Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Intermezzo

Ada fragmen cerita yang terlewat, izinkan hamba memperbaikinya. Cukup penting sebagai fondasi bagi cerita lanjutan.

Here we go.

---

Beberapa hari setelah Mbak Ais main kocok-telan.

Sekira tiga hari kami mengadakan event di luar kantor. Hotel bintang tiga. Lebih dekat ke pusat kota, sedikit masuk dari jalan besar.
Andai tidak diperintah langsung pimpinan, pastilah aku memilih tugas lain. Acara rutin tahunan. Tidak terlalu penting, sekadar cari muka ke Kantor Pusat. Untungnya aku tak sendiri. Mbak Ais mengajukan diri untuk turut menemani. Cukup berat event itu, persiapan dan eksekusi harus presisi. Pengawasan juga ketat. Seketat kemben Duo semangka.

Perwakilan kantor pusat turut hadir. Berbaur bersama utusan dari daerah lain di sekitar kotaku. Mereka, orang kantor pusat, dua orang umur 30-an akhir. Laki-laki semua. Mas H dan satunya aku lupa. Bukan orang penting. Tapi wajib kami layani dengan baik. Bagaimanapun mereka wakil resmi, biarpun pegawai rendahan dari Ibukota. Iya, aku benci dengan keangkuhan para pegawai dari Pusat. Asu kabeh. Mbarai Emosi.

Baiklah. lanjut.

Selama tiga hari itu, kami disibukkan berbagai hal. Aku yang ngarep dapat waktu luang bersama Ais, harus gigit jari. Jariku sendiri. Masih mending kalo jarinya Ais. Bakal kulumat habis.

Terpaksa, kami harus mencukupkan diri bertemu di resto saat makan siang, atau sekadar foto bersama di sekitar hotel. Tidak berdua. Foto hore bersama anggota tim lain. Seperti yang kubilang, kisahku dengan Ais, kujaga rapat-rapat. Tidak ada rekan kantor yang tahu. Sepertinya. Semoga.

Hari ketiga. Pasca seremoni penutup. Sore, lepas isya. Resto sisi luar, di samping kolam renang berdesain cukup artistik, yang sedikit berlebihan menurutku, terlalu banyak lengkungan, miskin fungsi. Lebih baik miskin janji, kaya hati...

Sebagian peralatan sudah terkemas. Area sudah bersih. Sisa alat akan diurus tim lain, keesokan hari. Kami tim panitia, berencana untuk makan malam lalu segera pulang. Mendung sudah mengintai sejak siang. Akan serba repot menembus kemacetan kota, akhir pekan, malam, dalam hujan pula. Bagian lain anggota tim memilih langsung pulang setelah seremoni. Aku persilakan saja. Bebas.

Segelintir orang tersisa di resto. Dua kirik dari kantor pusat juga masih setia. Tengah berbincang diselingi ngeses di bawah pohon besar, masih di area resto, agak pinggir dekat parkir mobil tamu. Mereka berencana overstay. Menikmati liburan akhir minggu di kotaku. Monggo saja. Semoga kena begal di kebun tebu, tepat di seberang hotel. Amin.

Mbak Ais juga masih disitu. Aku ge-er. Kurasa dia hanya berniat menemaniku.

Perlu dipahami para kisanak sekalian. Hotel ini adalah langganan kantor. Sebagian direksinya terkoneksi dengan pejabat kantor. Pejabat kantor umumnya membawa sanak famili untuk bergabung di kantor kami. OB, security, driver, teknisi, bahkan pegawai, sebagian besar adalah relasi atau keluarga para pejabat itu. Demikian sebaliknya, sebagian petugas hotel juga terkoneksi dengan para pejabat kami. Mbulet. Jadi boleh dikata, hotel ini adalah juga bagian dari "korporasi".

Tentu tak boleh sembarangan aku berkeliaran bareng Mbak Ais. Banyak mata yang memperhatikan. Banyak kamera mengawasi, hingga merekam bahkan. Maka mohon jangan berharap kami berbuat ena-ena di sini. Tidak. Setidaknya tidak hari ini. Di lain kesempatan, kita lihat nanti saudara pendengar.

Sejak pagi Ais memang tampak pucat.
Tetep cantik dan bahenol pasti. Tapi pucat.
Seperti kurang semangat.
Kurang tidur?
Kurang nutrisi??
Kurang peju, mungkin???

Tidak selincah biasanya. Aku tahu, entah teman-teman yang lain. Aku menduga dia stres 'ngopeni' dua bajingan dari pusat. Mbak Ais memang ditugaskan khusus oleh pimpinan untuk melayani utusan pusat. Mungkin strategi agar mereka tidak terlalu beringas. Ais bertugas menjinakkan. Sejauh ini berhasil. Mereka tidak rewel minta balon atau naik odong-odong. Hamdalah.

Kami, tadinya berempat di meja itu. Aku di sisi kiri. Bang Driver di sebelah kananku. Mbak Ais di sisi lain, seberang meja, tepat berhadap-hadapan denganku. Dari tadi seolah berniat buang muka dariku. Sibuk dengan secuil hidangan di piring makannya. Porsi kecil, entah kenapa lama sekali habisnya. Di sebelahnya, kursi kosong. Tadinya ditempati mbak B, anggota tim kami juga, sehari-hari mengurus admin kegiatan bareng Ais. Tapi dia pamit pulang duluan, punya anak kecil di rumah.

Tak lama, driver minta izin, merokok. Kupesani untuk merokok di tempat dua babi merokok. Sekalian mengajak ngobrol. Kemungkinan, esok, dia akan dimintai tolong mengantar keliling kota. Entah nyari oleh-oleh, kuliner, atau spa. Iyain aja. Pesanku.

Tersisa kami berdua. Aku masih memandangi Ais. Seolah-olah heran makan kok lama banget. Padahal tidak. Aku hanya ingin memperhatikan wanita pujaanku itu.

Ah bundo...
Dia memang cantik.
Senyumnya Menggairahkan.
Suaranya, aduh mak, sekali mendesah, langsung bangkit dari kubur si adik.
Pikiranku mulai mesum.
Setan bergoyang dribel di kepala.
Sekujur badan mulai anget.
Wedus.

"Maem kok suwi men to mbakyu. Koyok sapi" Aku membuka obrolan. Setengah guyon setengah mengejek.
(Makan kok lama sekali, mbak. Kaya sapi)

Dia diam saja. Cuk.

Masih diam.

Kupalingkan mukaku, memandangi kolam renang berdesain lebay di depan. Cukup indah sebenar. Andai diberi ornamen lilin mengambang di permukaan. Apalagi jika dibumbui Ais yang tengah berenang, tanpa busana. Prikitiuwww.


"Mas, jangan crita siapa2, " Tetiba Mbak Ais membuka cerita baru. Lepas dari topik yang kutawarkan tadi. Kali ini matanya memandangku. Serius.

"Piye to. Ujuk ujuk bikin undang-undang"

Ais nyengir. Sekejap. Agak menunduk badannya. Setengah berbisik, bergumam tak jelas. Dua tangannya masih memegang sendok dan garpu.

"Iyo. Aman lah. Sama aku ini" lanjutku. Disusul gerakan menutup zipper di depan mulutku.

Lalu kuanggukkan kepala, pelan. Semoga ia cukup teryakinkan. Harusnya teryakinkan.

"Mas H , sejak semalam WA aku. Nggodani. Ngajak ML"

Jegerrr. Opo maneh iki.

"Trus?"

"Emoh aku. Nggilani ih. Gak kenal, mosok langsung main fisik. Kujawab begitu" raut sedih tampak di muka Ais. "Gak bisa, aku sudah bersuami"

"Mokjawab piye?"

"Aku tahu suamimu di pulau seberang. Aku mengenalnya. Aku tahu mbak sudah lama kesepian. Aku juga begitu. Niatku tulus, tak ingin melihat mbak menderita. Kita bisa saling bantu. Aku akan melayani mbak, sebaik baiknya. Kujilati ketekmu yang putih bersih, kusedot putingmu, memekmu kumainkan sampai basah, banjir. Mbak pasti suka"

Balasan WA dari babi ngepet itu, ditunjukkan padaku. Lengkap kubaca percakapan maya mereka.

"Gak mau. ML itu harus berdasar cinta"

"Cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan. Cobalah permainanku, mbak akan langsung jatuh cinta. Aku jamin"

"Nyari bispak aja sana. Banyak. Minta OB juga dikasih."

"Tidak.
Aku hanya mau kamu. Cuma kamu.
Karena aku tahu yang paling mbak butuhkan saat ini.
...
Tidak perlu buru buru mbak.
Masih ada dua malam.
I Love you"

Berakhir.

Asu. Aku ngaceng.

Cuk tenan orang pusat itu. Ini si H malah kurang ajar, pengen ngambil ladang orang pula. Gendeng lah.

Aku berusaha tetap tenang. Senyum lebar kuberikan. Senyum palsu sebenarnya. Sambi geleng-geleng. Berusaha kaget secara elegan. Gagal tampaknya.

Mbak Ais masih tampak sedih. Bingung mungkin. Aku tak bisa membaca suasana hatinya. Terlintas pikiran jahat, jangan-jangan di hati kecilnya dia mau??

Blaik. Ambyar.

"Biasa wis mbak. Orang pusat emang tai kabeh. Yok lah pulang. Kuantar"

(Begitu seingatku, maaf mungkin banyak detail terlewat, perasaanku sudah kacau saat itu, terbakar cemburu)

Segera kuajak dia pulang. Bang Driver kupanggil. Segera kami kabur dari tempat laknat itu.
Ingin kupastikan Ais tak tergoda rayuan picisan si babi. Setidaknya untuk malam ini.
Kupastikan dia masuk rumah.

Di jalan, pikiranku bertamasya, melanglang buana entah kemana lagi.

Iya aku tahu mbak Ais kesepian.
Lama gak dibelai suami.
Lama tak terjamah.
Gersang, mengharap semprotan cairan kehidupan.

Kenapa aku terlalu egois.
Harusnya tawaran itu datangnya dari aku.
Tak boleh lagi menunggu.
Inisiatif.
Aku yang harusnya melayani.
Aku akan berusaha sebisanya, nanti saat kesempatan itu ada.

Aku masih ngaceng. Asu.


....bersambung
 
Terakhir diubah:
Kota yang sama. Awal November.

Seisi kantor tengah bersiap menyambut perayaan hari besar nasional. Instruksi dari boss cukup jelas. Persiapan harus matang, sumber daya dioptimalkan. Kami menerjemahkan: Tidak boleh cuti, Tidak ada izin keperluan keluarga, Wajib lembur.
Aku dan Mbak Ais yang paling terdampak. Ruang gerak kami semakin sempit. Setiap sore ada saja karyawan lembur, mengerjakan berbagai detail kegiatan. Sekalian jaga-jaga dan memantau situasi. Siapa tau pak Boss iseng pengen sidak (inspeksi mendadak).

Jalan terakhir adalah lewat bertukar pesan pendek. Jalur teraman yang bisa kami temukan.

Aku ingin bertemu, empat mata.
Banyak hal yang ingin kusampaikan padanya.
Ada rasa yang ingin kuberi.
Ada beban yang ingin kubagi.
Cukup kami berdua, tak perlu orang lain tahu.

Setan di diri turut mengompori.
Terbayang montoknya pantat Mbak Ais.
Dadanya yang menantang.
Bibirnya sensual.
Wajah manisnya
Sorot mata menggoda.
Rambut hitam panjang, sedikit bergelombang, menebar wangi.
Kulit putihnya.
Aksinya yang super binal.
Aku yakin dia akan melayaniku dengan sebenar-benar pengabdian.

Alamak. Gila aku jadinya.

Dibalik semuanya. Aku semakin kuatir dengan belum jelasnya izin dari suaminya. Bisa-bisa inilah saat-saat terakhirku bersamanya.

Tidak bisa kuterima. Harus ada yang kuperbuat. Hal yang bisa memaksanya untuk tetap di sini.
Hal yang menegaskan: Mbak Ais sudah menjadi bagian dari hidupku. Melengkapi sisi kehidupanku yang lain.
Aku miliknya. Dia milikku. Kami saling memiliki.

Tapi apa?
Menghamilinya?

Gendeng. Nggak lah. Tidak senekat itu.
Aku punya istri, punya anak. Dia bersuami.
Bakal hancur jika semua ini terbuka. Karierku. Kehidupanku. Kehidupannya.
Pertaruhan yang terlalu berisiko.
Aroma kekalahan terlampau jelas.
Tidak, tidak. Bukan itu

Lalu apa?

Aku sudah tidak tahan. Hal ini harus kusampaikan.
Tentang aku yang tak ingin kehilangan. Tidak lagi.
Tentang hal yang harus kami perjuangkan. Bersama.
Tentang betapa berartinya dia di hidupku.
Dus, harus kusampaikan.

Segera kutuliskan semua itu. Niatku ingin kutulis dalam pesan pendek. Berharap ia membacanya. Lalu memahami posisiku.

Tapi takdir kadang membawa kita ke tempat dan situasi yang tak terduga.

Saat aku mulai menuliskan rasa dan pikiranku, Mbak Ais tiba-tiba muncul. Menyerahkan sebuah flashdisk. Lalu segera beranjak pergi, entah kemana.

"Ini file word yang mas minta" kalimat itu yang terakhir ia ucapkan.

Aku terheran.
Apa ini?
Aku tidak meminta file apapun.

Kutancapkan benda merah itu ke komputer.
Isi flashdisk standar perangkat kerja.
Foldernya banyak, rapih, ada penomoran di nama-nama nya.
Istilah istilah yang cukup familiar bagiku.

Ketemu.

Di jajaran akhir "date modified" satu file yang dimaksud Mbak Ais tampak menonjol.
Berbeda dengan deretan nama file lain.

"Untuk mas ***"

Aku coba telisik sekitar ruangan.
Kuatir ada yang mengintip.
Antusias, lengkap dengan deg-degan.
Layaknya remaja yang tengah mendapat surat cinta pertamanya.

Kuberanikan diri membukanya.
Sembari menunggu, tubuh kupaksa santai.
Kupaksa ngulet. Angop.
Kudorong tubuhku sendiri, bersandar di kursi.
Lalu spontan, kugumamkan lagu ala kadarnya.
Best I Ever Had-nya Vertical Horizon, lagu itu lewat begitu saja di kepala.
Kupastikan sekali lagi, tidak ada orang di sekitar ruang kerjaku.

Mulai kubaca satu demi satu kalimat yang tertulis.

Ini tulisan mbak Ais. Pasti. Khas sekali.
Bahasanya bercampur. Bahasa nasional. Bahasa daerah. Bahasa isyarat (tidak dong mase)
Aku senyum-senyum sendiri.
Makin mirip remaja yang tengah membaca surat cinta dari adik kelas.

Beberapa kalimat kemudian, aku hilang sabar.
Sekilas kutarik scroll ke bawah.

Aduh mak. Panjang nian kurasa.

Males.

Kembali kuulangi, kumulai dari depan.
Kali ini lebih cepat. Tak kubaca satu per satu kata yang muncul.
Membaca cepat. Beberapa kata kunci saja.

Dua kalimat yang kuingat hingga sekarang.

" Aku kadung jatuh hati.
Perjuangan kita baru saja dimulai"

Aiiih. Mau menculik Bung Karno mbak?

Isi surat ini sama, walaupun tidak persis, dengan apa yang ingin kuutarakan.
Ternyata kami memang sepemikiran, sehati mungkin.

Lama ku renungkan.
Bahagia. Aku merasa menemukan orang itu.
Sosok yang kunanti, kupuja.
Sosok yang ingin kudekap setiap saat.
Memastikan semua yang ia butuhkan tercukupi.
Dan apa yang kuinginkan, dia penuhi.

Aku dan Mbak Ais akan menjadi hal besar.
Tadinya kukira ini hanya bumbu pemanis.
Selingan di tengah stres pekerjaan.

Tidak. Yakin, tidak itu saja.
Hubungan ini pastilah lebih dari itu.

Kadung basah.
Mungkin sekarang saatnya masuk ke level lebih tinggi.
Ruang yang lebih gelap.
Tempat asing yang belum pernah kusentuh.

Seperti mimpiku di waktu yang lalu.
Naik ke lantai dua.

...Bersambung para kisanak.
 
Sehari pasca surat pengakuan.

Iya surat pengakuan.
Tidak ada istilah lain yang cukup menggambarkan isi surat itu.
Terlalu elegan dan dewasa untuk disebut surat cinta.
Tidak cukup bernilai untuk disebut surat berharga.
Tidak cukup materai untuk dijadikan surat perjanjian kerja.

Sudah. Surat pengakuan sudah pas.
Layaknya pengakuan para pemuda-pemudi Nusantara, dulu, 90 tahun yang lalu.
Tonggak yang menyatukan bangsa.
Pada akhirnya menuntun bangsa ini sampai pintu kemerdekaan.
Merdeka.

Hari kemerdekaanku pun sebentar lagi akan diproklamirkan.

Bagian lain isi surat menyiratkan niatan tulus Mbak Ais, untuk memberikan "Kenangan Terindah".
Sesuatu yang ditulisan terdahulu pernah kusinggung.
Istilah yang nyaris terlupakan, sengaja kulupakan tepatnya.
Hal yang tak pernah kumasukkan dalam agendaku. Tidak juga di memori pikiran.
Aku tak ingin nantinya, hal itu teronggok sebagai janji manis semata.
Oleh karenanya, tak pernah aku sengaja mengingatnya.
Tapi, Mbak Ais ingat.
Mungkin itu janji pada dirinya sendiri. Bukan padaku.

Maka aku memberanikan diri membuat terjemah: Mbak Ais ingin kusetubuhi.
Tidak hanya 'mau', ini 'ingin', berkehendak, dorongan dari hati.

Mana mungkin aku lewatkan.

Kesempatan emas.

Segera kuteliti agenda kerjaku. Mencari waktu senggang. Waktu yang bukan milik keluarga kecilku. Sabtu-Minggu otomatis tidak masuk hitungan. Tidak juga hari libur....
Tunggu....
Libur nasional bisa. Merah tanggal, tapi tidak dengan jadwal kegiatan.
Ada satu tanggal yang sedang kantor kami siapkan besar-besaran.

Libur bagi orang lain, tidak bagi kami. Tidak bagiku dan Ais.
Lebih ideal lagi jika aku berhasil meyakinkan istri untuk kubawa berlibur, berkunjung ke orang tuanya. Kemudian dengan alasan kerjaan, aku kembali ke kota ini. Ah, pas sekali. Jadilah.

Mbak Ais kukabari, lewat pesan pendek.

"Ya, mas atur saja" balasnya

Lega. Persis dugaanku. Let's go baybeh.

Bergegas kupesan kamar hotel.
Via aplikasi.
Lokasinya tidak jauh dari kantor. Tidak dekat pula.
Tarifnya menengah. Harusnya cukup terlindungi.
Aman menurutku.
Langsung ku-booking. Transfer. Locked.

"Ok" pesan dari Mbak Ais, tak lama setelah kubagi informasi itu.

"Ok" demikian pula balasan istri. Setuju ia diungsikan sementara. Libur beberapa saat, barang dua-tiga hari di rumah masa kecilnya.

Aku tak sabar menanti hari itu.
Senyum-senyum sendiri. Koyok wong edan.

-------

Hari perayaan. Tengah hari.

Mobil terparkir di rumah.
Aku lebih memilih motor tuaku untuk beredar di sekitar kota.
Sejak pagi, melengkapi hari-hari sebelumnya, aku dan staf lain riweuh terlibat di acara kedinasan.
Sekarang, aku duduk di area merokok depan minimarket terkenal. Beberapa puluh meter saja dari hotel.
Tidak tenang.
Kakiku terus bergerak aneh. Seolah memainkan pedal drum.
Gugup.

Masih kutimbang-timbang.
Perlukah aku menyiapkan caps?

Gak enak babar blas sakjane. Tidak nyaman saat memakai barang itu.
Tidak intim. Sensasinya menyedihkan.
Pernah kucoba dulu. Dengan istri.
Kapok. Tidak lagi-lagi.
Langsung kubakar sisa barang laknat itu, tepat di belakang rumah.
Anggota badan paling sensitif dibungkus karet? ide bodoh.

Tapi ini pengalaman pertamaku.
Aku tidak yakin 100 % dengan cerita masa lalu mbak Ais. Yang pasti, dia bukanlah anak perawan kinyis-kinyis.
Sudah bersuami. Pasti sudah berkali-kali berhubungan badan. Pun mungkin berkali pula dengan pria lain.

Aku ber-gedek.
Tidak lah. Berlebihan pikiran itu.

Tetap saja. Logika mengalahkan naluri.
Aku seorang enjiner, tidaklah patut mengedepankan perasaan. Cemen.
Kami pakai Engineering Sense. Semua bisa dijelaskan secara struktural-konsolidatif, berlandaskan prinsip-prinsip akademis, teruji empiris.
Konsep, amati, kalkulasi, analisis, putuskan. KAKAP.
Demikian anak-anak pelajaran etika keteknikan...

Yak lanjut....

Di kantong belanja terbungkus beberapa makanan kecil. Coklat lokal kesukaannya. Air mineral. Kacang.
Karet pengaman jadinya terbeli pula. Rapih tersimpan di saku celana, bagian belakang.

"Aku sudah di parkiran. Mas dimana?" kubuka pesannya. Baru saja kuterima.

"Tunggu mbak. OTW"

Mas dan Mbak.
Masih saja sebutan itu yang kami pakai. Pernah ia usulkan untuk diganti 'kamu-aku', ayang, bebs, ayah-bunda (No, yg terakhir tidak pernah terjadi, rekaan saja, cuihhhh)

Mas dan Mbak lebih baik. Netral. Ada unsur penghormatan. Tetap bernuansa kedekatan personal. Cukup aman andai terbaca orang lain. Pas sudah.

Makin deg-degan. Kuhampiri ia ke parkiran. Masih duduk di atas motornya. Helm masih terpasang. Mungkin jaga-jaga jika aku putuskan batal, bisa langsung kabur, hehe...
Sosoknya kukenali, walupun nyaris seluruh badan tertutup. Kuatir ketahuan. Jaket krem tebal, panjang, lebih mirip jubah. Masker kain warna putih (atau coklat, lupa). Kacamata hitam besar, nyaris menutupi setengah wajah. Masih dilengkapi helm half-face. Kacanya masih tertutup pula. Sarung tangan, bahan kain, warna cerah, seingatku pink-putih-hijau. Tidak terlalu penting.

"Tunggu yo mbak. Check In dulu"

Bergegas aku ke lobby hotel. Set-set-set. Kelar. Sempat mak-deg saat diminta KTP. Bodo lah. Kepalang tanggung.

Aku diantar bellboy hotel ke kamar. Apes, kamar yang kupesan, kuncinya bermasalah.

Mbak Ais masih menunggu dengan di tempat parkir dengan sabar, semoga.

Bellboy meminta maaf. Memintaku untuk tidak perlu kuatir. Bulan ini hotel tengah sepi tamu. banyak kamar kosong. Aku dimintanya duduk di ruang pojok, semacam teras, tempat kopi dan rokok. Ada lukisan abstrak di dinding. Sedemikian abstrak, hingga aku lupa, entah seperti apa goresannya. Warnanya yang menarik, dominan putih, kecoklatan, cenderung krem atau coklat muda. Beberapa titik hitam ditempatkan secara misterius.

Terbayang kulit mbak Ais, putih, mungkin mendekati warna dominan yang kutangkap dari lukisan itu. Titik hitam. Hmm.. aku belum pernah melihat langsung puting dan memek mbak Ais. Kuduga juga hitam.

Aku tak sabar. Si adik sudah on duluan.
Kupukul dia pakai gulungan brosur hotel yang tengah kubawa.
Diam dulu. Tahan sebentar

Berusaha mengalihkan fokus otak. Kupandang sekeliling. Aku di lantai 3. Di lantai dasar ada kolam renang. luas. Ada kolam untuk anak kecil. Saat itu tampak dua anak kecil tengah bermain, balon atau semacam bola plastik. Ceria. Kakak-adik kurasa. Si kakak, cowok, usil. Direbutnya balon itu dari adik perempuan. Berkejaran di kolam, airnya setumit orang dewasa.
Di sisi kolam, sepertinya si Ibu, umur 40-an, berhijab, bertopi lebar, kacamata hitam, duduk mengamati anak-anaknya.

Aku tersenyum.

Sekaligus aku ingat anakku.

Apa yang kulakukan di tempat ini???

Sial.

Masih ada kesempatan untuk batal.

Mbak Ais juga belum masuk hotel. So...

"Pulang saja" si putih membisiki.

...
...
...

"Meeh.... Tanggung boss.
Gak ada urusan sama anak.
Tengah liburan mereka. Happy sama Simbah dan Mamanya.
Koen happy tah? (kamu bahagia atau tidak?)" argumen si merah.

Tidak. Aku tidak happy. Ini sedang berusaha untuk happy.

Tertawa si setan. Putih diam.

Fuck lah.

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.


...bersambung maning boss
 
Terakhir diubah:
Sehari pasca surat pengakuan.

Iya surat pengakuan.
Tidak ada istilah lain yang cukup menggambarkan isi surat itu.
Terlalu elegan dan dewasa untuk disebut surat cinta.
Tidak cukup bernilai untuk disebut surat berharga.
Tidak cukup materi untuk dijadikan surat perjanjian kerja.

Sudah. Surat pengakuan lebih tepat.
Layaknya pengakuan para pemuda-pemudi Nusantara, dulu, 90 tahun yang lalu.
Tonggak yang menyatukan bangsa.
Pada akhirnya menuntun bangsa ini sampai pintu kemerdekaan.
Merdeka.

Hari kemerdekaanku pun sebentar lagi akan diproklamirkan.

Bagian lain isi surat menyiratkan niatan tulus Mbak Ais, untuk memberikan "Kenangan Terindah".
Sesuatu yang ditulisan terdahulu pernah kusinggung.
Istilah yang nyaris terlupakan, kulupakan tepatnya.
Hal yang tak pernah kumasukkan dalam agendaku.
Aku tak ingin nantinya teronggok sebagai janji manis semata.
Oleh karena itu, tak pernah aku sengaja mengingatnya.
Tapi, Mbak Ais ingat.
Mungkin itulah janjinya pada dirinya sendiri. Bukan padaku.

Maka aku memberanikan diri membuat terjemah: Mbak Ais ingin kusetubuhi.
Tidak hanya 'mau', ini 'ingin', berkehendak, dorongan dari hati.

Mana mungkin aku lewatkan.

Kesempatan emas.

Segera kuteliti agenda kerjaku. Mencari waktu senggang. Waktu yang bukan milik keluarga kecilku. Sabtu-Minggu otomatis tidak masuk hitungan. Tidak juga hari libur....
Tunggu....
Libur nasional bisa. Merah tanggal, tapi tidak dengan jadwal kegiatan.
Ada satu tanggal yang sedang kantor kami siapkan besar-besaran.

Libur bagi orang lain, tidak bagi kami. Tidak bagiku dan Ais.
Lebih ideal lagi jika aku berhasil meyakinkan istri untuk kubawa berlibur, berkunjung ke orang tuanya. Kemudian dengan alasan kerjaan, aku kembali ke kota ini. Ah, pas sekali. Jadilah.

Mbak Ais kukabari, lewat pesan pendek.

"Ya, mas atur saja" balasnya

Lega. Persis dugaanku. Let's go baybeh.

Bergegas kupesan kamar hotel.
Via aplikasi.
Lokasinya tidak jauh dari kantor. Tidak dekat pula.
Tarifnya menengah. Harusnya cukup terlindungi.
Aman menurutku.
Langsung ku-booking. Transfer. Locked.

"Ok" pesan dari Mbak Ais, tak lama setelah kubagi informasi itu.

"Ok" demikian pula balasan istri. Setuju ia diungsikan sementara. Libur beberapa saat, barang dua-tiga hari di rumah masa kecilnya.

Aku tak sabar menanti hari itu.
Senyum-senyum sendiri. Koyok wong edan.

-------

Hari perayaan. Tengah hari.

Mobil terparkir di rumah.
Aku lebih memilih motor tuaku untuk beredar di sekitar kota.
Sejak pagi, melengkapi hari-hari sebelumnya, aku dan staf lain riweuh terlibat di acara kedinasan.
Sekarang, aku duduk di area merokok depan minimarket terkenal. Beberapa puluh meter saja dari hotel.
Tidak tenang.
Kakiku terus bergerak aneh. Seolah memainkan pedal drum.
Gugup.

Masih kutimbang-timbang.
Perlukah aku menyiapkan caps?

Gak enak babar blas sakjane. Tidak nyaman saat memakai barang itu.
Tidak intim. Sensasinya menyedihkan.
Pernah kucoba dulu. Dengan istri.
Kapok. Tidak lagi-lagi.
Langsung kubakar sisa barang laknat itu, tepat di belakang rumah.
Anggota badan paling sensitif dibungkus karet? ide bodoh.

Tapi ini pengalaman pertamaku.
Aku tidak yakin 100 % dengan cerita masa lalu mbak Ais. Yang pasti, dia bukanlah anak perawan kinyis-kinyis.
Sudah bersuami. Pasti sudah berkali-kali berhubungan badan. Pun mungkin berkali pula dengan pria lain.

Aku ber-gedek.
Tidak lah. Berlebihan pikiran itu.

Tetap saja. Logika mengalahkan naluri.
Aku seorang enjiner, tidaklah patut mengedepankan perasaan. Cemen.
Kami pakai Engineering Sense. Semua bisa dijelaskan secara struktural-konsolidatif, berlandaskan prinsip-prinsip akademis, teruji empiris.
Konsep, amati, kalkulasi, analisis, putuskan. KAKAP.
Demikian anak-anak pelajaran etika keteknikan...

Yak lanjut....

Di kantong belanja terbungkus beberapa makanan kecil. Coklat lokal kesukaannya. Air mineral. Kacang.
Karet pengaman jadinya terbeli pula. Rapih tersimpan di saku celana, bagian belakang.

"Aku sudah di parkiran. Mas dimana?" kubuka pesannya.

"Tunggu mbak. OTW"

Mas dan Mbak. Masih sebutan itu yang kami pakai. Pernah ia usulkan untuk diganti 'kamu-aku', ayang, bebs, ayah-bunda (No, yg terakhir tidak pernah terjadi, rekaan saja, cuihhhh)

Mas dan Mbak lebih baik. Netral. Ada unsur penghormatan. Tetap bernuansa kedekatan personal. Cukup aman andai terbaca orang lain. Pas sudah.

Makin deg-degan. Kuhampiri ia ke parkiran. Masih duduk di atas motornya. Helm masih terpasang. Mungkin jaga-jaga jika aku putuskan batal, bisa langsung kabur, hehe...
Sosoknya kukenali, walupun nyaris tertutup seluruh badan. Jaket krem tebal, panjang, lebih mirip jubah. Masker kain warna putih (atau coklat, lupa). Kacamata hitam besar, nyaris menutupi setengah wajah. Masih dilengkapi helm half-face. Kacanya masih tertutup pula. Sarung tangan, bahan kain, warna cerah, seingatku pink-putih-hijau. Tidak terlalu penting.

"Tunggu yo mbak. Check In dulu"

Bergegas aku ke lobby hotel. Set-set-set. Kelar. Sempat mak-deg saat diminta KTP. Bodo lah. Kepalang tanggung.

Aku diantar bellboy hotel ke kamar. Apes, kamar yang kupesan, kuncinya bermasalah.

Mbak Ais masih menunggu dengan di tempat parkir dengan sabar, semoga.

Bellboy meminta maaf. Memintaku untuk tidak perlu kuatir. Bulan ini hotel tengah sepi tamu. banyak kamar kosong. Aku dimintanya duduk di ruang pojok, semacam teras, tempat kopi dan rokok. Ada lukisan abstrak di dinding. Sedemikian abstrak, hingga aku lupa, entah seperti apa goresannya. Warnanya yang menarik, dominan putih, kecoklatan, cenderung krem atau coklat muda. Beberapa titik hitam ditempatkan secara misterius.

Terbayang kulit mbak Ais, putih, mungkin mendekati warna dominan yang kutangkap dari lukisan itu. Titik hitam. Hmm.. aku belum pernah melihat langsung puting dan memek mbak Ais. Kuduga juga hitam.

Aku tak sabar. Si adik sudah on duluan.
Kupukul dia pakai gulungan brosur hotel yang tengah kubawa.
Diam dulu. Tahan sebentar

Berusaha mengalihkan fokus otak. Kupandang sekeliling. Aku di lantai 3. Di lantai dasar ada kolam renang. luas. Ada kolam untuk anak kecil. Saat itu tampak dua anak kecil tengah bermain, balon atau semacam bola plastik. Ceria. Kakak-adik kurasa. Si kakak, cowok, usil. Direbutnya balon itu dari adik perempuan. Berkejaran di kolam, airnya setumit orang dewasa.
Di sisi kolam, sepertinya si Ibu, umur 40-an, berhijab, bertopi lebar, kacamata hitam, duduk mengamati anak-anaknya.

Aku tersenyum.

Sekaligus aku ingat anakku.

Apa yang kulakukan di tempat ini???

Sial.

Masih ada kesempatan untuk batal.

Mbak Ais juga belum masuk hotel. So...

"Pulang saja" si putih membisiki.

...
...
...

"Meeh.... Tanggung boss.
Gak ada urusan sama anak.
Tengah liburan mereka. Happy sama Simbah dan Mamanya.
Koen happy tah? (kamu bahagia tau tidak?)" argumen si merah.

Tidak. Aku tidak happy. Ini sedang berusaha untuk happy.

Tertawa si setan. Putih diam.

Fuck lah.

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.


...bersambung maning boss
goreng kentangnya belum matang sudah d sajikan ki sanak???😂😂😂
 
Suwangar suhuuuu... Panas dingin membacanya.... Lanjoetkan... Semangat....
 
rawe rawe rantas malang malang putung..
diawe awe njur di ewek ewek langsung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd