CHAPTER 9: TANTE SANDRA, AKHIRNYA KUMENIKMATI TUBUHMU..
Terbangun aku karena udara panas serasa menyengat tubuhku, menggeliat-geliatkan badan sejenak, berusaha melengkapi semua nyawaku agar tersadar dengan alam sekitar. Kukejap-kejapkan mataku, melihat ke arah dinding, jam 11 siang !, hampir tengah hari. Kulihat sekeliling, tak ada siapa-siapa, sambil menatap langit-langit kamar, kuingat-ingat kejadian semalam, tersenyum, dan itu mengingatkanku akan seseorang, kemana Tante Mala ?
Dengan kamar sebagus ini, rasanya sayang jika harus cepat-cepat meninggalkan ruangan, ingin rasanya aku kembali tidur, namun ada perasaan tak enak menyelimutiku, ingin mengetahui kemana gerangan Tanteku. Bangkit aku dari tempat tidur, duduk dipinggiran sofa, tak sengaja mataku menatap secarik kertas, ada tulisan disana, kuhampiri, kuambil dan kubaca Fan, Tante pagi ini pergi ke kantor pelabuhan dengan Om Herman, kamu tunggu aja disini, temenin Tante Sandra. Mungkin Tante kembali sore, nerusin kerjaan yang semalam, T. Mala demikian tulisan pada kertas putih kecil itu terbaca.
Aku mengdengus perlahan, mengingat kejadian semalam, dimana Tante Malaku dan Om Herman tampak sangat mesra, seprti layaknya orang yang berkasih-kasihan, ada rasa sebal, kesal bila mengingat semua itu, namun aku seperti layaknya anak kecil yang tak mampu berbuat apa-apa. Terdiam aku sejenak, namun akhirnya aku putuskan untuk menyegarkan badan, mandi.
Selesai mandi, mulanya aku memutuskan untuk diam saja seharian di kamar bungalow ini, mengistirahatkan badanku, menonton tivi, apa saja sambil menunggu kedatangan Tante Mala, namun karena kulihat hari masih panjang, ada rasa bosan menghampiriku, akhirnya aku memutuskan untuk keluar, ke bungalow sebelah, untuk melihat atau menengok keadaan Tante Sandra.
Hmm
, Tante Sandra, aku jadi ingat kejadian semalam, dimana aku menggerepe dan menggumuli badan Tante Sandra, ada rasa berdesir dihatiku, ingin merasakan lagi. Ada rasa takut dan khawatir jangan-jangan tante Sandra tahu apa yang kulakukan semalam terhadapnya. Namun dihati kecilku yang lain ada keyakinan bahwa hal itu aman-aman saja.
Dari pintu bungalowku, kulihat bungalow Tante Sandra tampak tertutup rapat, membuatku berpikiran, adakah orang didalamnya, namun rasa keingintahuan membuatku melangkahkan kaki, setelah mengunci pintu bungalowku. Kuketuk perlahan pintu kamar bungalow tersebut, tidak ada sahutan dari dalam, tapi sayup-sayup kudengar seperti ada suara air memancar, kupikir pastilah Tante Sandra sedang berada dikamar mandi, mungkin tidak mendengar ketukan pintu ini.
Kubuka perlahan pintu, benar, ternyata tidak dikunci, kupangggil-panggil nama Tante Sandra, Tan.. Tan... sambil melongokkkan kepalaku kedalam bungalow tersebut. Kulihat tak ada seorangpun disana, namun terdengar suara sahutan dari dalam, diiringi dengan suara air memancar. Iya... Siapa ? Fandi ya ? .. Masuk aja Fan, Tante lagi mandi dulu sahutnya. Iya Tan, ini Fandi, ya udah tante mandi aja dulu, biar Fandi tunggu diluar jawabku lagi, Aku memutuskan untuk menutup pintu kembali, dan menunggunya duduk dibangku luar bungalow, namun tiba-tiba kudengar lagi suara dari dalam. Di dalam aja Fan, ga papa kok, Tante gak lama ini, kalau kamu mau minum atau apa, ambillah sendiri, diluar panas kudengar suara Tante Sandra. Aku diam sejenak, dan akhirnya kuputuskan untuk menunggunya di sofa di dalam ruangan kamar tersebut.
Aku duduk, memandang keliling ruangan dalam tersebut, kulihat meja masih dalam keadaan acak-acakan, terdapat sisa-sisa minumanku semalam, nampaknya belum dirapihkan dan dibereskan, sama seperti ruangan bungalowku serta yang membuatku tersenyum adalah kulihat seprei nampak acak-acakan dan itu membuatku teringat akan kejadian semalam, hingga tanpa kusadari dedeku ikut tersenyum, manggut-manggut dan mengeras. Kuarahkan pandanganku kearah depan, ke arah sumber suara air, mataku seakan berhenti menatap, kulihat nampak pintu kamar mandi terbuka lebar, aku bertanya2 dalam hati, apakah Tante Sandra lupa untuk menutup pintunya atau memang sengaja ia buka, sehingga walaupun dari samping aku bisa melihat sedikit ke arah dalam, dan mungkin apabila aku bergeser sedikit saja, mungkin aku bisa melihat lebih jauh kedalam kamar mandi.
Pikiran isengku mulai timbul, ada rasa ingin tahu yang lebih mendalam, rasa penasaran, untuk melihat Tante Sandra mandi, entahlah seperti kakiku menyuruh melangkah, untuk melihat lebih jauh, daripada sekedar mendengar bunyi air memancar. Tan, minta minum ya ? teriakku, jelas kutujukan kepadanya, namun tak kudengar jawaban apa-apa, aku menghampiri sedikit pintu kamar mandi, dari arah samping, sedikit menengok ke arah dalam. Mataku sejenak terpaku, kulihat ke arah dalam tampak Tante Sandra sedang berdiri di atas bathtub, nampaknya beliau kulihat seperti sedang memutar keran dan menikmati air yang memancar ke tubuhnya. Terbelalak aku menyaksikan tubuh putih cantik, telanjang bulat, dengan cahaya yang cukup terang, sepertinya sengaja menyuguhkan kepadaku tontonan yang membuat hatiku deg-degan, dari tempatku berdiri, walaupun cukup jauh, namun terlihat jelas.
Tante Sandra seolah cuek dengan keadaanya, tak malu-malu untuk bugil meskipun beliau tahu ada orang lain di dekatnya, nampaknya beliau sudah terbiasa akan hal ini. Namun jelas buatku tidak, otomatis pikiran ngeresku keluar, seolah tak ingin melepaskan pemandangan indah ini. Di hatiku seakan ada dorongan kuat, untuk menerobos masuk, dan dihati lain ada rasa takut, jangankan menerobos masuk, ketahuan aku mengintipnya aja, ada rasa tak enak.
Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan menunggunya, aku duduk dan menyalakan televisi, sengaja aku bergeser lebih ke dalam, sehingga dari tempatku duduk, dan melihat ke kaca ruangan, aku masih dapat mengintipnya mandi.
Sambil melihat ke arah televisi, aku melirik ke dalam kamar mandi, kulihat tampaknya beliau sudah selesai, menggosok-gosokkan badannya dengan handuk dan kemudian membungkusnya. Namun ada hal yang membuat aku aneh, adalah sepertinya beliau tidak peduli dengan payudaranya, Tante Sandra tidak menutupinya dengan handuk, beliau hanya melilitkan handuk sebatas pinggang kebawah saja, tidak seperti layaknya perempuan kebanyakan, jelas ini membuat mataku makin melotot.
Tante Sandra sepertinya sengaja memancing-mancing diriku untuk memperhatikannya, untuk memperhatikan dan menikmati buah dadanya yang indah, menggantung, besar. Seakan berkata kepadaku, Fan, bagus gak tetek Tante, coba deh kamu pegang2, bagus dan masih kencang kan ?, duh, seandainya dia berkata begitu, jangankan disuruh pegang, mencium, meremas dan melumatnya pun aku mau
hehehe
ngarep.
Tak lama beliau keluar dari kamar ganti, dengan cueknya, seakan-akan tidak ada aku disitu, beliau berjalan, melenggang, melewati depanku, tersenyum dan melangkah menuju kaca didekat pembaringan. Mengambil pakaian di koper, memakai Bh-nya, sambil terus menatap kaca didepannya, seolah tak perduli bahwa aku memandangi dan memperhatikannya. Rambut panjangnya yang lurus tergerai, basah, menggambarkan kesegaran dari yang empunya, membuatku makin bergairah, cantik dan seksi sekali Tante Sandra. Aku hanya menatapnya penuh takjub, ingin sekali aku menyentuhnya, merabanya dan memeluknya. Namun tak ada keberanian dari diriku. Aku membayangkan, bagaimana seandainya aku nekat untuk memeluknya, dengan paksa, mencium lehernya, menjamahnya, meraba2 payudaranya dan memaksanya untuk bersetubuh denganku, marah gak ya ?
aku hanya terdiam, tak ada keberanian untuk itu, berpaling ke arah televisi, kulihat Tante Sandra berdandan, cantik di siang bolong seperti ini, dan seperti ingin memecah kesunyian, aku berkata kepadanya, Tan, maaf semalem Fandi ngantuk banget, jadi Fandi pindah ke sebelah , kataku kepadanya. Oh Ya Fan, gpp, lagian juga sama, Tante ngantuk banget, sampe gak Tau Om Herman pulang, kamu bangun jam berapa Fan ? tadi tante lihat kamu gak keluar-keluar.. jawabnya lagi dan sambil memandangku. Bertatapan dengan matanya membuatku malu, aku menundukkan kepala, seolah menghindari sorotan matanya, takut dia akan menanyakan kejadian semalam yang membuat dirinya basah. Aku menjawabnya bahwa aku sepertinya semalam lelah sekali, sehingga aku tidur terlelap, dan membuatku bangun kesiangan. Jelas aja, wong semalem aku kerja keras sendirian, heheheh
Tante Sandra menanyakan kepadaku apa rencanaku hari ini, sambil menunggu Tante Mala dan Om Herman kembali, aku hanya mengangkat bahu dan mengatakan bahwa aku mungkin hanya tidur2an saja dikamar dan mungkin keluar untuk mencari baju salin sebagai pengganti bajuku yang mungkin sudah bau dan lecek ini. Beliau nampaknya antusias dengan jawabanku, Tante Sandra berkata kepadaku bahwa ia ingin ikut, sekalian melihat-lihat dan barangkali ada sesuatu yang dapat dibeli, dan aku mengiyakannya.
Selesai berdandan, beliau hari itu memakai baju kaos ketat, berbelahan dada sangat rendah, dengan rok mini ketat, layaknya seorang remaja, aku hanya tersenyum melihatnya, cantik dan seksi sekali, beliau mengatakan kepadaku bahwa berangkatnya setelah makan siang saja, mudah-mudahan sudah tidak panas katanya.
Seperti yang telah disepakati, akhirnya kami berangkat keliling kota, aku memang berniat mencari pakaian pengganti, terutama pakaian dalamku, yang dari kemaren aku tidak ganti, malah sekarang udah aku pakai Side-B nya, lumayanlah biar gak gatel. Kalo aku tidak menemukan penggantinya, wah parah nih, bisa balik ke Side-A lagi kaya kaset didengerin terus, biar cepet hapal.
Aku menggunakan mobil Tante Mala yang kupakai kemarin, karena kali ini kami berdua saja, maka Tante Sandra duduk disebelahku, duh, cantik sekali, dengan kaos warna coklat berbelahan rendah, jelas banyak orang yang menatap iri kepadaku, seperti pada saat kami makan di restoran tadi, jelas hal ini juga makin membuat otakku pusing tak karuan.
Kami berputar-putar mengelilingi pusat kota, ke pusat perbelanjaan yang tidak banyak disana, tidak ada mall seperti yang kubayangkan, hanya sebuah pasar tradisional, mulanya aku ragu untuk turun dan membeli keperluanku, aku takut kalo Tante Sandra ikut turun dan menjadi tontonan orang dengan pakaian seperti itu, mungkin akan banyak pria-pria iseng yang menggodanya, bersiul nakal. Namun akhirnya kekhawatiranku tidak terjadi, Tante sandra mengatakan kepadaku bahwa ia hanya akan menungguku dimobil saja, sementara aku berbelanja.
Setelah mendapatkan barang yang aku cari, aku kembali menuju mobil, kulihat Tante Sandra setia menungguku, padahal aku cukup lama juga mencari barang yang kuinginkan. Aku menanyakan kepadanya, kemana lagi kami menuju, hari masih siang sedangkan Om Herman dan Tante Mala mungkin akan kembali sore. Kami berpikir sejenak, hendak keliling lagi, sepertinya kota ini tidak ada apa-apa lagi yang enak untuk dikunjungi, mencari tempat makan, kami barusan aja makan, akhirnya setelah cukup lama berpikir, kami memutuskan untuk mengarahkan kendaraan menuju kantor Om Herman, mungkin kami bisa lihat-lihat kesana, dan membantu bila diperlukan.
Kulirik jam dipergelangan tanganku, waktu menunjukkan beberapa menit kurang dari jam 2 siang, perlahan aku melajukan mobil ke arah pelabuhan, tempat dimana gudang penyimpanan produk usaha Om Herman berada. Seperempat jam kemudian kami telah sampai, memasuki gerbang pelabuhan menanyakan dimana lokasi gudang berada, menyusuri pingiran laut dengan baunya yang khas tercium sejak kami memasuki lokasi ini. Kulihat sebuah gedung layaknya perkantoran disana, hari ini memang hari libur, jadi tidak banyak kegiatan disana, kulihat mobil Om Herman terparkir di salah satu pinggiran gedung. Heran aku dengan keadaaan sekitar, ada perasaan tak enak, karena tidak kulihat seorangpun yang berada di sekitar gedung tersebut.
Aku memarkirkan mobil agak jauh memang dari lobby gedung, karena hanya sebatas inilah mobil yang kukendarai harus berhenti, beberapa puluh meter dari pintu gedung. Dari parkiran mobil kami berjalan menuju ke lobby dan ke dalam gedung, untunglah Tante Sandra sering kesini dan mengetahui ruangan mana Om Herman biasanya bekerja. Tak ada seorangpun di lobby gedung, jadi kami terus saja melangkah menuju dimana ruangan Om Herman berada.
Berjalan melewati lorong-lorong, untunglah ruangan Om Herman berada dilantai bawah, jadi kami tak perlu capek-capek untuk menaiki tangga di hari yang panas ini. Didalam gedung serasa dingin menghantar, AC sentral yang terpasang diseluruh ruangan gedung, sepertinya tidak dimatikan, sehingga seluruh gedung terasa sejuk.
Beriringan aku dan Tante Sandra melangkah, tangan Tante Sandra seperti biasanya, bergelayut menggamit di lengan bahuku. Sepi sekali gedung ini, beberapa langkah kami mencapai pintu ruangan kerja Om Herman, kudengar seperti ada suara-suara berbicara. Tante Sandra menempelkan telunjuknya di bibirnya, memberi isyarat kepadaku agar tak bersuara, ia membisikkan kata-kata di telingaku bahwa ia akan mengagetkan keduanya, memberi surprise katanya.
Kami melangkah pelan, seperti berjinjit agar tidak bersuara, pelan2, kami berjalan menuju pintu yang dimaksud. Ketika beberapa langkah menjelang, suara-suara yang kudengar seperti orang berbicara tadi, sepertinya bukan merupakan rangkaian kata-kata layaknya orang berbicara, namun yang kudengar semakin jelas adalah bahwa itu merupakan suara desahan dan lenguhan halus dengan disertai jeritan-jeritan kecil.
Aku menghentikan langkahku, memegang lengan Tante Sandra, berusaha menghentikan langkahnya, menyuruhnya diam. Tante Sandra juga sepertinya menyadari akan hal ini, beliau diam, terpaku, sedikit pucat, berdiri mamatung.
Aku terdiam sejenak, berpikir cepat, dan ingin segera memastikan apa yang sedang terjadi diruang itu. Aku memandang Tante Sandra, memintanya untuk diam ditempat, sementara aku menghampiri ruangan itu, dengan melangkah pelan, berjinjit tanpa suara, aku menghampiri jendela yang tertutup gorden, berusaha mengintip dari celah-celah gorden untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Terbelalak aku melihat kedalam ruangan tersebut, dari celah gorden tempat aku berdiri mengintip, kulihat di sofa ruangan tersebut, tampak Tante Mala sedang duduk dipangku oleh Om Herman, kulihat Tante Mala duduk dengan mengangkangkan kakinya di kedua paha Om Herman, sepertinya keduanya sedang bercumbu hebat.
Terpana aku sesaat, kembali wajahku kuarahkan ke Tante Sandra, seolah ingin memberitahukan kepadanya apa yang terjadi, dan kulihat wajah Tante Sandra seperti menunggu kabar dariku. Aku kembali memalingkan muka, memandang ke arah celah gorden ruangan, melihat pemandangan dibalik kaca, memastikan apakah yang kulihat ini benar2 terjadi.
Kuperhatikan beberapa saat, tampak Tante Mala turun dari sofa, membuka bajunya, berbalik dan kembali duduk dipangkuan Om Herman, kali ini posisi duduknya adalah menghadapku, memunggungi Om Herman, duduk diatas pangkuannya. Pantatnya turun naik, sementara Om Herman tampak mendesis-desis sambil memegangi dan meremas payudara Tante Mala.
Sesaat aku terpana, ingin terus menyaksikan tontonan live ini, namun tanpa kusadari disebelahku telah berdiri Tante Sandra, berusaha mengintip dan ingin melihat apa sebenarnya yang terjadi.
Tersadar aku akan keadaan, ngeri jika memikirkan apabila tiba-tiba saja Tante Sandra melabrak masuk, mendobrak pintu, maka mungkin akan terjadi pertempuran besar. Aku bergegas menggamit lengan Tante Sandra, menariknya, melangkahkan kakiku menjauhi ruang tersebut. Berjalan cepat menuju luar gedung, menuju dimana mobil kami diparkir, menyuruhnya masuk kedalam mobil dan menjalankan mobil secepat yang aku bisa, menjauhi tempat itu.
Sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam, memperhatikan Tante Sandra yang duduk disebelahku, terpejam dengan kepala tersandar. Ada rasa campur aduk tak karuan melihatnya, memikirkan apa langkah selanjutnya. Blank rasanya otakku, aku hanya terpaku menatap jalan di depanku, mengarahkan kendaraan melaju entah kemana, hati kecilku hanya dapat mengucap "Aduh Tante......Aduh....."
Kuparkir mobil di area pelataran parkir tempat peristirahtan itu, mencari tempat yang teduh yang aman dan nyaman, menyandarkan kepala sejenak ke sandaran jok. Yang terpikirkan padaku saat ini adalah kembali ke bungalow, mungkin disana kami dapat menenangkan pikiran sejenak. Kulirik Tante Sandra, tampak terpekur menunduk dengan mata terpejam, aku menyadari bahwa sebenarnya beliau tidak tidur, tapi mungkin kalut dengan pikiran-pikiran di otaknya.
Aku membuka pintu mobil, keluar, kembali menutupnya perlahan, kemudian melangkah, mengitari bagian depan mobil, menuju pintu kanan mobil, membuka dengan perlahan, menggamit lengan Tante Sandra seraya mengajaknya turun. Tante Sandra dengan muka lesu, mengikuti ajakanku. Aku membimbingnya berjalan keluar areal parkiran dan menuju bungalow tempat kami menginap.
Berjalan melangkah pelan, terdiam seribu bahasa, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, menyusuri jalan berbatu yang tampak masih panas akibat sengatan matahari, menunduk, memikirkan apa yang terjadi dan apa yang harus kami lakukan.
Tante Mala dan Om Herman, aku sama sekali tidak menyangka bahwa mereka terlibat cinta terlarang. Ada perasaan kesal, sedih, sesak campur aduk di hatiku, aku yang sangat menghormati dan menyayangi Tante Mala, yang harus kulindungi dikala Om Mirza pergi, ternyata membuat perselingkuhan dengan Om Herman, teman bisnisnya. Namun disisi lain ada rasa cemburu dihatiku, kenapa harus dengan Om Herman ?, kalau memang hanya sekedar kebutuhan seks, kebutuhan akan birahi yang terpendam, kenapa harus dengan dia ? kenapa tidak dengan Aku ? aku mungkin juga sanggup untuk memuaskannya !. Memang Om Mirza, dengan segala aktifitasnya yang selalu keluar kota, mungkin ini menyebabkan akan tuntutan hasrat birahi Tante Mala kurang terpenuhi, yang jelas aku sangat menyayangkannya.
Kupapah Tante Sandra, membuka pintu bungalow yang terkunci, membiarkannya melangkah. Aku menutup pintu kamar bungalow itu, ikut masuk kedalam dan menutupnya kembali. Kulihat Tante Sandra melangkah pelan, duduk dipinggiran ranjang, menunduk, terdiam.
Aku hanya memperhatikannya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, baik untuk membuka percakapan ataupun berkata-kata untuk menenangkannya.
Tak lama kemudian, beliau bangkit berdiri, penuh tanda tanya aku memandangnya, ia seolah tak menyadari bahwa ada aku didalam kamar tersebut. Aku terperangah dibuatnya, melihat apa yang dilakukan oleh Tante Sandra. Kulihat Tante Sandra perlahan membuka bajunya, membuka kaos ketat coklatnya, disusul kemudian dengan rok mini ketatnya, berikut celana dalamnya. Aku semakin terperanjat.
Kulihat beliau berjalan melenggok, membelakangiku, menuju lemari pendingin yang ada di dekatnya, membungkuk mengambil minuman didalamnya. Kuperhatikan dari botol minuman tersebut, itu adalah jenis minuman beralkohol kadar tinggi, meneguknya beberapa kali, seakan-akan haus mendera, cukup untuk membuatnya mabuk, dan semua itu dilakukan didepanku tanpa busana.
Aku hanya terpaku melihat keadaannya, ada rasa iba, kasihan, namun aku tak tahu apa yang harus kulakukan, kulihat ia meneguk minuman dalam botol itu beberapa kali lagi, kemudian meletakkannya diatas meja kecil disamping tempat tidur, dengan muka tampak kusut dan pandangan kosong, seakan tak peduli aku ada disitu melihatnya, memandanginya, memperhatikan segala tingkah lakunya, dan seakan memancing birahiku untuk bangkit.
Menghampiri pembaringan, Tante Sandra mengangkat kakinya, menjejakkan lututnya merangkak ke atas tempat tidur, makin terpana aku dibuatnya. Paha putih, mulus, panjang, bulat, mantap membelakangiku, seolah ingin memberi tahukan kepadaku bahwa beliau mempunyai sesuatu yang sangat indah, menyesallah orang yang mengabaikannya. Menyesallah Om Herman dengan apa yang telah dimilikinya namun tidak dimanfaatkannya.
Tenggorokanku serasa tercekat, lidahku serasa kering, tak mampu mengeluarkan suara apapun, pandanganku semakin gelap dan nanar, melihat pemandangan yang disuguhkan kepadaku, otakku semakin butek, ngeres, sementara sang iblis berbisik-bisik ditelingaku untuk memanfaatkan kesempatan, seolah memberikan persetujuan dan pembenaran kepadaku untuk melakukan sesuatu.
Aku bergerak bangun, kuhampiri tempat tidur dimana badan Tante Sandra rebahan, Tante Sandra melihatku sekilas, memandangku dengan pandangan kosong, menatapku seakan memintaku untuk mengerti apa yang sedang terjadi padanya, mengetahui apa yang berada dalam pikirannya.
Aku menghampiri meja kecil disamping tempat tidur itu, mengambil sisa minuman yang tadi diminumnya, meneguknya beberapa kali hingga tandas tak tersisa.
Aku duduk disisi tempat tidur, didekat kakinya, memandangnya yang tidur tertelungkup, memperhatikan setiap lekuk tubuhnya. Kuperhatikan matanya menerawang entah kemana, seakan tak sadar akan keadaan dirinya. Terdiam, tak peduli aku duduk didekatnya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, kuperhatikan wajahnya, lesu, sendu, seperti hendak menangis, kemudian tersenyum sesaat, meringis, seolah akan berteriak namun tak terlaksana.
Tiba-tiba seakan terkaget, ia membalikkan badannya, telentang, menghadap keatas. Matanya kini memandangku dengan sayu, melihat kearah mataku dengan sorot matanya yang memelas.
Aku terpana menatapnya, ingin sekali aku memeluknya namun aku tidak mempunyai keberanian, aku hanya berani menatapnya, memandangnya saja. Tante Sandra mengangkat kedua tangannya, mengarahkannya ke kedua payudaranya, memegangnya. Aku hanya berani menatapnya, kulihat ia meraba-raba kedua payudara yang montok, besar, putih dan kencang itu, meremas-remasnya sendiri, meraba kedua putingnya. Aku hanya terpaku menatapnya.
Tak lama kemudian Tante Sandra mengangkat badannya, beringsut seakan menghampiri diriku, memindahkan posisi badannya, kini kepala beliau berada di dekatku. Tersenyum menatapku, seakan ingin mengajakku berbicara, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menatapku tajam, menghampiri diriku yang terpaku didekatnya.
Didekatinya diriku, mendudukkan dirinya, dirangkulnya bahuku, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kurasakan hawa napas memburu di wajahku, hembusan napas tak teratur keluar dari hidung Tante Sandra, semakin dekat dan semakin panas. Entah aku harus bertindak apa, aku hanya diam terpaku, malah kini kurasakan bibirnya menyentuh bibirku, menempel dan mengecup perlahan. Aku membuka mulutku ketika kurasakan ada dorongan lidah keluar dari mulutnya, kumiringkan wajahku dan tanpa aku sadari aku membalas ciumannya.
Kami berciuman lama sekali, tanganku tanpa kusadari ikut bermain, memeluk punggungnya, mengarahkan kebelakang kepalanya, agar lebih menekannya untuk memberikan tekanan agar lebih merapat ke kepalaku. Entah dari mana datangnya keberanian aku memegang bahunya, mendorongnya kebelakang, jatuh terlentang, menjauh dariku.
Namun itu bukanlah penolakan dariku, aku kini malah menindihnya, memeluknya dengan kencang dan kembali menciumi bibirnya. Tante Sandra tampak terengah-engah, matanya kulihat semakin sayu. Aku memindahkan ciumanku dari bibirnya, kini kuarahkan kearah lehernya, menciuminya beberapa saat, dan kini aku memindahkan sasaran ciuman ketempat yang aku suka. Aku menciumi kedua payudaranya, perlahan berputar mengelilingi putingnya, dan kemudian mengecup kedua putingnya. Tampak wajah Tante Sandra makin tidak karuan, desahan-desahan halus terdengar, mengingatkanku akan desahan-desahan yang kudengar tadi di tempat kerja Om Herman, desahan Tante Mala.
Aku semakin meradang, kumainkan lidahku di ujung puting kanannya, sementara kedua tanganku meremas-remasnya, mengecupnya lagi dan kemudian kuhisap perlahan, perlahan, dan kesentakkan untuk menghisapnya secara keras. Terdengar lenguhan dari mulut Tante Sandra, sepertinya ia menikmati permainanku. Dan aku sepertinya ingin memberinya kenikmatan yang diinginkan, seolah ada rasa dendam dari diriku, ingin membalas perbuatan Om Herman terhadap Tante Mala, dengan menyetubuhi istrinya.
Kuhentikan sasaranku pada payudaranya, kini kuarahkan ciuman bertubi-tubi ke arah bawah dadanya, keperutnya, terus kebawahnya. Menuju gundukan yang menonjol diatas selangkangannya, ditumbuhi bulu-bulu halus yang cukup lebat. Aku merabanya, merasakan tonjolan daging tersebut, menciuminya perlahan, kuangkat kepalaku sebentar untuk melihat ekspresinya, kulihat ia mengengadahkan kepalanya memegang salah satu kepalanya dengan tangannya, seakan sangat menikmatinya.
Tampaknya Tante Sandra semakin terlena, sekarang kuciumi bagian dalam pahanya, menelusurinya dengan lidahku, menjilatinya. Bunyi napas tak teratur diiringi dengan suara lenguhan dan desahan-desahan semakin keras kudengar, dan semakin membangkitkan gairahku, penisku semakin keras dan tegang. Kurasakan gelinjang tubuh Tante Sandra, menggeliat-geliatkan kepalanya ketika lidahku menyentuh bagian dalam selangkangannya. Kurasakan ada cairan membasahinya, kuraba dengan jari-jariku, meraba-raba dan mengucek-uceknya perlahan, dan sedikit-sedikit kumainkan jariku disana.
ahh.. kudengar suara desahan semakin jelas, tak ada rasa sungkan lagi untuk merasakan kenikmatan, tiba-tiba ia bangkit dari posisinya yang rebahan, mengangkat kepalnya dan mendorongku agar jatuh terlentang, aku kaget dan khawatir, sepertinya ia hendak menghentikan semua ini.
Namun kekhawatiranku tidak terbukti, kutatap wajahnya, ia menatapku balik, tak perduli, merangkak melewati kakiku, mendudukkan pantatnya di atas selangkanganku. Tanpa berkata apa-apa, ia mengangkat pantatnya dalam posisi jongkok, memegang penisku yang telah tegang dan mengeras sejak tadi. Rupanya Tante Sandra sudah tidak sabar, ingin segera mamasukkan penisku kedalam vaginanya.
Pelan tapi pasti, ia mengarahkan penisku kedalam vaginanya, aku hanya menatapnya, menunggunya. Meleset sekali, dua kali, dan tak lama kurasakan penisku seperti memasuki ruang yang sempit, perat mencengkeram dan basah licin, hangat. Dan tak lama kemudian kulihat tante Sandra mengangkat dan menurunkan pantatnya berulang-ulang, semakin kurasakan kenikmatan penuh sensasi ini.
Tante Sandra terus dan terus menaik-turunkan pantatnya, berulang-ulang, sesekali beliau tidak mengangkatnya namun memutar dan menggoyang-goyangkannya diatasku, kemudian diangkatnya lagi, terus dan terus. Kutatap keatas tampak wajahnya menengadah, seakan-akan sangat menikmatinya, payudaranya yang putih dan ranum dengan putingnya yang mengeras, coklat kemerah-merahan, memancingku untuk memegang dan meremas-remasnya, agar kenikmatan yang aku dan dia alami dapat lebih puas.
Beberapa menit berlalu, tampak Tante Sandra menjerit kecil, sepertinya beliau sudah mencapai orgasmenya, menjatuhkan badannya diatas dadaku, memelukku dan menciumiku sambil mengeluarkan suara desahan yang sulit keterjemahkan. Aku terdiam sambil membalas pelukannya, aku belum merasa puas, belum merasakan klimaks dari persetubuhan ini, dan aku ingin mendapatkan lebih.
Kebalikkan tubuh tante Sandra disisiku, kini berbalik aku berada diatasnya, Tante Sandra sepertinya berusaha mencegahku, mungkin merasa bahwa ia belum siap setelah orgasmenya tadi, namun aku tak perduli, segera saja kuarahkan moncong kejantananku ke lobang vaginanya.
Menerobosnya, selagi lubang itu masih dalam keadaan licin, kurasakan penisku lebih hangat dari sebelumnya, mendorongnya perlahan hingga kepangkalnya. Pelan-pelan kudorong, dengan menaikkan dan menurunkan pantatku, sehingga penisku otomatis keluar masuk, bergesek-gesek dengan vaginanya, semakin lama semakin cepat.
Tampaknya Tante Sandra mulai kembali lagi merasakan kenikmatan, kini desahan-desahan dan lenguhan-lenguhan mulai menghiasi lagi suara-suara yang keluar dari mulutnya, dengus napas tak teratur mulai terasa lagi, aku makin ganas, mengocok-ngocokan penisku didalam vaginanya. Membuatnya semakin terlena.
Aku menaik-turunkan pantatku, mengocok-ngocokkan penisku didalam vaginanya, cepat dan semakin cepat. Menindih badannya dengan badanku, memeluknya erat, diselingi ciuman-ciuman ganas disekujur tubuhnya, dibibirnya, dilehernya, didadanya. Kadang aku menyentuh, meraba payudaranya, meremas-remasnya, memainkan putingnya. Memelintirkannya dengan mulutku, dan kadang menggigit pelan keduanya, bergantian, dan itu jelas semakin membuatnya kalang kabut tak karuan. Menggelinjang-gelinjangkan badannya, menggeleng-gelangkan kepalanya kanan kiri.
Entah ide dari mana, ketika sedang asyiknya memaju mundurkan penisku, tiba-tiba aku menghentikan kegiatanku tersebut.
Tante Sandra memberikan reaksi dengan menjerit perlahan, seolah memprotes akan apa yang aku lakukan. Aku meringis melihat reaksinya, ia seolah memohon agar aku melanjutkan apa yang telah aku lakukan, menggenjotnya kembali. Aku mengiyakannya, namun aku memintanya untuk membalikkan badannya, menyuruhnya untuk menungging, mengangkat pantatnya membelakangiku dan aku akan mengarahkan penisku dari belakang, ke lobang vaginanya.
Ia menurutiku, membalikkan badannya, menungging, diam aku sesaat, memandang pantat bulat, montok, munjung ini dihadapanku, pantat indah yang semula hanya menggodaku, dan aku hanya bisa memandangnya saja, kini telah tersuguh dihadanku, malah menyuruhku untuk merasakannya, menikmatinya. Aku mengarahkan penisku tanpa menunggu lama, memasukkan kedalam vaginanya dengan segera, perlahan kudorong dan memasukkannya sekaligus. Tante Sandra menjerit tertahan, mungkin kaget merasakan sentakan dari penisku, aku tersenyum kemudian menariknya perlahan, tampak Tante Sandra terpejam menikmati gerakanku.
Aku memeluknya dari belakang, seakan aku ingin menikmati sekujur tubuhnya tanpa ada yang terlewatkan. Aku memaju-mundurkan pantatku, agar penisku yang berada didalam lobang vaginanya bergesekan keluar masuk. Memeluk sambil menciumi punggungnya, memegang payudaranya dari belakang, meremas-remasnya dengan kasar, dan tidak ada penolakan apalagi perlawanan dari Tante Sandra. Kadang tanganku menarik rambut panjangnya yang tergerai, berusaha memalingkan mukanya agar menghadap diriku, menyorongkan bibirku agar Tante Sandra merasakannya, menciumi bibirku, mengadu lidah dengannya.
Tante Sandra seakan mengerti keinginanku, beliau juga sepertinya ingin mendapatkan sensasi lebih, yang mungkin sering didapatnya dari suaminya namun tidak dapat memuaskannya. Entah berapa lama kami melakukan itu, kuakui memang bila dilakukan dari belakang, rasa cengkeraman lobang vagina terhadap penisku semakin keras, seperti berat untuk dimaju mundurkan, namun biar bagaimanapun ini harus cepat dilakukan, aku takut bila sewaktu-waktu, pada saat aku belum mencapai titik puncak kenikmatan, Tante Mala dan Om Herman datang, entah apa jadinya.
Aku mempercepat goyanganku, cepat, dan semakin cepat, tante Sandra mungkin tahu akan keinginanku, kulihat beliau juga sudah mendesah-desah tak karuan, seakan sedang menjelang orgasmenya lagi, ia semakin ganas, menggoyang-goyangkan pantatnya kekiri dan kekanan, agar cengkeraman terhadap dedeku mungkin menjadi-jadi, aku kadang menepuk-nepuk dan meremas-remas pantat besar dengan pinggang kecil ini, menciumi punggungnya lagi.
Aku kembali menarik kepala Tante Sandra, merengkuhnya agar aku dapat menciuminya lagi, mungkin kalau ada yang menyaksikan, aku sepertinya sedang menyiksa wanita ini. Tersenyum aku membayangkannya, sementara peluh sudah bercucuran membasahi tubuh kami berdua. Aku terus menggenjotnya
terus
.dan terus
.
Hinga beberapa waktu kemudian kurasakan denyutan diujung penisku, lava panas siap memancar, memuncratkan seluruh isinya, sementara Tante Sandra juga sepertinya akan mengalami hal yang sama. Namun kemudian kulihat Tante Sandra lebih dulu sampai pada puncak orgasmenya, beliau kulihat menengadahkan kepalanya, menjerit tertahan dan kemudian menundukkan kepalanya. Aku takut beliau akan segera menarik pantatnya dari tusukan penisku, aku memegang pinggangnya, seperti menyuruhnya untuk bersabar sesaat, memaju mundurkannya dengan cepat, cepat dan makin cepat. Tante Sandra memahamiku ia membiarkan pantatnya, menggoyang-goyangkannya, menunggu aku mencapai klimaksku.
Beberapa menit kemudian, kurasakan sesuatu akan melesak keluar dari lobang penisku, kupercepat gerakanku, untuk kemuntahkan muatannya ke dalam. Kupegang erat kukocok-kocokan sebentar, kemudian kumuntahkan cairan putih kental, ke rahimnya. Sesaat aku memandang cairan yang meleleh di pahanya, selanjutnya kurebahkan badanku, meraih tubuh Tante Sandra agar ikut rebah disampingku. Tante Sandra menempatkan kepalanya di dadaku, tersenyum kepadaku, mencium pipiku, seakan berterima kasih kepadaku karena telah memberikan kenikmatan kepadanya serta membalaskan perbuatan OM Herman.
Aku memandang wajahnya, membalas senyumannya, membayangkan bahwa baru kali ini aku mendapat kepuasan dari seorang wanita paruh baya, yang sangat cantik, dengan tubuh yang sangat menggiurkan bagi setiap laki-laki, yang mungkin hanya orang-orang kaya saja yang layak mendapatkan tubuh seperti ini. Namun hari ini, seorang wanita paruh baya, yang sangat cantik, bersuamikan seorang pelaku bisnis yang bonafid, menyerahkan tubuhnya kepadaku, seorang pria yang jauh dari tampan, dan boro-boro mapan. Terdiam dan melamun aku untuk sesaat, tiba-tiba kusadari bahwa apabila sekonyong-konyong Tante Mala dan Om Herman kembali dari perginya dan melihat keadaan kami berdua seperti ini, mungkin akan fatal dan menambah masalah semakin runyam. Aku menggeserkan badanku dari badan Tante Sandra, seolah meminta ijin kepadanya bahwa aku akan meninggalkannya, dan Tante Sandra sepertinya mengerti, membiarkanku turun dari ranjang.
Aku mengambil bajuku yang berceceran di tempat tidur itu, mengenakannya, memandang sekilas ke arah kaca, memastikan diri sudah rapi dan berjalan kearah pintu. Membuka pintu tersebut dan sekali lagi memandang wajah Tante Sandra, melihatnya tersenyum kepadaku, menutup pintunya dan berjalan kearah bungalowku.
Didalam kamar aku merenung membayangkan kejadian-kejadian tadi, masih terbayang jelas diwajahku, urutan-urutan kejadian dari semenjak kami datang hingga saat ini. Entahlah, pikiranku sepertinya kosong, aku berusaha memejamkan mataku, memaksakannya supaya hilang dari bayangan-bayangan tersebut. Kulihat dari celah-celah gorden, hari telah menjelang senja. Akhirnya kuputuskan untuk mandi, membersihkan sisa-sisa yang menempel ditubuhku, menyegarkan badan.
Beberapa menit aku berendam didalam bathtub, kadang aku melamun, memikirkan sesuatu, namun entah apa, kosong. Aku melanjutkan mandiku, menggosok-gosokan badan, dengan sabun dan shampoo yang telah disediakan oleh tempat itu, memastikan bahwa dibadanku tidak ada bekas-bekas pertempuran tadi. Cukup lama juga aku melakukan ritual ini.