Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Kompilasi] Rumput Tetangga 'Nampak' Selalu Lebih Hijau.. (CoPasEdit dari Tetangga)

Bimabet
------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi


Bagian 04

Takjub Pak Lurah
membaca surat itu. Ada perubahan di roman mukanya.
Ia berganti-ganti menatap Candi, Rio dan Danica.

“Tamu-tamu Bapak di desa ini, dan seorang wisatawan asing diusir dan diancam mati.
Apakah ini tidak mengusik Bapak..?” Tanya Candi.

Pak Lurah menggeletakkan surat itu di meja. Bu Lurah yang datang dengan sebaki cangkir teh dan kue kering..
berhati-hati menata cangkir di meja agar tidak menimbulkan bunyi. ”Silakan..” kata Bu Lurah perlahan.
Candi mengangguk. Rio sempat memergoki mata Bu Lurah mampir pandang padanya.

”Saya tidak tau apa-apa soal surat ini. Saya tidak berani memastikan ancaman ini ada hubungannya..
dengan peristiwa penganiayaan Si Mbah..” kata Pak Lurah kemudian.

”Tapi..” suara Asromo berlanjut, kali ini dengan tekanan yang tertelan tenggorokan..
”Saya sangat sarankan agar isi surat ini dituruti. Saya tidak tanggung kalau ada apa-apa dengan kalian..”

Candi menyandarkan diri di punggung kursi dan mengamati raut Asromo dengan baik.
”Pak Lurah ingin kami pergi malam ini..?” Tanyanya dingin.

”Ya.. demi keamanan dan keselamatan kalian. Kalau tak ada kendaraan.. saya bisa mengusahakan carteran..
sampai kota kecamatan..” tutur Asromo.. tak berani menatap mata tamunya satu per satu.
Ia hanya mampu mengikuti asap rokok yang membubung di hadapan mereka.

”Saya mohon adik-adik sekalian dan turis asing ini memenuhi tuntutan ancaman ini.
Adik-adik tinggal berkemas dan pergi, tak sulit, bukan..?” Kata Pak Lurah lagi.

Candi menatap Pak Lurah sesaat. ”Baiklah..” katanya.
Ia kemudian merogoh buku catatan, hape yang berfungsi sebagai alat perekam dan pulpen dari tasnya.

”Saya berubah pikiran. Saya tidak lagi menulis tentang kerajinan di desa Kemiren.
Sekarang saya lebih tertarik memberitakan misteri desa ini dan kisah tentang pengeroyokan seorang kakek..
dan tiga pendatang yang diancam akan dibunuh. Kejadian ini punya nuansa kriminal.
Kejadian kriminal itu bagian dari ranah hukum publik.. di mana anggota masyarakat punya kewajiban moral..
untuk melaporkan dan mencegahnya. Kami wartawan adalah bagian dari masyarakat tersebut.
Pembaca koran akan senang melahap berita macam ini..” tajam Candi menyorot Asromo.

Asromo tau ia sedang diintimidasi wartawati ini. Ia menyorot Candi dengan tatapan galau.
Asromo menusukkan ujung rokok yang masih berapi di dasar asbak.
”Silakan nikmati teh dan kuenya. Kalian tunggu sebentar..” Asromo membalikkan badan dan masuk ke bilik tidurnya.

Rio menyembulkan jempol dari bawah meja, memuji gertakan Candi.
Danica membisikkan sebuah pertanyaan pada Rio.
”I don’t know yet. Masih belum tau Pak Lurah mau apa..” balas Rio. Danica manggut-manggut.

Beberapa menit kemudian Asromo keluar dari kamarnya. Langsung ia duduk tak jauh dari Candi.
Berhati-hati ia meletakkan selembar amplop berwarna kusam.

Sekilas isi amplop itu kelihatan tebal, lebih dari satu centimeter tebalnya.
Asromo mendorong amplop itu ke hadapan Candi.

Candi menatap amplop itu. Untuk apa amplop itu disodorkan padanya. Apa isinya..? Pentingkah..?
Dia memandang amplop yang tersodor di hadapannya, menunggu Asromo bicara.

“Dik Candi, saya tidak bisa bicara apa-apa lagi, selain mohon pengertiannya..” ujar Asromo, “terimalah ini..!”
“Apa maksud Pak Lurah..?” Tanya Candi.

“Maksud saya, tinggalkan desa ini tanpa menulis apapun. Saya kira Dik Candi paham maksud saya..”
Asromo tersenyum.
Ia menggunakan jempolnya untuk menunjuk amplop tebal yang kini tepat berada di bawah hidung Candi.

“Jumlahnya memang tak seberapa, Dik..” Asromo mencoba tersenyum.. ”tapi saya rela dan tulus memberinya..”
Candi terhenyak.
Sumber berita menyogok wartawan memang lazim.. terutama bila tak ada larangan di korannya untuk terima amplop.

Tapi, bagi Candi, ada larangan terima amplop atau tidak.. sogokan itu tidak ada dalam kamusnya.
Amplopan yang begini bukan yang pertama bagi dia.

Pak Lurah mengira semua persoalan bakal beres dengan amplop itu..
Dan ia mengira Candi tengah pikir-pikir untuk menerimanya.

“Maaf..” Candi mendorong balik amplop itu. “Pak Lurah keliru menilai saya. Saya bukan wartawan jenis itu.
Sama sekali saya tidak mengharap amplop ini..”
Ganti Asromo yang tertegun. Senyum simpul yang tadi sudah tersungging di bibir, kini sirna lagi.

”Sudahlah, Dik..” Asromo mendorong kembali amplop itu ke arah Candi.
”Saya mengharap kerjasama Dik Candi dalam hal ini..”

”Tidak..!!” Tegas Candi mendorong balik amplop itu. Danica heran melihat adegan dorong-mendorong amplop itu.
Asromo menarik napas putus asa. ”Lalu apa maunya Dik Candi..?” Dia bicara agak keras.

Bu Lurah yang sedari tadi memperhatikan dari jauh, tertegun.
Matanya mengisyaratkan agar Hendro dan Marni bubar main monopoli dan menyingkir ke dalam.

Candi berdiri. ”Kami cuma ingin menegakkan kebenaran. Kami ingin tau kenapa kami diancam macam ini..!?”
Candi menghamparkan kembali surat ancaman itu di meja.

”Saya tidak tau. Tidak tau..!!” Gelegar Asromo. ”Saya cuma minta pengertian kalian. Jangan campuri urusan desa ini.
Sungguh, saya bisa mengatasinya sendiri..” kata Asromo.

Bu Lurah datang menengahi. ”Sebaiknya adik-adik pulang dulu. Bapak tadi memang tidak enak badan.
Ia harus beristirahat..” kata Bu Lurah.

”Baiklah..” kata Candi. ”Saya mohon maaf. Tapi kami tak akan pergi sebelum tau misteri yang tersembunyi di Kemiren..”
Rio bangkit dari tempat duduk, diikuti Danica yang tak henti-hentinya menebak arah pembicaraan Candi dan Asromo.

”Kami mohon diri. Maaf..” ujar Rio mewakili Candi yang tak segera beranjak.
Rio menggamit gadis itu. Mereka meninggalkan rumah Pak Lurah.

”Adik-adik..” kata Asromo sebelum mereka meninggalkan beranda.
”Saya sudah mengingatkan. Kalau terjadi sesuatu yang buruk, seratus persen tanggungjawab kalian sendiri..”
”Terimakasih atas peringatan Pak Lurah. Permisi..!” Kata Rio. Ia menoleh sebentar.

Nampak Bu Lurah memandangnya sambil menurunkan tirai penutup jendela dan mengunci pintu rapat-rapat.
Selanjutnya perempuan itu beranjak ke dalam.

Pak Lurah masih nampak duduk termenung di ruang tamu..
sedangkan Hendro dan Marni sudah masuk ke kamar masing-masing.

“Ayo, Pak, tidur dulu..” Bu Lurah memanggil.
Pak Lurah mengisap rokoknya keras-keras. “Kamu saja, aku masih belum mengantuk..”

Bu Lurah memandang suaminya sejenak. Melihat tampang Pak Lurah yang seperti tak bisa diganggu..
dia akhirnya pergi ke dalam tanpa berkata apa-apa lagi.

Dibukanya pintu kamar, tapi ditutupnya lagi tak lama kemudian. Dia tak jadi masuk.
Langkahnya malah berbelok ke kanan, menuju kamar mandi.
Bu Lurah melangkah santai, tidak menyadari sepasang mata yang mengintipnya dari balik pintu.

Seperti malam-malam yang lain, selesai belajar biasanya Hendro tidak langsung tidur.
Dari lubang kunci, bocah kecil yang baru kelas satu SMP itu terus menatap ke mana pun ibunya bergerak.

Pandangannya nampak antusias, dan dari sorot matanya terlihat jelas sesuatu yang teramat janggal.
Bukan rasa cinta yang terdapat di sana, tetapi nafsu. Tepatnya, nafsu birahi.

Bagi Hendro, ibunya adalah sosok yang begitu sempurna.
Tak ada wanita lain yang dapat menyita perhatiannya selain Bu Lurah, bahkan termasuk Intan.
Gadis primadona sekolah yang selalu menjadi impian teman-temannya.

Obsesi Hendro adalah sang Ibu, terutama obsesi seksual.
Sering dia membayangkan bersetubuh dengan Bu Lurah..

Sehingga setiap pulang ke rumah, dia mencuri-curi pandang pada tubuh indah ibunya.
Terutama saat Bu Lurah mengenakan pakaian-pakaian yang mengekspos bentuk tubuh, seperti saat ini.

Karena dasternya pendek.. paha ibunya yang mulus dan padat jadi terlihat jelas.
Begitu juga dengan lekuk pinggangnya yang langsing dan padat.

Buah dada Bu Lurah yang besar, nampak bulat dan berisi.
Kulitnya putih mulus tanpa cacat, wajahnya cantik, hidungnya mancung, dan bibirnya agak tipis dan sensual.

Ah.. sosok sempurna yang selalu mengisi khayalan mesum Hendro.. membuat syahwatnya jadi mendesir-desir..
Yang ujung-ujungnya hanya bisa ia lampiaskan dengan cara onani di dalam kamar.

Hendro akan memainkan penisnya sambil membayangkan sosok indah sang ibu.
“Ahh.. Bu. Memekmu enak.. ahh..!!" Racaunya dengan tangan terus bergerak-gerak.

Untuk anak usia 13 tahun, batang penis Hendro terbilang besar. Mungkin karena tubuhnya bongsor;
Di usia semuda ini tingginya telah mencapai 167 cm.. itu artinya dia lebih tinggi dua centimeter dari ibunya.

Hendro merasa melayang. Dia terus mengocok penisnya..
Sampai sebuah bentakan keras dari arah samping mengagetkannya. "Nak..! Apa-apaan kamu ..!?”

Secara refleks Hendro menoleh. Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu.
Dia adalah Bu Lurah.. yang sepertinya juga terkejut melihat batang penis Hendro yang kini berdiri tegak.

“Ah.. i-ibu..”
Dengan panik Hendro segera meraih celana pendek yang tergeletak di lantai dan langsung mengenakannya.

"Apa yang kamu lakukan..?” Tegur Bu Lurah marah. “Awas, nanti aku beritau ayahmu..!"
Pipi Bu Lurah yang putih tampak memerah. Tapi sepertinya dia juga gugup, seperti ada keraguan di dalam dirinya.

“M-maaf, Bu..” Hendro menunduk, tak sanggup memandang mata ibunya yang berkaca-kaca.
Semarah itukah ibunya.. sehingga sampai ingin menangis..?

Tidak ada kata-kata yang leluar dari mulut Bu Lurah.
Dia berbalik dan pergi sambil menutupi mulut.. sepertinya benar-benar menangis.
Langkahnya setengah berlari. Lalu, brraakk..!! Pintu kamar Hendro ditutupnya dengan begitu keras.

“Ah.. mati aku..!!” Hendro mengacak-ngacak rambut.
“Mengapa aku bisa lupa mengunci pintu, betapa teledornya aku..”
Belum lagi bila sang ibu melaporkannya pada Pak Lurah, entah apa yang akan terjadi.

Dengan berjuta-juta pikiran, Hendro duduk lemas di tepi ranjang..
Membayangkan apa yang akan menimpa dia selanjutnya bila sang ibu melaporkan hal ini pada Pak Lurah.
Gawat. Benar-benar gawat. Hendro langsung pucat.

Namun tiba-tiba pintu kembali dibuka dengan pelan, diikuti dengan langkah Bu Lurah yang sedikit lesu.
Matanya sedikit sembab, serta hidungnya agak memerah.
Hendro hanya pasrah menunggu amarah yang bakal keluar dari bibir ibunya yang seksi itu.

Bu Lurah ikut duduk di pinggir tempat tidur.. bersebelahan sambil menatap Hendro sejenak..
Lalu menarik napas panjang, kemudian mulai bicara.

"Ndro.. Ibu maklum dan mengerti.. juga menganggap wajar dan manusiawi jika anak muda seusia kamu..
melakukan hal seperti yang tadi kamu lakukan itu..
Tapi, mendengar desahan-desahan kamu yang menyebut nama Ibu, Ibu jadi kaget.
Sekarang kamu jawab yang jujur, apa maksudnya itu..? Kenapa kamu seolah-olah sedang membayangkan Ibu..?
Jawab..!" Paparnya, yang diakhiri dengan bentakan yang membuat Hendro terkejut.

"M-maaf, Bu." jawab Hendro lirih.
"Ibu tidak butuh kata maafmu, yang Ibu butuhkan adalah penjelasan.
Kenapa kamu mendesah-desah sambil menyebut nama Ibu..? Ayo jawab..!!"

Hendro tak sempat lagi untuk mengarang cerita, terpaksa dia berkata jujur apa adanya.
"H-hendro.. memang su-suka sama Ibu." jawabnya gugup.

"Suka bagaimana..? Ayo ngomong yang jelas, kamu kan anak laki-laki.." tekan Bu Lurah.
"S-suka.. ahh.. maksudku, Hendro ingin berhubungan seks sama Ibu.." Ah, keluar juga kata-kata itu.

"Ya Tuhan..! Hendro..! Aku ini ibumu, Nak..! Ibu kandungmu..! Sudah gila kamu, ya..!?"
Bentak Bu Lurah.. membuat Hendro menunduk menatap lantai.

Kini perempuan molek itu berdiri, lalu menatap putranya sejenak..
Kemudian melangkah mondar-mandir di sekitar kamar, sepertinya tengah berpikir keras.

Hendro melihat adanya kebimbangan dalam diri sang ibu..
Seperti bingung dalam memutuskan sesuatu.. entah apa yang dibingungkannya.

Langkah Bu Lurah berhenti sejenak tepat di hadapannya, menatapnya lagi.
Bibir ibunya komat-kamit, seperti ingin mengucapkan sesuatu.

"Hendro, kamu itu ..” hanya itu yang terucap, lalu tertahan.
Bu Lurah sepertinya ingin melanjutkan, namun ternyata urung.

Justru dia malah kembali duduk di bibir ranjang, kembali menatap sang putra, lalu menarik napas panjang.
Perempuan itu nampak gugup.. kedua kakinya digoyang-goyangkan..
Sambil terus menarik napas panjang beberapakali. Kali ini sambil memejamkan kedua matanya.

Hedro bingung dengan tingkah ibunya. Lebih dari lima menit mereka hanya saling berdiam diri seperti itu.
Seperti ada peperangan batin di dalam diri Bu Lurah.
Peperangan yang masih belum bisa diputuskan siapa pemenangnya.

Lalu tubuh molek itu melesat ke arah pintu, sepertinya hendak keluar. Tapi, dugaan Hendro ternyata salah.
Bu Lurah justru mengunci pintu dan kembali berdiri tepat di depannya, matanya menatap tajam.

"A-ampun, Bu.." Hendro memohon.. badannya meringkuk bagai seekor tikus yang tersudut di pojok ruangan..
dan tak ada lagi tempat untuk berlari.
Kedua tangannya ia gunakan untuk melindungi wajah dan kepala, takut kena pukul.
"Ampun-ampun apaan sih kamu..? Memang kamu pikir Ibu mau ngapain..?" Hendro hanya terdiam.

"Kamu betul kepingin berhubungan seks sama Ibu..?"
"B-betul, Bu. Tapi Hendro minta maaf. Ampuuun..” kembali dia memohon..
berharap ibunya akan melupakan semua ini.

"Sekarang Ibu mau tanya serius, dan Ibu tidak marah. Coba lihat wajah Ibu, apakah Ibu kelihatan marah..?"
Papar Bu Lurah seraya tersenyum manis.

"I-iya, Bu. Ibu mau tanya apa..?"
"Begini, Ndro. Tadi kamu bilang ingin sekali berhubungan seks dengan Ibu, iya kan..?
Nah.. seandainya Ibu bersedia memenuhi keinginan kamu itu, bagaimana..? Apa kamu juga bersedia..?
Jawab yang jujur ya..!!"

Deg..!! Berdegub kencang jantung Hendro. Apa dia tidak salah dengar..? Dan bagaimana mesti menjawabnya..?
Ah, sepertinya ini hanya sebuah pertanyaan jebakan untuk dapat mengorek isi hatinya.
Hendro tidak menjawab, dia hanya bisa mematung.

"Jawab, Ndro. Kalau kamu diam saja, Ibu akan panggil ayahmu sekarang juga.."
"B-baik, Bu..” Hendro buru-buru membuka mulut. “Jujur, Hendro mau sekali main sama Ibu.
Tapi, itu cuma angan-angan saja, tidak betulan..”

"Bagaimana kalau sekarang Ibu menawarkan itu..? Apa kamu mau melakukannya..?"
Satu pertanyaan yang kembali membuat Hendro bingung. Jantungnya berdetak begitu kencang.
Apakah ibunya bermaksud mewujudkan fantasi-fantasinya selama ini..?

“Bagaimana, sayang..?" Tanya Bu Lurah sambil menaikkan kaki kanannya yang putih mulus ke pinggiran tempat tidur.
Seraya menyibak kain dasternya hingga memperlihatkan celana dalam putih yang ia kenakan.

