Lembar 15 - Rahasia Kecil
Desember, tahun keenam.
Suasana suram menyergap kami, membungkus satu ruangan dengan hawa dingin yang gelap.
Di ruang rapat ini, satu vonis berat barusan dijatuhkan.
Unit kerja kami resmi dibubarkan. Menyisakan tiga bulan transisi, untuk kemudian benar-benar dihapus dari struktur organisasi.
Surat dari Kantor pusat di ibukota baru saja dibacakan pimpinan. Hal inilah yang memicu hadirnya kesuraman ini. Bagi kami-kami yang berstatus PNS, tentu bukan hal yang terlalu berat. Tidak bagi Ais dan belasan tenaga kontraktual yang lain. Sebagian menangis, sebagian tampak pasrah, sebagian sisanya tampak biasa saja, mungkin karena sudah tau tentang hal ini sebelumnya. Desas-desus memang telah berhembus sejak beberapa bulan terakhir.
Ais tampak paling terpukul, kesedihan jelas tergambar di wajah ayunya. Wajah yang baru kali ini kuperhatikan betul, selepas pertemuan di hotel sekian minggu yang lalu.
Kabar bubarnya unit kerjaku, seolah melengkapi berita buruk yang terus datang di akhir tahun ini. Suami Ais kabarnya juga tidak memperpanjang kontrak di pulau sebelah, membawa nasib Ais makin tak menentu. Setidaknya pilihan yang ia punya menjadi makin tak jelas, jika ingin tinggal di sini maka harus ada kontrak pekerjaan, jikapun tidak maka terpaksa harus ikut suami ke tempat kerjanya yang baru, entah di mana. Lain dari itu, masih ada persoalan ekonomi yang kuyakin belum juga ada solusi. Aku sudah tegas menolak untuk membantu, tak sanggup, atau lebih tepatnya tidak mau tau.
Aku juga tengah bergelut dengan urusanku sendiri. Kantor bubar, sudah kudengar sejak pertengahan tahun, tak lagi kaget, biasa kutemui restrukturisasi di unit kerja lain, pemerintah maunpun non pemerintah. Kini aku tengah melobi beberapa kolega, setidaknya untuk menemukan jabatan baru yang kunggap nyaman. Hingga saat ini, belum ada informasi yang bisa kupegang, tapi tentu saja masalah ini bukan perkara yang berat-berat amat. Toh aku memang tak mencari jabatan. Jujur aku tak peduli soal jabatan. Pulang sebelum maghrib saat weekdays, dan menikmati weekend tanpa direcoki urusan kerjaan, bagiku sudah satu privilege tersendiri.
Jelang sore, teleponku berdering.
Nama Ais tertampil di layar.
Sudah cukup lama kami tidak mengoral, maaf maksudnya mengobrol. Selepas pertemuan di hotel itu, interaksi kami terbatas lewat bertukar pesan singkat di ruang whatsapp.
Kupindahkan earphone dari laptop ke telepon. Menjaga privasi, berharap teman-teman disekitar tidak mendengar isi percakapan kami. Pengaman lain kutambahkan, pindah ke ruang lain. Segera kuberanjak dari ruang kerjaku, menuju ruang rapat di ujung lorong.
"Yow, piye mbak?" kataku, segera setelah panggilan Ais tersambung.
"Mas..." suara Ais bernada canda, manja tapi tampak malu. Ada suara lain yang kudengar, cukup familiar tampaknya.
"Aku lagi di ruang bu Yanni (nama bendahara kantor)," lanjut Ais. Oooh di ruang keuangan, pantas ada suara bu bendahara di latar belakang.
"Ngapain mba? mau pinjem duit ya? hehehe..." potongku, juga dengan nada bercanda. Aku tadiny menduga percakapan kami akan membahas hal-hal rahasia. Fakta bahwa Ais menelepon dari ruang bendahara, menunjukkan bahwa topik kami tidak akan terlalu tertutup. Lebih baik kubangun nuansa santai saja, agar memberi kesan percakapan ini sekadar obrolan antar teman kerja.
"Iya" jawab Ais.
Lah? Niatku bercanda ternyata memang betul adanya. Aku tau Ais sedang butuh dana, tapi tak menduga kalau usahanya akan sejauh ini, bahkan hingga proses di bendahara kantor. Kurasa masalah Ais lebih serius dari yang kuduga.
"Jadi gini mas..." Ais melanjutkan. "Aku tadi udah crita soal yang kemarin itu, soal dana cash yang kubutuhkan. Kata bu Yanni, beliau pengen bantu, pakai jaminan SK PNS buat pinjam di bank daerah. Nah, masalahe SK Bu Yanni juga lagi dipakai buat persiapan nikahan anaknya"
Hmmm... utang-piutang, lubang setan, aku tak suka persoalan ini.
"Ada solusi lain kata bu Yanni. Bisa juga pakai SK pegawai yang lain. Di daftar sini, hanya ada beberapa nama pegawai yang SK-nya nganggur. Kamu salah satunya. So... hmmm... Bisa gak mas? hehehe... "
"Bisa apa mbak?" tanyaku, polos.
"Ya bisa pinjam SK mu gak? Disekolahin gitu, setahun aja. Nanti aku yang ngurus. Boleh ya? ya?"
Kuhela nafas sebentar. Belum menyerah ternyata perempuan satu ini. Memang toketnya, eh tekadnya luar biasa. Tapi aku pun demikian, saklek dengan filosofi hidup yang kuyakini, terlebih kurasa saat ini terlalu berisiko pinjam uang pakai SK ku. Misal informasi ini sampai ke telinga istriku, tak ada jawaban logis yang bisa kuberikan. Aku yang tak pernah neko-neko, hidup lempeng-lempeng saja, tidak ada hobi mahal, kurang pas jika memaksa diri pinjam uang di bank. Buat apa coba?
Maka terpaksa, permintaan Ais yang kedua ini, aku tolak. Aku jelaskan berbagai alasan, dengan diselingi candaan agar obrolan kami tetap berkesan santai.
" ...Jadi ya maaf, kalau sekarang belum bisa bantu. Lagian nominalnya relatif besar itu mbak." Aku menutup jawabanku. Tidak ada solusi yang kuberi untuknya.
"Hmmm... " Nada suara Ais tampak kecewa, merajuk. "Ya udah deh. Kirain bisa bantu gitu."
Kami, para pria, khususnya kaum suami, biasanya sudah cukup paham nada kecewa dari perempuan. Penuh aura sedih, dan putus asa. Nada kekecewaan yang dalam, seakan tidak ada pilihan solusi yang lain. Nuansa itu yang kudapat dari kalimat terakhir Ais.
"Maaf yaaa" ucapku. Menutup obrolan sore itu.
Kutinggalkan masalah Ais, kutegaskan posisiku sebagai manusia biasa, bukan malaikat yang bisa menolongnya setiap saat.
...
Sore, menjelang jam pulang kantor.
Berita buruk pagi ini benar-benar merusak mood seisi kantor. Ritme kerja hari ini tidak seperti biasanya, suasana kembali seperti kantor-kantor pemerintah pada umumnya, santai, seakan tanpa target. Aku habiskan soreku di teras mushola. Bercakap ngalor-ngidul dengan staf lain, menunggu jam pulang kantor. Entah bagaimana, pada akhirnya hanya tersisa aku dan Pak Rio (Staf keuangan kantor, seruangan dengan bu Yanni). Mbak Ais memang cukup dekat dengan teman-teman di bagian keuangan, terlebih karena sejak awal bekerja, urusan keuangan di unit kerjaku kupasrahkan ke Ais. Satu strategi agar aku dan Ais bisa sering bertemu tanpa menarik kecurigaan teman-teman yang lain. Pak Rio, sebagai staf senior sering juga jadi tempat curhat Ais. Terutama jika sudah menyangkut urusan keluarga dan kemasyarakatan. Wajar saja, pak Rio juga salah satu tokoh masyarakat di kampungnya, sekaligus sesepuh di kantor kami. Saran dan wejangan beliau sering pula jadi masukan berharga untukku pribadi.
"Mau liburan kemana akhir tahun ini mas? sekalian ambil cuti bisa loh," tanya pak Rio. Tangannya lanjut menyesap rokok.
"Ah belum ada rencana pak. Saya ngikut kemauan anak saja."
"Gak ngikut mbak-mbake itu?"
"Hah? Mbak siapa pak?"
"Mbak Ais, dan temen-temennya."
"Ngikut kemana maksud Bapak?" tanyaku, makin penasaran.
"Katanya mereka mau liburan ke luar negeri"
Lah? Kaget donk aku.
Sejak kemarin Ais mengeluh kesulitan keuangan, sampai rela ngurus pinjaman ke bendahara kantor. Ini malah berencana liburan ke luar negeri. Lebih-lebih info ini bukan kudapat dari Ais, tapi dari orang lain.
"Mau ke ***, berempat, sudah booking pesawat katanya," ujar pak Rio lagi, memberi info tambahan.
"Saya malah baru tau ini pak"
"Tadi mbak Ais cerita di ruangan saya, katanya rahasia. Tapi saya bilangin: liburan ya boleh saja, kontrak kerja kalian kan memang sudah berakhir di Desember, tapi masa gak lapor ke Mas Ian sebagai koordinator unit. Nanti kalo kenapa2 kan kantor tetap ikut terlibat."
"Iya pak, bener itu. Wah saya malah gak tau sama sekali soal rencana itu."
"Hehehe... Saya kira sudah sempat dilapori"
"Belum pak. Sama sekali. Nanti coba saya panggil saja."
Percakapan kami berakhir saat alarm tanda berakhirnya jam kantor berbunyi.
Sempat kutengok ruang kerja mbak Ais. Berusaha menemuinya langsung, face to face, meminta keterangan yang lebih lengkap.
Nyatanya ruang itu sudah kosong. Kata OB, Ais sudah keluar kantor sejak siang.
Apa lagi ini?
Ais lagi-lagi menyimpan rahasia.
Ais yang kukira menjadikan aku sebagai partner berbagi segala macam hal, ternyata masih menyembunyikan sesuatu. Kali ini sesuatu yang tidak masuk akal. Mengaku kesulitan keuangan, tapi berencana liburan ke luar negeri. Ironis.
Sepertinya kami tidak lagi pantas disebut pasangan. Tidak lagi sehangat, seintens, dan seterbuka dulu. Pun aku tak bisa memenuhi kebutuhannya.
Ais... Ais...
Ada apa dengan kita?
Ada apa denganmu?
...bersambung...