Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 14 - Empat Jam


Sekian lama cuti bertarung ranjang, staminaku nyata-nyata tak bisa diandalkan. Baru sekali bertarung, aku ambruk seketika. Belum sempat bebersih, badanku sudah tak sanggup berbuat lain-lain. Sejam berikutnya, kuhabiskan untuk tidur. Ais pun demikian, mungkin karena kecapekan akibat upacara tadi. Kami K.O.

Sejam berlalu, rasa laparlah yang lancang membangunkanku. Iya, aku memang belum makan sejak siang. Kutengok di sebelahku, wanita pujaanku tengah terlelap. Cantik. Kuciumi kembali pipinya yang merona, dan kening, lalu leher dengan aroma yang membius. Tubuh Ais menggeliat, merespon rangsangan dadakan itu.

Tangan ais menarik tanganku, minta dipeluk.

Oh yess baby, tentu saja boleh.

Kami akhirnya dalam posisi berpelukan, aku mendekap tubuhnya dari belakang, masih sembari menjelajah leher, pundak, dan sekitar punggung dengan kecupan-kecupan mesra. Desahan-desahan kecil mulai dilantunkan Ais. Syahdu.

Lalu...

"Krrrreeekkk.....krrruuucccuuukkkkk,...."

Keras suara itu, muncul dari dalam perutku.

Loh.

Kami spontan tertawa, makin terpancing, hingga terbahak-bahak.

Menertawai momen teraneh dalam karier ranjang kami.

Pergumulan harus tehenti di tahap awal, hanya gara-gara perut yang berontak. Buset dah.

Kami putuskan untuk rehat dari permainan. Karena aku tak membawa cash, Ais berinisiatif memesan layanan antar makanan, sebut saja go-food. Kata dia, kami perlu berbagi tugas, aku yang membayar hotel, Ais membayar makanan. Yah, aku sepakat saja. Kami memesan ayam geprek.

Jeda waktu menunggu pesanan datang, kami habiskan untuk bercerita ngalor-ngidul. Curhat macam-macam hal. Di saat itulah Ais becerita tentang kehidupan rumah tangganya yang tengah bermasalah. Kali ini lebih soal ekonomi. Sang suami gemar membeli barang-barang kredit. Mobil, Motor, perangkat digital, semua belum lunas. Ada pula satu kebutuhan mendesak yang harus segera butuh pelunasan.

Suasana segera berubah. Setidaknya bagiku demikian. Aku memang tidak suka membicarakan bab keuangan. Terlebih karena secara pribadi, hutang bukanlah pilihan. Hutang artinya kita menyerahkan nasib kita pada takdir. Saat situasi normal, pemasukan cukup, maka semua tampak baik. Saat ada kebutuhan mendesak, maka cash-flow akan carut marut. Lalu jalan keluarnya? Ditutup kembali dengan hutang lain. Gali lubang, tutup lubang. Capek.

Aku menahan diri untuk tidak mengkritisi pengelolaan keuangan di rumah tangga Ais. Menurutku itu urusan yang tak perlu kuketahui, boro-boro terlibat.

Prasangkaku makin parah. Pikiran sudah tak bersih. Kuduga nanti di ujung curhat, pastilah Ais ingin minta bantuan, paling tidak untuk pinjam sejumlah uang. Ais masih terus bercerita, mbulet, banyak aspek, tapi topik utamanya masih soal keuangan. Aku banyak diam, menimpali secukupnya. Moodku hilang sudah.

Makanan akhirnya datang, kurir sudah menunggu di lobby.

Ais memintaku mengambil pesanan itu. Aku dibekali dengan smartphonenya.

Ada yang sedikit ganjil, HP itu dikunci layar, seolah tak ingin aku membukanya. Gelagat aneh itu juga kulihat beberapa kali, khususnya hari ini, sejak pertemuan di cafe siang tadi. Indikasi keanehan, tapi aku berprasangka baik, mungkin memang ada rahasia yang ia ingin simpan sendiri. Aku hargai, tapi sekaligus membuatku sadar satu hal, bahwa kami masih berjarak.

Obrolan berlanjut. Sambil menyantap makanan yang ternyata cukup pedas itu, topik soal kesulitan ekonomi kembali jadi menu pendamping makan. Tidak luput, soal unit kerja kami yang tahun depan terindikasi akan dibubarkan. Tentu saja hal itu membuat Ais makin kuatir tentang masa depannya.

"Mas sih enak, sudah PNS, ada tunjangan tiap bulan. Unit bubar ya tinggal pindah unit lain. Aku dan teman-teman yang lain gimana dong? Nasib gak jelas. Mungkin terpaksa aku harus ikut suami ke pulau seberang."

Kata-kata Ais itu merusak moodku, benar-benar rusak. Sudah tidak ada lagi keinginan untuk ronde lanjutan, tak ada lagi agenda persetubuhan hari ini. Aku hanya ingin menghabiskan makan, lalu mandi, pulang.

Pikiranku berubah negatif. Aku menduga Ais hari ini sanggup melayaniku bukan karena ingin memadu kasih, lebih karena maksud tersembunyi. Karena uang. Karena ia menganggapku bisa jadi solusi bagi masalahnya. Opsi paling logis untuk mengatasi hutang-hutang suaminya, hutang yang juga dinikmati Ais.

Aku berusaha mencari sisi positif dari argumen-argumen Ais. Tak ada, tak ada yang kutemukan barang secuilpun. Semua berujung di kebutuhan materiil. Aku kecewa dengan pikiranku itu. Aku kecewa denganmu, Ais. Ngentot demi uang. Murahan. Pelacur.

There ain't no such thing as a free lunch

Hanya itu pelajaran dari curhatan Ais.

Kutegaskan padanya, dengan bahasa yang selembut mungkin, bahwa aku tak bisa membantu. Sekian juta rupiah yang ia pinta, tak bisa aku sediakan. Pun seandainya uang itu ada, jelas bukan untuk kebutuhan orang lain, pastinya untuk mencukupi kebutuhanku, keluargaku.

Aku tak sanggup menatap mata Ais dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Pandanganku padanya telah benar-benar berubah.

Masih sempat Ais menggodaku, mau mengemut kontolku.

Kutolak tawaran itu. Seolah menegaskan, tadi aku tak bisa memenuhi permintaan Ais untuk meminjami uang, maka tak pantas kiranya aku mendapat layanan dari mulut itu. Lebih dari itu, hasratku kini telah habis, tak ada lagi gairah.

"Gak usah deh, mbak habis makan pedes-pedes pula kan. Panas tititku nanti"

Alasan itu yang kuberi untuknya.

Waktu juga telah petang, alasan tambahan bagi kami untuk berpisah, menutup pertemuan tanpa rencana itu. Aku lepas wanita berhijab itu pergi, dengan kecupan di kening, juga dengan pandangan setengah hati, tanpa binar.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku tak berhenti bekerja, meresapi arti pertemuan empat jam bersama Ais tadi. Menganalisis berbagai hal yang kami lalui, lalu berhipotesis sendiri.

Apakah Ais telah berubah?

Atau memang inilah sosok Ais yang sebenarnya?

Perempuan yang rela melakukan apapun demi uang?

Apakah dia tidak pernah melibatkan 'rasa' dalam hubungan kami?

Mungkinkah ia ingin dihamili agar bisa mengikatku?

Inikah yang namanya hubungan antar orang dewasa?

Sekadar berlandaskan kebutuhan?

Keinginanku untuk membangun hubungan yang lebih dalam, tampaknya harus kembali kucukupkan. Biarlah hubungan ini hanya soal fisik dan materi.

Dia tidak benar-benar mencintaiku

.....bersambung....
Mantap suhu
 
Lembar 15 - Rahasia Kecil


Desember, tahun keenam.

Suasana suram menyergap kami, membungkus satu ruangan dengan hawa dingin yang gelap.

Di ruang rapat ini, satu vonis berat barusan dijatuhkan.

Unit kerja kami resmi dibubarkan. Menyisakan tiga bulan transisi, untuk kemudian benar-benar dihapus dari struktur organisasi.

Surat dari Kantor pusat di ibukota baru saja dibacakan pimpinan. Hal inilah yang memicu hadirnya kesuraman ini. Bagi kami-kami yang berstatus PNS, tentu bukan hal yang terlalu berat. Tidak bagi Ais dan belasan tenaga kontraktual yang lain. Sebagian menangis, sebagian tampak pasrah, sebagian sisanya tampak biasa saja, mungkin karena sudah tau tentang hal ini sebelumnya. Desas-desus memang telah berhembus sejak beberapa bulan terakhir.

Ais tampak paling terpukul, kesedihan jelas tergambar di wajah ayunya. Wajah yang baru kali ini kuperhatikan betul, selepas pertemuan di hotel sekian minggu yang lalu.

Kabar bubarnya unit kerjaku, seolah melengkapi berita buruk yang terus datang di akhir tahun ini. Suami Ais kabarnya juga tidak memperpanjang kontrak di pulau sebelah, membawa nasib Ais makin tak menentu. Setidaknya pilihan yang ia punya menjadi makin tak jelas, jika ingin tinggal di sini maka harus ada kontrak pekerjaan, jikapun tidak maka terpaksa harus ikut suami ke tempat kerjanya yang baru, entah di mana. Lain dari itu, masih ada persoalan ekonomi yang kuyakin belum juga ada solusi. Aku sudah tegas menolak untuk membantu, tak sanggup, atau lebih tepatnya tidak mau tau.

Aku juga tengah bergelut dengan urusanku sendiri. Kantor bubar, sudah kudengar sejak pertengahan tahun, tak lagi kaget, biasa kutemui restrukturisasi di unit kerja lain, pemerintah maunpun non pemerintah. Kini aku tengah melobi beberapa kolega, setidaknya untuk menemukan jabatan baru yang kunggap nyaman. Hingga saat ini, belum ada informasi yang bisa kupegang, tapi tentu saja masalah ini bukan perkara yang berat-berat amat. Toh aku memang tak mencari jabatan. Jujur aku tak peduli soal jabatan. Pulang sebelum maghrib saat weekdays, dan menikmati weekend tanpa direcoki urusan kerjaan, bagiku sudah satu privilege tersendiri.

Jelang sore, teleponku berdering.

Nama Ais tertampil di layar.

Sudah cukup lama kami tidak mengoral, maaf maksudnya mengobrol. Selepas pertemuan di hotel itu, interaksi kami terbatas lewat bertukar pesan singkat di ruang whatsapp.

Kupindahkan earphone dari laptop ke telepon. Menjaga privasi, berharap teman-teman disekitar tidak mendengar isi percakapan kami. Pengaman lain kutambahkan, pindah ke ruang lain. Segera kuberanjak dari ruang kerjaku, menuju ruang rapat di ujung lorong.

"Yow, piye mbak?" kataku, segera setelah panggilan Ais tersambung.

"Mas..." suara Ais bernada canda, manja tapi tampak malu. Ada suara lain yang kudengar, cukup familiar tampaknya.

"Aku lagi di ruang bu Yanni (nama bendahara kantor)," lanjut Ais. Oooh di ruang keuangan, pantas ada suara bu bendahara di latar belakang.

"Ngapain mba? mau pinjem duit ya? hehehe..." potongku, juga dengan nada bercanda. Aku tadiny menduga percakapan kami akan membahas hal-hal rahasia. Fakta bahwa Ais menelepon dari ruang bendahara, menunjukkan bahwa topik kami tidak akan terlalu tertutup. Lebih baik kubangun nuansa santai saja, agar memberi kesan percakapan ini sekadar obrolan antar teman kerja.

"Iya" jawab Ais.

Lah? Niatku bercanda ternyata memang betul adanya. Aku tau Ais sedang butuh dana, tapi tak menduga kalau usahanya akan sejauh ini, bahkan hingga proses di bendahara kantor. Kurasa masalah Ais lebih serius dari yang kuduga.

"Jadi gini mas..." Ais melanjutkan. "Aku tadi udah crita soal yang kemarin itu, soal dana cash yang kubutuhkan. Kata bu Yanni, beliau pengen bantu, pakai jaminan SK PNS buat pinjam di bank daerah. Nah, masalahe SK Bu Yanni juga lagi dipakai buat persiapan nikahan anaknya"

Hmmm... utang-piutang, lubang setan, aku tak suka persoalan ini.

"Ada solusi lain kata bu Yanni. Bisa juga pakai SK pegawai yang lain. Di daftar sini, hanya ada beberapa nama pegawai yang SK-nya nganggur. Kamu salah satunya. So... hmmm... Bisa gak mas? hehehe... "

"Bisa apa mbak?" tanyaku, polos.

"Ya bisa pinjam SK mu gak? Disekolahin gitu, setahun aja. Nanti aku yang ngurus. Boleh ya? ya?"

Kuhela nafas sebentar. Belum menyerah ternyata perempuan satu ini. Memang toketnya, eh tekadnya luar biasa. Tapi aku pun demikian, saklek dengan filosofi hidup yang kuyakini, terlebih kurasa saat ini terlalu berisiko pinjam uang pakai SK ku. Misal informasi ini sampai ke telinga istriku, tak ada jawaban logis yang bisa kuberikan. Aku yang tak pernah neko-neko, hidup lempeng-lempeng saja, tidak ada hobi mahal, kurang pas jika memaksa diri pinjam uang di bank. Buat apa coba?

Maka terpaksa, permintaan Ais yang kedua ini, aku tolak. Aku jelaskan berbagai alasan, dengan diselingi candaan agar obrolan kami tetap berkesan santai.

" ...Jadi ya maaf, kalau sekarang belum bisa bantu. Lagian nominalnya relatif besar itu mbak." Aku menutup jawabanku. Tidak ada solusi yang kuberi untuknya.

"Hmmm... " Nada suara Ais tampak kecewa, merajuk. "Ya udah deh. Kirain bisa bantu gitu."

Kami, para pria, khususnya kaum suami, biasanya sudah cukup paham nada kecewa dari perempuan. Penuh aura sedih, dan putus asa. Nada kekecewaan yang dalam, seakan tidak ada pilihan solusi yang lain. Nuansa itu yang kudapat dari kalimat terakhir Ais.

"Maaf yaaa" ucapku. Menutup obrolan sore itu.

Kutinggalkan masalah Ais, kutegaskan posisiku sebagai manusia biasa, bukan malaikat yang bisa menolongnya setiap saat.

...


Sore, menjelang jam pulang kantor.

Berita buruk pagi ini benar-benar merusak mood seisi kantor. Ritme kerja hari ini tidak seperti biasanya, suasana kembali seperti kantor-kantor pemerintah pada umumnya, santai, seakan tanpa target. Aku habiskan soreku di teras mushola. Bercakap ngalor-ngidul dengan staf lain, menunggu jam pulang kantor. Entah bagaimana, pada akhirnya hanya tersisa aku dan Pak Rio (Staf keuangan kantor, seruangan dengan bu Yanni). Mbak Ais memang cukup dekat dengan teman-teman di bagian keuangan, terlebih karena sejak awal bekerja, urusan keuangan di unit kerjaku kupasrahkan ke Ais. Satu strategi agar aku dan Ais bisa sering bertemu tanpa menarik kecurigaan teman-teman yang lain. Pak Rio, sebagai staf senior sering juga jadi tempat curhat Ais. Terutama jika sudah menyangkut urusan keluarga dan kemasyarakatan. Wajar saja, pak Rio juga salah satu tokoh masyarakat di kampungnya, sekaligus sesepuh di kantor kami. Saran dan wejangan beliau sering pula jadi masukan berharga untukku pribadi.

"Mau liburan kemana akhir tahun ini mas? sekalian ambil cuti bisa loh," tanya pak Rio. Tangannya lanjut menyesap rokok.

"Ah belum ada rencana pak. Saya ngikut kemauan anak saja."

"Gak ngikut mbak-mbake itu?"

"Hah? Mbak siapa pak?"

"Mbak Ais, dan temen-temennya."

"Ngikut kemana maksud Bapak?" tanyaku, makin penasaran.

"Katanya mereka mau liburan ke luar negeri"

Lah? Kaget donk aku.

Sejak kemarin Ais mengeluh kesulitan keuangan, sampai rela ngurus pinjaman ke bendahara kantor. Ini malah berencana liburan ke luar negeri. Lebih-lebih info ini bukan kudapat dari Ais, tapi dari orang lain.

"Mau ke ***, berempat, sudah booking pesawat katanya," ujar pak Rio lagi, memberi info tambahan.

"Saya malah baru tau ini pak"

"Tadi mbak Ais cerita di ruangan saya, katanya rahasia. Tapi saya bilangin: liburan ya boleh saja, kontrak kerja kalian kan memang sudah berakhir di Desember, tapi masa gak lapor ke Mas Ian sebagai koordinator unit. Nanti kalo kenapa2 kan kantor tetap ikut terlibat."

"Iya pak, bener itu. Wah saya malah gak tau sama sekali soal rencana itu."

"Hehehe... Saya kira sudah sempat dilapori"

"Belum pak. Sama sekali. Nanti coba saya panggil saja."

Percakapan kami berakhir saat alarm tanda berakhirnya jam kantor berbunyi.

Sempat kutengok ruang kerja mbak Ais. Berusaha menemuinya langsung, face to face, meminta keterangan yang lebih lengkap.

Nyatanya ruang itu sudah kosong. Kata OB, Ais sudah keluar kantor sejak siang.

Apa lagi ini?

Ais lagi-lagi menyimpan rahasia.

Ais yang kukira menjadikan aku sebagai partner berbagi segala macam hal, ternyata masih menyembunyikan sesuatu. Kali ini sesuatu yang tidak masuk akal. Mengaku kesulitan keuangan, tapi berencana liburan ke luar negeri. Ironis.

Sepertinya kami tidak lagi pantas disebut pasangan. Tidak lagi sehangat, seintens, dan seterbuka dulu. Pun aku tak bisa memenuhi kebutuhannya.

Ais... Ais...

Ada apa dengan kita?

Ada apa denganmu?


...bersambung...
 
Terakhir diubah:
Lembar 16 - Dari Masa Lalu


Akhir tahun keenam.

Rahasia Ais sudah terbuka. Ais berterus terang soal rencananya liburan bersama beberapa staf perempuan yang lain. Dia beralasan, waktu kebersamaan mereka tinggal sebentar, anggap saja liburan itu sekaligus ajang perpisahan. Ide liburan pun bukan dari Ais, dia hanya diajak. Restu dari suami juga baru saja didapat. Dia baru akan cerita padaku jika restu suami sudah didapat. Kurasa cukup fair, toh aku memang tidak bisa membantunya.

Terlepas dari etika urusan kantor, aku tidak melarang rencana itu. Pun aku sadar, tahun depan kemungkinan besar tim kami bakal dirombak besar-besaran. Ais dan tenaga kontrak yang lain, kemungkinan tak lagi bersamaku.

Ais bukan siapa-siapaku. Hubungan kami adalah soal transaksional.

Kurasa cukuplah pemahaman itu.

Aku sudah berdamai dengan situasi ini.

Tanpa sadar, aku senyum-senyum sendiri. Merasa bebas dari beban.

Satu pesan singkat masuk di telepon. Dari orang yang kukenal. Via.

...

Sebelum masuk lebih jauh, kurasa penting untuk menjelaskan siapa Via.

Semasa kuliah dulu, aku tergabung di semacam komunitas. Berisi mahasiswa dan aktivis dari berbagai latar belakang. Di sanalah awal mula terbentuk persahabatanku dengan beberapa kawan. Kami, sekitar 10 orang, akhirnya membentuk semacam ikatan pertemanan yang unik. Setengah dari kami berasal dari latar belakang teknik. Separo yang lain, berasal dari berbagai fakultas. Dari sosial-politik, hukum, psikologi, dan ada Via, dari fakultas kesehatan.

Via adalah sosok yang cukup menonjol di kelompok kami. Wajahnya relatif paling cantik diantara anggota yang lain. Berkulit gelap, badannya kecil langsing, tampak jelas karena hobinya memakai celana jeans, tomboy, semacam cewek hyper-aktif, gak bisa diem. Kadang berhijab, kadang tidak. Di satu waktu bergabung dengan jamaah kajian, di waktu lain ikut touring ke Rinjani bersama anak-anak pencinta alam. Suka-suka dia aja lah.

Via, saat pertama kami berkenalan, tengah berpacaran dengan teman satu kelompokku. Hubungan itu berlanjut hingga pacarnya yang satu fakultas denganku lulus. Jelang kelulusan itu, mungkin karena kesibukan menyusun skripsi, hubungan mereka renggang dan akhirnya putus. Dari sini cerita menjadi sedikit berliku.

Dion, sahabat baikku sejak SMA. Dion juga teman satu kontrakanku dan satu fakultas denganku saat zaman kuliah, adalah teman seangkatan dari pacar Via itu. Aku dan Dion sesama kaum introvert yang tak terlalu suka dengan prinsip pacaran. Ya, anggap saja kami pria-pria kesepian yang tak juga laku. Jadilah, aku, Dion, Via dan pacarnya, juga beberapa teman yang lain sering menghabiskan waktu bersama. Entah nongkrong di kantin kampus, nonton bioskop, nyari konser gratisan, atau sekadar bermalas malas di kontrakan.

Aku termasuk lulus paling cepat daripada temanku yang lain, terlebih waktu itu statusku sudah bekerja sebagai asisten riset untuk dosen, bahkan sejak sebelum lulus. Hal inilah yang memaksaku berpindah kontrakan. Aku akhirnya memilih ngekos di dekat kampus, beberapa meter saja dari studio laboratorium tempatku melakukan riset. Itu pula yang membatasi interaksi kami. Kelelahan akibat kerja, membuatku malas beranjak dari kos. Sisa waktuku lebih banyak kuhabiskan untuk tidur, mengurung diri di kos. Makin sedikit waktu kebersamaan dengan teman-teman nongkrongku tadi.

Di satu waktu, bulan puasa. Via pernah mengajakku kencan ngabuburit jelang berbuka. Aku mengiyakan saja, toh cukup lama kami tak bersua. Aku cukup ge-er waktu itu. Mungkin ini salah satu kesempatanku untuk mengenal Via lebih jauh, boleh jadi dia salah satu opsi untuk calon istri, hehehe...

Aku menemuinya di satu foodcourt terkenal di sekitar kampus. Ramai sekali. Waktu sudah hampir maghrib, kami bergegas memilih satu tempat makan. Warung lesehan di trotoar pinggir jalan, tepat di bawah pohon rindang. Obrolan kami masih seputar urusan kuliah, skripsinya, tanya kabar teman-teman, juga sedikit soal kerjaanku. Tiba-tiba mimik serius kulihat dari wajah ayu Via. Ah iya, entah kenapa, sore itu Via tampak cantik. Atau aku yang terlanjur sange?

"Aku pengen curhat," katanya.

"Ya wis, crita aja. Eeelah, pakai izin segala..." godaku.

Via lalu bercerita tentang Dion yang sepertinya tengah melakukan pendekatan. Tidak terlalu jelas arahnya, tapi sudah terindikasi ke situ. Cerita itu kuanggap terlalu berlebihan. Dion yang kukenal, tidak pernah serius menjalin hubungan, kurasa saat ini pun dia belum akan serius. Sama sepertiku, kupikir dia hanya akan serius jika memang sudah berniat mencari istri.

Kami lanjutkan obrolan dengan berghibah, menelanjangi sosok Dion. Kuceritakan apa-apa yang kuketahui, baik dan buruknya, kurasa itu penting untuk memberikan perspektif seluas-luasnya. Setidaknya kami ingin persahabatan ini berlanjut berlandaskan keterbukaan. Syarat mutlak bagi hubungan yang awet, itulah pikiran naifku waktu itu. Pertemuan kami akhiri selepas maghrib. Tidak ada momen-momen romantis seperti yang kubayangkan. Sebatas pertemuan antar teman.

Sekian minggu berikutnya, aku mendapat undangan resepsi nikah salah satu saudara jauhku. Lokasinya di luar kota, sejam perjalanan dari kos, tempat tinggalku. Aku yang memang belum punya pasangan, entah darimana, mendapat ide itu: kuajak Via datang kondangan. Gayung bersambut, Via bersedia. Kami bahkan membahas baju yang akan dipakai, berusaha mencocokkan tone, agar seperti pasangan betulan. Aduh, malu kalo diingat-ingat sebenarnya.

Hari itu tiba, kujemput Via di kontrakannya.

Seketika aku takjub, saat sosok Via menampakkan diri.

Cantik banget.

Tampilannya anggun, tetap sporty tapi "mahal". Bercelana panjang dengan hak tinggi. Blouse batik warna kuning-coklat terang-keemasan. Berhijab, aku lupa warna hijabnya. Lalu sedikit make-up mungkin. Ah cantik sudah. Satu yang membuat dadaku berdegup kencang, gundukan payudaranya tampak menonjol. Via memang pernah mengaku punya ukuran payudara yang besar. Tapi tak pernah hal itu kuanggap serius, kami anggap sekadar kebohongan unfaedah, bahan banyolan, lucu-lucuan. Toh tak pernah juga kulihat bentuk yang dia akui itu. Tapi, kali ini aku percaya. Memang besar. Melengkapi aura seksi dari tubuhnya yang cukup atletis itu.

"Kamu kok bisa cantik, " kataku.

Satu ayunan dari tas jinjing hitamnya mendamprat kepalaku. Sakit, Cokk!!!

Tak ingin suasana perang berkecamuk, kami memilih segera beanjak menuju lokasi resepsi. Bangga juga bisa mengajak Via ke kondangan, salah satu capaian prestasi. Begitu pikirku, waktu itu.

Dalam perjalanan pulang, sempat kuajak Via mampir di salah satu warung makan legendaris. Posisinya agak tersembunyi, hidden gem. Masuk ke perkampungan, lokasinya tepat di bibir sungai.

Sampai di lokasi warung, waktu sudah sore. Pemilik warung dan karyawan sudah bersiap-siap tutup. Beruntung, masih ada sisa satu porsi hidangan khas itu. Kami disajikan porsi terakhir, tapi sayangnya tak bisa menikmatinya di dalam warung yang sudah dibereskan. Satu bangku panjang jadi satu-satunya tempat tersisa. Ok, tak masalah, kami cukup bahagia dengan kesempatan itu.

Aku dan Via, duduk satu bangku, menikmati sore di pinggir sungai, masih dengan pakaian batik selepas kondangan.

Sungguh awkward sodara-sodara.

"Thanks ya sudah mau kuajak kondangan," ucapku di sela-sela dialog penuh canda kami.

"Sering-sering ya, lumayan bisa makan gratis, wakakakaka...."

Senyum Via merekah. Kupandangi wajah itu. Indah. Matanya besar, basah dan berbinar. Aura cantik maksimal. Seakan bercahaya gitu.

Aduh neng, meleleh hati abang ini.

"Vi, boleh cium gak?" ucapku tiba-tiba.

Tawa Via berhenti, tatapannya berubah. Entah apa artinya.

Ah tak tahan aku. Nekat saja, kusosor bibir tipis itu.

Cup.

Sekali kecupan.

Hanya sesaat.

Ciuman pertamaku.

Manis.

Tidak bisa kudeskripsikan momen itu dengan tepat.

Perasaanku gak karuan. Deg-degan kaya jantung mau copot. Badan panas-dingin. Gak santai.

Mungkin pembaca juga pernah mengalami?


...bersambung...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd