Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Part 2. Nostalgia Masa Kecil

Inaya sedang bercermin di meja rias miliknya. Memoles make up tipis di wajahnya agar terlihat lebih segar. Bara yang baru selesai mandi, keluar hanya dengan menggunakan celana bokser dan handuk yang ia dipakai untuk mengeringkan rambut.

Senyum tersungging di bibirnya mengingat kejadian semalam. Inaya betulan menepati janjinya. Masih terbayang-bayang bagaimana Inaya pasrah di bawah kungkungan Bara. Bagaimana desahan-desahan manja keluar dari bibir manis milik istrinya.

Itulah kenapa Bara sangat bersemangat pagi ini. Dia mendekati istrinya yang tengah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dia peluk istrinya lalu menghujani pipi Inaya dengan ciuman.

"Mas, aku udah dandan, loh. Mau diberantakin lagi?" protes Inaya. Karena ulah suaminya, jilbab yang sudah rapi jadi agak sedikit naik ke atas. Inaya terpaksa membetulkan posisi jilbabnya lagi.

"Makasih buat semalem, ya. Nikmat banget," ucap Bara yang membuat muka Inaya bersemu merah. Semalam mereka melakukan aktivitas hubungan suami istri.

Berbeda dengan malam-malam sebelumnya saat Inaya masih tampak kaku dan belum begitu lihai. Wanita itu tampak belajar dengan cepat, meskipun belum seratus persen mahir.

"Udah, mas. Ihhh...pagi-pagi kok manja banget. Nanti telat, loh. Hari ini kan mas berangkat kerja. Itu seragamnya udah aku setrika, tinggal pakai," ucap Inaya seraya melerai tangan suaminya dari tubuhnya.

"Aduh, perhatian banget sih, istriku tersayang. Beruntung deh aku nikah sama kamu. Apa-apa dah disiapin," gombal Bara.

Sekali lagi dia mengecup ujung bibir Inaya lama. Kali ini wanita itu pasrah dan diam saja. Tapi bola matanya menatap pojok ruangan dengan raut jengah. Memang suaminya yang satu ini paling ngeyel kalau sudah dibilangin. Untung saja hanya dicium, bukan diunyel-unyel. Bisa berantakan make up-nya.

"Udah, mas. Nanti gak selesai-selesai, loh. Aku bisa terlambat nanti."

"Ah, kalo ditegur tinggal bilang aja lagi melayani suami yang perkasa ini. Mereka pasti maklum kan pengantin baru."

Mata Inaya sontak membulat mendengar ucapan Bara. Kalau itu sampai terjadi bisa-bisa dia jadi bahan tertawaan rekan kerjanya sampai satu minggu ke depan.

"Iya deh, iya. Tapi nanti malem lagi, ya?" kata Bara kemudian setelah mendapatkan lirikan tajam dari Inaya. "Hmm..." Karena malas mendebat, wanita itu pun bergumam sambil mengangguk kecil yang membuat senyum di bibir Bara semakin lebar.

Setelah sama-sama berpamitan, Inaya berangkat menggunakan motor miliknya yang sudah setia menemani selama tiga tahun ini. Nafasnya berlangsung lega setelah berhasil lepas dari cengkraman macan yang sedang buas-buasnya.

Ternyata Inaya berangkat tidak terlalu kesiangan. Terbukti secara kebetulan saat memarkirkan motor dirinya bersebelahan dengan Ibnu memarkirkan motor. Entah kebetulan atau memang disengaja oleh lelaki itu.

"Assalamualaikum, Nay. Selamat pagi," sapa Ibnu ramah.

Inaya menoleh sekilas sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Waalaikumusalam," balasnya sekilas

Dia buru-buru menaruh helmnya di spion sebelah kanan lalu dengan cepat turun dari motornya dan beranjak dari situ.

"Duh, kenapa sih bisa pas banget datengnya!" gerutu Inaya dalam hati. Dia kembali berjalan lebih cepat.

Tapi rupanya Ibnu pantang menyerah. Dia berlari kecil hingga mampu meraih pergelangan tangan Inaya.

Wanita itu sontak terkejut menghadapi kelakuan Ibnu yang amat nekat itu. Inaya dengan kasar menarik tangannya lepas dari Ibnu.

"Apa-apaan sih, pak Ibnu! Jangan kurang ajar!" Inaya murka. Bagaimana tidak, dia sudah menikah. Seenaknya saja pegang-pegang tangannya, apalagi ini di lingkungan sekolah. Pasti orang lain akan berpikiran negatif.

"Maaf, Nay. Bukan maksud aku kurang ajar sama kamu. Tapi kenapa kamu jadi seolah menghindar dari aku?"

"Harusnya bapak tau kalo saya ini sudah menikah. Sudah sewajarnya saya jaga jarak dengan pria lain," omel Inaya yang berubah jadi formal agar Ibnu sadar, mereka tidak sedekat dulu lagi.

Wajah Ibnu berubah nelangsa. Hatinya penuh nestapa. Inaya yang semula marah menjadi kasihan. Tapi apa boleh buat, dia tidak punya pilihan lain. Dia tidak akan bersikap seperti ingin memberikan kesempatan pada Ibnu. Dia ingin menegaskan pada lelaki itu jika dirinya sudah milik orang lain.

Inaya kemudian melangkah meninggalkan Ibnu yang terdiam putus asa. Seperti kehilangan harapan untuk hidup.

Wanita itu masuk ke kantor guru dengan perasaan yang kacau. Tidak dipungkiri jika ada rasa yang masih tersisa untuk pria yang baru saja ia tinggalkan. Meski sempit, tetapi di sudut ruang hatinya masih ada nama laki-laki itu.

"Assalamualaikum, mba Naya. Kok mukanya ditekuk begitu. Enggak habis marahan kan sama misua? Masa pengantin baru marahan," sapa Bu Murniati. Seperti biasa sikapnya penuh percaya diri dengan polesan make up sedikit over.

"Waalaikumusalam, Bu Mur. Enggak kok. Saya baik-baik aja." Inaya menaruh tasnya di kursi meja tempatnya bekerja.

"Oh, ya syukur kalo enggak papa. Barusan dicariin sama pak Rahmat." Inaya langsung mengangkat kepalanya setelah mendengar nama itu.

"Kapan?"

"Barusan, sekitar beberapa menit yang lalu, lah. Ditunggu di ruangannya, yah."

"Oh, makasih infonya, Bu. Habis ini saya ke sana." Inaya membungkuk sebentar sambil menarik sudut bibirnya, lalu mengeluarkan barang-barang bawaannya yang dibutuhkan untuk mengajar.

"Duh, pak Rahmat mau apa, ya pagi-pagi begini nyariin aku?" Pikirannya terus bercabang. Suaminya, Ibnu, kini pak Rahmat.

Setelah semuanya rapi di atas meja, Inaya pergi ke ruangan kepala sekolah. Dia mengetuk pintu lebih dahulu.

"Masuk!" ucap dari dalam sana.

Inaya membuka knop pintu. Wajah pak Rahmat yang biasanya sangat melunak ketika melihat siapa yang masuk. Ukiran wajah Inaya benar-benar indah, membuat siapa saja pasti akan terkesima jika melihatnya.

"Ada apa bapak memanggil saya?" Inaya kembali menutup pintu ketika sudah berada di dalam.

"Ah, duduk dulu, Nay," suruh pak Rahmat. Inaya langsung melaksanakan perintahnya.

"Sengaja bapak panggil kamu pagi-pagi, soalnya bapak mau ngobrol soal ibu sama kamu."

Dahi Inaya berkerut. "Ada apa sama ibu, pak?" Inaya mulai menajamkan pendengarannya. Berharap semoga itu bukan kabar buruk.

Pak Rahmat malah terkekeh. "Gak usah tegang gitu, Nay. Ibu gak papa kok."

Inaya menghela nafas dalam. "Kemarin bapak bilang sama ibu kalo bapak ketemu sama kamu. Dia kaget tapi seneng. Katanya dia pengin ketemu sama kamu," ucap pak Rahmat.

"Gitu, ya pak?" Inaya meringis memamerkan giginya yang putih dan rapi.

"Jadi?"

"Emm...kemarin juga saya udah minta ijin sama suami mau jenguk Bu Aminah. Katanya boleh."

Pak Rahmat menegakkan posisi duduknya. Wajahnya terlihat senang. "Beneran? Alhamdulillah kalo gitu. Nanti pulang kerja kamu bisa mampir dong?" Inaya mengangguk sembari tersenyum. "In syaa Allah bisa pak."

"Ya udah. Kamu nanti ikut sama mobil bapak aja. Motormu biar ditinggal di sini aja. Biar nanti kamu gak usah repot-repot ngikutin mobil bapak dari belakang."

"Eh, jangan pak. Saya gak enak masa dianterin bolak-balik."

"Gak papa, Nay. Bapak gak keberatan, kok." Namun Inaya tetap kekeh tidak ingin merepotkan. Pak Rahmat hanya pasrah.

"Ya udah, Nay. Nanti sore kamu kabarin kalo udah selesai. Kita ke rumah bapak sama-sama." Inaya hanya mengangguk.

Setelahnya, Inaya kembali ke meja kerjanya sendiri untuk mempersiapkan mata pelajaran matematika yang dia ampu.

Seharian para guru berkutat dengan pekerjaan mereka. Beruntung Inaya sedang kebagian kelas yang muridnya cukup patuh. Jadi tidak terlalu makan hati.

Setelah menyelesaikan kelas terakhirnya di hari itu, Inaya mengambil ponselnya. Mengirim pesan kepada pak Rahmat. "Saya sudah selesai, pak. Ini lagi beres-beres bentar," katanya di chat tersebut.

Hanya berselang beberapa detik, notifikasi pesan balasan dari pak Rahmat muncul di layar ponselnya. "Ditunggu. Bapak udah di mobil, lagi manasin mesin."

Inaya tidak membalas lagi. Dia kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Sesudah beres, dia beranjak pergi ke tempat parkir.

"Nay." Inaya melirik ke kanan ketika namanya dipanggil. Ibnu, dia sudah ada di atas motornya juga bersiap untuk pergi ke rumah pak Rahmat.

Inaya mendesah kasar. "Kenapa sih harus ketemu sama Ibnu lagi? Kebetulan yang di luar prediksi BMKG!"

Inaya tidak menggubris. Dia pakai helm lalu menstarter motornya. Tidak ingin berlama-lama di situasi seperti ini. Namun lagi-lagi Ibnu ngeyel. Dia malah menahan dashboard motor milik Inaya.

"Nay, please. Bisa gak kita kayak biasa lagi. Jangan menghindar."

Inaya menatap tajam. "Kayak biasa gimana maksudnya? Kayak dulu lagi? Kamu tau kan aku udah nikah. Kalo hubungan yang kamu maksud itu hubungan antar sesama rekan kerja, oke, aku mau. Tapi yang kamu lakuin ini udah kelewatan!"

Terlihat wajah Inaya menahan emosi. Berbanding terbalik dengan Ibnu yang wajahnya menampakkan seseorang yang sedang bersedih. "Nay, aku masih cinta sama kamu. Tolong kasih aku kesempatan lagi," kata Ibnu dengan suara parau.

Tangan Inaya sudah bergetar, namun berakhir dia memejamkan mata dan menghela nafas dalam. Emosinya hampir saja meledak.

"Mohon maaf pak Ibnu yang terhormat. Tolong jangan pernah bilang seperti itu lagi. Kesempatan itu tidak akan pernah ada. Apa yang anda harapkan dari seorang perempuan yang sudah menikah? Menunggu itu sesuatu yang tidak pasti itu melelahkan. Asal bapak tau!" ujar Inaya penuh sindiran.

"Maafin aku, Nay. Bukan maksud aku buat gantungin kamu. Aku cuma lagi memantaskan diri untuk bisa bersanding sama kamu. Tapi aku janji, Nay. Mulai sekarang aku udah siap. Aku gak akan menunda-nunda lagi."

Inaya memutar bola matanya malas. Ibnu berbicara seolah-olah dia masih memiliki kesempatan. Inaya malas mengurusi orang yang suka mengemis cinta seperti itu. Tidak mau ambil pusing lagi, Inaya segera menarik gas motornya tanpa memperdulikan Ibnu.

Pak Rahmat tersenyum ketika melihat Inaya muncul dari pantulan spion mobil Pajero-nya. Wanita itu berhenti di sebelah mobil. Pak Rahmat membuat kaca mobilnya. "Udah siap?" tanya lelaki paruh baya itu.

Inaya mengangguk. "Jangan cepet-cepet ya, pak," katanya sambil tersenyum menampilkan lesung pipi yang amat manis.

Mereka kemudian mulai melaju. Beberapa kali pak Rahmat mengecek spionnya guna memastikan Inaya tidak tertinggal.

Setelah melalui perjalanan sekitar empat puluh menit, mereka akhirnya sampai di depan rumah yang cukup megah. Inaya terkesima melihat desain rumah yang rapi dan enak di pandang, juga kesan klasik yang begitu kuat.

"Ayo masuk, Nay?" ajak pak Rahmat ketika Inaya masih sibuk mengedarkan pandangannya ke rumah itu.

"Iya, pak." Inaya pun mengikuti langkah pak Rahmat. Respon Inaya saat masuk ke dalam rumah itu begitu takjub. Interiornya sungguh berkelas. Sudah bisa dipastikan jika itu bukan barang murah.

"Pak Rahmat kerja apa, sih? Jadi kepala sekolah doang bisa bikin rumah sebagus dan semewah ini, atau punya usaha lain, ya?" batin Inaya.

"Nay?!" Tubuh Inaya tersentak saat merasa ada tangan yang mendarat di bahunya. "Eh, iya pak?"

"Kok bengong?" tanya pak Rahmat. Inaya menggeleng. "Gak papa, pak. Rumahnya bagus, hehehe..." jawab Inaya canggung.

Pak Rahmat hanya mengangguk sebagai respon. Dia lalu membawa bahu Inaya yang dia rangkul untuk berjalan masuk. Inaya tidak protes sama sekali.

"Ini kamar ibu," ucap pak Rahmat saat berada di depan pintu sebuah kamar. Dia pun membukanya.

Di dalam ternyata Bu Aminah, istri pak Rahmat tidak sendirian. Dia bersama tetangganya yang sering membantu.

Setelah dipersilahkan pulang, pak Rahmat baru masuk ke dalam kamar diikuti oleh Inaya yang berada tepat di belakangnya sehingga tertutup badan besar pak Rahmat.

"Bu, gimana, ada yang dirasa?" tanya pak Rahmat penuh perhatian. Terlihat pria paruh baya itu begitu mencintai istrinya.

"Ibu baik-baik aja, pak. Tadi agak nyeri di bagian leher tapi udah gak papa."

Pak Rahmat kemudian memutar tubuhnya sedikit. "Bu, coba tebak bapak bawa siapa?"

Di situ Inaya muncul dengan senyum khasnya. Menatap wanita yang sedang berbaring lemah di atas tempat tidur.

"Apa kabar, Bu Aminah? Masih kenal sama saya?" Inaya mendekati ranjang, lalu berlutut di samping Bu Aminah.

Awalnya Bu Aminah bingung siapa yang suaminya bawa. Tapi dia ingat kemarin suaminya sempat mengatakan telah bertemu dengan sahabat putrinya.

"Kamu Naya?" tebak Bu Aminah. Inaya tersenyum seraya mengangguk. "Iya, Bu. Aku Inaya."

Mereka pun lantas berpelukan penuh keharuan. Inaya mencondongkan tubuhnya karena Bu Aminah dalam posisi tiduran.

"Ya ampun, Inaya kamu udah gede banget. Ibu pangling sama kamu," ujar Bu Aminah sembari mengusap punggung Inaya.

Air matanya mengalir karena begitu bahagia. Perempuan yang semasa kecil ia rawat seperti anak sendiri kini tumbuh menjadi wanita yang amat sangat cantik.

"Iya, Bu. Kan aku sebaya sama Dina, jadi udah gede juga, hehehe..." gurau Inaya masih dengan rasa harunya. Hampir satu menit mereka belum melepaskan pelukan. Rasanya sayang momen nostalgia ini berlalu begitu saja.

Setelah pelukan itu terlepas, Inaya duduk di tepi ranjang Bu Aminah. Mereka langsung larut dalam obrolan asik sampai-sampai pak Rahmat diabaikan begitu saja.

Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk keluar demi memberikan dua wanita berbeda generasi itu saling mengungkapkan rindu mereka. Pak Rahmat pergi ke taman belakang rumah untuk sekedar merokok.

Dua jam tidak terasa Inaya sudah mengobrol panjang lebar dengan Bu Aminah. Kini Bu Aminah sudah tertidur. Awalnya Bu Aminah bersikeras meminta agar Inaya menginap di sini, tapi setelah dijelaskan kalau ada yang menunggunya di rumah, akhirnya wanita paruh baya itu hanya bisa pasrah.

Inaya pun keluar dari kamar Bu Aminah mencari keberadaan pak Rahmat untuk berpamitan pulang. Lelaki itu sudah ada di ruang tengah.

"Pak," panggil Inaya. Pak Rahmat menoleh. "Eh, Naya. Sini bentar deh." Inaya terpaksa mengurungkan niatnya untuk pamit. Dia pun menghampiri pak Rahmat.

"Ibu lagi ngapain?"

"Ibu udah tidur barusan." Pak Rahmat mengangguk. Dia lalu menepuk-nepuk sofa di sebelahnya agar Inaya duduk di sana.

Wanita itu juga penasaran dengan apa yang sedang dipegang oleh pak Rahmat. "Apa itu, pak?" tanya Inaya seraya duduk di sebelah pak Rahmat.

Lelaki paruh baya itu membuka lembaran pertama. "Ini album foto pas kalian masih kecil." Inaya memperhatikan foto pertama. "Ini foto kamu sama Dina pas lagi di Dufan. Liat kalian mirip banget, kan?"

Secara wajah memang berbeda, tapi secara dandanan mereka berdua sama persis. Bahkan pakaian mereka adalah pakaian couple. Sama-sama dikuncir dua, gelang yang sama, bahkan sepatu yang sejenis.

Inaya tertawa melihat foto itu. Dia waktu masih kecil gayanya narsis. Beda sekali dengan sekarang yang agak malu-malu kucing.

Foto kedua menampilkan dirinya yang tengah disuapi oleh Bu Aminah bersama dengan Dina. Terlihat Bu Aminah benar-benar tulus menyayanginya seperti putrinya sendiri.

"Yang ini pas lagi tamasya ke kebun teh. Waktu itu kamu habis berantem sama temenmu terus kamu disuapin lahap banget sama ibu."

Inaya tersenyum sambil mengangguk ingat. Di dalam foto masih terlihat air mata di pipinya yang telah mengering ketika disuapi oleh Bu Aminah.

Foto ketiga ketika mereka sudah masuk sekolah dasar. Inaya dan Dina saling berangkulan dengan memakai seragam SD.

"Ini foto hari pertama kalian masuk SD. Katanya kamu sempet ngambek karena gak dapet bangku di samping Dina," ucap pak Rahmat sambil terkekeh.

Inaya pun menatap protes. "Ih, siapa bilang aku ngambek, pak? Bukan gitu kejadiannya. Jadi waktu itu si Awan yang katanya naksir sama Dina tiba-tiba ngerebut bangku aku terus aku disuruh pindah, ya aku protes dong, pak!"

Ucapan Inaya justru membuat tawa pak Rahmat semakin keras dan menggelegar. Inaya pun terkejut plus malu karena ucapannya sendiri. "Hak...hak...hak...anak kecil masih SD udah pada naksir naksiran."

Inaya secara reflek mencubit perut bulat pak Rahmat. "Ih, pak! Namanya juga cinta monyet. Tapi Dina kan nolak dan lebih milih duduk sama aku."

Pak Rahmat kesulitan menghentikan tawanya. Ternyata tawa renyah pak Rahmat menular ke Inaya. Terbukti Inaya ikutan tertawa mengingat hal konyol yang terjadi di masa lalu. Bahkan itu kali pertama dia bisa tertawa lepas setelah beberapa tahun lamanya sampai air matanya ikut keluar.

Pak Rahmat memindahkan tangan kanannya ke belakang kepala Inaya lalu menarik bahunya agar duduk semakin mendekat dengannya hingga lengan kiri Inaya menyentuh dada bergelambir milik pak Rahmat.

Mungkin karena tensinya yang cukup dekat membuat Inaya sama sekali tidak risih dengan posisi itu. Malah dia sengaja merebahkan badannya ke arah pak Rahmat. Kaki kanannya ia silangkan di atas paha kirinya membuat posisi duduknya condong ke kiri.

Lembar berikutnya dibuka. Foto keempat itu menampilkan Inaya yang tersenyum lebar sedang dibopong dan dicium pipinya oleh pak Rahmat, sedangkan Dina, sahabatnya menangis memeluk kaki ayahnya.

"Tuh liat. Waktu kecil kamu usil banget. Suka banget bikin Dina iri pas kamu dapet bagian dicium bapak." Wajah Inaya memerah karena malu.

Inaya menelan ludahnya susah payah. Kalau dibayangkan sekarang terasa sangat menggelikan. Inaya tertawa sendiri mengingat hal itu.

"Nah disebelahnya kamu yang nangis pas bapak cium Dina, hak...hak...hak..." Pak Rahmat kembali tertawa diselingi tawa kecil dari Inaya.

"Aduh, pak. Jangan diingat-ingat lah, pak. Kan malu..." Inaya menutupi mulutnya sendiri dengan telapak tangan agar tawanya tidak kentara.

Tiba-tiba tanpa diduga kepala Inaya yang dibalut jilbab coklat dicium oleh pak Rahmat. Inaya sedikit terkejut. Namun sejurus kemudian pak Rahmat mengusap-usap bahu kanan Inaya lalu berkata. "Bapak jadi kangen sama kamu yang dulu, yang suka minum cium, minta gendong. Sekarang kamu udah besar. Udah nikah juga, bentar lagi punya anak."

Suara pak Rahmat terdengar lembut, pelan. Membuat suasana menjadi hening. Matanya berkaca-kaca. Sekali lagi, bahkan dua kali pak Rahmat kembali mencium kepala Inaya. Kali ini sedikit lebih ke bawah.

"Mungkin sekarang kamu udah besar. Tapi bagi bapak kamu masih Naya kecil kesayangan bapak." Lagi, pak Rahmat mencium Inaya lebih ke bawah. Sekarang sudah berada di pipi kirinya.

Inaya mencoba melengos tapi dagunya ditarik ke arah pak Rahmat sehingga Inaya tidak bisa menghindar. Tangannya ia letakkan di atas paha pak Rahmat demi menahan tubuhnya.

Inaya hanya bisa meneguk saliva sambil menatap ke langit-langit rumah. Dia membiarkan pak Rahmat mencium pipinya lama. Dia berpikir pak Rahmat hanya rindu dengan masa lalu mereka yang selalu bersama.

Bahkan Inaya mulai merasakan ciuman itu bukan hanya mengecup tapi juga mengendus, menghirup aroma wajah Inaya dengan suara aliran angin masuk melalui lubang hidung pak Rahmat yang cukup besar.

Inaya memaksa menghentikan pak Rahmat ketika ciuman lelaki itu sudah sampai di ujung bibirnya. "Ehmm...pak." pak Rahmat tersadar lalu menjauhkan bibirnya dari wajah Inaya.

"Maaf, Nay. Bapak cuma kangen. Pengin nostalgia pas kamu masih kecil. Berasa baru kemarin kejadiannya." Inaya mengangguk. "Iya gak papa, pak." Dia masih memaklumi, meskipun di dalam hatinya dia merasa agak janggal.

Terus mereka melihat lagi album foto tersebut. Mata Inaya nyaris melompat ketika melihat foto berikutnya. Di foto itu memperlihatkan dua orang anak kecil sedang dimandikan oleh seorang wanita dewasa.

"Loh, pak. Kok ada foto ini? Kapan ngambilnya?" Sungguh Inaya merasa sangat malu. Mukanya sudah merah padam. Pasalnya saat itu dia tengah bergaya sambil telanjang bulat. Gayanya narsis sekali.

"Hahaha...itu kamu gak inget? Itu pas kalian berdua habis main hujan-hujanan terus sama ibu disuruh mandi. Bapak sendiri yang fotoin, kok."

Inaya memegangi pipinya yang merah. "Aduh, pak. Malu-maluin banget. Kek gitu pake acara difoto."

"Malu-maluin gimana? Orang kamu aja keliatan pede gitu. Hehehe...kalo inget waktu itu, bapak jadi pengin mandiin kamu lagi, hehehe..." canda pak Rahmat.

"Bapak!" kesal Inaya. Tapi jujur, dalam hati dia tidak marah sama sekali. Karena dia tahu kalau pak Rahmat hanya bercanda.

Pak Rahmat mengusap-usap kepala Inaya lalu kembali mendekatkan wajahnya untuk mencium pipinya. Tapi kali ini Inaya bergerak lebih cepat. Dia menahan bibir pak Rahmat dengan telapak tangannya.

"Udah, pak. Nanti pipi Naya jadi bakpao kalo diciumin terus," kekeh Inaya.

Tiba-tiba Inaya sadar jika dia sudah berada di sana terlalu lama. "Eh, pak. Udah jam berapa sekarang? Aduh. Suami Naya pasti udah pulang."

Naya bangkit dan berpamitan. Namun saat membuka pintu rumah pak Rahmat. "Loh, ternyata lagi hujan. Gak kedengaran dari dalam. Mana aku gak bawa mantel lagi," keluh Inaya. Wajar saja. Di dalam rumah cukup kedap suara. Jadi apa yang terjadi di luar tidak akan terdengar dari dalam.

"Ya, udah. Kalo gitu bapak anter aja kamu pake mobil. Motor kamu masukin ke garasi. Besok kamu berangkat sama suami kamu atau kalo suamimu enggak bisa bapak yang jemput."

"Jangan, pak. Aku gak mau ngerepotin," tolak Inaya.

Pak Rahmat menarik tangan Inaya secara sepihak. "Kamu ini udah bapak anggap seperti anak bapak sendiri. Mana mungkin bapak ngerasa direpotin."

Akhirnya Inaya mengalah. Tapi itu bukan ide yang buruk juga. Besok dia akan minta suaminya untuk mengantarkan ke sekolah. Daripada harus hujan-hujanan, bisa-bisa seragamnya basah dan tidak bisa dipakai lagi besok.

To Be Continue...
 
gas suhu, semangat terus. karya suhu malinks paling best bagi saya. semoga bisa update rutin dengan cepat suhuuu... aku padamu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd