Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Bangga. Bak pahlawan. Stage one: Clear.

Kami berpelukan, lama. Sama-sama diam. TV di depanku masih menyala. Menampil acara yang tak kupahami apa. Musik pastinya. Saluran mandarin, atau korea. (Sebagian detail sudah terlupakan).

"Aku sayang Mas. Sayang banget." Ucap Mbak Ais. Jujur. Tulus. Lirih, tak terlalu jelas. Bibirnya tak bisa mengucap jelas. Dagu masih menempel di pundak kiri. Kurasa ia tengah terpejam. Menikmati momen ini. Detik demi detik.

"Aku juga." Kubalas sekenanya. Otakku tak di tempat itu, bergeser ke dimensi sebelah.

Masih berkutat dengan pertanyaan: Apa yang tadi terjadi dengan Si Adik?

Seharusnya tadi sudah meledak. Tapi tak kejadian. Tidak. Pasti ada sesuatu. Tapi aku tak lakukan apapun. Standar saja. Menikmati kuluman Mbak Ais yang membius. (Nikmat sekali, setiap membayangkannya, konti langsung tegap sikap sempurna, seperti saat ini-Red).
Seharusnya sudah KO aku. Muncrat. Tak hanya sekali, mungkin berkali-kali.

Tangan Ais. Apa mungkin karena tangannya. Tak hanya mulut dan lidahnya yang luar biasa. Magis tangan Ais juga #Aistimewa ?? Benarkah? Sementara hanya itu jawaban yang bisa kuterka.

Kembali kulirik Si Konti. Tengah sibuk ia. Berbincang dengan Vijay berbrewok di bawah sana. Sedikit intim tampaknya. Menempel satu sama lain. Geli. Banyak bulu menjamah batangku itu. Kasian juga, beberapa saat yang lalu tak tersentuh ia, tak dilibatkan dalam permainan susur gua.

Sabar ya Nak.

Kurasakan jari tangan masih basah. Tangan kanan. Kutengok sebentar. Ada bercak merah disitu. Buyar lamunanku.

"Kamu lagi dapet mbak?"

"Eh?" Jawab Ais. Tak kalah kaget dia. "Masa sih? Emang udah lama gak dapet. Tapi masa sih?" Mimik mukanya menunjukkan kebingungan. Ayu, ning bingungan.

Diusap sekitaran gua itu. Memang ada bercak darah. Tak banyak sesungguhnya. Atau banyak? Tak ada standar yang bisa memastikan. Tak ada pula pikiran untuk ambil gambar. Ini gawat. Terhenti di sini permainan kami?

"Gak ah seharusnya." Masih. Ais berusaha memastikan. Tisu dipakainya. Usapan-usapan tisu di sekitar liang kenikmatan itu tampak erotis. Adik terbelalak. Makin tegang.

Mbak Ais melihat senjataku siap tempur. Diliriknya aku. Aku cengengesan.

"Masukin aja yuk mas." Ajaknya.

Lah. Ayuk lah. Pasti itu.

Belum sempat kujawab. Sudah dilahapnya pisangku. Pangkalnya ditahan dengan jempol dan telunjuk, Oke oce. Dikulumnya, naik turun.

Aku kembali terbius. Aduh enak banget, sumpah.

"Gak usah pake tangan sayang." ucapku. Ingin kumenikmati rongga mulutnya, utuh. Kubiarkan seluruh batangku menyumpal mulut pelacur ini.

Lagi-lagi tak ada jawaban. Ais menjawab dengan kerja nyata. Bukan kata-kata. Ini lagi ngomongin Ais loh. Serius.

Benar saja, dilahapnya bulat bulat. Ditahan agak lama di dalam. Kedua tangan ais turut menahan pantatku. Menjaganya agar tak mundur. Membuat torpedo di dalam mulutnya tak punya pilihan lain. Diam atau maju terus. Mundur tak masuk hitungan. Aku kegirangan. Keenakan. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

"Aaaaah...." mendesah aku, spontan.

Si Adik terasa menyentuh batas kerongkongan. Basah luar biasa. Seolah siap telan.

Perlahan dikendurkan serangan mulut itu. Pantatku tetap diam, tampak tak ingin mundur dari pertempuran. Sambil menarik mundur, organ pengisap Ais bekerja, tersedot aku. Nikmat sekali. Desahanku makin tak terkontol, terkontrol, eh terkontol. Ya.

Lalu..Plupppp...Lepas seluruh batang.

Enaaakkkk. Aku mau lagiiiii.....
(Sekarang saya kondisi ngac*ng pemirsa. Kembali ke studio)

....

"Masukin ah mbak." Kali ini aku yang mengajak. Tiba-tiba teringat sesuatu. "Mau pake kondom?"

"Ada?"

"Ada. Udah siap disana tuh", Kutunjuk celanaku. Salah arah. Pandanganku menyisir seisi ruangan. Tak ketemu. Dimana celanaku tadi. Ah elah.

"Mas mau pake itu?"

"Gak. gak enak"

"Ya udah, gak usah pakai". Clear. Deal. Siap. Mantap. Bodoamat soal penyakit menular. Penting bisa main ular. Ular kadut. Ngumpet di jembut. Atuuttt.

Segera kurebahkan dia. Kuelus sekitar selangkangan. Memastikan tingkat kelembaban wilayah. Agar sesuai dengan ambang izin yang diperbolehkan. Masih lembab. Melewati semak belukar itu lagi. Hmmm...lebat ya.

Kuciumi paha Ais. Putih. Lembut. Si Embak menggoyang badan sedikit. Geli tampaknya. Kulanjutkan perjuangan. Menjilati pangkal paha. Mulus. Hangat. Rambut di situ mulai tak bersahabat. Kubenamkan kepalaku. Sekadar mencium area pinggir hutan. Mbak Ais masih kegelian.

Kuangkat kepalaku, kupandangi wajah Ais sejenak. Keenakan dia tampaknya. Mau minta lagi sepertinya. Minta yang lebih hot. Kutafsirkan ia ingin aku menjilati liang senggamanya.

Kutundukkan pandanganku. Ghoddul Bashor.

Kini di depanku ada si Surya Paloh. Tidak. Aku tak suka brewok itu. Mau bagaimanapun, aku lebih suka yang bersih. Daripada aku jilati, trus muntah. Bubar jalan kisanak.

Kucium bibir vagina itu. Sekali kecupan. Segera kuberpindah posisi. Si Adik yang keras sedari tadi, ku elus-elus sebentar. Kuarahkan ke mulut gua. Kugesekkan di sekitar mpempek Ais. Mbak Ais tampak menikmati.

Tanpa menunggu instruksi, kudorong burungku masuk sangkar. Masuk tanpa halangan. Ditolong kondisi lapangan yang lembab bukan main. Kubiarkan batangku beradaptasi dengan rumah barunya. Mataku terpejam menikmati.

Enak. Enak banget. Tidak sesempit langganan di rumah. Tapi ini enak.

Ini pertama kalinya, kami menjadi satu.

....bersambung juragans
ajib nian, terlihat jelas kelas intelektualitas kisanak dari setiap kata pada cerita ini.
 
----


Wajah Mbak Ais masih datar. Serius kah? pikirku. Tadi siapa yang minta? Atau itu jangan- jangan sekadar kode? Boleh jadi "di dalam" artinya "jangan di dalam" So, aku salah menafsirkan kode. Atau memang aku salah dengar? Memoriku tak bisa menjangkau rincian momen tadi. Tetap kupaksa mengingat. Tak ada kata "jangan" seingatku. Tetap saja aku yang salah. Laki-laki selalu salah. Perempuan tak pernah salah.

Bingung, bingung ku memikirnya
Bingung, bingung ku memikirnya...

Sejurus kemudian, raut muka Ais perlahan berubah. Tak lagi datar, sedikit bergelombang.

Mimik mukanya makin cerah, menjadi senyum. Senyum nakal, senyum manja. Dipeluknya tubuhku. Agak mendadak. Aku kini menindihnya. Kurasa Ais tak akan tersiksa oleh beratku. Kami berselisih nyaris sepuluh kilo. Aku lebih ringan.

"Bercanda, Mas" Kata dia, setengah berbisik, tepat di telingaku. Disambung tawa kecil.

Bazigur.

Belum hilang syokku. Perempuan ini gila memang.

"Maaf ya." ucapnya lagi. "Pasti udah stres tadi"

Aku diam. Berusaha menetralkan otak. Melandaikan grafik detak jantung. Iseng, kugigit lehernya. Mencoba meninggalkan stempel di sana. Cupangan.

Ais mendesah.

Pelukannya makin erat. Rambutku sedikit dijambaknya. Tadinya jambakan yang menenangkan. Selayaknya pijat kepala sehabis layanan potong rambut premium. Makin ke sini makin kasar. Terpaksa kupindah area kerjaku, agak naik. Kini area kuping kujadikan sasaran. Masih dengan gigi dan lidah, sedikit kuselingi dengan kecupan mesra, agar tetap tak meninggalkan unsur romantisme.

"Lagi yuk Mbak" ajakku.

"Sudah tegang lagi kah?" tanya Ais. Tangannya kini berusaha meraih batangku di bawah sana. Agak kebas masih. Tak banyak sensasi yang kurasakan. Masih basah yang jelas. Tangan Ais kini menggenggam kemaluanku, sedikit di urut, rasa kebas perlahan sirna. Kasar tangan Ais yang kini kurasakan. Licin mulai berkurang.

"Aku emut dulu ya Mas" kata Ais. Aku tak menduga, pun tak berharap ia bakal berkata begitu.

"Boleh." Kataku. Nada biasa saja, cenderung datar. Tapi sesungguhnya pemirsa, antusias membuncah di dada. Aku suka dikulum. Sensasi saat lidah Ais mengitari batang kemaluan adalah hal terbaik, kenikmatan paripurna, yang hingga kini tak bisa tertandingi oleh sensasi apapun. Tidak juga oleh persenggamaan duniawi melewati gua becek di bawah.

Aku merangkak ke depan, berlutut, berusaha mengarahkan si adik ke mulut Ais. Wajah si Embak nakal sekali. Nampak tak sabar mencaplok pisang ambon di depannya. Kulirik sekilas senjataku. Ada pemandangan aneh.

Bercak darah.

"Eh, kenapa ya?" Spontan kalimat itu keluar. "Lecet kah?" Kebingungan aku. Aku terlalu kasar mungkin? Birahiku meredup.

Mbak Ais pun kaget.

"Aduhh. Jangan-jangan... Masa sih?" Turut bingung ia tampaknya.

Jangan-jangan apa? Aku tidak punya clue jawaban sama sekali.

"Jangan-jangan apa Mbak?" tanyaku, polos.

"Mens Mas."

Waduuuhhhh. Kok bisa? Buyar pikiranku. Terbayang soal darah kotor yang barusan menjamas keris pusakaku. Apa yang akan terjadi nanti. Gatal-gatal? luka yang tak kunjung sembuh? bernanah? Penyakit menular? bubarrr kisanak. Iya, otakku dipenuhi kalkulasi risiko, selalu. Soal hitungan sebab-akibat. Bertautan, rangkaian logika "if-then". Mungkin itu yang menggagalkan rintisan usahaku bertahun lalu. Terlalu ruwet pikiranku.

Kulihat area medan pertempuran di bawah. Iya betul, penuh darah. Nampak rembes, merah gelap, kontras dengan warna sprei yang putih bersih. Ini satu hal yang patut kutanyakan, kenapa sprei hotel selalu berwarna putih? Sudah ada hukum paten kah?

Buru-buru kubuang badanku menjauh. Turun dari Bed. Langsung ke kamar mandi. Kran air panas kuputar, sekaligus dengan kran air dingin di sebelahnya.

Guyuran air dingin perlahan datang. Lalu hangat. Aku terpejam. Berusaha relaksasi.

Apa yang terjadi tadi? Apa itu artinya spermaku terhalang? So aman kah? Tidak bisa hamil si Ais? Pikiran positif tetiba datang. Atau negatif? Tergantung sudut pandang sih ini. Masih sibuk dengan zona imajinasiku, Tubuh Mbak Ais memelukku. Dari belakang.

"Maaf...." katanya. Terdengar penyesalan tulus. Juga kekecewaan.

Kenyal payudara ais menempel di punggung. Lembut, hangat, berpadu dengan benjolan puting Ais yang agak keras. Duh enak. Si konti kembali bereaksi. Wah, masih belum puas rupanya. Wajar lah, ronde terakhir belum tamat, sudah diminta keluar ring.

Tangan si embak kini meraih batangku. Licin. Sudah berbalur sabun. Aku balik badan. Kuatir bakal dikocok dari belakang. Kini kami berhadap-hadapan. Di tengah bathroom box, di bawah guyuran air hangat dari shower. Tangan Ais masih bergerilya. Mimik muka Ais unik sekali. Kombinasi antara cantik, berantakan akibat guyuran air, juga aura kekanakan, dibalut ekspresi penyesalan. Bibirnya sedikit membuka. Seperti ingin mengulangi perkataan tadi

"I'm so sor..." Kucium saja. Sosor duluan. Ciuman hukuman. Juga bentuk penerimaan maaf. Atau entah apa. Reflek saja, ingin kucium saja. Seolah ingin kubalas permintaan maafnya dengan: Sudahlah, mari kita nikmati momen ini. Kalimat itu juga kutujukan untuk diriku sendiri.

Mata kami terpejam. Tanganku kini menggenggam dua bongkahan payudara si embak. Full satu tangan penuh. Kencang. Duh, konti makin tegang.

Mbak Ais melepaskan diri dari serangan mulutku. Berlutut kini. Diliriknya aku. Ahhh, lonte ini paham. Dia paham sekali keinginanku. Segera dicaploknya batang kemaluanku. Kasar. gerakannya kasar. Nyaris aku tak bisa menikmati, di awal. Si Adik kini berselimut cairan saliva Ais. Nampak sedikit berbusa. Mungkin masih ada sabun tersisa. Lama-lama enak. Sudah terbiasa aku dengan ritme kuluman Ais yang binal. Enak dan menggairahkan. Tanganku kanan masih terkunci di susu Ais, meremas nakal. Tangan kiri membelai rambutnya, berusaha memberi pengayoman. Biar imbang.

Di tengah kuluman itu, masih sempat Ais mendesah, atau mendesis, seksi sekali. Kadang mendadak ia berhenti. Lalu diemutnya lagi. Duh dek, makin tegang. Hawa panas kini bergerak di sekitar kemaluanku. Aku tak tahan. Ingin kuperkosa mulut itu.

Kedua tanganku kini membelai rambut Ais yang basah. Kuposisikan agak di belakang kepala. Mulai kugoyangkan pantatku. Batang ereksi itu terdorong masuk. Perlahan. Kutarik sejenak. Kubiarkan Ais bernafas, bersiap. Lalu kudorong masuk. Lebih dalam. Si Embak kini terpejam. Batangku sepenuhnya terpenjara di mulut Ais. Basah. Panas. Bibir Ais yang lembut menyentuh pangkal kontiku. Enak sekali. Aku turut terpejam.

"Tahan ya sayang." Perintahku

Ais mengangguk pelan. Tangannya kini menahan pantatku. Agak diremasnya dua bantalan itu.

Aku tak tahan. Segera kupompa mulut Ais. Batangku keluar-masuk mulut perempuan binal itu. Perlahan lalu makin cepat. Aku tak peduli dengannya lagi. Dia tengah kurendahkan sebagai wanita. Kuposisikan sebagi budakBodoamat dia menikmati atau tidak. Kadang giginya menyentuh kulit si Adik. Pun aku tak peduli. Aku makin liar. Naluri binatangku keluar tanpa kendali. Inilah kodratku sebagai pria. Menguasai. Mendominasi. Alpha Male.

Suara desahan Ais tertahan. Tersumpal oleh batangku yang tengah berfoya-foya. Mulutnya resmi kusetubuhi. Hawa panas makin menjadi. Terkumpul di sekitar batang. Tanda jika waktunya telah tiba.

"Aku mau keluar, Sayang." Kataku.

Kucabut pusakaku dari mulut Ais.

Crutttt....crott....crooot....

Muntah mani beberapa kali. Tepat di muka si Embak. Tercecer di sekujur wajah manis Ais. Nampak makin cantik saat pejuku menempel di sana. Layaknya masker wajah. Mata Ais terpejam. Mulutnya juga tertutup.

Badanku masih tegang. Kunikmati saat-saat itu. Sadis. Sekaligus indah. Ada rasa lega. Bahagia. Juga bangga. Belum genap kutuntaskan rasa itu, Ais telah bereaksi.

Ditariknya pusakaku yang masih setengah tegang. Masuk mulutnya. Hangat. Disedot sisa mani di sana. Mataku reflek menutup.

"Emmmmhhhhh.....aaaaaachhhh......."

Aku menggelinjang hebat. Seketika geli yang teramat dahsyat menjalar. Ujung kepala hingga ujung kaki. Sari-sariku dihisap. Aku tenggelam, lemas sekujur badan. Tak kuat menahan nikmat. Kembali kujejak nirvana. Di tingkatan tertinggi. Terbuai oleh hawa surga. Tinggalkan aku di sini. Biarkan aku di sini, selamanya.

....bersambung kembali
 
Terakhir diubah:
"Mas..."

"Iya..."

"Tadi agak tertahan ya?"

"Yang mana?"

"Pas di shower....Mau keluarin di mulutku ya?"

Aku tak menjawab. Hanya tersenyum. Kurasa jawaban itu cukup. Kami tengah berpelukan. Berlindung diri dari dinginnya hawa kota ini. Cukup hangat atas bantuan selimut tebal-lembut-bersih yang sungguh ingin kubawa pulang. Nyaman. Aku di kiri, Ais memelukku, setengah menindih. Bermanja. Kami tanpa busana. Tangan usilnya bermain di sekitar putingku. Geli ih.

Di luar sudah gelap. Kukira sekitar jam delapan lewat. Hujan masih cukup deras. Menambah alasan untuk tak pulang. Malam ini aku memang berniat menginap. Tidak dengan Ais. Sempat kurayu untuk menginap, tak berhasil. Kecewa, sedikit, tapi kuhormati saja keputusan itu.

Kamar sudah berantakan. Tisue bertebaran di penjuru ruangan. Andai luluhan darah bulanan Ais tak datang, pastinya telah kusetubuhi dia, berkali-kali. Apa daya, aku tak pernah bisa menikmati senggama penuh darah. Kejam menurutku. Kejam bagi si adik juga. Tak terlindungi dia. Tidak higienis pastinya. Pun tak suka aku akan kehadiran karet pelindung. Jadilah kami sekedar bermesraan di kasur.

Menyirami wanita pujaan dua kali. Bagiku cupu. Harusnya lebih. Harusnya kubanjiri liang senggamanya dengan maniku, ber galon-galon (maaf, berlebihan, tak logis pasti). Hingga hamil. Hingga kantong spermaku kosong. Hingga dengkul lemas, kopong. Tapi melihat kondisi Ais, kasian aku. Mensnya agak deras, katanya. Tusukanku tadi terlalu keras mungkin. Aku merasa bersalah.

"Mbak pernah telan sperma?" Keberanikan diri bertanya. Daripada daripada ya kan.

"Belum....Mas pengen kutelan?" Tanya Ais balik. Kini ia bangkit dari tidur.

Aku mengangguk. "Ya....itu kalo mbak mau sih"

"Aku mau..." Wajah nakalnya hadir lagi. Tangan Ais tampak berusaha mencari rudal balistik di bawah. Buru-buru kutahan tangan itu.

"Gak sekarang, atuh. Udah lemes si Adik" Kataku. Segera kupeluk ia, setengah kubanting, kupaksa menemaniku tiduran. Iya. Aku berusaha respek. Mencoba menunjukkan seberapa gentle-nya aku. Di sisi lain, sisi liar ingin kutunjukkan pula. Kurasa dua hal berseberangan ini adalah hal penting bagi setiap hubungan personal pria-wanita. Memberi kesan keterbukaan, sekaligus keluasan wawasan, juga kedalaman hati. Kesan yang kuharap dapat ditangkap Ais. Agar ia dapat menerimaku sebagai laki-laki. Bukan sekadar alat pemuas. Sebagaimana anggapanku pada Mbak Ais. Bukan sekadar alat pemuas.

Ais hanya tersenyum. Senyum manja. Diciumnya aku lagi. Kali ini di pipi. Aku senang. Kami (Aku lebih tepatnya) tertidur.

---

Aku terbangun oleh kuluman Ais. Iya, ia tengah berjongkok mengulum penisku. Kali ini tak terlalu kasar, jauh lebih lembut dari servis nya tadi. Aku mendesah keenakan. Aku putuskan pasrah saja. Kubiarkan ia menikmati setiap jengkal area kemaluanku. Entah kenapa kali ini rasanya lebih nikmat dari sebelum-sebelumnya. Juga lebih binal.

Bagaimana tidak. Busana Ais telah dikenakan. Lengkap dengan hijab. Sementara aku tengah telanjang bulat. Terbaring pasrah.

"Aaaaaah nakal.....enak banget sayang." Kataku. Meracau. Kesadaranku belum penuh. Lalu disusul lenguhan dan desahan. Gendeng. Aku tak berdaya. Ini perkosaan.

Pusakaku ngaceng maksimal. Mbak Ais dengan telaten menjelajah tiap sudut. Bahkan hingga batas anus. Terlalu geli kurasa. Aku tak suka. Biar saja, aku tak mau protes. Kuserahkan nasib si Adik pada Ais. Terserah mau diapain. Asal jangan dimutilasi.

Tak terasa pantatku turut terpancing. Mendesak batang untuk masuk, lebih dalam. Agak tersedak dia. Tak dipedulikan, dilanjut kulumannya. Lonte.

"Udah ah." Katanya tiba2. Dilepaskan batangku yang tengah menderita.

"Aku pulang dulu ya Mas." lanjutnya. Segera merapikan hijab. Disambarnya tas ransel, tak jauh dari bed.
"I love you... Daaa...." Pintu ditutup.

Hening.

Penisku masih berdiri, hormat. NGACENG.

Lah?

Asu.

.... sambung lagi pan kapan
 
Terakhir diubah:
Ini yg namanya kentang maksimal
Udah di bikin ngaceng bgt trus di tinggal gt aja
Selamat ya suhuuuuu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd