Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,4%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 542 70,8%

  • Total voters
    765
“Ra usah ngadek nde ngarep kamarku cok. Ndang budalo. Tak sepak cangkemmu koen engko.” (Ga Usah berdiri didepan kamarku cok. cepat pergi sana. Kusepak mulutmu nanti.) Ucapku sambil mendekat kearahnya.

“Hehehe.” Joko tertawa senang, sambil menggaruk kepalanya.

“Yo wes, tak budal yo. Engko jam piro awak dewe budal nang acarane Pak Doni.?” (Ya sudah, aku berangkat dulu ya. nanti jam berapa kita berangkat keacara Pak Doni.?) Tanya Joko dengan wajah yang berbunga – bunga.

“Gak usah terlalu dipikir, acara itu gak terlalu penting. Yang penting itu Mba Denok.” Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku kearah Joko.

“Semongko.” Ucapku lagi.

“Semangat nganti bongko.” (Semangat sampai mampus.) Jawab Joko sambil meninju kepalan tanganku pelan, lalu membalikan tubuhnya dan keluar rumah dengan riangnya.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat kearah Intan. Tatapannya sudah kembali seperti yang dulu dan tidak dingin lagi. Senyumannya pun tersungging dibibir manisnya.

Aku mendekat kearahnya sambil merentangkan kedua tanganku, untuk memeluknya.

“Mandi dulu.” Ucap Intan sambil menahan dadaku dengan telapak tangannya.

“Habis mandi boleh peluk lagi.?” Tanyaku sambil menurunkan kedua tanganku.

“Maunya itu loh.” Ucap Intan sambil memencet hidungku pelan.

“Hehehe.” Aku pun tertawa pelan, setelah itu aku membalikan tubuhku dan berjalan kearah kamar mandi.

Hatiku senang dan kembali berbunga – bunga. Aku tidak ingin memikirkan bagaimana nantinya lagi. Yang aku pikirkan bagaimana aku bisa terus berbahagia dengan Intan, selama kami masih bisa bersama. Itu saja.

“Emang mau kemana nanti.?” Tanya Intan ketika malam sudah tiba.

“Diajak Pak Doni kediskotik tengah kota sana.” Jawabku.

“Ooo. Mau pesta ya.?” Tanya Intan dengan suara yang manja, tapi terdengar menyindir.

“Gak boleh ya.? Kalau gitu aku dirumah aja.” Jawabku.

“Aku gak melarang kok.” Ucap Intan dan suaranya yang terdengar lembut.

“Ada tapinya gak.?” Tanyaku lagi.

“Jangan minum terlalu banyak.” Jawab Intan sambil memencet hidungku.

“Kok dari tadi mencet hidungku terus sih.?” Tanyaku.

“Gak boleh ya.? Kalau gitu aku gak mau nyentuh lagi deh.” Ucap Intan meraju.

“Aku gak melarang kok.” Jawabku.

“Ada tapinya gak.?” Tanya Intan.

“Ada dong.” Jawabku lalu aku memeluknya.

“Hem.” Ucap Intan sambil melebarkan kedua matanya.

“Aku boleh peluk kamu terus, ketika aku dikosan.” Ucapku.

“Maunya itu loh.” Ucap Intan sambil membalas pelukanku.

Treng, teng, teng, teng.

Terdengar suara kimba masuk kedalam pagar dan parkir diteras.

“Budal Lang.” (Berangkat lang.) Teriak Joko dari teras.

Kurang ajar, bisa gak aku meluknya agak lama sedikit. Ganggu aja nih.

“Sabar cok, sabar.” Jawabku.

“Pergilah. Nanti kemalaman loh.” Ucap Intan kepadaku.

“Beneran aku tinggal nih.?” Tanyaku.

“Iya, pergilah.” Ucap Intan sambil membelai pipiku.

“Serius.?” Tanyaku sekali lagi.

Lalu tiba – tiba.

Cuuppp.

Intan mengecup pipiku dengan sangat lembutnya, lalu melepaskan pelukannya.

“Jangan terlalu malam dan jangan terlalu mabuk.” Ucap Intan dan aku langsung melepaskan pelukanku.

“Iya.” Ucapku sambil mengelus pipiku yang baru dikecup Intan.

Aku lalu mengganti pakaianku, setelah itu keluar menemui Joko diteras kosan. Wajahnya tampak berseri dan dia terlihat bahagia sekali.

“Iki diuitmu.” (Ini uangmu.) Ucapku Joko sambil menyerahkan beberapa lembar uang berwarna biru tua kepadaku.

“Duit opo iki cok.?” (Uang apa ini cok.?) Tanyaku.

“Yang dikasih Pak Doni tadi.” Ucap Joko dan aku langsung mengambilnya.

“Bagianmu.?” Tanyaku.

“Sudah. Tadi dikasih sejuta, terus dipakai makan dan kasih pengamen di warung bakso. Sisanya masing – masing empat ratus dua puluh lima ribu.” Ucap Joko sambil menepuk kantong belakangnya.

“Oke.” Ucapku sambil mengantongi uang pemberian Joko dikantong belakang.

Kami berdua lalu pergi kediskotik tengah kota. Kali ini Joko yang menyetir kimba dan dia selalu tersenyum sepanjang perjalanan.

“Ketok ane gendeng koen cok.” (Kelihatannya gila kamu cok.) Ucapku.

“Gak po – po, seng penting aku wes nduwe ojob” (Ga apa – apa, yang penting aku sudah punya pacar. Ojob = bojo = istri, bisa juga diartikan pacar.) Jawab Joko sambil melirikku, lalu melihat kearah depan sambil terus menarik gas kimba.

Trenteng, teng, teng, teng, teng.

“Cok, tenanan ta.? moso Mba Denok gelem ambe begedel koyok awakmu.?” (Cok, benerankah.? Masa Mba Denok mau sama perkedel kayak kamu.?) Tanyaku yang terkejut.

“Sak kareb congormu kate ngomong opo, seng penting aku nduwe ojob. Hahaha.” (Terserah mulutmu ngomong apa, yang penting aku punya pacar. Hahaha.) Ucap Joko lalu tertawa.

“DENOOKKK. AKU TRESNO KARO KUWE.” (Denok. Aku cinta sama kamu.) teriak Joko sambil memajukan tubuhnya kedepan.

Orang –orang yang kami lewatipun, langsung melihat kearah kami.

Buhhgg.

Aku memukul pundak Joko pelan.

“Cok. ngisin – ngisini ae awakmu iku.” (Cok, malu – maluin aja kamu itu.) Omelku.

“GAK NGURUS.! SEMONGKO.! HAHAHAHA.” (Gak urus.! Semongko.! Hahahaha.) Ucap Joko dan dia makin berteriak dengan kerasnya.

Bajingan. Susah kalau ngomong sama orang yang jatuh cinta ini. suara kita pasti tidak terdengar, karena tertutup rimbunnya bunga – bunga cinta yang bermekaran dihatinya. Assuuu.

Akhirnya aku mendiamkan Joko dan hanya melihatnya yang sedang kasmaran itu.

Beberapa saat kemudian, sepeda motor kamipun sampai diparkiran diskotik.

“Lang. Jok.” Panggil beberapa orang yang tidak jauh dari kami.

Aku dan Joko langsung melihat kearah suara tersebut. Tampak Bung Toni, Wawan dan Bendu, duduk bersama bersama beberapa orang preman. Mereka semua tampak berpesata, dengan minuman andalan. TM.

“Woi rek.” Ucapku bersama Joko, lalu kami mendatangi mereka dan bersalaman dengan mereka satu persatu.

Bung Toni lalu menuangkan segelas minuman dan menyerahkan kepadaku. Akupun mengambilnya dan mengangkatnya.

“Werr.” Ucapku.

“Werr, werr, werr,” Sahut semua yang ada disitu dan aku langsung meminumnya sampai habis, lalu menyerahkan kembali gelasnya ke Bung Toni.

Kembali Bung Toni menuangkan minuman dan menyerahkan kepada Joko.

“Awakmu markir nde kene Ndu.?” (Kamu tukang parkir disini Ndu.?) Tanyaku ke Bendu, lalu aku membersihkan mulutku dari sisa minuman.

“Iyo.” Jawab Bendu dan wajahnya terlihat kebingungan.

Ada apa ini.? Kenapa Bendu terlihat bingung dan khawatir seperti ini.? Bukan hanya Bendu, tapi Wawan dan juga Bung Toni. Oh iya, kemana Rendi ya.? Tumben dia gak kelihatan.? Biasanyakan mereka selalu berempat.

“Mana Bule Bung.? Tumben gak kelihatan.” Tanyaku ke Bung Toni.

“Dorang pi pondok merah.” (Dia pergi kepondok merah.) Jawab Bung Toni dengan pandangan lurus kedepan.

“Lapo arek gendeng iku rono.?” (Kenapa anak gila itu kesana.?) Tanya Joko yang terkejut.

“Diundang sama Mas Pandu.” Jawab Wawan.

“Aman aja kalau diundang disana.” Ucapku lalu aku membakar rokok kretekku.

“Aman bagaimana.? Kamu gak tau kalau siapapun yang diundang disana, pasti ada masalah dan pasti diajak duel.” Ucap Wawan.

“Moso ngono seh.?” (Masa begitu sih.?) Tanya Joko.

“Iyo.” Jawab Bung toni.

“Gak apa – apa. Namanya juga anak teknik. Anggap aja itu ujian masuk ke pondok merah.” Ucapku menenagkan mereka semua.

“Maksudmu.?” Tanya Bendu kepadaku.

“Diangkatan kita ini, siapa yang tidak mengenal Bule dan kalian bertiga.? Empat sekawan yang tersohor dan suka berkelahi. Melihat sepak terjang kalian berempat seperti ini, pasti kalian akan dirangkul oleh pondok merah.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Persetanlah. Kalau sampai mereka mengeroyok Bule, kami bertiga mau menyerang pondok merah.” Ucap Bendu dengan geregetan.

“Bukan sifat anggota pondok merah kalau main keroyokan. Kan kalian sendiri yang ngomong kalau Bule pasti diajak duel.” Ucapku.

“Walupun duel, kalau mereka sampai kelewatan, kami tetap menyerang kepondok merah.” Ucap Wawan.

“Iyo.” Ucap Bung Toni dengan logat khasnya.

“Lebih cepat lebih baik.” Ucapku dengan cueknya.

“Maksudnya.” Tanya Bung Toni sambil melotot.

“Mas Gilang.” Panggil seseorang.

Aku dan Joko langsung melihat kearah orang itu dan aku tidak mengenalnya.

“Siapa ya.?” Tanyaku.

“Saya anggotanya Pak Doni. Sampean sudah ditunggu didalam dari tadi.” Ucap orang itu.

“Oh iya Om, sebentar saya masuk.” Jawabku dan orang itu mengangkat jempolnya kearahku, lalu dia balik dan berjalan kearah pintu masuk diskotik.

“Ko belum jawab pertanyaanku.” Ucap Bung Toni sambil berdiri.

“Sudah kubilang tadi, kalian itu dalam pengawasan pondok merah. Jadi kalau kalian kesana, itu makin mempercepat langkah kalian untuk bergabung disana.” Jawabku sambil membalikkan tubuhku dan berjalan kearah pintu diskotik.

“Cukimai.” Gerutu Bung Toni.

“Lang, kamu gak mau bergabung menyerang pondok merah.?” Tanya Wawan kepadaku.

Aku menghentikan langkahku dan melihat kearah Wawan.

“Aku gak akan ikut campur masalah kalian Wan. Kalian harus menyelesaikannya sendiri.” Ucapku.

“Kamu ga setia kawan.” Ucap Wawan sambil memalingkan wajahnya.

“Terserah bagaimana pendapatmu. Kita punya kehidupan dan masalah masing – masing. Ada kalanya kita saling membantu dan ada kalanya kita harus menyelesaikan sendiri sebagai seorang laki – laki.” Ucapku lalu aku menoleh kearah Joko yang masih berdiri didekat mereka.

“Koen gak mlebu.?” (Kamu gak masuk.?) Tanyaku ke Joko.

Joko pun langsung melihat kearah Wawan, Bung Toni dan Bendu. Lalu beberapa saat kemudian, Joko berjalan kearahku dan aku membalikkan tubuhku. Aku berjalan lagi kearah pintu diskotik dan Joko berjalan disisi kananku.

“Awak dewe tenanan gak melu arek – arek ta.?” (Kita beneran gak ikut anak – anak kah.?) Tanya Joko kepadaku.

“Iya.” jawabku singkat.

“Suwi – suwi aku kok gak respek karo pondok merah yo.?” (Lama – lama aku kok gak respek sama pondok merah ya.?) Ucap Joko dan aku langsung menghentikan langkahku.

“Mulai dari ospek sampai kehidupan dikampus beberapa bulan ini. aku merasa mereka terlalu angkuh dengan kebesaran nama mereka. Harusnya biarkan saja kehidupan kampus teknik kita berjalan tanpa bayang – bayang mereka.” Ucap Joko lagi.

“Terus dikampus jadi gak aman, gitu maksudmu.?” Tanyaku.

“Kita itu kuliah dikampus teknik Lang. Siapapun yang masuk dikampus itu, harus tau resikonya ketika namanya sudah terdaftar. Kampus teknik kita itu isinya banyak laki – laki dan resiko berkelahinya pasti besar. Jadi kalau tidak mau menghadapi resiko itu, gak usah aja masuk dikampus teknik kita.” Jawab Joko.

“Kalau sudah tau resikonya seperti itu, gak perlu lah dikendalikan oleh pondok merah. Biarkan saja yang terkuat yang bertahan.” Ucap Joko lagi.

“Jangan kamu samakan kehidupan kampus dengan kehidupan jalanan Jok. Gak boleh seperti itu. Boleh kampus kita berisi preman – preman, tapi mereka harus sadar dengan tujuannya kuliah dikampus teknik kita. Mereka dicetak untuk menjadi orang yang siap untuk menghadapi dunia kerja, bukan untuk menjadi preman. Disitulah fungsi pondok merah. Mereka mengontrol supaya sikap buas yang ada dijiwa teman – teman tidak kelewatan.” Ucapku menjelaskan.

“Mengontrol apa.? Buktinya tradisi awal kuliah yang gila itu, dibiarkan sampai kamu yang menghentikannya. Harusnya dengan nama besar pondok merah, mereka bisa menghentikannya dari dulu.” Ucap Joko yang mulai agak meninggi.

“Ada alasan yang tidak perlu kita ketahui, sampai mereka tidak menghentikan tradisi itu Jok. Jadi gak usah berdebat lagi.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Alasan opo.? Alasan telek ta.?” (Alasan apa.? Alasan taik kah.?) Ucap Joko.

“Koen iku lapo seh.? Koen dendam ambe arek pondok merah ta.? Masalah opo.? Masalah ospek.?” (Kamu itu kenapa sih.? kamu dendam sama anak pondok merah kah.? Masalah apa.? Masalah ospek.?) Tanyaku lalu menatapnya dengan tajam.

“Gak ngono cok.” (Gak begitu cok.) Ucap Joko melemah.

“Lek awakmu nduwe dendam, terus kate nyerang pondok merah ambe arek – arek iku, budallo.” (Kalau kamu punya dendam, terus mau nyerang pondok merah sama anak – anak itu, pergi sana.) Ucapku dengan nada yang agak tinggi.

“Lapo koen muring – muring nang aku cok.? Gathel arek iki.” (Kenapa kamu marah – marah sama aku cok.? Menjengkelkan anak ini.) Gerutu Joko.

“Assuu.” Makiku, lalu aku berjalan kearah pintu diskotik lagi.

“Cok’i.” Maki joko sambil berjalan menyusulku.

“Lama banget mas.” Ucap orangnya Pak Doni yang tadi menegurku dan dia berdiri didepan pintu diskotik.

“Ketemu teman Om.” Jawabku lalu aku tersenyum.

“Oooo. Ayo masuk.” Ucap Orang itu kepadaku dan dia langsung masuk kedalam diskotik.

Aku dan Joko pun langsung masuk kedalam diskotik.

BUMM, BUMM, BUMM, BUMM, BUMM.

Suara music yang menggelegar dan lampu yang berkelap – kelip, menyambutku didalam diskotik. Asap rokok yang mengepul dan orang yang mabuk sambil berjoget, terlihat didalam ruangan ini.

Aku dan Joko langsung saling melihat, setelah itu menatap kearah sekeliling ruangan ini lagi. Terus terang ini pertama kalinya kami masuk di tempat hiburan seperti ini. di desaku sana, paling banter aku main di warung remang – remang yang menjual minuman.

“Cok. ngene yo isine diskotik.” (Cok. begini ya isinya diskotik.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepala, mengikuti irama music.

Aku hanya meliriknya lagi, sambil mengikuti orang yang berjalan didepanku. Kami berjalan dan melewati orang – orang yang asyik dengan caranya sendiri, menikmati tempat hiburan malam ini.

Kami menuju kesudut ruangan yang terlihat lebih eksklusif. Tempat duduk sofa dan meja yang berisi minuman mahal. Dikursi sofa itu, tampak dikeremangan ini, Pak Doni duduk dan sedang merangkul seorang wanita. Beberapa anak buahnya pun, sedang bersama pasangannya masing – masing.

“Gilang.” Ucap Pak Doni sambil berdiri, ketika melihat kedatanganku.

“Malam Pak.” Ucapku sambil mengajaknya bersalaman, lalu setelah itu aku bersalaman dengan anak buahnya juga.

“Lama sekali kamu itu. Ayo duduk duduk.” Ucap Pak Doni dan beliau duduk lagi disofa, lalu merangkul pasangannya.

“Ketemu teman didepan Pak.” Jawabku sambil duduk dikursi sofa yang berbentul L ini.

“Oooo. Eh, panggilkan mami. Suruh bawa cewe buat Gilang sama Joko.” Ucap Pak Doni kepadaku, lalu memerintahkan salah satu anak buahnya.

“Gak usah Pak.” Ucapku menolak.

“Gak usah apa.?” Ucap Pak Doni sambil melepaskan rangkulannya ke wanita yang ada disebelahnya, lalu menuangkan minuman dan diserahkan kepadaku.

“Minum dulu.” Ucap Pak Doni.

Aku menoleh kearah Joko dan dia terlihat bingung. Aku lalu melihat kearah Pak Doni dan mengambil menuman itu.

“Saya minum Pak.” Ucapku dan aku tidak mengucapkan kata werr. Aku langsung meminum minuman itu dan menyerahkan lagi ke Pak Doni.

Pak Doni lalu menuangkan minuman itu lagi dan diserahkan kepada Joko.

Tidak lama kemudian, seorang wanita setengah baya datang dan membawa dua orang wanita muda yang cantik. Akupun langsung terkejut, melihat salah satu wanita yang dibawanya. Wanita itu tidak kalah terkejutnya, sampai dia tertunduk malu.

Cok, kenapa wanita ini ada disini.? Dan apa yang membuatnya, sampai dia bisa menjadi salah satu wanita, yang menemani laki - laki yang mencari hiburan.? Gila, ini gila banget.

Joko yang melihat wanita itupun terkejut dan menoleh kearahku lalu melihat kearah wanita yang menunduk itu.

“Mi, ada pendatang baru kok tadi gak dikenalkan sama aku.?” Ucap Pak Doni sambil menunjuk salah satu wanita yang baru datang dan aku kenal itu.

“Baru datang Bos.” Ucap Wanita setangah baya itu, lalu dia tersenyum.

“Kalau gitu biar dia sama aku aja. Ambil satu lagi buat anak – anak ini.” Ucap Pak Doni dan langsung membuatku terkejut. Wanita itupun langsung mengangkat wajahnya dan melihatku dengan tatapan yang memelas.

“Dia sama aku Pak.” Ucapku dengan tegasnya.

Pak Doni langsung melihatku dan beberapa anak buahnya terlihat tidak senang.

“Hahaha. Katanya tadi gak mau. Sudah lihat wanitanya, langsung semangat. Hahaha.” Ucap Pak Doni lalu tertawa dan aku hanya menatapnya tanpa tersenyum sama sekali.

“Iya sudah, gak apa – apa. Karena kamu banyak membantu proyekku, aku ngalah.” Ucap Pak Doni lagi.

“Mi, suruh anak buahmu temanin tamuku ini. Kasih pelayanan yang terbaik ya.” Ucap Pak Doni dan langsung membuat telingaku panas mendengarnya.

“Siap Bos.” Ucap si Mami.

“Temanin mereka ya sayang.” Ucap si Mami kepada kedua wanita itu.

Satu wanita berjalan kearah Joko dan satu wanita berjalan kearahku. Wanita yang berjalan kearah Joko, langsung duduk disebelah Joko. Sedangkan wanita yang berjalan kearahku, hanya berdiri didekatku.

“Duduk dong cantik. kalau nggak aku pangku loh.” Ucap salah satu anak buah Pak Doni, ke wanita yang berdiri didekatku.

“Hahaha.” Pak Doni tertawa dan diikuti semua yang ada diruangan ini, kecuali aku, Joko dan wanita yang berdiri didekatku.

“Jangan buat suasana yang asyik ini jadi gak nyaman.” Ucapku sambil menggenggam tangan wanita yang berdiri didekatku ini.

Tangannya dingin dan sedikit bergetar. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Malu, marah atau kecewa. Tapi aku gak perduli, yang ada dipikiranku saat ini, aku tidak suka kalau ada yang berani menggodanya.

“Kalau dia sudah sama saya, diam dan nikmatilah kebersamaan kalian dengan pasangan kalian masing – masing.” Ucapku sambil menatap manusia – manusia yang ada didekatku ini.

Aku lalu menarik pelan tangan wanita ini, sampai terduduk disebelahku.

“Iya Lang, iya. Santai aja. Kita nikmati pesta malam ini.” Ucap Pak Doni, lalu menuangkan minuman ini lagi dan memutarkannya.

Wanita yang duduk disebelahku ini hanya diam sambil menggenggam tanganku dengan erat. Dia hanya melepaskan genggamannya, ketika meminum jatah minumannya, setelah itu menggenggam tanganku lagi. Sesekali dia membakar rokok dengan tangan kirinya dan tangan kanannya terus menggenggamku.

Malam semakin larut dan kami semua yang ada disini, sudah melayang akibat minuman ini. Akupun sudah setengah sadar dan kepalaku terasa bergoyang.

Satu persatu pasangan yang ada disini, berdiri dan berjoget menikmati irama music yang semakin membuat tubuh ingin bergoyang.

“Aku mau kekamar mandi.” Ucap wanita yang ada disebelahku ini dan baru kali ini dia bersuara.

“Aku antar.” Ucapku dan kami berdua langsung berdiri.

“Nangdi cok.” (Kemana Cok.?) Ucap Joko dan dia duduk tanpa merangkul atau memegang tangan wanita yang duduk disebelahnya.

“Jeding.” (Kamar mandi.) Jawabku lalu aku bersama wanita ini berjalan kearah kamar mandi.

Suara hingar bingarpun tidak terlalu keras ketika kami masuk kedalam lorong kamar mandi.

“Lang.” Ucap Wanita itu ketika kami sampai didepan kamar mandi wanita.

“Masuk dulu, nanti aja kita mengobrolnya.” Ucapku kepada wanita itu.

Tatapannya sayu dan dia langsung masuk kedalam kamar mandi wanita. Tubuhnya agak sempoyongan, karena pengaruh minuman yang kami minum tadi. Akupun masuk kedalam kamar mandi laki – laki, lalu setelah buang air kecil, aku keluar lagi dan menunggunya didepan kamar mandi wanita.

Wanita itu keluar dan dia langsung menggandengku,lalu menariknya kearah pojokan ruangan lain yang agak gelap dan tidak terlalu bising.

“Aku tidak ingin meminta maaf atau menjelaskan kenapa aku ada disini.” Ucap wanita itu dan kami berdua berdiri berhadapan.

“Terserah kamu menganggapku sebagai wanita apa. Terserah kamu.” Ucap Wanita itu, dengan suara yang bergetar.

“Kalau cuman itu yang mau kamu ucapkan. Kenapa kamu ajak aku kesini.? Kenapa kita gak langsung ketempat yang tadi aja.” Ucapku dan sebenarnya aku jengkel dengan apa yang baru dia ucapkan ini.

“Aku cuman mau kamu bersikap seperti biasa dan seperti tidak mengenalku. Aku bekerja disini dan lakukan seperti apa yang dilakukan teman – temanmu pada pasangannya.” Ucap Sarah sambil melihat kearah yang lain.



Sarah


Ya, wanita ini adalah Sarah, bina dampingku ketika ospek.

“Maksudnya.? Kamu suruh aku meluk – meluk kamu terus bercumbu seperti yang lainnya itu.?” Tanyaku dengan pelan tapi penekanan yang keras.

“Terserah.” Ucapnya dan tetap melihat kearah yang lain.

“Cok.” Makiku.

“Kalau kamu gak mau, kenapa milih aku.? Kamu kira sikapmu itu bisa bantu aku.? Enggak, kamu malah buang – buang waktuku dan aku pasti akan mendapatkan teguran setelah ini.” Ucap Sarah, lalu dia menatapku dengan tatapan dinginnya.

“Kamu gak usah jadi pahlawan kesiangan Lang. Gak usah. Lakukan apa yang menjadi tujuanmu kemari. Bersenang – senanglah sampai kamu puas dan tugasku melayani kamu, mencapai kepuasan itu. Kamu senang dan aku akan mendapatkan uang. Paham.” Ucap Sarah dengan suara yang bergetar.

Kata – kata Sarah ini langsung menghujam jantungku dan terasa sangat sakit sekali didalam sana. Kata – kata itu seolah menyadarkan aku, kalau ada orang disekelilingku yang sedang bekerja dan kesusahan, tapi aku malah bersenang - senang diatas penderitaanya dalam bekerja ini. Akupun langsung emosi mendengarnya. Entah aku emosi karena apa, yang jelas aku sangat marah sekali.

“Berapa uang yang kamu butuhan.?” Ucapku sambil menatapnya dan aku bertanya dengan air mata yang tertahan dikedua kelopak mataku.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Sarah langsung pecah dan keningnya disandarkan di dadaku.

Cuk, jancuukk. Kok jahat banget ya pertanyaanku.? Kenapa juga aku harus bertanya seperti itu tadi.? Pasti itu sangat melukai hatinya. Bajingan.

Terus ada apa juga dengan Sarah.? Kenapa dia sampai melakukan hal seperti ini.? Apa dia membiayai kuliahnya sendiri dengan cara seperti ini.? gila, ini gila banget cuk.

Mendengar tangisnya yang pilu ini, dadakupun terasa bergetar. Kedua tanganpun langsung memeluknya dan membelai rambut panjangnya ini. Sarah terus menangis dan sekarang wajah sampingnya menempel didadaku.

“Maaf, maafin aku. Bukan maksudku merendahkan dirimu dengan perkataanku tadi Sar.” Ucapku sambil membelai rambutnya.

“Enggak, kamu gak salah. Memang seperti ini pekerjaanku. Hiks, hiks.” Ucap Sarah dan tangisnya membuat hatiku semakin menjerit.

“Apapun yang kamu lakukan, pasti karena keterpaksaan. Aku gak bisa berkata pekerjaanmu ini salah atau benar, karena hanya kamu saja yang bisa menilai itu. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya tetap berada didekatmu, karena kamu Mba Sarah bina dampingku diospek. Aku tidak perduli dengan pekerjaanmu atau apapun mengenai dirimu.” Ucapku dan Sarah langung membalas pelukanku.

“Hiks, hiks, hiks. Terimakasih Lang, terimakasih karena kamu masih mau ada didekatku, setelah tau semua tentang aku saat ini. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Sarah dengan sedihnya.

Perlahan dia mengangkat wajahnya dan menatap wajahku, dengan posisi tetap saling berpelukan. Kepalaku yang lumayan berat akibat minuman tadi, membuat pandanganku tiba – tiba berbayang.

Wajah Sarah dipelukanku ini perlahan berubah menjadi wajah Intan. Matanya, hidungnya, pipinya, rambutnya, semua menyerupai Intan.

Akupun langsung memejamkan kedua mataku, sambil menggelengkan kepalaku. Aku lalu membuka kedua mataku perlahan dan tetap saja wanita dipelukanku ini, berwajah seperti Intan yang tersenyum.

“Gilang.” Ucap wanita ini dan suaranya sama seperti Intan.

“I, i, intan.” Ucapku terbata, lalu entah siapa yang memulai, bibir kami sudah saling mendekat, lalu.

CUUPPP, CUUPP, CUUPP.

Bibir kami saling melumat dengan sangat lembutnya.

CUUPPP, CUUPP, CUUPP.

“Hem, hem, hemm.” Desah kami ditengah lumatan yang semakin memanas ini.

Intan lalu merangkul leherku dengan kedua tangannya, dan kedua tangankupun meraba pinggulnya dengan sangat lembut.

CUUPPP, CUUPP, CUUPP.

Ciuman ini semakin menggila, dengan diiringi suara dentuman music yang samar – samar terdengar.

Perlahan kedua tanganku menyelinap masuk kedalam kaos dibagian pinggang Intan, lalu meremasnya dengan lembut.

“MUACCHHH.” Ciuman kami terlepas dan kami saling memandang.

“Waktu kita gak banyak Lang.” Ucap Intan dengan tatapan sayunya, lalu dia melumat bibirku lagi.

“Hem, hem, hemm.” Desah kami dilumatan yang telah basah ini.

Kedua tanganku yang berada dikulit pinggang Intan, perlahan mulai naik kearah punggungnya dan merabanya pelan.

Intan melepaskan rangkulannya di leherku, lalu dia memegang bagian kancing celanaku.

“Hem, hem, hemm.”

“MUACCHHH.”

Aku melepaskan ciumanku.

“Cukup Tan, cukup. Jangan kita lanjutkan lagi.” Ucapku, tapi kedua tanganku masih berada dipunggungnya dan terus merabanya.

“Enggak, kita harus menuntaskan sekarang juga.” Ucap Intan sambil membuka kancing celanaku, lalu dilanjut dengan menurunkan resletingku.

“Uhhhhh, cukup, cukup.” Ucapku ketika Intan meremas batangku dari luar CDku.

Aku mengucapkan itu tanpa menahannya dengan kedua tanganku, tapi aku justru meraih kaitan tali Branya dipunggungnya dan aku langsung membukanya.

Klik.

Kaitan terbuka dan bersamaan Intan menarik turun celanaku dan cdku.

“Ahhhh.” Desahku ketika Intan meremas batangku dengan lembutnya.

“Nikmatilah Lang, nikmati ini.” Ucap Intan lalu dia jongkok dihadapanku sambil mengocok pelan batangku.

“Ahhhhh.” Desahku yang panjang, sambil mendangakkan kepalaku.

Batinku bergejolak dengan hebatnya. Aku ingin menghentikan kegilaan ini, tapi efek mabuk dan nafsuku yang memanas ini, memaksaku untuk menikmati semua ini.

Sruuppp.

Kepala batangku terasa dijilat dengan sangat lembutnya.

Akupun langsung menunduk dan Intan langsung memasukan kepala batangku kedalam mulutnya.

“Arrgghhhh.” Aku menahan nikmat kulumannya, sambil memundurkan sedikit pinggulku.

Intan langsung menahan bokongku dan memasukan setengah batangku kedalam mulutnya.

“Ahhhhh.” Desahku kenikmatan, ketika Intan mulai memaju mundurkan kepalanya.

Batangku mulai keluar masuk didalam mulut mungilnya, dan dia melakukannya sambil menatap kedua mataku.

Cok, nafsu ku menang cok. Aku sudah mulai menggila dengan gairah ini dan aku ingin menikmati tubuh Intan sekarang juga.

Akupun menikmati setiap Intan memaju mundurkan kepalanya. Intan lalu melepas pegangannya dibokongku, karena aku sudah sangat menikmati ini.

Tangan Intan langsung memegang batangku bagian bawah, sambil terus memasukan mulutnya sampai setengah batangku.

Clok, clok, clok, clok.

Bunyi batangku yang keluar masuk didalam mulutnya. Kenikmatanku pun makin bertambah, ketika tangan kanannya mulai mengocok bagian bawah batangku. Tangan kirinya pun, mulai meremas kedua bijiku perlahan.

“Arrghhhhhhh..” Aku mendesah kenikmatan, sambil terus menatap mata Intan.

Clok, clok, clok, clok.

Karena aku sudah tidak tahan lagi, aku langsung menarik tubuh Intan sampai berdiri, lalu aku melumat bibirnya yang basah itu.

“Hem, hem, hemm.”

Tangan kananku langsung masuk kedalam kaos Intan dan meraba gundukan daging didadanya yang kenyal, padat dan ukurannya pas ditanganku ini.

“Hemmm.” Desah Intan ketika aku meremas lembut buah dada bagian kanannya.

Aku meremas pelan sambil sesekali memelintir puttingnya yang kecil itu.

“Hemmm, hemmm, hemmm.” Desah Intan.

Buah dada kanan dan kirinya bergantian aku remas, sambil terus tetap berciuman.

“MUACCHHH.”

Intan melepaskan ciumannya lalu memegang kedua pipiku.

“Lakukan sekarang, karena waktu kita gak banyak.” Ucap Intan dengan lembut dan hembusan nafas yang penuh nafsu.

Akupun langsung mengeluarkan tangan kananku dari dalam kaosnya, dan aku membuka kancing celana panjangnya.

Intan membantu menurunkan reslestingnya, dan dia menurunkan celana panjang serta cdnya sampai sebatas pahanya.

“Lakukan sekarang.” Ucap Intan sembalikan tubuhnya dan menyandarkan kedua tangannya, bertumpu pada dinding.

Aku yang dikuasai nafsu ini, langsung meremas kedua bongkahan bokongnya yang padat dan berisi ini.

“Ahhhhhhh.” Desah Intan sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Oh iya, disela mabukku ini aku teringat. Intan pernah mengatakan kepadaku kalau dia belum pernah telanjang dihadapan pria manapun, apalagi bersetubuh.

Aku harus memperlakukannya dengan sangat lembut dan dia gak boleh kesakitan, ketika batangku merobek selaput perawannya nanti.

Aku lalu menunduk dan menurunkan lagi celananya sampai sebatas lutut. Setelah itu aku membuka bongkahan bokongnya, sampai samar – samar kedua lobang Intan terlihat. Lobang bokong dan lubang makinya.

Sluurrpppp.

Aku menjilat mulai bawah bagian mekinya, sampai lubang bokongnya.

“Arrggggggghhh.” Desah Intan dan kedua kakinya terasa bergetar.

Sluurrpppp, Sluurrpppp, Sluurrpppp Sluurrpppp.

Aku lalu menjilatinya terus, sampai lubang mekinya benar – benar basah.

“Uhhhhh, ahhhhhh. Sudah Lang, cukup. Cepat kita lakukan sekarang. Ahhhh, uhhh.” Ucap Intan disela desahannya.

Aku lalu menyentuh lubang mekinya yang benar – benar basah itu.

Setelah memastikannya sudah basah, aku lalu berdiri dan Intan makin membungkukan tubuhnya.

“Ini pasti sakit Tan.” Ucapku sambil menggenggam batangku dan mengarahkan kebelahan mekinya.

“Iya, cepat masukan sekarang. Waktu kita gak banyak.” Ucap Intan sambil menoleh kearahku.

Aku pun mengangguk lalu menekan pinggulku pelan, sampai kepala batangku masuk kedalam meki Intan yang perawan ini.

“Awwww. Uhhhhhh.” Ucap Intan sambil memajukan sedikit pinggulnya.

“Sakit ya.?” Tanyaku sambil menghentikan gerakanku.

“Enggak, masukin sekarang. Cepat.” Ucap Intan.

Nafsuku yang benar – benar memuncak ini, langsung menggerakkan pinggulku untuk menekan lebih dalam.

Blessss.

Rapat, sempit dan terjepit, terasa diseluruh batangku.

“Ahhhhhhh.” Desah Intan, sambil mendangakkan kepalanya.

Tapi entar dulu, kenapa kepala batangku kok tidak merobek sesuatu didalam sana.? Ini sudah hampir masuk semua, tapi kok tidak ada jerit kesakitan atau darah yang menetes.? Memang benar Intan menjerit, tapi jeritannya bukan seperti seorang wanita yang kesakitan, ketika kemaluannya dibobol pertama kali.

Apa Intan membohongi aku selama ini.? Apa memang dia telah melakukan dengan seseorang, sampai dia hamil lalu bunuh diri.? Kenapa dia gak jujur padaku.? Apakah dia mau menutupi semua dari aku.? Gila.

“Lang, cepat tuntaskan.” Ucap Intan ketika batangku sudah masuk seutuhnya.

Mabuk minuman dan mabuk nafsuku, mengalahkan semua pikiran serta kecurigaanku kepada Intan. Aku dengan cueknya langsung menarik pinggulku kebelakang, sampai batangku keluar setengah lalu menekannya kedalam lagi.

“Ahhhh.” Desah Intan yang posisi kakinya mengangkang, dan kedua tangannya bertumpu pada dinding.

“Kamu berbohong Tan, kamu berbohong.” Ucapku dalam hati sambil menggoyangkan pinggulku dan batangku keluar masuk didalam sempitnya meki Intan.

“Ahhhhh, ahhhh, ahhhh.” Desah kami bersaut – sahutan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Bunyi ketika selangkanganku bertemu dengan bongkahan bokongnya.

“Ahhhhh. Ahhhh, ahhhh.” Desahku dan kedua tanganku masuk kedalam kaosnya dan meremas kedua buah dadanya.

“Ahhhhh.” Desah Intan sambil menyandarkan punggungnya didadaku.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Aku mengoyangkan pinggulku dan Intan langsung menoleh kearahku.

Kami berdua saling melumat bibir dan kedua tanganku terus meremas buah dadanya.

“Ahhhhh, ahhhh, ahhhh.” Desah kami bersahut – sahutan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Kamu berbohong Tan, kamu berbohong.” Ucapku yang terus mengumpat dalam hati, sambil menikmati sempitnya lubang kenikmatan Intan.

“AHHHHHHHH.” Desah Intan dan aku merasa tubuhnya bergetar dan cairan yang agak kental, keluar dan merembes disekitar kemaluanku.

Aku menghentikan gerakanku dan kami berhenti berciuman. Akupun tidak mermas buah dadanya, tapi kedua tanganku tetap didadanya.

“Hu, hu, hu, hu,” Nafas Intan cepat dan kedua tangannya langsung bersandar pada dinding lagi.

“Uhhhh, gila.” Ucap Intan dengan suara dan nafas yang terdengar cepat.

“Lanjut Lang, lanjut.” Ucap Intan sambil menoleh ke arahku dengan tatapan sayunya.

Akupun mengangguk pelan dan kedua tanganku, aku keluarkan dari kaosnya. Aku lalu memegang pinggulnya dan mulai menggoyang pelan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Ahhhhh, ahhhh, ahhh.” Desahku sambil meremas pinggulnya dan aku mendongakkan kepalaku.

Isapan didalam meki Intan, membuat aku semakin bersemangat menggoyangnya.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Ahhhhh, ahhhhhh, ahhhhh.” Intan meracau kenikmatan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Uh, uh, uh, uh, uh,” Nafasku memburu dan keringat mulai keluar dari keningku.

“Gila, ahhhhh, ahhhhh.” Racau Intan sambil menggelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

“Aku mau keluar Tan, aku mau keluar. Ahhhhh” Ucapku sambil terus mengoyangkan pinggulku.

Akupun menyerah dengan kenikmatan sempit dan legitnya meki Intan, sampai air maniku siap untuk tertumpah.

“Ahhhh, aku juga Lang, aku juga mau keluar. Ahhh.” Desah Intan.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Aku makin mempercepat goyanganku dengan semangatnya.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP, PLOP.

Dan ketika air maniku sudah berada diujung kemaluanku, aku menekan kedalam meki Intan sampai dia menjerit kenikmatan, lalu.

“AHHHHHHHHH.” Desah kami dan,

CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT, CROTTT.

SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT, SRETTT.

Aku menumpahkan semua cairan air maniku kedalam meki Intan, dan dia juga mengeluarkan cairan kenikmatannya.

“AHHHHHHHHH.” Desahku sambil mengejangkan kedua kakiku.

“AHHHHHHHHH.” Intan pun mendesah dan tubuhnya terasa bergetar.

Jepitan meki Intan benar – benar meremas batangku dan menguras habis air maniku.

“Uhhhh, uhhhh, uhhhh, uhhhhh.” Nafas kami sama – sama memburu dan aku membiarkan batangku didalam sana, sampai terasa mulai mengecil.

Gila, kenikmatan ini sangat luar biasa. Sangat luar biasa sekali.

Beberapa saat kemudian.

Plop.

Aku mencabut batangku dari kemaluan Intan dan aku memejamkan kedua mataku sesaat.

Jiancokk. Kamu bohong Tan, kamu bohong sama aku. Kenapa kamu bilang masih perawan.? Kenapa.? Kalaupun kamu jujur sudah tidak perawan dan benar – benar hamil, aku tidak akan menginggalkanmu dan aku pasti akan tetap mencintamu.

Tapi kamu sudah membuat aku kecewa Tan, aku kecewa banget.

Akupun membuka mataku perlahan, bertepatan dengan Intan yang membalikan tubuhnya, sambil membenarkan kaosnya. Lalu dia menaikkan celana serta cdnya, Dan tiba – tiba.

“Sar, Sarah.” Ucapku yang terkejut, ketika wanita ini berbalik dan dia bukan Intan.

“Hu, hu, hu. Terimakasih ya Lang.” Ucap Sarah disela nafasnya yang memburu, sambil mengancingkan tali bra dipunggungnya.

“Kamu Sarah.?” Ucapku yang setengah tersadar dari mabukku.

Sarah tidak menjawab ucapanku dan dia hanya membelai pipiku, ketika sudah mengancingkan tali branya dan membenarkan kaosnya lagi.

“Maafkan aku, maafkan aku.” Ucapku dengan suara yang terbata.

Aku merasa sangat bersalah sekali kepadanya. Selain karena aku sudah menikmati tubuhnya, aku sudah menyebut nama wanita lain ketika persetubuhan tadi berlangsung. Aku tau dia pasti kecewa karena ucapanku tadi. Wanita mana yang tidak kecewa, ketika kita menikmati tubuhnya, tapi pikiran dan hati kita malah tertuju pada wanita lain. Jahat banget sih aku ini.

Sarahpun menundukan kepalanya, sambil menaikan celanaku dan cdku, lalu mengancingkan celanaku.

“Sar, maafin aku ya.” Ucapku sambil mengangkat dagunya, sampai wajahnya melihat kearahku.

Sarah hanya tersenyum lagi, dengan mata yang berkaca – kaca.

“Sarah.” Ucapku Pelan dan dengan suara yang bergetar.

“Gak ada yang perlu dimaafkan Lang. Justru aku yang merasa berdosa, karena aku memanfaatkan kamu disaat kamu membayangkan wanita lain.” Ucap Sarah dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Maafkan aku ya.” Ucap Sarah dan aku makin merasa bersalah sekali.

Aku langsung mendekap tubuh Sarah dengan eratnya dan Sarah langsung menangis dipelukanku.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangis Sarah yang terdengar pilu sekali.

“Cukup Sar, cukup. Tangisanmu ini makin membuatku merasa bersalah.” Ucapku sambil mengelus rambutnya.

“Aku menangis bukan karena sedih Lang, bukan. Aku menangis bahagia, karena bisa memberikan sesuatu untuk laki – laki baik seperti kamu.” Ucap Sarah.

CUPPPP.

“Kamu itu ngomong apasih.?” Tanyaku setelah aku mengecup rambut bagian atasnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangisnya mulai mereda dan dia makin memperat pelukannya.

Kami berdua berpelukan cukup lama, sambil menenangkan diri masing – masing.

“Kita balik Lang, gak enak terlalu lama meninggalkan mereka.” Ucap Sarah sambil melepaskan pelukannya dan membersihkan sisa air matanya yang mengalir.

“Aku gak perduli sama mereka. Persetan mereka itu siapa.” Ucapku.

“Baiklah, tapi bagaimana dengan Joko, kamu gak apa – apa meninggalkannya lama.?” Ucap Sarah dan dia sudah mulai terlihat sedikit tenang.

Cok. iya, ya. Aku gak enak sama sahabatku itu. Kelihatannya dia gak nyaman dengan pasangannya. Pasti dia teringat dengan Mba Denok, makanya dia tidak mau menyentuh pasangannya yang cantik tadi itu.

“Baiklah, kita balik.” Ucapku dan Sarah kembali memelukku dan dia menangis lagi.

“Katanya tadi mau kesana.” Ucapku.

“Iya, aku kan cuman mau meluk kamu lagi. Aku takut kalau besok tidak mempunyai kesempatan untuk memeluk kamu lagi.” Ucap Sarah dengan sedihnya.

Cok, kok jadi seperti ini ya.? Jujur akupun mulai sedikit nyaman dengan Sarah. Tapi tidak mungkin aku bersama Sarah untuk saat ini. Aku sudah mempunyai Intan dan hanya dia wanita yang bersanding dihatiku saat ini.

“Sudah Sar, sudah. Sekarang lebih baik kita kembali keruangan.” Ucapku sambil membelai rambutnya. Aku sengaja mengucapkan itu, agar pembicaraan kami ini tidak terlalu dalam lagi.

“I, i, iya.” Ucap Sarah sambil melepaskan pelukannya dan membersihkan matanya dari sisa air mata yang mengalir.

Kamipun membersihkan diri kekamar mandi, setelah itu Sarah memelukku lagi. Kembali aku menenangkannya dan setelah dia tenang, aku pun menggandeng tangannya dan berjalan kearah tempat kami berpesta tadi.

Dan ketika kami melewati sekelompok orang.

“Loh, kok kamu main disini Sar.? Kurang ya hasilnya main diluar, sampai kamu lembur didiskotik ini.? Hehehe.” Ucap seseorang dan aku langsung melihat kearah suara itu.

Dan ternyata orang itu adalah orang yang bermasalah dengan Satria, digudang satu tadi siang. Bajingan.

“Main sama aku lagi yuk, entar aku tambahin deh uangnya.” Ucap orang itu dan emosikupun langsung terbakar mendengar ucapannya.

Pikiranku yang sudah kacau seharian ini dan ditutup dengan kejadian yang ‘menjacokkan’ dengan Sarah, membuat tangan kananku terkepal dengan kuatnya

“Cok.” Makiku dan Sarah langsung menggengam erat telapak tangan kiriku.

“Kenapa.? Kamu mau cari masalah sama aku.?” Ucap orang itu dan.

BUHHGGG.

Aku menghantamnya dengan kepalan tangan kananku dengan keras, sampai dia termundur kebelakang.

“ARRGHHH.” Teriaknya kesakitan.

“Gilang.” Ucap Sarah dan aku langsung melepaskan genggamannya ditangan kiriku, lalu aku menerjang wajah orang yang aku pukul tadi.

BUHHGGG.

“ARRGGHHHH..” Teriaknya kesakitan dan dia langsung tumbang dilantai diskotik.

“GILANG.” Teriak Sarah dan aku tidak menghiraukannya.

Aku mendatangi manusia yang terlentang itu, lalu aku jambak rambutnya dengan tangan kiriku, lalu aku menghantam wajahnya dengan kepalan tangan kananku.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Aku menghajarnya dengan membabi buta, sampai darah keluar dari hidung dan mulutnya. Lalu tiba – tiba.

BUHHGGG.

Seseorang menghantam wajah sampingku sampai aku oleng kesamping, dan alunan musikpun langsung terhenti.

“JIANCOOKK.” Maki Joko dari kejauhan dan

BUHHGGG.

Joko berlari sambil mengarahkan tendangannya kearah wajah orang yang menghantamku.

Aku lalu menegakkan tubuhku dan Joko berdiri dibelakangku. Kami berdua berdiri saling memunggungi, dengan kedua tangan yang terkepal kedepan. Belasan orang langsung mengelilingi kami dan bersiap mengeroyok kami berdua.

“Woi, woi. Jangan ribut disini.” Ucap beberapa orang keamanan tempat ini.

“Gak usah ikut – ikut kamu.” Ucap orang yang aku hajar pertama kali tadi, sambil menunjuk wajah keamanan itu.

“Ooo. Jadi ko mo buat kacau disini.?” (Ooo. Jadi kamu mau buat keributan disini.?) Ucap Bung Toni yang berjalan kearah kami dan di ikuti Wawan serta Bendu.

Belasan orang yang mengelilingi kami itupun, langsung berkumpul menjadi satu dan mundur perlahan.

“Kalau anak kuru mau cari gara – gara sama anak kampus teknik kita, maju aja.” Ucap Wawan dan mereka bertiga sudah berdiri didekatku.

“Ko maju sudah.” Ucap Bung Toni sambil menunjuk belasan orang didepan kami.

Mereka diam lalu satu persatu berjalan keluar dari ruangan ini. Akupun langsung melihat kearah Bung Toni, Wawan dan Bendu, sambil menurunkan kedua tanganku yang terkepal.

“Maaf ucapanku waktu diluar tadi Lang. Harusnya permasalahan dengan pondok merah, kami tidak melibatkan kalian berdua. Kami, kalian berdua dan pondok merah, itu satu kampus. Harusnya kalau permasalahan satu kampus, kami selesaikan sendiri.” Ucap Wawan sambil melihat kearahku, lalu melihat kearah Joko.

“Tapi kalau masalah dengan kampus lain, masalahmu jadi masalah kami.” Ucap Bendu menyahut.

“Iyo.” Ucap Bung Toni.

“Terimakasih atas pengertian dan bantuan kalian. Sekarang aku mau menyelesaikan sedikit masalahku dulu.” Ucapku sambil berjalan kearah Sarah.

Aku lalu menggandeng Sarah dan berjalan kearah tempat kami berpesta tadi. Tampak Pak Doni berdiri dan dia melihat kejadian barusan. Anak buahnya pun tampak melihat kearahku dan Joko dengan pandangan yang biasa. Sementara itu mami yang membawa Sarah tadi, juga ada didekat Pak Doni.

“Maaf kalau kami sudah mengacaukan acara ini Pak. Lebih baik saya pamit aja, dari pada suasananya jadi gak enak. Terimakasih atas pesta ini dan mohon maaf sekali lagi.” Ucapku.

“Santai aja Lang.” Ucap Pak Doni lalu tersenyum kepadaku.

“Dan untuk sampean.” Ucapku sambil melihat kearah Mami.

“Mulai malam ini Sarah gak akan disini lagi. Kalau aku lihat Sarah disini, aku pasti buat keributan lagi.” Ucapku sambil menatapnya dengan tajam. Mami pun hanya mengangguk pelan, karena Joko, Bung Toni, Wawan dan Bendu, berdiri dibelakangku.

Sarah langsung menggenggam tanganku dengan erat, lalu aku menariknya keluar diskotik.

“Gendeng koen cok.” (Gila kamu cok.) Ucap Joko kepadaku, ketika kami berada diluar diskotik.

“Ga usah kaken cangkem. Ayo ndang muleh.” (Gak usah kebanyakan ngomong. Ayo pulang.) Ucapku sambil tetap menggenggam tangan Sarah.

“Cok, kok awakmu nesuan saiki.?” (Cok, kok kamu cepat marah sekarang.?) Ucap Joko dan aku cuek saja sambil melihat kearah Bung Toni, Wawan dan Bendu.

“Aku pulang dulu ya.” Pamitku kepada mereka bertiga.

“Iyo, hati – hati.” Ucap Bung Toni, sedangkan Wawan dan Bendu hanya mengangguk sambil tersenyum.

Joko langsung mengengkol kimba.

Kletek, kletek, teng, teng, teng.

Dan setelah mesin menyala, Joko langsung naik keatasnya.

Akupun naik ditengah, sedangkan Sarah yang memakai celana panjang, duduk dibelakangku.

“Tak kiro Mba Sarah lungguh tengah, eh malah bathang seng nde kene.” (Kukira Mba Sarah yang duduk ditengah, eh malah bangkai yang disini.) Gerutu Joko.

“Cerewet.” Ucapku.

“Hahahaha.” Bung Toni, Wawan dan Bendu langsung tertawa.

“Enak’e uripmu le, le.” (Enaknya hidupmu nak, nak.) Ucap Joko, lalu.

Kletek.

Joko memasukkan persenling satu.

“SEMONGKO.!” Teriak Bung Toni.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” Sahut kami bersama.

Trenteng, teng, teng, teng, teng.

Joko menarik gas kimba dan meninggalkan diskotik ini.

Waktu sudah melewati tengah malam dan hawa dingin kota ini semakin menyentuh tulang. Sarah yang duduk dibelakangku, lalu merapatkan dadanya dipunggungku dan kedua telapak tangannya disandarkan diatas pahaku. Akupun dengan refleknya memegang punggung tangan Sarah.

“Maaf.” Bisik Sarah sambil menempelkan dagunya dipundaak kananku

“Hem.” Jawabku sambil meremas punggung tangan kanannya.

Hiufftt, huuu.

Wanita ini wanita yang sangat kuat. Dia melakukan ini dan sampai menjatuhkan harga dirinya, pasti karena sudah tidak ada jalan lagi. Bukannya aku mendukung apa yang dilakukannya, bukan. Tapi aku salut dengan dia yang mau berusaha, tanpa mengeluh kepada orang lain atau bahkan keluarganya.

Aku gak berhak menghakiminya, karena aku bukan Sang Pencipta dan aku bukan yang menentukan jalan hidupnya. Salah, benar, baik dan buruk, biarlah Sang Pencipta yang menentukannya. Sedangkan aku yang hina ini, hanya bisa berada didekatnya dan aku hanya bisa membuatnya tersenyum. Itu saja.

Semoga esok hari, dia tidak datang ketempat itu lagi dan dia mau mencari pekerjaan lainnya. Semoga saja.

Hiufftt, huuu.

Perjalanan kamipun tidak terasa sampai diperampatan kampus. Joko terus menarik gas kimba sampai mendekati depan kampus teknik kita dan gang yang menuju pondok merah.

Lalu tiba – tiba sebuah sepeda motor keluar dari gang itu, bertepatan dengan kimba yang sampai didepan pagar kampus teknik kita. Jokopun langsung mengerem dan berhenti, lalu melihat kearah sepeda motor yang keluar gang itu.

Tampak Mas Adam menggonceng dua orang dibelakangnya. Wajahnya terlihat tegang, sedangkan dua orang yang digoncengnya tidak terlihat.

“Kate nangdi Mas.?” (Mau kemana Mas.?) Tanya Joko.

“Kerumah sakit.” Jawab Mas Adam.

“Ha.? Siapa yang sakit.?” Tanyaku.

Orang yang paling belakang langsung melihatkan wajahnya dan dia adalah Mas Pandu. Sedangkan yang ditengah tampak menunduk dan keningnya bersandar pada punggung Mas Adam.

Mas Adam tidak menjawabnya dan hanya membelokan sepeda motornya kearah kanan. Dan dikeremangan cahaya ini, tampak Rendi yang tersandar dan tidak sadarkan diri, dengan wajah samping yang mengeluarkan banyak darah.

“Cok.” Maki Joko dan Mas Adam langsung menarik gas sepeda mmotornya dengan cepat, dengan diiringi tatapan Mas Pandu yang dingin kekarahku.

“I, i, itukan Rendi. Kenapa dia.?” Tanya Sarah dibelakangku.

“Bajingan.” Ucap Joko dan dia akan memutar kimba kearah sepeda motor Mas Adam yang melaju.

Buhhgg.

“Lurus ae.” (Lurus aja.) Ucapku sambil menepuk pundak Joko pelan.

“Tapi.” Ucap Joko sambil menoleh kearahku.

“Wes talah, dibahas nde kosan ae.” (Sudahlah, dibahas dikosan aja.) Ucapku sambil melotot.

“Jiancok.” Maki Joko dan dia menarik gas kimba lurus kedepan, tidak jadi memutar kearah belakang kami.

“Kebacut iku cok, kebacut.” (Keterlaluan itu cok, keterlaluan.) Ucap Joko dengan emosinya.

“Wes talah cok. Engko ae dibahas.” (Sudahlah cok, nanti aja dibahas.) ucapku menenangkan Joko.

“Ada masalah apa sih.? Kalian punya masalah dengan pondok merah ya.?” Tanya Sarah.

“Enggak Mba, enggak ada apa – apa.” Jawabku dan Joko hanya menggelengkan kepalanya.

Kimba lalu belok kearah kiri dan melaju kearah kosan barbara. Beberapa saat kemudian, kimba berhenti tepat dikosan barbara dan Sarah langsung turun. Akupun langsung turun dan berdiri didekat Joko.

“Kamu kekosan dulu dan tunggu aku disana.” Ucapku sambil menepuk pundaknya pelan.

Joko tidak menjawabnya dan dia langsung menarik gas kimba dengan kencangnya.

Treng, teng, teng, teng.

Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, lalu melihat kearah Sarah.

“Kalian gak buat masalah sama anak pondok merah kan.?” Tanya Sarah dengan wajah yang sangat khawatir.

“Enggaklah dan kamu gak usah memikirkan itu.” Ucapku sambil merogoh kantong belakangku dan mengambil uang bagianku yang diberikan Joko tadi.

Aku lalu meraih tangan kanan Sarah, lalu membuka telapak tangannya dan memberikan uang itu, lalu aku tutup jemarinya lagi. Setelah itu aku menggenggam tangan Sarah.

“A, a, apa ini Lang.?” Ucap Sarah dengan mata yang berkaca – kaca dan suara yang bergetar.

“Jangan kembali ketempat lagi itu Sar, jangan. Simpan uang ini dan aku akan mencarikan kamu pekerjaan yang lain. Aku janji.” Ucapku dan Sarah mencoba membuka telapak tangannya yang aku genggam.

“Tapi kenapa kamu kasih aku uang.? Kamu beneran anggap aku..” Ucapnya terpotong dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Kamu sahabatku Sar, kamu sahabatku. Aku sayang sama kamu dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapi masalah seorang diri.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Kalau kamu menolaknya, jangan pernah mengenal aku lagi.” Ucapku lagi dan Sarah langsung menenteskan air matanya.

“Hiks, hiks, hiks.” Sarah menangis dan dia langsung memelukku dengan tangan kirinya.

Akupun melepaskan gengaman ditangan kanannya dan dia langsung memelukku dengan kedua tangannya.

“Te, terima kasih. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Sarah dan aku membelai punggungnya.

“Sudahlah, jangan menangis lagi. Kamu wanita kuat dan kamu wanita yang baik.” Ucapku menenangkan Sarah.

“Hiks, hiks, hiks.” Sarah terisak dan dadanya terasa bergetar.

“Apapun masalahmu, aku harap kamu mau bercerita kepadaku. Walaupun seandainya aku tidak bisa memberikan solusi, setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik dari semua masalahmu. Tidak baik kalau kamu memendamnya seorang diri.” Ucapku sambil membelai rambutnya.

“Maafkan aku tentang kejadian tadi ya.” Ucapku menutup ucapanku.

Sarah lalu melepaskan pelukannya dan menatap mataku dengan deraian air matanya. Lalu tiba – tiba.

CUUPPP.

Dia mengecup bibirku dengan lembut, lalu dia membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah pagar sambil menutup mulutnya.

“Pergilah Lang, pergilah sekarang juga. Sebelum aku mengeluarkan isi hatiku kepadamu saat ini, pergilah. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Sarah dan langsung membuatku terkejut.

Dia mengatakan itu tanpa melihat kearahku sambil tetap menangis, lalu dia membuka pagarnya dan masuk, lalu menutupnya lagi dan berlari kearah pintu kosannya. Aku sempat melihat seseorang dibalik kelambu diruang tamu kosannya, dan aku yakin itu adalah Gendhis.

Aku diam sejenak sambil melihat kearah kosan Barbara, lalu aku melangkah meninggalkan kosan ini sambil mengacak – acak rambutku.

Cok, jancok. Kok jadi seperti ini sih.? Niatku hanya membantu, kok Sarah jadi memakai perasaannya.? Arrghhh. gila. Apa ini karena kami berdua sudah melakukan persetubuhan itu.? Bajingaannnn.

Terus gimana nasibku dikosan nanti.? Apa Intan gak marah karena aku telah bersetubuh dengan Sarah.? Cok, baru saja aku baikan dengan Intan, sekarang harus bermasalah dengan wanita yang kucintai itu. Kenapa juga aku tidak mendengarkan nasehatnya untuk tidak terlalu mabuk.? Kalau saja aku tadi minum sedikit, aku tidak mungkin akan melakukannya dengan Sarah. Jiancookkk.

Aku melangkah kearah kosan sambil menggelengkan kepalaku, karena efek minuman ini masih bermain dikepalaku. Tapi jujur, efek minuman ini terasa kalah dengan semua kejadian hari ini. lama – lama bisa gila juga aku. Bajingaann.

Dan ketika aku sampai dikosan, kimba terparkir dengan rapi diteras kosan dan sepatu Joko juga ada didekat pintu. Syukurlah dia tidak pergi menuyusul Mas Pandu. Kalau dia sampai menyusul, bisa makin gila aku.

Aku lalu masuk kedalam kosan dan terlihat Intan sudah berdiri dibalik pintu dan tersenyum kepadaku. Intan merentangkan kedua tangannya dan bersiap memelukku.

Ha.? Intan gak marah, aku habis bersetubuh dengan Sarah.? Kok bisa ya.? Padahal hari itu dia marah, ketika aku bersetubuh dengan Bu Har. Tapi kenapa sekarang enggak.? Oh iya, Intan juga gak marah ketika aku habis bersetuh dengan Bi Ati. Ada apa ini.? Apa Intan memang mengetahuinya atau memang ada masalah lain.? Gila, ini gila banget.

Hiuutt, huuuuu.

Tanpa banyak kata, aku menutup pintu kosan dan aku langsung memeluk Intan dengan sangat eratnya.

“Laki – lakiku ini memang hebat.” Ucap Intan dengan lembutnya, lalu dia mengelus rambutku pelan.







#Cuukkk. Sebuah kalimat yang lembut dari wanita yang aku cintai ini, langsung meluluh lantakan semua pikiran yang mengganjal dikepalaku. Belaian yang penuh kasih sayang dikepalaku, seolah merontokkan bertubi – tubi permasalahan yang ada didalamnya. Kamu luar biasa Tan, kamu luar biasa. Kamu sudah membuatku tergila – gila dengan apa yang kamu lakukan. Bajingan.
u r the great hu......toss am tm..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd