kiri dan beliau sedang menikmati rokoknya, tanpa melihat kearah kami.

“Kamu salah berurusan sama aku.” Ucap Gondes kepadaku.

“Dan kamu Sat, kamu juga bermasalah sama aku.” Ucap Gondes lagi, lalu dia bersama teman – temannya langsung membalikkan tubuhnya dan masuk kedalam gudang.

Pak Jarot langsung menutup kaca mobilnya, lalu mobil berjalan pelan kearah direksi keet.

“Kamu ikut kami.” Ucapku kepada Satria.

“Enggak, aku mau pulang.” Jawab Satria.

“Kalau disituasi seperti ini, aku itu tidak suka dibantah. Aku tidak perduli kamu anaknya dosenku atau anaknya siapa, aku bisa menghajarmu terus kuseret keatas kimbaku.” Ucapku dan aku menatap tajam mata Satria.

Satria tampak terkejut dan dia tidak bersuara lagi.

“Sudah, ikut aja.” Ucap Joko lalu dia merangkul Satria dan berjalan kearah Kimba.

Aku juga langsung berjalan kearah kimba, lalu menyalakannya, setelah itu menuju kearah direksi keet dengan gonceng tiga.

Tampak mobil yang dikendarai Pak Jarot, berhenti didepan direksi keet. Beberapa saat kemudian Pak Jarot turun dari mobil, lalu diikuti Pak Jaka dan dua orang dari dinas pemerintahan.

Aku lalu berhenti dibelakang mobil dan memarkirkan kimba disana. Pak Jarot hanya melirikku sebentar lalu berbicara kepada kedua orang dinas pemerintahan ini.

“Pak Jarot nesu ambek awak dewe ta.?” (Pak jarot marah sama kita kah.?) Bisik Joko kepadaku.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawabku, sambil berjalan kearah Pak Jarot. Sedangkan Satria tetap berdiri didekat kimba.

Tidak berapa lama, sebuah mobil datang dan didalamnya berisi kontraktor pelaksana proyek jalan ini.

“Mohon maaf Pak, saya terlambat.” Ucap Pak Doni yang baru turun dari mobil.

“Kami juga hampir gak kesini Pak.” Jawab Pak Jarot.

“Iya, hujannya luar biasa.” Ucap Pak Doni lalu menyalami tim pemeriksa, setelah itu menyalami Pak Jarot, Pak Jaka, kemudian aku dan Joko.

“Wah, bisa basah begini kamu Lang.” Ucap Pak Doni kepadaku dan aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Ayo sudah kita mulai aja.” Ucap salah satu orang dinas pemerintahan.

“Iya Pak.” Sahut Pak Doni Dan Pak Jarot.

Pemeriksaan pun dimulai dengan diiringi lirikan Pak Jarot kearahku. Entah apa arti lirikannya itu. Apa karena aku melakukan dua kesalahan yang fatal hari ini.? Ribut dengan Dani dan berkunjung kegudang satu. Entahlah. Kalau aku sih gak merasa salah, terserah penilaian Pak jarot bagaimana. Mungkin setelah ini beliau akan membahasnya denganku dan Joko.

Dan sekarang kami sudah berada diujung jalan desa utara, tempat awal pengerjaan pengaspalan jalan ini. Beberapa anak buah Pak Doni mulai mengukur lebar dan panjang jalan.

Suasana pun tidak canggung dan seseseram yang kami bayangkan. Untuk segala pertanyaan dari tim pemeriksa, langsung dijawab Pak Jaka, Pak Jarot dan Pak Doni, dengan ketenangan dan kelugasan.

Aku dan Joko sesekali membantu, menunjukan laporan serta gambar yang kami buat. Kami berdua juga mempelajari cara berkomunikasi, ketika pemeriksaan pekerjaan seperti ini. Jadi bukan hanya cara menggambar serta membuat laporan yang benar saja, tapi kami berdua juga harus bisa menjawab semua pertanyaan untuk kegiatan yang akan datang. Tentunya dengan tata cara bicara seperti Pak Doni, Pak Jarot dan Pak Jaka.

Setelah pemeriksaan ini selesai dilakukan, kami berkumpul lagi didepan direksi keet. Tidak ada kendala yang berarti selama pemeriksaan ini. Hasil perencanaan sesuai dengan hasil pekerjaan dilapangan.

Tim pemeriksa telah masuk kedalam mobil kantor kami, sementara Pak Jarot dan Pak Doni sedang berdiskusi didekat mobil Pak Doni. Beliau berbicara sambil melirik kearahku.

Beberapa saat kemudian.

“Lang, Jok.” Panggil Pak Doni kepada kami.

Aku dan joko saling melihat, lalu berjalan kearah beliau berdua.

“Ya Pak.” Ucapku kepada Pak Doni, ketika kami sudah berdiri dihadapannya.

“Saya suka dengan hasil kerja kalian. Kalian sudah membuat laporan dan gambar yang sangat membantu kami hari ini.” Ucap Pak Doni, lalu beliau mengeluarkan sebuah amplop dari kantongnya dan menyerahkan kepadaku.

Akupun langsung melihat kearah Pak Jarot dan beliau hanya mengangguk pelan.

“Ambillah. Ini hasil kerja kalian.” Ucap Pak Doni.

“Terimakasih Pak.” Ucap Joko yang tiba – tiba langsung mengambil amplop yang disodorkan dihadapanku.

“Asuui’g” Ucapku pelan, sambil melihat kearah Joko.

“Nanti malam kita pesta, gimana Mas Jarot.” Ucap Pak Doni kepada kami berdua lalu melihat kearah Pak Jarot.

“Aku sudah tua Don, capek pesta terus. Kalau kamu mau bawa mereka berdua, bawa aja. Tapi jangan terlalu dirusak.” Ucap Pak Jarot kepada Pak Doni.

Pak Doni ini dulunya juga lulusan dari kampus teknik kita dan beliau adik tingkatnya Pak Jarot.

“Siap Mas.” Ucap Pak Doni lalu beliau naik kemobilnya.

“Lang, Jok. Nanti malam aku tunggu didiskotik tengah kota ya.” Ucap Pak Doni kepada kami berdua.

“Pamit Mas.” Pamit Pak Doni kepada Pak Jarot, sebelum aku dan Joko menjawab pertanyaan beliau.

Pak Jarot hanya mengangguk, lalu menghisap rokoknya dan mobil Pak Doni berjalan pelan meninggalkan kami semua.

Aku dan Joko saling melirik, sedangkan Pak Jarot belum beranjak dari tempatnya berdiri.

Kami bertiga berdiam diri beberapa saat. Pak Jarot asyik dengan rokoknya, sedangkan aku dan Joko hanya diam dengan mulut yang kecut karena kami tidak punya rokok.

“Hiufftt, huuu.” Pak Jarot menghisap rokoknya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Saya tidak mau mendengar alasan kalian, tentang kejadian hari ini. Tapi saya punya alasan mempertahankan kalian untuk tetap bekerja dikantor ini.” Ucap Pak jarot dengan wajah yang dingin sekali.

“Dan aku harap kalian tidak melalukan kesalahan itu lagi.” Ucap Pak Jarot.

“Tapi Pak.” Ucap Joko dan Pak Jarot langsung meliriknya dengan tajam.

Joko pun tidak melanjutkan ucapannya, karena aku langsung menyenggol lengannya.

“Nikmati pesta kalian malam ini, tapi jangan sampai lupa diri. Dan untuk uang yang diberi Pak Doni tadi, itu hak kalian sepenuhnya.” Ucap Pak Jarot, lalu beliau meninggalkan kami dan berjalan kearah mobil.

“Piye iki cok.?” (Bagaimana ini cok.?) Tanya Joko ketika mobil Pak Jarot sudah meninggalkan kami berdua.

“Koen iku ket mau piye piye ae. Assuuu.” (Kamu itu dari tadi gimana gimana aja. Anjingg.) Ucapku dengan jengkelnya, sambil melangkah kearah kimba terparkir. Tampak Satria masih menunggu kami dibawah pohon, karena sinar matahari mulai menyengat. Pakaian yang kami kenakan pun mulai mengering dibadan.

“Jiancok.” Maki Joko dan aku tidak menghiraukannya.

“Sepurane rodok suwi.” (Maaf agak lama.) Ucapku kepada Satria yang berjalan kearah kami.

“Hem.” Jawabnya sambil menyerahkan bungkusan rokoknya kepadaku.

Gila, sabar juga anak ini menunggu kami. Padahal lumayan lama juga dia menunggu disini. Kelihatannya dia sudah mulai memikirkan apa yang aku ucapkan tadi.

“Luwe aku Jok.” (Lapar aku Jok.) Ucapku kepada Joko, lalu membakar rokok pemberian Satria, setelah itu menyerahkan bungkusan rokok kepada Joko.

“Mangan nangdi iki.?” (Makan dimana ini.?) Tanya Joko sambil mengambil sebatang rokok, lalu menyerahkan bungkusan rokok kepada Satria.

“Omonganmu cok.” (Ucapanmu cok.) Jawabku lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Maksudmu.?” Tanya Joko yang kebingungan.

“Biasane awakmu takon, mangan opo iki.? Saiki malah takon mangan nangdi.” (Biasanya kamu tanya, makan apa ini.? sekarang malah tanya makan dimana.?) Jawabku.

“Saiki aku sugeh cok.” (Sekarang aku kaya cok.) Ucap Joko dengan sombongnya, sambil menepuk kantong yang berisi amplop pemberian Pak Doni tadi.

“Assuu.” Makiku sambil naik ke kimba.

“terus mangan nangdi iki.?” (Terus makan dimana ini.?) Tanya Joko lagi.

“Enak seng anget – anget iki.” (Enak yang hangat – hangat ini.) Jawabku.

“Piye lek awakmu mangan terus tak uyui. Anget uyuhku cok.” (Gimana kalau kamu makan terus kukencingi. Kencingku hangat cok.) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Matamu.” Makiku.

“Hep.” Satriapun menahan tawanya.

“Koen ditakoni malah ngono jawabanmu. Kari njawab mangan nangdi ae kok angel.” (Kamu ditanya malah gitu jawabmu. Tinggal jawab makan dimana aja kok susah.) Gerutu Joko.

“Assuu. Mangan bakso ae.” (Anjing. Makan bakso aja.) Jawabku.

“Bakso seng enak nde endi Sat.?” (Bakso yang enak dimana Sat.?) Tanya Joko ke Satria.

“Kidul pasar ae Mas.” (Selatan pasar aja Mas.) Jawab Satria.

“Cok.” Maki Joko.

“Sampean iku takon, tak jawab malah aku dipisui.” (Anda itu tanya, aku jawab malah aku dimaki.) Ucap Satria.

“Awak dewe iku gonceng telu. Gendeng opo budal nang daerah kota.” (Kita itu gonceng tiga. Gila apa berangkat ke daerah kota.) Ucap Joko.

“Sudahlah Mas. jalan aja. Nanti kita lewat jalan tikus.” Ucap Satria.

“Sakarebmu lah.” (Terserah kamulah.) Ucap Joko.

Akupun turun dari kimba, lalu.

Kretek, kretek, kretek. Tek, tek, tek. Teng, teng, teng.

Aku mengengkol kimba, sampai suara merdunya terdengar.

Aku lalu naik sambil menurunkan standart kimba. Satria lalu naik dibelakang dan disusul Joko.

Kletek. Teng, teng, teng, teng.

Aku menaikan porseneling kimba, lalu menjalankan pelan kearah luar desa utara. Tampak Begal, Gondes dan beberapa orang sedang berdiri diemperan gudang satu. Mereka semua melihat kearah kami, tapi aku cuek saja menjalankan kimba. Untuk saat ini aku tidak ingin membuat keributan disini. Aku gak mau membuat masalah baru dengan Pak Jarot dan akan membuyarkan semua tujuan awalku ikut dikantor Pak Danang itu.

Kimba melaju dijalan utama, setelah itu masuk digang – gang kecil dan keluar di dekat bakso kidul pasar (bakso selatan pasar).

Setelah sampai, kami bertiga langsung masuk kedalam warung dan memesan tiga mangkok bakso.

Beberapa saat kemudian, tiga mangkok bakso tersaji dihadapan kami. Masing masing mangkok berisi satu pentol bakso jumbo kasar, dua pentol bakso halus sedang, dua pentol bakso kasar sedang, dua pentol bakso goreng, mie soun dan ditambah daun sop, bawang goreng, serta kuah yang sangat menggoda selera.

Isi didalam mangkok sangat banyak, sampai kuahnya mau tertumpah. Kami bertiga makan dengan lahapnya, sampai yang tersisa hanya mangkok, sendok serta garpunya saja.

Sekarang kami bertiga beristirahat sejenak, sambil menikmati segelas es teh dan isapan rokok kretek yang baru dibeli Joko.

“Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakan apa tujuanmu kegudang didesa utara, dan aku juga tidak memaksamu untuk menceritakan masalahmu tadi disana. Tapi kalau kamu mau bercerita, aku akan dengan senang hati mendengarkannya.” Ucapku kepada Satria.

“Cok. Jek tas mangan enak, wes dikongkon ngerukno masalah cok.” (Cok. baru aja makan enak, sudah disuruh mendengarkan masalah cok.) Gerutu Joko dan aku hanya meliriknya saja.

“Hiuufftt, huuu.” Satria menarik dalam – dalam hisapan rokoknya.

“Saya kesana cuman mau ngambil sepeda motor teman yang dicuri mas.” Ucap Satria membuka omongan.

“Cok, jadi gudang satu itu isinya sepeda motor curian.?” Tanya Joko yang terkejut.

“Bukan cuman sepeda motor Mas, tapi alat – alat elektronik juga. Sekarang malah mulai merambat ke mobil.” Jawab Satria.

“Jiancok.” Maki Joko.

“Begal dan Gondes.?” Tanyaku.

“Begal penguasa gudang satu, sedangkan Gondes salah satu anak buah Cak Bagong yang terkuat.” Jawab Satria lalu dia menghisap rokoknya.

“Sopo maneh Cak Bagong iku.?” (Siapa lagi Cak Bagong itu.?) Tanya Joko.

“Cak Bagong itu bos preman disana.” Jawab Satria dan Joko hanya menggelengkan kepalanya pelan.

“Terus siapa yang mau ribut sama kamu diemperan gudang tadi.?” Tanyaku.

“Mereka anak kampus kuru.” Jawab Satria.

“Cok. anak kampus mau ribut sama anak sekolahan seperti kamu.?” Tanya Joko dengan herannya dan Satria hanya tersenyum kecut.

“Asuu, asuu.” Ucap Joko sambil menggeleng kepala pelan.

Gila juga satria ini. Anak seusia ini mainnya kegudang yang isinya para preman, terus mau ribut sama anak kampus lagi. Bajingaann.

“Aku gak tau bagaimana kamu bisa masuk disarang preman seperti itu. Tapi aku hanya mengingatkan, stop dan jangan berurusan dengan mereka lagi. Mau sepeda motor temanmu yang hilang, kepala mereka yang hilang, atau apapun itu, jangan lagi kamu kesana.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam, lalu mematikan puntung rokokku.

Satria tidak menjawab ucapanku dan dia hanya melirikku.

“Kamu mengingatkan aku dengan adikku yang ada didesa. Aku sangat menyayangi adikku dan aku sangat menjaganya. Kalau dia bermasalah dengan orang lain, lebih baik aku sendiri yang akan menghajar adikku itu. Tapi setelah itu, aku pasti akan membantai orang yang bermasalah dengan adikku.” Ucapku dan Satria langsung tertunduk.

“Permisi Mas.” Ucap Tiga orang didepaan warung dan mereka akan mengamen ditempat ini.

“Sek bos. Sak durunge ngamen, aku takon disek. Wes mangan ta awakmu.?” (Sebentar bos. Sebelum mengamen, aku tanya dulu. Sudah makan kah kamu.?) Tanya Joko.

“Durung bos.” (Belum bos.) Jawab salah satu pengamen.

“Mangan sek.” (Makan dulu.) Ucap Joko.

“Siap Bos.” Jawab ketiga orang itu dengan senangnya.

“Pak Baksone gawe mas – mas iki.” (Pak baksonya untuk mas – mas ini.) Ucap Joko lalu berdiri dan berjalan kearah tukang bakso.

“Siap.” Jawab Tukang bakso.

“Suwon Mas.” (Terimakasih mas.) Sahut ketiga pengamen itu, lalu mereka masuk kedalam warung dan duduk tidak jauh dari kami.

Joko terlihat mengambil amplop lalu membukanya. Matanya terlihat berbinar lalu melihat kearahku sambil tersenyum dan memainkan kedua alis matanya. Dia lalu mengambil dua lembar uang berwarna biru dan memamerkannya kepadaku, setelah itu membayarkan makanan kami beserta ketiga orang yang baru datang tadi.

“Mbalik yo.” (Pulang yo.) Ucap Joko kepadaku dan kepada Satria.

“Ayolah.” Ucapku lalu aku berdiri bersama Satria.

Joko berjalan kearah ketiga orang yang baru datang, sambil merogo kantongnya.

“Gawe mangan engko bengi.” (Buat makan nanti malam.) Ucap Joko sambil meletakkan selembar uang berwarna biru tua.

“Suwon Bos.” (Terimakasih bos.) Sahut seseorang lalu menyalami Joko.

Joko hanya tersenyum sambil menyalami mereka satu persatu. Aku dan Satriapun bersalaman dengan mereka juga, lalu kami keluar warung bakso ini.

“Saya mau kerumah teman dulu Mas.” Ucap Satria kepadaku.

“Jadi gak kami antar.?” Tanyaku.

“Enggak Mas, suwon.” (Enggak Mas, terimakasih.) Ucap Satria.

“Yowes lah. Hati – hati.” (Yasudah lah. Hati – hati.) Ucapku, lalu aku dan Joko kembali kekosan.

Hiuffttt, huuu.

Hari yang sangat melelahkan. Sebenarnya kami berdua tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Tapi emosi serta pikiran, terlalu banyak keluar dan seperti dipermainkan saja. Permainan semesta tentunya. Gila.

Banyak hal yang kami lalui dan kami dapatkan hari ini. Mulai Dani yang ternyata anak dari Pak Danang, kunjungan pertama kami digudang keramat desa utara, sampai gesekan pertama kami kepada preman penguasa gudang pertama.

Gila, gesekan dengan preman – preman itu pasti akan merembet kegudang kedua dan gudang ketiga. Tapi terserahlah. Aku tidak akan melakukan gesekan dengan mereka lagi, selama mereka tidak menyentuh aku atau orang disekitarku. Tapi kalau mereka duluan yang memulai gesekan, aku pasti akan melawannya dengan berbagai cara.

Hiufftt, huuu.

Baru beberapa bulan aku tinggal dikota ini, masalah yang aku hadapi ternyata menggathelkan banget. Itupun belum termasuk tentang masalah kematian Intan, apa gak luar biasa gathel.? Huuuu.

“Piye cok.?” (Gimana cok.?) tanya Joko ketika kami baru sampai dikosan dan masih berdiri diteras.

“Jiancookk. Thel, gathel. Sedino iki peng piro koen ngomong piye cok.?” (Sehari ini berapa kali kamu ngomong bagaimana cok.?) Tanyaku.

“Terus peng piro koen jawab cok.? Ono ta seng koen jawab.? Asuuu.” (Terus berapa kali kamu jawab cok.? Ada kah yang kamu jawab.? Anjingg.) Omel Joko.

“Yo wes, koen pengen takon opo thel.?” (Ya sudah, kamu tanya apa thel.?) Tanyaku.

“Wegah. Wes males aku.” (Gak mau. Sudah malas aku.) Gerutu Joko lalu dia masuk kedalam kosan.

“Cok.” Makiku dan aku masuk kedalam kosan juga.

Joko masuk kedalam kamarnya dan aku juga masuk kedalam kamarku.

Didalam kamar, aku disambut Intan dengan ekspresi tatapan yang sangat datar. Wajah cantiknya itu seolah tertutup dengan kabut kegelisahan dan keremangan cahaya. Cantik sih, tapi semuanya seolah pudar karena sikap dinginnya ini.


Intan

Gila, walaupun tatapannya dingin seperti ini, aku sangat kangen dan kangen sekali. aku ingin memeluknya dan melepas semua kejenuhanku hari ini. Tapi kalau aku memeluknya, apa dia gak marah sama aku.?

Dan entah apa yang menuntunku, tiba – tiba aku mendatangi Intan yang berdiri didekat meja dan aku langsung memeluknya dengan erat.

Intan tidak membalas pelukanku, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku hanya ingin memeluknya, untuk menenangkan sejenak pikiranku yang sangat lelah hari ini. Jujur aku sudah tidak kuat menahan diri untuk memeluk Intan.

“Lang.” Ucap Intan dengan dinginnya. Wajah sampingnya berada didadaku dan kepala belakangnya berada tepat dipipiku.

“Lang.” Panggil Intan sekali lagi.

Aku tidak menjawab ucapannya dan makin mendekap tubuh Intan, sambil sesekali mengelus punggungnya.

“Gilang.” Panggil Intan dengan nada yang agak tinggi.

Aku lalu mengendurkan pelukanku, dan.

CUUPPP.

Aku kecup rambut bagian kepala belakangnya dengan pelan dan sangat lembut.

Hiiuuffttt, huuuu.

Intan menarik nafasnya pelan dan dadanya terasa bergetar.

“Aku hanya ingin memelukmu, sebelum kamu pergi meninggalkan aku selamanya.” Ucapku dan aku mengeratkan pelukanku lagi.

“Aku tidak berharap lebih. Aku hanya ingin menikmati apa yang bisa aku nikmati saat ini.” Ucapku lagi.

Jujur, walaupun Intan tidak membalas pelukanku ini, tapi aku sudah senang dan sangat bahagia sekali. Dengan aku memeluknya seperti ini saja, permasalahan yang memenuhi isi ruang kepalaku, perlahan mulai mengurang.

Dan hupp.

Tiba – tiba aku merasa dadaku sesak dan aku kesulitan bernafas. Sakit dan sangat sakit sekali. Aku memeluk Intan sambil menyatukan jari – jari tangan kanan dan tangan kiriku dipunggungnya, lalu meremasnya dengan kuat.

“Huuppp.” Aku meremas jari – jariku dengan kuat, untuk menahan rasa sakit didada.

Aku melakukannya sambil mengendurkan pelukanku, karena aku tidak ingin menyakiti Intan dipelukanku. Tubuhkupun bergetar karena rasa sakit ini.

Perlahan aku merasa kedua telapak tangan Intan meraba punggungku, lalu mengelusnya. Punggung bagian atas, turun kebawah, lalu naik lagi keatas.

Aku memejamkan kedua mataku dan menikmati setiap rabaan orang yang aku cintai ini. Rasa sakit didada perlahan menghilang dan berganti dengan ketenangan jiwa yang aku cari. Aku merasakan kedamaian yang sangat luar biasa dipelukan Intan, dan aku merasa kelelahanku seharian ini terbang melayang entah kemana.

Hiuuttffff, huuu.

Wahai Sang Pemilik Hidup. Izinkan aku bersama wanita yang ada dipelukanku ini, sebelum nanti Kau benar – benar mengambilnya dari aku. Izinkan aku menikmati setiap detik kebersamaan ini, dengan senyuman yang tulus diwajahnya. Izinkan kami melewati semuanya, walau hati tidak bisa bersama.

Hiuuttffff, huuu.

“Lang.” Panggil Intan dengan suaranya yang sangat – sangat lembut sekali.

Cok. ini yang aku rindukan selama beberapa bulan terakhir. Panggilan lembut dari bibir manisnya, dengan posisi tetap memelukku seperti ini.

“Hem.” Ucapku sambil mengeratkan lagi pelukanku.

“Sudah ya.” Ucap Intan dan terasa dia sangat menikmati pelukan ini.

“Apanya.?” Tanyaku sambil memundurkan tubuhku dan melepaskan pelukanku, lalu dengan cepat aku memasukan kedua tanganku diantara ketiaknya, lalu memeluknya lagi.

“Eh, sudah pelukannya. Kok meluk lagi.?” Ucap Intan yang terkejut dan kedua tangannya tiba – tiba melingkar melingkar di leherku.

“Satu jam lagi ya.” Ucapku lalu aku mendekapnya lagi, sambil menempelkan keningku dikeningnya.

“Kok lama banget sih.?” Ucap Intan dan perlahan suaranya terdengar manja, sambil menggoyangkan kepalanya dengan manja.

“Ya sudah, setengah jam lagi.” Ucapku sambil mengelus punggungnya.

“Iiiihhhh.” Suara meraju nan manja dari Intan, membuat hatiku sangat senang sekali.

CUUPPP.

Aku langsung memajukan bibirku dan mengecup bibirnya pelan, serta sangat lembut sekali.

“Kok pakai acara ngecup sih.?” Tanya Intan sambil memundurkan wajahnya, sampai keningnya terlepas dari keningku.

Matanya langsung melotot dan pipinya pun digelembungkan.

Aku mendekap tubuhnya lagi dan daguku berada dipundak kanannya.

“Gilang.” Ucap Intan yang terkejut.

“Sudah dong meluknya.” Ucap Intan lagi.

Akupun mengendurkan pelukanku dan sedikit membungkuk, lalu aku mendekap pinggangnya, setelah itu aku mengangkat tubuhnya sampai kakinya terangkat dari lantai.

“Eh, eh, eh.” Ucap Intan sambil memegang kedua pundakku.

Karena posisi aku menggendongnya agak tinggi, Intanpun menunduk dan menatap wajahku yang sedikit mendanga.

“Udah dong meluknya.” Ucap Intan sambil membelai pipiku, dengan telapak tangannya yang dingin itu.

Aku menggelengkan kepalaku pelan, sambil tetap menatap matanya.

“Gilang.” Ucap Intan sambil membelai rambutku.

“Setengah jam lagi aku meluknya ya.” Ucapku dan Intan menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Lima belas menit.” Ucapku menawar dan lagi - lagi dia tersenyum, sambil menggelengkan kepala.

“Lima menit.” Ucapku lagi.

“Udah dong, kan masih ada hari esok.” Ucap Intan sambil terus mengelus rambutku.

“Berarti besok boleh lebih lama lagi meluknya.?” Tanyaku.

“Gak gitu juga kali.” Ucapnya sambil memencet hidungku.

“Turunin aku dong.” Rengeknya dengan manja.

Kembali aku tersenyum, lalu aku memutarkan tubuhku kekanan dan kekiri, seperti sedang mengajaknya berdansa dipelukanku.

“Gilang.” Ucap Intan sambil merangkul leherku dan menempelkan wajah sampingnya diwajah sampingku.

Aku diam saja dan sekarang aku menggoyangkan tubuhku kekanan lalu kekiri.

“Gilang.” Panggil Intan dengan lembutnya.

Aku tidak menghiraukannya dan aku tetap menggerakkan kedua kakiku. Aku menikmati semua ini dan aku tau Intan sebenarnya juga menikmati ini semua.

“GILANG.” Terdengar suara yang keras dan kasar.

Akupun langsung menghentikan gerakanku, karena suara itu bukan suara Intan melainkan suara Joko yang sudah berdiri didepan kamarku yang terbuka.

Kurang ajar, ganggu kesenangan orang aja. Bajingann.

“Hihihi.” Intan tertawa pelan dan aku langsung menurunkan tubuhnya dari pelukanku.

“Enak.?” Tanya Joko ketika aku melihat kearahnya.

“Matamu.” Makiku, sambil mengeluarkan bungkusan rokokku, lalu aku mengambil sebatang dan membakarnya.

“Terus piye iki cok.?” (Terus Bagaimana ini cok.?) Tanya Joko dan terlihat dia sudah mandi dan berpakaian sangat rapi sekali.

“Piye opone maneh cok.?” (Bagaimana apanya lagi cok.?) Tanyaku balik.

“Aku mapak Mba Denok opo ora.?” (Aku jemput Mba Denok apa enggak.?) Tanya Joko.

“Ra usah.” (Gak usah.) Ucapku dengan cueknya, lalu aku menghisap rokokku.

“Cok.” Maki Joko pelan dan terdengar sangat kecewa sekali.


LANJUT KEBAWAH...
 
Terakhir diubah:
“Ra usah ngadek nde ngarep kamarku cok. Ndang budalo. Tak sepak cangkemmu koen engko.” (Ga Usah berdiri didepan kamarku cok. cepat pergi sana. Kusepak mulutmu nanti.) Ucapku sambil mendekat kearahnya.

“Hehehe.” Joko tertawa senang, sambil menggaruk kepalanya.

“Yo wes, tak budal yo. Engko jam piro awak dewe budal nang acarane Pak Doni.?” (Ya sudah, aku berangkat dulu ya. nanti jam berapa kita berangkat keacara Pak Doni.?) Tanya Joko dengan wajah yang berbunga – bunga.

“Gak usah terlalu dipikir, acara itu gak terlalu penting. Yang penting itu Mba Denok.” Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku kearah Joko.

“Semongko.” Ucapku lagi.

“Semangat nganti bongko.” (Semangat sampai mampus.) Jawab Joko sambil meninju kepalan tanganku pelan, lalu membalikan tubuhnya dan keluar rumah dengan riangnya.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat kearah Intan. Tatapannya sudah kembali seperti yang dulu dan tidak dingin lagi. Senyumannya pun tersungging dibibir manisnya.

Aku mendekat kearahnya sambil merentangkan kedua tanganku, untuk memeluknya.

“Mandi dulu.” Ucap Intan sambil menahan dadaku dengan telapak tangannya.

“Habis mandi boleh peluk lagi.?” Tanyaku sambil menurunkan kedua tanganku.

“Maunya itu loh.” Ucap Intan sambil memencet hidungku pelan.

“Hehehe.” Aku pun tertawa pelan, setelah itu aku membalikan tubuhku dan berjalan kearah kamar mandi.

Hatiku senang dan kembali berbunga – bunga. Aku tidak ingin memikirkan bagaimana nantinya lagi. Yang aku pikirkan bagaimana aku bisa terus berbahagia dengan Intan, selama kami masih bisa bersama. Itu saja.

“Emang mau kemana nanti.?” Tanya Intan ketika malam sudah tiba.

“Diajak Pak Doni kediskotik tengah kota sana.” Jawabku.

“Ooo. Mau pesta ya.?” Tanya Intan dengan suara yang manja, tapi terdengar menyindir.

“Gak boleh ya.? Kalau gitu aku dirumah aja.” Jawabku.

“Aku gak melarang kok.” Ucap Intan dan suaranya yang terdengar lembut.

“Ada tapinya gak.?” Tanyaku lagi.

“Jangan minum terlalu banyak.” Jawab Intan sambil memencet hidungku.

“Kok dari tadi mencet hidungku terus sih.?” Tanyaku.

“Gak boleh ya.? Kalau gitu aku gak mau nyentuh lagi deh.” Ucap Intan meraju.

“Aku gak melarang kok.” Jawabku.

“Ada tapinya gak.?” Tanya Intan.

“Ada dong.” Jawabku lalu aku memeluknya.

“Hem.” Ucap Intan sambil melebarkan kedua matanya.

“Aku boleh peluk kamu terus, ketika aku dikosan.” Ucapku.

“Maunya itu loh.” Ucap Intan sambil membalas pelukanku.

Treng, teng, teng, teng.

Terdengar suara kimba masuk kedalam pagar dan parkir diteras.

“Budal Lang.” (Berangkat lang.) Teriak Joko dari teras.

Kurang ajar, bisa gak aku meluknya agak lama sedikit. Ganggu aja nih.

“Sabar cok, sabar.” Jawabku.

“Pergilah. Nanti kemalaman loh.” Ucap Intan kepadaku.

“Beneran aku tinggal nih.?” Tanyaku.

“Iya, pergilah.” Ucap Intan sambil membelai pipiku.

“Serius.?” Tanyaku sekali lagi.

Lalu tiba – tiba.

Cuuppp.

Intan mengecup pipiku dengan sangat lembutnya, lalu melepaskan pelukannya.

“Jangan terlalu malam dan jangan terlalu mabuk.” Ucap Intan dan aku langsung melepaskan pelukanku.

“Iya.” Ucapku sambil mengelus pipiku yang baru dikecup Intan.

Aku lalu mengganti pakaianku, setelah itu keluar menemui Joko diteras kosan. Wajahnya tampak berseri dan dia terlihat bahagia sekali.

“Iki diuitmu.” (Ini uangmu.) Ucapku Joko sambil menyerahkan beberapa lembar uang berwarna biru tua kepadaku.

“Duit opo iki cok.?” (Uang apa ini cok.?) Tanyaku.

“Yang dikasih Pak Doni tadi.” Ucap Joko dan aku langsung mengambilnya.

“Bagianmu.?” Tanyaku.

“Sudah. Tadi dikasih sejuta, terus dipakai makan dan kasih pengamen di warung bakso. Sisanya masing – masing empat ratus dua puluh lima ribu.” Ucap Joko sambil menepuk kantong belakangnya.

“Oke.” Ucapku sambil mengantongi uang pemberian Joko dikantong belakang.

Kami berdua lalu pergi kediskotik tengah kota. Kali ini Joko yang menyetir kimba dan dia selalu tersenyum sepanjang perjalanan.

“Ketok ane gendeng koen cok.” (Kelihatannya gila kamu cok.) Ucapku.

“Gak po – po, seng penting aku wes nduwe ojob” (Ga apa – apa, yang penting aku sudah punya pacar. Ojob = bojo = istri, bisa juga diartikan pacar.) Jawab Joko sambil melirikku, lalu melihat kearah depan sambil terus menarik gas kimba.

Trenteng, teng, teng, teng, teng.

“Cok, tenanan ta.? moso Mba Denok gelem ambe begedel koyok awakmu.?” (Cok, benerankah.? Masa Mba Denok mau sama perkedel kayak kamu.?) Tanyaku yang terkejut.

“Sak kareb congormu kate ngomong opo, seng penting aku nduwe ojob. Hahaha.” (Terserah mulutmu ngomong apa, yang penting aku punya pacar. Hahaha.) Ucap Joko lalu tertawa.

“DENOOKKK. AKU TRESNO KARO KUWE.” (Denok. Aku cinta sama kamu.) teriak Joko sambil memajukan tubuhnya kedepan.

Orang –orang yang kami lewatipun, langsung melihat kearah kami.

Buhhgg.

Aku memukul pundak Joko pelan.

“Cok. ngisin – ngisini ae awakmu iku.” (Cok, malu – maluin aja kamu itu.) Omelku.

“GAK NGURUS.! SEMONGKO.! HAHAHAHA.” (Gak urus.! Semongko.! Hahahaha.) Ucap Joko dan dia makin berteriak dengan kerasnya.

Bajingan. Susah kalau ngomong sama orang yang jatuh cinta ini. suara kita pasti tidak terdengar, karena tertutup rimbunnya bunga – bunga cinta yang bermekaran dihatinya. Assuuu.

Akhirnya aku mendiamkan Joko dan hanya melihatnya yang sedang kasmaran itu.

Beberapa saat kemudian, sepeda motor kamipun sampai diparkiran diskotik.

“Lang. Jok.” Panggil beberapa orang yang tidak jauh dari kami.

Aku dan Joko langsung melihat kearah suara tersebut. Tampak Bung Toni, Wawan dan Bendu, duduk bersama bersama beberapa orang preman. Mereka semua tampak berpesata, dengan minuman andalan. TM.

“Woi rek.” Ucapku bersama Joko, lalu kami mendatangi mereka dan bersalaman dengan mereka satu persatu.

Bung Toni lalu menuangkan segelas minuman dan menyerahkan kepadaku. Akupun mengambilnya dan mengangkatnya.

“Werr.” Ucapku.

“Werr, werr, werr,” Sahut semua yang ada disitu dan aku langsung meminumnya sampai habis, lalu menyerahkan kembali gelasnya ke Bung Toni.

Kembali Bung Toni menuangkan minuman dan menyerahkan kepada Joko.

“Awakmu markir nde kene Ndu.?” (Kamu tukang parkir disini Ndu.?) Tanyaku ke Bendu, lalu aku membersihkan mulutku dari sisa minuman.

“Iyo.” Jawab Bendu dan wajahnya terlihat kebingungan.

Ada apa ini.? Kenapa Bendu terlihat bingung dan khawatir seperti ini.? Bukan hanya Bendu, tapi Wawan dan juga Bung Toni. Oh iya, kemana Rendi ya.? Tumben dia gak kelihatan.? Biasanyakan mereka selalu berempat.

“Mana Bule Bung.? Tumben gak kelihatan.” Tanyaku ke Bung Toni.

“Dorang pi pondok merah.” (Dia pergi kepondok merah.) Jawab Bung Toni dengan pandangan lurus kedepan.

“Lapo arek gendeng iku rono.?” (Kenapa anak gila itu kesana.?) Tanya Joko yang terkejut.

“Diundang sama Mas Pandu.” Jawab Wawan.

“Aman aja kalau diundang disana.” Ucapku lalu aku membakar rokok kretekku.

“Aman bagaimana.? Kamu gak tau kalau siapapun yang diundang disana, pasti ada masalah dan pasti diajak duel.” Ucap Wawan.

“Moso ngono seh.?” (Masa begitu sih.?) Tanya Joko.

“Iyo.” Jawab Bung toni.

“Gak apa – apa. Namanya juga anak teknik. Anggap aja itu ujian masuk ke pondok merah.” Ucapku menenagkan mereka semua.

“Maksudmu.?” Tanya Bendu kepadaku.

“Diangkatan kita ini, siapa yang tidak mengenal Bule dan kalian bertiga.? Empat sekawan yang tersohor dan suka berkelahi. Melihat sepak terjang kalian berempat seperti ini, pasti kalian akan dirangkul oleh pondok merah.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Persetanlah. Kalau sampai mereka mengeroyok Bule, kami bertiga mau menyerang pondok merah.” Ucap Bendu dengan geregetan.

“Bukan sifat anggota pondok merah kalau main keroyokan. Kan kalian sendiri yang ngomong kalau Bule pasti diajak duel.” Ucapku.

“Walupun duel, kalau mereka sampai kelewatan, kami tetap menyerang kepondok merah.” Ucap Wawan.

“Iyo.” Ucap Bung Toni dengan logat khasnya.

“Lebih cepat lebih baik.” Ucapku dengan cueknya.

“Maksudnya.” Tanya Bung Toni sambil melotot.

“Mas Gilang.” Panggil seseorang.

Aku dan Joko langsung melihat kearah orang itu dan aku tidak mengenalnya.

“Siapa ya.?” Tanyaku.

“Saya anggotanya Pak Doni. Sampean sudah ditunggu didalam dari tadi.” Ucap orang itu.

“Oh iya Om, sebentar saya masuk.” Jawabku dan orang itu mengangkat jempolnya kearahku, lalu dia balik dan berjalan kearah pintu masuk diskotik.

“Ko belum jawab pertanyaanku.” Ucap Bung Toni sambil berdiri.

“Sudah kubilang tadi, kalian itu dalam pengawasan pondok merah. Jadi kalau kalian kesana, itu makin mempercepat langkah kalian untuk bergabung disana.” Jawabku sambil membalikkan tubuhku dan berjalan kearah pintu diskotik.

“Cukimai.” Gerutu Bung Toni.

“Lang, kamu gak mau bergabung menyerang pondok merah.?” Tanya Wawan kepadaku.

Aku menghentikan langkahku dan melihat kearah Wawan.

“Aku gak akan ikut campur masalah kalian Wan. Kalian harus menyelesaikannya sendiri.” Ucapku.

“Kamu ga setia kawan.” Ucap Wawan sambil memalingkan wajahnya.

“Terserah bagaimana pendapatmu. Kita punya kehidupan dan masalah masing – masing. Ada kalanya kita saling membantu dan ada kalanya kita harus menyelesaikan sendiri sebagai seorang laki – laki.” Ucapku lalu aku menoleh kearah Joko yang masih berdiri didekat mereka.

“Koen gak mlebu.?” (Kamu gak masuk.?) Tanyaku ke Joko.

Joko pun langsung melihat kearah Wawan, Bung Toni dan Bendu. Lalu beberapa saat kemudian, Joko berjalan kearahku dan aku membalikkan tubuhku. Aku berjalan lagi kearah pintu diskotik dan Joko berjalan disisi kananku.

“Awak dewe tenanan gak melu arek – arek ta.?” (Kita beneran gak ikut anak – anak kah.?) Tanya Joko kepadaku.

“Iya.” jawabku singkat.

“Suwi – suwi aku kok gak respek karo pondok merah yo.?” (Lama – lama aku kok gak respek sama pondok merah ya.?) Ucap Joko dan aku langsung menghentikan langkahku.

“Mulai dari ospek sampai kehidupan dikampus beberapa bulan ini. aku merasa mereka terlalu angkuh dengan kebesaran nama mereka. Harusnya biarkan saja kehidupan kampus teknik kita berjalan tanpa bayang – bayang mereka.” Ucap Joko lagi.

“Terus dikampus jadi gak aman, gitu maksudmu.?” Tanyaku.

“Kita itu kuliah dikampus teknik Lang. Siapapun yang masuk dikampus itu, harus tau resikonya ketika namanya sudah terdaftar. Kampus teknik kita itu isinya banyak laki – laki dan resiko berkelahinya pasti besar. Jadi kalau tidak mau menghadapi resiko itu, gak usah aja masuk dikampus teknik kita.” Jawab Joko.

“Kalau sudah tau resikonya seperti itu, gak perlu lah dikendalikan oleh pondok merah. Biarkan saja yang terkuat yang bertahan.” Ucap Joko lagi.

“Jangan kamu samakan kehidupan kampus dengan kehidupan jalanan Jok. Gak boleh seperti itu. Boleh kampus kita berisi preman – preman, tapi mereka harus sadar dengan tujuannya kuliah dikampus teknik kita. Mereka dicetak untuk menjadi orang yang siap untuk menghadapi dunia kerja, bukan untuk menjadi preman. Disitulah fungsi pondok merah. Mereka mengontrol supaya sikap buas yang ada dijiwa teman – teman tidak kelewatan.” Ucapku menjelaskan.

“Mengontrol apa.? Buktinya tradisi awal kuliah yang gila itu, dibiarkan sampai kamu yang menghentikannya. Harusnya dengan nama besar pondok merah, mereka bisa menghentikannya dari dulu.” Ucap Joko yang mulai agak meninggi.

“Ada alasan yang tidak perlu kita ketahui, sampai mereka tidak menghentikan tradisi itu Jok. Jadi gak usah berdebat lagi.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Alasan opo.? Alasan telek ta.?” (Alasan apa.? Alasan taik kah.?) Ucap Joko.

“Koen iku lapo seh.? Koen dendam ambe arek pondok merah ta.? Masalah opo.? Masalah ospek.?” (Kamu itu kenapa sih.? kamu dendam sama anak pondok merah kah.? Masalah apa.? Masalah ospek.?) Tanyaku lalu menatapnya dengan tajam.

“Gak ngono cok.” (Gak begitu cok.) Ucap Joko melemah.

“Lek awakmu nduwe dendam, terus kate nyerang pondok merah ambe arek – arek iku, budallo.” (Kalau kamu punya dendam, terus mau nyerang pondok merah sama anak – anak itu, pergi sana.) Ucapku dengan nada yang agak tinggi.

“Lapo koen muring – muring nang aku cok.? Gathel arek iki.” (Kenapa kamu marah – marah sama aku cok.? Menjengkelkan anak ini.) Gerutu Joko.

“Assuu.” Makiku, lalu aku berjalan kearah pintu diskotik lagi.

“Cok’i.” Maki joko sambil berjalan menyusulku.

“Lama banget mas.” Ucap orangnya Pak Doni yang tadi menegurku dan dia berdiri didepan pintu diskotik.

“Ketemu teman Om.” Jawabku lalu aku tersenyum.

“Oooo. Ayo masuk.” Ucap Orang itu kepadaku dan dia langsung masuk kedalam diskotik.

Aku dan Joko pun langsung masuk kedalam diskotik.

BUMM, BUMM, BUMM, BUMM, BUMM.

Suara music yang menggelegar dan lampu yang berkelap – kelip, menyambutku didalam diskotik. Asap rokok yang mengepul dan orang yang mabuk sambil berjoget, terlihat didalam ruangan ini.

Aku dan Joko langsung saling melihat, setelah itu menatap kearah sekeliling ruangan ini lagi. Terus terang ini pertama kalinya kami masuk di tempat hiburan seperti ini. di desaku sana, paling banter aku main di warung remang – remang yang menjual minuman.

“Cok. ngene yo isine diskotik.” (Cok. begini ya isinya diskotik.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepala, mengikuti irama music.

Aku hanya meliriknya lagi, sambil mengikuti orang yang berjalan didepanku. Kami berjalan dan melewati orang – orang yang asyik dengan caranya sendiri, menikmati tempat hiburan malam ini.

Kami menuju kesudut ruangan yang terlihat lebih eksklusif. Tempat duduk sofa dan meja yang berisi minuman mahal. Dikursi sofa itu, tampak dikeremangan ini, Pak Doni duduk dan sedang merangkul seorang wanita. Beberapa anak buahnya pun, sedang bersama pasangannya masing – masing.

“Gilang.” Ucap Pak Doni sambil berdiri, ketika melihat kedatanganku.

“Malam Pak.” Ucapku sambil mengajaknya bersalaman, lalu setelah itu aku bersalaman dengan anak buahnya juga.

“Lama sekali kamu itu. Ayo duduk duduk.” Ucap Pak Doni dan beliau duduk lagi disofa, lalu merangkul pasangannya.

“Ketemu teman didepan Pak.” Jawabku sambil duduk dikursi sofa yang berbentul L ini.

“Oooo. Eh, panggilkan mami. Suruh bawa cewe buat Gilang sama Joko.” Ucap Pak Doni kepadaku, lalu memerintahkan salah satu anak buahnya.

“Gak usah Pak.” Ucapku menolak.

“Gak usah apa.?” Ucap Pak Doni sambil melepaskan rangkulannya ke wanita yang ada disebelahnya, lalu menuangkan minuman dan diserahkan kepadaku.

“Minum dulu.” Ucap Pak Doni.

Aku menoleh kearah Joko dan dia terlihat bingung. Aku lalu melihat kearah Pak Doni dan mengambil menuman itu.

“Saya minum Pak.” Ucapku dan aku tidak mengucapkan kata werr. Aku langsung meminum minuman itu dan menyerahkan lagi ke Pak Doni.

Pak Doni lalu menuangkan minuman itu lagi dan diserahkan kepada Joko.

Tidak lama kemudian, seorang wanita setengah baya datang dan membawa dua orang wanita muda yang cantik. Akupun langsung terkejut, melihat salah satu wanita yang dibawanya. Wanita itu tidak kalah terkejutnya, sampai dia tertunduk malu.

Cok, kenapa wanita ini ada disini.? Dan apa yang membuatnya, sampai dia bisa menjadi salah satu wanita, yang menemani laki - laki yang mencari hiburan.? Gila, ini gila banget.

Joko yang melihat wanita itupun terkejut dan menoleh kearahku lalu melihat kearah wanita yang menunduk itu.

“Mi, ada pendatang baru kok tadi gak dikenalkan sama aku.?” Ucap Pak Doni sambil menunjuk salah satu wanita yang baru datang dan aku kenal itu.

“Baru datang Bos.” Ucap Wanita setangah baya itu, lalu dia tersenyum.

“Kalau gitu biar dia sama aku aja. Ambil satu lagi buat anak – anak ini.” Ucap Pak Doni dan langsung membuatku terkejut. Wanita itupun langsung mengangkat wajahnya dan melihatku dengan tatapan yang memelas.

“Dia sama aku Pak.” Ucapku dengan tegasnya.

Pak Doni langsung melihatku dan beberapa anak buahnya terlihat tidak senang.

“Hahaha. Katanya tadi gak mau. Sudah lihat wanitanya, langsung semangat. Hahaha.” Ucap Pak Doni lalu tertawa dan aku hanya menatapnya tanpa tersenyum sama sekali.

“Iya sudah, gak apa – apa. Karena kamu banyak membantu proyekku, aku ngalah.” Ucap Pak Doni lagi.

“Mi, suruh anak buahmu temanin tamuku ini. Kasih pelayanan yang terbaik ya.” Ucap Pak Doni dan langsung membuat telingaku panas mendengarnya.

“Siap Bos.” Ucap si Mami.

“Temanin mereka ya sayang.” Ucap si Mami kepada kedua wanita itu.

Satu wanita berjalan kearah Joko dan satu wanita berjalan kearahku. Wanita yang berjalan kearah Joko, langsung duduk disebelah Joko. Sedangkan wanita yang berjalan kearahku, hanya berdiri didekatku.

“Duduk dong cantik. kalau nggak aku pangku loh.” Ucap salah satu anak buah Pak Doni, ke wanita yang berdiri didekatku.

“Hahaha.” Pak Doni tertawa dan diikuti semua yang ada diruangan ini, kecuali aku, Joko dan wanita yang berdiri didekatku.

“Jangan buat suasana yang asyik ini jadi gak nyaman.” Ucapku sambil menggenggam tangan wanita yang berdiri didekatku ini.

Tangannya dingin dan sedikit bergetar. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Malu, marah atau kecewa. Tapi aku gak perduli, yang ada dipikiranku saat ini, aku tidak suka kalau ada yang berani menggodanya.

“Kalau dia sudah sama saya, diam dan nikmatilah kebersamaan kalian dengan pasangan kalian masing – masing.” Ucapku sambil menatap manusia – manusia yang ada didekatku ini.

Aku lalu menarik pelan tangan wanita ini, sampai terduduk disebelahku.

“Iya Lang, iya. Santai aja. Kita nikmati pesta malam ini.” Ucap Pak Doni, lalu menuangkan minuman ini lagi dan memutarkannya.

Wanita yang duduk disebelahku ini hanya diam sambil menggenggam tanganku dengan erat. Dia hanya melepaskan genggamannya, ketika meminum jatah minumannya, setelah itu menggenggam tanganku lagi. Sesekali dia membakar rokok dengan tangan kirinya dan tangan kanannya terus menggenggamku.

Malam semakin larut dan kami semua yang ada disini, sudah melayang akibat minuman ini. Akupun sudah setengah sadar dan kepalaku terasa bergoyang.

Satu persatu pasangan yang ada disini, berdiri dan berjoget menikmati irama music yang semakin membuat tubuh ingin bergoyang.

“Aku mau kekamar mandi.” Ucap wanita yang ada disebelahku ini dan baru kali ini dia bersuara.

“Aku antar.” Ucapku dan kami berdua langsung berdiri.

“Nangdi cok.” (Kemana Cok.?) Ucap Joko dan dia duduk tanpa merangkul atau memegang tangan wanita yang duduk disebelahnya.

“Jeding.” (Kamar mandi.) Jawabku lalu aku bersama wanita ini berjalan kearah kamar mandi.

Suara hingar bingarpun tidak terlalu keras ketika kami masuk kedalam lorong kamar mandi.

“Lang.” Ucap Wanita itu ketika kami sampai didepan kamar mandi wanita.

“Masuk dulu, nanti aja kita mengobrolnya.” Ucapku kepada wanita itu.

Tatapannya sayu dan dia langsung masuk kedalam kamar mandi wanita. Tubuhnya agak sempoyongan, karena pengaruh minuman yang kami minum tadi. Akupun masuk kedalam kamar mandi laki – laki, lalu setelah buang air kecil, aku keluar lagi dan menunggunya didepan kamar mandi wanita.

Wanita itu keluar dan dia langsung menggandengku,lalu menariknya kearah pojokan ruangan lain yang agak gelap dan tidak terlalu bising.

“Aku tidak ingin meminta maaf atau menjelaskan kenapa aku ada disini.” Ucap wanita itu dan kami berdua berdiri berhadapan.

“Terserah kamu menganggapku sebagai wanita apa. Terserah kamu.” Ucap Wanita itu, dengan suara yang bergetar.

“Kalau cuman itu yang mau kamu ucapkan. Kenapa kamu ajak aku kesini.? Kenapa kita gak langsung ketempat yang tadi aja.” Ucapku dan sebenarnya aku jengkel dengan apa yang baru dia ucapkan ini.

“Aku cuman mau kamu bersikap seperti biasa dan seperti tidak mengenalku. Aku bekerja disini dan lakukan seperti apa yang dilakukan teman – temanmu pada pasangannya.” Ucap Sarah sambil melihat kearah yang lain.


Sarah


Ya, wanita ini adalah Sarah, bina dampingku ketika ospek.

“Maksudnya.? Kamu suruh aku meluk – meluk kamu terus bercumbu seperti yang lainnya itu.?” Tanyaku dengan pelan tapi penekanan yang keras.

“Terserah.” Ucapnya dan tetap melihat kearah yang lain.

“Cok.” Makiku.

“Kalau kamu gak mau, kenapa milih aku.? Kamu kira sikapmu itu bisa bantu aku.? Enggak, kamu malah buang – buang waktuku dan aku pasti akan mendapatkan teguran setelah ini.” Ucap Sarah, lalu dia menatapku dengan tatapan dinginnya.

“Kamu gak usah jadi pahlawan kesiangan Lang. Gak usah. Lakukan apa yang menjadi tujuanmu kemari. Bersenang – senanglah sampai kamu puas dan tugasku melayani kamu, mencapai kepuasan itu. Kamu senang dan aku akan mendapatkan uang. Paham.” Ucap Sarah dengan suara yang bergetar.

Kata – kata Sarah ini langsung menghujam jantungku dan terasa sangat sakit sekali didalam sana. Kata – kata itu seolah menyadarkan aku, kalau ada orang disekelilingku yang sedang bekerja dan kesusahan, tapi aku malah bersenang - senang diatas penderitaanya dalam bekerja ini. Akupun langsung emosi mendengarnya. Entah aku emosi karena apa, yang jelas aku sangat marah sekali.

“Berapa uang yang kamu butuhan.?” Ucapku sambil menatapnya dan aku bertanya dengan air mata yang tertahan dikedua kelopak mataku.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Sarah langsung pecah dan keningnya disandarkan di dadaku.

Cuk, jancuukk. Kok jahat banget ya pertanyaanku.? Kenapa juga aku harus bertanya seperti itu tadi.? Pasti itu sangat melukai hatinya. Bajingan.

Terus ada apa juga dengan Sarah.? Kenapa dia sampai melakukan hal seperti ini.? Apa dia membiayai kuliahnya sendiri dengan cara seperti ini.? gila, ini gila banget cuk.

Mendengar tangisnya yang pilu ini, dadakupun terasa bergetar. Kedua tanganpun langsung memeluknya dan membelai rambut panjangnya ini. Sarah terus menangis dan sekarang wajah sampingnya menempel didadaku.

“Maaf, maafin aku. Bukan maksudku merendahkan dirimu dengan perkataanku tadi Sar.” Ucapku sambil membelai rambutnya.

“Enggak, kamu gak salah. Memang seperti ini pekerjaanku. Hiks, hiks.” Ucap Sarah dan tangisnya membuat hatiku semakin menjerit.

“Apapun yang kamu lakukan, pasti karena keterpaksaan. Aku gak bisa berkata pekerjaanmu ini salah atau benar, karena hanya kamu saja yang bisa menilai itu. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya tetap berada didekatmu, karena kamu Mba Sarah bina dampingku diospek. Aku tidak perduli dengan pekerjaanmu atau apapun mengenai dirimu.” Ucapku dan Sarah langung membalas pelukanku.

“Hiks, hiks, hiks. Terimakasih Lang, terimakasih karena kamu masih mau ada didekatku, setelah tau semua tentang aku saat ini. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Sarah dengan sedihnya.

Perlahan dia mengangkat wajahnya dan menatap wajahku, dengan posisi tetap saling berpelukan. Kepalaku yang lumayan berat akibat minuman tadi, membuat pandanganku tiba – tiba berbayang.

Wajah Sarah dipelukanku ini perlahan berubah menjadi wajah Intan. Matanya, hidungnya, pipinya, rambutnya, semua menyerupai Intan.

Akupun langsung memejamkan kedua mataku, sambil menggelengkan kepalaku. Aku lalu membuka kedua mataku perlahan dan tetap saja wanita dipelukanku ini, berwajah seperti Intan yang tersenyum.

“Gilang.” Ucap wanita ini dan suaranya sama seperti Intan.

“I, i, intan.” Ucapku terbata, lalu entah siapa yang memulai, bibir kami sudah saling mendekat, lalu.

CUUPPP, CUUPP, CUUPP.

Bibir kami saling melumat dengan sangat lembutnya.

CUUPPP, CUUPP, CUUPP.

“Hem, hem, hemm.” Desah kami ditengah lumatan yang semakin memanas ini.

Intan lalu merangkul leherku dengan kedua tangannya, dan kedua tangankupun meraba pinggulnya dengan sangat lembut.

