Sehari pasca surat pengakuan.
Iya surat pengakuan.
Tidak ada istilah lain yang cukup menggambarkan isi surat itu.
Terlalu elegan dan dewasa untuk disebut surat cinta.
Tidak cukup bernilai untuk disebut surat berharga.
Tidak cukup materi untuk dijadikan surat perjanjian kerja.
Sudah. Surat pengakuan lebih tepat.
Layaknya pengakuan para pemuda-pemudi Nusantara, dulu, 90 tahun yang lalu.
Tonggak yang menyatukan bangsa.
Pada akhirnya menuntun bangsa ini sampai pintu kemerdekaan.
Merdeka.
Hari kemerdekaanku pun sebentar lagi akan diproklamirkan.
Bagian lain isi surat menyiratkan niatan tulus Mbak Ais, untuk memberikan "Kenangan Terindah".
Sesuatu yang ditulisan terdahulu pernah kusinggung.
Istilah yang nyaris terlupakan, kulupakan tepatnya.
Hal yang tak pernah kumasukkan dalam agendaku.
Aku tak ingin nantinya teronggok sebagai janji manis semata.
Oleh karena itu, tak pernah aku sengaja mengingatnya.
Tapi, Mbak Ais ingat.
Mungkin itulah janjinya pada dirinya sendiri. Bukan padaku.
Maka aku memberanikan diri membuat terjemah: Mbak Ais ingin kusetubuhi.
Tidak hanya 'mau', ini 'ingin', berkehendak, dorongan dari hati.
Mana mungkin aku lewatkan.
Kesempatan emas.
Segera kuteliti agenda kerjaku. Mencari waktu senggang. Waktu yang bukan milik keluarga kecilku. Sabtu-Minggu otomatis tidak masuk hitungan. Tidak juga hari libur....
Tunggu....
Libur nasional bisa. Merah tanggal, tapi tidak dengan jadwal kegiatan.
Ada satu tanggal yang sedang kantor kami siapkan besar-besaran.
Libur bagi orang lain, tidak bagi kami. Tidak bagiku dan Ais.
Lebih ideal lagi jika aku berhasil meyakinkan istri untuk kubawa berlibur, berkunjung ke orang tuanya. Kemudian dengan alasan kerjaan, aku kembali ke kota ini. Ah, pas sekali. Jadilah.
Mbak Ais kukabari, lewat pesan pendek.
"Ya, mas atur saja" balasnya
Lega. Persis dugaanku. Let's go baybeh.
Bergegas kupesan kamar hotel.
Via aplikasi.
Lokasinya tidak jauh dari kantor. Tidak dekat pula.
Tarifnya menengah. Harusnya cukup terlindungi.
Aman menurutku.
Langsung ku-booking. Transfer. Locked.
"Ok" pesan dari Mbak Ais, tak lama setelah kubagi informasi itu.
"Ok" demikian pula balasan istri. Setuju ia diungsikan sementara. Libur beberapa saat, barang dua-tiga hari di rumah masa kecilnya.
Aku tak sabar menanti hari itu.
Senyum-senyum sendiri. Koyok wong edan.
-------
Hari perayaan. Tengah hari.
Mobil terparkir di rumah.
Aku lebih memilih motor tuaku untuk beredar di sekitar kota.
Sejak pagi, melengkapi hari-hari sebelumnya, aku dan staf lain riweuh terlibat di acara kedinasan.
Sekarang, aku duduk di area merokok depan minimarket terkenal. Beberapa puluh meter saja dari hotel.
Tidak tenang.
Kakiku terus bergerak aneh. Seolah memainkan pedal drum.
Gugup.
Masih kutimbang-timbang.
Perlukah aku menyiapkan caps?
Gak enak babar blas sakjane. Tidak nyaman saat memakai barang itu.
Tidak intim. Sensasinya menyedihkan.
Pernah kucoba dulu. Dengan istri.
Kapok. Tidak lagi-lagi.
Langsung kubakar sisa barang laknat itu, tepat di belakang rumah.
Anggota badan paling sensitif dibungkus karet? ide bodoh.
Tapi ini pengalaman pertamaku.
Aku tidak yakin 100 % dengan cerita masa lalu mbak Ais. Yang pasti, dia bukanlah anak perawan kinyis-kinyis.
Sudah bersuami. Pasti sudah berkali-kali berhubungan badan. Pun mungkin berkali pula dengan pria lain.
Aku ber-gedek.
Tidak lah. Berlebihan pikiran itu.
Tetap saja. Logika mengalahkan naluri.
Aku seorang enjiner, tidaklah patut mengedepankan perasaan. Cemen.
Kami pakai Engineering Sense. Semua bisa dijelaskan secara struktural-konsolidatif, berlandaskan prinsip-prinsip akademis, teruji empiris.
Konsep, amati, kalkulasi, analisis, putuskan. KAKAP.
Demikian anak-anak pelajaran etika keteknikan...
Yak lanjut....
Di kantong belanja terbungkus beberapa makanan kecil. Coklat lokal kesukaannya. Air mineral. Kacang.
Karet pengaman jadinya terbeli pula. Rapih tersimpan di saku celana, bagian belakang.
"Aku sudah di parkiran. Mas dimana?" kubuka pesannya.
"Tunggu mbak. OTW"
Mas dan Mbak. Masih sebutan itu yang kami pakai. Pernah ia usulkan untuk diganti 'kamu-aku', ayang, bebs, ayah-bunda (No, yg terakhir tidak pernah terjadi, rekaan saja, cuihhhh)
Mas dan Mbak lebih baik. Netral. Ada unsur penghormatan. Tetap bernuansa kedekatan personal. Cukup aman andai terbaca orang lain. Pas sudah.
Makin deg-degan. Kuhampiri ia ke parkiran. Masih duduk di atas motornya. Helm masih terpasang. Mungkin jaga-jaga jika aku putuskan batal, bisa langsung kabur, hehe...
Sosoknya kukenali, walupun nyaris tertutup seluruh badan. Jaket krem tebal, panjang, lebih mirip jubah. Masker kain warna putih (atau coklat, lupa). Kacamata hitam besar, nyaris menutupi setengah wajah. Masih dilengkapi helm half-face. Kacanya masih tertutup pula. Sarung tangan, bahan kain, warna cerah, seingatku pink-putih-hijau. Tidak terlalu penting.
"Tunggu yo mbak. Check In dulu"
Bergegas aku ke lobby hotel. Set-set-set. Kelar. Sempat mak-deg saat diminta KTP. Bodo lah. Kepalang tanggung.
Aku diantar bellboy hotel ke kamar. Apes, kamar yang kupesan, kuncinya bermasalah.
Mbak Ais masih menunggu dengan di tempat parkir dengan sabar, semoga.
Bellboy meminta maaf. Memintaku untuk tidak perlu kuatir. Bulan ini hotel tengah sepi tamu. banyak kamar kosong. Aku dimintanya duduk di ruang pojok, semacam teras, tempat kopi dan rokok. Ada lukisan abstrak di dinding. Sedemikian abstrak, hingga aku lupa, entah seperti apa goresannya. Warnanya yang menarik, dominan putih, kecoklatan, cenderung krem atau coklat muda. Beberapa titik hitam ditempatkan secara misterius.
Terbayang kulit mbak Ais, putih, mungkin mendekati warna dominan yang kutangkap dari lukisan itu. Titik hitam. Hmm.. aku belum pernah melihat langsung puting dan memek mbak Ais. Kuduga juga hitam.
Aku tak sabar. Si adik sudah on duluan.
Kupukul dia pakai gulungan brosur hotel yang tengah kubawa.
Diam dulu. Tahan sebentar
Berusaha mengalihkan fokus otak. Kupandang sekeliling. Aku di lantai 3. Di lantai dasar ada kolam renang. luas. Ada kolam untuk anak kecil. Saat itu tampak dua anak kecil tengah bermain, balon atau semacam bola plastik. Ceria. Kakak-adik kurasa. Si kakak, cowok, usil. Direbutnya balon itu dari adik perempuan. Berkejaran di kolam, airnya setumit orang dewasa.
Di sisi kolam, sepertinya si Ibu, umur 40-an, berhijab, bertopi lebar, kacamata hitam, duduk mengamati anak-anaknya.
Aku tersenyum.
Sekaligus aku ingat anakku.
Apa yang kulakukan di tempat ini???
Sial.
Masih ada kesempatan untuk batal.
Mbak Ais juga belum masuk hotel. So...
"Pulang saja" si putih membisiki.
...
...
...
"Meeh.... Tanggung boss.
Gak ada urusan sama anak.
Tengah liburan mereka. Happy sama Simbah dan Mamanya.
Koen happy tah? (kamu bahagia tau tidak?)" argumen si merah.
Tidak. Aku tidak happy. Ini sedang berusaha untuk happy.
Tertawa si setan. Putih diam.
Fuck lah.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
...bersambung maning boss