Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Joni (berkah jadi sopir dadakan)

"Yuk!" Ajaknya.
"Yang mana?" Tanyaku. Kuambil alih kresek putih di tangannya. Air mineral, kue, dan beberapa camilan.
"Yang sana, yang ngadep sawah" jawabnya.
"Oke. Ada yang dibawa lagi?"
"Tasku, mas"
"Oh. Oke"
Kuambil tasnya. Lalu kita berjalan menuju rumah limasan mungil di tepi sawah. Agak terpinggirkan rumah yang satu ini. Aku masih belum mengerti konsep hotel ini. Kata Shella, Bangunan-bangunan ini adalah milik warga sekitar yang dikelola bersama dalam satu wadah. Semacam badan usaha milik desa. Jadi wajar kata Shella, kalau letak bangunannya tidak serapi hotel atau resort pada umumnya.
"Mampir mbak, mas"
Terdengar sapaan dari seorang ibu-ibu. Dia sedang menyapu di depan sebuah warung kopi. Senyumnya yang ramah membuatku dan Shella membalas senyumnya.
"Kamar yang pinggir sawah, mas?" Tanya ibu itu.
"Iya, bu" jawabku.
"Oh" komentar ibu itu pendek.
"Kalo butuh makan, kopi, atau yang lain, tinggal telpon aja! Ini kartu nama saya" kata ibu itu sambil memberikan selembar kartu nama. Ida, begitu nama yang tertulis di kartu itu. Canggih juga ibu ini, pikirku. Shella tampak senyum-senyum sendiri.
"Kok sepi, bu?" Celetuk Shella.
"Iya. Kan jam sarapan sudah selesai. Lagian memang hari ini wismannya belum ada. Baru mas sama embak ini" jawab ibu itu.
"Eem. Ibu, tinggalnya dimana?" Tanya Shella lagi. Aku jadi bingung dibuatnya.
"Hayu ke warung dulu, embak mau cari apa, ngomong sama ibu!" Ajak bu Ida. Shelalapun mengikuti ibu itu. Mau tak mau, akupun ikut juga.
"Silakan duduk mbak, mas!"
"Makasih bu" jawab Shella.
"Gimana, embak nyari apa?" Tanya ibu itu.
"Eeemm" shella masih agak ragu. Dia menyebar pandangan ke sekitar.
"Tenang, mbak. Ibu cuman sendirian. Rumah terdekat juga dua puluh meter, dari sini. Masuk gang sana. Kalo dari kamar mbak, lebih jauh lagi" kata ibu itu meyakinkan Shella.
Memang, warung ibu itu berada di pertigaan jalan. Kalu ke kamar kita, lurus, lalu di sebelah warung bu Ida, ada jalan ke kanan.
"Mau pijit, perempuan, ada. Pasutri, bisa dicarikan. Apa tambahan temen? Cowok apa cewek?" Tanya bu Ida, lirih"
"Eemm. Sebenernya kami ke sini buat nyobain sensasi bermain sandiwara, bu" jawab Shella.
"Oalah. Oke. Terus, embak ini butuh apa?"
"Eem. Saya butuh seseorang yang bisa berperan sebagai seorang ibu"
"Lha ibu saja" sahut ibu itu.
"Eh, tapi peran si ibu ini, ngapain, mbak?" Lanjut ibu itu.
"Nggak sampe main kok, bu" jawab Shella. Ibu itu tertawa geli.
"Cuman berperan sebagai layaknya seorang ibu. Saya pengen, seolah-olah ibu itu ibunya suami saya" lanjut Shella, menunjuk padaku. Agak terkejut aku disebut sebagai suaminya.
"Terus?" Tanya ibu itu antusias.
"Nanti, saya pura-pura minta tolong sama anak ibu ini. Ibu ngijinin. Ibu nyuruh anak ibu ke kamar saya. Nah, mungkin jarak setengah jam, ibu telpon saya! Ibu nanyain anak ibu. Bantu apa gitu, kok lama banget. Nah, nanti saya cerita sama ibu, anak ibu lagi saya apakan. Ibu dengerin ya, karena itu intinya"

"Oh. Bisa kalo cuman gitu sih" komentar ibu itu.
"Tapi jangan direkam ya bu!"
"Ya enggaklah, mbak. Modal kami itu kepercayaan. Wong ndeso juga kami tahu itu"
"Syukurlah"
"Berapa bu, upahnya?" Tanyaku.
"Berapa ya?" Si ibu itu malah bingung sambil tertawa.
"Baru si mbak ini yang minta begini" lanjutnya.
"Segini, cukup bu?" Tanyaku, sambil kusodorkan dua lembar seratus ribuan.
"Wah. Cukup banget. Mau ngopi dulu juga boleh" jawabnya. Dia terima uang pemberianku.
"Ini nomer saya, bu" kata Shella, memberikan nomernya. Ibu itu mengambil ponselnya, dan menyimpan nomor Shella. Shella melakukan hal serua, setelah bu Ida meneleponnya.
"Gimana, mas?" Tanya Shella.
"Ngikut" jawabku.
"Ya udah. Aku ke kamar dulu, ya! Mas ngopi aja dulu! Oke?"
"Oke" jawabku sambil tergelak.
Shellapun pamit untuk pergi ke kamar terlebih dahulu. Aku memesan kopi hitam untuk menyegarkan pikiranku.
"Mas, mas" panggil bu Ida.
"Ada apa, bu?" Sahutku.
"Mau tak kasih saran, nggak?"
"Saran apa, bu?"
"Biar makin terasa, sandiwaranya, ibu saranin, masnya ngerubah tampilan dulu"
"Dirubah gimana, bu?" Tanyaku sambil tergelak.
"Ini, ada seragam dinas suami saya. Anaknya petani, pasti kerjaannya nggak jauh-jauh dari ngarit atau ndangir. Kalo pake ini, makin kuat gambarannya, kalo mas ini anak ibu, anak petani" jawab bu Ida.
"Bener juga" jawabku.
"Coba aja dulu, mas! Kalo nggak cocok bisa dilepas lagi"
"Kamar mandi dimana, bu?"
"Itu di belakang"
Akupun pergi ke belakang. Aku ganti pakaianku dengan pakaian dinas suami bu Ida. Celana pendek kolor, dan kaos sponsor dari sebuah toko pertanian. Aura kegantenganku jadi agak turun.
"Loh" seru bu Ida, saat ku keluar kamar mandi.
"Kenapa, bu? Ada yang aneh?" Tanyaku bingung.
"Kok masih ganteng banget? Nggak cocok masnya jadi anak petani. Wajahnya cocok jadi anak bupati" jawab bu Ida. Akupun tergelak dipuji begitu.
"Ya terus, wajah saya mau diapakan, bu?" Tanyaku masih sambil tergelak.
"Kalo mau, itemin dikit, mas. Nih, ada areng" jawabnya. Dia mengambil sebatang kayu daribtungku alias pawon. Ujung kayu itu sudah gosong mirip arang.
"Sini, ibu itemin dikit!"
Aku biarkab saja bu ida mengolesi wajahku dengan arang itu. Rasanya tidak sampai tebal, tapi merata. Bahkan sampai ke leherku. Tanganku juga dia olesi arang. Memang jadi lebih gelap, kulitku.
"Coba ngaca, mas!" Saran bu ida. Dia menunjuk cermin yang tergantung di dinding warung.
"Walah. Ha ha ha. Ini siapa?" Komentarku, saat melihat bayanganku di cermin. Seperti make up artist, bu Ida sukses membuat kulit wajahku terlihat lebih coklat.
"Bagus, kan? Ibu yakin, mbaknya pasti jadi lebih greget sandiwaranya. Hi hi hi"
Tiba-tiba ponsel bu Ida berbunyi. Rupanya Shella yang menelepon. Bu Ida menerima panggilan itu, dan melantangkan suaranya.
"Halo bu ida, anak ibu lagi di warung, nggak?" Terdengar suara shella, seperti sudah mengenal lama bu Ida.
"Anak yang mana?" Tanya bu Ida.
"Yang itu, siapa sih namanya"
Bu Ida bertanya padaku, aku mau menggunakan nama siapa.
"Joni" kataku tanpa suara.
"Si Joni?"
"Hem? Iya. Si Joni"
"Ada, mbak. Perlu sarapan, mbak?" Tanya bu Ida.
"Enggak, bu. Ini, saya mau minta tolong Joni, saluran air di kamar saya, mati. Si Joni bisa benerin kan?"
"Oh. Bisa, mbak. Saya panggilin dulu. Lagi cari rumput orangnya"
"Buruan ya bu. Mau pipis nih"
"Oh. Iya iya. Segera"

"Makasih bu Ida"
"Sama-sama mbak"
Sambungan teleponpun terputus. Bu ida tersenyum padaku.
"Mbaknya udah siap tempur tuh, mas" goda bu Ida.
"Saya ke kamar dulu ya bu" pamitku.
"Oke" jawab bu Ida. Akupun beranjak pergi.
"Mas. Bawa ini!" Seru bu Ida. Dia memberiku caping.
"Biar makin bikin pangling" lanjutnya.
"Ha ha ha. Ibu bisa aja" komentarku.
Aku terima caping itu, lalu aku melanjutkan perjalananku. Tak sampai semenit, aku telah tiba di depan kamar. Sejenak aku menerka-nerka, akan seperti apa penampilan Shella nanti.
Tok tok tok
"Mbak"
Aku mengetuk pintu kamar itu.
"Ya"
Terdengar jawaban dari dalam kamar.
Kleeek
"Eh?"
Saat pintu kamar terbuka, Shella tampak terkejut. Dia seperti sedang menganalisa, siapa yang sedang berada di depannya. Sepertinya dia pangling. Sedangkan aku juga. Selembar handuk putih, tak bisa menyembunyikan kemolekan tubuh Shella. Tokednya sebagian besar terpamerkan dengan indahnya. Perut buncitnya menbuat handuknya tetarik ke atas, membuat paha jenjangnya hampir semuanya terpamerkan. Selangkangannya tinggal sedikit lagi, ada angin pasti terlihat.
"Mbak. Kata ibu, airnya nggak ngalir, ya?" Tanyaku.
Sontak Shella terkejut. Dia tidak segera menjawab. Seperti sadar dari suaraku, siapa yang sedang dia hadapi. Namun dia juga masih nampak bingung.
"Mbak?" Tegurku lagi.
"Eh, ee. Iya. Itu airnya macet" jawab Shella.
Aku dipersilakan masuk. Langsung saja aku masuk kamar. Ranjang king size langsung menyambutku. Sebuah meja kecil, tivi, dan lemari melengkapi fasilitas kamar ini. Walau limasan, rupanya dinding rumah ini sudah menggunakan tembok bata. Aku langsung saja menuju kamar mandi.
Saat hendak masuk kamar mandi, sekilas aku melihat Shella tertawa melihat penampilanku. Aku biarkan saja. Katanya mau bermain sandiwara. Akupun berpura-pura memeriksa aliran air.
"Loh. Beneran nggak ngalir" gumamku.
Aku amati saluran pipanya. Rupanya ada keran tersembunyi di pojokan. Aku curiga, Shella mematikannya untuk sandiwara ini. Akupun memutar keran itu.
Seerr
"E eh"
Saat ku memutar knob shower atas, aku terkejut. Ternyata sudah kembali mengalir.
"Jooon. Nyalain buru!"
Aku terkejut mendengar suara Shella. Dia masuk kamar mandi tanpa ijin. Dan dia langsung duduk di kloset.
Seeeeerrrrrrrr
"Joon. Aku nggak kuat nahan pipis joon. Uuuh"
Entah beneran atau pura-pura, tapi suara kencingnya cukup kencang. Dan ekspresinya juga seperti orang yang benar-benar tidak bisa menahan kencing. Aku terpaku pada pemandangan indah itu. Belum lagi kini handuknya tersingkap lebih ke atas. Aku bisa melihat sebagian bokongnya. Kali ini dengan pencahayaan yang lebih terang.
"Aduuh lega... " Komentarnya.
Aku masih terpana dengan pemandangan bumper belakangnya. Memang hanya sebagian kecil, namun justru yang sedikit itu yang bikin penasaran.
"Jon. Kalo belum nyala, kamu harus tanggung jawab, ya! Siramin nih, pipisku!" Perintah Shella.
"Udah nyala, mbak. Coba aja!" Jawabku. Shella mengambil selang di sebelahnya.
Seeerrr
"Eh iya" komentarnya.
Diapun mengarahkan selang itu ke kemaluannya. Dia cebok seolah tak ada orang lain di dekatnya. Walau sudah pernah berbugil bersama, namun melihatnya cebok, adalah pemandangan yang sangat indah buatku.
"Sssttt"
Aku tersentak mendengar desisannya. Rupanya tak hanya cebok. Dia terus menyemprotkan air itu ke selangkangannya.
"Aaaahhh"
Aku pikir dia sengaja melakukan itu. Kepalanya yang mendongak dan matanya yang terpejam, aku yakin, dia sedang berfantasi. Seolah-olah aku ini benar-benar orang lain yang belum dia kenal, atau tetangga di sini.
"Aaah.... Ah ah ah... anakmu lagi ngiclik bu.... Diliatin anak tetangga, buu"
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd