OK sedikit lagi. Sembari menandaskan kopi, menunggu sepakmula UCL.
....
Jelang Maghrib, Dewi berkabar. Pengerjaan sudah selesai.
Aku cepat-cepat memesan taxi online, segera menuju bengkel terkenal itu. Di luar sudah mulai hujan. Aku tak mau terlalu lama di luaran, ingin cepat beres, pulang, mandi.
Begitu sampai bengkel, ternyata hujan makin deras. Sebagian besar pintu, terutama di bagian service sudah tertutup. Menyisakan satu sisi terbuka dengan penampakan bagian depan mobilku.
Kurasa, akulah pelanggan terakhir.
Bergegas aku menghindar dari tampias air hujan, langsung ke ruang tunggu. Lampu masih menyala. Dingin, ruangan itu terlalu dingin buatku. AC 16 derajat ini pasti. Duduk di meja CS, Dewi dengan... tubuh telanjangnya.
Ok ini sebatas imajiku. Kita kembali ke realita...
Dewi sudah memakai jaket. Mungkin sudah bersiap pulang.
"Kedinginan ya Mbak? Tau dingin gini kok AC nya rendah banget. Serasa di freezer loh ini, " kataku, spontan, sekenanya.
Dewi terseyum. Manis tersipu. Jelas terpampang, tanpa masker.
Kumaklumi saja, sepertinya ia tadi sedang minum cairan vitamin C botolan. Mungkin belum siap memakai masker.
Diraihnya remote AC. Diatur ke suhu normal ruangan.
"Itu UC juga dingin?" Aku menunjuk ke botol kecil di meja Dewi. Tampak ada embun di sekitar botol. Tidak perlu jadi Sherlock Holmes untuk mendeduksi fakta itu.
Senyum ringan kembali hadir. Kali ini dengan perubahan mimik muka. Seakan berkata "Ya, begitulah".
"Saya mah gak kuat yang dingin-dingin gini. Pengennya yang anget-anget. Pulang, mandi air hangat, selimutan." Kalimat aneh itu muncul begitu saja. Aku menjadi aku. Seperti biasa. Sungguh tidak jago SSI.
"Maaf saya gak pakai masker ya pak" ucapnya, seakan tidak peduli dengan kalimatku tadi.
"It's OK. Yang penting jaga jarak"
Dewi memberiku nota. Dia juga menjelaskan sesuatu. Entah apa. Aku mengangguk saja. Sok tau. Jarak kami cukup jauh. Suara dari hujan juga makin berisik, benar-benar mengganggu pembicaraan kami
Seingatku, penjelasan Dewi selesai tepat saat hujan mulai reda. Kutelusur sekitar, tampaknya hanya tersisa kami berdua di tempat itu.
Bengkel memang harusnya tutup dua jam yang lalu, tapi akibat request tambahan dariku tadi, kru bekerja ekstra. Aku merasa bersalah, kulayangkan permohonan maaf. Dewi jawab tak masalah, sudah SOP untuk menyelesaikan pekerjaan.
Menurutnya ada dua teknisi yang masih di bengkel. Tapi Dewi pun tak tau kemana mereka saat itu, mungkin sedang sholat atau mungkib makan malam di warung sekitar.
Ah, sholat. Aku juga belum. Aku berniat untuk segera pulang, saat tiba-tiba dua teknisi yang Dewi maksud, muncul dari balik pintu. Habis makan, kata mereka.
Kami berkemas, siap-siap pulang. Di luar masih hujan, tidak sederas tadi, tapi ya masih lumayan lah. Aku sudah duduk di kursi kemudi saat kulihat Dewi tampak gundah, galau.
Dua teknisi lain, sudah di atas motor, siap menerjang hujan. Dewi masih belum memakai helm. Tampak mereka bercakap. Aku menduga salah satu teknisi, pria paling muda, berbadan pendek gempal, menawarinya pulang bareng. Ada sedikit tawa di sana, kukira pastinya ada candaan terlontar.
Entah ide darimana, aku matikan mesin mobilku. Semacam ada feeling: Daripada diantar cecunguk itu, lebih baik aku saja yang turun tangan.
Mungkin naluri laki-laki. Atau naluri kebapakan? Beda tipis.
"Kenapa Mbak?" Tanyaku.
Justru si cecunguk yang menjawab, entah detailnya aku lupa. Intinya Dewi pengen nunggu hujan reda, tapi takut kemaleman.
"Kalo berkenan, dan kalo boleh. Bareng saya saja, gimana?" Aku tawarkan bantuan. Menurutku dia memang sedang kurang fit. Wajar saja, cuaca beberapa hari ini tak menentu.
Sang cecunguk tampaknya memilih mundur dari pertempuran, bergegas cabut dari arena. Tepat sebelum dia minggat, perempuan cantik di depanku mengangguk. Setuju atas proposalku.
....
Kami menembus jalanan kota. Ramai, padat merayap. Sewajarnya kota malam hari, sedikit di atas jam pulang kantor, kondisi hujan pula, pastinya jalanan dipadati kendaraan roda empat.
Berkali kali terjebak lampu merah. Di mobil kami... bermesum ria... tidak kawan. Ini juga imajinasi, kembali ke realita...
Kami banyak mengobrol. Ada bahan obrolan yang entah darimana mengalir begitu saja. Kukira setiap petugas CS seperti Dewi, pasti ada lah sejenis pelatihan public speaking atau teknis persuasi ke pelanggan. Mungkin keterampilan itu yang ia praktikkan. Hampir setengah jam perjalanan, obrolan kami tidak terputus. Bahkan tidak ada momen2 sungkan bin aneh yang biasa kuciptakan. Sebagian besar yang kami bicarakan masih relatif umum.
Kapan dia mulai kerja, pengalaman di bengkel, dan seputar kondisi mobilku. Sesekali ada material galian yang kutemui.
Dewi masih single, tinggal sendiri tanpa orang tua, lahir dan besar di kota ini, sempat bekerja serabutan di berbagai bidang. Usianya jauh lebih muda dariku. Wanita di usia matang (menurutku, pas ranum ranumnya). Mengaku suka difoto, beberapa kali terlibat di proyek artistik.
Di satu-dua kesempatan, dia mengenalkan titik-titik lokasi menarik sepanjang perjalanan itu. Ala-ala guide lah. Membuatku sadar, aku hanya tamu di kota itu, dia tuan rumah.
...
Jam tujuh lebih.
Kami sampai di rumah Dewi. Satu komplek perumahan kelas menengah di sisi utara, masuk agak jauh dari jalan besar. Bukan kelas premium atau elit, tapi kupikir masuk kategori menengah atas. Bentuk fasad rumahnya relatif seragam dengan kiri kanan. Masih ada halaman dan taman terbuka cukup asri di sekitar. Lingkungan yang nyaman yang layak untuk bermukim. Dia mengaku tinggal berdua dengan teman perempuan. Ngontrak katanya.
Masih gerimis.
"Masuk dulu, Mas." Katanya
Dia memanggilku mas sekarang. Aku memang tak terlalu suka dipanggil "Bapak". Usiaku belum setua itu. Uban di beberapa bagian harusnya bukan ukuran kebapakan kan?
Hampir saja aku iyakan, tapi aku cukup tau diri. Terlalu prematur. Aku tau ini sekadar basa basi. Masih banyak kesempatan lain.
"Nggak. Terima kasih. Lain kali saja. Masih harus lembur kerjaan kantor."
Dewi merespon dengan senyum. Aduh senyumnya muaniiiisssss rekkkk.
Nyesel gak??!!
Ada ucapan lirih di sana. Tepat sebelum jendela mobil kututup. Tentu saja aku tak terlalu jelas dengan perkataan terakhirnya. Aku ingin sekali menganggapnya berucap "I love you", tapi tampaknya lebih tepat "Thank You".
...
Sudahlah. Bersambung masbro.