CUUPPP, CUUPP, CUUPP.

Ciuman ini semakin menggila, dengan diiringi suara dentuman music yang samar – samar terdengar.

Perlahan kedua tanganku menyelinap masuk kedalam kaos dibagian pinggang Intan, lalu meremasnya dengan lembut.

“MUACCHHH.” Ciuman kami terlepas dan kami saling memandang.

“Waktu kita gak banyak Lang.” Ucap Intan dengan tatapan sayunya, lalu dia melumat bibirku lagi.

“Hem, hem, hemm.” Desah kami dilumatan yang telah basah ini.

Kedua tanganku yang berada dikulit pinggang Intan, perlahan mulai naik kearah punggungnya dan merabanya pelan.

Intan melepaskan rangkulannya di leherku, lalu dia memegang bagian kancing celanaku.

“Hem, hem, hemm.”

“MUACCHHH.”

Aku melepaskan ciumanku.

“Cukup Tan, cukup. Jangan kita lanjutkan lagi.” Ucapku, tapi kedua tanganku masih berada dipunggungnya dan terus merabanya.

“Enggak, kita harus menuntaskan sekarang juga.” Ucap Intan sambil membuka kancing celanaku, lalu dilanjut dengan menurunkan resletingku.

“Uhhhhh, cukup, cukup.” Ucapku ketika Intan meremas batangku dari luar CDku.

Aku mengucapkan itu tanpa menahannya dengan kedua tanganku, tapi aku justru meraih kaitan tali Branya dipunggungnya dan aku langsung membukanya.

Klik.

Kaitan terbuka dan bersamaan Intan menarik turun celanaku dan cdku.

“Ahhhh.” Desahku ketika Intan meremas batangku dengan lembutnya.

“Nikmatilah Lang, nikmati ini.” Ucap Intan lalu dia jongkok dihadapanku sambil mengocok pelan batangku.

“Ahhhhh.” Desahku yang panjang, sambil mendangakkan kepalaku.

Batinku bergejolak dengan hebatnya. Aku ingin menghentikan kegilaan ini, tapi efek mabuk dan nafsuku yang memanas ini, memaksaku untuk menikmati semua ini.

Sruuppp.

Kepala batangku terasa dijilat dengan sangat lembutnya.

Akupun langsung menunduk dan Intan langsung memasukan kepala batangku kedalam mulutnya.

“Arrgghhhh.” Aku menahan nikmat kulumannya, sambil memundurkan sedikit pinggulku.

Intan langsung menahan bokongku dan memasukan setengah batangku kedalam mulutnya.

“Ahhhhh.” Desahku kenikmatan, ketika Intan mulai memaju mundurkan kepalanya.

Batangku mulai keluar masuk didalam mulut mungilnya, dan dia melakukannya sambil menatap kedua mataku.

Cok, nafsu ku menang cok. Aku sudah mulai menggila dengan gairah ini dan aku ingin menikmati tubuh Intan sekarang juga.

Akupun menikmati setiap Intan memaju mundurkan kepalanya. Intan lalu melepas pegangannya dibokongku, karena aku sudah sangat menikmati ini.

Tangan Intan langsung memegang batangku bagian bawah, sambil terus memasukan mulutnya sampai setengah batangku.

Clok, clok, clok, clok.

Bunyi batangku yang keluar masuk didalam mulutnya. Kenikmatanku pun makin bertambah, ketika tangan kanannya mulai mengocok bagian bawah batangku. Tangan kirinya pun, mulai meremas kedua bijiku perlahan.

“Arrghhhhhhh..” Aku mendesah kenikmatan, sambil terus menatap mata Intan.

Clok, clok, clok, clok.

Karena aku sudah tidak tahan lagi, aku langsung menarik tubuh Intan sampai berdiri, lalu aku melumat bibirnya yang basah itu.

“Hem, hem, hemm.”

Tangan kananku langsung masuk kedalam kaos Intan dan meraba gundukan daging didadanya yang kenyal, padat dan ukurannya pas ditanganku ini.

“Hemmm.” Desah Intan ketika aku meremas lembut buah dada bagian kanannya.

Aku meremas pelan sambil sesekali memelintir puttingnya yang kecil itu.

“Hemmm, hemmm, hemmm.” Desah Intan.

Buah dada kanan dan kirinya bergantian aku remas, sambil terus tetap berciuman.

“MUACCHHH.”

Intan melepaskan ciumannya lalu memegang kedua pipiku.

“Lakukan sekarang, karena waktu kita gak banyak.” Ucap Intan dengan lembut dan hembusan nafas yang penuh nafsu.

Akupun langsung mengeluarkan tangan kananku dari dalam kaosnya, dan aku membuka kancing celana panjangnya.

Intan membantu menurunkan reslestingnya, dan dia menurunkan celana panjang serta cdnya sampai sebatas pahanya.

“Lakukan sekarang.” Ucap Intan sembalikan tubuhnya dan menyandarkan kedua tangannya, bertumpu pada dinding.

Aku yang dikuasai nafsu ini, langsung meremas kedua bongkahan bokongnya yang padat dan berisi ini.

“Ahhhhhhh.” Desah Intan sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Oh iya, disela mabukku ini aku teringat. Intan pernah mengatakan kepadaku kalau dia belum pernah telanjang dihadapan pria manapun, apalagi bersetubuh.

Aku harus memperlakukannya dengan sangat lembut dan dia gak boleh kesakitan, ketika batangku merobek selaput perawannya nanti.

Aku lalu menunduk dan menurunkan lagi celananya sampai sebatas lutut. Setelah itu aku membuka bongkahan bokongnya, sampai samar – samar kedua lobang Intan terlihat. Lobang bokong dan lubang makinya.

Sluurrpppp.

Aku menjilat mulai bawah bagian mekinya, sampai lubang bokongnya.

“Arrggggggghhh.” Desah Intan dan kedua kakinya terasa bergetar.

Sluurrpppp, Sluurrpppp, Sluurrpppp Sluurrpppp.

Aku lalu menjilatinya terus, sampai lubang mekinya benar – benar basah.

“Uhhhhh, ahhhhhh. Sudah Lang, cukup. Cepat kita lakukan sekarang. Ahhhh, uhhh.” Ucap Intan disela desahannya.

Aku lalu menyentuh lubang mekinya yang benar – benar basah itu.

Setelah memastikannya sudah basah, aku lalu berdiri dan Intan makin membungkukan tubuhnya.

“Ini pasti sakit Tan.” Ucapku sambil menggenggam batangku dan mengarahkan kebelahan mekinya.

“Iya, cepat masukan sekarang. Waktu kita gak banyak.” Ucap Intan sambil menoleh kearahku.

Aku pun mengangguk lalu menekan pinggulku pelan, sampai kepala batangku masuk kedalam meki Intan yang perawan ini.

“Awwww. Uhhhhhh.” Ucap Intan sambil memajukan sedikit pinggulnya.

“Sakit ya.?” Tanyaku sambil menghentikan gerakanku.

“Enggak, masukin sekarang. Cepat.” Ucap Intan.

Nafsuku yang benar – benar memuncak ini, langsung menggerakkan pinggulku untuk menekan lebih dalam.

Blessss.

Rapat, sempit dan terjepit, terasa diseluruh batangku.

“Ahhhhhhh.” Desah Intan, sambil mendangakkan kepalanya.

Tapi entar dulu, kenapa kepala batangku kok tidak merobek sesuatu didalam sana.? Ini sudah hampir masuk semua, tapi kok tidak ada jerit kesakitan atau darah yang menetes.? Memang benar Intan menjerit, tapi jeritannya bukan seperti seorang wanita yang kesakitan, ketika kemaluannya dibobol pertama kali.

Apa Intan membohongi aku selama ini.? Apa memang dia telah melakukan dengan seseorang, sampai dia hamil lalu bunuh diri.? Kenapa dia gak jujur padaku.? Apakah dia mau menutupi semua dari aku.? Gila.

“Lang, cepat tuntaskan.” Ucap Intan ketika batangku sudah masuk seutuhnya.

Mabuk minuman dan mabuk nafsuku, mengalahkan semua pikiran serta kecurigaanku kepada Intan. Aku dengan cueknya langsung menarik pinggulku kebelakang, sampai batangku keluar setengah lalu menekannya kedalam lagi.

“Ahhhh.” Desah Intan yang posisi kakinya mengangkang, dan kedua tangannya bertumpu pada dinding.

“Kamu berbohong Tan, kamu berbohong.” Ucapku dalam hati sambil menggoyangkan pinggulku dan batangku keluar masuk didalam sempitnya meki Intan.

“Ahhhhh, ahhhh, ahhhh.” Desah kami bersaut – sahutan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Bunyi ketika selangkanganku bertemu dengan bongkahan bokongnya.

“Ahhhhh. Ahhhh, ahhhh.” Desahku dan kedua tanganku masuk kedalam kaosnya dan meremas kedua buah dadanya.

“Ahhhhh.” Desah Intan sambil menyandarkan punggungnya didadaku.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Aku mengoyangkan pinggulku dan Intan langsung menoleh kearahku.

Kami berdua saling melumat bibir dan kedua tanganku terus meremas buah dadanya.

“Ahhhhh, ahhhh, ahhhh.” Desah kami bersahut – sahutan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Kamu berbohong Tan, kamu berbohong.” Ucapku yang terus mengumpat dalam hati, sambil menikmati sempitnya lubang kenikmatan Intan.

“AHHHHHHHH.” Desah Intan dan aku merasa tubuhnya bergetar dan cairan yang agak kental, keluar dan merembes disekitar kemaluanku.

Aku menghentikan gerakanku dan kami berhenti berciuman. Akupun tidak mermas buah dadanya, tapi kedua tanganku tetap didadanya.

“Hu, hu, hu, hu,” Nafas Intan cepat dan kedua tangannya langsung bersandar pada dinding lagi.

“Uhhhh, gila.” Ucap Intan dengan suara dan nafas yang terdengar cepat.

“Lanjut Lang, lanjut.” Ucap Intan sambil menoleh ke arahku dengan tatapan sayunya.

Akupun mengangguk pelan dan kedua tanganku, aku keluarkan dari kaosnya. Aku lalu memegang pinggulnya dan mulai menggoyang pelan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Ahhhhh, ahhhh, ahhh.” Desahku sambil meremas pinggulnya dan aku mendongakkan kepalaku.

Isapan didalam meki Intan, membuat aku semakin bersemangat menggoyangnya.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Ahhhhh, ahhhhhh, ahhhhh.” Intan meracau kenikmatan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Uh, uh, uh, uh, uh,” Nafasku memburu dan keringat mulai keluar dari keningku.

“Gila, ahhhhh, ahhhhh.” Racau Intan sambil menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Aku mau keluar Tan, aku mau keluar. Ahhhhh” Ucapku sambil terus mengoyangkan pinggulku.

Akupun menyerah dengan kenikmatan sempit dan legitnya meki Intan, sampai air maniku siap untuk tertumpah.

“Ahhhh, aku juga Lang, aku juga mau keluar. Ahhh.” Desah Intan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Aku makin mempercepat goyanganku dengan semangatnya.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Dan ketika air maniku sudah berada diujung kemaluanku, aku menekan kedalam meki Intan sampai dia menjerit kenikmatan, lalu.

“AHHHHHHHHH.” Desah kami dan,

CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT.

SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT.

Aku menumpahkan semua cairan air maniku kedalam meki Intan, dan dia juga mengeluarkan cairan kenikmatannya.

“AHHHHHHHHH.” Desahku sambil mengejangkan kedua kakiku.

“AHHHHHHHHH.” Intan pun mendesah dan tubuhnya terasa bergetar.

Jepitan meki Intan benar – benar meremas batangku dan menguras habis air maniku.

“Uhhhh, uhhhh, uhhhh, uhhhhh.” Nafas kami sama – sama memburu dan aku membiarkan batangku didalam sana, sampai terasa mulai mengecil.

Gila, kenikmatan ini sangat luar biasa. Sangat luar biasa sekali.

Beberapa saat kemudian.

Plop.

Aku mencabut batangku dari kemaluan Intan dan aku memejamkan kedua mataku sesaat.

Jiancokk. Kamu bohong Tan, kamu bohong sama aku. Kenapa kamu bilang masih perawan.? Kenapa.? Kalaupun kamu jujur sudah tidak perawan dan benar – benar hamil, aku tidak akan menginggalkanmu dan aku pasti akan tetap mencintamu.

Tapi kamu sudah membuat aku kecewa Tan, aku kecewa banget.

Akupun membuka mataku perlahan, bertepatan dengan Intan yang membalikan tubuhnya, sambil membenarkan kaosnya. Lalu dia menaikkan celana serta cdnya, Dan tiba – tiba.

“Sar, Sarah.” Ucapku yang terkejut, ketika wanita ini berbalik dan dia bukan Intan.

“Hu, hu, hu. Terimakasih ya Lang.” Ucap Sarah disela nafasnya yang memburu, sambil mengancingkan tali bra dipunggungnya.

“Kamu Sarah.?” Ucapku yang setengah tersadar dari mabukku.

Sarah tidak menjawab ucapanku dan dia hanya membelai pipiku, ketika sudah mengancingkan tali branya dan membenarkan kaosnya lagi.

“Maafkan aku, maafkan aku.” Ucapku dengan suara yang terbata.

Aku merasa sangat bersalah sekali kepadanya. Selain karena aku sudah menikmati tubuhnya, aku sudah menyebut nama wanita lain ketika persetubuhan tadi berlangsung. Aku tau dia pasti kecewa karena ucapanku tadi. Wanita mana yang tidak kecewa, ketika kita menikmati tubuhnya, tapi pikiran dan hati kita malah tertuju pada wanita lain. Jahat banget sih aku ini.

Sarahpun menundukan kepalanya, sambil menaikan celanaku dan cdku, lalu mengancingkan celanaku.

“Sar, maafin aku ya.” Ucapku sambil mengangkat dagunya, sampai wajahnya melihat kearahku.

Sarah hanya tersenyum lagi, dengan mata yang berkaca – kaca.

“Sarah.” Ucapku Pelan dan dengan suara yang bergetar.

“Gak ada yang perlu dimaafkan Lang. Justru aku yang merasa berdosa, karena aku memanfaatkan kamu disaat kamu membayangkan wanita lain.” Ucap Sarah dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Maafkan aku ya.” Ucap Sarah dan aku makin merasa bersalah sekali.

Aku langsung mendekap tubuh Sarah dengan eratnya dan Sarah langsung menangis dipelukanku.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangis Sarah yang terdengar pilu sekali.

“Cukup Sar, cukup. Tangisanmu ini makin membuatku merasa bersalah.” Ucapku sambil mengelus rambutnya.

“Aku menangis bukan karena sedih Lang, bukan. Aku menangis bahagia, karena bisa memberikan sesuatu untuk laki – laki baik seperti kamu.” Ucap Sarah.

CUPPPP.

“Kamu itu ngomong apasih.?” Tanyaku setelah aku mengecup rambut bagian atasnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangisnya mulai mereda dan dia makin memperat pelukannya.

Kami berdua berpelukan cukup lama, sambil menenangkan diri masing – masing.

“Kita balik Lang, gak enak terlalu lama meninggalkan mereka.” Ucap Sarah sambil melepaskan pelukannya dan membersihkan sisa air matanya yang mengalir.

“Aku gak perduli sama mereka. Persetan mereka itu siapa.” Ucapku.

“Baiklah, tapi bagaimana dengan Joko, kamu gak apa – apa meninggalkannya lama.?” Ucap Sarah dan dia sudah mulai terlihat sedikit tenang.

Cok. iya, ya. Aku gak enak sama sahabatku itu. Kelihatannya dia gak nyaman dengan pasangannya. Pasti dia teringat dengan Mba Denok, makanya dia tidak mau menyentuh pasangannya yang cantik tadi itu.

“Baiklah, kita balik.” Ucapku dan Sarah kembali memelukku dan dia menangis lagi.

“Katanya tadi mau kesana.” Ucapku.

“Iya, aku kan cuman mau meluk kamu lagi. Aku takut kalau besok tidak mempunyai kesempatan untuk memeluk kamu lagi.” Ucap Sarah dengan sedihnya.

Cok, kok jadi seperti ini ya.? Jujur akupun mulai sedikit nyaman dengan Sarah. Tapi tidak mungkin aku bersama Sarah untuk saat ini. Aku sudah mempunyai Intan dan hanya dia wanita yang bersanding dihatiku saat ini.

“Sudah Sar, sudah. Sekarang lebih baik kita kembali keruangan.” Ucapku sambil membelai rambutnya. Aku sengaja mengucapkan itu, agar pembicaraan kami ini tidak terlalu dalam lagi.

“I, i, iya.” Ucap Sarah sambil melepaskan pelukannya dan membersihkan matanya dari sisa air mata yang mengalir.

Kamipun membersihkan diri kekamar mandi, setelah itu Sarah memelukku lagi. Kembali aku menenangkannya dan setelah dia tenang, aku pun menggandeng tangannya dan berjalan kearah tempat kami berpesta tadi.

Dan ketika kami melewati sekelompok orang.

“Loh, kok kamu main disini Sar.? Kurang ya hasilnya main diluar, sampai kamu lembur didiskotik ini.? Hehehe.” Ucap seseorang dan aku langsung melihat kearah suara itu.

Dan ternyata orang itu adalah orang yang bermasalah dengan Satria, digudang satu tadi siang. Bajingan.

“Main sama aku lagi yuk, entar aku tambahin deh uangnya.” Ucap orang itu dan emosikupun langsung terbakar mendengar ucapannya.

Pikiranku yang sudah kacau seharian ini dan ditutup dengan kejadian yang ‘menjacokkan’ dengan Sarah, membuat tangan kananku terkepal dengan kuatnya

“Cok.” Makiku dan Sarah langsung menggengam erat telapak tangan kiriku.

“Kenapa.? Kamu mau cari masalah sama aku.?” Ucap orang itu dan.

BUHHGGG.

Aku menghantamnya dengan kepalan tangan kananku dengan keras, sampai dia termundur kebelakang.

“ARRGHHH.” Teriaknya kesakitan.

“Gilang.” Ucap Sarah dan aku langsung melepaskan genggamannya ditangan kiriku, lalu aku menerjang wajah orang yang aku pukul tadi.

BUHHGGG.

“ARRGGHHHH..” Teriaknya kesakitan dan dia langsung tumbang dilantai diskotik.

“GILANG.” Teriak Sarah dan aku tidak menghiraukannya.

Aku mendatangi manusia yang terlentang itu, lalu aku jambak rambutnya dengan tangan kiriku, lalu aku menghantam wajahnya dengan kepalan tangan kananku.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Aku menghajarnya dengan membabi buta, sampai darah keluar dari hidung dan mulutnya. Lalu tiba – tiba.

BUHHGGG.

Seseorang menghantam wajah sampingku sampai aku oleng kesamping, dan alunan musikpun langsung terhenti.

“JIANCOOKK.” Maki Joko dari kejauhan dan

BUHHGGG.

Joko berlari sambil mengarahkan tendangannya kearah wajah orang yang menghantamku.

Aku lalu menegakkan tubuhku dan Joko berdiri dibelakangku. Kami berdua berdiri saling memunggungi, dengan kedua tangan yang terkepal kedepan. Belasan orang langsung mengelilingi kami dan bersiap mengeroyok kami berdua.

“Woi, woi. Jangan ribut disini.” Ucap beberapa orang keamanan tempat ini.

“Gak usah ikut – ikut kamu.” Ucap orang yang aku hajar pertama kali tadi, sambil menunjuk wajah keamanan itu.

“Ooo. Jadi ko mo buat kacau disini.?” (Ooo. Jadi kamu mau buat keributan disini.?) Ucap Bung Toni yang berjalan kearah kami dan di ikuti Wawan serta Bendu.

Belasan orang yang mengelilingi kami itupun, langsung berkumpul menjadi satu dan mundur perlahan.

“Kalau anak kuru mau cari gara – gara sama anak kampus teknik kita, maju aja.” Ucap Wawan dan mereka bertiga sudah berdiri didekatku.

“Ko maju sudah.” Ucap Bung Toni sambil menunjuk belasan orang didepan kami.

Mereka diam lalu satu persatu berjalan keluar dari ruangan ini. Akupun langsung melihat kearah Bung Toni, Wawan dan Bendu, sambil menurunkan kedua tanganku yang terkepal.

“Maaf ucapanku waktu diluar tadi Lang. Harusnya permasalahan dengan pondok merah, kami tidak melibatkan kalian berdua. Kami, kalian berdua dan pondok merah, itu satu kampus. Harusnya kalau permasalahan satu kampus, kami selesaikan sendiri.” Ucap Wawan sambil melihat kearahku, lalu melihat kearah Joko.

“Tapi kalau masalah dengan kampus lain, masalahmu jadi masalah kami.” Ucap Bendu menyahut.

“Iyo.” Ucap Bung Toni.

“Terimakasih atas pengertian dan bantuan kalian. Sekarang aku mau menyelesaikan sedikit masalahku dulu.” Ucapku sambil berjalan kearah Sarah.

Aku lalu menggandeng Sarah dan berjalan kearah tempat kami berpesta tadi. Tampak Pak Doni berdiri dan dia melihat kejadian barusan. Anak buahnya pun tampak melihat kearahku dan Joko dengan pandangan yang biasa. Sementara itu mami yang membawa Sarah tadi, juga ada didekat Pak Doni.

“Maaf kalau kami sudah mengacaukan acara ini Pak. Lebih baik saya pamit aja, dari pada suasananya jadi gak enak. Terimakasih atas pesta ini dan mohon maaf sekali lagi.” Ucapku.

“Santai aja Lang.” Ucap Pak Doni lalu tersenyum kepadaku.

“Dan untuk sampean.” Ucapku sambil melihat kearah Mami.

“Mulai malam ini Sarah gak akan disini lagi. Kalau aku lihat Sarah disini, aku pasti buat keributan lagi.” Ucapku sambil menatapnya dengan tajam. Mami pun hanya mengangguk pelan, karena Joko, Bung Toni, Wawan dan Bendu, berdiri dibelakangku.

Sarah langsung menggenggam tanganku dengan erat, lalu aku menariknya keluar diskotik.

“Gendeng koen cok.” (Gila kamu cok.) Ucap Joko kepadaku, ketika kami berada diluar diskotik.

“Ga usah kaken cangkem. Ayo ndang muleh.” (Gak usah kebanyakan ngomong. Ayo pulang.) Ucapku sambil tetap menggenggam tangan Sarah.

“Cok, kok awakmu nesuan saiki.?” (Cok, kok kamu cepat marah sekarang.?) Ucap Joko dan aku cuek saja sambil melihat kearah Bung Toni, Wawan dan Bendu.

“Aku pulang dulu ya.” Pamitku kepada mereka bertiga.

“Iyo, hati – hati.” Ucap Bung Toni, sedangkan Wawan dan Bendu hanya mengangguk sambil tersenyum.

Joko langsung mengengkol kimba.

Kletek, kletek, teng, teng, teng.

Dan setelah mesin menyala, Joko langsung naik keatasnya.

Akupun naik ditengah, sedangkan Sarah yang memakai celana panjang, duduk dibelakangku.

“Tak kiro Mba Sarah lungguh tengah, eh malah bathang seng nde kene.” (Kukira Mba Sarah yang duduk ditengah, eh malah bangkai yang disini.) Gerutu Joko.

“Cerewet.” Ucapku.

“Hahahaha.” Bung Toni, Wawan dan Bendu langsung tertawa.

“Enak’e uripmu le, le.” (Enaknya hidupmu nak, nak.) Ucap Joko, lalu.

Kletek.

Joko memasukkan persenling satu.

“SEMONGKO.!” Teriak Bung Toni.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” Sahut kami bersama.

Trenteng, teng, teng, teng, teng.

Joko menarik gas kimba dan meninggalkan diskotik ini.

Waktu sudah melewati tengah malam dan hawa dingin kota ini semakin menyentuh tulang. Sarah yang duduk dibelakangku, lalu merapatkan dadanya dipunggungku dan kedua telapak tangannya disandarkan diatas pahaku. Akupun dengan refleknya memegang punggung tangan Sarah.

“Maaf.” Bisik Sarah sambil menempelkan dagunya dipundaak kananku

“Hem.” Jawabku sambil meremas punggung tangan kanannya.

Hiufftt, huuu.

Wanita ini wanita yang sangat kuat. Dia melakukan ini dan sampai menjatuhkan harga dirinya, pasti karena sudah tidak ada jalan lagi. Bukannya aku mendukung apa yang dilakukannya, bukan. Tapi aku salut dengan dia yang mau berusaha, tanpa mengeluh kepada orang lain atau bahkan keluarganya.

Aku gak berhak menghakiminya, karena aku bukan Sang Pencipta dan aku bukan yang menentukan jalan hidupnya. Salah, benar, baik dan buruk, biarlah Sang Pencipta yang menentukannya. Sedangkan aku yang hina ini, hanya bisa berada didekatnya dan aku hanya bisa membuatnya tersenyum. Itu saja.

Semoga esok hari, dia tidak datang ketempat itu lagi dan dia mau mencari pekerjaan lainnya. Semoga saja.

Hiufftt, huuu.

Perjalanan kamipun tidak terasa sampai diperampatan kampus. Joko terus menarik gas kimba sampai mendekati depan kampus teknik kita dan gang yang menuju pondok merah.

Lalu tiba – tiba sebuah sepeda motor keluar dari gang itu, bertepatan dengan kimba yang sampai didepan pagar kampus teknik kita. Jokopun langsung mengerem dan berhenti, lalu melihat kearah sepeda motor yang keluar gang itu.

Tampak Mas Adam menggonceng dua orang dibelakangnya. Wajahnya terlihat tegang, sedangkan dua orang yang digoncengnya tidak terlihat.

“Kate nangdi Mas.?” (Mau kemana Mas.?) Tanya Joko.

“Kerumah sakit.” Jawab Mas Adam.

“Ha.? Siapa yang sakit.?” Tanyaku.

Orang yang paling belakang langsung melihatkan wajahnya dan dia adalah Mas Pandu. Sedangkan yang ditengah tampak menunduk dan keningnya bersandar pada punggung Mas Adam.

Mas Adam tidak menjawabnya dan hanya membelokan sepeda motornya kearah kanan. Dan dikeremangan cahaya ini, tampak Rendi yang tersandar dan tidak sadarkan diri, dengan wajah samping yang mengeluarkan banyak darah.

“Cok.” Maki Joko dan Mas Adam langsung menarik gas sepeda mmotornya dengan cepat, dengan diiringi tatapan Mas Pandu yang dingin kekarahku.

“I, i, itukan Rendi. Kenapa dia.?” Tanya Sarah dibelakangku.

“Bajingan.” Ucap Joko dan dia akan memutar kimba kearah sepeda motor Mas Adam yang melaju.

Buhhgg.

“Lurus ae.” (Lurus aja.) Ucapku sambil menepuk pundak Joko pelan.

“Tapi.” Ucap Joko sambil menoleh kearahku.

“Wes talah, dibahas nde kosan ae.” (Sudahlah, dibahas dikosan aja.) Ucapku sambil melotot.

“Jiancok.” Maki Joko dan dia menarik gas kimba lurus kedepan, tidak jadi memutar kearah belakang kami.

“Kebacut iku cok, kebacut.” (Keterlaluan itu cok, keterlaluan.) Ucap Joko dengan emosinya.

“Wes talah cok. Engko ae dibahas.” (Sudahlah cok, nanti aja dibahas.) ucapku menenangkan Joko.

“Ada masalah apa sih.? Kalian punya masalah dengan pondok merah ya.?” Tanya Sarah.

“Enggak Mba, enggak ada apa – apa.” Jawabku dan Joko hanya menggelengkan kepalanya.

Kimba lalu belok kearah kiri dan melaju kearah kosan barbara. Beberapa saat kemudian, kimba berhenti tepat dikosan barbara dan Sarah langsung turun. Akupun langsung turun dan berdiri didekat Joko.

“Kamu kekosan dulu dan tunggu aku disana.” Ucapku sambil menepuk pundaknya pelan.

Joko tidak menjawabnya dan dia langsung menarik gas kimba dengan kencangnya.

Treng, teng, teng, teng.

Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, lalu melihat kearah Sarah.

“Kalian gak buat masalah sama anak pondok merah kan.?” Tanya Sarah dengan wajah yang sangat khawatir.

“Enggaklah dan kamu gak usah memikirkan itu.” Ucapku sambil merogoh kantong belakangku dan mengambil uang bagianku yang diberikan Joko tadi.

Aku lalu meraih tangan kanan Sarah, lalu membuka telapak tangannya dan memberikan uang itu, lalu aku tutup jemarinya lagi. Setelah itu aku menggenggam tangan Sarah.

“A, a, apa ini Lang.?” Ucap Sarah dengan mata yang berkaca – kaca dan suara yang bergetar.

“Jangan kembali ketempat lagi itu Sar, jangan. Simpan uang ini dan aku akan mencarikan kamu pekerjaan yang lain. Aku janji.” Ucapku dan Sarah mencoba membuka telapak tangannya yang aku genggam.

“Tapi kenapa kamu kasih aku uang.? Kamu beneran anggap aku..” Ucapnya terpotong dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Kamu sahabatku Sar, kamu sahabatku. Aku sayang sama kamu dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapi masalah seorang diri.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Kalau kamu menolaknya, jangan pernah mengenal aku lagi.” Ucapku lagi dan Sarah langsung menenteskan air matanya.

“Hiks, hiks, hiks.” Sarah menangis dan dia langsung memelukku dengan tangan kirinya.

Akupun melepaskan gengaman ditangan kanannya dan dia langsung memelukku dengan kedua tangannya.

“Te, terima kasih. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Sarah dan aku membelai punggungnya.

“Sudahlah, jangan menangis lagi. Kamu wanita kuat dan kamu wanita yang baik.” Ucapku menenangkan Sarah.

“Hiks, hiks, hiks.” Sarah terisak dan dadanya terasa bergetar.

“Apapun masalahmu, aku harap kamu mau bercerita kepadaku. Walaupun seandainya aku tidak bisa memberikan solusi, setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik dari semua masalahmu. Tidak baik kalau kamu memendamnya seorang diri.” Ucapku sambil membelai rambutnya.

“Maafkan aku tentang kejadian tadi ya.” Ucapku menutup ucapanku.

Sarah lalu melepaskan pelukannya dan menatap mataku dengan deraian air matanya. Lalu tiba – tiba.

CUUPPP.

Dia mengecup bibirku dengan lembut, lalu dia membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah pagar sambil menutup mulutnya.

“Pergilah Lang, pergilah sekarang juga. Sebelum aku mengeluarkan isi hatiku kepadamu saat ini, pergilah. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Sarah dan langsung membuatku terkejut.

Dia mengatakan itu tanpa melihat kearahku sambil tetap menangis, lalu dia membuka pagarnya dan masuk, lalu menutupnya lagi dan berlari kearah pintu kosannya. Aku sempat melihat seseorang dibalik kelambu diruang tamu kosannya, dan aku yakin itu adalah Gendhis.

Aku diam sejenak sambil melihat kearah kosan Barbara, lalu aku melangkah meninggalkan kosan ini sambil mengacak – acak rambutku.

Cok, jancok. Kok jadi seperti ini sih.? Niatku hanya membantu, kok Sarah jadi memakai perasaannya.? Arrghhh. gila. Apa ini karena kami berdua sudah melakukan persetubuhan itu.? Bajingaannnn.

Terus gimana nasibku dikosan nanti.? Apa Intan gak marah karena aku telah bersetubuh dengan Sarah.? Cok, baru saja aku baikan dengan Intan, sekarang harus bermasalah dengan wanita yang kucintai itu. Kenapa juga aku tidak mendengarkan nasehatnya untuk tidak terlalu mabuk.? Kalau saja aku tadi minum sedikit, aku tidak mungkin akan melakukannya dengan Sarah. Jiancookkk.

Aku melangkah kearah kosan sambil menggelengkan kepalaku, karena efek minuman ini masih bermain dikepalaku. Tapi jujur, efek minuman ini terasa kalah dengan semua kejadian hari ini. lama – lama bisa gila juga aku. Bajingaann.

Dan ketika aku sampai dikosan, kimba terparkir dengan rapi diteras kosan dan sepatu Joko juga ada didekat pintu. Syukurlah dia tidak pergi menuyusul Mas Pandu. Kalau dia sampai menyusul, bisa makin gila aku.

Aku lalu masuk kedalam kosan dan terlihat Intan sudah berdiri dibalik pintu dan tersenyum kepadaku. Intan merentangkan kedua tangannya dan bersiap memelukku.

Ha.? Intan gak marah, aku habis bersetubuh dengan Sarah.? Kok bisa ya.? Padahal hari itu dia marah, ketika aku bersetubuh dengan Bu Har. Tapi kenapa sekarang enggak.? Oh iya, Intan juga gak marah ketika aku habis bersetuh dengan Bi Ati. Ada apa ini.? Apa Intan memang mengetahuinya atau memang ada masalah lain.? Gila, ini gila banget.

Hiuutt, huuuuu.

Tanpa banyak kata, aku menutup pintu kosan dan aku langsung memeluk Intan dengan sangat eratnya.

“Laki – lakiku ini memang hebat.” Ucap Intan dengan lembutnya, lalu dia mengelus rambutku pelan.







#Cuukkk. Sebuah kalimat yang lembut dari wanita yang aku cintai ini, langsung meluluh lantakan semua pikiran yang mengganjal dikepalaku. Belaian yang penuh kasih sayang dikepalaku, seolah merontokkan bertubi – tubi permasalahan yang ada didalamnya. Kamu luar biasa Tan, kamu luar biasa. Kamu sudah membuatku tergila – gila dengan apa yang kamu lakukan. Bajingan.
 
Selamat malam menjelang pagi.
Sudah diupdet semua ya.
Jangan tanya kapan updet lagi, mau istirahat dulu.

Mohon dimaafkan kalau ada salah ketik, karena mata sudah gak bisa diajak kompromi.
Semoga masih dinikmati.
Jangan lupa saran dan masukan.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd