Kupegang tangannya yang mengusap bulu dadaku. Ia memandangku tersenyum datar.
Kubisikkan,"Sof, aku mau service tambahan bisa enggak?"
-------------
Obsesi
Tanpa menjawab ia turun dari ranjang dan mengambil handuk di atas meja.
"Sana mandi yang bersih mas. Krim pijatnya biar hilang".
Aku penasaran dengan sikapnya dan berusaha memeluknya. Tapi ia menepis pelukanku dan mengangsurkan handuk yang dipegangnya. Aku kemudian sadar bahwa ia sengaja membuatku penasaran sehingga ia bisa menaikkan tarif servicenya. Sadar dengan hal demikian aku segera meraih handuk tadi dan pergi ke kamar mandi di sudut ruangan.
Dengan sabun cair yang ada aku mulai menyabuni tubuhku. Kuperhatikan dari lubang penisku keluar cairan bening encer. Kupegang penisku dan kukocok sebentar. Penisku semakin menggeliat dan membesar. Setelah kurasa ketegangannya maksimal aku menghentikan kocokanku. Aku mau biarlah Sofie yang mengeluarkan isinya, dengan segala cara.
Aku kembali ke dalam kamar hanya berlilitkan handuk tanpa celana dalam. Celana dalamku kuselipkan di dalam lipatan handuk. Kulihat Sofie sudah duduk di atas ranjang. Celana panjangnya kulihat sudah digantungkan di kapstok. Dari balik kaus putihnya terlihat samar-samar tonjolan puting payudaranya. Ia memandangku dengan mata sayu.
Ia menggeserkan tubuhnya dan aku duduk di sampingnya. Tangan kirinya memegang dan meremas jari kananku. Ia merapatkan tubuhnya ke arahku kemudian mendorongku sehingga aku telentang di atas ranjang. Ia turun dan memeriksa kain yang menjadi penutup bilik, menambahkan beberapa jepitan yang mengunci kain tersebut. Dengan isyarat ia memintaku agar berbaring tengkurap.
Setelah aku berbaring tengkurap perlahan-lahan Sofie naik ke atas tubuhku dan menarik handuk yang menutup bagian bawah tubuhku. Kini aku sudah dalam keadaan telanjang bulat. Ia duduk di atas pantatku dan menundukkan kepalanya dan lidahnya menyapu tengkuk, leher terus ke punggung sepanjang tulang belakangku. Rasanya geli sekali, tetapi sekaligus menimbulkan rangsangan yang sangat hebat. Sesekali dadanya yang membusung di balik kausnya ditekankan di punggungku. Aku menggelinjang dan menggigit bantal untuk menahan sensasi rasa yang ditimbulkannya. Pantatku merasakan sentuhan kulit dengan kulit tanpa penghalang dan sesekali kurasakan bulu halus di selangkangannya menggesek pinggulku. Demikian terus ia mencium dan menjilati daerah belakang punggungku. Penisku terasa mengganjal di perutku sehingga membuat aku kurang nyaman. Ia mengerti gerakan tubuhku dan menghentikan aksinya.
Ia sedikit mengangkat tubuhnya dari tubuhku dan membantu membalikkan badanku. Aku dalam keadaan telanjang bulat dan Sofie duduk diatas pahaku dengan hanya mengenakan kaus tanpa pakaian dalam. Ia memegang pundakku, terasa begitu hangat dan buah dada yang sejak tadi kuperhatikan itu kini tergantung hanya beberapa sentimeter saja dari wajahku.
Titik-titik keringat menempel di dahinya, mungkin karena tenaga yang dikeluarkan sewaktu memijitku tadi, namun di mataku justru menambah daya tariknya. Harum tubuhnya semakin menggoda nafsuku untuk berbuat lebih jauh. Kuangkat kepalaku untuk melihat lebih jelas ke arah bagian bawah tubuhnya. Sepintas kulihat bukit di selangkangannya yang ditumbuhi rambut tebal. Aku menelan ludah.
Beberapa saat kami berdua sama-sama terdiam. Ia memegang tanganku sambil mengelus punggung tanganku, aku merinding dibuatnya, sementara di bawah, penisku yang sejak tadi sudah tegang itu mulai mengeluarkan cairan hingga menampakkan cairan putih bening tepat di permukaan lubangnya. Aku sudah sangat terangsang.
Tangannya terus mengelus punggung telapak tanganku dan menjalar ke lengan sampai ke atas dan kemudian beralih mengusap bulu dadaku. Bibirnya mendekat ke wajahku dan kemudian mengecup pipiku lalu disapukan bibirnya ke pelipis, leher dan telingaku.
"Mas peganglah dadaku!" katanya dengan mendesah.
Sofie menuntun telapak tanganku ke arah payudaranya yang menggelembung besar di balik kausnya.
"Mas.., oohh", suara itu keluar begitu saja, dan Sofie hanya melihat tingkahku sambil tersenyum. Kucium bibirnya dengan lembut, ia membalas dengan ganas dan langsung menyedot bibriku kuat. Aku yang akan melepaskan bibirku tidak diberinya kesempatan. Ia semakin kuat menyedot bibirku sampai terasa agak sakit, namun kemudian rasa sakit itu terkalahkan oleh rasa nikmat.
Sofie melirik ke arah selangkanganku.
"Waawww.., keras sekali punya kamu Mas?", serunya lalu secepat kilat tangannya menggenggam kemaluanku kemudian mengelus-elusnya. Ibu jarinya mengusap lubang kencingku yang sudah menitikkan cairan dan kemudian mengusapkannya merata ke kepala penisku. Secara refleks tanganku langsung berada di permukaan buah dadanya bergerak meremas dengan lembut sampai menimbulkan desah dari mulutnya.
"Aaahh.., mm remas terus sayang oohh".
"Teruskan, Mas.., buka kausku," perempuan itu mendesah pelan.
Aku masih meremas buah dadanya dari balik kausnya. Aku masih belum ingin melihat secara keseluruhan. Nanti ada saatnya ia akan kutelanjangi. Sesekali kususupkankan tanganku ke balik kausnya untuk meremas dan memilin putingnya. Matanya berbinar saat putingnya kupilin dengan lembut.
"Mmm.., Mas..", ia menggumam merasakan kenikmatan buah dadanya yang kupermainkan.
Kausnya kusingkapkan ke atas dan kedua buah dada itu membuat mataku benar-benar terbuka jelalatan.
"Mm... Mas, aku mau kamu ..", Belum lagi kalimatnya habis aku sudah mengarahkan mulutku ke puncak bukit kembarnya dan "Slrrupp..", sedotanku langsung terdengar begitu bibirku mendarat di permukaan puting payudaranya.
"Aahh.., Mas, oohh.., sedoot teruus aahh", tangannya semakin mengeraskan genggamannya pada batang penisku. Sesekali kulirik tangannya yang masih sibuk bekerja di batang penisku sambil terus menikmati puting buah dadanya satu persatu. Sofie tampak senang sambil tersenyum melihat tingkahku yang seperti anak kecil menetek pada ibunya. Jelas Sofie pasti sudah berpengalaman sekali menghadapi lelaki. Batang penisku tak lagi hanya diremasnya, ia mulai mengocok-ngocoknya. Sebelah lagi tangannya menekan-nekan kepalaku ke arah dadanya.
"Aku buka pakaian dulu, Mas" ia menarik kaus yang dikenakannya, tetapi aku mencegahnya.
"Biar saja Sof, kamu makin kelihatan menggairahkan dalam keadaan begini. Nanti pasti akan kutelanjangi tubuhmu. Sekarang aku masih mau menikmatinya seperti ini dulu".
"Kita lakukan sekarang Mas..", katanya sambil menarik tanganku mendarat di permukaan selangkangannya.
Aku merasakan lembutnya bukit di selangkangannya yang mulai basah itu. Sofie langsung merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. Sofie membuka pahanya agak lebar agar tanganku mudah mneyusup di celah kedua pahanya.
Ia masih menindihku, buah payudaranya menempel lembut di dadaku. Bibir kamipun kini bertemu, Sofie menyedot lidahku dengan lembut. Uhh, nikmatnya, tanganku menyusup di antara tubuh kami, meraba-raba dan meremas kedua belahan payudaranya yang besar itu.
"Mmm.., oohh.., Sof.., aahh", rasa geli bercampur nikmat timbul saat Sofie memberikan kecupannya di leherku sambil menggesekkan selangkangannya yang basah itu pada penisku.
"Isap payudaraku ... Mas?", tangannya meremas sendiri buah dada itu, aku tak menjawabnya, bibirku merayap ke arah dadanya, bertumpu pada tangan yang kutekuk sambil berusaha meraih payudaranya dengan bibirku. Lidahku mulai bekerja liar menjelajahi bukit kenyal itu senti demi senti.
"Hmm.., pintar kamu Mas, oohh.." Desahan Sofie mulai terdengar parau tertahan nikmatnya jilatanku pada putingnya yang mulai mengeras.
Tangannya kembali meraih batang penisku yang semakin tegang. Ia berjongkok di atas tubuhku dan dengan cepat Sofie memasukkan penisku ke mulutnya.
"Ohh.., nikmat Sofie oohh.., oohh.., ahh", geli bercampur nikmat membuatku seperti melayang. Penisku tampak semakin tegang, keluar masuk seluruhnya ke dalam mulut Sofie. Tanganku bergerak meremas-remas payudaranya. Dalam posisi jongkok tangannya meraih penisku di antara pahanya. Pelan sekali ibu jari dan telunjuknya menempelkan kepala penisku di bibir kemaluannya. Aku mengangkat pinggulku ke atas menyambut pantatnya yang turun. Dengan perlahan, mili demi mili batang penisku masuk ke dalam vaginanya.
"Ahhooww, yang pelan sayang oh punya kamu enak sekali!", desahnya genit saat merasakan penisku yang sudah masuk seluruhnya ke dalam vaginanya itu.
Dengan pelan kugerakkan lagi pinggulku, pelan sekali, rasanya seperti memasuki lubang yang sangat sempit.
Aku masih mengatur ritme gerakan, dan tampaknya Sofie sangat menikmatinya, matanya memejam.
"Hmm.., oohh..", Sofie kini menggerakkan pinggulnya. Pinggulnya seperti berdansa ke kiri kanan. Liang vaginanya bertambah licin saja. Penisku kian lama kian lancar, kupercepat goyanganku hingga terdengar bunyi selangkangannya yang becek bertemu pangkal pahaku. Plak.., plak.., plak.., plak.., aduh nikmatnya perempuan ini. Mataku merem melek memandangi wajah Sofie yang masih saja mengeluarkan senyuman.
Nafsuku semakin liar, gerakanku yang tadinya pelan kini tak lagi berirama. Buah dadanya tampak bergoyang ke sana ke mari, mengundang bibirku beraksi. Aku menaikkan punggungku, sehingga Sofie duduk dalam pangkuanku berhadapan. Tanganku bergerak melepaskan kausnya. Ia membantu tanganku dengan mengangkat tangannya sehingga kini tubuhnya polos di hadapanku. Kini aku dapat melihat tubuh Sofie yang montok itu dengan jelas. Buah dada besar itu bergelantungan sangat menantang. Dengan penuh gairah tangan dan bibirku menjamah payudaranya.
"Ooohh sayang kamu buas sekali. hmm.., aku suka permainanmu, oohh.., terus mm".
"Uuhh nikmat Sof.. oohh..".
"Ooohh sedoot teruus payudaraku aahh..".
Jeritannya semakin keras dan panjang, denyutan vaginanya semakin terasa menjepit batang penisku yang semakin terasa keras dan tegang.
"Mashhh....!", dengusannya turun naik.
"Kenapa Sof..".
"Uuuhh.... aku mau keluar hampiirr.., aahh..", gerakan pinggulnya yang liar itu semakin tak karuan, tak terasa sudah lima belas menit kami bergelut menimba kenikmatan. Akupun juga sudah tidak tahan lagi untuk menyelesaikan permainan ini.
"Ooohh... Sof ..... nikmat...".
Aku ingin menumpahkan seluruh lahar kenikmatanku ke dalam tubuhnya dengan kenikmatan maksimal. Kubalikkan tubuhnya dan kugenjot dengan sekeras-kerasnya. Ranjang yang kami pakai mulai terdengar berderit. Tak kuhiraukan Sofie yang menegang keras, kuku-kuku tangannya mencengkeram punggungku, pahanya menjepit keras pinggangku yang sedang asyik turun naik itu.
"Aaahh...., Aku ke..luaarr.. yyaahh", vagina Sofie terasa berdenyut keras sekali, seperti memijit batang penisku dan ia menggigit pundakku sampai membekas kemerahan. Dalam posisi di atas kunikmati wajahnya yang bergerak menggeleng ke kanan kiri. Sejenak aku membayangkan sedang bercinta dengan Ibu Vina. Tiba-tiba betisnya menjepit pahaku dengan keras.
"Aahh.., aku nggak kuaat aahh, Mass", teriaknya panjang tertahan seiring tubuhnya yang menegang. Tanganku meremas kedua buah dadanya yang sejak tadi bergoyang-goyang.
Kepala penisku seperti tersiram cairan hangat di dalam liang rahimnya. Kutekankan pinggulku sekuatnya sehingga penisku masuk sampai sedalam-dalamnya.
"Ouuh Vin... Vina aku keluar sekarang......"
Tidak sadar aku menyebut nama Ibu Vina ketika puncak kenikmatan itu kuraih.
"Masshhhh ....."
Kami saling berciuman dengan ganas untuk menahan erangan agar tidak terdengar ke bilik sebelah dan juga untuk melampiaskan kenikmatan puncak yang kami rasakan. Kemaluan kami sama-sama berdenyut saling memberikan kenikmatan yang maksimal. Kakinya mengejang dan mengunci betisku, pantatnya terangkat naik menyambut penisku. Setelah itu sesaat kemudian kami sudah terkulai lemas.
"Makasih Mas, Sudah lama aku nggak pernah mengalaminya.., makasih ya Mas".
Aku masih terkapar lemas tak berdaya di atas tubuh Sofie. Penisku yang masih tegang dan keras berangsur-angsur melemas. Masih jelas bayangan tubuh sintal Ibu Vina dalam diri Sofie yang kugumuli beberapa menit yang lalu. Sofie bangun mengenakan bajunya dan keluar dari bilik. Ia memberi isyarat agar aku menunggu saja di dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah kembali dengan membawa baskom kecil berisi air hangat. Dengan mesra ia mengelap dan membersihan seluruh tubuhku dan terakhir ia mengusap penisku dan kemudian menciumnya.
"Capek ya Mas? Habis masnya nakal sekali.".
"Hmm.., kamu yang nakal dan menggodaku. Tapi kamu juga hebat".
Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Badanku rasanya masih melayang-layang. Ia mengurut tanganku dengan lembut. Tak lama kemudian ia meletakkan kepalanya di atas dadaku dan kemudian tangannya mengusap bulu dadaku.
"Mashh. Aku puas sekali. Kapan Mas bisa ke sini lagi?"
"Yahh, sama aku juga sangat puas. Nanti kalau waktuku senggang aku akan ke sini".
"Bener ya Mas. Awas kalau bohong.."
"Emang kalau bohong mau diapain?"
"Nanti kugigit baru tahu," katanya sambil menggigit dadaku. Eh benar-benar ia menggigitku. Setelah dilepaskan mulutnya dari dadaku kulihat bekas gigitan kemerahan di dadaku.
"Nah rasain kamu Mas".
Aku bangun dan mengenakan pakaianku. Sebelum pulang kuletakkan sejumlah uang di atas meja kecil. Sofie memperhatikan sekilas dan tanpa menghitungnya ia memasukkannya ke dalam saku celananya. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu.
"Eh Mas, waktu keluar tadi kok menyebut Vina. Pacar Mas ya?"
Aku hanya tersenyum saja.
"Orang mainnya dengan Sofie tapi kok yang disebut Vina," gumamnya sambil pura-pura cemberut.
"Habis kamu mirip dengan sekali dengan Vina, makanya aku terbayang dan tanpa sadar menyebut namanya," kataku sambil mengecup bibirnya.
"Nggak penting siapa Vina. Toh aku juga yakin nama kamu juga bukan Sofie. Besok-besok kalau ke sini aku akan tetap panggil kamu Vina".
"Ah Mas ini genit deh. Terserah Mas saja...," katanya sambil mencubit pinggangku.
Kuperhatikan lagi Sofie dengan seksama. Sebenarnya sih tidak terlalu mirip dengan Ibu Vina. Kulitnya jelas lebih gelap. Tinggi badan, bentuk badan dan mukanya memang sekilas mirip Ibu Vina. Rambutnya lurus sebahu, sedangkan rambut Ibu Vina agak bergelombang sampai di punggung. Mungkin karena seharian ini aku sangat terangsang dengan Ibu Vina maka muncul bayangannya pada diri Sofie. Ah sudahlah. Yang penting sekarang aku sudah merasa lebih lega karena gairahku sudah tersalurkan. Sebelum aku keluar dari bilik, Sofie sekali lagi memelukku dan mengecup bibirku.
"Makasih ya Mas. Jangan lupa ke sini lagi. Atau kalau mau setelah jam kerja kita bisa check in ke hotel!"
Kujawab hanya dengan gerakan tubuh. Aku keluar dari panti pijat itu dan langsung pulang naik angkutan umum.
*****