Pecah Utak
Pertapa Semprot
------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
Cerita 196 – Misteri Tersembunyi
Bagian 04
Takjub Pak Lurah membaca surat itu. Ada perubahan di roman mukanya.
Ia berganti-ganti menatap Candi, Rio dan Danica.
“Tamu-tamu Bapak di desa ini, dan seorang wisatawan asing diusir dan diancam mati.
Apakah ini tidak mengusik Bapak..?” Tanya Candi.
Pak Lurah menggeletakkan surat itu di meja. Bu Lurah yang datang dengan sebaki cangkir teh dan kue kering..
berhati-hati menata cangkir di meja agar tidak menimbulkan bunyi. ”Silakan..” kata Bu Lurah perlahan.
Candi mengangguk. Rio sempat memergoki mata Bu Lurah mampir pandang padanya.
”Saya tidak tau apa-apa soal surat ini. Saya tidak berani memastikan ancaman ini ada hubungannya..
dengan peristiwa penganiayaan Si Mbah..” kata Pak Lurah kemudian.
”Tapi..” suara Asromo berlanjut, kali ini dengan tekanan yang tertelan tenggorokan..
”Saya sangat sarankan agar isi surat ini dituruti. Saya tidak tanggung kalau ada apa-apa dengan kalian..”
Candi menyandarkan diri di punggung kursi dan mengamati raut Asromo dengan baik.
”Pak Lurah ingin kami pergi malam ini..?” Tanyanya dingin.
”Ya.. demi keamanan dan keselamatan kalian. Kalau tak ada kendaraan.. saya bisa mengusahakan carteran..
sampai kota kecamatan..” tutur Asromo.. tak berani menatap mata tamunya satu per satu.
Ia hanya mampu mengikuti asap rokok yang membubung di hadapan mereka.
”Saya mohon adik-adik sekalian dan turis asing ini memenuhi tuntutan ancaman ini.
Adik-adik tinggal berkemas dan pergi, tak sulit, bukan..?” Kata Pak Lurah lagi.
Candi menatap Pak Lurah sesaat. ”Baiklah..” katanya.
Ia kemudian merogoh buku catatan, hape yang berfungsi sebagai alat perekam dan pulpen dari tasnya.
”Saya berubah pikiran. Saya tidak lagi menulis tentang kerajinan di desa Kemiren.
Sekarang saya lebih tertarik memberitakan misteri desa ini dan kisah tentang pengeroyokan seorang kakek..
dan tiga pendatang yang diancam akan dibunuh. Kejadian ini punya nuansa kriminal.
Kejadian kriminal itu bagian dari ranah hukum publik.. di mana anggota masyarakat punya kewajiban moral..
untuk melaporkan dan mencegahnya. Kami wartawan adalah bagian dari masyarakat tersebut.
Pembaca koran akan senang melahap berita macam ini..” tajam Candi menyorot Asromo.
Asromo tau ia sedang diintimidasi wartawati ini. Ia menyorot Candi dengan tatapan galau.
Asromo menusukkan ujung rokok yang masih berapi di dasar asbak.
”Silakan nikmati teh dan kuenya. Kalian tunggu sebentar..” Asromo membalikkan badan dan masuk ke bilik tidurnya.
Rio menyembulkan jempol dari bawah meja, memuji gertakan Candi.
Danica membisikkan sebuah pertanyaan pada Rio.
”I don’t know yet. Masih belum tau Pak Lurah mau apa..” balas Rio. Danica manggut-manggut.
Beberapa menit kemudian Asromo keluar dari kamarnya. Langsung ia duduk tak jauh dari Candi.
Berhati-hati ia meletakkan selembar amplop berwarna kusam.
Sekilas isi amplop itu kelihatan tebal, lebih dari satu centimeter tebalnya.
Asromo mendorong amplop itu ke hadapan Candi.
Candi menatap amplop itu. Untuk apa amplop itu disodorkan padanya. Apa isinya..? Pentingkah..?
Dia memandang amplop yang tersodor di hadapannya, menunggu Asromo bicara.
“Dik Candi, saya tidak bisa bicara apa-apa lagi, selain mohon pengertiannya..” ujar Asromo, “terimalah ini..!”
“Apa maksud Pak Lurah..?” Tanya Candi.
“Maksud saya, tinggalkan desa ini tanpa menulis apapun. Saya kira Dik Candi paham maksud saya..”
Asromo tersenyum.
Ia menggunakan jempolnya untuk menunjuk amplop tebal yang kini tepat berada di bawah hidung Candi.
“Jumlahnya memang tak seberapa, Dik..” Asromo mencoba tersenyum.. ”tapi saya rela dan tulus memberinya..”
Candi terhenyak.
Sumber berita menyogok wartawan memang lazim.. terutama bila tak ada larangan di korannya untuk terima amplop.
Tapi, bagi Candi, ada larangan terima amplop atau tidak.. sogokan itu tidak ada dalam kamusnya.
Amplopan yang begini bukan yang pertama bagi dia.
Pak Lurah mengira semua persoalan bakal beres dengan amplop itu..
Dan ia mengira Candi tengah pikir-pikir untuk menerimanya.
“Maaf..” Candi mendorong balik amplop itu. “Pak Lurah keliru menilai saya. Saya bukan wartawan jenis itu.
Sama sekali saya tidak mengharap amplop ini..”
Ganti Asromo yang tertegun. Senyum simpul yang tadi sudah tersungging di bibir, kini sirna lagi.
”Sudahlah, Dik..” Asromo mendorong kembali amplop itu ke arah Candi.
”Saya mengharap kerjasama Dik Candi dalam hal ini..”
”Tidak..!!” Tegas Candi mendorong balik amplop itu. Danica heran melihat adegan dorong-mendorong amplop itu.
Asromo menarik napas putus asa. ”Lalu apa maunya Dik Candi..?” Dia bicara agak keras.
Bu Lurah yang sedari tadi memperhatikan dari jauh, tertegun.
Matanya mengisyaratkan agar Hendro dan Marni bubar main monopoli dan menyingkir ke dalam.
Candi berdiri. ”Kami cuma ingin menegakkan kebenaran. Kami ingin tau kenapa kami diancam macam ini..!?”
Candi menghamparkan kembali surat ancaman itu di meja.
”Saya tidak tau. Tidak tau..!!” Gelegar Asromo. ”Saya cuma minta pengertian kalian. Jangan campuri urusan desa ini.
Sungguh, saya bisa mengatasinya sendiri..” kata Asromo.
Bu Lurah datang menengahi. ”Sebaiknya adik-adik pulang dulu. Bapak tadi memang tidak enak badan.
Ia harus beristirahat..” kata Bu Lurah.
”Baiklah..” kata Candi. ”Saya mohon maaf. Tapi kami tak akan pergi sebelum tau misteri yang tersembunyi di Kemiren..”
Rio bangkit dari tempat duduk, diikuti Danica yang tak henti-hentinya menebak arah pembicaraan Candi dan Asromo.
”Kami mohon diri. Maaf..” ujar Rio mewakili Candi yang tak segera beranjak.
Rio menggamit gadis itu. Mereka meninggalkan rumah Pak Lurah.
”Adik-adik..” kata Asromo sebelum mereka meninggalkan beranda.
”Saya sudah mengingatkan. Kalau terjadi sesuatu yang buruk, seratus persen tanggungjawab kalian sendiri..”
”Terimakasih atas peringatan Pak Lurah. Permisi..!” Kata Rio. Ia menoleh sebentar.
Nampak Bu Lurah memandangnya sambil menurunkan tirai penutup jendela dan mengunci pintu rapat-rapat.
Selanjutnya perempuan itu beranjak ke dalam.
Pak Lurah masih nampak duduk termenung di ruang tamu..
sedangkan Hendro dan Marni sudah masuk ke kamar masing-masing.
“Ayo, Pak, tidur dulu..” Bu Lurah memanggil.
Pak Lurah mengisap rokoknya keras-keras. “Kamu saja, aku masih belum mengantuk..”
Bu Lurah memandang suaminya sejenak. Melihat tampang Pak Lurah yang seperti tak bisa diganggu..
dia akhirnya pergi ke dalam tanpa berkata apa-apa lagi.
Dibukanya pintu kamar, tapi ditutupnya lagi tak lama kemudian. Dia tak jadi masuk.
Langkahnya malah berbelok ke kanan, menuju kamar mandi.
Bu Lurah melangkah santai, tidak menyadari sepasang mata yang mengintipnya dari balik pintu.
Seperti malam-malam yang lain, selesai belajar biasanya Hendro tidak langsung tidur.
Dari lubang kunci, bocah kecil yang baru kelas satu SMP itu terus menatap ke mana pun ibunya bergerak.
Pandangannya nampak antusias, dan dari sorot matanya terlihat jelas sesuatu yang teramat janggal.
Bukan rasa cinta yang terdapat di sana, tetapi nafsu. Tepatnya, nafsu birahi.
Bagi Hendro, ibunya adalah sosok yang begitu sempurna.
Tak ada wanita lain yang dapat menyita perhatiannya selain Bu Lurah, bahkan termasuk Intan.
Gadis primadona sekolah yang selalu menjadi impian teman-temannya.
Obsesi Hendro adalah sang Ibu, terutama obsesi seksual.
Sering dia membayangkan bersetubuh dengan Bu Lurah..
Sehingga setiap pulang ke rumah, dia mencuri-curi pandang pada tubuh indah ibunya.
Terutama saat Bu Lurah mengenakan pakaian-pakaian yang mengekspos bentuk tubuh, seperti saat ini.
Karena dasternya pendek.. paha ibunya yang mulus dan padat jadi terlihat jelas.
Begitu juga dengan lekuk pinggangnya yang langsing dan padat.
Buah dada Bu Lurah yang besar, nampak bulat dan berisi.
Kulitnya putih mulus tanpa cacat, wajahnya cantik, hidungnya mancung, dan bibirnya agak tipis dan sensual.
Ah.. sosok sempurna yang selalu mengisi khayalan mesum Hendro.. membuat syahwatnya jadi mendesir-desir..
Yang ujung-ujungnya hanya bisa ia lampiaskan dengan cara onani di dalam kamar.
Hendro akan memainkan penisnya sambil membayangkan sosok indah sang ibu.
“Ahh.. Bu. Memekmu enak.. ahh..!!" Racaunya dengan tangan terus bergerak-gerak.
Untuk anak usia 13 tahun, batang penis Hendro terbilang besar. Mungkin karena tubuhnya bongsor;
Di usia semuda ini tingginya telah mencapai 167 cm.. itu artinya dia lebih tinggi dua centimeter dari ibunya.
Hendro merasa melayang. Dia terus mengocok penisnya..
Sampai sebuah bentakan keras dari arah samping mengagetkannya. "Nak..! Apa-apaan kamu ..!?”
Secara refleks Hendro menoleh. Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu.
Dia adalah Bu Lurah.. yang sepertinya juga terkejut melihat batang penis Hendro yang kini berdiri tegak.
“Ah.. i-ibu..”
Dengan panik Hendro segera meraih celana pendek yang tergeletak di lantai dan langsung mengenakannya.
"Apa yang kamu lakukan..?” Tegur Bu Lurah marah. “Awas, nanti aku beritau ayahmu..!"
Pipi Bu Lurah yang putih tampak memerah. Tapi sepertinya dia juga gugup, seperti ada keraguan di dalam dirinya.
“M-maaf, Bu..” Hendro menunduk, tak sanggup memandang mata ibunya yang berkaca-kaca.
Semarah itukah ibunya.. sehingga sampai ingin menangis..?
Tidak ada kata-kata yang leluar dari mulut Bu Lurah.
Dia berbalik dan pergi sambil menutupi mulut.. sepertinya benar-benar menangis.
Langkahnya setengah berlari. Lalu, brraakk..!! Pintu kamar Hendro ditutupnya dengan begitu keras.
“Ah.. mati aku..!!” Hendro mengacak-ngacak rambut.
“Mengapa aku bisa lupa mengunci pintu, betapa teledornya aku..”
Belum lagi bila sang ibu melaporkannya pada Pak Lurah, entah apa yang akan terjadi.
Dengan berjuta-juta pikiran, Hendro duduk lemas di tepi ranjang..
Membayangkan apa yang akan menimpa dia selanjutnya bila sang ibu melaporkan hal ini pada Pak Lurah.
Gawat. Benar-benar gawat. Hendro langsung pucat.
Namun tiba-tiba pintu kembali dibuka dengan pelan, diikuti dengan langkah Bu Lurah yang sedikit lesu.
Matanya sedikit sembab, serta hidungnya agak memerah.
Hendro hanya pasrah menunggu amarah yang bakal keluar dari bibir ibunya yang seksi itu.
Bu Lurah ikut duduk di pinggir tempat tidur.. bersebelahan sambil menatap Hendro sejenak..
Lalu menarik napas panjang, kemudian mulai bicara.
"Ndro.. Ibu maklum dan mengerti.. juga menganggap wajar dan manusiawi jika anak muda seusia kamu..
melakukan hal seperti yang tadi kamu lakukan itu..
Tapi, mendengar desahan-desahan kamu yang menyebut nama Ibu, Ibu jadi kaget.
Sekarang kamu jawab yang jujur, apa maksudnya itu..? Kenapa kamu seolah-olah sedang membayangkan Ibu..?
Jawab..!" Paparnya, yang diakhiri dengan bentakan yang membuat Hendro terkejut.
"M-maaf, Bu." jawab Hendro lirih.
"Ibu tidak butuh kata maafmu, yang Ibu butuhkan adalah penjelasan.
Kenapa kamu mendesah-desah sambil menyebut nama Ibu..? Ayo jawab..!!"
Hendro tak sempat lagi untuk mengarang cerita, terpaksa dia berkata jujur apa adanya.
"H-hendro.. memang su-suka sama Ibu." jawabnya gugup.
"Suka bagaimana..? Ayo ngomong yang jelas, kamu kan anak laki-laki.." tekan Bu Lurah.
"S-suka.. ahh.. maksudku, Hendro ingin berhubungan seks sama Ibu.." Ah, keluar juga kata-kata itu.
"Ya Tuhan..! Hendro..! Aku ini ibumu, Nak..! Ibu kandungmu..! Sudah gila kamu, ya..!?"
Bentak Bu Lurah.. membuat Hendro menunduk menatap lantai.
Kini perempuan molek itu berdiri, lalu menatap putranya sejenak..
Kemudian melangkah mondar-mandir di sekitar kamar, sepertinya tengah berpikir keras.
Hendro melihat adanya kebimbangan dalam diri sang ibu..
Seperti bingung dalam memutuskan sesuatu.. entah apa yang dibingungkannya.
Langkah Bu Lurah berhenti sejenak tepat di hadapannya, menatapnya lagi.
Bibir ibunya komat-kamit, seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Hendro, kamu itu ..” hanya itu yang terucap, lalu tertahan.
Bu Lurah sepertinya ingin melanjutkan, namun ternyata urung.
Justru dia malah kembali duduk di bibir ranjang, kembali menatap sang putra, lalu menarik napas panjang.
Perempuan itu nampak gugup.. kedua kakinya digoyang-goyangkan..
Sambil terus menarik napas panjang beberapakali. Kali ini sambil memejamkan kedua matanya.
Hedro bingung dengan tingkah ibunya. Lebih dari lima menit mereka hanya saling berdiam diri seperti itu.
Seperti ada peperangan batin di dalam diri Bu Lurah.
Peperangan yang masih belum bisa diputuskan siapa pemenangnya.
Lalu tubuh molek itu melesat ke arah pintu, sepertinya hendak keluar. Tapi, dugaan Hendro ternyata salah.
Bu Lurah justru mengunci pintu dan kembali berdiri tepat di depannya, matanya menatap tajam.
"A-ampun, Bu.." Hendro memohon.. badannya meringkuk bagai seekor tikus yang tersudut di pojok ruangan..
dan tak ada lagi tempat untuk berlari.
Kedua tangannya ia gunakan untuk melindungi wajah dan kepala, takut kena pukul.
"Ampun-ampun apaan sih kamu..? Memang kamu pikir Ibu mau ngapain..?" Hendro hanya terdiam.
"Kamu betul kepingin berhubungan seks sama Ibu..?"
"B-betul, Bu. Tapi Hendro minta maaf. Ampuuun..” kembali dia memohon..
berharap ibunya akan melupakan semua ini.
"Sekarang Ibu mau tanya serius, dan Ibu tidak marah. Coba lihat wajah Ibu, apakah Ibu kelihatan marah..?"
Papar Bu Lurah seraya tersenyum manis.
"I-iya, Bu. Ibu mau tanya apa..?"
"Begini, Ndro. Tadi kamu bilang ingin sekali berhubungan seks dengan Ibu, iya kan..?
Nah.. seandainya Ibu bersedia memenuhi keinginan kamu itu, bagaimana..? Apa kamu juga bersedia..?
Jawab yang jujur ya..!!"
Deg..!! Berdegub kencang jantung Hendro. Apa dia tidak salah dengar..? Dan bagaimana mesti menjawabnya..?
Ah, sepertinya ini hanya sebuah pertanyaan jebakan untuk dapat mengorek isi hatinya.
Hendro tidak menjawab, dia hanya bisa mematung.
"Jawab, Ndro. Kalau kamu diam saja, Ibu akan panggil ayahmu sekarang juga.."
"B-baik, Bu..” Hendro buru-buru membuka mulut. “Jujur, Hendro mau sekali main sama Ibu.
Tapi, itu cuma angan-angan saja, tidak betulan..”
"Bagaimana kalau sekarang Ibu menawarkan itu..? Apa kamu mau melakukannya..?"
Satu pertanyaan yang kembali membuat Hendro bingung. Jantungnya berdetak begitu kencang.
Apakah ibunya bermaksud mewujudkan fantasi-fantasinya selama ini..?
“Bagaimana, sayang..?" Tanya Bu Lurah sambil menaikkan kaki kanannya yang putih mulus ke pinggiran tempat tidur.
Seraya menyibak kain dasternya hingga memperlihatkan celana dalam putih yang ia kenakan.
"Ibu tau kamu masih gugup. Semoga ini dapat menghilangkan kegugupanmu.."
Bu Lurah mengucapkannya dengan nada menggoda, dan diikuti dengan tawa renyah yang cukup nakal.
Hendro jadi semakin gugup, namun batang penisnya mulai berdiri tegak di balik celana.
Kemulusan tubuh sang ibu memang sungguh tak dapat ditolak.
Paha Bu Lurah yang putih mulus kini tepat berada di depan hidungnya.. dan di balik celana dalam putih itu..
tampak beberapa helai bulu jembut Bu Lurah mengintip keluar.
Ah.. apakah aku hanya mimpi..? Batin Hendro dalam hati.
Ia mengangkat tangan kanan dengan maksud menyentuh indahnya paha sang ibu..
Tapi Bu Lurah menahan pergelangan tangannya sejenak. "Tapi ingat ya, Ndro. Ini harus menjadi rahasia kita berdua.
Jangan sampai orang lain tau.. terutama ayahmu. Paham kamu..?"
"I-iya, Bu. Hendro mengerti.."
"Bagus. Sekarang lanjutkan apa yang ingin kamu lakukan.." kata Bu Lurah seraya melepas cengkeramannya.
Dengan gemetar, Hendro mulai menyusuri sekujur paha dan pinggul mulus ibunya.
Paha yang selama ini hanya bisa ia tatap, kini dengan bebas dapat ia sentuh, bahkan sesekali diremasnya gemas.
"Bu, celana dalam Ibu boleh Hendro buka ya..?"
"Kan, sudah Ibu bilang.. kamu bisa melakukan apa saja.." papar Bu Lurah, sambil membuka sendiri celana dalamnya.
Hendro terpana menatap liang vagina licin dengan bulu-bulu yang lumayan lebat itu.
Sebelah kaki Bu Lurah yang masih terangkat di atas ranjang membuat liangnya jadi menganga lebar..
Mempertunjukkan daging merah mengkilat yang penuh oleh lendir.
Tak disangka.. ternyata selama berbincang tadi ternyata perempuan itu sudah terangsang berat.
Gemetar Hendro menyentuh keratan daging merah jambu itu, terasa agak lunak dan begitu basah.
Jembut ibunya ia sibak-sibak sebentar, bahkan ia tarik-tarik pelan karena gemas.
"Auw.. sakit, Ndro. Masa' jembut Ibu kamu tarik-tarik begitu..?"
Hendro tersenyum malu. "Boleh Hendro jilatin, ya..?"
"Iihh.. kamu memang nakal. Ayo deh.. kalau mau jilatin memek Ibu.." Ujar Bu Lurah genit..
seraya menyibak bibir vaginanya dengan dua tangan. Ah.. surga itu kini benar-benar terpampang bebas.
Rongga-rongganya terlihat menganga menggoda, memancing lidah Hendro agar lekas menjulur dan menyentuhnya.
Awalnya dia terlihat canggung dalam bergerak..
Namun setelah merasakan betapa nikmat dan kenyalnya benda sempit.. jilatannya berubah menjadi liar.
Penuh nafsu Hendro menyusuri seluruh bagian selangkangan ibunya. Mulai dari bibir vagina, kelentit, jembut..
Hingga menelusup masuk ke dalam lorong rongganya.
"Uuuuuuuuuuuhhhhhh.. kamu kok pintar sih, Ndro..!?” Jerit Bu Lurah.
Erangan itu bagaikan sebuah komando bagi Hendro untuk semakin agresif dalam mengoral liang kewanitaan ibunya.
Liang yang sepertinya semakin basah dan hangat oleh cairan bening berlendir.
Bu Lurah melucuti sendiri daster yang masih dikenakan. Rupanya dia sudah tak tahan.
Buah dadanya yang kencang dan padat terumbar keluar begitu behanya dilepas.
Hendro menatap nanar pada dua gunung kembar yang putih montok..
dengan puting sebesar kelereng berwarna pink kehitaman itu.
Bu lurah yang mengerti apa yang sang putra inginkan, segera berkata..
"Kamu mau netek..?" Tawarnya, sambil meremas-remas kedua payudaranya sendiri.
"Mau ma..mau.." jawab Hendro penuh semangat.
Bu Lurah segera menyodorkan kedua buah dadanya.. membiarkan Hendro mengenyot putingnya..
yang sekitar 13 tahun lalu juga pernah ia gunakan untuk menyusui.
Hendro mengisapnya dengan rakus.. bergantian kiri dan kanan..
Sambil tak lupa meremas-remas bulatannya yang terasa empuk dan kenyal.
Setelah dirasa puas, Bu Lurah menarik kembali buah dadanya. Kedua putingnya nampak mengkilat oleh air liur Hendro.
Membuatnya jadi makin indah dan menarik.
Selanjutnya dia mengecup bibir Hendro, menjilati lehernya, lalu menggigit-gigit kecil putingnya, dan terus turun hingga ke pusar.
“Ughh..” Hendro bergidik, dan tak kuasa menolak saat celana pendek yang membungkus penisnya ditarik lepas.
“Wow..! Kontol kamu gede juga ya, Ndro. Tidak kalah sama punya ayahmu..” ujar Bu Lurah sambil mengurut-urut ringan.
"Tadi kan kamu sudah mencicipi memek Ibu.. Sekarang giliran Ibu yang mencicipi kontol kamu.."
Ah.. kata-kata itu sungguh membuat Hendro jadi semakin terangsang.
Dinikmatinya lidah sang ibu yang mulai menjilati sekujur penisnya.. lalu 'menelannya' dalam satukali caplokan.
Kuluman mulut ibunya yang lembut sungguh terasa begitu nikmat, membuatnya jadi benar-benar tak tahan.
“Enak kan, Ndro..?” Tanya Bu Lurah yang terlihat semakin seksi dengan hiasan kontol menyumbat di mulutnya.
"Aaah.. hhh.. hhhh..” Hendro tak sanggup untuk menjawab.
Dia sudah hampir meledak saat beberapa saat kemudian Bu Lurah menghentikan kulumannya.
Perempuan itu lantas bangkit dan memagut bibir Hendro sekali lagi, lalu bertanya..
"Ndro, kamu pingin ngentotin Ibu enggak..?" Tawarnya, sebuah penawaran yang sangat tidak mungkin untuk ditolak.
"M-mau, Bu.." jawab Hendro penuh nafsu.
"Ah.. tapi besok aja, ya.. sudah malam sekarang. Nanti ayahmu curiga.." jawab Bu Lurah menggoda.
"Yaah.. sekarang aja, Bu. Kumohon..” sayu Hendro memandang ibunya yang tersenyum nakal.
"Besok aja. Ibu janji.." sahut Bu Lurah dengan tangan mengurut-urut batang penis sang putra.
"Ibu tega..” keluh si bocah.
"Yah, habis gimana.. daripada kepergok ayahmu..” Bu Lurah berdiri dan mengenakan dasternya kembali.
Tapi belum sempat dia mengenakan celana dalam, terdengar ketukan pelan di luar pintu.
“Bu, kamu di dalam..?” Itu suara Pak Lurah.
“Nah, bener kan yang ibu bilang..?” Bisik Bu Lurah, lalu buru-buru menyahut keras.
“Iya, sebentar..” Dia memberikan celana dalamnya pada Hendro, “Nih, buat kamu..”
Hendro hanya bisa terbengong-bengong.
Cepat dia menutupi bagian bawah tubuhnya yang telanjang dengan selimut ketika ayahnya melangkah masuk.
“Kok belum tidur, Ndro. Sudah malam lho..” kata Pak Lurah.
Hendro hanya tersenyum, sedangkan Bu Lurah lekas menggiring suaminya keluar.
Di dalam kamar, Hendro mendesah kecewa.
Mana mungkin dia bisa tidur dengan penis mengacung tegak seperti ini..?
Maka.. dengan menggunakan celana dalam ibunya.. ia teruskan hasratnya yang sempat tertunda.
Dikocoknya penisnya yang memerah cepat-cepat hingga muncrat tak lama kemudian.
Barulah setelah itu dia bisa menutup mata dengan sedikit lega.
CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
Cerita 196 – Misteri Tersembunyi
Bagian 04
Takjub Pak Lurah membaca surat itu. Ada perubahan di roman mukanya.
Ia berganti-ganti menatap Candi, Rio dan Danica.
“Tamu-tamu Bapak di desa ini, dan seorang wisatawan asing diusir dan diancam mati.
Apakah ini tidak mengusik Bapak..?” Tanya Candi.
Pak Lurah menggeletakkan surat itu di meja. Bu Lurah yang datang dengan sebaki cangkir teh dan kue kering..
berhati-hati menata cangkir di meja agar tidak menimbulkan bunyi. ”Silakan..” kata Bu Lurah perlahan.
Candi mengangguk. Rio sempat memergoki mata Bu Lurah mampir pandang padanya.
”Saya tidak tau apa-apa soal surat ini. Saya tidak berani memastikan ancaman ini ada hubungannya..
dengan peristiwa penganiayaan Si Mbah..” kata Pak Lurah kemudian.
”Tapi..” suara Asromo berlanjut, kali ini dengan tekanan yang tertelan tenggorokan..
”Saya sangat sarankan agar isi surat ini dituruti. Saya tidak tanggung kalau ada apa-apa dengan kalian..”
Candi menyandarkan diri di punggung kursi dan mengamati raut Asromo dengan baik.
”Pak Lurah ingin kami pergi malam ini..?” Tanyanya dingin.
”Ya.. demi keamanan dan keselamatan kalian. Kalau tak ada kendaraan.. saya bisa mengusahakan carteran..
sampai kota kecamatan..” tutur Asromo.. tak berani menatap mata tamunya satu per satu.
Ia hanya mampu mengikuti asap rokok yang membubung di hadapan mereka.
”Saya mohon adik-adik sekalian dan turis asing ini memenuhi tuntutan ancaman ini.
Adik-adik tinggal berkemas dan pergi, tak sulit, bukan..?” Kata Pak Lurah lagi.
Candi menatap Pak Lurah sesaat. ”Baiklah..” katanya.
Ia kemudian merogoh buku catatan, hape yang berfungsi sebagai alat perekam dan pulpen dari tasnya.
”Saya berubah pikiran. Saya tidak lagi menulis tentang kerajinan di desa Kemiren.
Sekarang saya lebih tertarik memberitakan misteri desa ini dan kisah tentang pengeroyokan seorang kakek..
dan tiga pendatang yang diancam akan dibunuh. Kejadian ini punya nuansa kriminal.
Kejadian kriminal itu bagian dari ranah hukum publik.. di mana anggota masyarakat punya kewajiban moral..
untuk melaporkan dan mencegahnya. Kami wartawan adalah bagian dari masyarakat tersebut.
Pembaca koran akan senang melahap berita macam ini..” tajam Candi menyorot Asromo.
Asromo tau ia sedang diintimidasi wartawati ini. Ia menyorot Candi dengan tatapan galau.
Asromo menusukkan ujung rokok yang masih berapi di dasar asbak.
”Silakan nikmati teh dan kuenya. Kalian tunggu sebentar..” Asromo membalikkan badan dan masuk ke bilik tidurnya.
Rio menyembulkan jempol dari bawah meja, memuji gertakan Candi.
Danica membisikkan sebuah pertanyaan pada Rio.
”I don’t know yet. Masih belum tau Pak Lurah mau apa..” balas Rio. Danica manggut-manggut.
Beberapa menit kemudian Asromo keluar dari kamarnya. Langsung ia duduk tak jauh dari Candi.
Berhati-hati ia meletakkan selembar amplop berwarna kusam.
Sekilas isi amplop itu kelihatan tebal, lebih dari satu centimeter tebalnya.
Asromo mendorong amplop itu ke hadapan Candi.
Candi menatap amplop itu. Untuk apa amplop itu disodorkan padanya. Apa isinya..? Pentingkah..?
Dia memandang amplop yang tersodor di hadapannya, menunggu Asromo bicara.
“Dik Candi, saya tidak bisa bicara apa-apa lagi, selain mohon pengertiannya..” ujar Asromo, “terimalah ini..!”
“Apa maksud Pak Lurah..?” Tanya Candi.
“Maksud saya, tinggalkan desa ini tanpa menulis apapun. Saya kira Dik Candi paham maksud saya..”
Asromo tersenyum.
Ia menggunakan jempolnya untuk menunjuk amplop tebal yang kini tepat berada di bawah hidung Candi.
“Jumlahnya memang tak seberapa, Dik..” Asromo mencoba tersenyum.. ”tapi saya rela dan tulus memberinya..”
Candi terhenyak.
Sumber berita menyogok wartawan memang lazim.. terutama bila tak ada larangan di korannya untuk terima amplop.
Tapi, bagi Candi, ada larangan terima amplop atau tidak.. sogokan itu tidak ada dalam kamusnya.
Amplopan yang begini bukan yang pertama bagi dia.
Pak Lurah mengira semua persoalan bakal beres dengan amplop itu..
Dan ia mengira Candi tengah pikir-pikir untuk menerimanya.
“Maaf..” Candi mendorong balik amplop itu. “Pak Lurah keliru menilai saya. Saya bukan wartawan jenis itu.
Sama sekali saya tidak mengharap amplop ini..”
Ganti Asromo yang tertegun. Senyum simpul yang tadi sudah tersungging di bibir, kini sirna lagi.
”Sudahlah, Dik..” Asromo mendorong kembali amplop itu ke arah Candi.
”Saya mengharap kerjasama Dik Candi dalam hal ini..”
”Tidak..!!” Tegas Candi mendorong balik amplop itu. Danica heran melihat adegan dorong-mendorong amplop itu.
Asromo menarik napas putus asa. ”Lalu apa maunya Dik Candi..?” Dia bicara agak keras.
Bu Lurah yang sedari tadi memperhatikan dari jauh, tertegun.
Matanya mengisyaratkan agar Hendro dan Marni bubar main monopoli dan menyingkir ke dalam.
Candi berdiri. ”Kami cuma ingin menegakkan kebenaran. Kami ingin tau kenapa kami diancam macam ini..!?”
Candi menghamparkan kembali surat ancaman itu di meja.
”Saya tidak tau. Tidak tau..!!” Gelegar Asromo. ”Saya cuma minta pengertian kalian. Jangan campuri urusan desa ini.
Sungguh, saya bisa mengatasinya sendiri..” kata Asromo.
Bu Lurah datang menengahi. ”Sebaiknya adik-adik pulang dulu. Bapak tadi memang tidak enak badan.
Ia harus beristirahat..” kata Bu Lurah.
”Baiklah..” kata Candi. ”Saya mohon maaf. Tapi kami tak akan pergi sebelum tau misteri yang tersembunyi di Kemiren..”
Rio bangkit dari tempat duduk, diikuti Danica yang tak henti-hentinya menebak arah pembicaraan Candi dan Asromo.
”Kami mohon diri. Maaf..” ujar Rio mewakili Candi yang tak segera beranjak.
Rio menggamit gadis itu. Mereka meninggalkan rumah Pak Lurah.
”Adik-adik..” kata Asromo sebelum mereka meninggalkan beranda.
”Saya sudah mengingatkan. Kalau terjadi sesuatu yang buruk, seratus persen tanggungjawab kalian sendiri..”
”Terimakasih atas peringatan Pak Lurah. Permisi..!” Kata Rio. Ia menoleh sebentar.
Nampak Bu Lurah memandangnya sambil menurunkan tirai penutup jendela dan mengunci pintu rapat-rapat.
Selanjutnya perempuan itu beranjak ke dalam.
Pak Lurah masih nampak duduk termenung di ruang tamu..
sedangkan Hendro dan Marni sudah masuk ke kamar masing-masing.
“Ayo, Pak, tidur dulu..” Bu Lurah memanggil.
Pak Lurah mengisap rokoknya keras-keras. “Kamu saja, aku masih belum mengantuk..”
Bu Lurah memandang suaminya sejenak. Melihat tampang Pak Lurah yang seperti tak bisa diganggu..
dia akhirnya pergi ke dalam tanpa berkata apa-apa lagi.
Dibukanya pintu kamar, tapi ditutupnya lagi tak lama kemudian. Dia tak jadi masuk.
Langkahnya malah berbelok ke kanan, menuju kamar mandi.
Bu Lurah melangkah santai, tidak menyadari sepasang mata yang mengintipnya dari balik pintu.
Seperti malam-malam yang lain, selesai belajar biasanya Hendro tidak langsung tidur.
Dari lubang kunci, bocah kecil yang baru kelas satu SMP itu terus menatap ke mana pun ibunya bergerak.
Pandangannya nampak antusias, dan dari sorot matanya terlihat jelas sesuatu yang teramat janggal.
Bukan rasa cinta yang terdapat di sana, tetapi nafsu. Tepatnya, nafsu birahi.
Bagi Hendro, ibunya adalah sosok yang begitu sempurna.
Tak ada wanita lain yang dapat menyita perhatiannya selain Bu Lurah, bahkan termasuk Intan.
Gadis primadona sekolah yang selalu menjadi impian teman-temannya.
Obsesi Hendro adalah sang Ibu, terutama obsesi seksual.
Sering dia membayangkan bersetubuh dengan Bu Lurah..
Sehingga setiap pulang ke rumah, dia mencuri-curi pandang pada tubuh indah ibunya.
Terutama saat Bu Lurah mengenakan pakaian-pakaian yang mengekspos bentuk tubuh, seperti saat ini.
Karena dasternya pendek.. paha ibunya yang mulus dan padat jadi terlihat jelas.
Begitu juga dengan lekuk pinggangnya yang langsing dan padat.
Buah dada Bu Lurah yang besar, nampak bulat dan berisi.
Kulitnya putih mulus tanpa cacat, wajahnya cantik, hidungnya mancung, dan bibirnya agak tipis dan sensual.
Ah.. sosok sempurna yang selalu mengisi khayalan mesum Hendro.. membuat syahwatnya jadi mendesir-desir..
Yang ujung-ujungnya hanya bisa ia lampiaskan dengan cara onani di dalam kamar.
Hendro akan memainkan penisnya sambil membayangkan sosok indah sang ibu.
“Ahh.. Bu. Memekmu enak.. ahh..!!" Racaunya dengan tangan terus bergerak-gerak.
Untuk anak usia 13 tahun, batang penis Hendro terbilang besar. Mungkin karena tubuhnya bongsor;
Di usia semuda ini tingginya telah mencapai 167 cm.. itu artinya dia lebih tinggi dua centimeter dari ibunya.
Hendro merasa melayang. Dia terus mengocok penisnya..
Sampai sebuah bentakan keras dari arah samping mengagetkannya. "Nak..! Apa-apaan kamu ..!?”
Secara refleks Hendro menoleh. Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu.
Dia adalah Bu Lurah.. yang sepertinya juga terkejut melihat batang penis Hendro yang kini berdiri tegak.
“Ah.. i-ibu..”
Dengan panik Hendro segera meraih celana pendek yang tergeletak di lantai dan langsung mengenakannya.
"Apa yang kamu lakukan..?” Tegur Bu Lurah marah. “Awas, nanti aku beritau ayahmu..!"
Pipi Bu Lurah yang putih tampak memerah. Tapi sepertinya dia juga gugup, seperti ada keraguan di dalam dirinya.
“M-maaf, Bu..” Hendro menunduk, tak sanggup memandang mata ibunya yang berkaca-kaca.
Semarah itukah ibunya.. sehingga sampai ingin menangis..?
Tidak ada kata-kata yang leluar dari mulut Bu Lurah.
Dia berbalik dan pergi sambil menutupi mulut.. sepertinya benar-benar menangis.
Langkahnya setengah berlari. Lalu, brraakk..!! Pintu kamar Hendro ditutupnya dengan begitu keras.
“Ah.. mati aku..!!” Hendro mengacak-ngacak rambut.
“Mengapa aku bisa lupa mengunci pintu, betapa teledornya aku..”
Belum lagi bila sang ibu melaporkannya pada Pak Lurah, entah apa yang akan terjadi.
Dengan berjuta-juta pikiran, Hendro duduk lemas di tepi ranjang..
Membayangkan apa yang akan menimpa dia selanjutnya bila sang ibu melaporkan hal ini pada Pak Lurah.
Gawat. Benar-benar gawat. Hendro langsung pucat.
Namun tiba-tiba pintu kembali dibuka dengan pelan, diikuti dengan langkah Bu Lurah yang sedikit lesu.
Matanya sedikit sembab, serta hidungnya agak memerah.
Hendro hanya pasrah menunggu amarah yang bakal keluar dari bibir ibunya yang seksi itu.
Bu Lurah ikut duduk di pinggir tempat tidur.. bersebelahan sambil menatap Hendro sejenak..
Lalu menarik napas panjang, kemudian mulai bicara.
"Ndro.. Ibu maklum dan mengerti.. juga menganggap wajar dan manusiawi jika anak muda seusia kamu..
melakukan hal seperti yang tadi kamu lakukan itu..
Tapi, mendengar desahan-desahan kamu yang menyebut nama Ibu, Ibu jadi kaget.
Sekarang kamu jawab yang jujur, apa maksudnya itu..? Kenapa kamu seolah-olah sedang membayangkan Ibu..?
Jawab..!" Paparnya, yang diakhiri dengan bentakan yang membuat Hendro terkejut.
"M-maaf, Bu." jawab Hendro lirih.
"Ibu tidak butuh kata maafmu, yang Ibu butuhkan adalah penjelasan.
Kenapa kamu mendesah-desah sambil menyebut nama Ibu..? Ayo jawab..!!"
Hendro tak sempat lagi untuk mengarang cerita, terpaksa dia berkata jujur apa adanya.
"H-hendro.. memang su-suka sama Ibu." jawabnya gugup.
"Suka bagaimana..? Ayo ngomong yang jelas, kamu kan anak laki-laki.." tekan Bu Lurah.
"S-suka.. ahh.. maksudku, Hendro ingin berhubungan seks sama Ibu.." Ah, keluar juga kata-kata itu.
"Ya Tuhan..! Hendro..! Aku ini ibumu, Nak..! Ibu kandungmu..! Sudah gila kamu, ya..!?"
Bentak Bu Lurah.. membuat Hendro menunduk menatap lantai.
Kini perempuan molek itu berdiri, lalu menatap putranya sejenak..
Kemudian melangkah mondar-mandir di sekitar kamar, sepertinya tengah berpikir keras.
Hendro melihat adanya kebimbangan dalam diri sang ibu..
Seperti bingung dalam memutuskan sesuatu.. entah apa yang dibingungkannya.
Langkah Bu Lurah berhenti sejenak tepat di hadapannya, menatapnya lagi.
Bibir ibunya komat-kamit, seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Hendro, kamu itu ..” hanya itu yang terucap, lalu tertahan.
Bu Lurah sepertinya ingin melanjutkan, namun ternyata urung.
Justru dia malah kembali duduk di bibir ranjang, kembali menatap sang putra, lalu menarik napas panjang.
Perempuan itu nampak gugup.. kedua kakinya digoyang-goyangkan..
Sambil terus menarik napas panjang beberapakali. Kali ini sambil memejamkan kedua matanya.
Hedro bingung dengan tingkah ibunya. Lebih dari lima menit mereka hanya saling berdiam diri seperti itu.
Seperti ada peperangan batin di dalam diri Bu Lurah.
Peperangan yang masih belum bisa diputuskan siapa pemenangnya.
Lalu tubuh molek itu melesat ke arah pintu, sepertinya hendak keluar. Tapi, dugaan Hendro ternyata salah.
Bu Lurah justru mengunci pintu dan kembali berdiri tepat di depannya, matanya menatap tajam.
"A-ampun, Bu.." Hendro memohon.. badannya meringkuk bagai seekor tikus yang tersudut di pojok ruangan..
dan tak ada lagi tempat untuk berlari.
Kedua tangannya ia gunakan untuk melindungi wajah dan kepala, takut kena pukul.
"Ampun-ampun apaan sih kamu..? Memang kamu pikir Ibu mau ngapain..?" Hendro hanya terdiam.
"Kamu betul kepingin berhubungan seks sama Ibu..?"
"B-betul, Bu. Tapi Hendro minta maaf. Ampuuun..” kembali dia memohon..
berharap ibunya akan melupakan semua ini.
"Sekarang Ibu mau tanya serius, dan Ibu tidak marah. Coba lihat wajah Ibu, apakah Ibu kelihatan marah..?"
Papar Bu Lurah seraya tersenyum manis.
"I-iya, Bu. Ibu mau tanya apa..?"
"Begini, Ndro. Tadi kamu bilang ingin sekali berhubungan seks dengan Ibu, iya kan..?
Nah.. seandainya Ibu bersedia memenuhi keinginan kamu itu, bagaimana..? Apa kamu juga bersedia..?
Jawab yang jujur ya..!!"
Deg..!! Berdegub kencang jantung Hendro. Apa dia tidak salah dengar..? Dan bagaimana mesti menjawabnya..?
Ah, sepertinya ini hanya sebuah pertanyaan jebakan untuk dapat mengorek isi hatinya.
Hendro tidak menjawab, dia hanya bisa mematung.
"Jawab, Ndro. Kalau kamu diam saja, Ibu akan panggil ayahmu sekarang juga.."
"B-baik, Bu..” Hendro buru-buru membuka mulut. “Jujur, Hendro mau sekali main sama Ibu.
Tapi, itu cuma angan-angan saja, tidak betulan..”
"Bagaimana kalau sekarang Ibu menawarkan itu..? Apa kamu mau melakukannya..?"
Satu pertanyaan yang kembali membuat Hendro bingung. Jantungnya berdetak begitu kencang.
Apakah ibunya bermaksud mewujudkan fantasi-fantasinya selama ini..?
“Bagaimana, sayang..?" Tanya Bu Lurah sambil menaikkan kaki kanannya yang putih mulus ke pinggiran tempat tidur.
Seraya menyibak kain dasternya hingga memperlihatkan celana dalam putih yang ia kenakan.
"Ibu tau kamu masih gugup. Semoga ini dapat menghilangkan kegugupanmu.."
Bu Lurah mengucapkannya dengan nada menggoda, dan diikuti dengan tawa renyah yang cukup nakal.
Hendro jadi semakin gugup, namun batang penisnya mulai berdiri tegak di balik celana.
Kemulusan tubuh sang ibu memang sungguh tak dapat ditolak.
Paha Bu Lurah yang putih mulus kini tepat berada di depan hidungnya.. dan di balik celana dalam putih itu..
tampak beberapa helai bulu jembut Bu Lurah mengintip keluar.
Ah.. apakah aku hanya mimpi..? Batin Hendro dalam hati.
Ia mengangkat tangan kanan dengan maksud menyentuh indahnya paha sang ibu..
Tapi Bu Lurah menahan pergelangan tangannya sejenak. "Tapi ingat ya, Ndro. Ini harus menjadi rahasia kita berdua.
Jangan sampai orang lain tau.. terutama ayahmu. Paham kamu..?"
"I-iya, Bu. Hendro mengerti.."
"Bagus. Sekarang lanjutkan apa yang ingin kamu lakukan.." kata Bu Lurah seraya melepas cengkeramannya.
Dengan gemetar, Hendro mulai menyusuri sekujur paha dan pinggul mulus ibunya.
Paha yang selama ini hanya bisa ia tatap, kini dengan bebas dapat ia sentuh, bahkan sesekali diremasnya gemas.
"Bu, celana dalam Ibu boleh Hendro buka ya..?"
"Kan, sudah Ibu bilang.. kamu bisa melakukan apa saja.." papar Bu Lurah, sambil membuka sendiri celana dalamnya.
Hendro terpana menatap liang vagina licin dengan bulu-bulu yang lumayan lebat itu.
Sebelah kaki Bu Lurah yang masih terangkat di atas ranjang membuat liangnya jadi menganga lebar..
Mempertunjukkan daging merah mengkilat yang penuh oleh lendir.
Tak disangka.. ternyata selama berbincang tadi ternyata perempuan itu sudah terangsang berat.
Gemetar Hendro menyentuh keratan daging merah jambu itu, terasa agak lunak dan begitu basah.
Jembut ibunya ia sibak-sibak sebentar, bahkan ia tarik-tarik pelan karena gemas.
"Auw.. sakit, Ndro. Masa' jembut Ibu kamu tarik-tarik begitu..?"
Hendro tersenyum malu. "Boleh Hendro jilatin, ya..?"
"Iihh.. kamu memang nakal. Ayo deh.. kalau mau jilatin memek Ibu.." Ujar Bu Lurah genit..
seraya menyibak bibir vaginanya dengan dua tangan. Ah.. surga itu kini benar-benar terpampang bebas.
Rongga-rongganya terlihat menganga menggoda, memancing lidah Hendro agar lekas menjulur dan menyentuhnya.
Awalnya dia terlihat canggung dalam bergerak..
Namun setelah merasakan betapa nikmat dan kenyalnya benda sempit.. jilatannya berubah menjadi liar.
Penuh nafsu Hendro menyusuri seluruh bagian selangkangan ibunya. Mulai dari bibir vagina, kelentit, jembut..
Hingga menelusup masuk ke dalam lorong rongganya.
"Uuuuuuuuuuuhhhhhh.. kamu kok pintar sih, Ndro..!?” Jerit Bu Lurah.
Erangan itu bagaikan sebuah komando bagi Hendro untuk semakin agresif dalam mengoral liang kewanitaan ibunya.
Liang yang sepertinya semakin basah dan hangat oleh cairan bening berlendir.
Bu Lurah melucuti sendiri daster yang masih dikenakan. Rupanya dia sudah tak tahan.
Buah dadanya yang kencang dan padat terumbar keluar begitu behanya dilepas.
Hendro menatap nanar pada dua gunung kembar yang putih montok..
dengan puting sebesar kelereng berwarna pink kehitaman itu.
Bu lurah yang mengerti apa yang sang putra inginkan, segera berkata..
"Kamu mau netek..?" Tawarnya, sambil meremas-remas kedua payudaranya sendiri.
"Mau ma..mau.." jawab Hendro penuh semangat.
Bu Lurah segera menyodorkan kedua buah dadanya.. membiarkan Hendro mengenyot putingnya..
yang sekitar 13 tahun lalu juga pernah ia gunakan untuk menyusui.
Hendro mengisapnya dengan rakus.. bergantian kiri dan kanan..
Sambil tak lupa meremas-remas bulatannya yang terasa empuk dan kenyal.
Setelah dirasa puas, Bu Lurah menarik kembali buah dadanya. Kedua putingnya nampak mengkilat oleh air liur Hendro.
Membuatnya jadi makin indah dan menarik.
Selanjutnya dia mengecup bibir Hendro, menjilati lehernya, lalu menggigit-gigit kecil putingnya, dan terus turun hingga ke pusar.
“Ughh..” Hendro bergidik, dan tak kuasa menolak saat celana pendek yang membungkus penisnya ditarik lepas.
“Wow..! Kontol kamu gede juga ya, Ndro. Tidak kalah sama punya ayahmu..” ujar Bu Lurah sambil mengurut-urut ringan.
"Tadi kan kamu sudah mencicipi memek Ibu.. Sekarang giliran Ibu yang mencicipi kontol kamu.."
Ah.. kata-kata itu sungguh membuat Hendro jadi semakin terangsang.
Dinikmatinya lidah sang ibu yang mulai menjilati sekujur penisnya.. lalu 'menelannya' dalam satukali caplokan.
Kuluman mulut ibunya yang lembut sungguh terasa begitu nikmat, membuatnya jadi benar-benar tak tahan.
“Enak kan, Ndro..?” Tanya Bu Lurah yang terlihat semakin seksi dengan hiasan kontol menyumbat di mulutnya.
"Aaah.. hhh.. hhhh..” Hendro tak sanggup untuk menjawab.
Dia sudah hampir meledak saat beberapa saat kemudian Bu Lurah menghentikan kulumannya.
Perempuan itu lantas bangkit dan memagut bibir Hendro sekali lagi, lalu bertanya..
"Ndro, kamu pingin ngentotin Ibu enggak..?" Tawarnya, sebuah penawaran yang sangat tidak mungkin untuk ditolak.
"M-mau, Bu.." jawab Hendro penuh nafsu.
"Ah.. tapi besok aja, ya.. sudah malam sekarang. Nanti ayahmu curiga.." jawab Bu Lurah menggoda.
"Yaah.. sekarang aja, Bu. Kumohon..” sayu Hendro memandang ibunya yang tersenyum nakal.
"Besok aja. Ibu janji.." sahut Bu Lurah dengan tangan mengurut-urut batang penis sang putra.
"Ibu tega..” keluh si bocah.
"Yah, habis gimana.. daripada kepergok ayahmu..” Bu Lurah berdiri dan mengenakan dasternya kembali.
Tapi belum sempat dia mengenakan celana dalam, terdengar ketukan pelan di luar pintu.
“Bu, kamu di dalam..?” Itu suara Pak Lurah.
“Nah, bener kan yang ibu bilang..?” Bisik Bu Lurah, lalu buru-buru menyahut keras.
“Iya, sebentar..” Dia memberikan celana dalamnya pada Hendro, “Nih, buat kamu..”
Hendro hanya bisa terbengong-bengong.
Cepat dia menutupi bagian bawah tubuhnya yang telanjang dengan selimut ketika ayahnya melangkah masuk.
“Kok belum tidur, Ndro. Sudah malam lho..” kata Pak Lurah.
Hendro hanya tersenyum, sedangkan Bu Lurah lekas menggiring suaminya keluar.
Di dalam kamar, Hendro mendesah kecewa.
Mana mungkin dia bisa tidur dengan penis mengacung tegak seperti ini..?
Maka.. dengan menggunakan celana dalam ibunya.. ia teruskan hasratnya yang sempat tertunda.
Dikocoknya penisnya yang memerah cepat-cepat hingga muncrat tak lama kemudian.
Barulah setelah itu dia bisa menutup mata dengan sedikit lega.
CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------