Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Part 3. Wanita Selalu Benar

Pukul tujuh malam Inaya baru sampai di rumah. Dia was-was dan takut karena pulang melebihi waktu ijinnya kepada suami. Dia tahu Bara adalah seorang polisi. Terlambat adalah hal yang paling dibenci oleh suaminya itu.

Benar saja. Saat masuk ke dalam rumah dirinya sudah ditunggu oleh suaminya dengan tatapan tajam yang membuat hati Inaya berdebar-debar.

"Darimana aja kamu?" sentak Bara. Tidak ada tatapan teduh, tatapan kasih sayang, tatapan cinta. Yang ada tatapan penuh kemarahan. Inaya sampai terkejut melihatnya.

"M...maaf, mas. Tadi mau pulang hujan, jadi nunggu dulu," jawab Inaya sedikit berbohong. Padahal dia baru tahu sedang hujan ketika keluar dari rumah pak Rahmat.

Bara duduk di sofa, kembali menyuruh Inaya untuk duduk di sampingnya. "Nay. Aku udah berusaha jadi suami yang baik dan pengertian dengan gak mengekang kamu. Tapi tolong, lah. Kamu sebagai istri juga harus menghargai suami kamu. Pulang on time. Itu juga jadi tanda kalo kamu menghormati suami kamu," cerca Bara.

Inaya hanya bisa menunduk dengan mata berkaca-kaca ketika dimarahi oleh suaminya. "Tolong lah, Nay. Aku kurang apa sih sebagai suami kamu? Kamu maunya apa? Kamu istri aku, Nay. Kamu tanggung jawabku. Tapi seenaknya kamu pulang malem, masih pake seragam dinas, gak ngabarin. Dimana rasa hormat kamu sama aku, Nay?"

Kini Inaya mulai mewek. Sungguh kata-kata Bara sangat menusuk hatinya. Memang benar ini adalah salahnya, tapi dia juga sudah minta maaf, dan dia baru melakukannya sekali. Tapi Inaya sama sekali tidak bisa membantah pada posisi salah seperti ini.

"Hiksss...iya mas...aku ngerti aku salah, makanya aku minta maaf. Tapi kenapa mas malah ngebentak aku sih? Hiksss..." Inaya mengusap air matanya dengan kerudung yang masih ia kenakan.

"Siapa yang ngebentak sih, Nay? Aku tuh cuma bilangin kamu, nasehatin kamu. Harusnya kamu introspeksi diri. Kenapa aku ngomong kayak gini sama kamu."

Inaya menggerutu sendiri. "Ihhh, sebelll...!!! Bukannya minta maaf udah ngebentak, malah lanjut dimarahin!"

"Iya-iyaaa...aku salah. Aku gak becus jadi istri. Aku istri terburuk sedunia. Maaf kalo kamu nyesel nikahin aku." Tanpa menunggu balasan dari sang suami, Inaya langsung beranjak dari tempat duduk meninggalkan Bara. Pipinya sudah menggembung dengan bibir manyun ke depan.

Bara yang melihat sikap Inaya terperanjat. "Bukan gitu maksudku, Nay. Kamu kok ngomong gitu, sih? Aku sama sekali gak nyesel nikah sama kamu. Aku ngomong gini tuh karena aku sayang sama kamu. Nay! Nayyy...!!!"

Bara menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Sebenernya yang salah siapa, sih? Kok malah dia yang marah?" ucap Bara dalam hati.

Inaya masuk ke kamar. Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, lalu membenamkan wajahnya ke bantal sambil menangis. "Hiksss...kenapa kamu gak mau ngerti si mas? Aku kan udah minta maaf. Tapi kamu ngomong gitu seolah-olah aku istri terburuk sedunia. Istri yang paling gak becus ngurus suami. Sakit bangettt...ya tuhan. Gini amat cobaan rumah tangga," keluh Inaya.

Tak berselang lama Bara yang merasa bersalah masuk. Inaya buru-buru mengubah posisinya menjadi memunggungi Bara.

"Nay, kamu lagi tidur?" tanya Bara.

Inaya diam saja. "Enggak, aku lagi makan bakso sambil salto!", batinnya kesal. Dia pun masih diam saja meski merasa di sisi ranjang yang lain berderit pertanda Bara sudah merebahkan dirinya di sana.

Sedetik kemudian ada tangan yang melingkar di perutnya. "Apa, sih? Main peluk-peluk!" Inaya memindahkan tangan bara dari tubuhnya.

"Nay." Panggilan Bara tidak digubris. Inaya lalu bangun. "Mau kemana?" tanya Bara dengan nada selembut mungkin. Berharap Inaya tidak marah lagi padanya.

Namun hasilnya sia-sia. Tanpa menoleh ke arah suaminya, Inaya menjawab. "Mandi." Setelah itu dia langsung pergi menuju kamar mandi. Bara sampai frustasi menghadapi Inaya yang ngambek. Bisa-bisa dia gagal dapat jatah malam ini. Padahal sebelum pulang kerja tadi dia sudah membayangkan malam panas yang akan ia lalui bersama istrinya. Sekarang, juniornya pasti protes karena tidak bisa masuk ke sarangnya malam ini.

Tiga puluh menit Inaya menghabiskan waktunya untuk mandi. Kini ia keluar dengan wajah yang lebih segar. Inaya pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam yang seharusnya ia siapkan sore hari sebelum suaminya pulang.

"Nay," panggil Bara untuk yang kesekian kalinya. Inaya hanya menjawab dengan gumaman tanpa mengalihkan fokus terhadap bumbu nasi goreng yang akan ia masak.

"Nay, aku minta maaf." Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut suaminya. Inaya sempat tersenyum sambil membenamkan sepasang bibirnya ke dalam mulut.

"Nah, gitu kek dari tadi! Tapi maaf mas, aku masih ngambek sama kamu." Inaya menghembuskan nafas dalam. Berusaha menetralkan wajahnya agar kembali pada mode dingin.

Tiba-tiba Bara memeluk Inaya dari belakang, lalu mencium pundaknya. "Mas, aku mau masak dulu. Aku gak mau dicap sebagai istri gak guna." Inaya berbicara tanpa mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.

"Nay. Kamu ngambek?" tanya Bara sambil memiringkan kepalanya sehingga dia bisa menatap wajah Inaya dari dekat.

"Masih nanya kamu, mas? Dasar gak peka!"

Inaya tidak memperdulikan keberadaan Bara. Dia lanjut masak. Bahkan ketika nasi tersebut sudah dipindahkan ke atas piring, Inaya masih bungkam.

Bara memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. "Wah, nasi gorengnya enak banget! Memang istriku yang satu ini paling pinter masak. Beruntungnya aku bisa nikah sama istri kayak kamu, Nay," rayu Bara. Matanya melirik ke arah Inaya untuk melihat ekspresi istrinya.

Datar. Iya, Inaya tidak menampilkan ekspresi apapun, tapi jujur saja dalam hatinya dia sudah ingin tertawa. Gombalan Bara benar-benar sangat cringe, tapi gengsinya masih cukup tinggi untuk meladeni gombalan tersebut.

"Apa, mas? Istrimu yang satu ini? Jadi kamu punya istri yang lain gitu?" gerutu Inaya.

Bara menelan nasi goreng itu susah payah. "Yah, salah lagi, deh. Dari tadi diem aja. Sekali ngomong bikin merinding."

Bara pun terpaksa meminum segelas air guna melancarkan nasi yang tertinggal di tenggorokannya. "Percuma juga ngomong pas lagi kondisi emosi kayak gini. Mending diem dulu, deh. Besok pas udah agak reda baru ngobrol."

Akhirnya mereka menghabiskan nasi goreng dalam diam. Setelah selesai makan, Inaya membereskan sisa makan mereka. Inaya membawa dua piring kosong tersebut ke wastafel.

"Nay, aku bantu, ya," tawar Bara. Dia sudah berada di sebelah Inaya untuk membantunya namun ditolak.

"Gak usah, mas. Kamu tidur aja. Kamu kan capek pulang kerja."

"Enggak, kok. Siapa yang capek? Udah sini aku bantuin."

Sekali tidak ya tidak. Inaya dengan cepat membasuh dua piring itu hingga Bara tidak kebagian mencuci. Setelah Inaya menaruh kembali ke rak piring, dia masuk ke dalam kamar.

Dia merebahkan tidurnya memunggungi satu tempat yang kosong. Bara menyusul istrinya untuk tidur. Menatap punggung istrinya yang ia yakini belum terlelap.

"Nay." Bara menyentuh punggung Inaya dengan telunjuk dan jari tengahnya. Lalu bergerak ke bawah dengan melangkahkan dua jari tersebut.

Tidak ada respon. Bara coba semakin mendekat dan memeluk pinggangnya. "Sayang?" Bara mencoba selembut mungkin. Dia mengecup rambut Inaya yang hitam dan lurus.

"Apa sih, mas?" Inaya malah menyikut lengan Bara. Sungguh bukan dia ingin menolak. Tapi untuk saat ini moodnya benar-benar sedang buruk setelah dimarahi oleh Bara.

Bara hanya bisa mendengus pasrah. Perlahan dia lepaskan pelukan itu lalu mencoba untuk tidur. Ada adiknya di bawah yang meronta-ronta tapi sebisa mungkin Bara menepuk-nepuknya agar tertidur. "Sabar, Joni. Malam ini puasa dulu, ya."

Akhirnya mereka pun tertidur dengan saling mengadu punggung. Paginya, Bara terbangun tanpa kehadiran Inaya di sebelahnya. "Loh, Naya dimana, ya?"

Perlahan Bara bangkit dari tidurnya. Sedikit meregangkan otot-otot di tubuhnya lalu keluar kamar mencari istrinya.

"Nay!" Tidak ada sahutan. Bara melihat meja makan sudah tertata rapi dengan berbagai makanan. "Nay!" panggil Bara lagi.

"Iya, mas?" Terlihat Inaya sedang mengepel lantai dengan masih memakai baju untuk tidur semalam.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Bara.

"Lagi break dance! Udah tau lagi ngepel masih nanya!"

"Udah, mas. Kamu mandi dulu gih. Kan mau berangkat kerja. Sarapan udah aku siapin. Seragam di cantolan udah aku setrika juga," ujar Inaya masih tetap fokus ke aktivitasnya mengepel lantai.

"Nay." Bara nekat menghentikan Inaya saat mengepel. "Kamu kenapa, sih? Aneh banget. Masih marah sama kejadian kemarin?"

Inaya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok. Aku enggak marah. Ya, setelah aku introspeksi diri sesuai yang mas penginin kemarin. Aku sadar aku memang istri yang jauh dari kata sempurna. Anggap ini sebagai bentuk introspeksi aku biar jadi istri yang berguna."

"Aslinya sih masih kesel!" batin Inaya.

"Iya aku tau, Nay. Tapi gak gini juga, dong caranya. Ini tuh terlalu berlebihan."

Inaya menghembuskan nafas kasar. Dia menyandarkan tongkat pel itu di dinding. "Maunya apa sih, mas? Kok aku ngapa-ngapain salah? Emang aku gak pernah becus ya jadi istri?" Wajahnya ditekuk. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Drama lagi." Bara menggaruk kepalanya. "Ya udah, terserah kamu, deh. Kalo gitu aku mandi dulu."

"Ih, cuma ngomong gitu? TEGA!" Inaya menggerutu saat Bara sudah masuk ke kamar mandi.

Setelah melalui pagi yang dihiasi drama, mereka kini sudah sama-sama berada di meja makan. Sesekali Bara melirik ke arah Inaya yang terus-terusan membisu.

Inaya lalu mengambil ponsel yang berada di sebelah piringnya. Mengetikkan sesuatu di sana. Kebetulan ada notifikasi pesan dari seseorang.

Pak Rahmat
"Assalamualaikum, jadinya kamu berangkat sama siapa, Nay?"

Inaya
"Belum tau nih, pak."


Baru membalas satu pesan langsung ditegur oleh suaminya. "Kalo makan jangan sambil main hp." Inaya langsung meletakkan ponselnya kembali.

Ngajak perang lagi!

"Oh, ya. Kamu kemarin motornya di tinggal di rumah pak Rahmat, kan? Nanti kamu berangkatnya mas anterin aja kalo gitu."

"Enggak usah, mas. Kan kantornya mas gak searah sama sekolah Naya. Nanti mas malah telat lagi. Kan mas paling anti sama orang yang gak 'On Time'!" ujar Inaya dengan memberikan penekanan pada kata bertanda petik satu itu.

"Enggak papa, Nay. Nanti mas kabarin sama yang di kantor kalo mas bakalan telat beberapa menit."

Lagi-lagi Inaya menggeleng. "Enggak usah. Naya berangkat bareng pak Rahmat aja yang searah. Ini juga udah wa, kok."

Inaya kembali mengambil ponselnya dan sudah ada satu notifikasi pesan dari pak Rahmat.

Pak Rahmat
"Ya udah. Kamu bareng bapak aja berangkatnya."

Inaya
"Emang gak ngerepotin, pak?"
balas Inaya basa-basi. Padahal ia sangat bersyukur ada orang yang mau ia tumpangi.

"Ya udah kalo gitu, mas berangkat dulu. Assalamualaikum," ujar Bara dengan sedikit kesal. Semua orang memiliki batas kesabaran. Begitu juga dengan Bara.

"Waalaikumusalam," ucap Inaya seraya mencium tangan suaminya. Meskipun marah, Inaya masih tetap menghormati Bara.

Setelah Bara pergi. Inaya termenung sendirian. Dalam hati dia menyesal sudah memperlakukan suaminya seperti itu. Dia merasa sikapnya begitu kekanak-kanakan. "Maaf ya, mas. Aku sensitif banget."

Dua puluh menit kemudian sebuah mobil Pajero hitam berhenti di depan rumah Inaya. Kaca mobil depan terbuka memunculkan wajah pak Rahmat yang dihiasi oleh kacamata hitam.

Lelaki itu pun melepaskan kacamatanya. "Ayok, Nay. Kita berangkat." Inaya mengambil tasnya lalu menghampiri mobil itu. Dia duduk di samping pak Rahmat.

"Kamu udah sarapan, Nay?" tanya pak Rahmat setelah mobil berjalan beberapa meter dari rumah Inaya.

"Udah, pak."

"Oh, gitu. Eh, iya. Kamu emang gak minta dianter suami kamu? Atau dia gak mau nganterin kamu?"

Inaya menggeleng. "Tadi suami aku nawarin buat anter ke sekolah tapi aku gak mau. Soalnya aku lagi ngambek," ujar Inaya cuek.

"Ngambek? Ngambek kenapa?" Pak Rahmat melirik ke arah Inaya yang sedang menatap ke luar jendela.

"Semalem aku dimarahin sama suami karena pulang telat," ungkap Inaya.

Pak Rahmat tersenyum seraya mengusap bahu kanan Inaya. "Wajar kalo suamimu marah. Bapak juga kalo ada di posisi suamimu bakalan marah. Apalagi kalian kan pengantin baru. Tapi ini juga bukan salah kamu sepenuhnya. Bapak juga ada andil karena kamu telah pulang juga gara-gara bapak."

Inaya menoleh ke arah pak Rahmat. "Jadi Naya harus gimana, pak?"

"Kalo kamu mau, nanti biar bapak yang jelasin sama suamimu. Bapak merasa tanggung jawab karena kamu pulang telat."

Wanita itu langsung menggeleng. "Enggak usah deh, pak. Nanti malah salah paham. Biar aku selesein sendiri aja."

Pak Rahmat mengangguk mengerti. "Iya, bener juga sih. Masalah rumah tangga lebih baik memang diselesaikan secara pribadi tanpa campur tangan orang lain. Bapak cuma pengin bantu aja supaya kamu lebih tenang."

Inaya mengukirkan senyumnya. Dia merasa diperhatikan. Selain pak Rahmat tidak memojokkan suaminya, dia juga tidak menyalahkan dirinya. Kalau curhat dengan laki-laki lain pasti dia akan bilang sesuatu yang hanya ingin didengar Inaya, tanpa berpikir secara objektif, tapi pak Rahmat beda.

"Iya, makasih, pak."

Pak Rahmat menggenggam punggung tangan Inaya yang berada di paha wanita itu hingga pandangan mereka bertubrukan. "Kamu gak usah sedih lagi. Ini yang namanya cobaan pernikahan. Kamu harus kuat, ini belum apa-apa, Nay. Suatu saat badai yang lebih besar bisa aja dateng. Kamu harus siap."

Pak Rahmat meremas tangan itu. "Kalo kamu lagi ada masalah dan butuh bahu buat bersandar." Pak Rahmat menepuk-nepuk bahunya sendiri. "Bapak siap jadi sandaran kamu."

Inaya merasa terenyuh. Dia melihat sosok pelindung di diri pak Rahmat. Dia yang dari dulu memang kurang kasih sayang dari orang tua kandung merasa sangat beruntung bisa mengenal pak Rahmat.

Bahkan ketika mereka sudah lama sekali tidak bertemu, sikap pak Rahmat tidak pernah berubah. Selalu baik dan jadi malaikat pelindung baginya. Inaya tidak sungkan lagi untuk merebahkan kepalanya di bahu pak Rahmat yang ditawarkan tadi.

Pak Rahmat mengangkat punggung tangan Inaya lalu mengecupnya. Wanita itu sama sekali tidak protes. Dia sudah terlanjur nyaman berada di sisi pak Rahmat sebagai pengganti ayahnya.

Di sepanjang perjalanan Inaya tidak beranjak dari posisinya itu. Dia pun tidak terusik saat kepala pak Rahmat disenderkan di puncak kepalanya.

Baru ketika mobil memasuki gerbang sekolah, Inaya membetulkan posisi duduknya. "Makasih, pak. Udah dianterin," ucap Inaya sebelum keluar dari mobil.

"Sama-sama, Nay. Nanti pulangnya bareng, ya. Kan motormu ada di rumah bapak."

"Iya, pak."

Inaya hendak keluar namun cepat ditahan oleh pak Rahmat. Inaya pun menoleh. Namun hal tak terduga terjadi. Pak Rahmat tiba-tiba saja mencium bibir Inaya.

Inaya melotot sambil membeku. Kejadiannya tiba-tiba sekali sampai otaknya mendadak tidak dapat bekerja.

"E...emmm...maaf, Nay. Tadinya bapak mau cium pipi kamu tapi kamu malah noleh. Jadinya kena bibir, deh. Maaf ya, Nay." Terlihat sekali raut wajah tidak enak dari pak Rahmat.

"Aduh, bapak. Aku kaget banget, tau. Kenapa gak bilang dulu kalo mau cium? Nanti kalo ada yang liat gimana? Ini kan di sekolah."

"Kamu gak usah khawatir, Nay. Kacanya gelap, kok."

Inaya mengelus-elus dadanya. Ini lebih mengagetkan daripada video jumpscared yang pernah dibagikan temannya.

"Hufhhh...ya udah, pak. Gak papa. Namanya gak sengaja. Kalo gitu aku turun dulu, pak," ucap Inaya seraya keluar dari mobil pak Rahmat.

Inaya berjalan tergesa-gesa. Berkali-kali dia menyentuh bibirnya yang tadi bersentuhan dengan bibir pak Rahmat.

"Duh, tadi bibir pak Rahmat nempel lagi. Kok aku deg-degan, sih." Inaya masuk ke dalam toilet lebih dulu. Berkaca di cermin sana.

Inaya menatap bibirnya yang ia katupkan satu sama lain. Menjilatnya sekilas lalu tersenyum. Ia melakukannya tanpa sadar kemudian mendadak menggelengkan kepalanya.

"Duh, aku mikir apa, sih! Dia itu pak Rahmat. Orang yang ngasuh kamu waktu kecil, Nay!"

Inaya menggelengkan kepala. Berusaha menghapus bayang-bayang yang membuat jantungnya berdebar tidak menentu. Dia mulai mengoleskan lipstik tipis di bibirnya lagi karena sebelumnya sudah terhapus. Menenangkan diri sejenak, baru dia pergi menuju ruangannya.

To Be Continue...
 
Luar biasa alurnya. Jangan terburu2 di eksekusi pak Rahmat biarkan alurnya mengalir dengan pelan2 huuu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd