----
Wajah Mbak Ais masih datar. Serius kah? pikirku. Tadi siapa yang minta? Atau itu jangan- jangan sekadar kode? Boleh jadi "di dalam" artinya "jangan di dalam" So, aku salah menafsirkan kode. Atau memang aku salah dengar? Memoriku tak bisa menjangkau rincian momen tadi. Tetap kupaksa mengingat. Tak ada kata "jangan" seingatku. Tetap saja aku yang salah. Laki-laki selalu salah. Perempuan tak pernah salah.
Bingung, bingung ku memikirnya
Bingung, bingung ku memikirnya...
Sejurus kemudian, raut muka Ais perlahan berubah. Tak lagi datar, sedikit bergelombang.
Mimik mukanya makin cerah, menjadi senyum. Senyum nakal, senyum manja. Dipeluknya tubuhku. Agak mendadak. Aku kini menindihnya. Kurasa Ais tak akan tersiksa oleh beratku. Kami berselisih nyaris sepuluh kilo. Aku lebih ringan.
"Bercanda, Mas" Kata dia, setengah berbisik, tepat di telingaku. Disambung tawa kecil.
Bazigur.
Belum hilang syokku. Perempuan ini gila memang.
"Maaf ya." ucapnya lagi. "Pasti udah stres tadi"
Aku diam. Berusaha menetralkan otak. Melandaikan grafik detak jantung. Iseng, kugigit lehernya. Mencoba meninggalkan stempel di sana. Cupangan.
Ais mendesah.
Pelukannya makin erat. Rambutku sedikit dijambaknya. Tadinya jambakan yang menenangkan. Selayaknya pijat kepala sehabis layanan potong rambut premium. Makin ke sini makin kasar. Terpaksa kupindah area kerjaku, agak naik. Kini area kuping kujadikan sasaran. Masih dengan gigi dan lidah, sedikit kuselingi dengan kecupan mesra, agar tetap tak meninggalkan unsur romantisme.
"Lagi yuk Mbak" ajakku.
"Sudah tegang lagi kah?" tanya Ais. Tangannya kini berusaha meraih batangku di bawah sana. Agak kebas masih. Tak banyak sensasi yang kurasakan. Masih basah yang jelas. Tangan Ais kini menggenggam kemaluanku, sedikit di urut, rasa kebas perlahan sirna. Kasar tangan Ais yang kini kurasakan. Licin mulai berkurang.
"Aku emut dulu ya Mas" kata Ais. Aku tak menduga, pun tak berharap ia bakal berkata begitu.
"Boleh." Kataku. Nada biasa saja, cenderung datar. Tapi sesungguhnya pemirsa, antusias membuncah di dada. Aku suka dikulum. Sensasi saat lidah Ais mengitari batang kemaluan adalah hal terbaik, kenikmatan paripurna, yang hingga kini tak bisa tertandingi oleh sensasi apapun. Tidak juga oleh persenggamaan duniawi melewati gua becek di bawah.
Aku merangkak ke depan, berlutut, berusaha mengarahkan si adik ke mulut Ais. Wajah si Embak nakal sekali. Nampak tak sabar mencaplok pisang ambon di depannya. Kulirik sekilas senjataku. Ada pemandangan aneh.
Bercak darah.
"Eh, kenapa ya?" Spontan kalimat itu keluar. "Lecet kah?" Kebingungan aku. Aku terlalu kasar mungkin? Birahiku meredup.
Mbak Ais pun kaget.
"Aduhh. Jangan-jangan... Masa sih?" Turut bingung ia tampaknya.
Jangan-jangan apa? Aku tidak punya clue jawaban sama sekali.
"Jangan-jangan apa Mbak?" tanyaku, polos.
"Mens Mas."
Waduuuhhhh. Kok bisa? Buyar pikiranku. Terbayang soal darah kotor yang barusan menjamas keris pusakaku. Apa yang akan terjadi nanti. Gatal-gatal? luka yang tak kunjung sembuh? bernanah? Penyakit menular? bubarrr kisanak. Iya, otakku dipenuhi kalkulasi risiko, selalu. Soal hitungan sebab-akibat. Bertautan, rangkaian logika "if-then". Mungkin itu yang menggagalkan rintisan usahaku bertahun lalu. Terlalu ruwet pikiranku.
Kulihat area medan pertempuran di bawah. Iya betul, penuh darah. Nampak rembes, merah gelap, kontras dengan warna sprei yang putih bersih. Ini satu hal yang patut kutanyakan, kenapa sprei hotel selalu berwarna putih? Sudah ada hukum paten kah?
Buru-buru kubuang badanku menjauh. Turun dari Bed. Langsung ke kamar mandi. Kran air panas kuputar, sekaligus dengan kran air dingin di sebelahnya.
Guyuran air dingin perlahan datang. Lalu hangat. Aku terpejam. Berusaha relaksasi.
Apa yang terjadi tadi? Apa itu artinya spermaku terhalang? So aman kah? Tidak bisa hamil si Ais? Pikiran positif tetiba datang. Atau negatif? Tergantung sudut pandang sih ini. Masih sibuk dengan zona imajinasiku, Tubuh Mbak Ais memelukku. Dari belakang.
"Maaf...." katanya. Terdengar penyesalan tulus. Juga kekecewaan.
Kenyal payudara ais menempel di punggung. Lembut, hangat, berpadu dengan benjolan puting Ais yang agak keras. Duh enak. Si konti kembali bereaksi. Wah, masih belum puas rupanya. Wajar lah, ronde terakhir belum tamat, sudah diminta keluar ring.
Tangan si embak kini meraih batangku. Licin. Sudah berbalur sabun. Aku balik badan. Kuatir bakal dikocok dari belakang. Kini kami berhadap-hadapan. Di tengah bathroom box, di bawah guyuran air hangat dari shower. Tangan Ais masih bergerilya. Mimik muka Ais unik sekali. Kombinasi antara cantik, berantakan akibat guyuran air, juga aura kekanakan, dibalut ekspresi penyesalan. Bibirnya sedikit membuka. Seperti ingin mengulangi perkataan tadi
"I'm so sor..." Kucium saja. Sosor duluan. Ciuman hukuman. Juga bentuk penerimaan maaf. Atau entah apa. Reflek saja, ingin kucium saja. Seolah ingin kubalas permintaan maafnya dengan: Sudahlah, mari kita nikmati momen ini. Kalimat itu juga kutujukan untuk diriku sendiri.
Mata kami terpejam. Tanganku kini menggenggam dua bongkahan payudara si embak. Full satu tangan penuh. Kencang. Duh, konti makin tegang.
Mbak Ais melepaskan diri dari serangan mulutku. Berlutut kini. Diliriknya aku. Ahhh, lonte ini paham. Dia paham sekali keinginanku. Segera dicaploknya batang kemaluanku. Kasar. gerakannya kasar. Nyaris aku tak bisa menikmati, di awal. Si Adik kini berselimut cairan saliva Ais. Nampak sedikit berbusa. Mungkin masih ada sabun tersisa. Lama-lama enak. Sudah terbiasa aku dengan ritme kuluman Ais yang binal. Enak dan menggairahkan. Tanganku kanan masih terkunci di susu Ais, meremas nakal. Tangan kiri membelai rambutnya, berusaha memberi pengayoman. Biar imbang.
Di tengah kuluman itu, masih sempat Ais mendesah, atau mendesis, seksi sekali. Kadang mendadak ia berhenti. Lalu diemutnya lagi. Duh dek, makin tegang. Hawa panas kini bergerak di sekitar kemaluanku. Aku tak tahan. Ingin kuperkosa mulut itu.
Kedua tanganku kini membelai rambut Ais yang basah. Kuposisikan agak di belakang kepala. Mulai kugoyangkan pantatku. Batang ereksi itu terdorong masuk. Perlahan. Kutarik sejenak. Kubiarkan Ais bernafas, bersiap. Lalu kudorong masuk. Lebih dalam. Si Embak kini terpejam. Batangku sepenuhnya terpenjara di mulut Ais. Basah. Panas. Bibir Ais yang lembut menyentuh pangkal kontiku. Enak sekali. Aku turut terpejam.
"Tahan ya sayang." Perintahku
Ais mengangguk pelan. Tangannya kini menahan pantatku. Agak diremasnya dua bantalan itu.
Aku tak tahan. Segera kupompa mulut Ais. Batangku keluar-masuk mulut perempuan binal itu. Perlahan lalu makin cepat. Aku tak peduli dengannya lagi. Dia tengah kurendahkan sebagai wanita. Kuposisikan sebagi budakBodoamat dia menikmati atau tidak. Kadang giginya menyentuh kulit si Adik. Pun aku tak peduli. Aku makin liar. Naluri binatangku keluar tanpa kendali. Inilah kodratku sebagai pria. Menguasai. Mendominasi. Alpha Male.
Suara desahan Ais tertahan. Tersumpal oleh batangku yang tengah berfoya-foya. Mulutnya resmi kusetubuhi. Hawa panas makin menjadi. Terkumpul di sekitar batang. Tanda jika waktunya telah tiba.
"Aku mau keluar, Sayang." Kataku.
Kucabut pusakaku dari mulut Ais.
Crutttt....crott....crooot....
Muntah mani beberapa kali. Tepat di muka si Embak. Tercecer di sekujur wajah manis Ais. Nampak makin cantik saat pejuku menempel di sana. Layaknya masker wajah. Mata Ais terpejam. Mulutnya juga tertutup.
Badanku masih tegang. Kunikmati saat-saat itu. Sadis. Sekaligus indah. Ada rasa lega. Bahagia. Juga bangga. Belum genap kutuntaskan rasa itu, Ais telah bereaksi.
Ditariknya pusakaku yang masih setengah tegang. Masuk mulutnya. Hangat. Disedot sisa mani di sana. Mataku reflek menutup.
"Emmmmhhhhh.....aaaaaachhhh......."
Aku menggelinjang hebat. Seketika geli yang teramat dahsyat menjalar. Ujung kepala hingga ujung kaki. Sari-sariku dihisap. Aku tenggelam, lemas sekujur badan. Tak kuat menahan nikmat. Kembali kujejak nirvana. Di tingkatan tertinggi. Terbuai oleh hawa surga. Tinggalkan aku di sini. Biarkan aku di sini, selamanya.
....bersambung kembali