"Ibu tau kamu masih gugup. Semoga ini dapat menghilangkan kegugupanmu.."
Bu Lurah mengucapkannya dengan nada menggoda, dan diikuti dengan tawa renyah yang cukup nakal.

Hendro jadi semakin gugup, namun batang penisnya mulai berdiri tegak di balik celana.
Kemulusan tubuh sang ibu memang sungguh tak dapat ditolak.

Paha Bu Lurah yang putih mulus kini tepat berada di depan hidungnya.. dan di balik celana dalam putih itu..
tampak beberapa helai bulu jembut Bu Lurah mengintip keluar.

Ah.. apakah aku hanya mimpi..? Batin Hendro dalam hati.
Ia mengangkat tangan kanan dengan maksud menyentuh indahnya paha sang ibu..

Tapi Bu Lurah menahan pergelangan tangannya sejenak. "Tapi ingat ya, Ndro. Ini harus menjadi rahasia kita berdua.
Jangan sampai orang lain tau.. terutama ayahmu. Paham kamu..?"
"I-iya, Bu. Hendro mengerti.."
"Bagus. Sekarang lanjutkan apa yang ingin kamu lakukan.." kata Bu Lurah seraya melepas cengkeramannya.

Dengan gemetar, Hendro mulai menyusuri sekujur paha dan pinggul mulus ibunya.
Paha yang selama ini hanya bisa ia tatap, kini dengan bebas dapat ia sentuh, bahkan sesekali diremasnya gemas.

"Bu, celana dalam Ibu boleh Hendro buka ya..?"
"Kan, sudah Ibu bilang.. kamu bisa melakukan apa saja.." papar Bu Lurah, sambil membuka sendiri celana dalamnya.

Hendro terpana menatap liang vagina licin dengan bulu-bulu yang lumayan lebat itu.
Sebelah kaki Bu Lurah yang masih terangkat di atas ranjang membuat liangnya jadi menganga lebar..

Mempertunjukkan daging merah mengkilat yang penuh oleh lendir.
Tak disangka.. ternyata selama berbincang tadi ternyata perempuan itu sudah terangsang berat.

Gemetar Hendro menyentuh keratan daging merah jambu itu, terasa agak lunak dan begitu basah.
Jembut ibunya ia sibak-sibak sebentar, bahkan ia tarik-tarik pelan karena gemas.

"Auw.. sakit, Ndro. Masa' jembut Ibu kamu tarik-tarik begitu..?"
Hendro tersenyum malu. "Boleh Hendro jilatin, ya..?"

"Iihh.. kamu memang nakal. Ayo deh.. kalau mau jilatin memek Ibu.." Ujar Bu Lurah genit..
seraya menyibak bibir vaginanya dengan dua tangan. Ah.. surga itu kini benar-benar terpampang bebas.

Rongga-rongganya terlihat menganga menggoda, memancing lidah Hendro agar lekas menjulur dan menyentuhnya.
Awalnya dia terlihat canggung dalam bergerak..
Namun setelah merasakan betapa nikmat dan kenyalnya benda sempit.. jilatannya berubah menjadi liar.

Penuh nafsu Hendro menyusuri seluruh bagian selangkangan ibunya. Mulai dari bibir vagina, kelentit, jembut..
Hingga menelusup masuk ke dalam lorong rongganya.

"Uuuuuuuuuuuhhhhhh.. kamu kok pintar sih, Ndro..!?” Jerit Bu Lurah.
Erangan itu bagaikan sebuah komando bagi Hendro untuk semakin agresif dalam mengoral liang kewanitaan ibunya.
Liang yang sepertinya semakin basah dan hangat oleh cairan bening berlendir.

Bu Lurah melucuti sendiri daster yang masih dikenakan. Rupanya dia sudah tak tahan.
Buah dadanya yang kencang dan padat terumbar keluar begitu behanya dilepas.

Hendro menatap nanar pada dua gunung kembar yang putih montok..
dengan puting sebesar kelereng berwarna pink kehitaman itu.

Bu lurah yang mengerti apa yang sang putra inginkan, segera berkata..
"Kamu mau netek..?" Tawarnya, sambil meremas-remas kedua payudaranya sendiri.
"Mau ma..mau.." jawab Hendro penuh semangat.

Bu Lurah segera menyodorkan kedua buah dadanya.. membiarkan Hendro mengenyot putingnya..
yang sekitar 13 tahun lalu juga pernah ia gunakan untuk menyusui.

Hendro mengisapnya dengan rakus.. bergantian kiri dan kanan..
Sambil tak lupa meremas-remas bulatannya yang terasa empuk dan kenyal.

Setelah dirasa puas, Bu Lurah menarik kembali buah dadanya. Kedua putingnya nampak mengkilat oleh air liur Hendro.
Membuatnya jadi makin indah dan menarik.

Selanjutnya dia mengecup bibir Hendro, menjilati lehernya, lalu menggigit-gigit kecil putingnya, dan terus turun hingga ke pusar.
“Ughh..” Hendro bergidik, dan tak kuasa menolak saat celana pendek yang membungkus penisnya ditarik lepas.

“Wow..! Kontol kamu gede juga ya, Ndro. Tidak kalah sama punya ayahmu..” ujar Bu Lurah sambil mengurut-urut ringan.
"Tadi kan kamu sudah mencicipi memek Ibu.. Sekarang giliran Ibu yang mencicipi kontol kamu.."
Ah.. kata-kata itu sungguh membuat Hendro jadi semakin terangsang.

Dinikmatinya lidah sang ibu yang mulai menjilati sekujur penisnya.. lalu 'menelannya' dalam satukali caplokan.
Kuluman mulut ibunya yang lembut sungguh terasa begitu nikmat, membuatnya jadi benar-benar tak tahan.

“Enak kan, Ndro..?” Tanya Bu Lurah yang terlihat semakin seksi dengan hiasan kontol menyumbat di mulutnya.
"Aaah.. hhh.. hhhh..” Hendro tak sanggup untuk menjawab.
Dia sudah hampir meledak saat beberapa saat kemudian Bu Lurah menghentikan kulumannya.

Perempuan itu lantas bangkit dan memagut bibir Hendro sekali lagi, lalu bertanya..
"Ndro, kamu pingin ngentotin Ibu enggak..?" Tawarnya, sebuah penawaran yang sangat tidak mungkin untuk ditolak.
"M-mau, Bu.." jawab Hendro penuh nafsu.

"Ah.. tapi besok aja, ya.. sudah malam sekarang. Nanti ayahmu curiga.." jawab Bu Lurah menggoda.
"Yaah.. sekarang aja, Bu. Kumohon..” sayu Hendro memandang ibunya yang tersenyum nakal.

"Besok aja. Ibu janji.." sahut Bu Lurah dengan tangan mengurut-urut batang penis sang putra.
"Ibu tega..” keluh si bocah.

"Yah, habis gimana.. daripada kepergok ayahmu..” Bu Lurah berdiri dan mengenakan dasternya kembali.
Tapi belum sempat dia mengenakan celana dalam, terdengar ketukan pelan di luar pintu.

“Bu, kamu di dalam..?” Itu suara Pak Lurah.
“Nah, bener kan yang ibu bilang..?” Bisik Bu Lurah, lalu buru-buru menyahut keras.

“Iya, sebentar..” Dia memberikan celana dalamnya pada Hendro, “Nih, buat kamu..”
Hendro hanya bisa terbengong-bengong.

Cepat dia menutupi bagian bawah tubuhnya yang telanjang dengan selimut ketika ayahnya melangkah masuk.
“Kok belum tidur, Ndro. Sudah malam lho..” kata Pak Lurah.
Hendro hanya tersenyum, sedangkan Bu Lurah lekas menggiring suaminya keluar.

Di dalam kamar, Hendro mendesah kecewa.
Mana mungkin dia bisa tidur dengan penis mengacung tegak seperti ini..?

Maka.. dengan menggunakan celana dalam ibunya.. ia teruskan hasratnya yang sempat tertunda.
Dikocoknya penisnya yang memerah cepat-cepat hingga muncrat tak lama kemudian.

Barulah setelah itu dia bisa menutup mata dengan sedikit lega.

CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 05

Candi.. Danica dan Rio
berjalan dalam gelap kembali ke rumah Si Mbah dengan sebuah lampu senter di tangan.
Maghrib telah lama lewat, dan itu batas waktu yang ditetapkan pengancam mereka.

Mereka berjalan nyaris tanpa suara dan bunyi..
mungkin karena mereka secara tidak sadar berusaha tidak menimbulkan bebunyian..
agar bisa mendengar bunyi-bunyi gerakan aneh yang mencurigakan di sekitar mereka.

Tapi Rio agaknya tak suka membisu terus. ”Kamu bernyali rupanya. Tapi agak emosional..” kata Rio.
Lama tak terdengar jawaban dari Candi sampai gadis itu bicara.. ”Kau bicara padaku..?”

”Kalau pada Danica masa’ aku pakai bahasa Indonesia..?” Tukas Rio.
Candi tersenyum. ”Aku sendiri heran. Aku selalu berani manakala tersudut.

Dunia wartawan mengajariku untuk gigih, tidak mudah menyerah, dan berusaha menguak kebenaran.
Apa kau tidak meradang bila upayamu mencari kebaikan direndahkan dengan seamplop uang..?” Tanya Candi.

”Ya juga sih. Jadi kau masih bersikeras tinggal di sini..?” Kata Rio.
”Ya, sampai semuanya jelas..!”

”Well, kalau begitu, nanti sehabis bersihkan badan, lekas kau datang ke rumah Si Mbah, dan kita bincangkan rencana kita.
Paling tidak, kita perlu strategi, kan..?” Rio melanjutkan.
”Oke..”

”Maaf..” sela Danica tiba-tiba. ”Sedari tadi saya ingin tau. Boleh saya bertanya, apa isi amplop itu..?’
”Uang..!” Kata Rio.

”Uang..?” Ulang Danica polos.
“Ya.. buat menyogok agar Candi tak menulis berita tentang penyerangan Parto Sumartono.

Asal tau saja.. amplop berisi uang adalah salahsatu keajaiban negeri ini.
Ia bisa membobol semua jenis pintu.. mengubah angka.. memperlembek birokrasi, dan semacamnya..” kata Rio.

Danica jadi mafhum. “Keajaiban, ya..?
Jadi di negerimu ini masih ada keajaiban lain selain candi Borobudur..?“ Ujarnya, setengah berkelakar.
------ooOoo------

Rio benar-benar tak habis pikir bagaimana Candi bisa sedemikian berani.
Ia tak segera datang ke rumah Si Mbah untuk bergabung.

Rio kuatir kalau gadis itu berlama-lama di kamarnya, ia bisa dicederai orang..
yang mungkin benar-benar hendak menghabisinya.

Pukul 10 kurang sedikit, Candi baru menampakkan wajah di rumah Si Mbah.
Rio menurunkan lampu tekan dan memompanya untuk menambah tekanan.

Cahaya lampu tekan menjalar ke mana-mana, sebagian terlempar sampai jauh ke depan..
cukup untuk menerangi sejumlah petugas Hansip yang tengah berbagi rokok di halaman depan.

Malam ini, keistimewaan penjagaan rumah Si Mbah makin bertambah.
Empat orang tambahan anggota Hansip ditugaskan..
untuk mengamankan poros rumah Si Mbah dan rumah Bu Parmi, tempat Candi tinggal.

Ini membuat Rio heran. Di satu pihak Pak Lurah bersikeras agar mereka enyah dari desa ini..
tapi di pihak lain ia menyediakan perlindungan tambahan untuk mereka.

Ini pula yang membuat Rio ragu pada keterlibatan Asromo dalam misteri ini.
Kini agak sulit ditebak di mana Asromo berdiri sebenarnya.

”Kau tampak segar, Nona Candi..” sambut Danica.
Candi muncul dengan kaos-t baru dan tepat dengan jins yang dikenakan tadi siang.

Ia segera duduk bersila berhadapan dengan Rio dan Danica di meja bundar berkaki rendah.
Sejumlah kertas, buku, dan gelas teh hangat serta makanan kecil berserak di meja.

”Bagaimana keadaan Si Mbah..?” Tanya Candi.
”Baik, tapi bicaranya masih pelo. Istri Sujarno dan beberapa tetangga bergantian menjaga..” kata Rio.

”Aku mau jenguk Si Mbah..” Candi bangkit lagi dan menelusup ke kamar Si Mbah yang diterangi lampu tekan.
Si Mbah berbaring tak bergerak. Gurat-gurat lebam masih tersisa di wajah tuanya.

Candi kembali ke ruangan tengah beberapa saat kemudian.
Seorang wanita tua datang dengan segelas teh hangat untuk Candi.

”Heran..” celetuk gadis itu.. ”kehadiran kita di desa ini tak disukai..
tapi masih ada juga yang mau melayani kita dengan makanan dan teh hangat..”

”Itu tadi yang kupirkirkan..” ujar Rio.
“Wanita tua itu bilang, teh hangat dan makanan ini tersedia atas perintah Bu Lurah.
Bu Lurah minta wanita tua itu untuk melayani kita sebaik-baiknya, karena bagaimanapun kita ini tamu desa.
Wanita tua itu tak menolak ketika kuberi uang..” ujar Rio.

Candi membulatkan bibir tanda paham. ”Nah, bagaimana pengamatanmu selama ini..?” Tanyanya.
”Nggak ada masalah. Lancar. Museum Si Mbah ini bisa bercerita banyak..” tukas Rio.

”Barangkali kau bisa bercerita selengkapnya soal penemuan bersejarah di desa ini..” pinta Candi..
sekaligus minta agar Rio berkisah dalam bahasa Inggris.. agar Danica bisa mengukuti penjelasannya.

Rio menyalakan sebatang rokok, dan bertutur. ”Kisah penemuan sisa purbakala di Kemiren pasti sudah kalian ketahui.
Penelitian di bidang paleoantropologi dan paleontologi oleh ahli-ahli asing di Kemiran diawali pada tahun 1893.
Tapi penemuan-penemuan penting baru diperoleh di antara tahun 1936-1941.
Kristoff Von Weisserborn, seorang ahli paleoantropologi dan paleontologi Jerman yang berkewarganegaraan Belanda..
menemukan sejumlah fragmen fosil manusia purba jenis phitecanthropus.
Ia juga berhasil menemukan dua buah fragmen rahang manusia purba berukuran besar.
Von Weisserborn kemudian menggolongkan temuan itu dalam genus meganthropus paleojavanicus..”

Rio meneguk kopi. Agak susah juga ia harus bercerita dalam bahasa Inggris.
Repotnya lagi, Candi selalu mesem kalau Rio keseleo lidah.
Dalam hati Rio berjanji akan menjitak kepala wartawati cantik itu kalau ia senyum-senyum terus ketika Rio salah lidah.

Tapi baik Candi dan Danica merupakan pendengar yang baik.
Mereka serius betul menyimak penjelasan Rio. Keduanya sedikit-sedikit bikin coretan di catatan mereka.

”Selain itu, ” lanjut Rio. ”Von Weisserborn juga menemukan benda-benda lain. Benda-benda itu ia golongkan dalam dua kelompok.
Kelompok artefak dan kelompok non-artefak. Kelompok artefak terdiri atas serpihan-serpihan dan alat batu masif.
Sementara itu.. kelompok non-artefak terdiri atas fosil hewan.. fosil hominid.. fosil tumbuhan dan tektite.
Perlu diketahui, di Kemiren ini.. fosil hewan air dan hewan hutan ditemukan pada satu tempat yang sama.”

”Kok bisa begitu..?” Tanya Candi.
”Kemiren dulunya adalah danau yang berubah menjadi gunung.
Ini terjadi karena pergeseran tanah selama beratus-ratus tahun yang mendesak perairan danau.
Itulah sebabnya, di situs Kemiren bisa ditemukan fosil gading gajah, fosil gigi babi, fosil rusa, fosil ikan hiu, fosil kepiting..
dan fosil tumbuhan lain..” papar Rio.

”Menarik sekali. Lalu..?” Sela Danica.
”Temuan-temuan itu semuanya berasal dari kurang lebih satu juta tahun lalu..” kata Rio.

”Dan yang lebih menarik lagi..” kata Candi.
”Hampir semua orang desa terlibat pada saat penggalian antara tahun 1936 sampai 1941. Betul begitu..?”

”Betul. Si Mbah Parto Sumartono adalah salahsatu saksi sejarah penggalian itu.
Ia bersama von Weissernborn menemukan berbagai temuan berharga itu..” lanjut Rio.

”Temuan-temuan penting itu sebagian dibawa ke museum arkeologi pusat, sebagian lagi dibawa ke negeri Belanda.
Tapi umumnya, para penduduk banyak juga yang menyimpan temuan mereka sendiri.
Si Mbah Parto punya koleksi terbanyak.. yang ia temukan bersama von Weissernborn, dan ada pula yang ia temukan sendiri.
Jadi sebetulnya Si Mbah punya andil banyak dalam mengharumkan nama von Weisserborn di dunia internasional.
Sayangnya, sebelum wafat pada tahun 1982.. von Weisserborn tak sempat berwasiat apa-apa pada Si Mbah.
Si Mbah itu menurutku adalah pahlawan tanpa tanda jasa di bidang ini.
Kini ia hanya hidup dari kaleng sumbangan yang disediakan di museum ini..” Rio mengepulkan asap rokok.

”Sayang sekali..” komentar Danica.
”Tapi isi bumi Kemiren sendiri telah memberikan berkah kepada penduduk desa..” kata Candi.

”Orang-orang desa menggali tanah cadas, kemudian mengukir benda kerajinan yang mirip fosil.
Mereka juga membuat batu akik dari fosil kayu Sempu yang merupakan kekayaan perut Kemiren.
Kadang mereka menemukan benda-benda galian berbentuk unik dan mengatakan kepada pengunjung desa itu fosil aslo.
Pengunjung percaya dan mau beli dengan harga tinggi..” jelas Candi.

”Ya, secara tak langsung Parto Sumartono telah menebarkan kebaikan untuk warga desa.
Tapi, ngomong-ngomong, bagaimana Parto Sumartono bisa dekat dengan von Weisserborn..?” Tanya Danica.

”Von Weissernborn tinggal di rumah ini selama proyek penggalian di Kemiren..
dan secara tidak resmi, Parto Sumartono adalah asisten Von Weissernborn..” kata Rio.
”Si Mbah yang cerita padaku..”

Mereka mengobrol sampai malam merangkak jauh. Udara dingin menerobos pintu.
Jam dinding kuno berlapis kayu berdentang sebelas kali.

”Hampir tengah malam. Aku balik dulu..”
Candi meneguk habis teh manis di meja, dan menaikkan resluiting jaket sampai ke leher.

Rio menatap Candi takjub. Sama sekali tak tersirat rasa takut di wajah gadis ini.
Ia seperti sudah lupa ancaman ’mati’ itu. Lama Rio menatap Candi yang tengah mengemasi barang-barangnya.

”Kenapa menatapku seperti itu..?”
Candi balas memperhatikan Rio yang berdiri mematung di bawah cublik di depan rumah.

”Kamu benar-benar tak gentar ancaman itu..?” Tanya Rio.
”Tidak..!” Candi mengeluarkan lampu baterai dari tas.. ”I’ll be all right..”

Rio meniup kedua telapak tangannya untuk mendapat rasa hangat dari mulut..
kemudian menggosok-gosokkan kedua telapaknya sambil mendekati Candi.

”Baiklah, Can. Jaga diri baik-baik. Aku akan mengawasai kamu dari jauh..”
Rio mendekap punggung tangan Candi, mencoba menyalurkan hangat itu.
Cepat Candi menarik tangannya sebelum terlanjur menikmati hangat dari tangan Rio.

”Perlu kuantar balik ke rumah Bu Parmi..?” Tanya Rio.
”Tak usah. Aku bisa sendiri. Good night, Wolf..!” Ucap Candi, membalikkan badan.

Segera ia hilang ditelan malam. Hanya sorot kecil lampu baterai terlihat..
beradu cepat dengan langkah-langkah kaki Candi.

Sementara itu.. sejumlah petugas Hansip berkeliaran di antara rumah Bu Parmi dan rumah Si Mbah.
Sorot lampu baterai mereka menyeruak ke semua arah.

”Dia gadis berani. Aku kagum. Aku bisa lihat kau suka padanya..” komentar Danica.
Rio tersenyum. “Mudah-mudahan ancaman itu cuma isapan jempol..” kata Rio.

”Tapi aku benar-benar tak suka suasana malam ini, Wolf.
Meski pengamanan demikian ketat, masih ada sesuatu yang membuatku ngeri..“

”Apa itu..?”
”Entahlah..” Rio berjalan ke arah dua petugas Hansip di gardu jaga tak jauh dari rumah Si Mbah.

Rio mengulurkan dua pak rokok kepada salahsatu anggota Hansip.
”Agak dingin malam ini, ya..?” Sapa Rio.
”Dingin sekali. Mas Rio belum tidur..?” Tanya seorang Hansip.
”Sebentar lagi..”

”Selekasnya tidur, Mas Rio. Malam ini anginnya tak enak. Dengar gemerisik daun-daun bergesek di atas sana..?
Ini beriring dengan debar hati saya yang tak keruan sejak hari mulai gelap tadi..” kata Hansip itu.
Ia memandang sekeliling dengan wajah cemas. Rio mendongak, turut terseret arus firasat orang itu.

Saat itu angin keras menggesek dedaunan, bebunyian membuat bulu kuduk Rio meremang.
”Ya, terasa aneh..” desis Rio. ”Ayo, Wolf. Kita istirahat..!”

Danica mengikuti Rio menyusur jalan masuk menuju rumah.
Sebelum menutup pintu, Rio menyapukan pandangan ke bumi gelap di depan rumah.
Benar..! Angin berdesir dengan irama aneh dan bunyi aneh pula. Pertanda apa ini..?
------ooOoo------

Candi menepuk-nepuk bantal untuk membersihkan debu dan mengembalikan keempukannya.
Bantal dan guling terasa dingin ketika tersentuh tangan.
Udara dingin pasti telah pula menyusupi kamar ini, dan merasuki bantal.

Bagi Candi, meski kadang menyiksa, suhu sejuk desa ini merupakan berkah tersendiri.
Malam sebelumnya.. ia tidur nyenyak sekali dengan sejuk alamiah udara pegunungan di Kemiren.

Malam ini ia yakin akan tidur senyenyak malam sebelumnya.
Sejuk AC di kantor Candi di Jakarta yang gerah, sama sekali tak menandingi sejuk di Kemiren.

Setelah yakin semua jendela telah terkunci..
gadis itu melepas dompet dari saku celana dan menyelipkannya di bawah bantal.

Sejak kecil Candi memang punya kebiasaan ini;
selalu menyimpan dompet di bawah bantal ketika ia sedang dalam perjalanan.

Dompet yang tersimpan di bawah bantal itu juga merupakan pertanda..
ia sudah menyelesaikan persiapan kewaspadaan tahap akhir.
Artinya, ia sudah merasa aman seratus persen untuk tidur.

Memang benar dari mulut Candi tadi terlontar ia sama sekali tak gentar ancaman itu.
Tapi ketika memasuki kamar.. ia tiba-tiba merasa perlu meningkatkan kewaspadaan.

Bukan apa-apa.. manakala ia memandangi dinding-dinding kamar berkeliling..
sekonyong-konyong ada getar-getar yang membuat kuduknya meremang.

Selama ini Candi tak pernah pula mempergunakan firasat sebagai alasan untuk takut.
Dalam keadaan seperti ini.. hal yang terbaik adalah memompa semangat dan memacu ketenangan.

Ketika masuk rumah sejam lalu, Bu Parmi sudah lelap.. masih dalam posisi ngeloni tole.
Tole memang selalu minta dikeloni sebelum berangkat tidur. Lampu di ruang tamu sudah diredupkan.

Tak ada penerangan lain kecuali sebuah lampu tempel yang menyala suram di ruang belakang.
Semua pintu dan jendela sudah terkunci rapat.

Candi merebahkan diri. Lampu tempel di kamarnya menyala agak terang.
Di dinding lampu tempel, poster Chelsea Islan tersenyum.
Sayang, bagian dada Chelsea sudah tercabik entah ke mana.

Candi memandang berkeliling.
Lampu baterai tergantung pada sebuah paku sekitar satu meter jauhnya dari tangan kanannya.
Dalam keadaan darurat dan butuh penerangan, hanya sekali gerakan, lampu itu sudah bisa tergenggam.

Kini semuanya terlihat beres. Semuanya kelihatan terjaga baik.
Bahkan sehelai angin pun tak mampu menerobos celah terbuka. Candi tak khawatir.

Lagipula, ia sudah sampaikan pada Rio bahwa ia tak perlu khawatir.
Sama sekali ia tak percaya ancaman itu dilaksanakan.

Kata ‘mati’ di surat itu toh bisa saja digunakan untuk bahan jenaka bagi orang-orang iseng.
Para Hansip yang berjaga di luar menambah rasa aman itu.

Sebentar kemudian Candi lelap. Tak ia dengar jam tua di kamar tengah mendentangkan bunyi satukali.
Tak ia dengar juga berikutnya jam berdentang duakali.

Malam demikian senyap. Bunyi gesekan daun terdengar cukup keras. Kemudian sunyi untuk beberapa lama.
Cuma sesekali tersimak suara para petugas Hansip bertukar informasi keamanan.

Para setugas Hansip itu, berpencar pada posisi pagar betis.
Jadi, mustahil terjadi gangguan keamanan lingkungan malam itu.
Kecuali tamu tak diundang yang benar-benar punya keahlian menyelinap.

Tapi kadang-kadang, walaupun peluangnya kecil.. semua perkucualian punya kesempatan yang sama untuk hadir.
Dinihari itu.. siapa nyana kalau menjelang dentang pukul tiga..
Sesosok hitam tiba-tiba muncul dari gelap tanpa diketahui siapapun.

Bayangan itu bergerak ringan di antara pepohonan di sekeliling rumah Bu Parmi.
Lincah sekali ia berpindah, dari balik pohon satu ke pohon lain, tanpa meninggalkan secuil gemerisik pun.

Hampir seluruh tubuh sosok itu berbalut pakaian serba hitam.
Ikat rambutnya hitam.. wajahnya bertopeng hitam. Kedua belah tangannya berbalut sarung tangan hitam.

Warna bayangan itu benar-benar kelihatan sempurna menyatu dengan kelam..
kalau saja matanya tak berkilat cepat ke kanan dan ke kiri.

Gerakan berpindah sosok itu benar-benar menakjubkan, meski tak sebuah penerangan pun di tangan.
Ia juga demikian lincah berlari di antara pepohonan dan tonggak-tonggak tali jemuran tanpa menabraknya.
Sempurna sekali cara ia berkelebat dalam gelap malam. Mengendap bayangan itu menyelinapi perdu-perdu liar.

Langkahnya mantap dan sangat terlatih untuk menghindarkan suara sekecil teriakan semut pun.
Semakin dekat ia ke rumah Bu Parmi, semakin cekatan ia menapaki tanah.
Dan semakin sedikit bunyi tapak yang tersisa.

Dua petugas Hansip yang berdiri dengan lampu baterai di tangan.. tak jauh dari bagian belakang rumah Bu Parmi..
sama sekali tak mampu mengindera kelebat hitam itu.
Mereka asyik menguliti kacang dan minum kopi. Keheningan dibiarkan lewat begitu saja.

Tiba-tiba malam terasa semakin sirep sunyi senyap). Demikian sirepnya..
sampai tak mampu membangkitkan kekuatan firasat orang sekecil apapun, yang biasanya dimiliki budaya bathin Jawa.
Yang betul-betul terasa, hanyalah angin dingin pembangkit gigil dan geletuk gigi.

Sosok hitam, tanpa rintangan, berhasil merapat ke sebuah jendela di samping rumah.
Jelas sekali yang dituju adalah jendela kamar Candi.

Amat terampil tangan berbalut hitam itu menelusuri tepian jendela.
Cekatan pula ia memastikan di bagian mana gerendel jendela terletak.

Tenang.. tanpa kegaduhan, dari balik saku.. tangan sosok hitam mengeluarkan selempeng benda..
terbuat dari logam pipih memanjang, seperti sebuah obeng.

Ia telusupkan obeng pipih itu ke sela sempit antara pinggiran kusen dan daun jendela.
Ia menggunakan kepalan tangannya untuk memukul masuk obeng itu..
dan tangan berfungsi sebagai tenaga pengungkit.

Hanya keletak kecil yang terdengar dari gerakannya yang mengungkit jendela.
Setiap gerakan yang diperkirakan akan menimbulkan bunyi..
sengaja ia barengkan dengan desau angin yang menerpa dedaunan.
Itulah sebabnya, acap terlihat ia menunggu beberapa saat angin berdesir.. agar derak obengnya bisa tersamar.

Setelah beberapa ungkit, daun jendela terkuak sedikit.
Dengan mudah, jendela itu kemudian dibentang lebar.

Beruntung nyala lampu di dalam kamar teramat redup..
sehingga tak ada sinar bocor keluar yang bisa menarik perhatian.

Kemudian, dengan genjotan ringan, terasa terbang sosok hitam terkirim masuk kamar.
Mudah sekali kaki si hitam melangkah ke dalam kamar yang redup.
Demikian redup.. sehingga tubuh yang teronggok di ranjang itu cuma kelihatan seperti gundukan hitam.

Perlahan ia menutup rapat-rapat kembali jendela. Tak sedikit pun penyusupan itu disimak orang lain.
Sosok hitam itu menatap lurus ke arah gundukan tubuh di tempat tidur. Ia menarik nafas.

Dan bersamaan dengan itu tangan kanan menyelinap ke balik baju.
Sebuah belati mengkilat terhunus. Ujungnya runcing, pinggirnya sangat tajam.

Tanpa berpikir panjang, segera kedua tangannya mengayun ke atas, menyiapkan sebuah tikaman.
Tak ragu, ia meluncurkan deras moncong belati ke gundukan di tempat tidur.

Tak puas sekali, ia menarik belati itu dan menusuk sekali lagi. Dan sekali lagi, sekuat tenaga.
Tapi tak sebuah jerit pun terdengar. Tak ada darah muncrat.

Sosok hitam gusar. Ia menoleh lampu dinding dan membesarkan ulir lampu.
Cahaya menebari kamar. Di tempat tidur, ia melihat kapuk menghambur ke segala arah.

Ia juga melihat selimut terkoyak-koyak dibabat. Tak ada jerit, tak ada orang terluka.
Cepat ia menyingkap selimut. Dua buah guling dan dua bantal menghamburkan kapuk.

Tak ada orang di situ. Mana gadis itu..? Kalap si hitam menoleh ke kanan dan ke kiri.
Matanya melotot dan kelihatan penuh amarah.

Ia terkejut bukan kepalang..
ketika tiba-tiba dari arah belakang sebuah benda keras menghantam punggung.

Ketika ia menoleh.. ia sempat melihat Candi berusaha keluar dari kamar..
dari sebuah persembunyian berhimpit almari besar. Baru saja gadis itu menghantamkan potongan kayu.

Tanpa menghiraukan nyeri di punggung, dengan belati terhunus, si hitam mengejar Candi keluar ruangan.
Jelalatan matanya melacak arah lari Candi. Nafasnya memburu. Tak sulit bagi si hitam menemukan posisi Candi.

Gadis itu berdiri dengan sorot waspada tak jauh di depannya, di seberang sebuah meja bundar.
Tangan sang gadis berada di belakang, berusaha mencari-cari benda yang dapat digunakan sebagai senjata.

Ketika si sosok hitam berkelebat memutari meja,
Candi meraih sebuah dingklik kayu dan menggunakannya sebagai pelindung.

Si hitam kini sibuk menentukan ancang-ancang..
untuk menancapkan belati secara tepat pada sasaran yang terlindung kursi kayu.

Candi tau persis orang ini sudah terlatih untuk membunuh.. dan terlatih pula untuk bekerja sendirian.
Itulah sebabnya.. ketika si hitam berkelebat ke kanan, Candi segera memindahkan kursinya ke kanan.

Tapi, ini justru fatal. Ketika kursi itu berada di kanan, segera si hitam menerobos pertahanan kiri yang terbuka.
Candi menjerit saat belati lewat dengan deras beberapa milimeter dari tangan kanan.

Refleks kursi itu terkirim kembali ke kiri.
Candi menjerit ngeri tatkala sekali lagi orang itu mengayun belati ke arahnya.

Sekuat tenaga ia menyabetkan kursi. Tapi sabetan itu telampau kencang.
Kursi terlepas dari pegangan dan menghantam pot bunga..
yang diletakkan pada sebuah meja pot yang cukup tinggi.

Bunyi berderak membahana dalam rumah. Gagal sudah si hitam memelihara keheningan.
Sebentar lagi akan banyak orang menyerbu ke ruang itu.

Candi sedikit lega mendengar keributan. Tapi Candi tak sempat berpikir lebih panjang.
Sosok hitam yang mahir sekali menggunakan belati itu mulai kelihatan tak sabar.

Tanpa diduga-duga, ia melompat ringan melintasi meja. Ujung belati menyongsong Candi dengan cepat.
Gadis itu berteriak sekuat tenaga. Dengan sisa kewaspadaan ia berkelit ke kanan.

Derik belati menancap di dinding kayu berbareng dengan gedebuk tubuh hitam menghantam dinding.
Ajaib sekali Candi bisa lolos dari serangan gencar itu. Geram si hitam mencabut belati.

Bagaimana mungkin seorang gadis begitu punya keberanian menghadapi seorang lelaki bersenjata tajam..
dan membuat belatinya menghantam angin..?

Candi memanfaatkan kesempatan untuk berlari sekuat tenaga ke arah pintu belakang. Si hitam mengejar.
Pada saat tinggal cuma beberapa centi meter si hitam berada di belakang Candi, ia berhasil mencabut palang pintu.

Segera Candi mengayun palang itu ke belakang, meski ia tak tau pasti di mana si hitam berada.
Tapi usahanya tak sia-sia. Ujung palang membabat belati yang terhunus di tangan si hitam.

Terkejut ia tatkala belati terpelanting dan lepas dari tangan. Candi bernafas lega.
Menurut perkiraannya, kalau si hitam ini sibuk mencari belatinya yang terlempar, ia akan menghambur ke luar rumah.

Tapi, di luar dugaan Candi, si hitam sama sekali tak tertarik mendapatkan belatinya kembali.
Dengan hentakan mantap, ia mencekal ujung palang pintu yang hendak diayunkan Candi.

Dengan dua tangan kuat didorongnya palang pintu itu.
Candi terjermbab ke belakang dan punggungnya menghantam daun pintu.

Untung. Kalau tak ada daun pintu, ia pasti telah jatuh terlentang.
Tapi, daun pintu yang tertutup ini pun tak memberinya banyak pilihan.
Kini daun pintu di belakangnya malah menjadi benda padat yang turut ambil peranan dalam memepet dirinya.

Dada Candi mulai terasa sakit. Orang ini punya tenaga badak yang amat kuat..
terlalu kuat untuk mendorong seorang gadis yang sama sekali tidak terlatih untuk urusan ini.

Dan Candi mulai ngeri. Sudah bisa dipastikan, palang pintu ini perlahan akan naik dari dada ke leher.
Dan si hitam dengan mudah akan mematahkan leher Candi.

Sekuat tenaga Candi menahan dorongan kayu. Tapi celaka, tangan kirinya tak bisa turut mencegah kayu.
Dadanya mulai sesak dan nafasnya tersengal-sengal. Sulit sekali mengeluarkan suara.

Sama sekali ia tak menduga malam itu ia akan punya problem besar dengan lehernya..
problem yang mungkin akan membuat ia lenyap selama-lamanya.

Namun Candi mencoba bertahan. Diam-diam dia punya gagasan alternatif.
Ia ingin sekali memanfaatkan tangan kirinya yang masih bebas untuk mencakar muka si hitam.

Minimal ia bisa membuka kedok hitamnya. Kalau ia selamat, siapa tau ia bisa mengenali pembokong gelap ini.
Kalau toh ia jadi tercekik, ia sudah berusaha mencabik wajahnya.

Serta merta Candi meraih kedok hitam di wajah sosok itu. Si hitam tak menyadari Candi akan melakukan ini.
Seraut wajah jebah berkumis lebar melotot di hadapannya.

Setengah sibuk orang itu membenahi kedoknya dengan tangan kanan.
Benar-benar ia tak suka bekerja dengan wajah terbuka. Ini membuat dorongan di dada Candi mengendor.

Mengerahkan sisa tenaga, Candi berteriak dan mendorong tubuh si hitam.
Sosok itu terhuyung beberapa meter ke belakang. Cepat Candi membuka pintu dan menghambur keluar.

Teriakannya mulai mendapat sambutan.
Tiga orang anggota Hansip menyongsong dengan kelewang dan pentungan.
Halaman belakang rumah Bu Parmi disimbahi bersorot-sorot sinar lampu baterai.

Si sosok hitam berwajah jebah gusar beberapa saat. Ia menyambar belati di lantai dan segera melompat keluar.
Bersamaan dengan itu sorot lampu baterai diarahkan padanya.

“Bajingan..!” Teriak salahsatu anggota Hansip itu. Kelewang berkelebat.
Tapi si baju hitam sigap. Ia melompat ringan ke samping. Kelewang cuma menerabas angin.

Ketika seorang petugas Hansip maju dengan pentungan besar..
iapun dengan mudah dapat mematahkan serangan pentungan dan menggebuki balik penyerangnya.

Petugas yang membawa kelewang sekarang gusar..
dan tak yakin apakah ia akan meneruskan pertarungan dengan kelewang itu atau tidak.

Buntutnya.. ia mengayun kelewang terlalu keras..
dan kelewang itu membabat pohon serta menancap di situ untuk kemudian sulit dicabut kembali.

Candi terus berteriak, maksudnya mencari bantuan sebanyak-banyaknya..
karena seorang anggota Hansip sudah duduk tertelungkup dengan kepala didekap akibat dihajar pentungannya sendiri.

Lima anggota Hansip lain datang mengejar teriakan itu. Si sosok hitam mulai gentar.
Ia rupanya hendak cepat-cepat saja mengakhiri pertarungan.

Ketika seorang Hansip terdekat maju dengan gobang di tangan, ia berkelit dan balas menyerang.
Benar-benar ia memanfaatkan kelihaiannya bermain belati. Tusukan demi tusukan telak dilancarkan.

Anggota Hansip itu melolong-lolong, tak sempat lagi memainkan gobang.
Dari dadanya darah membuncah. Ia roboh mendekap dada. “Saidun kena..! Saidun kena..! Tangkap bajingan itu..!”

Orang-orang yang lain berteriak mengejar. Sosok hitam sadar ia bakal terpepet.
Secepat kilat ia melesat meninggalkan calon lawan-lawannya yang jumlahnya terlalu besar itu. Rupanya, ia memilih lari.

“Jangan kabur, bangsat..! Jangan lari..!” Sejumlah orang bergedebuk mengejar.
Tapi sosok hitam lenyap begitu saja dalam gelap.
Orang-orang yang gigih mengejar, hanya menangkap hawa dingin dan gesekan daun. Musuh begitu cepat menghilang.

“Ke mana dia..?”
“Kabur. Hilang entah ke mana..!”
“Lampu..! Sorotkan lampu. Ke semak-semak..!”

Ke segala sudut lampu baterai menyebar. Tak ada gerakan, selain tumbuhan liar yang tertiup angin.
“Benar-benar kita kehilangan jejak. Lihai sekali bajingan itu menghilang..!” Seseorang menggerutu.

Pada saat itu, Rio dan Danica berlarian kecil menyongsong.
“Candi. Kau di mana..?” Panggil Rio.
“Aku di sini..!” sahut Candi terengah-engah, muncul dari gelap. Tangan kanan Candi mengurut-urut dadanya.

“Kau tak apa-apa..?” Tanya Rio.
“Tidak, cuma sedikit kaget. Tapi dadaku sesak..”

Orang-orang segera mengerumuni Saidun yang tergeletak di tanah. Darah melumuri dadanya.
“Saidun masih bernafas. Tapi ia musti segera dirawat di rumah sakit di kota kecamatan. Cari mobil..!” Seseorang mengusulkan.
“Kelamaan, pakai sepeda motor saja..”

Dinihari itu bagian belakang rumah Bu Parmi sibuk sekali. Bu Parmi mendekap tole di dekat pintu dengan pandangan cemas.
“Orang itu masuk kamarmu dengan sebuah belati..? Bagaimana kau bisa selamat..?”
Tanya Rio yang baru saja melongok tempat tidur Candi yang kacau balau dengan kapuk terhambur ke mana-mana.

“Aku diselamatkan oleh seekor semut hitam..” kata Candi.
“Semut hitam..?”

“Ya, seekor semut hitam merambat di hidungku. Aku terjaga. Saat itu aku mendengar bunyi jendela dicongkel.
Aku terbangun, dan sadar ancaman itu tidak main-main. Aku menyingkir perlahan dari tempat tidur.
Kuselimuti dua bantal dan sebuah guling. Lalu aku redupkan lampu..” ujar Candi.

“Orang itu menghajar gantal guling samaran itu dengan belatinya..?” Tukas Rio.
“Ya.. aku sendiri sembunyi berhimpit ke dekat lemari. Beruntung ia tak melihatku..”
Candi menerima segelas air putih dari Bu Parmi.

“Rupanya kau prioritas utama ancaman itu. Kau bisa kenali penyerangmu itu..?” Kata Rio.
“Tak jelas benar. Ia berkumis, kulitnya hitam dan mukanya jebah..”
“Apa itu ‘jebah’..?”
“Mendekati bulat..”

“Kau pernah lihat orang itu sebelumnya..?” Desak Rio.
Candi menggeleng dan meneguk habis air putih itu. Ia mendekap dadanya, meringis.

“Kenapa dadamu..?” Tanya Rio.
“Aku didorong pakai palang pintu, pas dada..” kata Candi.

“Astaga. Harus diperiksa. Jangan-jangan cedera serius..” kata Rio..
mengisyaratkan agar mereka masuk ke ruang tengah rumah.
Rio kemudian mencari Bu Parmi untuk mendapatkan air panas.

Candi masih mendekap dadanya ketika duduk di kursi rotan di ruang tamu.
Ia menaikkan kaosnya ke atas. “Sorotkan sini lampu bateraimu..” kata Candi pada Rio.

“Sorotkan ke mana..?” Ulang Rio.
“Ke sini, dadaku..!”

“Kau membiarkan aku melihat dadamu..?” Rio tak segera menyorotkan lampu baterainya.
“Ini bukan yang pertama kan..? Aku cuma mau kau periksa, bukan pamer dada..”

Rio menyorotkan lampu ke dada Candi. Ada guratan-guratan merah pada bagian dada atas.
Membilur di antara dua lembah indah yang tertutup bra warna kuning.

“Huh, untung tidak terlalu ke bawah..” gumam Candi sendiri.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi


Bagian 06

Rio mematikan lampu. “Aku tau Bu Parmi punya obak gosok pelepas nyeri.
Tunggu di sini, aku pinjam obat gosok itu..” kata Rio.

Sebentar kemudian Rio kembali dengan obat gosok itu.
Danica ikut bergabung dengan sebaskom air panas.

“Dani, bisa tolong mengompres dada Candi.
Setelahnya, balurkan obat gosok ini di seputaran dada..” pinta Rio pada Danica.
Danica mengangguk dan minta agar Candi rebahan di kursi panjang. “Aku menunggu di luar..” kata Rio.

Candi menggigit bibir, tubuhnya yang setengah telanjang dibiarkan terpampang bebas.
Danica terlihat tersipu-sipu memandangi buah dada Candi yang menggantung indah.

Telaten dia menyeka dada Candi dengan lap dan air hangat. Danica melakukannya dengan perlahan dan hati-hati..
Seolah-olah takut akan menggores permukaannya yang halus.

Candi memejamkan mata menikmatinya. Dia sedikit menggeliat saat usapan jari-jari Danica merambah ke putingnya..
yang kelihatan mendongak ke atas dan berwarna coklat muda.

Tanpa ia sadari, roknya juga telah terlepas.. jatuh ke lantai akibat tarikan jari-jari tangan Danica.
“Sst..” Danica tersenyum melihat muka Candi yang memerah menahan malu.

Ditatapnya liang kewanitaan Candi yang berambut tidak begitu lebat.. sambil jari-jarinya mulai turun ke arah pinggang..
lalu ke pantat Candi yang bulat dan padat. Meski tidak terlalu besar tapi mempunyai bentuk yang enak dipandang.

Dan ternyata nikmat juga saat diremas. "Kamu tidak keberatan, kan..?" Danica melepas kaosnya, dan juga behanya.
Buah dadanya tidak sebesar punya Candi, tapi mempunyai bentuk yang bagus.. seperti buah pear dibelah dua.

Dengan puting yang berwarna kemerah-merahan menonjol keluar..
Warnanya serasi sekali dengan warna kulit Danica yang putih terang.

Candi tidak menjawab, hanya bisa mengangguk pelan. Danica kembali meraba-raba dadanya..
Sepertinya suka dengan buah dada Candi yang empuk dan lembut.

Tangannya tidak berhenti sampai di situ.. dia juga mengusap perut Candi..
kemudian dengan nakal jemarinya bermain-main di pusar Candi yang mungil. “Ughhh..” gadis itu menggeliat kegelian.

Danica menaikkan tangannya kembali ke buah dada, kali ini mengusap dan setengah meremas juga. Candi jadi kian menggeliat.
Apalagi saat putingnya tidak ketinggalan dipilin-pilin, dijepit, dan sedikit dicubit juga meski tidak terlalu keras.

Danica menyuruhnya berbalik, dan Candi hanya bisa menurut.
Dari belakang, tangan Danica pergi ke dada Candi lagi, sedangkan dadanya menempel di punggung gadis itu.

Sesekali Danica menggoyangkan tubuhnya..
hingga Candi dapat merasakan punggungnya seperti bergesekan dengan puting Danica yang mulai mengeras.

“Aghh..” Dari kaca di lemari.. Candi bisa melihat bagaimana Danica senyum-senyum keenakan.
Tangannya kini tak lagi mengusap.. tapi sudah mulai meremas-remas, lebih keras dari sebelumnya..
sambil puting Candi dicubit perlahan lalu dipilinnya pelan-pelan.

Candi pun menggeliat sambil mengeluarkan suara, "Ahh.. ehm.. nikmat..! Enak..! Tapi, jangan keras-keras ya..!?"
Danica hanya tersenyum melihatnya. Diciumnya tengkuk Candi yang putih, digigitnya kecil dari samping.

"Aghh.. uahh..!!" Candi langsung merintih tertahan.
"Kamu berbaring saja..” Danica berbisik.

Tanpa membantah Candi buru-buru menaruh tubuhnya. Kakinya ia geser.. sehingga bergantung di sisi ranjang..
lalu ia buka lebar-lebar hingga celah sempitnya jadi terlihat jelas.

Danica mulai menciumi paha Candi yang sisi dalam.
Tercium bau sabun yang dipakai gadis itu, pertanda Candi belum lama mandi.

Ia gigit kecil antara paha dalam kanan dan kiri, sambil mulutnya mulai bergerak menuju ke liang kewanitaan.
Dengan rambut jarang, bau aroma birahi Candi sangat terasa sekali.

Danica mulai menjilati pinggiran hutannya, dan kemudian perlahan ia taruh lidah di tengah-tengah belahan vagina.
Kaki Candi ia angkat ke pundak supaya dapat lebih leluasa dalam menjilati.

Rasanya agak anyir.. tapi setelah lidahnya masuk lebih dalam, rasanya berubah menjadi asin dan gurih.
Candi pun bertambah menggeliat menerimanya. “Ughh.. Daniee..!!” Jeritnya keenakan.

Danica merangkul paha gadis itu, memeganginya agar tidak terlempar jauh-jauh.
Ia cari bibir vagina Candi yang mungil, lalu dibukanya dengan menarik ke samping kiri dan kanan..
supaya bisa ia rasakan lendirnya lebih dalam.

Candi juga tidak mau kalah, kepala Danica mulai didorong dan ditariknya kuat karena gemas dan kegelian.
Pada saat itu Danica masih belum menemukan benda yang ia cari, yaitu klitoris Candi.

Lidahnya masih menjilat dan mencari-cari, terutama di bagian atas vagina.
Ia masukkan lidahnya lebih dalam dan menari-nari di sana..
membuat Candi keenakan dan kegelian, pinggulnya pun mulai bergoyang.

“Hahh.. ughh.. aaghhh..” gadis itu terus merintih.
Dia remasi sendiri bulatan payudaranya akibat tak kuat menahan godaan.

Sekitar lima menit lidah Danica bermain-main di situ.
Sampai pada suatu saat ia merasakan ada benjolan kecil yang terasa kaku.
Dicobanya untuk menjilat lebih keras, dan ternyata memang benar, itulah klitoris Candi.

Tanpa membuang waktu Danica langsung mengisapnya, membuat Candi mengatupkan paha karena saking gemasnya.
Dia jepit kepala Danica sambil terus menggeliat pada waktu yang bersamaan.

“Hahh.. hahh.. hahh..” Candi seperti kehilangan akal. Apalagi saat jari-jari Danica mulai mengusap klitorisnya..
Menggesek-geseknya lembut, sambil lidahnya terus masuk ke dalam liangnya yang kian basah.
Danica dapat merasakan semakin banyak cairan Candi yang meleleh keluar, beberapa bahkan sudah menetes di lantai.

Penuh semangat.. lidahnya terus menari-nari sambil sesekali ia isap lendir pekat yang membasahi.
Gelambir penutup klitoris Candi ia buka, lalu ia jilati dalam waktu yang bersamaan.
Tangannya juga ikut membantu meremas-remas dada Candi yang sudah kian membengkak oleh birahi.

“Daniee.. a-aku.. aghhh..!!” Candi menjerit tertahan.
Lendirnya terlihat keluar lebih banyak, dan Danica masih dengan semangat menjilatinya.

Perempuan bule itu juga memasukkan jari-jari panjangnya ke lubang kewanitaan Candi, dan mulai mengocok ringan.
Dari satu jari, ia tambah menjadi dua, lalu mengocok lagi dengan lebih cepat.

Rintihan Candi pun berganti dengan pekik keras penuh kenikmatan. Terlihat sekali kalau dia sudah hampir sampai.
“Terus! Kumohon..! J-jangan berhenti..!!” Candi menggeliat, matanya terpejam rapat.

Danica semakin mengintensifkan kocokan dan jilatannya.
Dia melakukannya sambil menggeleng-gelengkan kepala sehingga membuat Candi menggelinjang kegelian.

Badannya mulai mengejang..
sementara Danica masih terus mengisap dan kadang-kadang menjilati bagian dalam liang vaginanya.

“Arghhhh..!” Dengan satu jeritan terakhir.. Candi pun memuntahkan lendirnya yang berwarna putih bening.
Menyembur tepat ke mulut Danica. Si Bule terus mengisap dan menjilat rakus, menelan semuanya.

Setelah habis, dia naik ke atas tubuh bugil Candi dan mencium bibir gadis itu.
Sisa-sisa cairan yang masih menempel ia bagi rata di antara mereka berdua agar Candi dapat turut merasakannya juga.
Mereka berpelukan sambil tiduran, membiarkan malam terus beranjak dan napas keduanya kembali tenang.

Setelah beristirahat sejenak.. Danica mengenakan pakaiannya kembali dan bergabung dengan Rio..
serta orang-orang yang masih berkerumum di luar rumah Bu Parmi, sementara Candi memutuskan untuk tidur barang sebentar.

Danica menjelaskan keadaan Candi pada Rio. “Dia tidak apa-apa, dadanya hanya sedikit memar..”
“Dia gadis yang kelewat berani. Benar-benar kagum aku dibuatnya..” tutur Rio..
mengais sebatang rokok dari saku jaket dan menyalakannya.

Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan. Dari kejauhan terlihat cahaya lampu sepeda motor mendekat.
Itu pasti Pak Lurah yang baru saja dijemput seorang Hansip.

Danica mendekati Rio. Ia berbisik perlahan, “Sepertinya kita sendiri harus hati-hati. Mereka gagal menghabisi Candi.
Tak lama lagi giliran kita..” kata Danica. Rio menatap Danica. Benar juga. Kapan giliran itu datang..?

Rio mengisap rokok dalam-dalam dan menghempaskannya keras-keras.
Dia tau dia harus lebih berjaga-jaga. Giliran itu bisa datang kapan saja.

Embun pagi masih memeluk rerumputan dan kelopak-kelopak bunga di depan rumah Pak Lurah.
Matahari belum nampak. Pagi benar-benar redup dan beku. Beranda rumah Pak Lurah berselimut kabut tipis.

Bu Lurah merapatkan mantel hangat dan hendak masuk rumah..
ketika ia melihat Candi dan Rio muncul dari keremangan kabut pagi itu.

”Dik Candi..?” Sapa Bu Lurah, ”Sudah sehat, to..?”
“Saya sudah mendingan, Bu. Sekarang kami mau bertemu Pak Lurah.
Tadi ketika Pak Lurah ke tempat kejadian, saya belum bicara banyak. Ini penting, bu..!” Kata Candi.

Bu Lurah sempat melirik Rio. Rio menangkap wajah segar Bu Lurah pagi ini.
”Bapak belum tidur sejak tadi subuh setelah meninjau tempat kejadian. Ayo pinarak di dalam. Dingin di sini..”
Bu Lurah memimpin masuk rumah.

Asromo keluar dari bilik tidurnya ketika Rio dan Candi baru saja duduk di ruang tamu.
Mukanya lebih kusut daripada yang sudah-sudah. Kerut-kerut di wajahnya makin banyak.

”Apa saya bilang..? Firasat saya betul, kan..? Ancaman itu tidak main-main, kan..?
Masih untung kau tidak tewas digorok bajingan itu..” kata Pak Lurah tanpa basa-basi.
Ia tampak berada di atas angin karena kata-katanya kemarin terbukti benar.

”Bukan itu masalahnya, Pak. Saya tidak minta simpati Bapak. Tapi, Bapak lihat Saidun jadi korban..” kata Candi.
”Lha itu kan karena kesalahan kalian..! Coba kalian hengkang dari kemarin sore, tak akan ada korban itu..!” Bentak Pak Lurah.

Rio tersentak. ”Pak Lurah tidak selayaknya bicara begitu. Si Mbah dikeroyok orang. Apa itu juga salah kami..?
Apa itu juga salah saya karena hadir di desa ini bertepatan dengan hari penganiayaan itu..?” Sergah Rio, agak emosional.
Sudah luntur rasa hormatnya pada Pak Lurah. Pak Lurah tidak menyahut.

”Desa ini gawat, Pak..! Tak akan ada gunanya Bapak menyembunyikan sesuatu pada kami.
Korban akan berjatuhan dengan atau tanpa kehadiran kami di sini. Kami sudah cukup terlibat sekarang..!” Kata Rio.

”Berulangkali saya bilang saya tidak ingin melibatkan kalian. Ini urusan pribadi desa ini.
Jadi pergilah kalian dari desa ini selagi bisa..” salak Pak Lurah.

”Tapi kejadian-kejadian yang berkembang sudah tidak lagi pribadi. Dua korban sudah jatuh.
Temanku Candi hampir tewas dicabik-cabik belati..” tegas Rio.

Bu Lurah menggigit bibir menyimak percakapan yang makin panas ini. Ia urung menyiapkan teh hangat.
Pak Lurah tampak bimbang. Wajahnya kacau balau.

”Baiklah..” kata Candi.
”Kalau memang Pak Lurah bersikukuh untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya, kami akan cari sendiri.
Dunia luar harus tau ini. Saya akan kirim email ke kantor redaksi saya siang ini.
Saya akan tulis berita lengkap peristiwa-peristiwa kriminal desa ini..
dan saya akan kutip kata-kata Pak Lurah yang menyatakan pimpinan desa ini menutup-nutupi kejahatan..”

Candi berdiri diikuti Rio. Asromo gusar. Sesaat ia membiarkan Rio dan Candi meninggalkan ruang tamu.
Sejenak Asromo tak tau apa yang harus dilakukannya.

”Sebentar..!” Seru Pak Lurah. Rio dan Candi menoleh. ”Kalian tunggu saya di kantor. Lima menit lagi saya menyusul..”
kata Pak Lurah kemudian. Candi dan Rio melangkah menuju ke kantor lurah.

Penjaga kantor tergopoh-gopoh membuka pintu kantor. Matahari perlahan muncul.
Redup berganti terang. Rio mengais embun di dedaunan di depan kantor desa dan membasuhkan ke wajahnya.

Begitu sampai di kantor desa.. Asromo mengisyaratkan agar Candi dan Rio masuk kantor pribadi Asromo.
Sebelum masuk ruang kantor, Asromo menyapukan pandangan berkeliling..
untuk memastikan tak ada orang lain di sekitar kantor, kecuali penjaga kantor yang kini tengah menyapu halaman.

Sembari menempati kursinya, Asromo mengeluarkan secarik amplop dari saku baju batiknya.
Amplop itu tidak biasa.
Terlihat kertasnya bagus, dengan print huruf cetak di bagian depan, dan berperangko luar negeri.

”Sehari sebelum Mbah Parto dianiaya orang, saya terima surat ini lewat pos..” berhati-hati Asromo bicara..
Dan berhati-hati pula ia mengangsurkan sepucuk amplop surat. Amplop itu berperangko Belanda.
”Bacalah!” kata Asromo.

Rio memberi tanda agar Candi membuka surat itu. Candi melepas carik kertas dari amplopnya.
Surat itu ditulis dalam bahasa Inggris, ditandatangani oleh seorang Belanda.

Tak sabar Rio menanti Candi menuntaskan membaca surat.
Candi menutup kembali surat itu setelah membaca, dan menoleh Rio.

”Ini surat dari Yayasan Kristoff von Weissernborn di Leiden, Belanda.
Yayasan ini berencana akan menghibahkan uang 50.000 euro untuk Parto Sumartono..” ucap Candi.

“Limapuluh ribu euro..?“ Mulut Rio menganga.
“Jumlah yang cukup besar..” sela Asromo.
“Sekitar tujuhratus limapuluh juta rupiah..” sambung Rio, menghitung dengan kurs 1 euro sama dengan 15.000 rupiah.

”Uang hibah ini akan cair dengan syarat Parto Sumartono bisa menunjukkan ’bukti’ tertentu.
Untuk itu, tak lama lagi Yayasan Kristoff von Weissernborn akan mengirimkan utusan untuk meneliti ’bukti’ itu.
Kalau bukti itu benar, uang hibah akan segera diterima Si Mbah..” kata Candi melanjutkan isi surat.

”Ya, siapa yang punya bukti itu, dialah yang bakal terima uang hibah itu..” kata Asromo.
”Kira-kira, bukti apa itu, Pak Lurah?” tanya Rio.

Asromo mendesah. ”Saya sendiri tidak tau. Tapi bisa jadi itu adalah dokumen atau benda lain..
yang dulu pernah disepakati oleh von Weissernborn dan Parto Sumartono sebagai tanda pernah bekerjasama.
Hanya Si Mbah yang tau bukti itu..” kata Asromo.

”Tapi alasan apa yayasan itu perlu melacak bukti terlebih dahulu. Apa mereka tak percaya pada Si Mbah..?”
Rio menyampaikan pertanyaan yang sejak tadi ingin disampaikannya.

”Boleh jadi..” sela Candi, ”karena yayasan bertindak hati-hati.
Maksud saya.. mereka tak akan percaya begitu saja pada orang-orang yang dihubungi.
Ingat, von Weisserborn sendiri wafat pada tahun 1982.”

”Sekarang aku mulai mengerti..” ujar Rio. ”Bukti itu yang dicari pengeroyok Si Mbah.
Masalahnya, bagaimana bajingan-bajingan itu tau..?”

”Selain Pak Lurah..” sela Candi, ”siapa lagi yang tau isi surat itu..?”
Asromo menggeleng. ”Hanya saya yang tau. Saya sendiri heran bagaimana isi surat ini tercium orang lain..”

”Di mana Pak Lurah menyimpannya..?” Tanya Rio.
”Pada hari pertama, saya simpan di tempat tersembunyi di laci kerja saja. Laci saya kunci.
Kuncinya saya kantongi terus. Baru pada hari kedua surat itu saya simpan di lemari pribadi di rumah saya..
di tempat yang tersembunyi. Bahkan Bu Lurah juga tidak tau surat ini..” ujar Asromo.

”Maaf kalau saya lancang. Surat ini kan ditulis dalam bahasa Inggris.
Maaf, bagaimana Bapak bisa faham isi surat ini. Bapak bisa bahasa Inggris..?”

”Saya mencoba membaca sebisanya, pakai kamus. Lumayan berhasil..
buktinya yang Dik Candi katakan tadi soal isi surat ini benar seperti dugaan saya..
walaupun saya hanya baca kata-katanya lewat kamus..” jelas Asromo.

”Baiklah, ini lain soal. Barangkali Pak Lurah tau kenapa kami mendapat surat ancaman itu..?” Tanya Candi.
Asromo tak lekas menjawab. Ia menyeka dahi dengan telapak tangan. Lama ia mengurut-urut dahinya sendiri.

”Terus terang..” kata Asromo.. ”Saya yang perintahkan staf saya memata-matai kalian.
Saya curiga kenapa kamu, Candi dan rambut jagung itu bisa hadir hampir bersamaan saat adanya surat ini.
Tapi soal ancaman itu, saya tidak tau. Saya berani angkat sumpah saya tidak tau menahu soal ancaman itu.
Sekarang saya malah balik percaya ada kelompok tertentu yang ingin main kayu menguasai uang hibah itu.
Jika utusan dari yayasan Belanda datang, bajingan-bajingan itulah yang akan mengaku punya bukti itu..”
Gigi Asromo bergeletuk.

Candi dan Rio berpandangan. Rupanya, kecurigaan mereka pada Pak Lurah selama ini tidak terbukti.
Asromo, sejauh ini, tampaknya bukan dalang di balik pembokongan Si Mbah. Lalu siapa..?

”Baiklah, Pak Lurah..” Candi bicara, ”Kami hargai keterbukaan Pak Lurah. Kami kepalang basah.
Atas izin Pak Lurah, kami ingin bantu mengusut sampai tuntas masalah desa ini. Kami tak punya tujuan buruk.
Kami hanya ingin membantu agar uang hibah itu sampai ke tangan yang berhak menerimanya..”

Pak Lurah mengangguk-anggukkan kepala, bahkan sebelum Candi tuntas bicara.
”Baiklah, adik-adik..” kata Asromo perlahan..
”Sebetulnya sejak awal saya senang kalian berada di desa ini. Saya merasa mendapat dukungan.
Sejak peristiwa penganiayaan Si Mbah, saya kehilangan kepercayaan pada staf saya.
Saya curiga salahsatu di antara mereka adalah kaki-tangan kelompok misterius ini..” Mata Asromo menarawang jauh.

”Saya berharap persoalan tuntas sebelum utusan yayasan itu datang di Kemiren.
Dan saya minta bantuan serta dukungan kalian.”

Candi dan Rio mengangguk. Mereka bisa dengan mudah membaca ketulusan Asromo lewat matanya.
Kini, untuk sementara Asromo lebih tampak sebagai lelaki tua yang bijaksana, pengertian dan perlu bantuan.

Rio dan Candi berharap agar ini bukan merupakan taktik lain Pak Lurah untuk menyingkirkan mereka.
Mudah-mudahan Asromo tidak berubah lagi.

Melenggang dari kantor desa, Rio menyikut Candi.
”Kau tadi bilang siap membantu Pak Lurah mengusut sampai tuntas misteri ini. Memang kita bisa..?” Tanya Rio.

Candi menyeka hidung. ”Memang kita bisa..?” Ulang Candi.
”Entah ya..! Kayaknya sih nggak bakal gampang. Kita pikir nantilah..!” Katanya lagi.

Rio dan Candi berjalan balik ke rumah Si Mbah.
Di sepanjang jalan, kedua anak muda ini menjadi sumber tatapan yang tiada habisnya.
Entah apa yang diperbincangkan orang-orang itu.

Mereka sempat memesan tiga bungkus nasi pecel pada seorang perempuan penjual pecel keliling..
lengkap dengan rempeyek kacang. Ketika sampai di rumah Si Mbah, beberapa orang Hansip masih berjaga..
dan beberapa orang lain yang tanya ini-itu ingin tau kejadian dinihari tadi.

Rio tak menemukan Danica di kamarnya. Ia mendapati secarik kertas pesan dari Danica di atas meja.
Danica ternyata harus ke kota kabupaten untuk membeli menukar uang.
Dia bilang di pesannya dia akan balik sore nanti.

Sebungkus nasi pecel yang tadinya disediakan buat Danica langsung disantap sendiri oleh Rio. Rempeyeknya dikunyah Candi.
Candi kemudian balik ke rumah Bu Parmi untuk membersihkan diri.
Pak Mantri baru saja pulang dari rumah Si Mbah. Ia bilang Si Mbah baik-baik saja.

Istri Sujarno masih menjagai Si Mbah. Kata istri Sujarno, Sujarno sendiri pagi tadi sudah berangkat ke kota kecamatan.
Pada hari Senin dan Rabu, Sujarno mengajar pelajaran Bahasa Inggris dan ketrampilan di satu SMP swasta di kota kecamatan.

Rio menebar pandangan ke seantero ruang museum Si Mbah yang berukuran 7 x 8 meter itu.
Foto Si Mbah semasa muda bersama von Weissernborn yang dipajang di atas pintu ruang tengah..
nyaris tak dapat dilihat dengan jelas; kekuning-kuningan dan kertasnya rontok.
Kayu pinggiran pigoranya pun merapuh.

Pandangan Rio kini menebar ke arah benda-benda koleksi purbakala Si Mbah.
Adakah barang-barang ini yang bisa disebut sebagai bukti itu..?

Apakah bukti itu satu dari onggokan barang-barang ini..? Apa wujud bukti itu..? Bongkahan batu..?
Sehelai foto..? Poster-poster tua kusam yang bergelantungan dengan pigora seadanya..?

Di manakah bukti itu disimpan Si Mbah..? Apakah disimpan di rumah ini..?
Atau sudah diamankan oleh Sujarno barangkali?

Rio kemudian melangkah ke bale-bale bambu di depan rumah dan merebahkan diri dan terpejam sesaat.
------ooOoo-------

Candi mengamati Bu Parmi yang sibuk membersihkan kamar..
dan membuang jauh-jauh bantal dan guling yang sudah tercabik-cabik.

Bu Parmi memerciki seluruh ruangan dengan air kembang..
dan berkomat-kamit dengan suara yang sama sekali tak dipahami oleh Candi.
Kata Bu Parmi, ini adalah cara menghindarkan diri dari mara bahya.

”Nak Candi sudah terhindar dari malapetaka.
Doa dan percikan bunga ini akan menghindarkan nak candi dari dari malapetaka lain..”
Ujar Bu Parmi ketika ia bertanya kenapa Bu Parmi melakukan ritual itu.

Candi tersenyum.. ”Dengan doa Bu Parmi, saya akan selalu terhindar dari mara bahaya..”
”Ya, tapi nak Candi harus tetap waspada. Bahaya itu ada terus kalau orang tidak waspada..” ujar Bu Parmi.
”Terimakasih, Bu. Saya akan ingat itu terus..” kata Candi, meraih handuk dan pergi ke kamar mandi.

Ketika ia selesai berpakaian.. Rio sudah berada di pintu belakang Bu Parmi. Sudah pula bersih dan segar.
”Banyak orang di sekitar sini. Aku bosan ditanya-tanya soal kejadian dinihari tadi.
Kita perlu menjauh beberapa saat dari rumah Si Mbah pagi ini. Enaknya ke mana..?” Tanya Rio.

”Aku mau kembali ke rencanaku yang belum tuntas: jalan-jalan, memotret, dan menyelidik..” kata Candi.
”Tidak takut akan adanya serangan kedua..?” Tanya Rio.

”Aku tidak takut, mau serangan kedua, ketiga, keempat. Kita waspada saja, demikian pesan Bu Parmi..” tutur Candi.
”Siplah. Aku juga pingin jalan. Mau jalan ke mana..?” Kata Rio.

”Selagi masih bisa, aku mau tengok bekas lokasi penggalian. Letaknya di pinggiran Kali Randu..”
Candi mengencangkan tali sepatu.

”Dadamu baik-baik saja..?” Tanya Rio.
”Nggak ada masalah. Obat dari Bu Parmi cespleng..” kata Candi. Ringan ia melangkah mendahului Rio.
Makin kagum Rio pada gadis muda enerjik dan tak kenal takut ini.

Tapi benarkah mereka tak perlu takut..? Sepertinya tidak seluruhnya benar.
Mereka sebenarnya harus lebih dari sekadar waspada..
Setidaknya memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan aksi lanjutan kelompok penjahat itu.

Gerakan orang-orang jahat itu pasti tak akan lama lagi terulang.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 07

Kali Randu ternyata tidak dekat
.. sekitar 3 kilometer dari pusat desa.
Kali Randu adalah salahsatu dusun yang terletak di pinggiran selatan desa Kemiren..
menghadap ke sebuah bukit paling tinggi di Kemiren.

Dari pusat desa, orang biasanya naik ojek untuk menuju ke Kali Randu. Tak sulit mencari jalan ke Kali Randu..
Sebab satu-satunya jalan berbatuan ke arah selatan itu langsung menuju cabang jalan yang berupa jalan setapak..
Satu kilometer lagi ke Kali Randu.

Memasuki jalan setapak, kesunyian benar-benar lengkap.
Yang terlihat hanya ladang-ladang miring kering kerontang. Tak banyak tanaman di ladang.

Para peladang, pada musim kemarau seperti ini lebih suka bekerja di rumah mengukir barang kerajinan..
atau menggali batuan di lokasi penggalian lain di hilir Kali Randu.

”Lihat, segugus pepohonan kaliandra di bawah sana. Aku suka melihatnya..” tunjuk Candi.
”Dan di bawah sananya lagi..” Candi menunjuk dengan sebatang ranting kering..
”Adalah lokasi galian. Kamu lihat beberapa potong bambu malang melintang di sana..?”

”Ya, bambu-bambu itu untuk menahan terpal atau kain pelindung sinar matahari bagi penggali..” kata Rio..
menyapukan pandangan berkeliling.

Cukup elok pemandangan di sini. Kemilau air dari Kali Randu yang nyaris surut terlihat dari jauh.
Kelok-kelok sungai lebih diwarnai batuan besar-besar yang mencuat dari permukaan air yang sangat dangkal.

”Jalan ini pasti menuju ke lokasi galian..” Candi menunjuk sebuah jalan setapak menurun di dekatnya.
Ia meloncat ringan ke jalan itu dan mulai menyusuri.
Di kanan kiri jalan setapak, pohon-pohon kecil berjajar meneduhi jalan.

Rio menyusul Candi berjalan di jalan setapak itu. Tapi langkah Candi sekonyong-konyong berhenti.
Seorang lelaki, entah muncul dari mana, tiba-tiba menghadang mereka.
Berkacak pinggang ia menghalangi langkah Rio dan Candi.

Lelaki itu kumisnya melintang, berkulit hitam dan berwajah jebah.
Candi terhenyak. Ia ingat betul siapa lelaki itu. Bulu kuduk Candi merinding.
Itu laki-laki yang hampir membunuhnya dinihari tadi.

”Mau apa..?” Rio melewati Candi dan berdiri di hadapan laki-laki itu. Jelas terlihat Rio lebih tinggi dan tegap.
Orang itu tak menjawab. Mukanya beringas mirip macam lapar yang siap mencaplok musuh.

Candi mundur beberapa langkah. Agak sulit gerakan mundur itu karena jalanan di belakangnya yang miring ke atas.
Rio mencium gelagat yang kurang baik. Ia mengisyaratkan agar Candi pergi menjauh.

Tapi, belum sempat Candi bergerak, tiba-tiba muncul satu orang lagi dari arah semak-semak.
Orang ini berwajah tak kalah bengis dari wajah di jebah. Jelas orang ini sekongkol si jebah.

Candi hendak bergerak menjauh ketika tiba-tiba kedua tangan si jebah mendekap Candi dari belakang.
Candi meronta-ronta. Tapi dekapan itu terlalu kuat.

”Lepaskan..! Lepaskan dia..!” Rio, mencoba memecah dekapan itu.
Tapi sigap teman si jebah menarik kerah jaket Rio dari belakang dan membuat Rio nyaris terjengkang.

”Kalian ini siapa..?” Protes Rio atas perlakuan kasar itu, sambil berusaha melepaskan dekapan teman si jebah.
”Jangan banyak mulut. Kami orang-orang yang tak suka kehadiranmu di desa ini..”
Tukas teman di jebah, yang bercelana panjang longgar itu.

Candi masih meronta-ronta mencoba melepaskan dekapan si jebah yang makin erat.
Rio mundur beberapa langkah saat si celana longgar merangsek maju..
dengan gumam-gumam bahasa Jawa yang tidak difahami Rio.

Pada saat mundur itu, cepat Rio membuat suatu keputusan.
Ia mempergunakan kepalan tangan kanan untuk memukul tengkuk si jebah dari belakang.

Si jebah terkejut. Dekapannya pada Candi merenggang karena secara refleks si jebah ingin membalas serangan Rio.
Rio mendengar si jebah meracau. Si celana longgar memberi isyarat si jebah dengan gerakan tangan melintas leher..
yang mungkin artinya adalah ’habisi gadis itu segera’.

Si jebah menjawab dengan racauan tidak jelas. Taulah Rio si jebah itu bisu.
Sebelum sempat si jebah mengencangkan dekapannya, Candi mempergunakan kaki kanannya..
untuk menjejak lutut di jebah dari depan. Si jebah terlolong kesakitan. Dekapan terlepas.

”Lari, Can..! Lari..! Berpencar..!” Teriak Rio. Mereka lari sekuat tenaga menyingkir.
Si jebah mengejarnya dan si celana longgar mencoba menerkam Rio agar tak kehilangan buruannya..
yang mulai lari ke arah lain. Rio bergerak lebih cepat. Terkaman si celana longgar menangkap angin.

Secepat kilat ia mengejar Rio yang melesat ke arah semak-semak. Si celana longgar kalah beberapa tapak di belakang.
Candi berusaha menggerakkan kaki sekuat tenaga. Meski bertubuh pejal, si jebah ternyata pandai berlari kencang.
Namun sekencang-kecangnya ia berlari, gadis yang berlari hanya beberapa depa itu tak kunjung terjamah.

”Oke, jebah, kejar terus. Lihat apa kau bisa menandingi cewek kota yang rajin jogging sejam sehari..!!”
Teriak Candi, meliuk-liuk di antara pepohonan, akar-akar melintang dan perdu-perdu liar.

Si jebah mulai tersengal-sengal, tapi Candi malah enak saja meloncat ke kanan dan kiri.
Kadang ia cuma berputar-putar di sekeliling beberapa pohon dan gundukan bersemak..
kadang berlari lurus dan belok tiba-tiba, membuat si jebah nyelonong mengejar angin.

Dan ini membuat si jebah jengkel. Ia mencari-cari potongan kayu di rerumputan..
dan berhasil menemukan selonjor kayu sepanjang satu setengah meter, sebesar pentungan Hansip.

Dengan kayu di tangan, si jebah memutar otak.
Dia tak akan bisa terus-terusan adu cepat dengan gadis yang punya simpanan nafas panjang ini.

Kini si jebah punya taktik; setiap kali ia tertinggal jauh..
ia menggunakan kelihaiannya memintas jalan dengan cara melompat.
Untuk urusan melompat, ternyata di jebah mahir juga.

Candi tak tau ke mana ia berlari. Ia hanya berlari dan menghindar..
meski tas pinggang dan kamera yang digayutkan di leher cukup mengganggu larinya.

Jalanan setapak sudah jauh tertinggal di belakang..
dan sepanjang pengetahuan Candi jalanan yang ia tempuh untuk adu lari itu menurun terus.

Si jebah makin jengkel. Sudah beberapakali lompatan dan kibasan kayu pentungan, tetap saja ia menghantam angin.
Saat ini si jebah punya posisi yang bagus untuk meloncat.

Ia berada pada sebuah gundukan, dan Candi beberapa meter di bawahnya.
Ia menggenjotkan kakinya dengan pentungan terpegang di kedua tangan;
meloncat dengan gerakan siap menghantam gadis di dataran di bawahnya.

Candi berhenti sesaat dan sadar si jebah sedang meloncat bak terbang ke arahnya dengan kayu pentungan siap hantam.
Tak akan ada kesempatan bagi Candi kecuali merunduk.

Candi merunduk dan ajaib.. tanah tempatnya berpijak tiba-tiba bergerak turun..
Persis ketika si jebah mendarat tak jauh dengan pentungan melesat ke arah kepala Candi.

Lagi-lagi si jebah menghantam angin dan tubuhnya bergulung di rerumputan..
karena ternyata satu kaki si jebah mendarat di akar melintang, terpeleset dan terjatuh.
Namun ia segera bangkit dan menerkam Candi.

”Sialan..!” Teriak Candi. Tiba-tiba ia sulit bergerak..
karena tanah di kakinya terus bergerak turun serasa tak kuat menahan berat tubuhnya.
Ia tau si jebah berhasil meraih kerah kemeja denimnya. Candi merasa kali ini ia tak berkutik.

Namun ajaibnya.. tapi tiba-tiba saja cengkeram si jebah pada kerahnya tak lagi punya kekuatan.
Itu karena tubuh Candi melorot terus ke bawah mengikuti gerak turun tanah.

Cengkeraman itu akhirnya terlepas. Si jebah heran bagaimana mungkin ia bisa kehilangan cengkeraman itu.
Heran pula ia melihat tanah tempat Candi berpijak menjadi berlubang..
dan gadis buruannya itu melesak tersedot ke bawah.

Si jebah melongok ke lubang itu dan dia jadi bergidik dan tak melihat apa-apa selain lubang berbau apek.

Jurang itu memang merupakan salahsatu dari sekian tempat di Kemiren yang tak pernah diperhatikan..
dan dikunjungi orang dan ketika si jebah melihat berkeliling..
Sadarlah ia kini sedang berada di sebuah tebing yang curam.

Pemandangan jauh ke bawah memampangkan hamparan lembah kering..
yang pada musim hujan merupakan bagian aliran sungai Kali Randu.

Lama si jebah memperhatikan seputarnya sembari mencari pegangan, takut kalau ia pun terseret ke longsoran curam.
Setelah yakin ia tak lagi mungkin melihat gadis itu.. si jebah perlahan naik ke dataran lebih tinggi.

Tugasnya telah selesai.
Gadis itu pasti terperosok jurang dan bisa dipastikan kepalanya terantuk bebatuan di bawah sana.
Ia pasti tewas dan tak seorang pun akan tau.
------ooOoo------

Rio tak mampu lagi berlari lebih cepat. Dadanya seperti mau meledak.
Si celana longgar ini bukan lawan sebanding untuk adu lari.

Setelah hampir tiga perempat kilometer ia mencoba menghindar dari sergapan si celana longgar, ia lunglai.
Dengan mudah si celana longgar melingkarkan lengannya yang kekar ke leher Rio dari belakang dan mengunci lehernya.

Panik Rio menahan kuncian yang makin rapat itu..
dan bukan hal yang gampang menggerakkan tangan dengan nafas tersengal-sengal seperti itu.

”Kamu harus modar..!” Teriak orang itu, juga tersengal-sengal.
Rio mencoba bertahan dan mengatur posisi kaki untuk menendang ke belakang.

Tapi agaknya si celana longgar mampu membaca gerakannya.
Si celana longgar menggunakan lututnya untuk mendorong punggung Rio dan melumpuhkan pemuda itu.

Rio tak berkutik. Ia hanya bisa menantikan musuh memuntir lehernya.
Kalau masih bisa selamat, Rio yakin ia akan bangun di rumah sakit dengan leher tersangga, pikirnya.

Tapi puntiran leher itu tidak juga terjadi. Pada saat Rio berusaha mati-matian memompa udara..
di antara tangan musuh yang terhimpit ke lehernya..

Sekonyong-konyong ia mendengar derap langkah seseorang melintas tak jauh.
”Ladhalah. Apa pula yang kau lakukan itu..? Menyerang pemuda yang tidak berdaya..!?” Terdengar suara orang itu.

Serta merta cekikan si celana longgar mereda.
Si celana loggar bahkan melepaskan Rio dan berdiri takut di hadapan orang itu.

Rio bangkit dan mengusap lehernya yang serasa mau putus.
Seorang tua pejalan kaki berpakaian batik necis lengan panjang berdiri tak jauh di hadapannya.

Semua rambutnya putih uban dan ia bertongkat kayu pelituran dengan ujung melengkung.
Orang tua kurus berkacamata itu memandangi si celana longgar dengan geram.

”Pergilah kau sebelum aku melaporkan kelakuanmu ini pada pihak yang berwajib..”
Tenang sekali orang tua itu menuding si celana longgar dengan tongkatnya.

Tanpa suara si celana longgar berbalik dan pergi begitu saja, mendengus pun tidak.
Kelihatan ia segan sekali pada orang tua itu.

”Anak tampaknya bukan orang sini..?”
Orang tua itu berkata pada Rio yang sedang menepuk-nepuk jaketnya dari debu.

”Saya Rio, mahasiswa yang sedang bertamu di rumah Si Mbah Parto Sumartono.
Terimakasih Bapak telah menolong saya. Kalau tidak ada Bapak, saya pasti tewas dicekik orang itu..” kata Rio.

Orang tua itu memperhatikan Rio baik-baik. ”Oh, ya, saya dengar ada tiga tamu desa.
Kau, wartawan perempuan dan seorang rambut jagung..” ujar orangtua itu.

”Nama saya Kuntoro. Saya penduduk desa ini. Saya kebetulan baru tadi pagi tiba di desa ini.
Selama seminggu saya tetirah di rumah cucu di Jogja.
Saya dengar Si Mbah dicederai orang, dan tadi malam Saidun tertusuk belati..?” Kata orangtua itu.

”Betul, Pak..!” Ujar Rio.
”Kok macam-macam saja kejadian jaman sekarang..”

Kuntoro melepas kacamata dan menyimpannya di saku baju batik.
”Bagaimana ceritanya kau bertemu orang jahat itu..?”

”Tadinya saya sedang jalan-jalan dengan Candi, teman wartawati itu di jalan setapak di bawah sana.
Tiba-tiba dua orang menghadang kami. Yang satu mengejar Candi dan yang Bapak lihat tadi mengejar saya.
Oh.. astaga..! Candi..!” Rio mendelik. Ia ingat Candi masih belum jelas kabarnya.

”Maaf, Pak. Sekali lagi terimakasih bantuannya. Saya harus mencari Candi. Ia dalam bahaya..”
Rio melesat kembali ke jalan setapak beberapa ratus meter di bawah sana.

Kuntoro menggeleng-gelengkan kepala.
Ia kemudian berjalan perlahan dengan bantuan tongkatnya, kembali menikmati suasana perbukitan.
------ooOoo------

Rio berlari kencang kembali ke jalan setapak tempat mereka dihadang, dan menebak ke arah mana Candi lari tadi.
Tapi tak mudah mengenali sejumlah jalan setapak di antaras emak-semak yang tak pernah ia kenali.

Ia mencoba mengingat-ingat dan meneliti perdu-perdu di sekitar jalan setapak itu.
Tapi rumput kering dan perdu-perdu itu tak bisa memberinya petunjuk.

Apa yang terjadi pada Candi..? Rio berteriak-teriak keras memanggil nama Candi. Tapi tak ada jawaban.
Hutan berperdu liar itu demikian sunyi, terlalu sepi.

Rio terus berjalan tanpa tujuan yang jelas..
sampai tiba si sebuah jalan setapak yang lebih lebar dengan jajaran pohon kaliandra di kanan dan kiri.
Jajaran pohon itulah yang tadi tampak dari atas sana.

Pohon-pohon itu rapat mengurung jalan setapak.. sehingga kalau orang melintas jalan setapak itu..
ia seperti tengah berjalan di sebuah lorong berdinding kaliandra. Sunyi tapi indah.

Rio perlu duduk sebentar. Ia baru menyadari ada tetesan darah segar di bajunya.
Baru ia ketahui lehernya tersayat ranting pohon manakala ia berduel dengan si celana longgar tadi.

Ia memlilih sebuah teduhan di bawah pohon kaliandra dan menyeka lehenya.
Tenggorokan kering dan panas. Kakinya pegal akibat dipaksa lari.

Tanpa sadar ia rebah dan memejamkan mata di rerimbunan pohon kaliandra..
yang cabang-cabangnya berjuntai hampir menyentuh tanah.
Istirahat sedikit mungkin bisa memulihkan kesegaran dan akalnya.

Rio tersentak tatkala ia mendengar bunyi gesekan kaki melintas dedaunan tak jauh dari jalan setapak itu.
Ada orang..! Sekilas Rio menangkap harum rempah.

Ketika ia membuka mata dan terduduk, seutas suara menyapa.
”Lho, Dik Rio..? Kok tiduran di sini..?” Bu Lurah sudah bersimpuh persis di hadapannya, memperhatikan.
”Bu Lurah..?” Ujar Rio heran.

”Dik Rio sakit..?” Tanya Bu Lurah.
”S-saya..” Rio menyeka lehernya yang berdarah.

”Astaga. Itu ada darah di leher. Dik Rio jatuh, ya..?” Bu Lurah memperhatikan leher Rio lebih dekat.
Harum rempah tubuh Bu Lurah menyundut hidung Rio. Terlalu dekat wajah perempuan matang itu ke wajahnya.

Bu Lurah membuka tas plastik yang tergolek di sampingnya.
”Kok bisa begini, Dik Rio..?” Bu Lurah mengambil sebotol air dari tas plastik. ”Ini, minum dulu..!”

Rio meraih botol itu dan meneguk airnya. ”Bu Lurah dari mana..?” Tanya Rio setelah puas minum.

”Dari rumah kakaknya Marni, pembantu rumah itu. Kakak si Marni baru melahirkan.
Saya barusan menjenguknya dan ambil bibit bunga di rumah kakak Marni..”
Bu Lurah menunjukkan gumpalan-gumpalan tanah dengan bibit-bibit tanaman kecil di tengahnya.

”Lukamu itu harus dibersihkan, biar tidak infeksi..” kata Bu Lurah.
Ia mengais sehelai saputangan yang ia simpan di antara dua gundukan dada.
Lumayan besar juga gundukan dada itu, juga kelihatan padat sekali.

Saputangan itu kemudian dibasahi dengan air minum.
Tanpa banyak bicara Bu Lurah menyeka leher Rio dengan saputangan basah.
Sapuan itu lembut dan beraroma rempah yang menebar dari saputangan Bu Lurah.

”Jatuh di mana, Dik Rio..?” Tanya Bu Lurah lembut, selembut sekaan di leher yang seperti tak berkesudahan itu..
dengan tatap mata yang tak pernah luput ke mata Rio.

”Tak jauh dari sini. Saya tersandung akar-akar liar..” Rio berbohong.
Dibiarkannya sekaan di leher itu terus berlangsung. Rio amat menikmati sekaan segar itu.

Ia juga suka menatap bibir Bu Lurah yang maju mundur dan sesekali dekat benar dengan pipinya.
Tetes keringat yang mengalir di kening dan kuduk Bu Lurah juga tampak indah.

Ketika sekaan itu selesai, Bu Lurah melipat kembali saputangan dan menaruhnya di pangkuan.
Rio mengikuti gerakan saputangan itu sampai ke pangkuan Bu Lurah.

Bentuk tubuh Bu Lurah amat elok dalam posisi bersimpuh seperti itu..
dalam balutan setelan kebaya dengan kain bawahan batik bermotif parangtritis.

Rio juga tidak menyia-nyiakan tatapan Bu Lurah yang tak pernah terputus ke matanya..
yang dilengkapi dengan sungging senyum kecil yang membuat bibir Bu Lurah penuh gerakan magis yang menawan.

Tiba-tiba Bu Lurah merasa belum selesai dengan sekaan lehernya.
Dengan telapak tangan, ia mengusap leher Rio.

”Sudah bersih, sekarang. Nanti tinggal olesi obat merah..” tertahan nafas Bu Lurah, suaranya menjadi lirih.
Telapaknya tetap mengusap leher Rio. Rio amat menikmati ini.

Telapak tangan itu menyalurkan getar hangat.. apalagi ketika telapak Bu Lurah mulai bergerak ke pipinya.
Rio tau persis usapan di pipi bukan bagian dari pembersihan luka di leher.
Tapi ia suka sekali itu dan membiarkan telapak itu yang ibu jarinya mulai sesekali mengusap ujung-ujung bibir Rio.

Telapak tangan itu makin membawa bara.
Tanpa sadar Rio menggerakkan tangannya sendiri dan meraba tangan Bu Lurah.

Entah bagaimana caranya.. tiba-tiba tangan Bu Lurah yang tadi di seputaran pipi Rio..
kini beralih ke bagian kepala Rio dan menarik kepala itu mendekat ke kepalanya sendiri.

”Dik Rio..” desah Bu Lurah, dekat sekali bibir wanita itu ke bibirnya.
Di mata Rio, bibir itu seperti telaga, seperti warna-warni bunga, sesejuk embun pagi.

”Bu Lurah..” Rio mengikuti helaan tangan di kepalanya.
Dia mendongkak, nafsu birahinya seperti meledak keluar. Dadanya berdegub kencang.

Bu Lurah memejamkan mata, menampakkan bulu mata yang lentik. Rio terhenti sesaat.
Namun agaknya Bu Lurah mengira Rio terlalu mengulur-ulur waktu.

Ia tarik kepala Rio dan ia desakkan bibirnya ke bibir pemuda itu.
Rio tak kuasa untuk menolak, ia balas ciuman itu. Hangat. Harum. Indah.

Lidah Bu Lurah menari-nari di bibirnya dan sesekali menantang lidah Rio untuk beradu.
Satu menit keadaan itu bertahan, sampai akhirnya Bu Lurah bergeser merapat.

Sekarang dia berada di pangkuan Rio. “Dik Rio..” kata Bu Lurah sambil mendesah.
“Berikan aku kenikmatan yang selama ini aku rindukan..” rengeknya.

“B-bu..” belum selesai Rio menjawab..
bibir Bu Lurah yang liar kembali mengoyak bibirnya yang masih tertegun dengan apa yang sedang terjadi.

Jari Bu Lurah yang lentik mulai mempreteli satu per satu kancing baju Rio..
sambil bibirnya memagut bibir pemuda itu tiada henti.

Batang Rio kontan terpicu, mulai memberontak, ingin lepas dari dinding CD yang membatasi.
Ditambah goyangan pantat Bu Lurah di atas pangkuan.. maka makin teganglah batang penis itu.

Rio terhanyut.. sehingga lupa jika saat itu mereka sedang berada di luar ruangan.. tepat di tepi jalan desa..!
Tangannya bergerak bagaikan tak terkontrol.. mulai ikut menggerayangi punggung mulus Bu Lurah.

Sesekali jarinya juga menjarah ke buah dada, meremasnya dengan gemas..
Merasakan betapa kenyal dan empuknya benda bulat itu.

“Ssh.. Dik Rio..! Oohh..” desah Bu Lurah dengan wajah terbenam ke permukaan dada Rio.
Tangannya meremas, menjambak rambut Rio yang sedikit gondrong. “Beri aku kenikmatan..” rintihnya.

Rio sudah tak sabar ingin melihat bongkahan daging di balik dada Bu Lurah.
Dengan mudah ia melepas kebaya perempuan itu, juga kaitan behanya, dan alamak..

Sepasang bongkahan daging besar milik Bu Lurah langsung terpampang jelas di depan mata.
Terlihat begitu besar dan menantang, dengan kedua puting berwarna merah kecokelat.

Tanpa dikomando, Rio menyentuh permukaannya yang halus dan mulus dengan menggunakan bibir.
“Uggh.. Dik Rio..! Terus.. ughh..!!”

Tubuh Bu Lurah menggeliat saat lidah Rio mulai bekerja menjilati putingnya.
Geliatan tubuh itu membuat Rio semakin berani dalam mengoyak.

Selain meremas, puting Bu Lurah yang sudah mengeras juga ia isap dalam-dalam.
Lidahnya dengan liar menjilat, mengulum, dan sesekali menggigit-gigit ringan.
Keadaan Bu Lurah yang setengah bugil membuatnya jadi sangat bernafsu sekali.

Bu Lurah membalas dengan buru-buru menelanjangi.
Ia lorotkan celana panjang pemuda itu, lalu lekas menunduk, tak sabar untuk mulai menyerang.

Hanya sedikit membungkukkan tubuh, bibirnya sudah tepat berada di depan selangkangan Rio.
Lidahnya yang panjang mulai menjilati permukan CD Rio yang sudah ditembus oleh cairan pre-cumnya.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
----------------------------------------------------ooOoo-------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 08

“Aoow.. Bu..! G-geli..”
desah Rio keenakan.
Bu Lurah memegangi erat pinggulnya, berharap Rio tidak kabur ke mana-mana.

Wajahnya kini benar-benar menempel di selangkangan pemuda itu.
Jilatan lidahnya di permukaan CD Rio terbukti sanggup menghentak-hentakkan birahi si pemuda.

Rio dengan gerakan tubuhnya yang sedikit kayang terlihat kian menggelinjang.
Bu Lurah tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Lekas ia lepas CD Rio untuk memudahkannya dalam beroperasi.

Toenkk..!! Batang penis Rio langsung meloncat, terlihat sangat jelas. Benda itu berwarna cokelat kehitaman.
Ujungnya yang tumpul lengket oleh cairan lendir.. dan ditumbuhi rambut-rambut keriting yang berombak rimbun.
Membuat birahi Bu Lurah spontan merasuk ke seluruh tubuh.

Lidahnya yang sedari tadi ingin menikmati batang itu, langsung mendarat dengan cepat dan lugas.
“Ohh.. Bu..!” Kembali Rio menggelinjang hebat. “Yah.. terus..! Jilat di situ..! Oughh..”

Sesekali tubuhnya terangkat, dengan kedua tangan digunakan menopang di atas tanah.
Bokongnya bergoyang naik turun, ke kanan dan ke kiri, bergerak tidak beraturan mengiringi setiap jilatan Bu Lurah.

“Mmm..” Bu Lurah mengisap seluruh cairan yang mengalir dari ujung penis Rio.
Dia menelannya rakus, sambil tangannya melesat-lesat mengelus paha, bokong, dan lubang anus si pemuda.

“Bu Lurah..! A-ampun.. mulut Ibu.. arghhh nikmat..!!” Desah Rio berkali-kali.
Sampai akhirnya Bu Lurah menangkup kedua bolanya yang sebesar telur puyuh.

Dengan lembut Bu Lurah memagut.
Dia menyentuhkan lidahnya ke sana hingga membuat tubuh Rio jadi bergetar hebat.
“Bu..! A-aduh.. saya nggak tahan..! Uuuhh..” rintihnya berkali-kali.

Penis Rio nampak semakin memerah karena isapan Bu Lurah.
Sudah tidak terhitung lagi berapakali tubuh pemuda itu menggelinjang dan bergetar kuat.

“Terus, Bu..! Terus..! Ughhh..” Detik-detik orgasme sepertinya akan diraih oleh Rio.
Bu Lurah tau persis indikasi itu.. terlihat dari posisi pantat Rio yang semakin tinggi dan tegang.

Ia membantu dengan menahan tubuh pemuda itu menggunakan tangan.
“B-Bu..! S-saya.. aarghhhhmmshhh..!!” Seiring rintihan panjang tersebut, tubuh Rio mengejang.

Cratt.. crattt.. cratt.. cratt..!! Cairan kental keluar dari lubang penisnya.
Sangat banyak dan kental sekali. Berwarna putih pekat. Bu Lurah tidak melewatkan barang setetes pun.

Lidahnya terus berputar-putar di atas penis Rio, diisapnya semua cairan itu, lalu dengan lahap ia telan tanpa ragu.
Walaupun tau kalau Rio sudah orgasme, Bu Lurah dengan nakal terus menggerakkan lidahnya.

Ia cicipi ujung penis Rio yang terasa asin, atau sesekali menjepit kedua telurnya.
“Hhh.. hhh..” Tubuh Rio terkulai lemas di atas tanah..
Kakinya masih terbuka lebar dan kepalanya terjuntai di bahu mulus Bu Lurah.

Ia mencoba bangkit untuk duduk, dan saat itulah teringat kenapa dia berada di tempat ini.
”Astaga..! Candi..! Candi..!’ Rio berdiri seketika, meninggalkan tubuh montok Bu Lurah yang terkaget-kaget.

Bu Lurah terperangah.. mengusap bibir dengan lidahnya sendiri. ”Ada apa..?” Tanyanya gusar.
”Saya tadi bohong. Saya sebenarnya tidak jatuh. Saya dan Candi dihadang dua penjahat.
Candi masih belum jelas kabarnya. Saya sendiri diselamatkan Pak Kuntoro..”
Rio mengais celana dan memakainya kembali.

“Pak Kuntoro..?” Ulang Bu Lurah, kurang bersemangat.
”Ya, saya harus mencari Candi sekarang..” Rio melihat berkeliling. ”Maaf, saya harus pergi sekarang..!”

”Dik Rio..!” Panggil Bu Lurah. Ia perlahan bangkit dari simpuhnya..
dan melihat Rio hilang di balik perdu-perdu liar, terhalang barisan Kaliandra.

”Dik Rio..!” Sekali lagi panggil Bu Lurah. Suaranya tertelan angin.
Ia menggenggam celana dalam Rio yang tertinggal dengan wajah memerah.

Sejenak kemudian ia membenamkan celana basah itu ke wajahnya dan menciumi kain segitiga itu sepenuh hati.
Sepenuh raga, yang menambah rona merah di hidungnya.

Ia kemudian meraba kemaluannya sendiri dan bibirnya bergerak dengan senyum kecil tertahan.
“Sabar ya. Lain kali, pasti penis Rio bisa masuk ke sini..!”
------ooOoo------

Kecuali ‘sialan’.. Candi memang sengaja menahan suara..
manakala ia terperosok beberapa meter ke bawah mengikuti tanah bergerak di atas tadi.

Sebenarnya ia ngeri juga meluncur deras ke bawah..
dalam gesekan tumbuhan liar berduri dan ujung-ujung akar di lajur lorotan itu.

Tapi ia beruntung mengenakan baju lengan panjang dan celana jins tebal.
Jadi ia berusaha tenang saja mengikuti luncuran itu, sekitar 40 meter ke bawah.

Ia mendarat dengan kaki terlebih dahulu, dan hanya tergulung sedikit.
Ia mendapati dirinya berada di sebuah kawasan asing.

Selama seperempat jam ia menunggu sambil mempelajari sekitarnya.
Si jebah di atas sana pasti sudah mengira ia mati karena terkikis ujung batuan tajam atau terantuk batu besar.

Padahal, kalau dipikir-pikir, tempat ia mendarat ini tergolong empuk.
Di dasar jurang ini ada tumpukan daun kering dan ilalang kering yang sengaja ditata rapi.

Candi duduk di tumpukan kering dan memeriksa anggota badan. Cuma goresan-goresan kecil di lengan.
Tas pinggang utuh, dan kamera baik-baik saja, kecuali casingnya yang tergores di sana sini.

Candi menatap tempat itu berkeliling. Tempat apa ini..?
Pohon-pohon di sekitarnya tumbuh subur dan rimbun, suhu lebih sejuk dan nyaman.

Lokasinya benar-benar terlindung. Buktinya, dari tempat itu ia sama sekali tidak bisa melihat jauh..
selain dinding-dinding pepohonan dan perdu liar.

Tak jauh dari tempat Candi duduk, ia mendengar bunyi gemericik air. Candi mendekat.
Ada sebuah pancuran kecil sebesar ibu jari lewat sebatang bambu yang dibelah menjadi dua.

Aliran air ini seperti disengaja dikumpulkan pada sebuah kolam kecil.
Air kolam tampak bening, dengan kedalaman tak lebih dari satu meter.

Candi menangkupkan kedua telapak dan menggunakannya untuk mengais air.
Sejuk sekali air pancuran itu membasuh muka, dan minum seteguk pastilah bukan gagasan buruk.

Puas minum dan membasuh muka, ia menebarkan pandangan berkeliling.
Di mana-mana hanya pemandangan hijau dedaunan. Tapi tunggu dulu..!

Ada gubuk kecil sepuluh meter di arah kanan.
Gubuk itu dibangun menjorok ke dalam tebing.. sehingga tak mudah terlihat dari permukaan tebing.

Perlahan Candi mendekati gubuk.
Ia perhatikan baik-baik gubuk yang terbuat dari campuran kayu patahan pohon dan dedaunan.

Ketika ia melongok ke dalam.. ia tak melihat siapapun kecuali dua rantang logam yang kelihatan amat tua..
dengan onggokan kain menyerupai busana.

Di depan gubuk, tiga bongkah batu ditata, melingkung bekas bakaran.
Abu yang berserak di antara ketiga bongkahan batu itu tampak baru.

”Apa yang menarik dari gubukku, putri ayu..?” Tiba-tiba seuntai suara berat datang dari arah belakang.
Terkejut Candi mencari arah suara itu.
Seorang kakek, berambut putih, berkaos oblong kumal dan bercelana drill kumal kedodotan berdiri tak jauh darinya.

Candi mundur beberapa tapak. Terbungkuk si kakek mendekati gadis itu.
”Siapa kau..?” Tanya kakek, matanya yang berair memandang curiga.

”Saya Candi, tamu di desa ini..” kata Candi.
”Bagaimana kau sampai di sini..? Tak ada jalan yang bisa dilewati untuk sampai ke sini..”

”Saya datang dari atas sana, terperosok..!” Kata Candi.
”Terperosok..?” Ulang si kakek.

”Ya, melorot. Saya tengah berjalan di sana, lalu tanah bergerak dan saya terporosok ke sini, lumayan tinggi..” ujar Candi.
”Kamu tidak apa-apa..?” Tanya si kakek.

”Saya baik-baik. Mujur, tidak terluka secuil pun. Kakek tinggal di gubuk ini..?” Tanya Candi.
”Ya, sejak zaman Jepang..” ujar kakek.
”Jaman Jepang..?”
”Ya, jaman Jepang. Tahun 1942-an..” si kakek berjalan tertatih menuju pancuran dan membasuh kaki.

”Namaku Probosangkoro. Aku orang Kemiren asli. Begitu istriku wafat, aku menyepi di tebing ini.
Geen kinderen, geen familie..” Probosangkoro bicara bercampur bahasa Belanda.

”Kakek tak punya anak atau sanak keluarga..?” Tanya Candi.
”Lho, kan barusan saya bilang tadi, tak ada anak, tak ada keluarga..” ujar Probosangkoro.

”Oo, yang bahasa Belanda tadi..?” Ujar Candi.
Probosangkoro terkekeh menatap Candi, ”jij tidak bisa bahasa Belanda..?”

”Tidak. Di sekolah kami diajari bahasa Inggris..” kata Candi. ”Kakek tinggal sendiri di sini..?”
Probosangkoro menoleh Candi. ”Apa ada kau lihat orang lain di sini..?”

Candi mengernyitkan kening. Kakek ini bicara tangkas. Ia pasti bukan orang sembarangan.
”Kenapa tidak tinggal di desa, kan lebih nyaman..?” Tanya Candi.

Probosangkoro tidak menyahut, juga tidak menoleh. Boleh jadi ia tidak suka pertanyaan Candi.
”Kau punya korek api..?” Tanya Probosangkoro.
”Tidak..”

”Setiap bertemu orang asing, aku selalu minta korek api. Cuma itu yang kubutuhkan kalau kebetulan bertemu orang.
Tiga tahun lalu ada pencari kayu bakar dari desa lain kesasar ke sini. Dia meninggalkan satu pak korek api kayu.
Dia memberi aku celana dan kaos ini. Dia orang terakhir yang aku temui..” ujar Probosangkoro.
”Tebing ini bukan tempat manusia hidup. Tak ada yang suka pergi ke sini..”

Candi memperhatikan Probosangkoro berjalan mondar-mandir mencari kau bakar di sekitar gubuk.
Candi membantu mengumpulkan satu dua kayu bakar..
dan mengikuti Probosangkoro meletakkan ranting-ranting itu di antara tiga bongkahan batu tungku.

Ia kemudian mengambil beberapa potong singkong dari bagian depan gubuk dan meletakkannya di dekat tungku.
Candi duduk di tanah dan memperhatikan kesibukan kecil Probosangkoro.

Orang tua ini menata ulang ranting-ranting di tungku.
Dari saku celana ia mengeluarkan sepasang batu pemantik dan segumpal kapuk yang diambil dari buah randu.

Gumpalan itu dilempar ke ranting-rantin kayu. Cekatan tangan Probosangkoro menggesek-gesek batu pemantik.
Percikan api dari gesekan dua batu pemantik melahap kapuk kering di ranting..
dan sebentar kemudian membakar ranting-ranting kering itu.

Ketika nyala api mulai membesar, Probosangkoro menjejalkan ranting-ranting lebih besar.
Ketika ranting-ranting besar membara, ia menjejalkan beberapa barang ketela pohon ke dalam bara api.

”Ada kabar apa dari desa..?” Tanya Probosangkoro, mengipasi api dengan daun-daun tebal segar.
”Banyak kabar, Kek. Kakek mau dengar kabar apa..?” Tanya Candi.
”Apa saja..” kata Probosangkoro di tengah asap membumbung dari tungku batu.

”Selama tiga hari ini, desa Kemiren gempar..!”
”Gempar..?”

”Ya, Si Mbah Parto Sumartono dikeroyok orang di tengah malam, dipukuli pakai linggis.
Sekarang Si Mbah belum bisa bangun..” kata Candi.

Air muka Probosangkoro berubah. ”Parto Sumartono dikeroyok orang..? Mijn God! Waarom..?” Maki si kakek.
”Kenapa..?”

”Kakek kenal Si Mbah Parto Sumartono..?” tanya Candi.
Ja, zeker! Kenapa ada yang menganiaya dia..?”

Setahap demi setahap Candi menceritakan peristiwa penyerangan terhadap Parto Sumartono.
“Waduh..! Benar-benar vervelend orang-orang jaman sekarang.
Sekarang kau baru tau kenapa aku lebih suka menyepi di sini..” ujar Probosangkoro..
duduk sebuah kursi bongkahan batu besar.

”Kau orang mana..?” tanya Probosangkoro.
”Jakarta..!”
”Ja...apa..?”

”Jakarta, kek..! Dulu namanya Batavia..” jelas Candi.
”Oh, bataafsche meisje, heh..?” Kata Probosangkoro.

”Apa itu..?”
”Dara Batavia..” kata Probosangkoro.

”Benarkah kau tidak bisa bicara bahasa Belanda..?” Probosangkoro sulit percaya.
”Sama sekali tidak..”

”Harusnya orang batavia bisa bicara Belanda.. heh, dari dulu perempuan Batavia cantik-cantik.
Apa kau perempuan indo..? Kulitmu bersih..” Tanya Probosangkoro.
”Saya orang Priangan, Kek. Sunda asli..!” Tutur Candi.

”Sekarang pun orang pribumi banyak yang berkulit putih, hidup bersih dan sehat..” kata Candi.
”Ya, ya, kamu harus berterimakasih pada Soekarno. Orang itu yang kasih kamu orang merdeka, bukan..?”
Ujar Probosangkoro terkekeh.. memamerkan gusinya yang melepuh dengan sisa satu dua gigi yang hitam dan kotor.

”Bagaimana kakek bisa bicara bahasa Belanda..?” Usik Candi.
Di luar dugaan.. senyum Probosangkoro tiba-tiba memudar.
Tatapannya menerawan jauh dan nafasnya jadi berat.

Candi menyesal mengajukan pertanyaan yang mungkin menganggu pikiran orang tua ini.
Mata Probosangkoro yang berair menatap Candi.

Ia melepas ikat kepala terbuat dari kain yang sudah tak jelas warnanya.
Rambut putih perak panjang tiba-tiba saja terburai beriring dengan lepasnya ikatan kepala.
Probosangkoro kini terlihat seperti seorang pertapa.

”Ketika aku masih muda, mungkin seusia kau, banyak orang asing, termasuk orang Belanda, datang dan pergi ke desa Kemiren.
Mereka mencari balung butho, peninggalan-peninggalan kuno yang menurut mereka banyak bersemayam di perut Kemiren..”
Probosangkoro berhenti bicara dan memeriksa singkong yang masih terbenam dalam bara kayu dengan sebatang ranting.

”Tepian sungai di seberang itu, tak henti-hentinya digali..” tangan renta Probosangkoro menunjuk ke satu arah..
ke semak-semak yang menghadap tebing curam Kali Randu.

”Pinggiran Kali Randu memang memendam peninggalan sejarah.. yang katanya kemudan terkenal di seluruh dunia.
Banyak pemuda desa juga ikut terlibat dalam kerja penggalian sebagai buruh gali.
Orang asing yang paling lama tinggal di sini adalah Kristoff von Weissernborn. Ia menggali siang malam..
selama hampir lima tahun. Aku salahsatu pemuda yang membantunya. Upahnya sehari sekeping uang kuningan..
yang cukup buat makan sekeluarga selama dua hari.
Hasil galian dibawa ke balai desa lama yang sekarang ditempati Parto Sumartono..”

Probosangkoro berhenti bicara. Ia menusuk-nusukkan ranting lagi ke arah singkong bakar..
untuk melihat apakah singkong bakar siap disantap.
Candi membetulkan tempat duduknya, mulai menikmati dongeng si kakek.

”Suatu sore, ketika aku dan Parto menggali.. di antara bongkahan tanah..
cangkulku menderak beberapa kepal batu keras berbentuk aneh. Aku menunjukkan pada Parto.
Parto kemudian meneriaki von Weissernborn yang sedang memimpin penggalian..
agak jauh dari pinggiran Kali Randu bersama seorang pemuda desa bernama Kuntoro..” kata Probosangkoro.

”Bongkahan batu itulah yang kemudian dikenal sebagai fosil rahang phitecanthropus erectus..
yang dicari-cari von Weissernborn..” Probosangkoro berhenti bicara.
Ia mengais singkong dari bakaran dan mengumpulkannya pada selembar daun segar.

”Lalu, kek..?” Tak sabar Candi ingin si kakek terus berkisah.
”Von Weissernborn kemudian menghadiahi aku dan Parto sepuluhkali lipat upah biasa. Parto senang, tapi aku tidak..”
Probosangkoro tertunduk, wajahnnya bertabur duka.

”Kenapa, Kek..?” Tanya Candi.
”Tigabelas hari kemudian.. setelah von Weissernborn membawa balung-balung butho itu ke Bandung dengan kereta api..
aku selalu bermimpi buruk. Setiap malam aku merasa didatangi seorang besar dengan tubuh penuh bulu.
Rahangnya menyeringai, bertaring pendek dan berjalan membungkuk..”

”Menurut Kakek, siapa mahkluk itu..?” Tanya Candi.
”Entahlah. Tapi dalam mimpi-mimpiku makhluk itu bilang ia sudah mati beratus-ratus ribu tahun lalu..
dan menghuni tanah Kali Randu dengan damai. Ia minta bagian-bagian tulangnya tidak dipindahkan dari tempatnya.
Aku turut berdosa memindahkan tulang-tulang itu dari kuburnya yang abadi.
Semula aku tahan dengan mimpi-mimpi buruk itu, tapi setahun lebih kemudian, ketika istriku mati tanpa sebab jelas..
aku benar-benar tak tenang..” Probosangkoro tertunduk.

”Lurah tua, bapaknya Parto Sumartono yang memberi ijin von Weissernborn..
untuk membawa fosil-fosil itu keluar Kemiren juga meninggal dua tahun kemudian.
Itulah sebabnya.. ketika von Weissernborn kembali dari Bandung dan berniat memberi hadiah padaku..
aku bikin perjanjian dengan Parto Sumartono..”

”Perjanjian apa..?” Sela Candi. Probosangkoro tak lekas menjawab. Ia pandangi Candi sedemikian rupa..
seolah ingin terlebh dahulu memastikan gadis ini bisa dipercaya untuk menyimpan sebuah rahasia.

Orang tua itu menarik nafas beberapa saat sebelum bicara. ”Sebetulnya.. akulah Parto Sumartono..
Dan Si Mbah Parto Sumartono yang kau kenal itu adalah Probosangkoro..” kata si kakek.
Candi tertegun, sulit mempercayai informasi di luar dugaan itu.

”Kau boleh tak percaya. Kami bertukar nama. Aku relakan penemuanku diakui orang lain. Aku yang minta itu..”
Probosangkoro menatap Candi, dan berjalan ke arah gubuk.

Dari baling dinding keropos gubuk, ia meraih sebuah foto kusam.
Ia menunjukkan foto dirinya dan foto seorang pemuda lain yang mirip dirinya berdiri mengapit seorang bertampang bule.

”Yang di tengah itu von Weissernborn..” Probosangkoro menunjuk.
“Yang di kanan Probosangkoro asli, dan yang kiri Parto Sumartono asli.."

“Jadi, si Mbah Parto Sumartono itu sebenarnya adalah Probosangkoro. Dan Kakek ini adalah Parto Sumartono..?“ Tegas Candi.
“Ya..” Probosangkoro menelan ludah.
“Apakah von Weissernborn tau ini..?“ tanya Candi.

“Tidak. Ia selalu mengalami kesulitan membedakan aku dan Parto. Lihatlah, wajah dan perawakan kami memang sulit dibedakan.
Ketika pecah perang Jepang dengan Belanda, sebagian pemuda bergabung dengan tentara Jepang, dan aku memilih menyepi di sini.
Probosangkoro kuminta menempati balai desa dengan Nama Parto Sumartono.. sementara orang-orang mengira aku ikut berperang..
bersama tentara Jepang dan tewas di medan perang. Von Weissernborn tak tau kesepakatanku dengan Parto Sumartono.
Ia mengira Probosangkoro itu benar-benar Parto Sumartono..” Kakek itu menatap dengan pandangan kosong.

Meski lamban, Candi berusaha memahami logika cerita sang Kakek.
Untuk sementara, tak alasan lain selain percaya pada kisah tak terduga orang tua ini.

”Tak usah kau terpengaruh ceritaku. Tetap saja sebut aku Probosangkoro, sebagaimana aku tadi mengenalkan diri padamu.
Dan aku berharap kau rahasiakan keberadaanku di sini. Aku tau kau bisa dipercaya..”

Candi iba melihat airmuka orang tua itu. Meski terlihat sedih..
kerut kulit dan bercak renta kakek ini seolah menyiratkan kelegaan ketika sebuah rahasia panjang telah tertumpah.

”Saya benar-benar ingin tau..” Candi duduk mendekat, ”Kenapa kakek mau menceritakan ini pada saya?”

Probosangkoro mengusap mata. ”Aku telah mengasingkan diri hampir tiga perempat umurku. Mataku telah lamur..
gigiku ompong, tulangku makin lemah, dan tubuhku gemetar. Ini pertanda ajal siap menjemput.
Bukan tidak mungkin kaulah orang terakhir yang kulihat sebelum aku menutup mata selamanya..” tutur Probosangkoro.

Candi tak berkata-kata. Pertemuan dengan kakek ini sungguh menambah keruwetan misteri desa ini.
”Aku sedih Parto dianiaya orang..” kata Probosangkoro.

Candi tadinya hendak menceritakan soal surat dari Belanda yang diterima Pak Lurah.
Tapi ia kuatir ini hanya akan menambah gundah Probosangkoro.

”Nah, ketela ini sudah siap dimakan. Ambillah..”
Probosangkoro menjumput satu bongkah ketela pohon dari pembakaran.

Ia juga memberikan sebuah daun lebar untuk alas makan.
Candi meniup-niup ketela yang masih panas mengepul dan makan sedikit demi sedikit.

”Kini aku lega. Kabarnya orang desa punya penghasilan baru dengan menjual barang-barang kerajinan mirip peninggalan purbakala.
Aku senang penggalian ini bisa membawa berkah di saat kemarau panjang tak mampu menyuburkan tanah.
Lariskah dagangan orang-orang itu..?” Tanya Probosangkoro.
”Lumayan..” jawab Candi mengunyah ketela rebus.

Probosangkoro menyimak berkeliling dan menatap Candi. ”
Sebentar lagi sore. Sebaiknya kau segera pergi. Kau tau jalan keluar dari sini?” tanya Probosangkoro.
”Tidak..!”
”Ini agak sulit. Tapi harus dicoba..” Probosangkoro berdiri dan menunjuk ke kiri.

”Kau susuri semak-semak liar itu menuruni bukit. Tak ada bekas tapak kaki.
Kau harus gunakan akal dan kecerdasanmu. Nanti kau akan tiba di pinggiran sungai di lembah sana.
Dari lembah itu kau harus susuri sungai ke arah kanan, lalu berbalik ke arah matahari tenggelam..
sampai ketemu jalan setapak yang akan mengantarmu ke arah jalan setapak lebih besar.
Ikuti terus sampai menemukan jalan besar..” kata Probosangkoro.

”Baiklah..” Candi menyeka mulut. Ia menjamah kamera dan menyiapkan lampu kilat.
”Apa itu..?” Tanya Probosangkoro.

”Alat potret. Saya mau ambil gambar kakek dan gubuk ini..”
Nee. Nee. Niet doen! Jangan lakukan itu..” mata Probosangkoro melotot. Rupanya ia menolak dipotret.
Candi menyesal tak sedari tadi ia mencuri-curi memotretnya.

Candi mengurungkan niatnya. ”Saya pergi dulu, Kek..!” Kata Candi.
”Cepat pergi, dan ingat jangan pernah sebut namaku dan lokasi gubuk ini.
Aku sudah cukup senang tinggal di sini sampai akhir hayat..” kata Probosangkoro.

”Saya berjanji. Terimakasih ketela bakarnya. Enak sekali..”
Perlahan candi melangkah ke arah semak-semak yang dimaksud Probosangkoro.

Ia menoleh ke belakang dan mencari peluang memotret si kakek dari kejauhan.
Sejumlah jepretan ia buat. Sayang ia tidak membawa lensa jauh.
Namun, gambar Probosangkoro di depan lingkungan gubuknya yang asri dari kejauhan itu cukuplah sudah.

Candi kemudian menyapukan pandangan beberapa saat lamanya ke arah ruang terbuka yang sempit di seputaran gubuk.
Tatapan terakhir ke arah Probosangkoro merupakan cara yang ia sukai untuk berpamitan kepada orang tua itu.

Setengah jam lamanya Candi menghabiskan waktu untuk menembus perdu-perdu liar..
dengan pohon-pohon besar tanpa adanya petunjuk jalan.

Benar kata si kakek, ia perlu akal sehat, kecerdasan, dan matahari untuk bisa menemukan jalan dan tidak tersesat.
Kalau ia tersesat tanpa sinar matahari, akan kacaulah perjalanan pulang ini.
Bermalam di hutan sendirian tanpa makanan bukanlah ide yang baik.

Beruntung, pada saat hari mulai redup ia baru sampai di lembah di kaki tebing-tebing pinggiran Kali Randu.
Dengan petunjuk sisa-sisa pendar sore sinar mentari..
ia berharap bisa sampai di jalan besar menuju ke rumah Bu Parmi sebelum hari benar-benar gelap.

Sepanjang perjalanan, otak Candi dikecamuki berbagai pikiran.
Akankah Probosangkoro menjadi cerita besar untuk Rio dan Danica.. dan mungkin juga untuk Pak Lurah.
Atau untuk seluruh desa Kemiren..?

Dan pikirannya kini tertuju pada Rio. Kalau ia sendiri terselamatkan dari cengkeram di jebah karena terperosok ke jurang..
Bagaimana dengan nasib Rio yang diuber-uber si celana longgar..?

Candi ingin segera tau kabar Rio.
------ooOoo------

Rio tak terbiasa berputus asa. Tapi kali ini benar-benar ia habis akal. Ia sudah berputar-putar di sekitar Kali Randu tigakali.
Tapi sama sekali ia tak menemukan jejak Candi. Sejak meninggalkan Bu Lurah di jajaran kaliandra tadi, ia tak berhenti mencari.
Apa yang terjadi dengan gadis ini..? Di mana dia.?

Rio menatap langit. Sebentar lagi gelap total. Di sekeliling tak ada rumah penduduk.
Cuma jalan setapak yang mulai kelihatan kelam. Rerimbunan pohon makin membuat senja menjadi remang.

Kini yang terbayang di benak adalah bayangan wajah Candi.
Dalam hati ia berjanji, kalau ada apa-apa dengan gadis itu, tak segan-segan Rio akan menguliti si jebah.

Darah Rio seperti tersirap manakala semak-semak di depannya bergoyang.
Ada orang menerabas pepohonan liar itu dengan cepat. Seketika Rio sigap. Bulu kuduknya meremang.

Di luar dugaan, goyangan semak-semak berhenti mendadak. Tapi gesekan-gesekan kecil masih terdengar.
Rio berpikir inilah saatnya kewaspadaan berada pada beban puncak.
Dua orang pengeroyok yang siang tadi beraksi sudah jelas tak puas atas kelolosannya.

Liar mata Rio bergerak ke kanan dan ke kiri. Tak ada senjata. Tapi kemudian ia menemukan ide.
Bongkahan batu bukan gagasan yang buruk buat senjata darurat.

Perlahan ia menurunkan tangan sambil tetap mencermati setiap gerakan di semak-semak.
Dua bongkah batu sebesar kepalan tergenggam di kanan dan kiri.

Manakala semak-semak bergerak lagi, seketika itu Rio menyiapkan batu dalam posisi lontar.
Sekali bajingan itu muncul.. mukanya tak ayal lagi tergempur barang padat itu.

Tapi tak segera musuh datang dari semak-semak.
Rio jadi ragu apakah benar-benar manusia yang berada di balik rerimbunan itu.

Untuk memastikan kemasygulannya, ia berteriak. “Siapa di situ..? Keluar atau kubogem batu..” hardik Rio.
Di luar dugaan, selarik suara wanita menyambar. “Rio..? Kaukah itu..? Candi ini..!”

“Astaga, Candi, ya..?” Rio menurunkan batu di genggaman. Sesosok tubuh muncul menguak dedaunan padat.
“Apa pula yang kau lakukan dengan batu siap dilempar..?” Tanya Candi..
mengomentari Rio yang berdiri dengan posisi sangat konyol.

“Benar-benar kaukah itu..?” Masih tak percaya Rio pada pandangannya.
“Sialan. Tentu saja ini aku. Kau pikir aku hantu..?”

“Syukurlah itu kau..” Rio berseru lega, “Kau baik-baik saja..?”
“Tak kurang suatu apapun..” kata Candi.

“Bagaimana kau bisa selamat dari kejaran orang pejal bermuka jebah itu..?”
“Gampang, asal kau rajin ikut latihan fitness seperti yang selama ini kulakukan. Kau sendiri bagaimana..?”
Candi mengamati Rio yang tampak dekil.

“Agak panjang ceritanya; sepanjang ceritamu barangkali. Tapi kita mesti tinggalkan tempat ini.
Sudah gelap sekarang..” ajak Rio.

“Ayolah..” kata Candi, “Well, aku senang kau selamat.”
“Aku juga, tak lepas pikiranku padamu..” ujar Rio mulai bergegas.

Ia diam sejenak, menunggu Candi bicara. Tapi gadis itu tak mengucapkan sepatah katapun.
Padahal Rio menantikan sebuah ucapan, yang kurang lebih sama dengan ucapannya pada Candi barusan.

“Kamu bilang, kau tak lepas khawatirkan aku..?” Tanya Candi, setelah beberapa menit Rio menanti.
“Ya..” jawab Rio bersemangat.

“Sayang sekali, aku tak terlalu memikirkanmu..” tutur Candi, bernada seloroh.
“Aku tak minta komentarmu..” Rio bersungut. “Gila.. jalanan begitu gelap, kita bisa kesasar..”
“Aku bawa lampu baterai..” Candi mengeluarkan sebuah lampu senter mungil, dan menebarkan sinar ke jalan.

Sepanjang perjalanan, dengan suara perlahan Candi menceritakan seluruh kejadian.
Mulai melorot ke jurang sampai Probosangkoro.

Rio kemudian berkisah pula pengalamannya dengan si celana longgar, juga pertemuannya dengan Kuntoro.
Tapi perjumpaannya dengan Bu Lurah sengaja ia tutup rapat-rapat.

Selebihnya mereka tak banyak bicara ketika mereka hampir sampai di rumah Si Mbah.

CONTIECROTT..!!
-----------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd