Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Incest Story : Arti Keluarga (Update Terbaru)

Chapter 4

Hari-hari berikutnya, keseharianku di rumah mulai kembali normal. Aku, Emma, dan Adam pergi ke sekolah seperti biasa. Dan ibu sepertinya sudah mulai terbiasa dengan keadaan tanpa adanya ayah.

Akan tetapi, entah mataku mulai berhalusinasi atau apa yang aku lihat memang benar adanya. Pada dasarnya, akhir-akhir ini Ibu terlihat lebih sering mengenakan pakaian yang semi-transparan. Payudara dan bagian perutnya sering terlihat olehku. Ibu sama sekali tidak menyadarinya.

Aku terbangun pada pukul sembilan malam. Salahku juga yang tertidur pada pukul enam sore, kepalaku terasa pusing jadinya.

Aku keluar dari kamar, mengambil sebotol susu dari dalam kulkas, lalu membawanya ke sofa untuk meminumnya sambil menonton TV. Aku tidak melihat Emma dan Adam, begitu juga aku tidak melihat Ibu. Sepertinya mereka sudah tertidur di kamar.

Aku tidak terlalu peduli dengan apa yang sedang ditayangkan di TV pada jam-jam saat ini. Satu-satunya yang kurasakan saat ini hanyalah susu dingin yang melewati tenggorokanku. Segar rasanya.

“Kak Alvin~ Lagi apa sayang?~“

Ibu tiba-tiba menaruh dagunya di atas pundak sebelah kananku, dengan itu saja aku sudah terkejut. Lalu ibu mencium pipi sebelah kananku, rasanya hampir mendekati bibirku. Aku semakin terkejut karenanya.

“I-Ibu? Bikin kaget aja ih.“

“Hihihi, maaf maaf.“

Kemudian ibu duduk di sampingku, pakaiannya masih tetap saja seperti biasanya. Daster yang semi-transparan. Aku sedikit canggung untuk menatap ibu.

“Habisnya, adik-adik kamu sudah pada tidur. Tinggal kamu seorang yang nonton TV. Kenapa belum tidur sayang?“

“Aku baru saja bangun, tadi aku tertidur jam enam sore.“

“Pantas saja ibu panggil-panggil daritadi, kamu tidak menjawab. Tidak seharusnya kamu tidur saat sore hari sayang, tidak baik untuk kesehatanmu.“

Ibu mencolek batang hidungku. Sudah lama sekali aku diperlakukan seperti ini oleh ibu. Rasanya seperti ibu melihatku sebagai anak kecil lagi.

“Iya bu, tidak akan kuulangi lagi.“

Ibu tersenyum setelah mendengarku bicara seperti itu. Lalu kami berdua menonton film yang sedang ditayangkan di TV, aku tidak tahu kalau stasiun TV mampu untuk menayangkan film horror.

Dapat kulihat bahwa ibu ketakutan saat menontonnya. Bahkan ia berusaha keras untuk tidak memeluk lenganku.

“Bu, kalo ibu takut mendingan gausah ikut nonton aja… nanti malah gabisa tidur.“

“A-apaan, t-terus ibu ninggalin kamu sendirian sambil nonton film hantu ini? Mana bisa ibu ngebiarin hal itu terjadi.“

Terkadang aku tidak mengerti jalan pikiran ibu. Disaat kami sedang mengobrol sebentar, muncul sebuah adegan jumpscare beberapa saat yang lalu. Ditambah dengan suara yang menggelegar nan sedikit memekakan telinga. Bisa kutebak ibu terkejut setengah mati setelah melihat itu.

Akan tetapi, perkiraanku menjadi terlalu benar. Ibu memang ketakutan setengah mati karena adegan tersebut. Saking ketakutannya, ia memeluk lenganku begitu erat. Matanya ditutup dan tubuhnya gemetaran.

Tapi dari itu semua, aku dapat merasakan payudaranya yang terus menggosok-gosok lenganku. Bahkan aku dapat merasakan putingnya menyentuh kulitku melalui kain tipis nan hampir transparan itu.

“I-Ibu, l-lepasin… lagipula itu tidak menakutkan sama sekali…“

“Tapi tadi itu menakutkan sekali…“

Aku belum pernah melihat ibu begitu ketakutan seperti sekarang ini. Selama ini aku melihat ibu sebagai wanita yang serba bisa dan dapat diandalkan, meskipun begitu, ibu tetap saja seorang wanita.

Dengan perlahan, aku mengangkat tanganku dan mengusap-usap rambut ibu dengan pelan dan lembut. Berusaha menenangkannya.

“Sssshhh tidak apa bu… itu hanya film…“

Setelah itu ibu langsung menoleh dan menatapku, kedua mata kami saling bertatapan. Perlahan, wajah ibu mulai memerah selagi aku terus mengusap-usap rambutnya.

Kemudian, ibu tetap memeluk lenganku sampai filmnya selesai. Bahkan setelah aku mematikan TV pun, ibu masih tetap memeluk lenganku.

“Ibu… filmnya sudah selesai…“

“Eh, ah… iya…“

Dengan perlahan, ibu melepas lenganku.

“I-ibu pergi tidur duluan ya? Kamu jangan terlalu malam tidurnya.“

“Aku juga mau langsung tidur bu.“

“Oh… iya… syukurlah…“

Kami berdua beranjak dari sofa dan segera menuju ke kamar masing-masing. Akan tetapi aku mengantar ibu terlebih dahulu ke kamarnya.

“K-kalau begitu, selamat tidur sayang.“

Ibu mencium pipiku sekali lagi. Kali ini begitu dekat sekali hampir mencium bibirku. Kemudian ibu masuk ke kamar dan aku pergi ke kamarku.

Keesokan harinya aku memulai kembali rutinitas seperti biasa.



***



Sudah tiga minggu sejak kepergian suamiku. Entah bagaimana aku berhasil bertahan. Tapi aku harus berterima kasih kepada Alvin. Karenanya aku dapat kembali ke rutinitasku seperti sedia kala.

Alvin hampir saja berniat untuk izin dalam waktu lama hanya untuk menjaga dan merawatku, tapi aku baik-baik saja.

Meskipun dibilang baik-baik saja, aku tidak sepenuhnya baik-baik saja. Ada satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Alvin, dan karenanya aku harus menyentuh diriku sendiri setiap malam, dengan harapan tidak dari ketiga anak-anakku melihatku saat aku sedang melakukannya.

Tapi tetap saja, itu tidak membantuku sama sekali.

Jika dipikir-pikir, Alvin sungguh mirip sekali dengan suamiku. Bahkan jauh lebih tampan dan dua puluh tahun lebih muda.

Astaga, apa yang baru saja kupikirkan. Mana mungkin aku mengkhianati suamiku sendiri dengan anakku sendiri. Istri dan ibu macam apa aku ini.

“Pagi Kak Alvin.“ sapaku setelah mendengar suara langkah kaki dari belakangku.

“Pagi bu.“

Alvin masih menguap sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.

“Entah aku harus berterima kasih atau tidak, tapi sejak ayah pergi. Aku jadi sering bangun lebih awal dari ibu.“

“Tidak apa, ibu menyukainya kok. Kak Alvin yang rajin~“

Kemudian Alvin membantuku membuat roti lapis. Oh tidak, selai arbei baru saja habis. Aku akan mengambil toples yang baru di lemari atas. Tapi aku tidak dapat menemukannya.

“Kak? Toples yang baru bukannya disimpen di lemari ya?“

“Toples yang baru disimpen di atas lemari bu, kemarin kan masih penuh lemarinya.“

Tanpa merespon perkataan Alvin, aku langsung melihat ke lemari atas. Dan benar saja, toplesnya berada di sana. Aku berusaha mengambilnya, tapi aku tak dapat meraihnya meskipun aku telah berjinjit sekalipun.

“Sampe gak bu? Sini aku ambilin.“

Belum aku merespon ucapan Alvin, tepat saat aku menoleh. Alvin langsung mengambilkan toples arbei yang baru untukku. Bahkan Alvin tidak perlu repot-repot berjinjit, hanya dengan mengangkat tangannya saja ia sudah dapat meraih toples arbei yang terletak di atas lemari.

Selain mengambilkan toples, Alvin pun sekalian membukakan toplesnya untukku. Ia dapat membukanya dengan begitu mudah, tanpa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Terkadang jika aku yang membukanya, aku harus memutar erat-erat tutupnya dan itu pun belum tentu terbuka.

“Ini dia bu.“

“Terima kasih sayang…“

Alvin hanya tersenyum ke arahku. Apa yang kurasakan sekarang ini, kenapa jantungku berdebar sekali. Alvin hanya membukakan toples arbei untukku, bahkan Adam sekalipun bisa melakukannya dan aku tidak merasakan apapun. Tapi kenapa jika Alvin yang melakukannya jantungku seketika berdegup kencang. Belum lagi dengan senyumannya itu.

Aku tak kuasa menatap wajahnya yang tampan, lalu aku pun menundukkan kepalaku setelah memegang toples arbei.

“K-Kak Alvin… m-mungkin sebaiknya kamu pergi mandi, biar ibu saja yang membuatkan roti lapisnya.“ ucapku sambil terus menunduk.

“Oh iya, mungkin sebaiknya aku mandi.“

Alvin langsung pergi menuju kamar mandi, setelah ia menutup pintu kamar mandinya dari dalam. Kakiku tak dapat menahan berat tubuhku dan aku pun terjongkok karenanya. Senyuman Alvin masih terus terbayang jelas di kepalaku.

“Tenanglah Julia… Kak Alvin itu anakmu… tidak seharusnya kamu berpikir yang aneh-aneh kepadanya… dia itu anakmu…“

Aku berusaha menenangkan diriku, aku berulang kali menghembuskan nafas dari mulut dan hidungku secara bergantian. Lima menit kemudian, aku sudah tenang.

Dua puluh lima menit kemudian. Alvin sudah selesai mandi, Emma dan Adam sudah bangun. Kamar mandi langsung terisikan oleh Emma, sedangkan Adam duduk di atas sofa seraya menyalakan TV.

Dua puluh menit kemudian, Emma dan Adam sudah rapi dengan seragamnya dan sudah berangkat setelah kuberikan kecupan di atas dahi mereka. Sebentar lagi Alvin akan berangkat.

“Kalau begitu aku berangkat bu.“ ucapnya seraya menggendong tas slempangnya di sebelah kanan.

Alvin meraih tanganku dan mencium punggung tanganku. Kemudian, aku sedikit menarik tangannya sehingga wajahnya cukup dekat denganku, lalu aku mencium pipinya. Begitu lama, dan hampir berdekatan dengan bibirnya.

Sepuluh detik kemudian aku melepas kecupanku, dapat kurasakan wajahku yang memerah, dan dapat kulihat wajah Alvin yang sama-sama memerah.

Suasananya seketika menjadi canggung.

“Hati-hati di jalannya ya… sayang~“

Alvin tidak mengatakan apapun, tapi dapat kudengar suaranya yang menelan kembali ludahnya. Setelah itu ia mengangguk, lalu berangkat ke sekolah.

Aku melambai-lambaikan tanganku kepadanya sampai ia menghilang dari pandanganku. Setelahnya, aku menutup pintu depan.




Aku menghela nafas panjang-panjang, aku merasa kecewa dan tak terpuaskan. Sudah kulakukan hal tersebut kepada Alvin, bahkan aku pernah sengaja mengenakan pakaian yang tembus pandang dan ia tidak melakukan apa-apa kepadaku karenanya. Mungkin salahku yang karena terlalu putus asa.

Aku pun hanya melanjutkan melakukan pekerjaan rumah yang masih belum kuselesaikan.

Dalam satu jam, aku telah mencuci baju dan menjemurnya, merapikan meja makan dan mencuci piring di wastafel, lalu membersihkan seisi rumah dengan menyapunya.

Pada pukul sembilan pagi, aku merebahkan diriku di atas sofa sambil menatap langit-langit di ruang tengah. Secara harfiah aku tidak memiliki pemikiran apapun saat ini juga. Tanpa kusadari, tanganku mulai mengangkat ujung daster dan merayap masuk ke dalam celana dalamku.

Akan tetapi, kenyataan menampar kembali diriku setelah aku mendengar suara bel pintu berdering berkali-kali.

“Iya iya… sebentar…“

Aku membuka pintu depan dan seorang wanita berambut coklat nan bergelombang langsung memelukku.

“KAKAKKU~“ serunya seraya tetap memelukku.

Aku kenal suara ini, dan bau ini. Sudah terlalu mengenalnya bahkan.

“Sarah… apa yang kamu lakukan disini?“

Sarah, adik perempuan yang usianya sepuluh tahun lebih muda dariku. Mempunyai suami seorang guru dan telah memiliki dua orang putra yang masih anak-anak.

Parasnya sungguh cantik, hanya tidak memiliki begitu banyak keriput sepertiku. Kulitnya kuning mulus sama seperti kulit pisang, giginya putih seperti tepung dan terigu, bibirnya merah merona, hidungnya mancung dan matanya coklat seperti kopi susu.

“Aku kesini setelah diberitahu Alvin, bahwa Kakakku tidak baik-baik saja. Katanya Kakakku harus ditemani.“ ucap Sarah setelah melepas pelukanku.

“Alvin memberitahumu begitu?“

“Iya, dan Kakakku harus tahu. Caranya memberitahuku sungguh menggemaskan sekali. Anak itu berhasil meyakinkanku bahwa Kakakku sedang butuh ditemani.“

“Aw, itu sungguh manis sekali. Tapi Sarah, aku tidak apa-apa sekarang. Memang, kemarin-kemarin aku tidak baik-baik saja, tapi sekarang aku tidak apa-apa. Aku akan berbicara dengan Alvin saat ia pulang nanti.“

“Jadi, sekarang aku harus pulang gitu? Setelah jauh-jauh datang kemari?“

“Sayangnya… iya… maafkan aku Sarah…“

“GAMAU, AKU UDAH DISINI. POKOKNYA AKAN KUBUAT KAKAKKU JAUH LEBIH BAIK DENGAN ADANYA KEBERADAANKU. AKU TIDAK MAU KALAH DARI ALVIN.“

Sekarang keadaannya rumit, aku hargai kekhawatiran Sarah kepadaku. Tapi sekarang aku butuh waktu sendiri, dan aku tidak dapat berkata ‘tidak’ kepadanya.

Tapi, aku yang paling tahu dari semua orang. Jika Sarah sudah berniat untuk melakukan sesuatu, maka ia akan melakukannya. Percuma saja sekarang bagiku untuk menolaknya.

“Baiklah…“ ucapku setelah menghela nafas panjang.

Setelah mendengarku berkata seperti itu, mata Sarah langsung berbinar-binar seperti halnya anak anjing yang lucu dan sontak bersorak gembira.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang…?“ tanyaku lagi.

Sarah langsung berhenti dan menatap ke arahku.

“Untuk sekarang, Kakakku harus ganti baju dulu. Kita akan pergi shopping, disaat seorang wanita sedang galau. Shopping pasti akan langsung membuat wanita lupa segalanya.“

Kemudian Sarah mendorongku masuk dan langsung menuju kamarku. Sarah memilihkanku baju yang akan kupakai. Dari sekian banyak yang ia pertimbangkan, ia membuatku memakai gaun berwarna biru dongker yang panjangnya sampai menutupi mata kakiku.

“Nah, sekarang ini baru Kakakku, begitu cantik.“

“Jadi aku yang sebelumnya tidak cantik?“

“Sssssshhhhh, sekarang yuk berangkat. Jangan lupa kunci rumahnya.“

Sarah keluar terlebih dahulu dan aku mengunci seluruh pintu dan jendela. Setelah aku mengunci pintu depan, begitu aku menoleh. Sebuah mobil Volvo berwarna hitam muncul dan berhenti di depan rumah.

Aku menghampirinya dan terlihat di dalam bahwa Sarah berada di balik kemudi. Aku langsung menaikinya tanpa berpikir.

“Kamu sungguh-sungguh merawat mobil ayah, aku bangga kepadamu.“

“Jika ayah masih hidup dan melihat kondisi mobilnya yang seperti sekarang ini, pasti ia hanya akan menyimpannya di garasi. Pasang sabuk pengamannya.“

Aku menuruti perintahnya, tak lama kemudian Sarah langsung tancap gas menuju department store.

Jalanan tidak terlalu ramai di pagi hari yang cerah ini, dan Sarah memanfaatkan kesempatan itu. Ia sengaja mengebut sampai ke batas kecepatan maksimal. Dengan luwesnya ia mengendalikan kemudi itu dan menyalip mobil-mobil yang ada di hadapannya.

“Hei, pelan-pelan dong. Apa kamu juga menyetir seperti ini saat mengantarkan suami dan anak-anakmu ke sekolah?“

“Jika sedang bersama Kakakku, aku wajib ngebut.“

Ucapnya seraya tersenyum dan menoleh kepadaku. Lalu ia kembali fokus ke jalanan yang ada di depannya. Sedangkan aku, terus memegang sabuk pengamanku seraya berdoa kepada siapapun yang ada di atas sana.




Tiga puluh menit terasa seperti tiga menit lebih dekat menuju rumah Tuhan. Meskipun begitu, kita berdua telah sampai di tujuan.

“Bagaimana? Cepat sampai kan?“

“Aku benci kamu….“

“Hehehe, ayo cepat turun. Manekin di dalam sana tidak akan memandang pakaian mereka sendiri.“

Bagi seorang wanita yang berumur tiga puluh lima tahun seperti Sarah, ia begitu gesit dalam bergerak. Berbeda denganku yang segala sendinya mulai sensitif.

Setelah turun dari mobil, aku mengikuti kemanapun Sarah pergi. Di satu saat, ia tengah memperhatikan bagian atasan, di satu saat yang lain kini ia tengah memperhatikan bagian bawahan. Dan sekarang ia tengah memperhatikan bagian pakaian dalam.

“Kakakku Kakakku, sini deh. Sepertinya ini akan cocok dipake Kakakku.“

Aku melihat Sarah menunjukkan sebuah lingerie set yang sangat seksi. Warnanya ungu, dengan motif bunga-bunga, bahkan lengkap dengan stocking dan garter belt-nya. Di bagian bra-nya, terdapat sebuah lubang yang sengaja ada disana dan di bagian selangkangannya terdapat hal serupa. Lubang yang sengaja dibuat.

“Ngaco kamu, mana mungkin itu dipake sama aku. Aku sudah terlalu tua.“

“Omong kosong, Kakakku tetap cantik mau sampai kapanpun juga--- hmm…“

Sarah menghentikan ucapannya dan menatap bagian tertentu dari tubuhku.

“Ada apa?“

Btw, ukuran payudara Kakakku membesar ya? Coba sini aku periksa dulu.“

“H-Hey, tunggu---“

Sarah sama sekali tidak mendengarkanku, ia langsung berdiri di belakangku dan menggerayangi payudaraku di tempat umum. DI KIOS PAKAIAN DALAM.

“Hmm, dulu D Cup, sekarang jadi E Cup ya? Kok bisa sih? Kasih tau caranya dong kak.“

Aku dapat merasakan tatapan orang-orang sekitar setelah Sarah menggerayangiku dan terlebih lagi saat ia mengucapkan ukuran payudaraku keras-keras.

Aku tak dapat lagi menahannya, sudah lama sekali sejak aku digerayangi seperti ini.

Kemudian aku mendesah dan orang-orang yang berada di sekitaranku langsung menoleh. Sungguh memalukan sekali rasanya. Setelah itu, Sarah tak lagi menggerayangiku dan melepaskan tangannya dari payudaraku.

“M-maafkan aku Kak…“

Just do me a favour will ya…? Buy that lingerie for me and let’s get the fuck out of here…

“B-baik…“

“Aku mau ke toilet dulu…“

Aku langsung pergi ke toilet tanpa menunggu respon dari Sarah. Aku menyilangkan tanganku untuk menutupi payudaraku dan menundukkan kepalaku. Menghindari tatapan dari semua orang.

Aku sampai di kamar mandi, masuk ke bilik paling pojok dan mengunci pintunya dari dalam. Aku duduk di atas toilet dan aku langsung mengangkat ujung gaunku dan mulai mengusap vaginaku sendiri.

Gerayangan dari Sarah membuatku bergairah, itu pertama kalinya aku disentuh oleh orang lain sejak kepergian suamiku dua minggu yang lalu.

Aku terus mengusap-usap, memasukan jariku ke dalam vaginaku berulang kali. Sungguh nikmat sekali rasanya, Aku hendak membayangkan rupa suamiku, akan tetapi yang muncul dalam bayanganku hanyalah Alvin.

Semakin aku berusaha keras untuk tidak keluar selagi aku membayangkan wajah Alvin, semakin aku bergairah dan semakin aku menuju klimaks.

“Aaaahhhhh aaaaaaahhhhh~“

Klimaks sungguh nikmat sekali rasanya. Cairan yang keluar dapat kurasakan setiap tetesnya begitu mengenai vaginaku. Dan sekarang aku terkulai lemas.

Setelah melihat sekitaranku, aku baru menyadari kembali bahwa aku sedang berada di toilet department store. Tidak kecil kemungkinannya ada orang lain di balik pintu dan di bilik sebelahku sekarang ini.

“Apa yang telah kulakukan… maafkan aku… sungguh maafkan aku…“

Tidak seharusnya aku seperti ini, aku telah gagal menjadi seorang ibu. Aku tak dapat menatap anak-anakku tepat di mata mereka.

Kejadian barusan membuatku merenung cukup lama. Aku menutup mataku dan tidak keluar dari bilik toilet itu hampir selama tiga puluh menit.

“Kakak? Kamu di dalam?“

Suara Sarah terdengar di balik pintu, atau mungkin itu hanya halusinasiku saja. Lima detik kemudian, aku yakin bahwa aku sedang tidak berhalusinasi setelah mendengar ketukan pintu dari luar.

“Kakak? Kamu gapapa kan?“

“A-aku gapapa… aku akan segera keluar…“

Aku mengusap air mataku, melepas celana dalamku yang basah, lalu menyiram toilet yang sama sekali tidak kugunakan.

“Kamu gapapa kak…?“

“A-aku tidak apa-apa… ayo kita pulang…“

Aku berjalan terlebih dahulu, tangan Sarah dapat kurasakan tengah menyentuh punggungku dengan maksud sedikit menuntunku. Mungkin ia khawatir. Pastilah ia khawatir.

“Oh iya, ini sudah aku belikan.“

“Eh? Aku hanya bercanda… tidak seharusnya kamu belikan…“

“Dalam situasi seperti tadi, mana mungkin aku menganggap kakak sedang bercanda. Sudahlah, anggap saja hadiah minta maaf dariku.“

Sarah tersenyum, aku sedikit tersenyum dan menerima pemberian Sarah. Kami berdua jalan menuju parkiran.

“Habis itu kita akan makan eskrim sampe kita--- hmm, tunggu sebentar. Itu ponselku.“

Sarah merogoh sakunya dan mengambil ponselnya, ia melihat layarnya.

“Oh ini suamiku, tunggu sebentar ya kak.“

“Santai.“

Sarah berjalan sedikit menjauh dan mulai berbicara dengan suaminya melalui ponsel. Pemandangan itu membuatku terpikir, apa aku harus menelepon suamiku juga. Aku merindukannya.

Tak lama kemudian, Sarah sudah selesai meneleponnya dan kembali berjalan ke arahku.

“Kak, maaf banget ini mah. Di sekolah si adek guru-gurunya pada mau rapat, jadi dipulangin lebih awal.“

“…dan sekarang kamu harus menjemput mereka berdua. Pergilah.“

“Kakak seriusan? Aku bisa nganterin pulang kakak dulu.“

“Tidak apa, segeralah kamu jemput mereka berdua. Mereka pasti sedang menunggu kamu ibunya yang menjemput.“

“Beneran kakak gaakan kenapa-napa? Salah aku juga sih gak ngerancanain semuanya terlebih dahulu.“

“Sudahlah, cepat jemput anak-anakmu. Mereka pasti akan segera bosan menunggumu.“

Sarah masih terlihat enggan untuk meninggalkanku sendirian. Tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja.

“Kalau begitu teleponlah taksi untuk pulang ya?“

“Gampang itu, sekarang pergilah.“

“Hati-hati kak.“

“Kamu juga hati-hati.“

Mobil Volvo melaju di depanku dan melesat menjauh dari tempatku berada sekarang. Aku mengeluarkan ponselku, melihat jam. Sekarang sudah pukul dua siang. Mungkin aku akan memesan ojek online saja.

Saat aku sedang mencari aplikasinya, aku salah menekan. Aku menekan tombol kontak. Kontak Alvin yang pertama muncul di layarku.

“…“

Aku menelepon Alvin dengan harapan tidak akan diangkat olehnya.

Tuuutt~ tuuuuttt~ jegreg~

Halo bu?

“H-Halo Alvin…“

Sialan, kenapa harus diangkat olehnya.

Kenapa bu?

“Kamu masih di sekolah…?“

Ini sebentar lagi mau pulang, kenapa bu?

“Uhh… ini… ibu sedang diluar… kamu bisa gak jemput ibu…? Ibu lagi di department store…

Ohhh iya, nanti akan kujemput, dah dulu ya bu.

“Terima kasih… sayang…~“

Aku mematikan panggilannya lalu menunggu Alvin. Entah kenapa aku merasa gugup untuk bertemu dengannya.




Cukup lama, lima belas menit kemudian Alvin telah tiba dengan motor Honda CBR nya dan perlahan mendekat ke arahku.

“Maaf aku terlambat bu.“

“Tidak apa…“

Alvin sengaja memiringkan motornya sedikit supaya aku bisa menaiki jok penumpang dengan mudah. Baru kusadari, jok pengemudi dan jok pengemudi begitu jauh berbeda.

Jok yang diduduki oleh Alvin jauh lebih rendah sedangkan jok yang aku duduki jauh lebih tinggi dan condong ke depan. Ujung gaun yang aku angkat supaya bisa duduk saja sudah cukup memalukan.

“Pegangan yang erat bu.“

“Jangan ngebut-ngebut ya sayang.“

Akan tetapi, Alvin sama sekali tidak menurutiku. Langsung ia tancap gas yang membuatku sedikit terjengkang. Mau tidak mau aku harus memeluknya.

Ditambah lagi, saat ini aku sedang tidak memakai celana dalam. Alvin mengendarai motornya dengan begitu ngebut. Angin sepoi-sepoi kadang menyentuh vaginaku, geli sekali rasanya. Seolah-olah angina sepoi-sepoi itu bisa membuatku klimaks kapan saja.

Lalu tanpa kusadari, tanganku tak lagi memeluk Alvin di bagian perut, melainkan di antara selangkangannya. Aku bisa merasakan betapa terkejutnya Alvin setelah aku melakukan itu, tapi ia harus konsentrasi penuh pada mengendarai motornya.

Aku terus meremas-remas apa yang ada di balik selangkangannya. Aku tidak akan berhenti sampai benda yang ada di balik celananya mengeras. Dan pada akhirnya, benda itu mengeras. Aku tidak sabar untuk melihatnya saat tiba di rumah nanti.

**
Bersambung
 
menarik ceritanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd