Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kembalilah

willdick

The Will Of D
Staff member
Moderator
Daftar
22 Jan 2013
Post
seencrot
Like diterima
960
Lokasi
diantara puluhan gadis
Bimabet
Rumah Sakit Jiwa Lembang

"Terima kasih pak, udah ngijinin aku melakukan riset di rumah sakit ini," ujarku di hari pertama aku datang ke rumah sakit ini.

"Iya sama-sama Dek Reza," dokter Ren namanya, lelaki setengah baya yang menjadi kepala di rumah sakit ini, "kalau perlu bantuan bilang aja ke saya atau ke staff di rumah sakit ini, kami udah biasa kok kedatangan mahasiswa magang."

"Tapi belum pernah kan kedatangan penulis, hehehe," aku sedikit bergurai untuk mencairkan suasana, dan dokter Ren pun ikut tertawa ringan.

Aku adalah seorang penulis, dan riset kali ini untuk bahan sekuel novelku yang ke dua, target tahun ini selesai karna aku sudah ada konsep garis besarnya. Novel pertamaku terbilang cukup sukses, dan sejak awal memang aku ingin membuat trilogi novel.

Aku bercerita panjang lebar dengan dokter Ren, tentang awal mula aku merintis menjadi seorang penulis. Awal aku menulis pada sebuah forum, dari situ aku mendapat masukan dan dorongan dari para pembaca ceritaku untuk mengembangkan tulisanku, dan kemudian memberanikan untuk mengajukan naskah ke penerbit. Tapi sayang begitu aku mengajukan naskah ke penerbit, mereka menolaknya karna naskahku itu telah tersebar di forum dan juga telah di salin ke berbagai blog.

Sempat berkecil hati, tapi ada seorang teman menyarankanku untuk membuat sebuah karya baru yang jangan di pajang di forum agar cerita itu gak kesebar kemana-mana. Melalui perjalanan yang panjang dan berliku, akhirnya penerbit menerima naskahku dan menerbitkannya.

Untuk sekuel novelku yang kedua ini, aku ingin memasukan unsur kejiwaan di dalamnya. Makanya aku butuh riset disini, selain meneliti pola pikir para pasien disini, aku juga bisa berkonsultasi kepada para dokter disini sebagai referensi novelku.

Aku dari kecil memang sangat hobi menulis, sering memajang hasil tulisanku di mading sekolah. Bahkan ada majalah yang membeli naskahku dan dimasukan ke dalam rubit cerpen di majalah tersebut.

Dokter Ren orang yang sangat baik dan juga ramah menurutku, wibawa seorang kepala rumah sakit terlihat jelas. Gak ada wajah bosan darinya saat mendengarkan ceritaku, selalu senyum yang melengkung diantara kumis dan jenggotnya yang memutih. Dia juga memberiku database pasien yang ada disini untuk tambahan referensiku, dan aku juga diizinkan untuk tinggal di asrama yang ada di rumah sakit ini, gak perlu repot-repot cari kos atau kontrakan jadinya.

"Oh iya dok, aku ada pertanyaan kecil nih."

"Pertanyaan apa ?"

"Apa sih yang bikin orang mengalami gangguan jiwa ?"

"Banyak faktornya dik," dokter Ren membetulkan duduknya, dengan tenang dia melanjutkan, "tapi intinya karna stres yang berlebihkan. Jadi misalnya aja seseorang abis terkena musibah seperti kehilangan orang yang disayangi, harta benda, atau memiliki keinginan yang gak bisa dia wujudkan. Itu bisa membuat seseorang stress, depresi dan bila terjadi dalam rentan waktu yang terus menerus dia bisa mengalami gangguan jiwa yang cukup parah."

"Sampe ngamuk-ngamuk gitu ya ?"

"Ah itu salah satunya, biasanya itu udah ke tahap yang cukup parah. Saking menumpuknya beban dipikarannya, begitu otaknya udah gak mampu mengendalikan tubuhnya, maka pasien itu bisa meluapkan emosinya secara berlebihan."

"Biasanya untuk pasien yang seperti itu penanganannya gimana dok ?"

"Biasanya sih kami kasih obat penenang, agar gak membahayakan orang-orang disekitar, tapi gak akan kami karantina, kami biarkan dia bebas melakukan apa saja selama gak membahayakan orang disekitar tapi tentu dengan penjagaan yang ketat, jadi kalau sekiranya dia mulai ngamuk bisa langsung kami tangani. Sambil kami kasih terapi yang rutin, pendekatan personal yang intens, sampai si pasien gak melakukan tindakan yang berbahaya sama sekali. Selain meluapkan emosi, ada beberapa kasus, dimana si pasien mengalami halusinasi atau berhayal."

"Kayak gimana contohnya dok ?"

"Nah, misal dulu si pasien kepengen banget jadi pilot, tapi dia gak pernah mampu mewujudkan cita-citanya. Saat dia mengalami gangguan kejiwaan, si pasien selalu berhalusinasi kalau dia adalah seorang pilot."

"Nah kalau kayak gitu penanganannya gimana tuh donk ?"

"Kalau gitu sih, penanganan standar dan yang pertama dilakukan adalah, kami masuk ke dalam dunia hayalannya. Menganggap dia kalau dia emang pilot, berinteraksi mengikuti permainan hayalannya. Sambil berjalan kita melakukan beberapa terapi terhadap si pasien."

"Sepertinya cukup sampe disini aja pertanyaan aku dok, kayaknya akan semakin rumit kalau aku terus bertanya, bukan bidangku sih," dan kamipun tertawa rinngan bersama.

"Sebenarnya sih gak ada prosedur baku dalam penanganan pasien gangguan jiwa ini, beda dengan pasien yang mengalami masalah dengan jasmani mereka. Disini kami berusaha menciptakan lingkungan yang nyaman bagi pasien, mereka bebas berhayal dan para staff disini juga mengikuti hayalan mereka sampai mereka tersadar dengan sendirinya. Karna yang membuat si pasien semakin depresi itu adalah perlakuan lingkungan yang gak menerima dia, dengan alasan berbahaya atau bikin malu keluarga, biasanya orang-orang yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak manusiawi, seperti dikurung atau dipasung. Cara seperti itu gak akan menyelesaikan masalah."

"Oh ya ya ya, jadi perlu adanya dukungan dari orang-orang disekitar ?"

"Yup, kami disini semua keluarga, baik mulai dari para dokter, perawat, staff dan juga pasien, termasuk kamu juga. Jadi saya minta jangan sekali-sekali kamu mendeskriditkan pasien disini, seburuk ataupun seaneh apapun tingkah mereka, mereka butuh dukungan dari kita."

Oke, sesi ngobrol-ngobrol dengan dokter Ren cukup, karna dia orang yang sibuk. Aku diantar oleh salah satu staf ke kamar yang masih kosong. Kamar berukuran 3x3 yang lebih dari cukup bagiku. Hanya ada sebuah tempat tidur, lemari kecil serta kursi dan meja.

Setelah merapikan barang-barangku, aku langsung membuka laptopku dan mulai mengecek halaman sosial media pribadiku. Oke saatnya memberi spoiler kepada para penggemar untuk sekuel kedua novelku.

Sosial media salah satu alat untuk berinteraksi dengan para pembaca novelku, bahkan ada beberapa pembaca yang memintaku untuk kembali menulis di forum. Ya suatu saat pasti aku akan kembali, setelah trilogi novelku selesai, itu yang aku janjikan pada mereka.

Setelah puas bersosial media, aku coba membaca artikel-artikel yang di copy-kan oleh dokter Ren di flashdisk-ku. Artikel tentang kejiwaan, kata doker Ren artikel ini adalah dasar ilmu kejiwaan, jadi gak akan berat untukku mempelajarinya.

Dari artikel tersebut aku coba sinkronisasikan dengan database pasien, dalam database tersebut selain terdapat data diri pasien, juga terdapat riwayat kesehatan jiwa pasien dari pertama masuk rumah sakit ini sampai sekarang. Gangguan kejiwaan seperti apa saja yang pasien alami serta penanganannya ada di dalam database ini. Benar-benar sangat membantu.

Aku semakin tertarik dengan data-data yang diberikan dokter Ren, sampai-sampai aku gak ingin melepaskan pandangan mata dari layar laptopku. Saat bosan dengan suasana kamar, aku coba cari tempat yang nyaman di area rumah sakit ini. Sambil sesekali memperhatikan para pasien dan juga staff yang sedang asik berinteraksi disini.

Rumah sakit ini berbentuk leter U, bangunan kiri tempat para pasien pria, kanan pasien wanita dan tengah tempat para dokter dan staff. Di tengahnya terdapat area yang cukup luas, diisi oleh taman, lapangan badminton, tenis meja, futsal, voli dan arena bermain.

Ah memang tempat yang nyaman untuk melakukan riset, selain udaranya yang sangat sejuk dan dingin, kepalaku jadi mampu berfikir jernih. Bahkan gak sadar kalau waktu udah menunjukan pukul 12 malam, dan aku masih setia membaca materi yang diberikan dokter Ren. Hhmmm sudah 12 jam lebih ternyata aku di depan laptop dan berpindah-pindah posisi, mulai dari kamarku, taman, pinggir lapangan voli sampai saat ini aku berada di balkon rumah sakit.

Pagi hari jam 9.

Benar-benar tempat yang nyaman, rasanya rugi kalau tempat senyaman ini aku sia-siakan waktunya hanya untuk tidur. Aku mulai berkeliling, memperhatikan tingkah lucu para paisen, ada yang berbicara sendiri, ada yang saling berbicara tapi sama sekali gak nyambung apa yang mereka bicarakan tapi tetep mereka asik sekali kayaknya. Ada juga yang sedang menari-nari gak jelas, dan sampai di suatu sudut taman, ada seorang pasien wanita yang sedang membaca buku, bukan novel tapi sebuah buku tulis. Dia terlihat sangat serius membacanya, apa dia hobi membaca, dan dia terlihat normal menurutku.

"Lagi baca apa ?" aku coba berinteraksi, dan aku terkejut saat melihat isi buku itu.

"Lagi baca novel suami aku," dia menunjukan isi bukunya yang putih dan bergaris-garis, gak ada satupun tulisan di dalamnya. Aku liat tulisan di dadanya yang menunjukan nomor pasien dan nama pasien '79-Risa'

Aku duduk di sampingnya, lalu membuka laptop yang dari tadi aku tenteng. Aku cari datanya di dalam database pasien. Dia masuk rumah sakit ini tiga tahun yang lalu, menderita gangguan jiwa karna keinginannya yang ingin mempunyai seorang suami penulis. Setiap lelaki yang mendekatinya ditolak karna gak sesuai keinginannya, sampai pada akhirnya gak ada satu lelakipun yang mencoba mendekatinya.

Ironis, hanya itu komentarku, wanita yang menurutku sangat cantik walau tanpa make up dan rambut yang gak keurus ini, harus mengalami gangguan pada kejiwaannya dan berada di rumah sakit ini. Mungkin dia terlalu terobsesi memiliki suami penulis jadi seperti ini.

"Judulnya apa ?" aku bertanya, walaupun ini terlihat aneh olehku, tapi menurut dokter Ren, cara menangani pasien gangguan jiwa itu adalah berinteraksi dengan mengikuti halusinasinya.

"Gadis di pelupuk mata," dia tersenyum, sangat manis andai saja dia bukan pasien sini pasti aku udah naksir.

"Judul yang bagus," aku memandangi buku yang kosong itu pura-pura membaca.

"Iya, kata dia, novel ini adalah persembahan untukku, dan semua yang dia tulis disini adalah tentang aku," dia menempelkan bukunya di dada dengan mata yang berbinar bahagia, pandangannya menerawang membayangkan sosok lelaki yang sebenarnya gak dia miliki.

"Wow, romantis banget suami kamu ya," jujur aku terenyuh, sangat iba melihat kondisi wanita di sampingku ini.

"Iyalah," wajahnya bersemu merah, "kamu tau, banyak penggemar wanita yang iri kepadaku. Ah dia benar-benar lelaki yang sempurna buat aku."

"Bahagia banget ya."

"Hu'um," dia mengangguk mantap, sesaat kemudian pandangannya teralih pada laptopku. "Kamu ngapain bawa-bawa laptop ?"

"Oh, aku lagi coba-coba nulis, biar kayak suami kamu," aku coba tersenyum dalam kemirisanku melihat si wanita ini.

"Wah keren-keren, berarti kamu harus belajar banyak dari aku. Dulu waktu aku masih pacaran sama dia, setiap dia nulis selalu meminta pendapatku tentang tulisannya, dan hasilnya luar biasa," Risa sangat bersemangat, kedua tangannya saling mengepal.

"Oh boleh kalo gitu."

"Ada gak, biar aku baca sekarang mumpung aku lagi gak sibuk nih."

"Ah sebentar ya," aku berdiri lalu berjalan menuju kamarku untuk mengabil novelku yang pertama. Ya walaupun aku tau ini adalah hal yang percuma bagiku, tapi enggak bagi Risa, ada rasa ingin membantu Risa di hati ini, ada rasa ingin membuat dia normal kembali walaupun aku baru mengenalnya.

Buru-buru aku mengambil novelku lalu kembali ke taman dan memberikannya kepada Risa.

"Wah ternyata kamu juga seorang penulis ya," dia terkagum melihat novel pertamaku, "kalo udah dicetak jadi novel sih gak perlu lagi pendapatku."

"Perlu, aku lagi nulis sekuel kedua dari novel ini, aku perlu pendapat kamu untuk yang kedua nanti."

"Oke-oke," dengan gaya layaknya seorang editor profesional dia menyetujuinya, membolak-balik novelku itu, "oh iya, nama kamu siapa ?"

"Reza, aduh sampe lupa memperkenalkan diri," aku tersenyum lebar menatapnya dengan penuh rasa iba. Wanita cantik yang sedang terguncang jiwanya.

"Aku Risa," dia balas tersenyum lebar, senyum yang seperti kebanyakan orang normal pada umumnya, tapi dibalik itu semua dia menyimpan suatu beban yang berat baginya.

Pukul 10 Malam

Aku mulai membuat plot untuk kerangka ceritaku, udah tiga cangkir kopi hitam tanpa gula serta enam batang rokok habis menemaniku. Semilir angin malam yang melewati jendela kamar gak mampu membuatku berpindah posisi.

"Novelmu bagus."

Aku terperanjat saat suara wanita berbisik di telingaku, "Risa !"

"Hihihi," dia tersenyum riang, "jangan-jangan kamu suamiku ?"

"Bu-bukan," aku menghindar, menggeser kursi dudukku.

"Kamu penulis, suamiku juga penulis, kamu pasti suamiku," dia meraih tubuhku lalu merangkulku sangat erat, "kamu kemana aja sayang, sibuk ya acara bedah buku keliling Indonesia."

"Aku Reza, aku bukan suamimu," aku coba melepaskan tangannya tapi sebuah kecupan mendarat di pipiku, membuat aku melemas.

"Aku kangen sama kamu, aku kangen bisikan puitismu di telingaku," Risa berucap sambil mengecupi pipi lalu keningku.

Aku teringat kembali kata-kata dokter Ren tentang cara penanganan pasien, tapi gak mungkin dengan kondisi seperti ini aku mengikuti hayalannya. Tubuhku merinding hebat, angin malam yang tadi aku acuhkan, kini ikut memainkan peran yang membuatku semakin gemetar.

Risa melepaskan rangkulannya, dia berjalan mundur lalu duduk di atas tempat tidurku. Dengan wajah yang menggoda dan kerlingan mata, iya mulai membuka satu persatu kancing pakaian berwarna putih khusus untuk pasien. Di dalamnya udah gak ada kain yang membungkus tubuhnya lagi, tubuh yang bagus walaupun dia mengalami gangguan jiwa tapi aku juga lelaki normal, nafsuku mulai bergelora melihat payudara Risa yang terpampang di hadapanku.

"T-tolong pakai lagi pakaianmu, aku bukan suamimu !" aku berseru lemah, akal sehatku masih ada.

"Kamu emang gak kangen sama aku, gak pengen cium aku, terus peluk aku, terus belai tubuhku ini," tangannya bergerak-gerak lembut menyapu tubuhnya.

"Aku bukan su-" belum sempat aku selesai berucap, Risa bangkit dan langsung menumbukku hingga membuat kedua tanganku menopang meja. Dia mencium bibirku, mengelamut-ngemut lembut tapi penuh nafsu. Payudaranya yang kenyal menekan erat dadaku, akal sehatku mulai memudar, gak ada penolakan dariku.

"Aku kangen sama ini kamu," Risa menelusupkan tangannya masuk ke celanaku lalu menggenggam lembut batang penisku yang tanpa aku sadari sudah mengacung keras.

"Hhhmm," aku sedikit mengerang merasakan lembutnya belaian tangan Risa, dia kini menciumi wajahku dengan brutal hingga meninggalkan jejak liur. Lidahnya menjulur-julur seperti ular begitu bibirnya telah sampai di leherku, aku mengejang berdesis pelan.

Kedua tangan Risa mulai bergerak di ujung kaosku, lalu menariknya ke atas hingga meloloskan dari tubuhku. Kecupannya semakin liar, kini menuju dadaku dengan lidah yang terus menerus ia julur-julurkan. Bulu-bulu halusku berdiri merasakan geli yang menjalar ke seluruh tubuh, aku hanya bisa menahan lebih kuat beban tubuhku yang semakin layu.

"Stop-stop Risa, jangan sampai lebih jauh lagi," mulutku menolak tapi enggak dengan tubuhku, mataku terpejam menikmati belaian lembut bibir berpadu dengan lidahnya. Nafasku mulai tersengal, sesekali tubuhku mengejang menerima rangsangan lidah Risa yang berputar-putar di putingku.

Tangan Risa semakin nakal, sambil mulutnya yang turun menjelajahi pusarku dia menurunkan celanaku, dan terbebaslah penisku, langsung di genggam dan di kocok perlahan. "Uuuuuggggghhhhh."

"Kamu suka ?" mata sayunya memandangku nakal, lidahnya menyapu bibir bagian atas seolah ingin menyantap bagian tubuhku yang paling sensitif.

Aku hanya mampu memandangnya dengan nafas yang memburu, hatiku meronta seakan udah gak sabar menantikan permainan selanjutnya dari Risa. Tangannya begitu lihai memainkan batang penisku dan juga bijinya.

Lidahnya kembali menjulur, menuju penisku. Dijilatinya seluruh batang hingga ke biji dan juga bagian diantara penis dan anusku. Kedua telapak tanganku gak kuasa menahan rasa nikmat dari lidah Risa, menggesek-gesek meja hingga menjatuhkan asbak serta bungkus rokok.

Setelah puas melumuri penisku dengan liurnya, dengan satu gerakan dia melahap seluruh batangku. Hingga dapat aku rasakan ujung rongga mulutnya di kepala penisku. Menyedot-nyedot seperti ingin menguras isinya sampai beberapa saat kemudian dia mulai menggerak-gerakan kepalanya, memaju mundurkan mulutnya dengan lembut.

Pinggulku perlahan ikut bergerak mengiringi gerakan bibirnya. "Uugghhh," kedua kakiku semakin melemah, rasa nikmat semakin deras aku rasakan. Sendi-sendiku serasa ingin lepas dari kedudukannya, ada gelombang dahsyat yang sedang menyerbu dan berkumpul di satu titik.

"Aaakkkhhhhh," spermaku menyembur seketika, tubuhku benar-benar lunglai hingga gak mampu aku menahannya lagi, "bruukkk," aku ambruk bersamaan dengan spermaku yang tercecer di mulut Risa.

Aku tersengal-sengal menatap Risa yang membersihkan ceceran sperma di mulut dengan telunjuk lalu menjilatinya. Aku menatapnya dengan penuh kebingungan, dan saat itu pula akal sehatku kembali, buru-buru aku bangkit dan memakai seluruh pakaianku yang di lempar ke sembarang tempat oleh Risa. Kemudian aku pergi meninggalkan kamarku dan juga Risa.

Aku berlari hingga sampai pada koridor rumah sakit, aku masih gak habis pikir dengan kejadian yang baru saja aku alami. Sambil sesekali melirik ke arah kamarku, takut kalau Risa sampai mengikutiku kesini.

Malam ini aku hanya berkeliling rumah sakit, sampai aku yakin kalau Risa sudah gak berada di kamarku. Kembali aku teringat ucapan dokter Ren tentang pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, aku takut dengan tingkah Risa yang tadi tapi aku juga merasa iba dengan kondisinya.

"Kamu masih disini ?" Risa menutup wajahnya duduk di tempat tidurku saat aku kembali ke kamarku, dia menyelimuti tubuh setengah bugilnya dengan selimutku.

"Maaf," dia tersendu, "aku gak pernah punya suami," Risa semakin terisak, kedua tangannya gak mampu membendung air mata yang mengalir.

Apa dia telah menyadari kalau semua ini hanya hayalannya, "kamu harus bisa menerima takdir."

"Iya, tapi aku sangat ingin punya suami penulis," kini ia membuka kedua tangannya, terlihat wajah yang basah oleh air mata dan juga keringat.

Aku merangkulnya lalu membelai rambutnya lembut, aku gak tega melihat wanita menangis seperti ini, terlebih dengan keadaan yang dia saat ini. "Buka diri kamu untuk orang lain, banyak pria baik walau profesinya bukan seorang penulis."

"Boleh aku tidur disini," Risa meletakan kepalanya di bahuku.

"Ya, silahkan," aku merebahkan tubuhnya, lalu mengambil pakaiannya yang ada di lantai, memakaiannya lalu kembali menyelimutinya. Dia masih terisak, aku terus membelai serta mengusapi air mata yang terus mengalir. Hingga semakin lama dia semakin tenang dan tertidur.

Seminggu kemudian, pagi hari.

"Hai kak Reza," Mifta menyapaku riang, adik perempuanku yang paling aku sayangi kini berada di ruangan dokter Ren.

Dokter Ren memanggilku kalau ada yang ingin bertemu dan sedang menunggu di ruangannya. Dan ternyata adikku.

"Sejak kapan kamu disini ?" aku duduk disampingnya seraya meletakan laptopku di meja dokter Ren.

"Baru aja kak."

Aku mulai bercerita tentang progres sekuel novelku yang kedua, lalu hasil risetku selama satu minggu ini. Dia mendengarkanku dengan seksama, sesekali memberi senyuman khasnya. Aku juga bercerita tentang Risa, tentang bagaimana Risa perlahan mulai mengalami kemajuan kondisi kejiwaannya.

"Kak," Mifta mendekatiku, matanya terlihat nanar dan seketika itu dia memelukku, "lepasin semuanya kak, lepasin !"

"Apasih maksudmu Mif ?"

"Lepasin semua hayalan kakak, kembalilah kak. Papah, Mamah dan juga aku kangen sama kakak, pulang kak. Kami semua pengen kakak pulang dan berkumpul lagi."

"Aku gak ngerti sama yang kamu omongin Mif ?"

"Kakak udah tiga tahun disini, dan kakak terus menerus mengulangi hayalan kakak sebagai penulis terkenal, sebagai penulis yang lagi ngelakuin riset di rumah sakit ini," Mifta melepas pelukannya, menatapku dalam-dalam, "aku mohon kak, aku butuh kakak, lepasin semuanya kak."

"Dokter ?" aku menatap dokter Ren yang dari tadi hanya diam saja.

Dengan wajah yang tenang dan juga sayu dia mulai berucap, "kamu adalah pasien kami, semua yang kamu alami adalah halusinasi dan terus menerus berulang-ulang."

"Gak," aku mendorong adikku, "aku tuh penulis, novel pertamaku laris dipasaran," aku menoleh ke arah pintu dan disana sudah ada Risa yang menatap kami bertiga.

"Kak, aku mohon."

"Ya, aku adalah penulis, dan novelku itu kemarin aku pinjamkan ke Risa," perlahan aku berjalan menghampiri Risa, aku tersenyum menuju dirinya.

Wajah Risa nampak tenang, dia menyembunyikan kedua tangannya di belakang, pasti novel yang waktu itu aku pinjamkan ada di tangannya. Aku mengulurkan tanganku, coba meraihnya.

"Yang kamu cintai hanyalah angan-angan semu," Risa berucap, saat tanganku coba meraihnya namun. Menembus. Aku gak mampu meraihnya, dan tubuhnya memudar semakin tipis dan menghilang.

"Risa !" aku bersesis.

"Lepasin Risa dari pikiran kakak," adikku menyahut dari belakang, "dia udah bahagia nikah dengan orang yang dicintainya."

"Enggak," aku memberontak, berbalik dan menatap adikku dengan bengis, "Risa tuh pasien disini, dia gila karna gak bisa dapetin suami yang seorang penulis."

"Gak ada pasien yang namanya Risa Za," Dokter Ren menyahut, "dia hanya hayalanmu aja, karna kamu gak mampu memilikinya.

"Itu," aku menunjuk ke arah laptopku di meja dokter Ren, "di dalam laptopku ada soft copy novelku yang udah terbit dan kerangka novel yang kedua."

"Itu laptop udah rusak sejak tiga tahun yang lalu kak," Mifta coba memberi tahu.

"BOHONG, KALIAN SEMUA GILA," aku berteriak kencang, tanganku mengepal kencang lalu dengan emosi aku menendang benda apa saja yang ada di hadapanku. Tinjuku mulai melayang, kini coba menuju dokter Ren dan juga adikku.

Tapi sebelum tinjuku mendarat ada orang-orang yang menahanku dari belakang. Aku coba berontak, tapi tenaga orang-orang yang menahanku sangat kuat, hingga aku merasakan nyeri di tanganku.

"Kak," Mifta mendekat lalu menunjukan layar hapenya yang menunjukan sebuah foto wanita setengah baya sedang berbaring lemah di ranjang, "Mamah sakit-sakitan karna mikirin kakak terus. Kakak emang tega biarin Mamah seperti ini terus. Dan aku dua minggu lagi nikah kak, aku butuh kakak dampingin aku di pelaminan."

Seluruh badanku lemas, pandanganku perlahan memburam dan kabur. Semakin lama pandanganku semakin meredup dan akhirnya gelap sampai aku gak tau apa yang terjadi selanjutnya.

Tiga tahun yang lalu.

Kalian percaya cinta pada pandangan pertama ? tadinya aku sama sekali gak percaya, tapi semua berubah ketika ada seorang wanita cantik yang baru saja diperkenalkan oleh atasanku sebagai karyawan baru. Risa namanya, rambut panjang yang terkuncir rapi serta lesung pipinya yang manis membuat hatiku langsung bergetar.

Dia duduk tepat di meja sebelahku, meja yang telah 2 minggu ditinggal pemiliknya karna mengundurkan diri. Kini Risa yang mengisi ke kosongan itu. Sebagai anak baru, Risa butuh bantuan dari orang lama, dan aku dengan senang hati membantunya, bahkan tanpa dimintapun aku selalu membantu pekerjaannya, walaupun sebenernya pekerjaanku sendiri menumpuk terabaikan.

"Novel apa yang kamu baca?" aku mendapati Risa mengisi waktu senggang saat jam istirahat dengan membaca novel di meja kerjanya.

"Oh, novel roman," dia menatapku berhenti membaca sejenak.

"Banyak koleksinya ?"

"Ya lumayan, aku suka baca dari kecil, dan aku berharap suatu hari nanti aku akan menikah dengan seorang penulis," ada jeda beberapa saat kami saling terdiam, hatiku sedikit sakit mendengar harapan Risa, "kamu juga suka baca novel ?"

"Iya," aku mulai berfikir, "aku juga sempet iseng-iseng nulis terus di pajang di forum internet."

"Oh iya," Risa nampak antusias, "boleh aku baca cerita kamu ?"

"Ah, jelek ceritaku kok."

"Ih gak apa-apa tau, apa nama alamat forumnya dan judul cerita kamu apa ?"

Aku menyebutkan alamat forum dan juga judul cerita yang sering aku baca di forum tersebut. Risa langsung mencarinya lewat hape, lalu menandainya dan berkata kalau nanti malam dia akan membacanya.

*****​

Saat di rumah aku langsung membuka laptopku, lalu mulai menulis cerita yang selama diperjalanan aku pikirkan. Aku harus menjadi seorang penulis, novelku harus terbit, itulah yang aku pikirkan terus menerus.

"Cie lagi nulis apatuh," Mifta tiba-tiba muncul di belakangku, mengagetkan saja.

"Lagi bikin novel," aku mendorong adikku, "udah sana jangan ganggu."

"Jiah, kapan kakak hobi nulis ?" dia masih aja usil menggodaku.

"Jangan berisik deh."

"Kayaknya lagi jatuh cinta nih," dasar nyebelin, bisa aja dia nebak suasana hatiku. Aku coba mengelak, tapi dia sangat tau diriku, seperti apapun aku mengelak dia pasti tau. Pada akhirnya aku menceritakan tentang wanita yang mampu membuat hatiku bergetar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

"Udah ah jangan ganggu aku mulu, dasar adik kepo."

"Yeee, mau aku bantuin gak kak ?"

"Bantuin apa ?"

"Aku suka baca novel juga loh, jadi nanti aku coba baca novel buatan kakakku tersayang biar jadi novel yang disukai sama Risa," dia tersenyum lebar dan juga tengil, khasnya Mifta.

Sesuai keinginannya, dia terus mendampingiku saat menulis novel. Suka banget bawel saat mengoreksi tulisannya. Ada aja yang kurangnya sampai-sampai membuat aku malas. Yang kurang pendalaman karakterlah, alurnya yang terlalu cepat, plotnya yang standar, ah pokoknya macem-macem deh. Dasar rese.

****​

Dan waktupun terus berlalu, aku membeli beberapa novel lalu membahasnya dengan Risa. Dia juga bilang cerita-cerita yang ada di forum bagus-bagus termasuk cerita yang waktu itu aku kasih tau. Sampai suatu ketika hal yang sangat menyakitkan datang.

"Undangan ?" iya, Risa memberi sebuah undangan pernikahan kepadaku. Disana tertulis nama dia dan nama seorang penulis yang novelnya aku beli.

"Dateng ya !"

"Kok mendadak ?"

"Gak mendadak kok, aku udah pacaran lama sama dia, sebelum masuk sini."

Dadaku kembang kempis, sakit banget rasanya, "kamu gak tau kalau aku sebenernya-"

"Tau kok," Risa menyela, "aku tau Za, aku juga tau kamu bohong sama aku kalo kamu majang cerita di forum, aku kirim pesan ke si penulis yang judulnya kamu kasih tau waktu itu, dan dia bukanlah kamu. Dan aku juga tau kamu berusaha nulis sejak kenal aku, tapi aku hanya nganggap kamu teman kantor."

Aku hancur, iya sangat hancur. Aku hanya bisa terdiam saat Risa mulai melangkah pergi meninggalkan aku, hari ini dia setengah hari dan besok dia udah mulai cuti nikah. Aku hanya bisa menangis dalam hati.

Dan sesampainya di rumah barulah aku menangis sejadi-jadinya. Adikku hanya bisa menatapku, berusaha sebisa mungkin membuatku tenang. Tapi itu sama sekali gak berpengaruh bagiku. Aku menatap laptopku yang selama ini kugunakan untuk menulis, dengan geram aku menghela laptopku hingga terhempas ke lantai dan mati seketika.

Aku sangat sakit, hingga berteriak-teriak memanggil nama Risa, aku merobek-robek bajuku dan apa saja yang ada disekitarku. Air mataku terus bercucuran, hingga aku lemas tak berdaya.

Masa kini

Mataku terbuka, samar-samar dapat aku lihat wajah Mifta dan dokter Ren yang berada di sebelahku.

"Kamu udah sadar Reza ?"

"Kak."

"Aku mau pulang," kataku lemah, aku sadar dengan semua ini, "aku mau ketemua Mamah, Papah dan aku mau liat adikku nikah."

"Kak," Mifta langsung memelukku erat, tangisnya pecah dalam pelukannya.

"Siapa kamu ?" tanya dokter Ren.

"Reza," aku menjawab.

"Apa profesimu ?"

"Aku karyawan kantor."

"Kamu suka nulis ?"

"Aku pernah coba menulis, tapi aku sama sekali gak ada bakat menulis."

Mifta melepas pelukannya, membasuk air matanya. Dokter Ren dan Mifta saling menatap dan tersenyum, "jadi kakakku boleh pulang dok ?"

"Kita liat perkembangannya seminggu kedepan."

Seminggu kemudian

Sejuknya udara pagi Lembang serta secangkir teh manis hangat membuatku sangat tenang kali ini. Sambil menatap segala macam aktifitas para pasien serta staf rumah sakit, aku tersenyum.

"Gimana kak teh buatanku ?" Mifta duduk disebelahku sambil menaruh sepiring biskuit.

"Selalu yang paling enak buatan adikku tersayang," aku membelai rambutnya yang diponi lucu.

"Mifta gitu loh."

"Oh iya Mif, ada kabar gembira loh," Mifta menatapku senang, "aku ada pertemuan dengan rumah produksi, katanya novel pertamaku bakal diangkat ke layar lebar, dan abis itu ada acara bedah buku di Bandung, membedah novelku itu, tadi dari pihak penerbit juga telpon kalau novelku udah tembus sepuluh juta copy."

"Kak," Mifta membelai kedua pipiku, air matanya mengalir dan menatapku nanar, dia bergeleng-geleng dengan isak tangis yang menusuk.

=====S.E.L.E.S.A.I=====
 
Terakhir diubah:
Pemilik nama "D" itu memang kaya akan inspirasi menulis, lho aku kirain bakal jadi cerbung:haha:

jadi penasaran sama kejiwaan bagus yang terkesan labil dan seolah olah hanya pura pura gila buat menutupi sakit hatinya, dilanjut dengan lancar om Will
 
Terakhir diubah:
Pemilik nama "D" itu memang kaya akan inspirasi menulis, lho aku kirain bakal jadi cerbung:haha:

jadi penasaran sama kejiwaan reza yang terkesan labil dan seolah olah hanya pura pura gila buat menutupi sakit hatinya, dilanjut dengan lancar om Will
ini wansut gan, udh kelar ceritanya
 
Sumpahh keren cak ceritane..

Penulis temenan iki..
Matur nuwun sampon nggawe cerito seng enak di woco cak..
 
bener 2 penulis beneran..or jangan-jangan :D :Peace: becanda om

kereeen laah...plot..alur..karakter..dan gak mudah ketebak kayak sinetron..
sangat menginspirasi buat bikin suatu tulisan yang keren kayak suhu

:jempol: :jempol: :suhu:
 
Keren master! Ngebaca alurnya, jadi inget filmnya Leonardo DiCaprio yang Shutter Island..
 
Keereen suhu.........


Kayak pilm pilm
 
No comment, hanya :thumbup: :jempol: :thumbup :jempol: ....:ampun: ..

Walaupun agak miris di bagian akhirnya, tapi jadi inget banyolan Warkop DKI .... "Ternyata pasien-nya blom sembuh ... Masuk lagi Ndro" ;)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd