Hening.
Mbak Ais segera menarik kulumannya. Lidahnya berputar di sekitar bibir. Tak ada bagian es krim yang ingin ia lewatkan.
"Boleh." Jawabnya lagi. Sambil mengangguk pelan. Jawaban yang sedikit terlambat.
Kupandangi Junior. Masih tegak menjulang. Tangan pasanganku masih menahannya. Digenggam. Cukup erat. Mulut Junior ditutup jari Ais. Agak ditekan. Jempol atau jari lain, aku tak paham. Aneh rasanya. Kaku. Basah. Duo kantong di selangkangan masih tegang.
Pejuku belum keluar.
Tapi tadi itu apa? Berasa ada yang keluar. Sedikit. Tapi ada, aku yakin. Mungkinkah sekedar pelumas?
Iya pasti itu. Belum ada lega yang kurasa. Lahar panas masih tertahan di dalam. Apa yang sedang kau lakukan Ais?
"Enak sayang?" tanya Ais. Mengganggu proses analisisku, tanggung, belum sampai bab kesimpulan.
Yo jelas enak mbak. Enak banget ini sudah. The Best. Mbak Ais layak dapat piala bergilir Bupati. Juara 1 lomba nyepong. Berhak maju ke tingkat nasional. Andai dikirim lomba tingkat dunia, pastinya menang lagi, jadi perwakilan di kompetisi tingkat galaksi.
"Iya. Banget." Jawabku . Nafasku masih belum teratur. Kepala pusing, nyut-nyutan. Kepala di bawah tampaknya demikian pula.
Masih saja ada rasa aneh itu. Kini memenuhi area kemaluan. Sepanjang batang, hingga sebagian skrotum. Apa ya istilahnya. Seperti area dalam mulut yang dibius dokter, sesaat sebelum cabut gigi. Tak terasa apapun. Misalpun ada, tipis sekali rasanya.
Ya begitulah.
Tensi menurun. Kesempatan ambil nafas. Untunglah.
"Mbak, lepasin semua aja gih" pintaku. Merujuk pakaian kami yang dalam kondisi ini, sudah tak laik pakai.
Mbak Ais patuh. Sami'na wa ato'na.
Ditanggalkan semua pakaian tersisa. Kini didepanku terpampang wanita bugil. Dalam tampilan tiga dimensi. Spektrum warna jelas. Komposisi cukup pas.
Duo kembar sangat menantang. Putingnya agak tebal. Aku suka.
Seperti yang kuduga, di bawah adalah hutan belantara. Semak belukar tumbuh tak tentu arah. Nyaris penuh area itu. Semoga tak ada kecoak bersembunyi.
"Sekalian punyaku dong, Mbak." Pintaku, lebih.
"Aihhh... Manja" Ceplos Ais. Tapi tetap dijabanin juga. Badanku terangkat naik, seperti gerakan sit-up. Akibat momentum yang terjadi pasca Ais menarik kaosku. Agak sulit dilepas sepertinya. Basah akibat keringat.
Kini kami telanjang bulat. Agak bulat. Ais yang agak bulat. Aku kerempeng. Yak, sekadar menegaskan.
Tubuh kami berhadap-hadapan. Aku duduk selonjor. Ais setengah belutut. Tentu pembaca dapat menerka apa yang ada di depan wajahku.
Langsung kucaplok. Nyummie...
Kali ini sektor kanan. Kanannya Ais. Tak kalah jumbo rupanya. Sensasinya tak perlu lah kujelaskan, tak jauh beda dengan sektor kiri.
"Aaaach... ssssssh." Desahan perempuan segera terumbar. Melengkapi suara bed yang turut berguncang, mengikuti irama tubuh kami, yang entah kenapa mulai bergoyang. Mbak Ais tampak geli. Aku tetep sibuk, mimik.
Tanganku kanan-kiri kutempel di pantat Ais. Sebaliknya, kedua tangan Ais kompak menahan kepalaku, mengacak acak dan menjambak rambut, menjewer kuping (sumpah, ini sensasi baru, enak, nyaman, cobalah sesekali), seolah bersiap, andai aku kelewatan bakal dipatahkannya kepalaku ini. Mulut dan lidahku fokus bermain di puting dan area areola.
"Gigit sayang." Ucap si Embak, memecah konsentrasi.
"Hah. Beneran? Gak sakit? Perih bukan?" Kataku. Tampak blo-on.
"Iyah, gak papa....aku suka. Kurang berasa kalo gak digigit. Please..." Wajahnya melas meminta. Bikin tambah ngaceng.
Asem. Lonte emang.
Ok lah. Rezeki kok ditolak. Segera kulakukan perintah Ibu Peri.
"Aaaaaaaach.....ahuft.....hmmmm....Aaaach" Desahannya kembali terdengar. Setiap kali kugigit, tubuhnya merespon, agak menggelinjang. Keenakan. Duuh, asik sekali.
Tangan kananku mulai tak bisa diatur. Dijamahnya area hutan belantara. Kurasakan sensasi saat rerumputan menyentuh kulit tangan. Jari jemari kucoba iseng menyisir rambut-rambut itu. Bukan, bukan mencari kecoak dan kutu. Sekadar menafsir. Seberapa panjang, seberapa lebat, dan selama apa kira-kira ia tak bercukur. Lebat sekali.
Si jari masih bergerilya. Jaring tengah, didampingi beberapa tetangga sebelah. Ujungnya kini menemukan gua persembunyian. Guo Lowo tah?
Sedikit becek pintu gua itu. Lembek. Kenyal. Dilindungi semak belukar. Jariku mengitari sekitaran pintu masuk. Mencari titik terbaik untuk memulai penjelajahan. Ketemu.
Sedikit tergesa, kumasukkan jariku. Jari tengah tentu. Kan lagi nge-fuck. Di dalam ia membentuk pose kait. Menjamah dinding gua bagian dalam, bagian atas menjadi area prioritas pencarian. Mencari tonjolan kecil, tombol kenikmatan. Di sekitar, air bah. Banjir ternyata. Air dari gua meluber ke permukaan.
Ais kelonjotan. Goyangannya makin tak tentu arah. Kadang hentak ke depan, memaksa jariku masuk lebih dalam. Malu jika sendiri, kutambahi personil tambahan dari mabes. Jari telunjuk turun ke lokasi, masih dengan stamina prima pastinya.
Mbak Ais mendelik. Kupingku jadi sasaran, digigit cukup liar. Jahat. Tak ingin disalahkan, lidah Ais menyapu bekas gigitan, seakan berusaha mengobati kesakitanku. Bukan obat yang kudapat. Yang ada makin sakit.
Dua jari di bagian gua berhasil menjalankan tugas. Desahan si Bini Orang makin tak terkawal. Menggema. Menembus tembok kurasa. Kuatir juga jika kedengeran sampai luar. Kuharap tak ada orang lewat di lorong teras.
"Aaaaah.... nakal...., Masss...." Lolong Ais.
Lalu lemas, hilang daya tenaga, mirip orang ngobam, lepas pesta di klub malam. Ais mengatur nafas
"Mas..," katanya lirih. "...aku udah keluar....", Meringis ia mengucapnya. Masih kutangkap unsur manja di suaranya.
Wow. Gini aja nih?
....bersambung kembali