Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
BAGIAN 5
SAHABAT



“piye Jok.?” (Gimana Jok.?) Tanyaku kepada Joko, melanjutkan pembicaraan kami yang semalam terputus.

“emboh, mumet ndasku Lang.” (gak tau, pusing kepalaku Lang.) Jawab Joko sambil menunduk lalu menjambak rambutnya sendiri.

“lek koen ragu, muleh ae.” (kalau kamu ragu, pulang aja.) ucapku lalu aku mengambil rokok kretekku dan membakarnya.

“assuu koen cok. Lek aku muleh, opo aku gak dipancal karo mbahku.” (anjing kamu cok. kalau aku pulang, apa gak diinjak aku sama Mbahku.) ucap Joko sambil mengangkat wajahnya dan menatapku, dengan tetap menjambak rambutnya.

“lah terus karebmu piye.?” (lah terus maumu gimana.?) tanyaku lalu aku menyeruput kopiku yang masih panas ini.

“emboh.” (Gak tau) jawab Joko dengan pasrahnya.

“taek, taek.” (taik, taik.) ucapku lalu aku mengangkat sedikit bokongku dan,

Brot, brot, broottt.

Aku mengeluarkan angin yang berada didalam perutku, lewat lubang bokongku yang agak keriput ini. Perutku ini terasa penuh dengan angin, karena semalaman suntuk aku tidak bisa tidur. Padahal seharian kemarin aku sangat letih, karena perjalanan dari desa kekota ini. Hawa dingin tadi malam yang sampai terasa menusuk tulangkupun, membuat perutku makin terasa kembung saja.

“bajingan.” Maki Joko dengan mata yang melotot, sambil menutup hidungnya dengan kedua tangannya. Ini kesekian kalinya aku mengeluarkan senjata kimiaku dipagi ini, yang aku arahkan tepat dijantung pertahanan Joko yang terlemah.

“mambu ta.?” (Bau kah.?) tanyaku sambil melihat kearahnya.

“Gak mambu cok, mek mancal neng irung.” (gak bau cok, cuman nendang dihidung.) ucap Joko dengan jengkelnya.

“anggep ae latihan Jok. Dadi pas awakmu muleh, awakmu wes siap dipancal Mbahmu.” (anggap aja latihan Jok. Jadi pas kamu pulang, kamu sudah siap ditendang Mbahmu.) jawabku lalu aku tersenyum dan menghisap rokokku lagi.

“mbahku gak ngentutan koyok raimu iku cok.” (mbahku gak suka kentut kaya mukamu itu cok.) gerutu Joko lalu dia menurunkan tangannya dari hidungnya.

“ehhpp. Manganmu opo cok.? bajingan.” (ehhpp, makanmu apa cok.? bajingan) ucap Joko sambil menutup hidungnya lagi, dengan mata yang terpejam sesaat.

“jek mambu ta.?” (masih bau kah.?) Tanyaku dengan cueknya.

“mambune gak sepiro cok, tapi motoku sepet.” (baunya gak seberapa cok, tapi mataku perih.) ucap Joko dengan jengkelnya.

“aromane mulek nde kene maneh, bajingan.” (aromanya berputar disini aja lagi, bajingan.) ucap Joko lagi.

“ababmu mbalik maneh iku cok, awakmu gak sikatan yo.?” (bau mulutmu balik lagi itu cok, kamu gak sikat gigi ya.?) ucapku sambil memainkan kedua alisku.

“suwi – suwi omonganmu tambah nggateli cok.” (lama – lama omonganmu tambah jengkelin cok.) ucap Joko dengan mata yang melotot lagi.

“wes talah. Terus piye iki.?” (sudahlah. Terus bagaimana ini.?) tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“piye aku mikir, lek aku mbo entuti terus ket mau. Asuu.” (gimana aku mikir, kalau aku kamu kentuti aja dari tadi. Anjing.) ucap Joko mengomel.

“hiuft, huuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan. Setelah itu aku manarik isapan rokokku, sambil mengingat kejadian semalam yang salah satunya mengakibatkan aku tidak bisa tidur.



“JIANCOOKK.” Maki Joko ketika dia membuka pintu kosan.

“ono opo cok.?” (ada apa cok.?) tanyaku yang bergegas mendekati Joko yang mematung didepan Pintu.

Aku yang kebingungan karena kakek yang baru kuberi makan barusan menghilang dari pandanganku, tidak terlalu konsen dengan pandangan disekitar kosan.

“Mbahe ono neng jero.” (Mbahnya ada didalam) Ucap Joko pelan sambil melihat kearahku.

“Mbahe sopo.?” (Mbahnya siapa.?) tanyaku dan aku belum melihat kearah dalam kosan.

“seng mau nang jobo.” (yang tadi ada didepan.) Ucap Joko dan dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri, Jokopun tidak mau melihat kearah dalam kosan lagi.

Ha.? Sikakek yang tadi.? Beneran Kakek yang tadi ada didalam kosan.? Sejak kapan beliau masuknya dan bagaimana cara masuknya.? Pintunyakan baru dibuka oleh Joko. Arrgghh. Aku lalu melihat kearah dalam kosan dengan perlahan.

“endi cok.?” (mana cok.?) tanyaku ketika melihat kedalam kosan, tapi tidak ada satu orang pun didalam sana.

Joko lalu menolehkan kepalanya pelan kearah dalam kosan.

“kok gak ono.?” (kok gak ada.?) Ucap Joko dengan wajah yang terkejut dan suara yang bergetar.

“ngelindur koen (kamu) Jok.” ucapku lalu aku masuk kedalam kosan.

“sumpah, gak goro aku cok.” (sumpah, gak bohong aku cok.) ucap Joko dan dia tetap berdiri didepan pintu.

“wes talah mlebuo.” (sudahlah masuk aja.) ucapku sambil melihat kearah Joko.

Joko lalu melangkahkan kakinya perlahan, masuk kedalam kosan. Dan,

TAP, TAP, TAP.

Lampu didapur kelap – kelip seperti tadi, ketika kami akan keluar kosan.

“Cok,” maki Joko lalu membalikkan tubuhnya dan bersiap keluar kosan.

“Jok.” Panggilku.

“emoh aku cok, emoh. Aku muleh ae cok.” (gak mau aku cok, gak mau. Aku pulang aja cok.) Ucap Joko sambil melangkah.

“Wedi.?” (Takut.?) ucapku dan Joko langsung menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatapku.

“aku iku paling mangkel lek awakmu ngomong ngono cok.” (aku itu paling jengkel kalau kamu ngomong gitu cok.) ucap Joko dengan jengkelnya.

“terus.?” Tanyaku dengan santainya.

“asuu, asuu,” (anjing, anjing) ucap Joko dengan jengkelnya, lalu melangkah mendekati aku.

Aku lalu mengepalkan tangan kananku kearahnya dan Joko langsung meninju kepalan tanganku pelan.

“turu aelah,” (tidur ajalah.) ucapku sambil menepuk pundaknya pelan, lalu aku memegang pintu kamarku dan membukanya. Aku membuka pintu kamarku sambil melihat kearah Joko yang masuk kekamarnya dan dia langsung menutupnya.

Aku lalu masuk kamar dan menutup pintu kamarku juga. Dan ketika aku membalikan tubuhku, aku dikejutkan dengan pemandangan yang membuat jantungku terasa berhenti sesaat. Aku melihat seorang wanita duduk dikursi dekat meja kamarku. Wanita itu menunduk sambil merapikan rambut panjangnya, dengan jari – jari tangan kanannya.

Suasana yang menyeramkan langsung menyelimuti ruangan kamarku, dan bau – bau kembang mawar menusuk lubang hidungku. Gila.

Siapa wanita ini dan bagaimana dia bisa masuk kedalam kamarku.? Terus dari mana datangnya aroma kembang mawar ini.? apa aroma tubuh wanita ini yang bau kembang mawar.? Tapi siapa dia.? apa jangan – jangan dia ini Intan, wanita yang gantung diri dikamar ini.? tapi masa iya manusia yang sudah mati, bisa bangkit lagi dan menampakkan wujudnya.?

Kata mbahku, manusia yang sudah mati ya mati. Dia tidak mungkin lagi ada didunia ini, sama seperti kata Bi Ati tadi sore. Manusia yang sudah mati, mempunyai alam yang berbeda dengan manusia yang masih bernyawa. Tapi bukan berarti kita yang bernyawa ini, hidup sendiri didunia ini. Masih ada bangsa – bangsa lain yang ada disekitar kita, tapi sekali lagi bukan manusia yang sudah mati loh ya.

Jadi jenis mahluk apa yang ada dihadapanku ini.? genderuwo.? Jin.? Setan.? Iblis.? Atau apa.? Berani sekali dia menampakan wujudnya dihadapan seorang Gilang Adi Pratama.

Apa aku takut.? Ya pastilah. tapi sedikit aja takutnya, gak banyak. Untuk apa aku terlalu takut yang berlebihan, menghadapi mahluk yang belum tentu menyakiti aku. Menghadapi mahluk seperti Kinanti yang jelas – jelas sudah melukai hatiku aja, aku bisa tenang kok. apalagi mahluk wanita dihadapanku ini.

Apa aku merinding.? Ya iyalah. Siapa yang ga merinding melihat seorang wanita, yang kita tidak tau sejenis mahluk apa itu.

Terus.? Ya tenangkan pikiran dan jangan panik. Kalau panik, dia pasti akan terus berada disini dan mungkin saja menggangguku.

Hifftt, huuu.

Aku hanya bisa terus memandang wanita itu, tanpa menegurnya atau mendekatinya. Lalu tiba – tiba, aura yang makin menyeramkan, menyelemuti seluruh ruang dikamarku ini. Seluruh tubuhku makin merinding, apalagi ketika wanita itu mengelus perutnya yang perlahan mulai membuncit.

Gila, dia Intan. Dia ini Intan. Tapi bagaimana bisa dia memperlihatkan wujudnya.? Arrgghhh..





Intan

“rupanya aku tidak perlu memperkenalkan diriku lagi ya.?” ucapnya tapi tidak melihat kearahku.

“ka, ka, kamu.” Ucapku terbata dan terpotong.

“kenapa kamu takut begitu.? apa aku terlihat menyeramkan.?” Tanya wanita itu sambil melihat kearahku.

Tatapannya dingin dan sangat dalam sekali. wanita ini memang terlihat sangat menakutkan dan menyeramkan, tapi dibalik tatapannya itu, dia terlihat menderita dan dia sudah sangat lelah sekali. apa yang telah terjadi dengannya.? Dan apa benar dia ini Intan.?

Awalnya aku yang sedikit ketakutan melihat wujudnya, sekarang justru kasihan dan aku ingin berkenalan dengannya.

“kenapa kamu disini.?” Tanyaku dengan suara yang aku buat setenang mungkin.

“menunggu kamu.” Jawabnya singkat sambil terus menatapku.

“menunggu aku.? Kenapa.?” Tanyaku sambil melangkahkan kakiku kearah tempat tidurku..

“karena kamu yang akan membantuku dan mengantarkan aku pulang.” Ucapnya lalu membuang wajahnya dan melihat kearah jendela kamarku.

Wuufftt.. langkahku langsung terhenti, karena seluruh bulu kudukku berdiri dan seluruh tubuhku bergetar mendengar ucapannya itu.

Maksudnya apa ini.? apa aku akan dibawa pergi olehnya.? Apa cukup sampai disini saja umurku.? Apa aku tidak bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan kedua adikku terlebih dahulu.? Gilaa.

“kamu tidak mau membantuku.?” Ucapnya lalu melihat kearahku lagi. Kali ini tatapannya lebih tajam dan sangat mengerikan sekali.

Akupun terdiam dan tidak menjawab pertanyaannya.

“apa kamu perlu imbalan dari aku.? Apa yang kamu inginkan.? Kuliah ditempat yang kamu inginkan.? Impianmu yang tercapai.? Kekayaan.? Wanita – wanita cantik untuk pemuas nafsumu.? Atau apa.? Sebutkan saja.?” ucapnya lalu berdiri perlahan.

“kenapa kamu menawarkan sesuatu kepadaku.?” Tanyaku lalu aku mengambil rokokku dan mengeluarkannya sebatang, lalu membakarnya.

Aku menghisap rokokku ini, untuk membantuku menenangkan pikiranku yang mulai terbawa suasana yang menyeramkan ini.

“karena kamu manusia dan kamu memiliki nafsu, makanya aku menawarkan sesuatu agar kamu mau membantuku.” Ucapnya.

“kalau aku gak mau.?” Jawabku dengan tenangnya.

“pilihanmu hanya ada dua. Kamu membantuku atau Kamu akan menjadi penghuni rumah ini selamanya seperti aku.” Ucapnya dengan suara yang makin menyeramkan.

“harusnya kamu gak perlu meminta bantuanku dan aku juga gak akan meminta bantuanmu. Kita ini sama – sama mahluk ciptaanNya, walau berbeda alam.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam.

“apa tidak boleh saling membantu.? Kan kamu bilang kita ini sama – sama ciptanNya.?” Tanya wanita ini dan tatapannya mulai sedikit berubah.

Waw, makin lama wanita ini terlihat cantik aja.

“mungkin boleh, tapi lebih baikkan meminta sama Sang Pencipta langsung. Entah nanti Sang Pencipta membantunya lewat perantara siapa. Dan yang jelas, tidak perlu ada timbal balik.” Ucapku sambil terus menatap wajah cantiknya itu.

“hiufftt, huuu,” wanita itu menunduk sambil menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu itu siapa.?” Tanyaku dan aku sekarang sudah sangat tenang sekali.

“aku Intan. Aku yang tinggal dikamar ini.” jawabnya lalu mengangkat wajahnya lagi dan menatap wajahku.

“kalau kamu tinggal disini, terus aku tidur dimana.?” Tanyaku dan sengaja aku mengajaknya bercanda, agar tidak terlalu tegang. Gak apa – apakan sesekali bercanda dengan mahluk yang berbeda alam.?

“kok kamu gak takut sama aku.? Kamu pasti tau kalau aku sudah mati dan gantung diri dikamar ini.” ucap Intan tanpa menjawab pertanyaanku.

“emang kenapa aku harus takut.? Aku bukan penyebab kamu gantung diri kok.” ucapku dengan santainya.

“semua orang yang mendengar kisahku pasti akan takut. Jangankan untuk tinggal disini, melihat kearah rumah ini aja, mereka pasti sudah gemetaran. Dan kamu, kamu malah tinggal dirumah ini, didalam kamarku lagi.” Ucap Intan.

“dulu emang kamarmu, sekarang bukanlah. Ini kamarku.” Ucapku.

“loh kok gitu.?” Tanya Intan.

“emang kamu masih bayar sama Ibu Kos.?” Tanyaku balik.

“ternyata kamu itu gila ya.” ucap Intan dan hawa dikamar ini langsung berubah menjadi dingin seperti semula. Tidak ada aura menyeramkan atau ketakutan seperti ketika aku pertama melihat Intan tadi.

“dan ternyata kamu itu cantik ya.” ucapku lalu aku tersenyum

“beneran gila kamu itu lang.” ucap Intan lagi dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“kok kamu tau namaku.?” Tanyaku dengan herannya.

“sudahlah, aku malas bicara sama kamu. Sekarang kamu keluar.” Ucap Intan mengusirku dari kamarku.

“kok enak banget kamu ngusir aku.? Yang berhak ngusir aku itu Bu Har.” Ucapku lalu mematikan rokokku diasbak diatas meja, lalu dengan cueknya aku merebahkan tubuhku diatas kasur.

“kok kamu malah tidur disitu.?” Ucap Intan.

“kenapa.? Kalau kamu mau tidur juga, tidur disebelahku sini.” Ucapku sambil menepuk bantal disebelah kiriku.

“kamu jangan main – main sama aku ya Lang, kamu mau lihat aku gantung diri disini lagi.?” Ucap Intan dan dia terlihat agak marah kepadaku.

“terus kamu mati dua kali dong.?” Ucapku sambil menegakkan tubuhku dan aku duduk dikasurku.

“jahat.” Ucap Intan lalu duduk dan dia terlihat sangat sedih sekali.

Duh, kok jadi begini sih.? emang mahluk seperti Intan ini punya perasaan sedih juga.? Arrgghhh.

“sudahlah, aku ngalah aja.” Ucapku lalu aku berdiri dan berjalan kearah pintu kamarku.

“kamu itu memang gak punya perasaan, wajar aja kamu selalu ditinggal pacarmu.” Ucap Intan pelan, ketika aku memegang gagang pintu kamarku.

“kamu itu ngomong apa.? Sok tau banget.” Ucapku sambil membalikan tubuhku dan melihat kearah Intan yang menunduk.

“memang seperti itu kan.? Kamu itu selalu berlindung dibalik kemiskinanmu dan selalu menyalahkan pasangan – pasanganmu dulu, yang pergi meninggalkan kamu, karena kamu merasa mereka akan sengsara ketika melanjutkan hubungan denganmu.” Ucap Intan yang membuatku melotot kearahnya.

“kenapa.? Kamu marah.?” Tanya Intan sambil terus membalas tatapan mataku.

“Jangan selalu menyalahkan orang lain yang pergi meninggalkanmu, sedangkan kamu sendiri tidak pernah intropesi dirimu sendiri.” Ucap Intan lagi.

“kenapa kamu mengungkit masalahku, yang kamu sendiri gak tau akar permasalahannya.? Aku gak tau kamu punya masalah apa, sampai kamu bisa berkata seperti ini. dan aku ga akan mau cari tau masalahmu itu.” ucapku dengan sedikit emosi.

“kamu yang punya masalah, tapi malah mencari kesalahan orang lain. Gimana sih.?” ucapku lagi dan Intan langsung menatapku dengan tatapan yang sangat sayu serta mata yang berkaca – kaca.

“tubuhmu ini memang bernyawa Lang, tapi kamu gak punya perasaan. Perasaanmu telah lama mati.” Ucap Intan dengan suara yang bergetar, lalu.

TAP.

Gelap gulita karena lampu yang ada dikamarku mati..

“JIANCOOKKK.” Teriak Joko dari kamarnya, lalu,

GLODAK, GLODAK,
GLODAK,

Terdengar suara dari arah kamar Joko dan aku langsung membalikan tubuhku. Aku meraba gagang pintu, karena suasana yang sangat gelap ini. aku lalu membuka pintu kamarku dan,

JRAB.

“ASSUUU, ENDOKKU.” (anjing, bijiku.) Teriakku sambil kedua tanganku mendorong kedepan dengan sangat kuatnya, karena bijiku ada meremas sangat kuat.

Buhggg.

“JIANCOOKK..” teriak Joko dan rupanya dia yang meremas bijiku tadi.

“lapo endokku koen remet cok.?” (kenapa bijiku kamu remas cok.?) makiku sambil menunduk dan memegangi bijiku yang sangat sakit ini. rasa sakitnya pun terasa sampai keulu hatiku.

“aku gak ngerti lek iku endokmu cok, tak kiro gagange lawang. Iso kithing drijiku njemok endokmu iku, asu.” (aku gak tau kalau itu bijimu cok, kukira gagang pintu. Bisa cacat jari – jariku kalau pegang bijimu itu, anjing.) omel Joko yang tidak terlihat wajahnya, karena rupanya seluruh rumah ini juga mati lampu.

“cok. ihhhhh.” ucapku lalu merintih kesakitan.

Jres, jres, jres.

Joko menyalakan koreknya dan terlihat sebagian wajahnya, terkena cahaya api dari koreknya.

“ASSUU.” (anjing) Makiku karena terkejut dan aku langsung menegakkan tubuhku.

“lapo koen misuh cok.?” (kenapa kamu memaki, cok.) ucap Joko yang terkejut.

“raimu medeni cok.” (wajahmu menakutkan cok.) ucapku.

“matamu.” Maki Joko lalu mengarahkan cahaya koreknya kearah dapur.

“nggolek opo.?” (cari apa.?) tanyaku.

“oblek cok.” (oblek = lampu yang berbahan bakar minyak) ucap Joko sambil melangkah kearah dapur.

Suasana pun gelap lagi, karena cahaya korek Joko tertutup tubuhnya. Aku lalu meraih korekku dikantong dan menyalakannya..

Jres, jres, jres.

Dan ketika korekku sudah menyala, wajah Intan langsung terlihat sebagian dan dia berdiri dihadapanku. Wajahnya kali ini terlihat menakutkan, karena kedua matanya mengeluarkan air mata darah. Gila, apa Intan akan menerorku karena aku telah menolak permintaannya.?

“COK.” makiku yang terkejut dan aku langsung mematikan korekku.

“lapo cok.?” ucap Joko sambil membalikkan tubuhnya kearahku. Lagi – lagi cahaya korek Joko, memperlihatkan sebagian wajahnya dari arah bawah.

“raimu medeni cok.” (wajahmu menakutkan cok.) ucapku berbohong, agar Joko tidak ketakutan.

“omonganmu nggateli cok.” (omonganmu jengkelin cok.) ucap Joko lalu berbalik dan api koreknya mati.

Jres, jres, jres.

Joko menyalakan korek apinya lagi, sambil memunggungi aku didapur sana.

“ASSUU.” (anjing.) maki Joko dengan kerasnya lalu berbalik dan berlari kearahku dengan koreknya yang padam.

JEDUK, JEDUK, BUHHGG.

“AARGGHHH, BAJINGAN.” Teriak Joko kesakitan.

“Jok.” Panggilku lalu aku menyalakan korekku lagi.

Jres, jres, jres.

Lagi – lagi Intan terlihat dihadapanku, tapi aku tidak menghiraukannya dan aku berjalan kearah Joko yang terjatuh dilantai.

“ono opo cok.?” (ada apa cok.) tanyaku dan rupanya Joko sudah tertidur dilantai.

Aku lalu berjalan kearahnya dan meraih tangan Joko, untuk membantunya berdiri.

“ono wong lungguh di kursi ngguri Lang. hu, hu, hu, hu,” (ada orang duduk dikursi belakang Lang.) ucap Joko dengan nafas yang memburu dan berdiri disebelahku.

Aku lalu mengarahkan korekku kearah dapur dan terlihat Intan berdiri tidak jauh dari aku. Aku hanya menatapnya dan Joko tidak bersuara sama sekali. apa Joko tidak melihat ada Intan berdiri disitu.?

“perasaanmu ae iku cok.” (perasaanmu aja itu cok.) ucapku sambil mengarahkan korekku kearah tubuh Intan disana, untuk mencoba memancing reaksi Joko.

“ono cok, gak goro aku. Wonge lungguh nde kursi.” (ada cok, gak bohong aku. Orangnya duduk dikursi.” Ucap Joko sambil menunjuk kearah kursi didapur, tapi tidak menunjuk kearah Intan yang berdiri disebelah kursi.

Aku lalu melangkah kearah dapur untuk memastikannya, bersama Joko yang berjalan dibelakangku. Aku berjalan kearah dapur, sambil mendekat kearah Intan yang terus menatapku. Sedangkan Joko hanya terdiam, padahal dia sudah didekat Intan.

Hiufftt, huuu. Rupanya Intan hanya memperlihatkan wujudnya kepadaku. Dan setelah sampai didekat dapur, tidak ada orang yang dimaksud Joko. Kursi itu tidak ada yang menduduki dan yang terlihat justru hanya Intan saja.

“gak ono opo – opo Jok.” (gak ada apa – apa Jok) Ucapku sambil melihat kearah Intan. Akupun sengaja mengarahkan korekku sekali lagi kearah Intan, untuk memastikan Joko benar – benar melihat Intan atau tidak.

“ono maeng cok, gak goro aku. Sumpah.” (ada tadi cok, gak bohong aku. sumpah.) ucap Joko dan dia benar - benar tidak melihat ada Intan disitu.

“paling mau mbahmu seng teko, kate nakokno sapine neng awakmu.” (paling tadi mbahmu yang datang, mau menanyakan sapinya sama kamu.) ucapku dan sengaja aku mengajaknya bercanda, sambil melirik kearah Intan yang sekarang tidak mengeluarkan air mata darah lagi.

“mbahku je urip cok.” (mbahku masih hidup cok.) ucap Joko dengan jengkelnya.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan korek ditanganku ini terasa panas. Aku mematikannya sebentar lalu menyalakannya lagi.

Jres, jres, jres.

Korekku menyala dan Intan sudah berdiri dihadapanku. Dia menatapku dengan wajah yang memucat dan tidak bersuara sama sekali.

“cok.” makiku pelan karena aku terkejut. gila mahluk satu ini, dia mau menguji kesabaranku.

“ono opo maneh cok.?”(ada apalgi cok.?) tanya Joko dengan suara yang pelan.

“korekku panas.” Ucapku yang memang jempolku terasa sangat panas, karena menahan gas korek api ini supaya tetap menyala.

“tak kiro opo thel, gathel.” (kukira apa sat, bangsat.) gerutu Joko.

“korekmu endi.?” (Korekmu mana.?) tanyaku.

“emboh ceblok nangdi.” (gak tau jatuh dimana.) jawab Joko.

Dan tiba – tiba.

TOK, TOK, TOK,

Pintu depan kosan diketuk seseorang dengan kerasnya, sehingga membuat kami berdua terkejut.

“assuu.” (anjing.) maki kami berdua.

“sopo iku cok.? sopo bengi – bengi ngene iki rene.?” (siapa itu cok.? siapa malam – malam begini datang kesini.?) tanya Joko yang sudah sangat pasrah dengan keadaan mati lampu dan hawa yang agak menakutkan ini.

“emboh cok.” (gak tau cok.) ucapku sambil melihat kearahnya.

TOK, TOK, TOK,

Kembali pintu kosan diketuk dengan kerasnya. Aku langsung mengangguk kearah Joko, lalu melangkahkan kaki kearah pintu kosan.

“cok, gak kuat aku cok. muleh ae aku cok. muleh. Gak po – po wes aku dipancal mbahku.” (Cok, gak kuat aku cok. pulang aja aku cok, pulang. Gak apa – apa aku diinjak sama mbahku.) ucap Joko dengan pasrahnya, sambil mengikuti aku dibelakangku.

TOK, TOK, TOK,

“asuu, asuu,” (anjing, anjing.) ucap Joko ketika mendengar pintu kosan diketuk lagi. Akupun hanya diam saja mendengar Joko yang terus menomel ini.

Dan ketika sudah sampai didekat pintu kosan dan aku akan membuka pintunya.

TAP,

Joko memegang pundakku dan aku langsung terkejut sambil melihat kearahnya.

“cok, lapo seh awakmu iki.? Ngageti wong ae cok.” (cok, kenapa sih kamu ini.? bikin kaget orang aja.) omelku sambil melihat kearah Joko.

“lek seng ndek ngarep lawang iku gederuwo piye.?” (kalau yang didepan pintu itu hantu gimana.?” tanya Joko.

“kaplokono ae cok, koyok awakmu lek ngaplok gendangmu. Asuu” (pukul aja cok, seperti kamu kalau mukul gendangmu. Anjing.” Ucapku dengan jengkelnya.

“koen kok malah nyeneni aku cok.? bedes iki.” (Kamu kok malah marahin aku cok.? monyet ini) gerutu Joko.

“lah koen ngomel ae ket mau cok, tanganku iki panas nyekeli korek cok.” (lah kamu ngomel aja dari tadi cok, tanganku ini panas pegangin korek aja dari tadi cok.) ucapku sambil melihat kearah pintu.

“iyo cok, iyo. Gak usah ngomel.” Gerutu Joko dan aku hanya menggelekan kepala pelan, lalu aku membuka pintu kosan perlahan.

“ASSUU.” Makiku dan Joko barengan, ketika melihat seorang wanita berdiri didepan pintu kosan, sambil membawa lampu teplok ditangannya. Lampu teplok yang dibawanya itu dipegang didekat dadanya, sehingga cahayanya menyinari sebagian wajahnya dari arah bawah. (lampu teplok = lampu yang bahan bakar minyak dan apinya tertutup kaca yang melingkar.)

“hei, kok Bibi dimaki sih.?” ucap wanita itu dan dia adalah Bi Ati.





Bi Ati

“Bibi ngagetin sih.” ucapku.

“ngagetin gimana.? Bibi loh gak bersuara.” Ucap Bibi Ati

“iya, iya. Maaf.” Ucapku.

“nih, Bibi cuman mau ngantar lampu sama lilin ini.” ucap Bi Ati sambil menyodorkan lampu teplok dan lilin yang dipegangnya kepadaku.

“Bibi kok tau kalau disini mati lampu.?” Tanya Joko.

“bukan dirumah ini aja yang mati lampu mas,” ucap Bibi dan kami berdua langsung melihat kearah depan rumah.

Rumah – rumah didepan dan disamping kosan, tampak gelap dan tidak ada yang menyala satupun.

“hehe, iya, ya. terimakasih ya Bi.” ucapku sambil mengambil lampu ditangan Bi Ati dan Bi Ati hanya mengangguk pelan

“jangan panik mas, tenang.” Ucap Bi Ati pelan sambil melirik kearah belakangku.

Aku lalu menoleh kebelakang, sambil menyerahkan lampu teplok dan lilin yang ada ditanganku ke Joko. Aku melakukan itu perlahan, supaya Joko tidak curiga kalau aku melihat kearah dalam kosan. Dan dibelakang Joko, tampak Intan berdiri dan melihat kearah kami.

Gila, kenapa Intan selalu mengikuti aku sih.? beneran dia mau neror aku.? tapi entar dulu, sepertinya Bi Ati bisa melihat Intan juga.

Aku lalu melihat kearah Bi Ati dan dia hanya tersenyum kepadaku.

“Bi.” Ucapku terpotong.

“Bibi pulang ya Mas, kasihan Ibu sendirian dirumah.” Ucap Bi Ati yang seperti tau apa yang ingin aku tanyakan.

“diantarin Bi.?” Tanya Joko.

“terus Mas Joko balik sendiri kesini, gitu.? Emang berani.?” Tanya Bi Ati ke Joko.

“hehe, basa – basi aja Bi.” Jawab Joko lalu tersenyum malu.

“bisa aja, ya udah Bibi pamit dulu ya.” pamit Bi Ati.

“terimakasih Bi.” Ucapku dan Bi Ati menganggukan kepalanya, lalu pergi meninggalkan kami.

“Bi Ati semok juga ya cok.” ucap Joko disebelahku.

“asuu, sempat – sempatnya kamu lihat bokong cok.” ucapku sambil membalikan tubuhku, lalu mengunci pintu kosan.

Dan pada saat aku melangkah kearah kamarku, tidak terlihat lagi Intan ditempatnya berdiri tadi.

“aku turu nde kamarmu ae yo.” (aku tidur dikamarmu aja ya.?) ucap Joko.

“kenapa.?” Tanyaku.

“engko wae lah ceritane.” (nanti ajalah ceritanya.) ucap Joko.

Kami berdua pun langsung masuk kedalam kamarku. Dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat Intan tergantung ditali yang diikatkan dikayu langit – langit kamar yang jebol, dengan kondisi perut yang membuncit.

“cok.” makiku dan aku berhenti didepan kamarku.

“ono opo maneh cok.?” (ada apalagi cok.?) ucap Joko yang sudah masuk duluan kekamarku, sambil memegang lampu teplok ditangannya.

“raimu medeni cok.” (wajahmu menakutkan cok.) ucapku dan lagi – lagi aku berbohong, sambil melihat kearah wajah Joko lalu melihat kearah Intan yang tergantung tadi.

Intanpun sudah tidak ada disitu dan langit – langit kamar, tidak jebol dan tidak ada tali yang terikat. Gila, gila. Kesabaranku benar – benar diuji.

“tak pancal loh raimu, asu iki.” (ku injak loh mukamu, anjing ini.) Ucap Joko kepadaku.

“hehe.” Dan aku hanya tertawa dengan sangat kupaksakan sekali, lalu kami duduk lesehan dilantai keramik yang berkarpet ini.

“ngantuk cok.?” tanyaku ke Joko dan Joko hanya menggelengkan kepalanya. Akupun tidak mengantuk, sama seperti Joko.

Akhirnya aku kedapur untuk membuat kopi, dengan ditemani Intan yang datang lagi dan selalu menatapku. Aku merebus air dan aku tidak mengajaknya berbicara sedikitpun. Aku seolah – olah tidak melihatnya dan aku hanya mengobrol dengan Joko yang ikut kedapur.

Lalu setelah kopi jadi, aku dan Joko duduk didalam kamarku lagi, sambil menikmati kopi dan kepulan asap rokok.

“jadi gimana.?” tanyaku kepada Joko.

“emboh Lang,” (gak tau Lang.) jawab Joko dan Intan berada dipojokan kamarku, melihat kami berdua mengobrol.

“apa kita jadi daftar dikampus teknik kita.?” Tanyaku ke Joko sambil melirik kearah Intan, lalu aku menghisap rokokku.

“gak tau aku Lang, tapi yang jelas besok kita harus keluar kosan ini.” Jawab Joko dan aku langsung melihat pojokan kamarku lagi.

Wajah Intan langsung terlihat marah dan kembali aku melihat kearah Joko.

“kalau masalah pindah kosan, aku setuju. Yang penting kamu mau kuliah disini ” ucapku sambil melirik kearah Intan lagi. Tidak ada Intan disitu dan entah kemana dia perginya.

Kami berdua diam beberapa saat, sambil menikmati rokok kami masing – masing. Lampu masih belum menyala dan hanya cahaya dari lampu teplok ini saja, yang menerangi ruangan kamar tidurku ini.

Dan tiba – tiba

GLODAK.

Terdengar bunyi dari arah dapur dan membuat kami berdua terkejut.

“kucing itu.” ucapku dengan refleknya dan Joko hanya menunduk pelan. Lalu,

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Terdengar bunyi kursi dari arah dapur yang digoyang – goyangkan dengan keras, dan membuat kami berdua terkejut kembali.

“cuk, ini bukan kucing cuk. Gak mungkin kucing bisa goyangkan kursi sekeras ini.” ucap Joko sambil melihat kearahku.

“sudahlah, gak usah dihiraukan.” Ucapku lalu aku menyeruput kopiku.

“apanya gak yang gak usah dihiraukan cok.? banyak banget hal mistis dirumah ini. aku sih sudah coba cuek dan pura – pura gak melihat. Tapi tadi sebelum lampu mati dan aku mau tidur, kakiku dipegang sama mahluk yang gak terlihat. Apa gak jancok kalau gitu.?” Ucap Joko dan aku hanya meliriknya sambil menghisap rokokku.

“ini sudah kewatan Lang. kalau mahluk – mahluk itu hanya menampakan diri, itu mungkin hanya candaan mereka. Tapi kalau sudah berani meneror apalagi menyentuh, itu sudah luar biasa.” Ucap Joko lagi lalu dia menghisap rokoknya.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Terdengar beberapa kursi yang dibanting dan suaranya lebih keras lagi. Emosikupun terpancing dan aku sudah cukup bersabar dengan teror yang aku dapatkan dari tadi.

“asuu, asuu,” (anjing, anjing.) ucap Joko sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya.

Aku lalu berdiri sambil mengambil sebatang lilin dihadapanku dan menghisap rokokku.

“kate nangdi koen.?” (mau kemana kamu.?) tanya Joko.

“nang jedeng.” (kekamar mandi.) ucapku sambil melangkah kearah pintu kamarku.

“melu cok.” (ikut cok.) ucap Joko sambil berdiri.

“assuu, awakmu kate nyekeli otekku ta.?” (anjing, kamu mau pegangin punyaku kah.?) ucapku sambil melihat kearah Joko.

“sakarebmu wes, seng penting aku gak gelem dewek’an nde kene.” (terserah kamu sudah, yang penting aku gak mau disini sendirian.) ucap Joko memelas.

“kamu disini aja, kalau ada yang berani ganggu kamu, kita keluar kosan malam ini juga.” Ucapku dengan agak keras kepada Joko.

“bajingan.” (bajingan) ucap Joko dengan wajah yang semakin melas.

Aku lalu keluar kamar sambil menutup pintu kamarku, lalu aku menyalakan lilin yang ada ditanganku. Dengan rokok ditangan kiri dan lilin ditangan kanan, aku melangkah kearah meja dapur.

Dan setelah sampai didapur, aku duduk di salah satu kursi dan lilin yang menyala ini aku letakkan diatas meja dihadapanku. Didapur ini ada empat kursi yang mengelilingi satu meja.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Tiga kursi kosong disamping dan depanku, tampak terangkat lalu terhentak dilantai. Aku mencoba mengontrol emosiku yang ada dikepala, sambil menikmati rokokku.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Kursi itu makin dihentakkan dengan kerasnya.

“hey mahluk manja, duduk dan gak usah banyak tingkah.” Ucapku pelan tapi dengan nada yang tinggi.

Aku sudah jengkel dengan situasi seperti ini. Teror ini bukannya membuat aku takut, tapi justru membuat aku emosi. Beberapa kejadian hari ini cukup membuat aku bersabar dan menahan emosi. Mulai dari kabar pendaftaran kampus negeri sudah tutup, Joko yang sudah gak betah dan kemungkinan gak akan mau kuliah dikota ini bersamaku, terus ditambah kedatangan mahluk bernama Intan, itu sudah cukup membuatku bersabar.

Dan teror ini yang membuat emosiku naik kekepala. Bukannya aku sombong dengan menantang mahluk yang berbeda alam denganku ini, tapi ini sudah sangat kelewatan. Kita ini sama – sama mahluk ciptanNya dan kita sama – sama berhak untuk tinggal didunia ciptaanNya ini. jadi jangan saling mengganggu lah.

Itulah kenapa sekarang aku duduk disini, karena aku ingin berbicara dengannya. Masalah kalau dia nanti menggunakan kekuatannya untuk menyakiti aku, itu urusan belakang. Aku gak perduli.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Mahluk itu seperti tersinggung dengan ucapanku, dan dia semakin menerorku dengan hentakan tiga kursi kosong ini.

“percuma kamu neror aku, gak ada gunanya.” Ucapku dan aku masih memelankan suaraku.

“kalau kamu punya masalah, hadapi dan jangan pengecut seperti ini.” ucapku lagi.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Tiga kursi ini terlempar kesamping, depan dan belakangku, tapi tidak ada satupun yang mengenai aku.

“atau gara – gara sikap pengecutmu ini, kamu mengakhiri hidupmu.?” Ucapku dan sekarang suaraku mulai mengeras.

“DIAM, DIAM KAMU.” Akhirnya suara Intan terdengar dan dia sangat emosi sekali.

“kalau kamu gak mau duduk dihadapanku sekarang, aku pergi dari kosan ini.” ancamku sambil aku menunduk dan mematikan rokokku dilantai lalu menginjaknya.

Kenapa aku mengancamnya pergi dari kosan ini.? karena aku tau dia membutuhkan bantuanku dan dia marah ketika mendengar aku akan pergi dari kosan ini.

GLODAK,

Aku merasa satu kursi yang terlempar tadi, bergeser tepat diseberang mejaku dan aku langsung mengangkat wajahku.

Intan sudah menampakkan wujudnya dihadapanku. Dia duduk dengan tatapan yang sangat tajam dan auranya terasa sangat mengerikan sekali. Tapi sekali lagi aku tidak takut. Apa yang perlu ditakutkan didunia ini.? mati.? Kita pasti akan mati kok, cuman tunggu waktu dan gilirannya saja. Sakit.? Pasti akan datang dan kita tidak tau kapan tibanya. Jadi apa yang perlu ditakutkan, kalau mati dan sakit itu pasti akan datang juga akhirnya.?

Hiufftt, huuu. Aku menarik nafasku lagi, sambil menatap tajam kearah Intan yang sangat emosi dihadapanku ini.

“apa maumu.?” Tanyaku kepadanya.

“aku sudah gak butuh bantuanmu dan kalau kamu mau pergi, pergi aja.” Ucapnya dengan suara yang bergetar dan tatapan yang makin emosi.

“taik, aku kira wanita itu kalau bernyawa aja yang susah dimengerti. Tapi ternyata, yang sudah bergentayangan seperti ini, itu sama aja.” Ucapku dengan nada yang kesal.

“kamu ya.” ucapnya sambil menunjuk kearah wajahku.

“kalau kamu mau marah, marah aja terus. Silahkan. Paling juga sebentar aku tinggal pergi.” Ucapku dengan entengnya.

“ihhhh.” Ucapnya menahan emosi, sambil menurunkan tangannya lalu dia menunduk.

Dan beberapa saat kemudian,

“hiks, hiks, hiks, hiks,” bahunya bergetar, diiringi tangis yang mulai terdengar lirih.

Hiufft, huuu.

Aku menarik lagi nafasku dalam - dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan. Aku lalu menunduk dan mengambil bungkusan rokokku dikantong belakang.

Aku mengambil sebatang, lalu aku membakar dan menghisapnya perlahan, sambil melihat kearah Intan yang tertunduk dan masih menangis itu.

Bayangan Lintang adik kesayangankupun, langsung melayang dipikiranku. Gila, kenapa Lintang datang dipikiranku.? Ada apa ini.? apa ini pertanda aku harus membantu Intan, dengan masalahnya yang aku sendiri tidak mengetahuinya.?

Dipikiranku saat ini, kalau seandainya yang duduk dihadapanku ini adikku sendiri, apa aku akan tetap berdiam diri.? Argghhhh.

Wahai Sang Pencipta, masalah apa yang akan kau berikan kepadaku saat ini.? apa ini memang jalan yang harus aku lewati, untuk mencapai impianku.? Ayolah, belum juga aku mendapatkan tempat kuliah, sekarang aku harus dihadapkan dengan suatu masalah yang besar dan aku tidak tau nanti akhirnya seperti apa.

Hiufft, huuu.

“tangisanmu itu, gak akan menyelesaikan masalahmu.” Ucapku dan akhirnya aku mulai bersuara dengan nada yang pelan.

“hiks, hiks, hiks, hiks,” tangis Intan tidak berhenti dan justru makin terdengar sedih.

“kalau kamu gak berhenti menangis, aku pergi sekarang juga.” Ucapku.

“kalau mau pergi, pergi aja. Hiks, hiks, hiks,” Ucap Intan disela tangisnya dan aku hanya menggelengkan kepalaku.

“iya, iya, aku gak pergi. Tapi hentikan tangismu.” Ucapku dan entah kenapa, aku bisa mengalah seperti ini dihadapan Intan. Biasanya kalau menghadapai seorang wanita yang seperti ini, pasti langsung aku tinggal pergi. Percuma bicara sama wanita yang sedang menangis seperti ini, ujung – ujungnya pasti akan ribut dan tidak ada jalan keluar.

“hik, hik, hik,” isakan tangis Intan mulai mereda.

“terus bagaimana.?” Tanyaku kepadanya dan Intan tetap menunduk, dengan sisa – sisa isakan tangisnya.

Aku lalu melihat kearah lilin yang ada dihadapanku dan lilin ini sudah tinggal sedikit lagi menyentuh meja. Aku lalu mematikan rokokku kelantai lagi.

“ya sudah kalau kamu masih belum mau bicara, aku mau kekamar dulu. Besok aja kita bahas lagi.” Ucapku dengan nada yang sangat lembut, lalu aku berdiri sambil menatap kearah Intan.

“dan aku harap, besok waktu kita membahasnya, kita bicara sebagai sahabat.” Ucapku lagi.

Perlahan Intan mengangkat wajahnya pelan kearahku, sambil tersenyum dibalik kesedihannya.

“te, te, terimakasih sudah menjadi sahabatku.” ucap Intan dan aku hanya mengangguk pelan.

Lalu,

“Huu.” aku meniup lilin yang tinggal sedikit ini, dan,

TAP,

Lampu mulai menyala terang di kosan ini. Tidak ada Intan dihadapanku dan kursi – kursi sudah tersusun rapi kembali ditempat semula. Aku lalu membalikan tubuhku, bertepatan dengan suara ayat – ayat suci yang berkumandang ditempat ibadah.

Aku melangkah kearah kamarku, dengan ditemani hawa yang sangat dingin sekali dan pikiran yang terasa sangat lega. dan pada saat aku membuka pintu kamarku, kulihat Joko sudah tertidur pulas diatas kasurku.

Aku lalu duduk dilantai dan bersandar didinding sambil membakar rokokku.




“aku muleh ae Lang.” (aku pulang aja Lang.) ucap Joko mengejutkanku dari lamunan, tentang kejadian semalam.

“ya udah, kalau kamu mau pulang, ya pulang aja.” ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“terus awakmu.?” (terus kamu.?) tanya Joko.

“aku disini aja, aku mau daftar dikampus teknik kita.” Jawabku.

“cok, tak kiro koen muleh bareng aku.” (cok, kukira kamu pulang bareng aku.) ucap Joko dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“aku gak tego lek ndelok awakmu, dipancal karo Mbahmu.” (aku gak tega kalau lihat kamu diinjak sama Mbahmu.) ucapku lalu tersenyum kepada Joko.

“matamu iku,” (matamu itu.) ucap Joko sambil melihat kearah yang lain.

“yo weslah, siap – siap kono.” (ya sudah, siap – siap sana) ucapku yang menyuruh Joko untuk berkemas.

Joko menarik nafasnya dalam – dalam, lalu berdiri dengan tidak ikhlasnya dan melangkah kearah pintu kamarku.

“terus awakmu nde kuto iki dewe.? Kate pindah kos nangdi awakmu.?” (terus kamu dikota ini sendiri.? Mau pindah kos dimana kamu.?) tanya Joko sambil melihat kearahku dengan sangat berat sekali.

“enggak pindah kemana – mana, aku mau dikos ini aja.” Jawabku.

“arek gendeng.” (orang gila.) ucap Joko sambil menggelengkan kepala dan memegang gagang pintu kamarku.

“kalau aku gak gila, aku gak akan ada disini dan mungkin aku gak akan mampu meraih impianku. Karena orang seperti aku ini, cuman punya modal kegilaan aja.” Ucapku sambil melihat kearah Joko.

Jokopun terdiam, lalu perlahan menempelkan keningnya diujung pintu.

“tapi duduk aku ae seng gendeng cok, awakmu yo gendeng.” (tapi bukan aku aja yang gila cok, kamu juga gila.) Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“jiancok, ayo ndang ados cok. ndang daftar nde kampus teknik kita. bajingan.” (jiancok, ayo cepat mandi cok. cepat daftar dikampus teknik kita. Bajingan.) ucap Joko sambil keluar kamarku dan aku langsung tersenyum dengan senangnya.





#cuukkk, memang sahabat terbaikku manusia satu itu. hehehe.
Jancuk.. update kali ini bener² buat aku geli campur parno =))=))=))

Masak iya, Joko kemana kemana ikut Gilang terus...
Batangan semua itu, mana kondisi gelap lagi =))=))=))

Banyolan kedua sahabat dekat itu, memberikan nuansa tersendiri di cerita ini.

Hmm... Untuk Gilang ada beberapa catatan untukmu

Pertama, bener yang kamu katakan. Alam sudah berbeda dengan Intan. Tidak ada imbal balik tolong menolong yang saling menguntungkan. Kamu hanya bisa mengambil pelajaran dari perilaku Intan di masa lalu. Ingat, kaca itu tidak harus berbentuk benda mati. Perilaku orang pun juga bisa buat ngaca. Baik buruk. Bisa dia muncul di depanmu karena kurang di do'akan bahkan oleh keluarganya sendiri, ada yang ingin dia sampaikan, ada orang yang tak bertanggung jawab yang jadi pemicu dia hamil dan bunuh diri. Yang penting, sikapmu tidak mengharap imbalan. Dia pancing emosimu, ya biarin aja. Namanya aja roh gentayangan..

Kedua, ane juga cocok denganmu Lang. Kalo masih sekolah, kondisi keluarga kurang mampu, tidak perlu jauh² mikir dengan pacar "besok kalo hidup sama aku bla bla bla".. kenapa? Kebutuhannya paling dekat, masih sekolah. Gak ada yang lain. Pas update kali ini pun, juga masih sekolah. Belum kerja. Jadi ya putus dengan mereka yang lebih mampu, masih masuk akal.

Ketiga, belajar lah dari Bi Ati. Mungkin dia paham akan masalahmu dengan intan. Berlakulah sopan sama bibi satu ini. Bisa kualat. Sepertinya si Bibi beneran bukan orang sembarangan

Terima kasih master atas updatenya
:halo::halo:
Semoga sehat selalu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd