Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
BAGIAN 4
KOTA PENDIDIKAN



“Lapo gak nyebrang Jok.?” (kenapa gak nyebrang Jok.?) Tanyaku kepada Joko yang berdiri dipinggir jalan, sambil menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri.

“sopo seng kate nyebrang cok.?” (siapa yang mau nyebrang cok.?) jawab Joko.

“yo lapo awakmu tolah toleh nde pinggir dalan.?” (ya kenapa kamu lihat kanan kiri dipinggir jalan.?) Tanyaku lagi.

“nde kene rame cok, akeh wedok’e. hehehe.” (disini rame cok, banyak perempuannya. Hehehe.) jawab Joko lalu tertawa.

Aku lalu melihat kearah sekelilingku dan memang banyak sekali perempuan muda yang seusiaku, berlalu lalang disini.

Aku sekarang sedang berdiri didepan kampus negeri, sambil tetap membawa perlengkapanku dari desaku tadi. Tatapan – tatatapan yang agak anehpun, diarahkan kepadaku dan Joko. Mungkin mereka semua mengira kami ini pengamen yang sedang pindah rumah.

“kampus negeri cok.” Ucap Joko sambil menunjuk papan nama kampus negeri diseberang jalan sana.

“iya, besok kita daftar kesana,” ucapku dan Joko langsung melihat kearahku, sambil mengarahkan kepalan tangannya kearahku.

“SEMONGKO.” Teriak Joko.

“SEMANGAT SAMPAI BONGKO.” Ucapku sambil meninju kepalan tangan Joko.

“hahahaha.” Lalu kami berdua tertawa bersama.

“terus piye saiki.?” (terus bagaimana sekarang.?) Tanya Joko.

“emboh.” (gak tau.) jawabku dengan entengnya.

“assuu..” (anjing.) maki Joko.

“hahahaha.” Kami berdua lalu tertawa bersama.

Terus terang kami berdua sekarang gak tau harus kemana dan harus berbuat apa dulu. Karena tujuan kami berangkat dari rumah hanya untuk mendaftar kuliah, tanpa tau kami akan tinggal atau singgah kemana dulu. Hehehe.

Bukannya bingung sih, karena kami itu gak rewel masalah tempat tinggal. Cuman kami kan harus beristirahat dan meletakkan barang – barang yang lumayan berat ini secepatnya. Capek juga loh menggendong tas punggung berisi pakaian, gitar dipundak kanan, karung beras digengaman tangan kanan dan kotak biola di tangan kiri. Belum lagi perut yang kosong, membuat kami berdua jadi gak bisa berpikir.

“mangan ae yo, aku luwe.” (makan aja yuk, aku lapar.) Ucapku sambil berjalan entah kearah mana tujuanku ini.

“kiro – kiro gratis maneh gak yo.?” (kira – kira gratis lagi gak ya.?) tanya Joko sambil berjalan disebelahku.

“assuu.” (anjing.) makiku pelan.

Memang pertanyaan Joko ini gak ada salahnya. Aku yang keluar rumah sampai berjalan saat ini, belum mengeluarkan uang sepeserpun. Becak dari rumah keterminal kabupaten, gratis dari Cak To. Bis dari terminal kabupaten keterminal kota pendidikan, gratis dari Cak Ndut. Angkot dari terminal kesini tadi, gratis juga dari temannya Cak Ndut. Kurang enak apa coba awal petualangan kami ini.? Hehehehe.

Tapi bukan berarti aku mengemis dan senang dengan hal ini. sebenarnya aku gak suka juga hal yang gratisan seperti ini, seperti ada yang mengganjal dihati dan aku harus membalasnya.

Hiuft. huu,

Kami berdua terus berjalan sampai mendekati sebuah kampus, yang suasananya sangat berbeda dengan kampus negeri tadi. Dikampus yang akan kami lewati ini, banyak laki – lakinya dan mereka terlihat sangar – sangar serta menyeramkan. Rambut mereka rata – rata gondrong sebahu dan banyak yang beranting – anting. Mata mereka pun terlihat banyak yang memerah.

“cok, iki kampus opo nggone preman.?” (cok, ini kampuis apa tempatnya preman.?) Bisik Joko kepadaku.

“mungkin ini istilahnya seperti STMnya kampus.” Bisikku sambil terus berjalan.

“akeh seng ngombe nde pinggir dalan cok.” (banyak yang minum dipinggir jalan cok.) bisik Joko lagi, ketika kami melihat beberapa kelompok orang sedang memutar minuman.

Waw. Bukan beberapa orang loh ya, tapi beberapa kelompok yang berisi belasan sampai puluhan orang. Gila nih kampus.

“awakmu ga pengen kuliah nde kene ta Jok.?” (kamu ga mau kuliah disini kah Jok.?) tanyaku ke Joko.

“wegah cok, mending aku kuliah nde terminal ae.” (enggak cok, mending aku kuliah diterminal aja.) jawab Joko.

“kuliah opo nde terminal.?” (kuliah apa di terminal.?) tanyaku.

“kesenian menabuh gendang paralon.” Ucap Joko lalu

DUNG, TAK, DUNG,

Joko menabuh gendang paralonnya dan beberapa orang langsung melihat kearah kami.

“asu” makiku.

Kami terus berjalan dengan cueknya, sampai kami berdua melewati papan nama kampus itu disebelah kiri kami. Aku dan Joko langsung reflek membacanya. ‘Kampus Teknik Kita Kota Pendidikan’

“cok, kampus teknik cok. pantes ae isine preman koyok ngene. (Pantes aja kalau isinya preman seperti ini.) ucap Joko, tapi aku tidak menghiraukannya.

Aku menolehkan wajahku kesebelah kanan, kearah sebuah gang kecil. Terlihat sebuah bangunan kos - kosan berwarna merah didalam gang sana. Bangunan kos – kosan itu terlihat garang dan terlihat sedang dalam renovasi.

“lang.” panggil Joko.

“hem.” Ucapku sambil melihat kearah depan lagi.

“didelok’i wong akeh.” (dilihat orang banyak.) ucap Joko pelan.

“wedi.?” (takut.?) tanyaku sambil berjalan dengan cueknya.

“gak blas cok.” (gak sama sekali cok.) ucap Joko dengan wajah yang sangat angkuh sekali.

Kami berdua memang tidak takut atau segan sedikitpun, ketika orang – orang yang kami lewati ini melihat kearah kami. Kalau orang gondrong dan mabuk seperti ini, kami biasa bertemu setiap hari. Mulai dari bajingan, pencopet, pembunuh dan perampok. Dan bukan hanya bertemu, kami juga berteman dengan mereka. Kalau dijalan, kami tidak pernah memilih teman. Sejahat apapun mereka, pasti kami temani. Kalau sekedar berteman kan gak ada salahnya, yang penting kami tidak ikut atau terpengaruh dengan kejahatan yang mereka lakukan.

Dan sekarang lanjut lagi, kami berdua membelokkan langkah kearah samping kampus teknik kita. Disini banyak sekali kos – kosan dan kelihatannya didominasi kos perempuan. Tapi walaupun mereka perempuan, dandanan mereka sangat cuek sekali. Rata – rata yang kami lihat, mereka memakai kaos ketat dan celana levis ketat dipinggul sampai paha, lalu melebar dibawah lutut.

“ayu - ayu cok.” (cantik – cantik cok) ucap Joko sambil melirik kearah perempuan yang kami lewati.

“wes warek.?” (sudah kenyang.?) tanyaku.

“gak iso dipangan cok, disawang ae iku. Hahaha.” (Gak bisa dimakan cok, dilihat aja itu. hahaha.) Ucap Joko lalu tertawa.

“Jok, mangan nde kono ae yo.” (Jok, makan disana aja yuk.) Ucapku sambil menunjuk sebuah warung tenda berwarna biru, dipinggir jalan. Warung ini letaknya persis dibelakang kampus teknik kita.

“oyi tok wes.” (iya aja pokoknya.) jawab Joko dan aku langsung melihat kearahnya.

“omonganmu kok wes logat kene Jok.?” (bahasamu kok sudah logat daerah sini Jok.?) tanyaku.

“kene og.” (sini kok = maksudnya, aku gitu loh) Ucap Joko dengan angkuhnya, sambil menepuk dada kirinya dengan telapak tangan kanannya.

“telek.” (taik.) makiku sambil memasuki warung tenda biru yang agak sepi ini.

Aku lalu meletakkan semua barang bawaanku didekat kursi dan aku langsung memesan makananku. Nasi pecel, tempe dan gimbal jagung. Sedangkan Joko, Nasi pecel pakai ayam goreng bagian dada.

“cok, mangan enak koen cok.” (cok, makan enak kamu cok.) ucapku sambil duduk dan meletakan piring nasiku dimeja.

“kene og.” Ucap Joko mengulangi keangkuhannya, lalu duduk disebelahku.

“dodo pitek roso sapi.” (dada ayam rasa sapi.) ucapku dengan santainya lalu aku menyantap makananku.

“kirek.” (anjing) gerutu Joko dan aku hanya tersenyum sambil terus mengisi perutku yang kosong ini.

Tidak lama kemudian, dua gelas es teh pesanan kami pun datang.

“terus piye iki.? Awak dewe turu nangdi.? Nde nggon ibadah ta.?” (terus bagaimana ini.? kita tidur dimana.? Ditempat ibadah kah.?) tanya Joko lalu dia meraih es tehnya dan meminumnya.

“awakmu gak tau ibadah kate turu kono Jok, gak wedi diparani malaikat maut ta.?” (kamu gak pernah ibadah mau tidur disana Jok, gak takut didatangi malaikat maut kah.?) ucapku dan aku mengambil es tehku juga.

“asu, kok medeni ngono omonganmu.?” (anjing, kok nakutin gitu omonganmu.?) Ucap Joko lalu dia mengambil rokoknya dan membakarnya.

“hehe.” Aku tersenyum lalu membakar rokokku juga.

“kasihan Bu Har ya Pak, kosannya belum ada yang nempati.” Terdengar suara Ibu pemilik warung kepada laki – laki yang mencuci piring didekatnya.

“iya Bu, padahal sudah bertahun – tahun kosong.” Jawab laki – laki itu, yang mungkin suami dari Ibu pemilik warung.

“padahal sudah ditawarkan, yang mau tinggal disitu, tiga bulan gratis. Terus kalau mau lanjut, setahun bayarnya cukup separuh aja.” Ucap Ibu pemilik warung.

Aku dan Joko langsung saling melirik dengan senyum yang tersungging dibibir.

“semongko.” Ucap Joko dengan pelan sambil mengarahkan kepalan tangannya kearahku.

“semangat sampai bongko.” Jawabku sambil meninju pelan kepalan tangan Joko.

Ini nih kabar baik yang paling enak didengar. Ketika kita membutuhkan tempat tinggal, ada yang memberikan info kosan. Apa gak baik sekali kabar seperti itu.? Pasti dipikiran Joko sama seperti yang ada dipikiranku.

“nasib anak soleh yang beruntung, hehehe.” Ucap Joko pelan lalu tertawa.

“awakmu gak soleh cok, gak ono wong soleh seng ngedol sapine Mbahe. Putu durhaka.” (kamu gak soleh cok, gak ada orang soleh yang jual sapinya mbahnya. Cucu durhaka.) ucapku menyindir Joko.

“cok, kok sapi terus seng dibahas.?” (cok, kok sapi terus sih yang dibahas.?) omel Joko kepadaku dan aku hanya asyik menghisap rokokku.

“biar disuruh gratis selama setahun, orang juga pasti mikir kos ditempat Bu Har itu.” ucap sang suami dan Joko langsung mengerutkan kedua alisnya.

“iya Pak, rumah angker itu sudah lima tahun kosong. Semenjak ada mahasiswi hamil yang gantung diri, semua penghuninya langsung pindah dan sampai sekarang gak ada yang berani tinggal ditempat itu.” ucap si Ibu dan Joko langsung melihatku dengan wajah yang ketakutan.

“apalagi kalau malam sering terdengar bunyi yang aneh, orang pasti akan semakin takut.” Sahut sang suami.

Aku lalu menoleh kearah Joko.

“semongko.” Ucapku pelan.

“ga semongko – semongkoan cok,” bisik Joko kepadaku dan aku hanya membalikan tubuhku, menghadap kearah Ibu pemilik warung.

“dimana kosan itu Bu.?” Tanyaku dan Ibu pemilik warung langsung melihatku dari ujung kaki sampai ujung rambutku.

“cok, gak usah aneh – aneh.” Bisik Joko kepadaku.

“emang kamu mau kos disana.?” tanya si Ibu dengan agak ragu.

“iya bu,” jawabku dengan santainya.

“asu.” (anjing) Maki Joko kepadaku.

“sampean ini.?” tanya Ibu pemilik warung sambil menatapku dengan penuh selidik.

“pengamen.? Iya kami pengamen. Tapi kami mau daftar kuliah dan kami belum ada kosan Bu. Rencananya kami mau kos ditempat yang Bapak dan Ibu bicarakan barusan.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“bajingan.” Gerutu Joko yang seperti tidak setuju, kalau kami kos ditempat yang katanya angker itu.

“oh, mau daftar to, kirain tadi mau ngamen aja mas. Hehehe.” Ucap si Ibu lalu tersenyum.

“iya memang kerjaan kami ngamen Bu.” Jawabku.

“mau pengamen atau apapun, terserah mas, yang penting itu halal. Tapi beneran sampean mau tinggal dikosan angker itu.?” tanya si suami.

“iya pak, emang kenapa.?” Tanyaku.

“sampean gak takut.?” Ucap si Ibu terpotong.

“takut apa Bu.? disamping saya ini genderuwo, jadi buat apa saya takut sama teman – temannya.” (genderuwo = bangsa jin atau mahluk halus) jawabku sambil melirik kearah Joko.

“kok tambah nggateli koen cok.” (kok tambah jengkeli kamu cok.) omel Joko.

“hahahaha.” Ibu dan Bapak pemilik warung hanya tertawa saja.

“jadi dimana kosannya Bu.?” Tanyaku.

“gak usah guyon koen cok.” (gak usah bercanda kamu cok.) ucap Joko sambil melotot.

“beneran mas.?” tanya Ibu dan Bapak warung dengan kompaknya.

“iya.” ucapku dengan sangat serius sekali.

“asu, asu, lapo aku melu awakmu rene. Duso ambek mbahku aku iki cok, cok.” (anjing, anjing, kenapa aku ikut kamu kesini. Dosa sama mbahku aku ini cok, cok,) omel Joko dan aku tidak menghiraukannya.

“ya kalau sampean serius, saya antarkan kerumah Bu Har sekarang.” Ucap sang suami.

“ayolah pak.” Ucapku sambil berdiri lalu aku menghisap rokokku.

“jiancok.” Maki Joko lalu menundukan kepalanya.

“ayo mas, Bu saya ngantar masnya ini ya.” ucap Bapak pemilik warung sambil membersih tangannya, lalu pamit kepada istrinya.

“iya pak.” Jawab Ibu pemilik warung.

“berapa makanannya Bu.?” Tanyaku sambil mendekat kearah si Ibu dan si Ibu menyebutkan harga makanan serta minuman kami.

“aku ae seng bayar.” (aku aja yang bayar.) ucap Joko lalu dia berdiri dan berjalan disampingku.

“aku emoh duwek sapi.” (aku gak mau uang sapi.) Jawabku sambil menyodorkan uangku kepada si Ibu.

“matamu cok.” omel Joko.

“aku iki putune mbahku, sapi iku yo jatahku.” (aku ini cucunya mbahku, sapi itu ya jatahku.) ucap Joko menjelaskan.

“opo mbahmu seng ngongkon ngedol sapine.?” (apa mbahmu yang suruh jual sapinya.?) tanyaku sambil mengambil kembalian dari Ibu pemilik warung.

“enggak cok, tak dol dewe. Wong sapine mbahku, dudu sapine Pak Lurah.” (enggak cok, tak jual sendiri, bukan sapinya Pak Lurah.) Ucap Joko yang terus mengeyel.

“lambemu cok, ngomongo karo sapine mbahmu seng koen dol kono loh. ben langsung dipancal raimu iku.” (mulutmu cok, ngomong sama sapinya mbahmu yang kamu jual sana loh, biar langsung diinjak wajahmu itu.) Ucapku dengan entengnya lalu melangkah kearah kursi tempat duduk kami tadi.

Aku sengaja terus memancing Joko, supaya dia melupakan tentang kosan angker yang akan kami tuju ini.

“matamu, mending aku dipancal mbahku timbangane dipancal sapine.”(matamu, mending aku diinjak mbahku, daripada diinjak sapinya.) gerutu Joko.

“tak wakilne ae piye.?” (kuwakilkan aja gimana.?) ucapku sambil mengambil barang bawaanku.

“omonganmu kok tambah nggateli cok.?” (omonganmu kok tambah jengkelin cok.?) ucap Joko sambil mengambil barang bawaannya juga.

Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, lalu melangkah kearah Bapak pemilik warung yang sudah menungguku diluar warung.

“ayo pak,” ucapku kepada Bapak pemilik warung.

“iya Mas, rumahnya Bu Har dekat aja kok.” Ucap Bapak pemilik warung lalu berjalan mendahului aku.

“cok. koen sengojo ngejak aku ngomong, ben aku lali karo kosan angker iku yo.?” (cok, kamu sengaja ngajak aku ngobrol, supaya aku lupa sama kosan angker itu ya.?) ucap Joko yang baru sadar, sambil berjalan disebelahku. Aku hanya meliriknya, sambil menghisap rokokku yang sisa sedikit ini.

“asu ancene arek iki.” (anjing memang anak ini) ucap Joko yang terus menggerutu.

Kamipun terus berjalan kearah rumah Ibu kos dengan suasana kota pendidikan yang mulai sore. Hawa dingin pun, langsung menyelimuti seluruh tubuhku.

“Bu Har ini, tinggal sama pembantunya aja mas. suaminya pelaut dan jarang pulang. Sedangkan anak – anaknya, kuliah diluar negeri.” Ucap Bapak pemilik warung dan berjalan lambat, lalu jalan beriringan bersamaku.

“oh,” ucapku singkat sambil menganggukan kepala.

“oh iya pak, nama saya Gilang.” Ucapku sambil menyodorkan tanganku ke Bapak itu.

“Pak No Mas.” ucap Bapak itu sambil menggenggam tanganku sebentar, lalu melepaskannya.

“Pak No Mas.” ucap Bapak itu lagi, memperkenalkan diri kepada Joko dan bersalaman dengannya.

“Riko Pak.” Ucap Joko dengan pedenya.

“ha.?” Ucap Pak No dengan terkejutnya, sambil melepaskan jabatan tangannya di tangan Joko.

“kenapa Pak.? Kok kaget gitu.?” Tanya Joko.

“gak pantes jenengmu karo raimu iku cok.” (gak pantas nama sama wajahmu itu cok.) sahutku.

“kirek” (anjing) maki Joko kepadaku.

“hehehe.” Pak No hanya tertawa saja.

“namanya dia itu Witko Pak.” Ucapku dengan cueknya, lalu aku menghisap rokokku dan membuang puntungnya.

“Witko.?” Tanya Pak No dan Joko barengan.

“sapi putih.” Ucapku lagi.

“assuu, maksudmu white cow.?” Ucap Joko dengan geregetan.

“terlalu nampak kalau panggilannya seperti itu.” jawabku.

“hahahaha.” Pak No tertawa dengan kerasnya.

“bajingan.” Maki Joko kepadaku.

“eh, itu rumah Bu Har.” Ucap Pak No, sambil menunjuk rumah yang besar disudut jalan.

“wow, dia tinggal sama pembantunya aja dirumah sebesar itu.?” tanya Joko.

“iya mas.” jawab Pak No.

“keren cok.” ucap Joko dengan penuh kekaguman.

“kalau kosannya dimana pak.?” Tanyaku.

“yang diujung jalan disebelah sana.” Ucap Pak No sambil menunjuk beberapa rumah dari rumah Bu Har.

“oo,” ucapku sambil menganggukan kepala pelan.

Dan kamipun sampai didepan rumah Bu Har yang sangat besar ini. Pak No pun langsung memencet bel yang ada didekat pagar.

TENG, TONG.

Bunyi bel dan gak berapa lama, seorang wanita setengah baya keluar dari dalam rumah.

“eh Pak No, ada apa pak.?” Ucap wanita itu.

“ada Bu Har bi.?” Tanya Pak No dan wanita itu langsung membukakan pagarnya.

“ada, tapi kelihatannya Ibu mau keluar itu.” ucap wanita itu sambil membuka pintu pagar.

“ini loh, ada yang mau kos dirumah Bu Har yang itu.” ucap Pak No sambil menunjuk kearah Kosan diujung jalan sana.

Wanita itu langsung melihat kami dari ujung kaki sampai ujung rambut. Gila, kenapa sih semua orang harus melihat kami dari ujung kaki sampai ujung rambut.? Emang tampang kami seperti penjahat.? Atau karena aku membawa gitar dan Joko membawa gendang paralon, jadi mereka mengira kami pengamen.? Ya memang pengamen sih. hehehe.

“oh iya, sebentar saya panggil Ibu dulu ya.” ucap wanita itu, lalu masuk kedalam rumah.

Lalu beberapa saat kemudian, keluar wanita setengah baya dengan pakaian yang sangat ketat sekali. Aku gak tau nama pakaian wanita itu, mungkin daster. Tapi kalau dasterkan agak longgar, gak seketat itu.

Sudahlah, gak usah terlalu dibahas pakaiannya. Yang perlu dibahas itu, tubuh wanita itu sangat seksi sekali dan wajahnya juga cantik. Buah dadanya pun, lebih besar dari punya Bu Nyoto. Gila.

Aku sampai melongo melihat wajah cantik wanita itu, yang usianya mungkin sekitar empat puluh sampai lima puluh tahunan. Tapi bodinya, masih kelihatan umur tiga puluhan. Gila.

“ayu ne rek, rek.” (cantiknya bro, bro) Gumam Joko disebelahku.

“ya Pak No.” ucap wanita itu dengan suara yang sangat lembut dan membuat dadaku berdetak dengan cepatnya.

“ini ada yang mau kos ditempat Ibu yang disana.” ucap Pak No.

“oh, gitu.” Ucap Bu Har sambil melihat kearahku.

Tubuh wanita yang dekat denganku ini, semakin membuat aku melongo dan aku sangat mengagumi kecantikannya. Pandanganku terus berpindah diantara wajah, buah dada, perut yang langsing, pahanya yang putih mulus terlihat setengah, lalu kembali kewajah dan aku ulangi seperti itu terus.

“Mas.” panggil wanita itu kearahku.

“Mas,” panggilnya lagi.

“Mas,” panggil Pak No dengan keras dan mengejutkanku.

“oh iya Pak.” Ucapku lalu melihat kearah Pak No.

“ini Bu Har.” Ucap Pak No.

“oh iya Bu,” ucapku yang malu, sambil melihat kearah wajahnya, lalu menunduk sejenak.

“Bu Har,” ucapnya sambil menjulurkan tangannya kearahku.




Bu Har


Dan ketika aku akan menyambut uluran tangan Bu Har,

“Joko Bu.” Ucap Joko yang langsung menyambar tangan Bu Har yang putih dan mulus itu.

“oh iya.” ucap Bu Har yang terkejut.

Wajah Joko tampak terlihat mesum sekali, sambil menjabat erat tangan Bu Har cukup lama.

“ehem.” Ucap Bu Har dan Joko langsung melepaskan jabatan tangannya.

“maaf Bu. Hehehe.” Ucap Joko sambil menggaruk kepalanya.

Bu Har lalu menatapku dan aku menjulurkan tanganku kearahnya. Dan,

Tap.

Tangan halus dan lembut Bu Har, menyambut jabatan tanganku ini. Gila, selain lembut dan halus, tangan Bu Har sangat putih dan mulus sekali. Pasti Bu Har ini gak pernah memegang arit (celurit) atau cangkul disawah, pasti gak mungkin sekali. Aroma tubuhnya pun harum sekali. gak ada campuran sedikitpun aroma sengatan matahari seperti ditubuhku, hehehe.

“ehem.” Suara Bu Har yang mengejutkanku dari lamunan dan aku langsung melepaskan jabatan ditangannya itu.

“kalian beneran mau kos ditempat saya.?” Tanya Bu Har dan dia menatapku dengan tatapan lembutnya.

“ya kalau Ibu ijinkan.” Ucapku dengan nada yang sangat santai sekali.

“sudah lihat kosannya.?” Tanya Bu Har.

“gak perlu kami lihat bu, kami mau kos ditempat Ibu.” Sahut Joko dengan semangatnya.

“ya sudah kalau kalian mau, saya dengan senang hati mengijinkannya.” Ucap Bu Har lalu tersenyum dengan manisnya.

“terus masalah biaya gimana Bu.?” Tanyaku.

“kalian tinggal aja dulu disana selama enam bulan gratis.” Ucap Bu Har.

Aku dan Joko langsung saling melihat. Bukannya tadi kata Pak No tiga bulan gratis ya.? kok sekarang jadi enam bulan.?

“kenapa bisa seperti itu Bu.?” Tanyaku.

“kosan saya itu sudah lama gak terisi, jadi kalian harus membersihkannya dulu. Dan sebagai ganti karena kalian telah membersihkannya, kalian boleh tinggal selama enam bulan gratis. Adilkan.?” Ucap Bu Har.

“setuju,” sahut Joko.

“terus kalau setelah enam bulan kami mau melanjutkan, bagaimana hitungannya Bu.?” Tanyaku.

“coba aja dulu tinggal disana, gak usah bicara kedepannya.” Ucap Bu Har.

“kalau kalian sudah melewati enam bulan, baru kita bicara lagi.” Ucap Bu Har lagi dan kembali aku melihat kearah Joko.

“okelah Bu.” Ucapku sambil melihat kearah Bu Har dan Bu Har langsung menganggukan kepalanya pelan.

“Bi, tolong antar mas – mas ini kekosan. Terus masalah kasur dan lain – lainnya, ambilkan didalam nanti.” Ucap Bu Har kepada pembantunya itu.

“enggeh Bu,” (iya Bu.) sahut pembantunya.

“saya tinggal keluar dulu ya Mas. nanti segala kebutuhan dikosan, ngomong aja sama Bi Ati.” Pamit Bu Har kepadaku.

“siap Bu,” sahutku.

“ayo Mas.” ucap Bi Ati kepada kami berdua.

“saya pamit ya Bu,” ucap Pak No.

“sebentar Pak No.” ucap Bu Har lalu melangkah kearah dalam rumahnya.

Huuu, gila. bokongnya Bu Har semok banget ,sama seperti punya Bu Nyoto. Luar biasa padat terlihat.

“Mas.” panggil Bi Ati kepadaku.

“oh iya Bi.” Ucapku.

“ayo kesana.” Ajak Bi Ati kepadaku.

“semoga betah ya Mas.” ucap Pak No kepadaku.

“siap pak, terimakasih ya.” ucapku sambil mengajaknya bersalaman, lalu aku dan Joko berjalan mengikuti Bi Ati kearah kosan yang akan kami tinggali.

Dan setelah sampai dikosan yang kami tuju, suasana yang cukup tenang menyambut kedatangan kami. Kosan ini gak terlalu menyeramkan seperti yang aku pikirkan. Walapun cat dindingnya agak usang, tapi rumah ini terlihat cukup terawat.

“setiap hari saya yang bersihkan Mas, biar gak terlihat kumuh.” Ucap Bi Ati sambil membuka pintu pagarnya.

“oh iya Bi.” Ucapku sambil mengangguk pelan.

Kosan ini terlihat agak besar dengan halaman yang cukup luas. Rumput – rumput yang ada dihalamanpun, cukup terawat. Gila, masa kosan seperti ini gak ada yang mau menempati sih.? jangankan gratis, disuruh membayarpun aku pasti akan mau, asalkan sesuai dengan isi kantongku.

Dan ketika kami memasuki pagar, tampak tetangga kosan disebelah kami, melihat kearah kami dengan wajah yang heran.

Aku dan Joko hanya saling memandang lalu kami masuk kedalam kosan, yang pintunya baru dibuka Bi Ati.

Aroma yang sedikit membuat bulu kudukku berdiri, langsung menyambutku. Bukannya aroma bunga – bunga atau aroma busuk, tapi aroma bangunan yang lama tidak ditinggali yang membuat aku sedikit berkidik.

Cahaya didalam ruangan, tampak sedikit gelap karena korden yang tertutup. Bi Ati masuk kedalam ruangan, lalu membuka korden dan jendela – jendala ruangan. Bi Ati Juga membuka pintu kamar, satu persatu.

Aku tidak takut sama sekali ketika masuk kerumah ini. aku berjalan masuk sambil melihat kearah sekeliling dalam ruangan yang ada dihadapanku. Ada ruang tamu, ruang tengah, ruang dapur, empat kamar tidur dan dua kamar mandi. Ruangan – ruangan itu lengkap dengan perabotannya yang terawat.

“jadi Bi Ati setiap hari membersihkan sampai kedalam rumah.?” Tanyaku dan Bi Ati hanya mengangguk pelan.

“gak takut Bi.?” Tanya Joko.

“takut apa Mas.? takut sama orang yang sudah mati gantung diri.?” Ucap Bi Ati dengan santainya dan Joko langsung melihat kearahku dengan wajah yang kembali ketakutan.

“yang mati ya sudah mati Mas, gak mungkin ada dunia ini lagi. mungkin yang ada itu mahluk halus atau setannya aja.” Ucap Bi Ati lalu tersenyum.

“cok, jangan dipertegas gitu Bi,” ucap Joko dengan wajah yang sedikit memucat.

“hihihi, sampean itu lucu Mas,” ucap Bi Ati sambil berjalan kearah dapur.

“kamu pilih kamar mana cok.?” tanyaku ke Joko.

“dikamar depan ini aja.” Ucap Joko sambil berjalan kearah kamar yang ada didekatku.

“disitu tempat gantung dirinya loh mas.” ucap Bi Ati dari arah dapur.

“asu, nde kamar tengah ae.” (anjing, dikamar tengah aja) ucap Joko sambil membelokkan langkah kearah kamar sebelahnya.

Aku menggelengkan kepala sambil masuk kearah kamar depan, yang kata Bi Ati bekas gantung diri itu.

Lemari, meja, kursi dan dipan pendek yang belum ada kasurnya. Itu isi dari kamar yang aku masuki ini. aku lalu meletakan barang bawaanku dan aku membuka lemari tempat pakaian. Tampak jaring laba – laba sedikit memenuhi lemari yang lama tidak terbuka ini.

“dibersihkan dulu Mas.” ucap Bi Ati sambil membawa sapu lidi dan sapu ijuk.

Aku lalu mengambil sapu lidi dan membersihkan lemari pakaian, sedangkan Bi Ati menyapu seluruh ruangan kamar ini.

“nanti sebentar lagi, kasurnya diantar sama Pak Yanto.” Ucap Bi Ati sambil menyapu.

“siapa Pak Yanto itu Bu.?” Tanyaku.

“tukang kebunnya Bu Har.” Jawab Bi Ati.

“oo.” Ucapku sambil mengeluarkan barang – barang yang ada didalam tasku, lalu menyusunnya didalam lemari.

Kamar ini dingin banget, selain karena hawa dingin kota ini, lantai kamarnya juga dikeramik. Beda sama kamarku yang masih tanah.

“oh iya mas, kalau sampean mau masak sendiri, nanti ada juga kompor diantar sama Pak Yanto.” Ucap Bi Ati.

“duh, kok jadi ngerpoti Bi.?” Tanyaku.

“bukannya ngerepoti Mas, dulu itu kosan ini salah satu kosan yang paling lengkap fasilitasnya.” Ucap Bi Ati.

“oo, gitu ya Bi. Beruntung banget dong saya, dapat fasilitas yang lengkap, gratis enam bulan lagi.” Ucapku lalu tersenyum.

“asal sampean betah aja Mas, soalnya rata – rata penghuni kosan ini setelah kejadian itu, hanya bertahan satu malam saja.” ucap Bi Ati.

“JIANCOOKKK,” teriak Joko dari kamar sebelah,

Aku dan Bi Ati langsung berlari kearah kamar Joko.

“ono opo cok.?” (ada apa cok.?) tanyaku yang melihat Joko berdiri didepan lemari.

“ono cecek nde njero lemari cok.” (ada cicak didalam lemari cok.) ucap Joko sambil melihat kearahku.

“asu, ngageti uwong ae cok.” (anjing, ngagetin orang aja cok.) makiku lalu aku berjalan kearah kamarku, sedangkan Bi Ati hanya menggelengkan kepala lalu menyapu didalam kamar Joko.

“gilo aku cok.” (jijik aku cok.) ucap Joko terdengar dari arah kamarnya dan aku tidak menghiraukannya.

“Bi.” Ucap seseorang dari arah pintu depan rumah.

“masuk aja.” Ucap Bi Ati dan aku langsung keluar kamarku.

“Mas.” ucap seseorang menyapaku, sambil memanggul kasur kapuk dipundaknya.

“Pak Yanto ya.?” tanyaku.

“kok tau.?” Ucap orang itu.

“hehe, saya Gilang Pak.” Ucapku.

“saya Yanto Mas, permisi ya.” ucapnya sambil masuk kedalam kamarku dan meletakkan kasur kapuk yang dipanggulnya, keatas dipan.

“terimakasih pak.” Ucapku.

“santai Mas, aku kerumah Bu Har lagi ya, masih banyak yang mau diangkut.” Ucap Pak Yanto.

“tak bantu pak.” Ucapku sambil mengikuti Pak Yanto yang berjalan keluar rumah.

“ayo wes.” (ayo sudah.) ucap Pak Yanto kepadaku dan kami berjalan kearah Bu Har.

Semoga saja Bu Har masih ada dirumah dan belum keluar, hehehe.

Dan ketika kami sudah sampai rumah Bu Har, tampak satu buah kasur, kompor, tv 14 inchi, beberapa peralatan masak, peralatan makan, selimut, sprey, bantal dan guling, tergeletak diteras rumah Bu Har.

“ini dibawa kesana semua pak.?” Tanyaku dengan herannya.

“iya mas.” jawab Pak Yanto sambil memanggul kasur dipundaknya.

“gendeng.” (gila.) ucapku dengan senangnya, sambil mengangkat tv, aku menoleh kearah rumah Bu Har.

“lagi keluar Bu Har nya.” Ucap Pak Yanto yang membuatku tersipu malu.

“oo.” Ucapku dan Pak Har hanya tersenyum lalu berjalan kearah kosan.

“cok, ono tv ne.?” (cok ada tv nya.?) tanya Joko dengan wajah yang sangat senang sekali.

“iyo cok.” jawabku.

“gendeng cok, nde ndeso ae seng nduwe tv wong papat, nde kene awak dewe ono tv dewe cok, hahaha.” (gila cok, didesa aja yang punya tv orang empat, disini kita ada tv sendiri cok, hahaha.) ucap Joko dengan senangnya.

“keren to.?” Ucapku sambil meletakkan tv di meja ruang tengah.

“sugeh cok, awak dewe sugeh, haha.” (Kaya cok, kita kaya, haha.) ucap Joko lalu tertawa.



Malam hari dikosan.

Setelah perjalanan yang melelahkan dan dilanjut dengan membersihkan kosan, serta menata barang – barang, aku dan Joko bersantai diruang tengah sambil menonton berita di tv. Kami berdua sudah selesai masak, makan dan sekarang kami tinggal menikmati rokok dan segelas kopi.

Oh iya, karung beras yang lumayan berat kubawa tadi, ternyata selain berisi beras, isinya ada gula, kopi, bumbu – bumbu dapur, tahu, serta tempe. Gila, Ibu sangat perhatian banget sama aku.

“adem cok.” (dingin cok.) ucap Joko yang memakai jaket, celana panjang, serta berkaos kaki.

“iya cok.” ucapku yang memakai switer pemberian Lintang, celana panjang, kaos kaki, serta sarung yang menutupi sebagian kepala dan tubuhku.

“ngombe enak iki.” (Minum enak ini. minum minuman keras maksudnya.) ucap Joko.

“ngopi ae,” (ngopi aja.) ucapku sambil meraih gelas kopiku lalu meminumnya.

“cok, kok adem kopiku cok.?” (kok dingin kopiku cok.) ucapku sambil meletakkan gelas kopiku.

“iyo, cepete ademe.” (iya, cepet banget dinginnya) jawab Joko yang juga habis meminum kopinya.

Wusss.. angin yang agak kencang langsung masuk kedalam rumah dan membuat hawa semakin dingin.

GLODAK.

Terdengar suara dari arah dapur dan kami berdua langsung terkejut.

“kucing iku cok.” (kucing itu cok.) ucapku menenangkan Joko yang terlihat agak ketakutan.

Joko hanya diam saja dengan pandangan mata kearah dapur.

“Bu Har piye Jok.?” (Bu Har Gimana Jok.?) tanyaku untuk mengajak bicara Joko yang masih terdiam.

“piye apane cok.?” (gimana apanya cok.?) tanya Joko sambil melirik kearah dapur.

“semok ya.?” tanyaku dan ketika Joko melihatku, aku langsung memainkan kedua alis mataku. aku sengaja mengajak Joko bercanda, supaya dia agak tenang.

“iyo, susune guide cok.” (iya, susunya besar cok.) ucap Joko dan sekarang dia terlihat agak tenang sedikit.

Wusss.. angin semakin kencang masuk kedalam rumah, lewat pintu depan yang terbuka.

GLODAK.

Bunyi yang lebih keras lagi terdengar dari arah dapur dan,

TAP, TAP, TAP,

Lampu dapur kelap – kelip dan langsung membuat bulu kudukku berdiri.

“JIANCOOKK.” Maki Joko sambil berdiri.

Aku juga berdiri dan aku langsung melangkah kearah dapur.

“kate nangdi koen cok.?” (mau kemana kamu cok.?) tanya Joko kepadaku dan aku tidak menghiraukannya.

Dan ketika aku sampai didapur, sekelebatan bayangan putih, masuk kearah kamar mandi yang ada didapur. Aku yang terkejut, hanya diam sambil melihat kearah kamar mandi itu.

Bayangan apa itu.? apa itu halusinasiku aja karena lampu dapur kelap kelip.?

Hiufft, huu.

Iya ya. aku kan belum beri salam ketika masuk kedalam rumah ini tadi. Harusnya aku permisi dulu, kepada siapapun yang ada didalam rumah yang sudah lama gak ditinggali ini. bukan asal nyelonong dan tinggal seenaknya seperti ini.

Aku lalu memejamkan kedua mataku perlahan, sambil bergumam sesuatu. Dan beberapa saat kemudian, aku membuka mataku lagi.

“assuu,” makiku ketika melihat seekor kucing berwarna hitam pekat, berdiri diatas meja dapur.

“ono opo cok,?” (ada apa cok.?) tanya Joko tanpa mendekat kearahku.

“kucing.” jawabku pelan sambil terus melihat kearah kucing yang diam mematung itu.

“assu, lapo koen ndelok’e koyo ngono.?” (anjing, kenapa kamu lihatnya seperti itu.?) tanya Joko.

“ireng.” (ireng.) ucapku, sambil melihat kearah Joko lalu melihat kearah meja makan itu lagi. Kucing itupun tidak terlihat lagi dan pergi entah kemana.

“JIANCOOKK.” Maki Joko, padahal dia belum meihat kucing hitam itu.

“ngamen ae yo.” (ngamen aja yo.) Ucapku sambil melihat kearah jam dinding diruang tengah, pukul 20.00.

“ayo wes.” (ayo sudah.) ucap Joko lalu melangkah kearah gendang paralonnya.

Aku sengaja mengajak Joko keluar rumah, bukan karena takut. Tapi aku ingin menenangkan Joko yang terlihat agak panik itu.

Aku lalu berjalan kearah kamarku dan meletakkan sarungku, lalu aku mengambil gitarku. Dan ketika aku keluar kamar, lampu dapur langsung terang kembali dan tidak berkedap – kedip lagi.

“COOKKK,” maki Joko terdengar dari pintu rumah.

“ono opo cok.?” tanyaku.

“kucing ireng.” (kucing hitam.) Ucap Joko sambil melihat kearah samping rumah.

“gak opo – opo, pengen kenalan ambe awak dewe ae iku.” (gak apa – apa, pengen kenalan sama kita aja itu.) ucapku sambil memakai sepatuku lalu berjalan kearah pintu.

“eh, duitku.” Ucap Joko ketika aku akan menutup pintu rumah.

“sopo seng wani mlebu cok.?” (siapa yang berani masuk.?) tanyaku dan Joko hanya tersenyum saja.

Aku lalu menutup pintu rumah dan menguncinya, setelah itu kami berdua keluar rumah ini sambil menutup pagar.

Penghuni kos – kosan yang ada disebelah dan disebarang kosan kami, tampak heran melihat kami berdua keluar dari kosan yang terkenal angker ini. tapi kami berdua cuek saja dan berjalan kearah kampus teknik kita.

“ngamen nangdi iki.?” (ngamen kemana ini.) Tanya Joko kepadaku, lalu dia membakar rokoknya.

“kos – kosan nde ngarep kampus teknik kita ae.” (kos – kosan didepan kampus teknik kita aja.) jawabku lalu aku membakar rokokku juga.

“lapo rono.?” (kenapa kesana.?) tanya Joko

“mempelajari situasi sekitar.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku lagi.

“omonganmu kemlinti.” (omonganmu sok – sok’an) ucap Joko

“hehehe.” Dan aku hanya tertawa saja.

Dan ketika kami sampai didepan kampus teknik kita, terlihat masih ada beberapa kelompok menikmati pesta minuman mereka.

“woi, ngamen disini aja.” Ucap seseorang memanggil kami berdua.

Orang yang memanggil kami itu tampak diantara belasan teman – temannya yang sudah mabuk.

Aku dan Joko langsung saling memandang, setelah itu kami berjalan mendekat kearah mereka. Tampak diantara mereka ada yang memegang sebuah gitar dan dia asyik dengan permainan gitarnya.

“loh, disini sudah ada gitar mas.” ucapku dengan sopannya, lalu aku menghisap rokokku.

“sudah nyanyi aja.” Ucap jawab seseorang yang memegang botol.

“gak usah, kalian ngamen didalam sana aja,” sahut orang yang memegang gitar, sambil menunjuk kearah sebuah gang didepan kampus teknik kita.

“anjing.” Maki yang memegang botol kepada yang memegang gitar.

“gak apa – apa, disana pasti mereka dapat uang yang banyak.” Ucap yang memegang gitar, sambil tersenyum dengan liciknya.

Aku dan Joko saling melirik, lalu melihat kearah orang yang memegang gitar itu.

“kalau gak dapat uang, nanti aku yang kasih uang.” Ucap orang itu dengan angkuhnya, lalu mengeluarkan uang berwarna biru beberapa lembar dari kantongnya.

“anjing, hahahaha.” Sahut teman – temannya, lalu mereka tertawa dengan senangnya.

“oke.” Jawabku singkat lalu aku membalikkan tubuhku dan menyebrang jalan.

“serius mereka.?” Bisik teman – temannya, yang terdengar pelan.

“biar aja, nanti kalau mereka bonyok, uang ini buat pengobatan mereka. Hehehe.” Suara orang yang memegang gitar terdengar pelan juga.

“kirek, kemlinti arek – arek iku. Duwek ngemis Bapak’e ae sombong.” (anjing, belagu anak – anak itu. uang minta bapaknya aja sombong.) Gerutu Joko.

“jarno ae.” (biarkan aja) ucapku dan berhenti sebentar didepan gang yang ditunjuk anak tadi.

Aku sebenarnya ingin masuk ke gang ini, walaupun tanpa disuruh anak tadi. Terus terang ketika aku lewat tadi siang, aku penasaran dengan gang ini. Entah kenapa kok aku ingin masuk kedalam sana.

“yo.” Ucapku kepada Joko, lalu aku melangkah kearah dalam gang.

“BONGKO.” (mampus) Teriak salah satu anak tadi, ketika langkah kami tidak begitu jauh.

“HAHAHAHA.” Terdengar tawa dari teman – temannya.

“arek – arek iku nggarapi awak dewe.” (anak – anak itu ngerjain kita.) Ucap Joko dan aku hanya tersenyum saja.

Langkah kami terhenti disebuah bangunan kos berwarna merah, yang sedang dalam tahap renovasi. Kos – kosan itu terlihat membangun beberapa kamar baru dilantai dua.

Dilantai bawah, tampak terlihat dua orang sedang bertransaksi sesuatu. Lalu beberapa saat kemudian, salah satu dari mereka berjalan kearah kami, sambil membawa bungkusan yang agak mencurigakan.

“koyo ane kosan arek - arek bajingan iku cuk.” (kelihatannya kosan anak – anak Bajingan itu cok.) ucap Joko berbisik kepadaku.

“wedi.?” (Takut.?) tanyaku.

“asuu, sak piro seh bajingane arek mahasiswa kene iku.?” (anjing, seberapa bajingan sih anak mahasiswa sini itu.?) ucap Joko dengan angkuhnya.

“sombongmu cok. ono muni glodakan ae wedi, assuu.” (sombong kamu cok. ada bunyi goladakan aja takut, anjing.) Ucapku yang menyindir Joko tentang bunyi suara di kosan kami tadi.

“bajingan, lek iku menungso, tak pancal raine cok.” (bajingan, kalau itu manusia, kuinjak mukanya cok.) omel Joko.

“telek.” (taik.) ucapku sambil melangkah lagi dan mendekat kearah pintu kosan yang terbuka itu.

Dan didalam sana, terlihat sekelompok orang berkumpul dan mengitari meja di ruang tengah. Botol – botol kosong bekas minuman, tampak berjejer dibawah kaki sang Bandar yang lagi menuangkan minuman. Mereka terdengar berbincang santai sambil bercanda ringan.

“permisi Mas.” ucapku dan mereka semua langsung melihat kearahku.

Gila, wajah mereka terlihat sangar dan lebih mengerikan dari pada mahasiswa yang mabuk diluar gang tadi. Tatapan mereka semua sangat tajam dan tidak bersahabat sama sekali. Pantas aja mereka yang ada diluar gang tadi, menyuruh kami masuk kesini. Rupanya mereka ingin menguji nyali kami. Tapi apa kami takut.? Enggak lah, kami biasa saja dilihat orang – orang seperti mereka.

“SEMONGKO.” Ucap teriak Joko.

“SEMANGAT SAMPAI BONGKO.” Jawabku, lalu kami berdua mulai menyanyikan sebuah lagu.

JRENG, bunyi ketukan gitarku.

DUNG, TAK, DUNG, gendang Joko mulai terdengar.

Aku menyanyikan lagu simalakama dengan sangat bersemangat dan Joko lebih bersemangat lagi menabuh gendangnya.

Tidak ada reaksi dari mereka yang ada diruang tengah itu, mereka hanya memandang kami dengan tatapan tajam.

Dan ketika lagu habis, aku hanya mengangguk pelan kearah mereka. Lagi dan lagi, mereka semua tetap diam.

“ngaleh ae cok, gak ono duwek’e.” (pergi aja cok, gak ada duitnya.) bisik Joko kepadaku.

“permisi mas.” ucapku sambil menganggukan kepalaku lalu membalikkan tubuhku.

“kake’ane, ono seng wani ngamen nde kene ndes.” (bajingan, ada yang berani ngamen disini bro.) ucap seseorang dengan logat bahasa dari daerah tengah pulau ini.

“berani sekali.” Sahut seseorang dengan logat khas kota Daeng.

“disamblek’a.?” (dihajar kah.?) sahut yang lain

Aku dan Joko langsung berbalik dan menatap kearah mereka. Bukannya kami takut atau mau menantang mereka, bukan seperti itu. Gertakan - gertakan seperti ini, sudah biasa kami dapatkan ketika mengamen. Disiram air comberanpun, juga sudah pernah kami rasakan.

Dan ketika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, kami berdua tidak akan lari. Untuk apa kami lari, kami hanya mengamen untuk sesuap nasi dan tidak memaksa kok. jadi untuk menghadapi situasi yang seperti ini, kami hanya memandang orang – orang yang ada dihadapan kami dengan santainya. Seperti saat ini, aku memandang mereka satu – persatu dengan sangat tenang.

“bah, kenapa kau lihat begitu.? Mau aku remukan tempurung kepala kau itu.?” ucap seseorang dengan logat daerah pulau yang ada dibarat sana.

“Ulah loba gaya, bisi dicabok.” Ucap seseorang yang aku tidak tau artinya.

“saya salah ya mas.?” tanyaku dengan sopannya.

“kake’ane, galih cah iki.” (bajingan, preman anak ini.) ucap seseorang lalu berdiri dan aku tetap berdiri didepan pintu kosan ini.

“yo’.” Ucap seseorang keluar dari kamarnya dan orang yang dipanggil yo’ itupun, langsung melihat orang yang memanggilnya itu.

“adoe ngamenmu lang.?” (jauhnya ngamenmu lang.?) ucap orang itu dan aku langsung melihat kearahnya.

“Mas Pandu.” Ucapku yang terkejut ketika melihat pemuda yang sudah lama aku kenal itu.

Mas Pandu ini salah satu preman yang ditakuti di desa Jati Bening, desanya Mbahku. Aku kenal Mas Pandu mulai dari kecil, tapi aku baru mulai dekat dengan Mas Pandu pada saat aku SMP, ketika aku mulai mengamen di terminal kabupaten. Ketika itu Mas Pandu baru lulus dari STM dan akan berkuliah. Aku kira Mas Pandu kuliah di Ibu kota propinsi, bukannya dikota ini.

“sopo cah iki ndu.?” (siapa anak ini ndu.?) Tanya orang yang berdiri tadi, lalu dia duduk kembali.

“adikku.” Ucap Mas Pandu sambil melihat kearahku.

“temenan’a Mas.” (beneran kah Mas.?) tanya yang lain dengan terkejutnya.

“mlebu’o lang, Jok.” (masuk aja lang, Jok.) Ucap Mas Pandu, tanpa menjawab pertanyaan temannya barusan.

“iya Mas,” ucapku dan Joko sambil melangkah kearah ruang tengah.

“lungguh.” (duduk) Ucap Mas Pandu sambil duduk didekat Bandar minuman.

“iya Mas.” ucapku lalu duduk didekat mereka bersama Joko.

“mos, kasih mereka minuman.” Ucap Mas Pandu kepada sang Bandar.

“siap Mas.” ucap sang Bandar lalu menuangkan minuman dan menyerahkan kepadaku.

Waw, kelihatannya Mas Pandu orang yang disegani dikosan ini. orang – orang disini tidak ada yang berani bersuara ketika Mas Pandu duduk dan menatapku.

“terimakasih Mas.” ucapku sambil mengangkat gelasku.

“werr.” Ucapku.

“werr, werr, werr,” sahut Mas Pandu dan Joko. Teman – teman Mas Pandu hanya melihat kami dengan heran dan tidak bersuara.

Aku lalu menyerahkan gelas itu kepada Bandar dan dia menuangkan minumannya lagi untuk Joko.

“wes daftar kuliah.?” (sudah daftar kuliah.?) tanya Mas Pandu kepadaku.

“kok sampean tau kalau saya mau kuliah.?” tanyaku balik dan Mas Pandu hanya melirikku.

“belum daftar Mas.” ucapku yang langsung menjawab pertanyaan Mas Pandu tadi, ketika Mas Pandu melirikku.

“kate daftar nangdi.?” (mau daftar kemana.?) Tanya Mas Pandu

“kampus negeri Mas.” jawabku sambil mengeluarkan rokokku dan aku mengambilnya sebatang lalu membakarnya.

“sudah tutup, tadi hari terakhir daftar.” Ucap Mas Pandu dan aku langsung melihat kearah Joko lalu melihat kearah Mas Pandu.

“serius Mas.?” tanyaku dan Mas Pandu hanya menganggukan kepalanya, sambil membakar rokoknya.

Cok, akupun langsung tertunduk lesu dan seluruh tubuhku rasanya sangat lemas sekali. Gila, kok bisa seperti ini sih.? kenapa bisa aku sebodoh ini.? Kenapa waktu dari terminal tadi, aku gak singgah dulu untuk melihat pengumuman dikampus negeri.? Kalau aku singgah, pasti aku tau hari ini pendaftaran terakhir dan aku langsung mendaftar. Ahh.

Terus sekarang aku harus bagaimana.? Apa aku balik kedesa.? Gak mungkin lah. Aku sudah terlanjur pamit dan gak mungkin aku balik. Bukannya aku takut dengan omongan orang – orang desa, tapi aku takut melihat kedua orang tuaku dan kedua adikku kecewa.

“daftar aja dikampus teknik kita.” Ucap Mas Pandu dan aku langsung mengangkat wajahku.

“danaku cukup untuk daftar dikampus negeri Mas. kalau diswasta pasti mahal banget.” Ucapku dengan suara yang bergetar. Terus terang aku sangat kecewa mendengar kabar ini.

“nggak mahal, kurang lebih aja.” Ucap Mas Pandu meyakinkan aku dan aku langsung melihat kearah Joko, yang wajahnya juga terlihat terkejut dan dia juga sangat lemas sekali.

“tapi mas.” ucapku.

“kamu percaya aku kan.?” Tanya Mas Pandu kepadaku dengan tatapan matanya yang sangat dalam sekali..

“hiuft, huu. nanti saya pikirkan lagi Mas.” ucapku lalu aku menunduk dan menghisap rokokku.

Suasana kosan langsung berubah menjadi sedikit tegang, tidak ada yang bersuara lagi semua penghuni kosan ini asyik dengan kegiatannya masing – masing.

“oh iya, kenalin ini teman – temanku.” Ucap Mas Pandu kepadaku dan terlihat Mas Pandu ingin mencairkan suasana.

“iya Mas.” ucapku sambil mengangkat wajahku.

“ini Wagiyo, Ance, Arief, Ramos, Ucok, Ujang, Adam, Daeng Betta, terus ini Oka.” Ucap Mas Pandu dan aku langsung berdiri, lalu berkenalan sambil menyalami mereka satu persatu bersama Joko.

Aku lalu duduk lagi dengan tubuh yang masih lemas.

“kamu kos dimana.?” Tanya Mas Pandu.

“ditempat Bu Har Mas.” jawabku pelan.

“asuu, Bu Har yang semok itu.?” tanya Mas Adam dan aku hanya mengangguk pelan.

“bajingan, enak sekali hidupmu anak muda.” Sahut Mas Arief.

“pasti tiap hari kau disuguhi susu yang montok.” Ucap Bang Ucok.

“hahahaha.” Dan yang lain langsung tertawa.

Wajah teman – teman Mas Pandu sekarang terlihat ramah dan sangat bersahabat sekali kepada kami. Mereka juga terlihat ingin mengajak kami bercanda, karena melihat wajahku dan Joko yang murung ini.

“disuguhi susu montok apa.? Anak ini pasti kos di tempat Bu Har yang angker itu, bukan dirumah yang ditinggali Bu Har.” Ucap Mas Pandu dan semua penghuni kosan ini langsung terkejut.

“JIANCOOKKK.” Maki mereka dengan kompaknya.

“beneran.?” Tanya Daeng Betta kepadaku.

“iya Daeng.” Jawabku.

“gila, hahaha.” Ucap yang lain lalu mereka tertawa lagi.

“anak Desa Sumber Banyu itu memang gila.” Ucap Mas Pandu sambil menggelengkan kepalanya.

“hehe,” dan aku hanya tersenyum saja, walau pikiranku masih agak kacau.

Semua yang ada disini diam lagi ketika melihat ekspresiku yang sedih seperti ini. mereka hanya saling melihat, lalu melirik kearah Mas Pandu.

“percaya sama aku lang. kalau tujuanmu kuliah dijurusan teknik, lebih baik di kampus di teknik kita aja. Walaupun seandainya pendaftaran dikampus negeri belum tutup, aku pasti menyarankan kamu untuk kuliah dikampusku.” Ucap Mas Pandu.

“kenapa bisa seperti itu Mas.?” tanya Joko.

“kalau untuk jurusan teknik, kampus teknik kita masih yang terbaik. Lulusan dikampus ini pasti akan dicari ketika sudah lulus.” Jawab Bang Ance.

“tapi ya itu, masuknya gampang, lulusnya yang susah.” Sahut Kang Ujang.

“kalau masalah lulus, tergantung niatnya Jang. Aku yakin dia bisa lulus cepat kok.” jawab Mas Pandu sambil melirik kearahku.

“sudahlah, kalian berdua kuliah aja dikampus kami.” Ucap Bang Ucok.

Aku dan Joko kembali saling melirik.

“atau kamu mau pulang kedesa lagi.?” Tanya Mas pandu.

“pikir lagi lah.” Ucap Bang Ramos sambil menuangkan minuman dan memutarkannya lagi.

“mikir apa Bang.? Kos yang isinya tempat pembuangan anak jin aja, mereka mau menempati. masa kuliah ditempat kita mereka gak mau.” Ucap Mas Adam ke Bang Ramos, yang langsung membuat telingaku gatal mendengarnya.

“asu.” (Anjing) maki Joko pelan sambil tersenyum dengan jengkelnya.

“jadi maksudmu, kampus teknik kita itu pembuangan anak jin.?” Tanya Bli Oka.

“gak gitu Ka,” ucap Mas Adam.

“Adam itu memang jin botol, jin botol bandar..” Celetuk Bang Ucok lalu terdiam ketika dilirik Mas Pandu.

“asu.” Gerutu Mas Adam.

“jadi gimana.?’ tanya Mas Pandu.

“gak tau Mas.” jawabku.

“wes, ngombe wae lah.” (sudah, minum ajalah.) ucap Mas Wagiyo lalu meminum jatahnya.

“minum sambil dengarin lagi yang kalian bawa tadi, enak juga loh.” sahut Bli Oka.

“iyo.” Ucap Mas Arief.

“kalau sampean senang lagu kami, kenapa tadi gak ikut nyanyi.?” Tanya Joko.

“cok, ngomong ae. Ayo ndang ditabuh gendangmu.” (cok, ngomong aja. Ayo cepat ditabuh gendangmu.) Ucap Mas Adam.

“SIAP, SEMONGKO.” teriak Joko.

“SEMANGAT SAMPAI BONGKO.” Jawab semua penghuni kosan ini.

JRENG, bunyi ketukan gitarku.

DUNG, TAK, DUNG, gendang Joko mulai terdengar.

(video ilustrasi pengamen dipulau ini.)


Kami semuapun langsung menyanyikan lagu simalakama untuk kedua kalinya. Semua penghuni kosan ini tampak asyik dan bersemangat menyanyikan lagi ini.

Aku dan Joko mengikuti beberapa putaran minuman, sampai rokok kami habis. Lalu setelah itu, aku dan Joko pun pamit untuk pulang.

“kami balik ya mas.” pamitku sambil melihat kearah Mas Pandu, lalu melihat kearah penghuni kosan yang lain.

“iya, jangan kemalaman baliknya, sudah ditunggu Intan kamu.” Ucap Mas Pandu lalu aku mengerutkan kedua alisku.

“Intan,?” tanyaku.

“wanita yang gantung diri dikosanmu itu.” sahut Mas Adam lalu tersenyum mengejek kearah kami.

“cok,” maki Joko dengan wajah yang memucat.

“hahahaha.” Semua penghuni kosan inipun langsung tertawa.

“iya deh Mas, entar aku salamain buat Intan dari Mas Adam.” Ucapku.

“assuu, aku gak kirim salam cok.” sahut Mas Adam.

“hahaha,” semua penghuni kosan ini kembali tertawa.

“hehehe, saya pamit Mas.” ucapku lalu berdiri.

“kamu gak mau tinggal dikosan ini lang.? diatas ada tiga kamar baru yang mau jadi.” tanya Mas Pandu.

“sama Intan aja aku mas, gak mau sama Mas Adam.” Ucapku dengan sopannya lalu aku tersenyum.

“jiancok.” Maki Mas Adam.

“hahahaha.” Semua penghuni kosan inipun langsung tertawa bersama.

“pamit mas.” ucapku dan Joko.

“ya hati – hati.” Ucap Mas Pandu dan semua penghuni kosan ini.

Aku dan Joko pun langsung keluar kosan ini, dengan kepala yang agak pusing.

“piye lang.?” (gimana Lang.?) tanya Joko sambil melangkah kearah luar gang.

“dibahas mene ae, ngelu ndasku.” (dibahas besok aja, pusing kepalaku.) ucapku yang malas untuk membahas masalah kuliah kami.

Dan ketika kami sudah sampai diluar gang kosan, orang yang menyuruh kami untuk mengamen kedalam tadi, masih ada disitu dan mereka masih berpesta.

“gimana kalau kita olah raga malam, untuk mengeluarkan hawa negative nde njeru dodo iki.? (didalam dada ini.?)” ucap Joko sambil tersenyum dengan bengisnya.

Kalau Joko sudah menatap orang dengan wajah bengis seperti ini, biasanya di pasti akan berlari dan langsung memukul orang yang dilihatnya itu.

“sabar cok, eleng sapi seng koen dol.” (sabar cok, ingat sama sapi yang kamu jual.) Ucapku yang mengajak bercanda Joko.

“jiancok koen lang.” (jiancok kamu lang.) ucap Joko sambil melihat kearahku.

Akupun langsung berjalan kearah mereka dengan santainya. Mereka semua memandang kami dengan sedikit terkejut, karena kami dalam keadaan sehat keluar gang ini.

“hai Mas.” ucapku menyapa mereka dan mereka langsung terlihat tidak senang dengan kedatangan kami.

“kamu mau minta uangmu ya.?” tanya seseorang berdiri dengan tatapan yang tidak mengenakan.

“JIANCOOKK.” Maki Joko lalu.

BUHGGG, JEDUUKK, BUUMMM.

Orang yang berdiri dihadapanku ini, langsung tersandar dipagar kampus. Mulutnya mengeluarkan darah, setelah dihantam oleh kepalan tangan Joko yang keras dan besar itu.

“BANGSAT.” Teriak teman – temannya lalu berdiri mengelilingi kami.

Aku dan Joko pun langsung bersiap dengan serangan mereka semua.

“Gilang, Joko.” Panggil seseorang dari depan gang.

Semua yang akan menyerang kami ini pun, langsung melihat kearah depan gang itu. dan disana berdiri Mas Pandu seorang diri sambil menghisap rokoknya.

“Ma, Ma, Mas Pandu.” Ucap salah satu dari mereka dengan suara yang ketakutan dan mereka semua langsung mundur perlahan.

Mas Pandu langsung menyebrang jalan dan berdiri didekat kami, sambil menatap orang – orang yang ada dihadapan kami ini. mereka semua semakin ketakutan dengan kepala yang langsung tertunduk.

Gila Mas Pandu ini, tatapannya aja sangat ampuh. Berarti Mas Pandu ini memang salah satu bajingan dikampus ini.

“anak ini jago gendang dan pukulannya keras. Kalian tau latihannya bagaimana.?” Tanya Mas Pandu lalu menghisap rokoknya lagi.

Tidak ada jawaban dari mereka semua. Mereka tetap diam dengan wajah yang tidak berani menatap kearah kami.

“latihannya mukulin bokong sapi sampai jadi abon.” Ucap Mas Pandu dengan cueknya.

“hep, hep.” Akupun langsung menahan tawaku.

“cok.” gerutu Joko pelan.

“jadi kalau wajah kalian semua mau jadi abon, maju aja. Aku cukup melihat.” Ucap Mas Pandu dan kembali tidak ada yang menyahut.

“gak ada yang mau maju ya.? ya udah, aku balik kekosan aja.” Ucap Mas Pandu lalu membalikkan tubuhnya.

“eh Jok, kamu dicari mbahmu. Katanya kamu habis jual sapinya ya.?” tanya Mas Pandu yang tiba – tiba membalikan tubuhnya dan melihat kearah Joko.

“anu mas.” ucap Joko sambil menggaruk kepalanya.

“putu kurang koen iku Jok, hehehe.” (cucu kurang ajar kamu itu Jok, hehehe.) Ucap Mas Pandu lalu tertawa pelan, sambil menggelengkan kepalanya. Lalu setelah itu Mas Pandu membalikan tubuhnya lagi dan melangkah masuk kedalam gang.

“asuu, asuu,” (anjing, anjing.) gerutu Joko dan aku tersenyum sambil melihat kearah orang – orang yang masih menunduk ini.

Salah satu dari mereka mengambil sesuatu dikantongnya, lalu menyerahkannya kepadaku. Ternyata dia mengambil beberapa lembar uang berwarna biru dan tergulung.

“aku pengamen Mas, bukan pengemis. Lagian aku juga gak suka berjudi.” Ucapku, lalu aku melangkah meninggalkan mereka dengan cueknya.

“BONGKO.” (mampus.) teriak Joko dengan cueknya, tanpa melihat kearah mereka.

Tidak ada sahutan dari mereka semua, dan kami berdua terus melangah kearah kosan kami. Kalau seandainya ada yang menyahut, mungkin aku dan Joko akan meladeninya. Kami akan menyelesaikan sesuatu yang tertunda, akibat kedatangan Mas Pandu tadi. Hehe.

“tuku sego goreng yo.” (beli nasi goreng yo.) ucapku ketika melewati beberapa rombong nasi goreng, yang berjejer disebelah kampus teknik kita.

“iyo, aku yo luwe.” (iya aku juga lapar) ucap Joko.

Kami lalu memesan dua bungkus nasi goreng. dan setelah nasi goreng kami jadi, kami berdua melangkah kearah kosan. Dan ketika kami sudah sampai kosan, kami melihat seorang kakek – kakek duduk tidak jauh dari pagar kosan. Kakek itu berpakaian lusuh dan seperti sangat kelaparan. Aku dan Joko lalu saling melihat.

“untunge awak dewe tuku sego goreng loro.” (untung kita beli nasi goreng dua.) Ucapku dan Joko langsung tersenyum.

“Dijak mangan nde njeru ae Lang.” (di ajak makan didalam aja Lang.) sahut Joko.

“iya, biar sekalian istirahat didalam. Dingin hawanya diluar.” Ucapku.

Kami berdua lalu berjalan dan mendekati sikakek yang duduk itu.

“sudah makan Mbah.?” tanyaku dan si kakek hanya diam sambil menunduk.

Aku mengambil sebungkus nasi goreng, lalu menyerahkan kepada si kakek.

“makan dulu ya Mbah.” Ucapku sambil jongkok didekat si kakek.

Si kakek mengambil bungkusan nasi goreng tanpa melihat kewajahku. Aku lalu berdiri dan melangkah kearah pagar kosan. Aku membuka pagar dan Joko langsung masuk duluan. Ketika aku berbalik untuk menawarkan sikakek masuk kekosan, si kakek sudah tidak ada ditempat duduknya.

“JIANCOOKK.” Maki Joko ketika dia membuka pintu kosan.





#cuukkk, dimana kakek itu dan ada apa lagi didalam kosan.? Kenapa awalnya perjalananku tadi mudah, sekarang malah ada sedikit halangan seperti ini.? apa kedatangan kami diKota Pendidikan ini tidak diijinkan oleh Sang Pencipta.? Arrgghh.
Mulaiiiiiii menggilaaaa
 

BAGIAN 5
SAHABAT



“piye Jok.?” (Gimana Jok.?) Tanyaku kepada Joko, melanjutkan pembicaraan kami yang semalam terputus.

“emboh, mumet ndasku Lang.” (gak tau, pusing kepalaku Lang.) Jawab Joko sambil menunduk lalu menjambak rambutnya sendiri.

“lek koen ragu, muleh ae.” (kalau kamu ragu, pulang aja.) ucapku lalu aku mengambil rokok kretekku dan membakarnya.

“assuu koen cok. Lek aku muleh, opo aku gak dipancal karo mbahku.” (anjing kamu cok. kalau aku pulang, apa gak diinjak aku sama Mbahku.) ucap Joko sambil mengangkat wajahnya dan menatapku, dengan tetap menjambak rambutnya.

“lah terus karebmu piye.?” (lah terus maumu gimana.?) tanyaku lalu aku menyeruput kopiku yang masih panas ini.

“emboh.” (Gak tau) jawab Joko dengan pasrahnya.

“taek, taek.” (taik, taik.) ucapku lalu aku mengangkat sedikit bokongku dan,

Brot, brot, broottt.

Aku mengeluarkan angin yang berada didalam perutku, lewat lubang bokongku yang agak keriput ini. Perutku ini terasa penuh dengan angin, karena semalaman suntuk aku tidak bisa tidur. Padahal seharian kemarin aku sangat letih, karena perjalanan dari desa kekota ini. Hawa dingin tadi malam yang sampai terasa menusuk tulangkupun, membuat perutku makin terasa kembung saja.

“bajingan.” Maki Joko dengan mata yang melotot, sambil menutup hidungnya dengan kedua tangannya. Ini kesekian kalinya aku mengeluarkan senjata kimiaku dipagi ini, yang aku arahkan tepat dijantung pertahanan Joko yang terlemah.

“mambu ta.?” (Bau kah.?) tanyaku sambil melihat kearahnya.

“Gak mambu cok, mek mancal neng irung.” (gak bau cok, cuman nendang dihidung.) ucap Joko dengan jengkelnya.

“anggep ae latihan Jok. Dadi pas awakmu muleh, awakmu wes siap dipancal Mbahmu.” (anggap aja latihan Jok. Jadi pas kamu pulang, kamu sudah siap ditendang Mbahmu.) jawabku lalu aku tersenyum dan menghisap rokokku lagi.

“mbahku gak ngentutan koyok raimu iku cok.” (mbahku gak suka kentut kaya mukamu itu cok.) gerutu Joko lalu dia menurunkan tangannya dari hidungnya.

“ehhpp. Manganmu opo cok.? bajingan.” (ehhpp, makanmu apa cok.? bajingan) ucap Joko sambil menutup hidungnya lagi, dengan mata yang terpejam sesaat.

“jek mambu ta.?” (masih bau kah.?) Tanyaku dengan cueknya.

“mambune gak sepiro cok, tapi motoku sepet.” (baunya gak seberapa cok, tapi mataku perih.) ucap Joko dengan jengkelnya.

“aromane mulek nde kene maneh, bajingan.” (aromanya berputar disini aja lagi, bajingan.) ucap Joko lagi.

“ababmu mbalik maneh iku cok, awakmu gak sikatan yo.?” (bau mulutmu balik lagi itu cok, kamu gak sikat gigi ya.?) ucapku sambil memainkan kedua alisku.

“suwi – suwi omonganmu tambah nggateli cok.” (lama – lama omonganmu tambah jengkelin cok.) ucap Joko dengan mata yang melotot lagi.

“wes talah. Terus piye iki.?” (sudahlah. Terus bagaimana ini.?) tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“piye aku mikir, lek aku mbo entuti terus ket mau. Asuu.” (gimana aku mikir, kalau aku kamu kentuti aja dari tadi. Anjing.) ucap Joko mengomel.

“hiuft, huuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan. Setelah itu aku manarik isapan rokokku, sambil mengingat kejadian semalam yang salah satunya mengakibatkan aku tidak bisa tidur.



“JIANCOOKK.” Maki Joko ketika dia membuka pintu kosan.

“ono opo cok.?” (ada apa cok.?) tanyaku yang bergegas mendekati Joko yang mematung didepan Pintu.

Aku yang kebingungan karena kakek yang baru kuberi makan barusan menghilang dari pandanganku, tidak terlalu konsen dengan pandangan disekitar kosan.

“Mbahe ono neng jero.” (Mbahnya ada didalam) Ucap Joko pelan sambil melihat kearahku.

“Mbahe sopo.?” (Mbahnya siapa.?) tanyaku dan aku belum melihat kearah dalam kosan.

“seng mau nang jobo.” (yang tadi ada didepan.) Ucap Joko dan dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri, Jokopun tidak mau melihat kearah dalam kosan lagi.

Ha.? Sikakek yang tadi.? Beneran Kakek yang tadi ada didalam kosan.? Sejak kapan beliau masuknya dan bagaimana cara masuknya.? Pintunyakan baru dibuka oleh Joko. Arrgghh. Aku lalu melihat kearah dalam kosan dengan perlahan.

“endi cok.?” (mana cok.?) tanyaku ketika melihat kedalam kosan, tapi tidak ada satu orang pun didalam sana.

Joko lalu menolehkan kepalanya pelan kearah dalam kosan.

“kok gak ono.?” (kok gak ada.?) Ucap Joko dengan wajah yang terkejut dan suara yang bergetar.

“ngelindur koen (kamu) Jok.” ucapku lalu aku masuk kedalam kosan.

“sumpah, gak goro aku cok.” (sumpah, gak bohong aku cok.) ucap Joko dan dia tetap berdiri didepan pintu.

“wes talah mlebuo.” (sudahlah masuk aja.) ucapku sambil melihat kearah Joko.

Joko lalu melangkahkan kakinya perlahan, masuk kedalam kosan. Dan,

TAP, TAP, TAP.

Lampu didapur kelap – kelip seperti tadi, ketika kami akan keluar kosan.

“Cok,” maki Joko lalu membalikkan tubuhnya dan bersiap keluar kosan.

“Jok.” Panggilku.

“emoh aku cok, emoh. Aku muleh ae cok.” (gak mau aku cok, gak mau. Aku pulang aja cok.) Ucap Joko sambil melangkah.

“Wedi.?” (Takut.?) ucapku dan Joko langsung menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatapku.

“aku iku paling mangkel lek awakmu ngomong ngono cok.” (aku itu paling jengkel kalau kamu ngomong gitu cok.) ucap Joko dengan jengkelnya.

“terus.?” Tanyaku dengan santainya.

“asuu, asuu,” (anjing, anjing) ucap Joko dengan jengkelnya, lalu melangkah mendekati aku.

Aku lalu mengepalkan tangan kananku kearahnya dan Joko langsung meninju kepalan tanganku pelan.

“turu aelah,” (tidur ajalah.) ucapku sambil menepuk pundaknya pelan, lalu aku memegang pintu kamarku dan membukanya. Aku membuka pintu kamarku sambil melihat kearah Joko yang masuk kekamarnya dan dia langsung menutupnya.

Aku lalu masuk kamar dan menutup pintu kamarku juga. Dan ketika aku membalikan tubuhku, aku dikejutkan dengan pemandangan yang membuat jantungku terasa berhenti sesaat. Aku melihat seorang wanita duduk dikursi dekat meja kamarku. Wanita itu menunduk sambil merapikan rambut panjangnya, dengan jari – jari tangan kanannya.

Suasana yang menyeramkan langsung menyelimuti ruangan kamarku, dan bau – bau kembang mawar menusuk lubang hidungku. Gila.

Siapa wanita ini dan bagaimana dia bisa masuk kedalam kamarku.? Terus dari mana datangnya aroma kembang mawar ini.? apa aroma tubuh wanita ini yang bau kembang mawar.? Tapi siapa dia.? apa jangan – jangan dia ini Intan, wanita yang gantung diri dikamar ini.? tapi masa iya manusia yang sudah mati, bisa bangkit lagi dan menampakkan wujudnya.?

Kata mbahku, manusia yang sudah mati ya mati. Dia tidak mungkin lagi ada didunia ini, sama seperti kata Bi Ati tadi sore. Manusia yang sudah mati, mempunyai alam yang berbeda dengan manusia yang masih bernyawa. Tapi bukan berarti kita yang bernyawa ini, hidup sendiri didunia ini. Masih ada bangsa – bangsa lain yang ada disekitar kita, tapi sekali lagi bukan manusia yang sudah mati loh ya.

Jadi jenis mahluk apa yang ada dihadapanku ini.? genderuwo.? Jin.? Setan.? Iblis.? Atau apa.? Berani sekali dia menampakan wujudnya dihadapan seorang Gilang Adi Pratama.

Apa aku takut.? Ya pastilah. tapi sedikit aja takutnya, gak banyak. Untuk apa aku terlalu takut yang berlebihan, menghadapi mahluk yang belum tentu menyakiti aku. Menghadapi mahluk seperti Kinanti yang jelas – jelas sudah melukai hatiku aja, aku bisa tenang kok. apalagi mahluk wanita dihadapanku ini.

Apa aku merinding.? Ya iyalah. Siapa yang ga merinding melihat seorang wanita, yang kita tidak tau sejenis mahluk apa itu.

Terus.? Ya tenangkan pikiran dan jangan panik. Kalau panik, dia pasti akan terus berada disini dan mungkin saja menggangguku.

Hifftt, huuu.

Aku hanya bisa terus memandang wanita itu, tanpa menegurnya atau mendekatinya. Lalu tiba – tiba, aura yang makin menyeramkan, menyelemuti seluruh ruang dikamarku ini. Seluruh tubuhku makin merinding, apalagi ketika wanita itu mengelus perutnya yang perlahan mulai membuncit.

Gila, dia Intan. Dia ini Intan. Tapi bagaimana bisa dia memperlihatkan wujudnya.? Arrgghhh..





Intan

“rupanya aku tidak perlu memperkenalkan diriku lagi ya.?” ucapnya tapi tidak melihat kearahku.

“ka, ka, kamu.” Ucapku terbata dan terpotong.

“kenapa kamu takut begitu.? apa aku terlihat menyeramkan.?” Tanya wanita itu sambil melihat kearahku.

Tatapannya dingin dan sangat dalam sekali. wanita ini memang terlihat sangat menakutkan dan menyeramkan, tapi dibalik tatapannya itu, dia terlihat menderita dan dia sudah sangat lelah sekali. apa yang telah terjadi dengannya.? Dan apa benar dia ini Intan.?

Awalnya aku yang sedikit ketakutan melihat wujudnya, sekarang justru kasihan dan aku ingin berkenalan dengannya.

“kenapa kamu disini.?” Tanyaku dengan suara yang aku buat setenang mungkin.

“menunggu kamu.” Jawabnya singkat sambil terus menatapku.

“menunggu aku.? Kenapa.?” Tanyaku sambil melangkahkan kakiku kearah tempat tidurku..

“karena kamu yang akan membantuku dan mengantarkan aku pulang.” Ucapnya lalu membuang wajahnya dan melihat kearah jendela kamarku.

Wuufftt.. langkahku langsung terhenti, karena seluruh bulu kudukku berdiri dan seluruh tubuhku bergetar mendengar ucapannya itu.

Maksudnya apa ini.? apa aku akan dibawa pergi olehnya.? Apa cukup sampai disini saja umurku.? Apa aku tidak bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan kedua adikku terlebih dahulu.? Gilaa.

“kamu tidak mau membantuku.?” Ucapnya lalu melihat kearahku lagi. Kali ini tatapannya lebih tajam dan sangat mengerikan sekali.

Akupun terdiam dan tidak menjawab pertanyaannya.

“apa kamu perlu imbalan dari aku.? Apa yang kamu inginkan.? Kuliah ditempat yang kamu inginkan.? Impianmu yang tercapai.? Kekayaan.? Wanita – wanita cantik untuk pemuas nafsumu.? Atau apa.? Sebutkan saja.?” ucapnya lalu berdiri perlahan.

“kenapa kamu menawarkan sesuatu kepadaku.?” Tanyaku lalu aku mengambil rokokku dan mengeluarkannya sebatang, lalu membakarnya.

Aku menghisap rokokku ini, untuk membantuku menenangkan pikiranku yang mulai terbawa suasana yang menyeramkan ini.

“karena kamu manusia dan kamu memiliki nafsu, makanya aku menawarkan sesuatu agar kamu mau membantuku.” Ucapnya.

“kalau aku gak mau.?” Jawabku dengan tenangnya.

“pilihanmu hanya ada dua. Kamu membantuku atau Kamu akan menjadi penghuni rumah ini selamanya seperti aku.” Ucapnya dengan suara yang makin menyeramkan.

“harusnya kamu gak perlu meminta bantuanku dan aku juga gak akan meminta bantuanmu. Kita ini sama – sama mahluk ciptaanNya, walau berbeda alam.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam.

“apa tidak boleh saling membantu.? Kan kamu bilang kita ini sama – sama ciptanNya.?” Tanya wanita ini dan tatapannya mulai sedikit berubah.

Waw, makin lama wanita ini terlihat cantik aja.

“mungkin boleh, tapi lebih baikkan meminta sama Sang Pencipta langsung. Entah nanti Sang Pencipta membantunya lewat perantara siapa. Dan yang jelas, tidak perlu ada timbal balik.” Ucapku sambil terus menatap wajah cantiknya itu.

“hiufftt, huuu,” wanita itu menunduk sambil menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu itu siapa.?” Tanyaku dan aku sekarang sudah sangat tenang sekali.

“aku Intan. Aku yang tinggal dikamar ini.” jawabnya lalu mengangkat wajahnya lagi dan menatap wajahku.

“kalau kamu tinggal disini, terus aku tidur dimana.?” Tanyaku dan sengaja aku mengajaknya bercanda, agar tidak terlalu tegang. Gak apa – apakan sesekali bercanda dengan mahluk yang berbeda alam.?

“kok kamu gak takut sama aku.? Kamu pasti tau kalau aku sudah mati dan gantung diri dikamar ini.” ucap Intan tanpa menjawab pertanyaanku.

“emang kenapa aku harus takut.? Aku bukan penyebab kamu gantung diri kok.” ucapku dengan santainya.

“semua orang yang mendengar kisahku pasti akan takut. Jangankan untuk tinggal disini, melihat kearah rumah ini aja, mereka pasti sudah gemetaran. Dan kamu, kamu malah tinggal dirumah ini, didalam kamarku lagi.” Ucap Intan.

“dulu emang kamarmu, sekarang bukanlah. Ini kamarku.” Ucapku.

“loh kok gitu.?” Tanya Intan.

“emang kamu masih bayar sama Ibu Kos.?” Tanyaku balik.

“ternyata kamu itu gila ya.” ucap Intan dan hawa dikamar ini langsung berubah menjadi dingin seperti semula. Tidak ada aura menyeramkan atau ketakutan seperti ketika aku pertama melihat Intan tadi.

“dan ternyata kamu itu cantik ya.” ucapku lalu aku tersenyum

“beneran gila kamu itu lang.” ucap Intan lagi dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“kok kamu tau namaku.?” Tanyaku dengan herannya.

“sudahlah, aku malas bicara sama kamu. Sekarang kamu keluar.” Ucap Intan mengusirku dari kamarku.

“kok enak banget kamu ngusir aku.? Yang berhak ngusir aku itu Bu Har.” Ucapku lalu mematikan rokokku diasbak diatas meja, lalu dengan cueknya aku merebahkan tubuhku diatas kasur.

“kok kamu malah tidur disitu.?” Ucap Intan.

“kenapa.? Kalau kamu mau tidur juga, tidur disebelahku sini.” Ucapku sambil menepuk bantal disebelah kiriku.

“kamu jangan main – main sama aku ya Lang, kamu mau lihat aku gantung diri disini lagi.?” Ucap Intan dan dia terlihat agak marah kepadaku.

“terus kamu mati dua kali dong.?” Ucapku sambil menegakkan tubuhku dan aku duduk dikasurku.

“jahat.” Ucap Intan lalu duduk dan dia terlihat sangat sedih sekali.

Duh, kok jadi begini sih.? emang mahluk seperti Intan ini punya perasaan sedih juga.? Arrgghhh.

“sudahlah, aku ngalah aja.” Ucapku lalu aku berdiri dan berjalan kearah pintu kamarku.

“kamu itu memang gak punya perasaan, wajar aja kamu selalu ditinggal pacarmu.” Ucap Intan pelan, ketika aku memegang gagang pintu kamarku.

“kamu itu ngomong apa.? Sok tau banget.” Ucapku sambil membalikan tubuhku dan melihat kearah Intan yang menunduk.

“memang seperti itu kan.? Kamu itu selalu berlindung dibalik kemiskinanmu dan selalu menyalahkan pasangan – pasanganmu dulu, yang pergi meninggalkan kamu, karena kamu merasa mereka akan sengsara ketika melanjutkan hubungan denganmu.” Ucap Intan yang membuatku melotot kearahnya.

“kenapa.? Kamu marah.?” Tanya Intan sambil terus membalas tatapan mataku.

“Jangan selalu menyalahkan orang lain yang pergi meninggalkanmu, sedangkan kamu sendiri tidak pernah intropesi dirimu sendiri.” Ucap Intan lagi.

“kenapa kamu mengungkit masalahku, yang kamu sendiri gak tau akar permasalahannya.? Aku gak tau kamu punya masalah apa, sampai kamu bisa berkata seperti ini. dan aku ga akan mau cari tau masalahmu itu.” ucapku dengan sedikit emosi.

“kamu yang punya masalah, tapi malah mencari kesalahan orang lain. Gimana sih.?” ucapku lagi dan Intan langsung menatapku dengan tatapan yang sangat sayu serta mata yang berkaca – kaca.

“tubuhmu ini memang bernyawa Lang, tapi kamu gak punya perasaan. Perasaanmu telah lama mati.” Ucap Intan dengan suara yang bergetar, lalu.

TAP.

Gelap gulita karena lampu yang ada dikamarku mati..

“JIANCOOKKK.” Teriak Joko dari kamarnya, lalu,

GLODAK, GLODAK,
GLODAK,

Terdengar suara dari arah kamar Joko dan aku langsung membalikan tubuhku. Aku meraba gagang pintu, karena suasana yang sangat gelap ini. aku lalu membuka pintu kamarku dan,

JRAB.

“ASSUUU, ENDOKKU.” (anjing, bijiku.) Teriakku sambil kedua tanganku mendorong kedepan dengan sangat kuatnya, karena bijiku ada meremas sangat kuat.

Buhggg.

“JIANCOOKK..” teriak Joko dan rupanya dia yang meremas bijiku tadi.

“lapo endokku koen remet cok.?” (kenapa bijiku kamu remas cok.?) makiku sambil menunduk dan memegangi bijiku yang sangat sakit ini. rasa sakitnya pun terasa sampai keulu hatiku.

“aku gak ngerti lek iku endokmu cok, tak kiro gagange lawang. Iso kithing drijiku njemok endokmu iku, asu.” (aku gak tau kalau itu bijimu cok, kukira gagang pintu. Bisa cacat jari – jariku kalau pegang bijimu itu, anjing.) omel Joko yang tidak terlihat wajahnya, karena rupanya seluruh rumah ini juga mati lampu.

“cok. ihhhhh.” ucapku lalu merintih kesakitan.

Jres, jres, jres.

Joko menyalakan koreknya dan terlihat sebagian wajahnya, terkena cahaya api dari koreknya.

“ASSUU.” (anjing) Makiku karena terkejut dan aku langsung menegakkan tubuhku.

“lapo koen misuh cok.?” (kenapa kamu memaki, cok.) ucap Joko yang terkejut.

“raimu medeni cok.” (wajahmu menakutkan cok.) ucapku.

“matamu.” Maki Joko lalu mengarahkan cahaya koreknya kearah dapur.

“nggolek opo.?” (cari apa.?) tanyaku.

“oblek cok.” (oblek = lampu yang berbahan bakar minyak) ucap Joko sambil melangkah kearah dapur.

Suasana pun gelap lagi, karena cahaya korek Joko tertutup tubuhnya. Aku lalu meraih korekku dikantong dan menyalakannya..

Jres, jres, jres.

Dan ketika korekku sudah menyala, wajah Intan langsung terlihat sebagian dan dia berdiri dihadapanku. Wajahnya kali ini terlihat menakutkan, karena kedua matanya mengeluarkan air mata darah. Gila, apa Intan akan menerorku karena aku telah menolak permintaannya.?

“COK.” makiku yang terkejut dan aku langsung mematikan korekku.

“lapo cok.?” ucap Joko sambil membalikkan tubuhnya kearahku. Lagi – lagi cahaya korek Joko, memperlihatkan sebagian wajahnya dari arah bawah.

“raimu medeni cok.” (wajahmu menakutkan cok.) ucapku berbohong, agar Joko tidak ketakutan.

“omonganmu nggateli cok.” (omonganmu jengkelin cok.) ucap Joko lalu berbalik dan api koreknya mati.

Jres, jres, jres.

Joko menyalakan korek apinya lagi, sambil memunggungi aku didapur sana.

“ASSUU.” (anjing.) maki Joko dengan kerasnya lalu berbalik dan berlari kearahku dengan koreknya yang padam.

JEDUK, JEDUK, BUHHGG.

“AARGGHHH, BAJINGAN.” Teriak Joko kesakitan.

“Jok.” Panggilku lalu aku menyalakan korekku lagi.

Jres, jres, jres.

Lagi – lagi Intan terlihat dihadapanku, tapi aku tidak menghiraukannya dan aku berjalan kearah Joko yang terjatuh dilantai.

“ono opo cok.?” (ada apa cok.) tanyaku dan rupanya Joko sudah tertidur dilantai.

Aku lalu berjalan kearahnya dan meraih tangan Joko, untuk membantunya berdiri.

“ono wong lungguh di kursi ngguri Lang. hu, hu, hu, hu,” (ada orang duduk dikursi belakang Lang.) ucap Joko dengan nafas yang memburu dan berdiri disebelahku.

Aku lalu mengarahkan korekku kearah dapur dan terlihat Intan berdiri tidak jauh dari aku. Aku hanya menatapnya dan Joko tidak bersuara sama sekali. apa Joko tidak melihat ada Intan berdiri disitu.?

“perasaanmu ae iku cok.” (perasaanmu aja itu cok.) ucapku sambil mengarahkan korekku kearah tubuh Intan disana, untuk mencoba memancing reaksi Joko.

“ono cok, gak goro aku. Wonge lungguh nde kursi.” (ada cok, gak bohong aku. Orangnya duduk dikursi.” Ucap Joko sambil menunjuk kearah kursi didapur, tapi tidak menunjuk kearah Intan yang berdiri disebelah kursi.

Aku lalu melangkah kearah dapur untuk memastikannya, bersama Joko yang berjalan dibelakangku. Aku berjalan kearah dapur, sambil mendekat kearah Intan yang terus menatapku. Sedangkan Joko hanya terdiam, padahal dia sudah didekat Intan.

Hiufftt, huuu. Rupanya Intan hanya memperlihatkan wujudnya kepadaku. Dan setelah sampai didekat dapur, tidak ada orang yang dimaksud Joko. Kursi itu tidak ada yang menduduki dan yang terlihat justru hanya Intan saja.

“gak ono opo – opo Jok.” (gak ada apa – apa Jok) Ucapku sambil melihat kearah Intan. Akupun sengaja mengarahkan korekku sekali lagi kearah Intan, untuk memastikan Joko benar – benar melihat Intan atau tidak.

“ono maeng cok, gak goro aku. Sumpah.” (ada tadi cok, gak bohong aku. sumpah.) ucap Joko dan dia benar - benar tidak melihat ada Intan disitu.

“paling mau mbahmu seng teko, kate nakokno sapine neng awakmu.” (paling tadi mbahmu yang datang, mau menanyakan sapinya sama kamu.) ucapku dan sengaja aku mengajaknya bercanda, sambil melirik kearah Intan yang sekarang tidak mengeluarkan air mata darah lagi.

“mbahku je urip cok.” (mbahku masih hidup cok.) ucap Joko dengan jengkelnya.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan korek ditanganku ini terasa panas. Aku mematikannya sebentar lalu menyalakannya lagi.

Jres, jres, jres.

Korekku menyala dan Intan sudah berdiri dihadapanku. Dia menatapku dengan wajah yang memucat dan tidak bersuara sama sekali.

“cok.” makiku pelan karena aku terkejut. gila mahluk satu ini, dia mau menguji kesabaranku.

“ono opo maneh cok.?”(ada apalgi cok.?) tanya Joko dengan suara yang pelan.

“korekku panas.” Ucapku yang memang jempolku terasa sangat panas, karena menahan gas korek api ini supaya tetap menyala.

“tak kiro opo thel, gathel.” (kukira apa sat, bangsat.) gerutu Joko.

“korekmu endi.?” (Korekmu mana.?) tanyaku.

“emboh ceblok nangdi.” (gak tau jatuh dimana.) jawab Joko.

Dan tiba – tiba.

TOK, TOK, TOK,

Pintu depan kosan diketuk seseorang dengan kerasnya, sehingga membuat kami berdua terkejut.

“assuu.” (anjing.) maki kami berdua.

“sopo iku cok.? sopo bengi – bengi ngene iki rene.?” (siapa itu cok.? siapa malam – malam begini datang kesini.?) tanya Joko yang sudah sangat pasrah dengan keadaan mati lampu dan hawa yang agak menakutkan ini.

“emboh cok.” (gak tau cok.) ucapku sambil melihat kearahnya.

TOK, TOK, TOK,

Kembali pintu kosan diketuk dengan kerasnya. Aku langsung mengangguk kearah Joko, lalu melangkahkan kaki kearah pintu kosan.

“cok, gak kuat aku cok. muleh ae aku cok. muleh. Gak po – po wes aku dipancal mbahku.” (Cok, gak kuat aku cok. pulang aja aku cok, pulang. Gak apa – apa aku diinjak sama mbahku.) ucap Joko dengan pasrahnya, sambil mengikuti aku dibelakangku.

TOK, TOK, TOK,

“asuu, asuu,” (anjing, anjing.) ucap Joko ketika mendengar pintu kosan diketuk lagi. Akupun hanya diam saja mendengar Joko yang terus menomel ini.

Dan ketika sudah sampai didekat pintu kosan dan aku akan membuka pintunya.

TAP,

Joko memegang pundakku dan aku langsung terkejut sambil melihat kearahnya.

“cok, lapo seh awakmu iki.? Ngageti wong ae cok.” (cok, kenapa sih kamu ini.? bikin kaget orang aja.) omelku sambil melihat kearah Joko.

“lek seng ndek ngarep lawang iku gederuwo piye.?” (kalau yang didepan pintu itu hantu gimana.?” tanya Joko.

“kaplokono ae cok, koyok awakmu lek ngaplok gendangmu. Asuu” (pukul aja cok, seperti kamu kalau mukul gendangmu. Anjing.” Ucapku dengan jengkelnya.

“koen kok malah nyeneni aku cok.? bedes iki.” (Kamu kok malah marahin aku cok.? monyet ini) gerutu Joko.

“lah koen ngomel ae ket mau cok, tanganku iki panas nyekeli korek cok.” (lah kamu ngomel aja dari tadi cok, tanganku ini panas pegangin korek aja dari tadi cok.) ucapku sambil melihat kearah pintu.

“iyo cok, iyo. Gak usah ngomel.” Gerutu Joko dan aku hanya menggelekan kepala pelan, lalu aku membuka pintu kosan perlahan.

“ASSUU.” Makiku dan Joko barengan, ketika melihat seorang wanita berdiri didepan pintu kosan, sambil membawa lampu teplok ditangannya. Lampu teplok yang dibawanya itu dipegang didekat dadanya, sehingga cahayanya menyinari sebagian wajahnya dari arah bawah. (lampu teplok = lampu yang bahan bakar minyak dan apinya tertutup kaca yang melingkar.)

“hei, kok Bibi dimaki sih.?” ucap wanita itu dan dia adalah Bi Ati.





Bi Ati

“Bibi ngagetin sih.” ucapku.

“ngagetin gimana.? Bibi loh gak bersuara.” Ucap Bibi Ati

“iya, iya. Maaf.” Ucapku.

“nih, Bibi cuman mau ngantar lampu sama lilin ini.” ucap Bi Ati sambil menyodorkan lampu teplok dan lilin yang dipegangnya kepadaku.

“Bibi kok tau kalau disini mati lampu.?” Tanya Joko.

“bukan dirumah ini aja yang mati lampu mas,” ucap Bibi dan kami berdua langsung melihat kearah depan rumah.

Rumah – rumah didepan dan disamping kosan, tampak gelap dan tidak ada yang menyala satupun.

“hehe, iya, ya. terimakasih ya Bi.” ucapku sambil mengambil lampu ditangan Bi Ati dan Bi Ati hanya mengangguk pelan

“jangan panik mas, tenang.” Ucap Bi Ati pelan sambil melirik kearah belakangku.

Aku lalu menoleh kebelakang, sambil menyerahkan lampu teplok dan lilin yang ada ditanganku ke Joko. Aku melakukan itu perlahan, supaya Joko tidak curiga kalau aku melihat kearah dalam kosan. Dan dibelakang Joko, tampak Intan berdiri dan melihat kearah kami.

Gila, kenapa Intan selalu mengikuti aku sih.? beneran dia mau neror aku.? tapi entar dulu, sepertinya Bi Ati bisa melihat Intan juga.

Aku lalu melihat kearah Bi Ati dan dia hanya tersenyum kepadaku.

“Bi.” Ucapku terpotong.

“Bibi pulang ya Mas, kasihan Ibu sendirian dirumah.” Ucap Bi Ati yang seperti tau apa yang ingin aku tanyakan.

“diantarin Bi.?” Tanya Joko.

“terus Mas Joko balik sendiri kesini, gitu.? Emang berani.?” Tanya Bi Ati ke Joko.

“hehe, basa – basi aja Bi.” Jawab Joko lalu tersenyum malu.

“bisa aja, ya udah Bibi pamit dulu ya.” pamit Bi Ati.

“terimakasih Bi.” Ucapku dan Bi Ati menganggukan kepalanya, lalu pergi meninggalkan kami.

“Bi Ati semok juga ya cok.” ucap Joko disebelahku.

“asuu, sempat – sempatnya kamu lihat bokong cok.” ucapku sambil membalikan tubuhku, lalu mengunci pintu kosan.

Dan pada saat aku melangkah kearah kamarku, tidak terlihat lagi Intan ditempatnya berdiri tadi.

“aku turu nde kamarmu ae yo.” (aku tidur dikamarmu aja ya.?) ucap Joko.

“kenapa.?” Tanyaku.

“engko wae lah ceritane.” (nanti ajalah ceritanya.) ucap Joko.

Kami berdua pun langsung masuk kedalam kamarku. Dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat Intan tergantung ditali yang diikatkan dikayu langit – langit kamar yang jebol, dengan kondisi perut yang membuncit.

“cok.” makiku dan aku berhenti didepan kamarku.

“ono opo maneh cok.?” (ada apalagi cok.?) ucap Joko yang sudah masuk duluan kekamarku, sambil memegang lampu teplok ditangannya.

“raimu medeni cok.” (wajahmu menakutkan cok.) ucapku dan lagi – lagi aku berbohong, sambil melihat kearah wajah Joko lalu melihat kearah Intan yang tergantung tadi.

Intanpun sudah tidak ada disitu dan langit – langit kamar, tidak jebol dan tidak ada tali yang terikat. Gila, gila. Kesabaranku benar – benar diuji.

“tak pancal loh raimu, asu iki.” (ku injak loh mukamu, anjing ini.) Ucap Joko kepadaku.

“hehe.” Dan aku hanya tertawa dengan sangat kupaksakan sekali, lalu kami duduk lesehan dilantai keramik yang berkarpet ini.

“ngantuk cok.?” tanyaku ke Joko dan Joko hanya menggelengkan kepalanya. Akupun tidak mengantuk, sama seperti Joko.

Akhirnya aku kedapur untuk membuat kopi, dengan ditemani Intan yang datang lagi dan selalu menatapku. Aku merebus air dan aku tidak mengajaknya berbicara sedikitpun. Aku seolah – olah tidak melihatnya dan aku hanya mengobrol dengan Joko yang ikut kedapur.

Lalu setelah kopi jadi, aku dan Joko duduk didalam kamarku lagi, sambil menikmati kopi dan kepulan asap rokok.

“jadi gimana.?” tanyaku kepada Joko.

“emboh Lang,” (gak tau Lang.) jawab Joko dan Intan berada dipojokan kamarku, melihat kami berdua mengobrol.

“apa kita jadi daftar dikampus teknik kita.?” Tanyaku ke Joko sambil melirik kearah Intan, lalu aku menghisap rokokku.

“gak tau aku Lang, tapi yang jelas besok kita harus keluar kosan ini.” Jawab Joko dan aku langsung melihat pojokan kamarku lagi.

Wajah Intan langsung terlihat marah dan kembali aku melihat kearah Joko.

“kalau masalah pindah kosan, aku setuju. Yang penting kamu mau kuliah disini ” ucapku sambil melirik kearah Intan lagi. Tidak ada Intan disitu dan entah kemana dia perginya.

Kami berdua diam beberapa saat, sambil menikmati rokok kami masing – masing. Lampu masih belum menyala dan hanya cahaya dari lampu teplok ini saja, yang menerangi ruangan kamar tidurku ini.

Dan tiba – tiba

GLODAK.

Terdengar bunyi dari arah dapur dan membuat kami berdua terkejut.

“kucing itu.” ucapku dengan refleknya dan Joko hanya menunduk pelan. Lalu,

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Terdengar bunyi kursi dari arah dapur yang digoyang – goyangkan dengan keras, dan membuat kami berdua terkejut kembali.

“cuk, ini bukan kucing cuk. Gak mungkin kucing bisa goyangkan kursi sekeras ini.” ucap Joko sambil melihat kearahku.

“sudahlah, gak usah dihiraukan.” Ucapku lalu aku menyeruput kopiku.

“apanya gak yang gak usah dihiraukan cok.? banyak banget hal mistis dirumah ini. aku sih sudah coba cuek dan pura – pura gak melihat. Tapi tadi sebelum lampu mati dan aku mau tidur, kakiku dipegang sama mahluk yang gak terlihat. Apa gak jancok kalau gitu.?” Ucap Joko dan aku hanya meliriknya sambil menghisap rokokku.

“ini sudah kewatan Lang. kalau mahluk – mahluk itu hanya menampakan diri, itu mungkin hanya candaan mereka. Tapi kalau sudah berani meneror apalagi menyentuh, itu sudah luar biasa.” Ucap Joko lagi lalu dia menghisap rokoknya.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Terdengar beberapa kursi yang dibanting dan suaranya lebih keras lagi. Emosikupun terpancing dan aku sudah cukup bersabar dengan teror yang aku dapatkan dari tadi.

“asuu, asuu,” (anjing, anjing.) ucap Joko sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya.

Aku lalu berdiri sambil mengambil sebatang lilin dihadapanku dan menghisap rokokku.

“kate nangdi koen.?” (mau kemana kamu.?) tanya Joko.

“nang jedeng.” (kekamar mandi.) ucapku sambil melangkah kearah pintu kamarku.

“melu cok.” (ikut cok.) ucap Joko sambil berdiri.

“assuu, awakmu kate nyekeli otekku ta.?” (anjing, kamu mau pegangin punyaku kah.?) ucapku sambil melihat kearah Joko.

“sakarebmu wes, seng penting aku gak gelem dewek’an nde kene.” (terserah kamu sudah, yang penting aku gak mau disini sendirian.) ucap Joko memelas.

“kamu disini aja, kalau ada yang berani ganggu kamu, kita keluar kosan malam ini juga.” Ucapku dengan agak keras kepada Joko.

“bajingan.” (bajingan) ucap Joko dengan wajah yang semakin melas.

Aku lalu keluar kamar sambil menutup pintu kamarku, lalu aku menyalakan lilin yang ada ditanganku. Dengan rokok ditangan kiri dan lilin ditangan kanan, aku melangkah kearah meja dapur.

Dan setelah sampai didapur, aku duduk di salah satu kursi dan lilin yang menyala ini aku letakkan diatas meja dihadapanku. Didapur ini ada empat kursi yang mengelilingi satu meja.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Tiga kursi kosong disamping dan depanku, tampak terangkat lalu terhentak dilantai. Aku mencoba mengontrol emosiku yang ada dikepala, sambil menikmati rokokku.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Kursi itu makin dihentakkan dengan kerasnya.

“hey mahluk manja, duduk dan gak usah banyak tingkah.” Ucapku pelan tapi dengan nada yang tinggi.

Aku sudah jengkel dengan situasi seperti ini. Teror ini bukannya membuat aku takut, tapi justru membuat aku emosi. Beberapa kejadian hari ini cukup membuat aku bersabar dan menahan emosi. Mulai dari kabar pendaftaran kampus negeri sudah tutup, Joko yang sudah gak betah dan kemungkinan gak akan mau kuliah dikota ini bersamaku, terus ditambah kedatangan mahluk bernama Intan, itu sudah cukup membuatku bersabar.

Dan teror ini yang membuat emosiku naik kekepala. Bukannya aku sombong dengan menantang mahluk yang berbeda alam denganku ini, tapi ini sudah sangat kelewatan. Kita ini sama – sama mahluk ciptanNya dan kita sama – sama berhak untuk tinggal didunia ciptaanNya ini. jadi jangan saling mengganggu lah.

Itulah kenapa sekarang aku duduk disini, karena aku ingin berbicara dengannya. Masalah kalau dia nanti menggunakan kekuatannya untuk menyakiti aku, itu urusan belakang. Aku gak perduli.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Mahluk itu seperti tersinggung dengan ucapanku, dan dia semakin menerorku dengan hentakan tiga kursi kosong ini.

“percuma kamu neror aku, gak ada gunanya.” Ucapku dan aku masih memelankan suaraku.

“kalau kamu punya masalah, hadapi dan jangan pengecut seperti ini.” ucapku lagi.

GLODAK, GLODAK, GLODAK.

Tiga kursi ini terlempar kesamping, depan dan belakangku, tapi tidak ada satupun yang mengenai aku.

“atau gara – gara sikap pengecutmu ini, kamu mengakhiri hidupmu.?” Ucapku dan sekarang suaraku mulai mengeras.

“DIAM, DIAM KAMU.” Akhirnya suara Intan terdengar dan dia sangat emosi sekali.

“kalau kamu gak mau duduk dihadapanku sekarang, aku pergi dari kosan ini.” ancamku sambil aku menunduk dan mematikan rokokku dilantai lalu menginjaknya.

Kenapa aku mengancamnya pergi dari kosan ini.? karena aku tau dia membutuhkan bantuanku dan dia marah ketika mendengar aku akan pergi dari kosan ini.

GLODAK,

Aku merasa satu kursi yang terlempar tadi, bergeser tepat diseberang mejaku dan aku langsung mengangkat wajahku.

Intan sudah menampakkan wujudnya dihadapanku. Dia duduk dengan tatapan yang sangat tajam dan auranya terasa sangat mengerikan sekali. Tapi sekali lagi aku tidak takut. Apa yang perlu ditakutkan didunia ini.? mati.? Kita pasti akan mati kok, cuman tunggu waktu dan gilirannya saja. Sakit.? Pasti akan datang dan kita tidak tau kapan tibanya. Jadi apa yang perlu ditakutkan, kalau mati dan sakit itu pasti akan datang juga akhirnya.?

Hiufftt, huuu. Aku menarik nafasku lagi, sambil menatap tajam kearah Intan yang sangat emosi dihadapanku ini.

“apa maumu.?” Tanyaku kepadanya.

“aku sudah gak butuh bantuanmu dan kalau kamu mau pergi, pergi aja.” Ucapnya dengan suara yang bergetar dan tatapan yang makin emosi.

“taik, aku kira wanita itu kalau bernyawa aja yang susah dimengerti. Tapi ternyata, yang sudah bergentayangan seperti ini, itu sama aja.” Ucapku dengan nada yang kesal.

“kamu ya.” ucapnya sambil menunjuk kearah wajahku.

“kalau kamu mau marah, marah aja terus. Silahkan. Paling juga sebentar aku tinggal pergi.” Ucapku dengan entengnya.

“ihhhh.” Ucapnya menahan emosi, sambil menurunkan tangannya lalu dia menunduk.

Dan beberapa saat kemudian,

“hiks, hiks, hiks, hiks,” bahunya bergetar, diiringi tangis yang mulai terdengar lirih.

Hiufft, huuu.

Aku menarik lagi nafasku dalam - dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan. Aku lalu menunduk dan mengambil bungkusan rokokku dikantong belakang.

Aku mengambil sebatang, lalu aku membakar dan menghisapnya perlahan, sambil melihat kearah Intan yang tertunduk dan masih menangis itu.

Bayangan Lintang adik kesayangankupun, langsung melayang dipikiranku. Gila, kenapa Lintang datang dipikiranku.? Ada apa ini.? apa ini pertanda aku harus membantu Intan, dengan masalahnya yang aku sendiri tidak mengetahuinya.?

Dipikiranku saat ini, kalau seandainya yang duduk dihadapanku ini adikku sendiri, apa aku akan tetap berdiam diri.? Argghhhh.

Wahai Sang Pencipta, masalah apa yang akan kau berikan kepadaku saat ini.? apa ini memang jalan yang harus aku lewati, untuk mencapai impianku.? Ayolah, belum juga aku mendapatkan tempat kuliah, sekarang aku harus dihadapkan dengan suatu masalah yang besar dan aku tidak tau nanti akhirnya seperti apa.

Hiufft, huuu.

“tangisanmu itu, gak akan menyelesaikan masalahmu.” Ucapku dan akhirnya aku mulai bersuara dengan nada yang pelan.

“hiks, hiks, hiks, hiks,” tangis Intan tidak berhenti dan justru makin terdengar sedih.

“kalau kamu gak berhenti menangis, aku pergi sekarang juga.” Ucapku.

“kalau mau pergi, pergi aja. Hiks, hiks, hiks,” Ucap Intan disela tangisnya dan aku hanya menggelengkan kepalaku.

“iya, iya, aku gak pergi. Tapi hentikan tangismu.” Ucapku dan entah kenapa, aku bisa mengalah seperti ini dihadapan Intan. Biasanya kalau menghadapai seorang wanita yang seperti ini, pasti langsung aku tinggal pergi. Percuma bicara sama wanita yang sedang menangis seperti ini, ujung – ujungnya pasti akan ribut dan tidak ada jalan keluar.

“hik, hik, hik,” isakan tangis Intan mulai mereda.

“terus bagaimana.?” Tanyaku kepadanya dan Intan tetap menunduk, dengan sisa – sisa isakan tangisnya.

Aku lalu melihat kearah lilin yang ada dihadapanku dan lilin ini sudah tinggal sedikit lagi menyentuh meja. Aku lalu mematikan rokokku kelantai lagi.

“ya sudah kalau kamu masih belum mau bicara, aku mau kekamar dulu. Besok aja kita bahas lagi.” Ucapku dengan nada yang sangat lembut, lalu aku berdiri sambil menatap kearah Intan.

“dan aku harap, besok waktu kita membahasnya, kita bicara sebagai sahabat.” Ucapku lagi.

Perlahan Intan mengangkat wajahnya pelan kearahku, sambil tersenyum dibalik kesedihannya.

“te, te, terimakasih sudah menjadi sahabatku.” ucap Intan dan aku hanya mengangguk pelan.

Lalu,

“Huu.” aku meniup lilin yang tinggal sedikit ini, dan,

TAP,

Lampu mulai menyala terang di kosan ini. Tidak ada Intan dihadapanku dan kursi – kursi sudah tersusun rapi kembali ditempat semula. Aku lalu membalikan tubuhku, bertepatan dengan suara ayat – ayat suci yang berkumandang ditempat ibadah.

Aku melangkah kearah kamarku, dengan ditemani hawa yang sangat dingin sekali dan pikiran yang terasa sangat lega. dan pada saat aku membuka pintu kamarku, kulihat Joko sudah tertidur pulas diatas kasurku.

Aku lalu duduk dilantai dan bersandar didinding sambil membakar rokokku.




“aku muleh ae Lang.” (aku pulang aja Lang.) ucap Joko mengejutkanku dari lamunan, tentang kejadian semalam.

“ya udah, kalau kamu mau pulang, ya pulang aja.” ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“terus awakmu.?” (terus kamu.?) tanya Joko.

“aku disini aja, aku mau daftar dikampus teknik kita.” Jawabku.

“cok, tak kiro koen muleh bareng aku.” (cok, kukira kamu pulang bareng aku.) ucap Joko dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“aku gak tego lek ndelok awakmu, dipancal karo Mbahmu.” (aku gak tega kalau lihat kamu diinjak sama Mbahmu.) ucapku lalu tersenyum kepada Joko.

“matamu iku,” (matamu itu.) ucap Joko sambil melihat kearah yang lain.

“yo weslah, siap – siap kono.” (ya sudah, siap – siap sana) ucapku yang menyuruh Joko untuk berkemas.

Joko menarik nafasnya dalam – dalam, lalu berdiri dengan tidak ikhlasnya dan melangkah kearah pintu kamarku.

“terus awakmu nde kuto iki dewe.? Kate pindah kos nangdi awakmu.?” (terus kamu dikota ini sendiri.? Mau pindah kos dimana kamu.?) tanya Joko sambil melihat kearahku dengan sangat berat sekali.

“enggak pindah kemana – mana, aku mau dikos ini aja.” Jawabku.

“arek gendeng.” (orang gila.) ucap Joko sambil menggelengkan kepala dan memegang gagang pintu kamarku.

“kalau aku gak gila, aku gak akan ada disini dan mungkin aku gak akan mampu meraih impianku. Karena orang seperti aku ini, cuman punya modal kegilaan aja.” Ucapku sambil melihat kearah Joko.

Jokopun terdiam, lalu perlahan menempelkan keningnya diujung pintu.

“tapi duduk aku ae seng gendeng cok, awakmu yo gendeng.” (tapi bukan aku aja yang gila cok, kamu juga gila.) Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“jiancok, ayo ndang ados cok. ndang daftar nde kampus teknik kita. bajingan.” (jiancok, ayo cepat mandi cok. cepat daftar dikampus teknik kita. Bajingan.) ucap Joko sambil keluar kamarku dan aku langsung tersenyum dengan senangnya.





#cuukkk, memang sahabat terbaikku manusia satu itu. hehehe.
 
Terakhir diubah:
Selamat siang om dan tante

Update siang ya.
Saran saya sih, simpan aja dan baca nanti malam.
Sengaja saya update siang, karena nanti malam jadwalnya 'enak- enak' sama 'Meryku' hehehe.

Semoga masih bisa dinikmati dan mohon maaf belum ada adegan 'enak-enaknya',
karena ini masih pengenalan tokoh - tokoh.

Akhir kata, selamat menikmati dan terimakasih sudah memberikan subscribenya, serta membagikan chanel saya.

Salam Hormat dan salam persaudaraan.

:beer::beer::beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd