Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Kompilasi] Rumput Tetangga 'Nampak' Selalu Lebih Hijau.. (CoPasEdit dari Tetangga)

Bimabet
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 09

“Kau percaya orang tua
bernama Probosangkoro itu adalah Parto Sumartono..?”
Bisik Rio di telinga Candi, sembari melempar kemasan rokok di meja pendek di ruang depan rumah Si Mbah.

Gadis itu tak segera menjawab.
Ia asyik sekali memeluk gelas teh hangat dan menempelkan kehangatan gelas itu ke pipinya.

“Tadinya tidak. Tapi cerita kakek itu logis. Lagipula, ia bisa bicara bahasa Belanda.
Sangat mungkin ia Parto Sumartono yang asli. Ia lebih sering berhubungan dengan von Weissernborn..”
Tajam Candi berbisik, sambil mengunyah biskuit.

Rio menatap Candi. “Apa lagi yang diceritakan orang tua itu..?”
“Semuanya sudah kuceritakan padamu. Makin ruwet, bukan..?” Ujar Candi.

“Ya. Kalau benar-benar utusan Yayasan von Weissernborn datang dan menemukan bukti itu..
berarti mereka memberikan uang hibah pada orang yang salah..” ucap Rio.

“Lalu apa usaha kita..? Menceritakan yang sebenarnya pada Pak Lurah..?
Padahal kakek Probosangkoro wanti-wanti agar aku tak panjang lidah membongkar rahasianya..” tukas Candi.

Rio tak menyahut. Terlalu mendadak informasi ini untuk ditimpali reaksi.
“Aku tak menduga desa ini tenyata menyimpan seribu satu teka-teki..” Rio bicara sendiri.

“Soal Kuntoro, orang yang menyelamatkanmu itu, bagaimana ia bisa membuat si celana longgar menyingkir..?”
“Boleh jadi karena Kuntoro adalah salahsatu dari sekian sesepuh desa yang disegani. Itu wajar..” kata Rio.

“Kakek misterius itu juga sempat menyebut nama Kuntoro..” sela Candi kemudian.
“Oh ya..?” Bersemangat Rio bertanya.

“Ya. Kuntoro adalah salahsatu pemuda yang sedang bersama von Weissernborn..
tatkala Parto dan Probosangkoro menemukan fosil berharga itu..”

“Itu cuma suatu kebetulan, kukira..” timpal Rio.
“Ya, mudah-mudahan begitu. Kalau tidak, makin rumit saja teka-teki ini..”
Rio mengisap rokok dan melirik arloji. Sudah sepuluh menit melewati delapan malam.

Di luar.. penjagaan makin ketat dan rapat. Senjata yang dibawa, tak lagi cuma pentungan dan kelewang.
Kini ada besi lancip panjang, ada pedang, ada clurit dan sejumlah gobang.
Penduduk desa, agaknya sudah bertekad menggelar total war pada para penyelinap gelap.

Rio menguap, bersamaan dengan nyala lampu tekan yang meredup-redup.
Gas lampu itu, pasti menurun. Rio baru saja hendak menambah pompa lampu tekan ketika tiba-tiba ada suara di pintu.

”Nuwun Sewu..!” Candi menoleh. Seorang lelaki tua, berkemeja batik, berkacamata dan bertongkat..
berdiri di pintu dengan santun.

Segera Rio mengenali sosok ini. ”Pak Kuntoro..” Rio berdiri menyambut. Candi mengernyitkan alis.
Macam cerita lenong saja; orang yang baru dibicarakan, mendadak muncul.

”Saya bermaksud menjenguk si mbah Parto. Sejak tiba kembali di desa tadi pagi, saya belum menjenguknya..”
ujar Kuntoro, lelaki tua itu.

”Silakan, Pak. Langsung saja..” ajak Rio, ”Oh, ya. Nama saya Rio. Ini Candi, teman yang saya sebutkan tadi..”
Rio memperkenalkan Candi. Candi membalas uluran tangan Kuntoro yang lebih dulu diajukan.

”Ini gadis yang kau bilang kau cari-cari tadi..?” Tanya Kuntoro simpati..
”Syukurlah, kau menemukan temanmu ini. Sayang kalau hilang. Ia cantik, seperti cucuku..” seloroh Kuntoro.
Candi tersenyum. Cukup pintar orang tua ini bikin celetuk segar.

Tak lama kemudian Kuntoro lenyap di pintu kamar si mbah.
Ada setengah jam ia menghabiskan waktu untuk mengamati dan berbicara dengan istri Sujarno di bilik Si Mbah.
Sujarno sendiri sejak tadi pagi tak tampak. Kata istrinya, tak biasa Sujarno pulang malam dari kota kecamatan.

Ketika Kuntoro muncul kembali di ruang depan, Rio sudah siap dengan ucapan terimakasih, yang siang tadi lupa disampaikan.
”Kalau tak ada bapak, tadi siang saya sudah babak belur..” Rio mempersilakan Pak Kuntoro duduk di antaranya dan Candi.

Kuntoro tersenyum.. ”Kalau tidak ada nak Rio, nasib Si Mbah makin tak keruan lagi..” ujarnya, kebapakan sekali.
”Bapak bisa saja..” kata Rio.

”Betul, Nak Rio. Seluruh orang desa berterimakasih pada Nak Rio. Si Mbah itu salahsatu kebanggaan desa ini.
Jasanya amat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Sebagai penduduk Kemiren dan tetangga dekat Si Mbah sejak bertahun-tahun lalu, saya amat bangga pada si mbah.
Kau lihat kemajuan Kemiren dengan kerajinan fosil itu?” ucap Kuntoro.
”Ya..” timpal Rio.

”Sedikit banyak itu karena jasa Si Mbah, yang senantiasa memompa masyarakat untuk menelateni hikmah kekayaan Kemiren.
Penggalian-penggalian lain mungkin tak akan menghasilkan karya-karya besar..
seperti yang ditemukan Si Mbah bersama von Weissernborn. Tapi wisatawan yang datang untuk membeli kerajinan..
’kan merupakan hikmah terselubung..?” Kuntoro tersenyum.
Kumis warna perak yang tipis rapi memberi aksentuasi kearifan wajahnya.

”Orang yang menyerang saya tadi, apakah orang Kemiren juga, Pak..?”
Rio mengajukan pertanyaan yang sedari tadi ingin diajukan.

Kuntoro menaikkan alis. ”Itu yang saya herankan. Kenapa di zaman seperti ini masih ada begal.
Tapi di sekitar Kali randu memang ada satu-dua pengangguran yang kerjanya menganggu orang..” jelas Kuntoro.

”Kelihatannya mereka segan pada Pak Kuntoro..” kata Rio.
”Kebetulan saja. Saya sering suruh orang bagi-bagi beras di sekitar Kali Randu.
Mungkin itu salahsatu orang yang biasa terima sedekah dari saya.
Mereka takut kalau saya tidak bagi-bagi beras lagi..” ujar Kuntoro.

”Bapak tinggal di sekitar sini..” tanya Candi tiba-tiba.
”Rumah saya ada belakang rumah di seberang jalan itu..” Kuntoro menunjuk ke arah luar.

”Saya baru bisa menjenguk Si Mbah malam ini.
Tadi pagi sampai sore saya harus memeriksa sebidang tanah saya dekat Kali Randu..” kata Kuntoro.

Ia kemudian menatap arloji kuno yang melingkar di pergelangan tangan kanan.
”Senang sekali di sini banyak orang berjaga. Saidun kabarnya diopname di kota kabupaten..?” Ujar Kuntoro.

”Betul. Kata orang-orang lukanya cukup parah. Untunglah Pak Lurah menanggung semua biayanya..” ulas Rio.
Kuntoro mengangguk-angguk.

”Oh, ya, apa yang kalian orang-orang muda ini lakukan di desa ini..?” Tanya Kuntoro kemudian.
”Saya mahasiswa antropologi, sedang menulis laporan tentang sejarah penemuan di Kemiren..
dan teman saya ini Candi, wartawati yang tengah meliput tentang kerajinan fosil di Kemiren..” jelas Rio.

”Hebat..! Saya turut senang. Promosi kerajinan Kemiren harus digencarkan.
Nanti kirimkan korannya pada saya. Koran apa, to?” tanya Kuntoro.
”Tajuk Zaman..!”

”Tajuk Zaman..? Oh ya, saya pernah baca di Jogja.
Bagus, anak muda jaman sekarang memang membanggakan hati..” tutur Kuntoro.

”Wah, tampaknya hari sudah malam. Maaf, saya minta diri dulu. Kalau ada waktu, silakan mampir ke rumah saya..”
Kuntoro melangkah ke pintu. Rio menguntit langkah orang ini yang hilang dalam gelap.

Jam kuno di dinding berdentang sembilan kali. Rio mengantar Candi pulang ke rumah Bu Parmi.
Rio baru ingat Danica belum datang juga.

”Ke mana bule itu kira-kira..? Ia bilang akan kembali ke desa sebelum gelap..” kata Rio.
”Barangkali menginap di kota kabupaten. Pernah ia bilang ia ingin melihat kraton di kota kabupaten..” timpal Candi.

”Ya, sudahlah. Besok pasti nongol. Besok apa rencanamu..?” Tanya Rio.
“Malam ini aku nulis laporan tentang kerajinan.
Besok aku pergi ke kota kabupaten buat kirim email ke redaksiku. Mau nitip apa?”

“Tak ada. Aku mau nulis laporan besok saja, capek sekarang..” Rio merebahkan diri begitu saja di tikar dekat meja.
“Aku mau menulis di sini, mungkin tidur di sini juga..” kata Candi, “tadi sudah pamit pada Bu Parmi..”

Candi menyiapkan kertas, memilih pena bertinta hitam dan memutar ulang rekaman di hape.
Tapi baru dapat dua baris, dia merasakan pelukan Rio di belakang tubuhnya.

“Apaan sih..?” Ttanyanya menggeliat.
“Aku lega kamu selamat..” sahut Rio. “Kukira aku bakal kehilangan kamu selamanya..”

“Ah.. sok romantis kamu..!” Candi mencibir.
“Terserah apa katamu. Tapi beneran, itulah yang kurasakan..” balas Rio.

“Ya, ya, aku tau. Sekarang lepaskan, aku mau nulis..” cetus Candi.
“Tidak mau..” Rio menjawab.

“Kalau begitu, bantu aku menulis..” Candi mencondongkan tubuhnya.
“Males ah..” sahut Rio.

“Terus kamu maunya apa..?” Tanya Candi mulai sedikit sebal.
“Tidak ada..” Rio tersenyum. “Aku cuma mau peluk kamu..” katanya dengan nada konyol.
Candi kehabisan kata-kata untuk membantah.

Beberapa saat mereka berdua larut dalam perasaan masing-masing, perasaan bahagia.
Mereka berdua pun tanpa ragu saling berdekapan untuk beberapa lama. Rio meremas lembut jari-jari halus Candi.

Gadis itu menundukkan kepala ketika Rio menyibakkan rambut pendeknya yang jatuh menutupi sebagian wajah.
Embusan napas Rio terasa hangat di tengkuk Candi karena tubuh keduanya sudah tak berjarak.

Candi menoleh, menatap sendu penuh makna. Entah keberanian dari mana..
Tanpa sadar Rio mengecup dan mengulum bibir indah yang setengah terbuka itu.

Ah.. seperti sudah bisa diduga, Candi sama sekali tidak marah.
Malah dia memberikan reaksi positif dengan membalas ciuman itu.

Maka, dengan penuh nafsu, keduanya berpagutan mesra. Ciuman itu berlangsung cukup lama..
sampai Candi melepaskan pelukan dengan muka merah dan napas terengah-engah.

“Rio, jangan..! Kita tidak boleh melakukan ini..!”
Katanya setengah berbisik sambil berusaha melepaskan rengkuhan.

Tapi Rio bertahan, tak akan ia lepaskan gadis cantik ini. Bibir Candi terasa begitu manis dan lembut.
Rio sangat menikmatinya. Lagipula, sudah kepalang tanggung.. pikirnya.

“Kenapa, Can, apanya yang tidak boleh..?”
Sahut Rio sekenanya sambil mendaratkan kecupan di leher Candi yang jenjang.

Sejenak Candi meronta-ronta kecil berusaha menghindari kenakalan bibir Rio pada leher mulusnya..
sementara tangan pemuda itu tengah meremasi kemontokan buah dadanya yang masih terbalut bra tipis.

Beberapakali tangan halus Candi mencoba untuk menepis.. tapi segera jemari Rio kembali ke tempat semula.
Sampai sesaat kemudian perlawanan Candi berhenti..
dan berubah menjadi desah nafas memburu serta geliatan tubuh yang gelisah.

Rio pun mengendurkan serangan.. kecupan bibirnya diperlembut.
Demikian juga remasan tangannya.. berubah menjadi elusan lembut pada kulit payudara Candi..
kemudian gelitikan mesra pada puting susunya yang terasa sudah mengeras.

"Rio, sssshhh.. a-aku nggak tahan..” bisik Candi pendek, dekat sekali suaranya di telinga.
Dan ouw.. daun telinga Rio dikulumnya, dijilatinya.

"Ikuti saja, Can. Nikmati..” Bisik Rio mesra sambil menarik baju dan tali beha yang menyilang di pundak gadis itu.
Memperlihatkan kesempurnaan bukit montok di depan dada Candi.
Begitu putih dan mulus, dengan puting mungil yang sudah mengeras berwarna merah kecoklatan.

Rio mendaratkan jilatan pada ujung benda itu.. tubuh Candi langsung menggeliat sambil mendesah panjang.
"Ssssssshhh.. aaaahh.. Rio, a-aku.. mmmmmhh!”

Rio tak mempedulikan lagi kalimat-kalimat itu karena nafsunya seperti sudah di ubun-ubun.
Apalagi menghadapi kenyataan ternyata tubuh Candi memang tak layak untuk dilewatkan sesenti pun.

Desah-desah resah berhamburan dari mulut Candi..
Geliatan tubuhnya sudah menunjukkan kepasrahan kepada birahinya sendiri.

Tangannya mulai melingkar di leher Rio.. rambut pemuda itu ia acak-acak di kala menyusu ke bulatan payudaranya.
Betapa kuat jari lentik Candi mencengkeram kulit punggung Rio..
manakala puting susunya dikulum dalam waktu yang lama.

"Auw, ampuuunn..!” Desah Candi lirih.
Perutnya yang rata berkulit putih dihiasi lubang pusar berbentuk bagus.
Dia menggeliat erotis manakala bibir Rio mengecupinya. Tubuh atasnya sudah telanjang sekarang.

Candi setengah rebah dengan kepala berada di sandaran kursi..
Sementara tangannya terlihat meremasi payudaranya sendiri. Gadis itu mengerang panjang..
Kepalanya mendongak dan menggoyang-goyang lirih ketika lubang pusarnya dikorek-korek mesra oleh Rio.

Tubuhnya yang sintal menggeliat erotis, rupanya di situ adalah salahsatu daerah sensitifnya.
"Ouw, Rio.. jangaaan.. g-gelii..!” Bisik Candi sambil tangannya menahan dagu Rio..
yang berniat mengecupi gundukan kemaluannya dari luar celana dalam yang sudah tampak bebercak basah.

"Kenapa, Can..?" Tanya Rio lembut.
"Sssssshhh.. nanti a-aku nggak tahan..!" Jawab Candi sambil berusaha menarik tubuh Rio ke atas.

Tapi Rio tak peduli, dia sudah terlanjur bernafsu.
Selanjutnya tanpa permisi, celana dalam Candi ia singkap ke samping. Fuih..!

Sebuah gundukan kecil yang dibelah tengah dengan rambut kemaluan yang tidak begitu lebat..
kini tampak di depan matanya. Sebuah bentuk luar kemaluan wanita yang jarang sekali dipakai. Indah sekali..!
Belahan yang basah dengan warna memerah yang berdenyut-denyut pelan.

Tak ayal lagi lidah Rio terjulur untuk menyapu dan mencicipinya.
Ia jilat cairan yang mulai terlihat membasahi vagina indah itu.
"Aaaaahhh.. Rio..! Kamu bandel..” erang Candi dengan tubuh semakin menggeliat hebat.

Sepasang kaki panjangnya kian terkangkang lebar;
Kaki sebelah kiri terjuntai ke lantai yang beralaskan tikar pandan..
Sedangkanb kaki sebelah kanannya ditumpangkan di atas sandaran kursi.. setelah Rio melepas celana dalamnya.

Rambut pemuda itu ia acak-acak sambil sesekali tangannya yang gemas mencengkeram erat kulit pundak.
Ini membuat Rio semakin kesetanan.. ditambah aroma vagina Candi yang segar dan wangi, dia jadi makin ketagihan.

Bibirnya segera menciumi bibir vagina Candi berulang-ulang.. layaknya menciumi mulut.
Sementara lidahnya menyelip memasuki liangnya yang basah dan menusuk masuk sampai sedalam-dalamnya.

Sesekali juga Rio mengulum klitoris mungil Candi yang sudah mulai mengeras.
"Rio, ampuuuunn.. nikmat sekali..” Candi merintih-rintih dengan suara merengek seperti orang mau menangis.

Pinggulnya yang bulat bergerak-gerak merespon ulah lidah dan bibir Rio yang terus menyerang di daerah selangkangannya.
"Ooowwh.. Rio, sudah.. aku tak tahan..” rengeknya semakin memilukan.

Dan tiba-tiba gadis cantik itu bangkit dan mendorong lembut tubuh Rio yang tengah bersimpuh di depan vaginanya.
Rio mengikuti saja apa yang Candi inginkan. Dia telentang di tikar sedangkan Candi mengikutinya..
Sehingga kini tubuh mereka saling menempel dan bertindihan mesra.

Payudara Candi yang montok dan kenyal kini menempel ketat di dada Rio.
Wajah mereka begitu dekat hingga Rio bisa melihat dengan jelas paras cantik Candi yang tengah diamuk birahi.
Ough.. gadis itu terlihat begitu mempesona.

"Rio, aku masukkan ya..?” Desis Candi dengan bibir indah gemetar.
Alis lentik di atas mata bulatnya mengernyit, sementara matanya kini agak menyipit dan menatap Rio sendu.
Dia yang tadi bilang jangan, kini malah meminta untuk dimasuki.

Rio pun mengabulkan karena memang inilah yang ia tunggu-tunggu sedari tadi.
Pelan dia mendorong ke atas batang penisnya. Slebb.. clebb..

"Ouughhhh.. pelan, Rio. Sssshhhhh.. nyeri..!!” Keluh Candi sambil mempererat pelukan.
Uhhhhh..!! Rio merasakan liang senggama Candi sangat sempit sekali. Burungnya kesulitan untuk menembus.

Candi yang sudah sangat bersemangat untuk menuntaskan gairah binalnya, mulai memutar-mutar pinggul..
Berharap dengan begitu Rio bisa lebih mudah melakukannya.

Dengan ekspresi nikmat bercampur kesakitan.. di usahanya yang kelima.. akhirnya.. blessepphh..!!
Amblaslah seluruh batang penis Rio tertanam di liang vagina Candi yang sempit.

"Sssshhh.. ahh, gila! Besar sekali punya kamu, Rio. Hhhh.. hhhhhh..”
Tubuh sintal Candi ambruk ke bawah ketika penetrasi itu berhasil.

Rio mendiamkannya sejenak, memberi Candi kesempatan untuk menarik napas.
Candi diam tak bergerak di atas tubuh kurus Rio dengan napas memburu tak beraturan.

Tubuh sintalnya yang empuk dan hangat menempel erat di atas tubuh pemuda itu.
Rio sudah akan mencium bibirnya saat Candi mengeliat dan mulai menggerakkan pinggulnya.

"Oughhh.." Nyutt.. rrrbbb.. nyutt.. rrbbb.. nyutt.. rrbb.. nyutt.. rrrbbb..
Rio merasakan gesekan-gesekan kecil ketika vagina sempit Candi mengurut-urut lembut batang penisnya.

Dan dia semakin mengaduh manakala merasakan gerakan pinggul Candi menjadi semakin cepat dan kuat.
Rio tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak membalas.

Maka, sambil berpegangan pada buah dada Candi yang bulat, ia ikut mengayunkan batang kemaluannya.
"Rioo, oooohhh.. sssshhhh.. ohhh.. ohhh..!”

Hanya itu desah-desah kalimat pendek yang sering terucap dari mulut manis Candi.
Ia tampak begitu tak tahan menerima tusukan penis Rio di dalam lubang kemaluannya.

Di sela-sela erangan dan rintihannya yang ekspresif, sesekali bibir mereka berpagutan liar.
Remasan gemas tangan Rio pada payudara montok Candi yang terayun-ayun juga semakin kuat seakan tak mau lepas.

"Rio, ohhhhhh.. aku hampir.. ooggghhh..!” Gerakan tubuh Candi semakin tak beraturan.
Kadang ke belakang kadang ke depan.. naik turun.. Uhhhh.. Rasanya memang sangat nikmat sekali.

Pertemuan antara penis Rio dan vaginanya seperti membawa tubuh mereka melayang ke langit ke tujuh.
Rasanya, tak perlu waktu lama bagi tanggul sperma Rio untuk jebol dan membanjiri rahim Candi.

"Tunggu, Can..” desisnya pendek.. dan bagaikan dikomando.. tubuh keduanya serentak meregang.
Rio terpaksa mengayunkan batang kemaluannya sekuat mungkin untuk menghasilkan kenikmatan secara maksimal.

"Aaaaarrgh.. Rioo..! Ammpuuuunn..!” Tubuh Candi menggelepar hebat di atas tubuh Rio.
Kuku jarinya dengan kejam mencengkeram dada Rio sebagai pelampiasan puncak birahi kenikmatannya.

Srrrr.. srrrr.. srrrr.. srrrr..!! Rio merasakan beberapakali semprotan hangat..
Menyiram ujung kemaluannya yang masih menancap kuat di dalam vagina Candi.

Lalu kemudian.. hening semuanya. Rio melihat jarum jam di dinding menunjukkan angka 21.30.
Di luar sana, udara dingin menyergap desa.

Para petugas Hansip memasang mata dan telinga baik-baik dan tak berhenti meronda dengan formasi tiga-tiga.
Sejumlah pemuda desa lain yang tidak secara resmi bertugas juga membantu berjaga dan pasang mata.

Malam itu, desa Kemiren sepertinya tidak bisa terlelap.
Sama seperti Candi dan Rio yang kembali meneruskan kebersamaan mereka setelah sempat beristirahat sejenak.

Kali ini Rio di atas dan Candi di bawah.
Sampai akhirnya sperma Rio meledak di dalam liang kemaluan Candi saat tengah malam tiba.
------ooOoo------

Telah 10 halaman kertas folio penuh tulisan tangan Rio. Kopi di meja tinggal setengahnya.
Candi berangkat ke kota kabupaten satu jam lalu.

Candi merasa aman-aman saja pergi sendiri, toh semalam tak terjadi apa-apa.
Semua penjaga melakukan tugasnya dengan baik.
Satu-satunya laporan pagi itu Cuma berbunyi: dua ekor kucing berkelahi di atas rumah Bu Parmi.

Danica belum juga tampak batang hidungnya. Rio bertanya-tanya kenapa si bule belum muncul juga.
Atau jangan-jangan ia ketakutan dan memilih menyingkir dari Kemiren..?

Hari masih pagi, sekitar pukul 10.
Rio melintas rumah Si Mbah untuk menuju ke kamar kecil tak jauh dari rumah Bu Parmi.

Halaman belakang itu benar-benar sepi. Seusai buang air, Rio menyapukan pandangan.
Sepi sekali, semua orang sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

Angin yang berdesir di pepohonan terdengar jelas.
Halaman belakang rumah Bu Parmi yang berpagar pepohoan rimbun tampak hening.

Tiba-tiba ia melihat sekelabat bayangan cerah di halaman belakang rumah Bu Parmi. Itu mungkin Candi.
Sosok itu bergerak ke pintu belakang rumah Bu Parmi.

Rio menghampiri pintu dan membukanya. Tak ada suara orang.
Tapi manaka Rio menerobos dapur dan masuk ke ruang tengah..
yang remang hanya dengan sebias cahaya lewat genting kaca.

Ia tertegun sejenak. Hidungnya menangkap aroma rempah-rempah.
Tadinya ia hendak berbalik ke pintu belakang rumah, tetapi aroma itu mengingatkannya pada seseorang.

”Dik Rio..! Aku kira siapa..!” Seutas suara mengangetkannya.
Bu Lurah duduk di kursi dekat meja, memperhatikan. Rio terpana sesaat. Bu Lurah tampak tak biasa pagi itu.

Ia mengenakan busana perempuan kota, rok span ketat sebatas lutut dan blazer berwarna hijau tosca.
Satu hal yang membuat Rio terdiam sesaat adalah betapa menariknya perempuan berkulit cerah ini..
Dengan rambut ikal terurai sampai ke bawah bahu.
Rambut itu tidak disisir terlalu rapi, tapi justru membuatnya tampak ayu.

”Bu Lurah..! Saya pangling..” Akhirnya Rio bisa bicara..
Masih berdiri mematung agak jauh dari tempat Bu Lurah duduk. Bu Lurah cuma tersenyum.

”Kok Bu Lurah di sini..?” Tanya Rio.
”Sekali-sekali saya mampir rumah ibuku. Barusan saya dari pasar kecamatan. Capek, mau istirahat dulu.
Bu Parmi masih belanja ke kota kecamatan, membelikan tole seragam sekolah..” kata Bu Lurah.

”Tadi saya kira Candi yang masuk ke sini..” ujar Rio.
”Kata Bu Parmi, Candi ke kota kabupaten. Jauh lo, baru nanti sore pulangnya..” ujar Bu Lurah.

”Ya, saya tau. Baiklah, Bu Lurah. Saya permisi dulu..” Tak enak Rio berdiri mematung begitu..
Apalagi bila teringat pertemuan mereka kemarin yang begitu panas dan membara.

”Mari, Bu..!” Rio berbalik.
”Sebentar to, Dik Rio..!” Tahan Bu Lurah, matanya menatap Rio penuh minat.
Ia berdiri, setelah mengeliat dengan memajukan dada dan menekan pinggang.

Rio melihat perempuan ini berjalan melintasinya dan menutup pintu belakang rumah dari dalam.
Dia tak merasa heran saat tau Bu Lurah menutup pintu, dan menguncinya.

”Suka banyak kucing liar masuk rumah lewat belakang sini. Saya tutup pintunya..” kata Bu Lurah.
Rio paham soal kemungkinan kucing masuk, itu hanya akal-akalan saja.

”Kebetulan Dik Rio di sini. Mau ada yang aku tanyakan. Saya baru beli obat sesak nafas buatan Cina untuk Pak Lurah.
Petunjuknya dalam bahasa Inggris. Dik Rio ’kan pinter bahasa Inggris, tolong bacakan, ya..?”

Bu Lurah mulai mencari-cari sesuatu dari tasnya di atas meja.
Rio tak menjawab. Ia menunggu Bu Lurah menemukan kemasan obat yang dimaksud.

Diam-diam Rio menatap postur tubuh Bu Lurah dari belakang.
Sungguh wanita ini nampak terlalu muda untuk usianya yang di kisaran 37 tahun.

”Di mana ya kertas itu tadi..?” Bu Lurah beralih ke sebuah ranjang tidur tanpa penyekat, sekitar 3 meter dari kursi.
Ia membolak-balik bantal di ranjang itu.
”Ini dia kertas petunjuknya..” Bu Lurah duduk di pinggiran ranjang. Sibuk ia membuka kertas petunjuk obat itu.

”Apa ya isi petunjuk obat ini?” Bu Lurah mengunjukkan kertas petunjuk itu tanpa berdiri. Rio termangu.
Ingin ia mendekat, tapi masih sungkan. Tapi mata Bu Lurah mengisyaratkan agar ia tidak malu-malu.

”Kemari, Dik. Tolong baca..!” Rio akhirnya mendekat juga, dan menerima kertas itu dari tangan Bu Lurah.
Rio berdiri tak jauh dari Bu Lurah mengamati kertas petunjuk yang berbahasa Cina dan Inggris itu.

Ia tak melihat kesibukan kecil Bu Lurah yang melepas blazernya..
Menyisakan busana atas berbahan kaos tanpa lengan warna merah maroon dan pinggiran atas yang rendah.

Rio melirik sedikit bahu bersih dan lengan kencang milik Bu Lurah.
Sungguh luar biasa perempuan desa bisa memiliki kulit secerah dan sekencang itu.
Kemarin dia tidak sempat memperhatikannya karena terlalu terburu-buru.

”Kalau siang, desa ini panas sekali..” ujar Bu Lurah mencampakkan blazernya.
Ia menengadah, berusaha mencari angin untuk lehernya. Kedua tangan Bu Lurah menopang tubuh dari belakang.

Percik debur mulai menyesaki dada Rio.. tak mengingkari pesona perempuan ini..
membuat jantungnya jadi berdetak hebat.

Rio mencoba menekuni kertas itu sambil matanya sesekali melirik penuh minat. Di bawah..
penisnya perlahan mengacung dan menegang kencang, teringat bagaimana emutan Bu Lurah kemarin sore.

”Aku tak bisa dengar suaramu dengan baik, duduk di sini biar lebih jelas..”
Bu Lurah menepuk kasur tak jauh darinya dengan tangan kiri.

Rio seperti tersihir langsung duduk di situ. Dekat sekali ia dengan Bu Lurah.
Perempuan ini mendekatkan kepala ke arah Rio.. seolah ingin bergabung membaca kertas petunjuk itu.
Huffh..! Nafasnya menyapu leher Rio.

”Obat ini harus diminum sehari tigakali, pagi siang dan malam..” ujar Rio. Dengan jarak sedekat itu..
Rio bisa melihat Bu Lurah mengais minggir bagian kain busana yang melintangi pundak kiri dan kanannya.

”Gunakan sendok teh, satu sendor tiap minum untuk anak-anak, atau satu sendok makan untuk orang dewasa..”
Rio terus menerjemahkan.

Bu Lurah tak bersuara, mungkin juga tak mendengar hasil terjemahan Rio.
Separuh dadanya dari atas sudah terbentang.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
-----------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi


Bagian 10

”Dik Rio!” panggil Bu Lurah.
Rio menoleh.
Darahnya tersirap. Dada itu bercahaya, penuh dan menggoda.

Tatapan Bu Lurah makin membuat darah Rio mendidih.
Mati-matian ia mencoba menghindari tatapan mata itu.

”Eh.. err.. s-saya.. mohon maaf. Saya bawa dulu kertas ini. Nanti saya tuliskan terjemahannya..”
Rio berusaha berdiri dari duduknya. Tapi cepat tangan Bu Lurah menangkap tangan pemuda itu.

”Bu Lurah..!” Kata Rio, tak jelas panggilan itu untuk apa.
Tapi ia tak melepaskan tangannya dari cekalan Bu Lurah.

Bu Lurah tiba-tiba menggerakkan tangan kanan.. meraih sebuah gagang kayu..
sejauh jangkauan tangan kanan di depannya dan menyeret sebilah pintu yang merupakan penyekat ruang tidur.
Rio baru tau itu tadi gagang pintu geser.

Seretan bilah pintu geser itu membuat kamar tertutup sepenuhnya. Ruangan makin remang.
”Namaku Praptiwi. Kau boleh panggil aku ’Mbak Prapti’ atau ’Prapti’ saja..”

Perlahan tangannya menghela tangan Rio makin dekat agar Rio duduk kembali.
Ia mendengar nafas Bu Lurah mulai tak teratur.

”Aku memang tidak muda lagi. Tahun depan 38 tahun. Aku tau kau jauh lebih muda..” ujar Praptiwi.
”Lupakan kertas itu, Rio. Aku tidak mau berpura-pura lagi. Aku menginginkanmu.
Sangat menginginkanmu..” Makin kuat tangan itu menghela tangan Rio dengan segenap pesonanya.

Rio mengikuti helaan itu.
Ditatapnya balik mata yang memandang syahdu dan bergelora itu yang tak surut membuatnya terpana.

”Aku tau ini aneh. Tapi aku juga tau kau tak akan menampikku. Aku bisa baca dari sorot matamu.
Kau pun pasti sama inginnya denganku.. buktinya kamu mau melayaniku kemarin sore meski tidak tuntas..”
Auara Praptiwi lebih menyerupai bisikan.

”Bu Lurah..” desah Rio.
”Panggil aku ’Mbak Prapti’..”
”Mbak Prapti..!”

Praptiwi menuntaskan pekerjaan yang tersisa, menguak sisa busana yang menutup dada.
Ia menghela Rio dan mendekapnya. Bibirnya menjalar hangat di bibir pemuda itu.

Rio merasa seperti tengah berada di taman lautan bunga semerbak.
Ia balas pagutan itu dan ia dekap sepenuh hati.
Ia ikuti gerak tangan Praptiwi yang membimbing mereka merebah rata dengan permukaan ranjang.

Erat dekapan Praptiwi. Memburu nafasnya. Menggila gerakannya.
Terampil mengarahkan wajah Rio ke bukit-bukit semerbak bunga.

Rio tersentak ketika Praptiwi menariknya menaiki ranjang, sambil tangannya mendorong perlahan.
Ranjang itu tidak lebar, tapi muat kalau ditiduri berduaan.

Kini Praptiwi berlutut tegak di samping Rio, memandang lekat-lekat dengan senyum manisnya.
Kemudian secara perlahan-lahan dia mengambil ujung bawah rok spannya..
dan mulai memilin sedikit-sedikit, lalu menarik perlahan ke bawah.

“Kemarin kamu belum mencicipi yang ini..” Bisik Praptiwi yang celana dalamnya mulai terlihat.
Warnanya putih transparan, ada merahnya sedikit persis di tengah dekat pusar.
Bulu kemaluannya kelihatan. Belahan kewanitaannya juga membayang jelas.

“Ahh.. mbak Prapti. Kita tidak boleh melakukan ini..” Rio bangkit dan melepaskan dekapan.
Praptiwi hampir terlempar karena tarikan mendadak tubuh Rio darinya.
”Rio..!” Desis Praptiwi, terkejut atas perlakukan demikian kasar tak terduga seperti itu.

”Ini gila..! Saya tidak bisa..!” Ujar Rio.. menatap Praptiwi yang sudah hampir telanjang..
menyisakan sepasang tungkai yang indah.
Bibir wanita itu bergetar menahan gelora yang terputus.

Rio menggeser balik bilah geser itu dan meninggalkan Praptiwi sendiri. Ia menghambur keluar.
Praptiwi menyeka hidung, meraih blazer, menutup dada dengan blazer dan menyusul.

“Rio. Kembali ke sini..! Kamu harus selesaikan apa yang kita mulai..!” Desah Bu Lurah.
Rio tak menghiraukan. Setengah berlari melewati ruang tengah, membuka pintu belakang dan keluar tergesa.

Tak sadar ia menubruk seseorang yang tiba-tiba saja berdiri tak jauh dari pintu di halaman luar.
Orang itu tertegun melihat Rio menghambur keluar dari rumah Bu Parmi dengan kemeja setengah terbuka.
Tak jelas siapa orang itu. Yang jelas tubuhnya pendek dan masih sangat muda.

Praptiwi berlari menyusul ke pintu belakang. Tapi seketika langkahnya terhenti di mulut pintu.
Hendro, putra tunggalnya, berdiri di sana.
Ia ternganga menatap pemandangan di balik pintu yang setengah terbuka.

Wanita yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya berdiri di balik pintu..
dengan dada sedikit tertutup kain blazer dan tungkai terbuka.
Bu Lurah panik sesaat. Ia menutup pintu lebih rapat. Kenapa Hendro ada di sini..?

Hendro menatap Bu Lurah tanpa berkedip.
Bu Lurah tau Hendro telah melihatnya dalam keadaan setengah berbaju.

Ia tau Hendro tengah menebak-nebak apa yang baru saja terjadi antara Rio dan dirinya.
Bu Lurah tau situasi ini bakal menghebohkan kalau sampai anaknya buka mulut.

Segera Bu Lurah menguasai diri. Dibukanya sedikit lagi pintu itu dan dia biarkan Hendro terus menatapnya.
”Kau dari mana, Ndro..?” Tanya Bu Lurah.
”Saya.. saya dari rumah si Mbah, Bu, mau.. mau..” terbata-bata Hendro bicara.

”Kau tidak sedang tergesa-gesa, ’kan..?” Kata Bu Lurah, tersenyum.
”Saya.. eh.. tidak.. kenapa, Bu..?” Dada Hendro naik turun.

”Kalau begitu..” Bu Lurah membuka pintu lebih lebar.. ”Tunggu apa lagi. Masuklah..!”
Suara Bu Lurah perlahan, menggoda. Hendro masih terpaku.

”Masuklah. Tak ada siapa-siapa di dalam, ayo..!” Ujar Bu Lurah.
Bagai terisap magnit, Hendro melangkah perlahan ke dalam rumah.

Jantungnya seperti berhenti bergerak ketika sang ibu menutup pintu dari dalam dan memenjarakan diri bersamanya.
Meski sangat menginginkan tak urung tetap membuatnya kaget juga.

”Kemarilah..!” Bu Lurah melangkah gemulai, meminta Hendro mengikutinya.
”Kamu suka pada ibu, ’kan..?” Ia menoleh Hendro dengan kerling.

”Lihat kamar itu. Kita berdua, hanya berdua sekarang. Itu ranjang kita. Lakukan apa yang kau mau..
kita tuntaskan apa yang terputus kemarin malam..” Bu Lurah berbalik dan menghela tangan Hendro.

Samudra bunga itu kini ganti menari-nari di benak Hendro. ”Ayo, Ndro. Puaskan ibumu ini..”
Ya.. ibu muda dengan segala pesona yang menggiurkan setiap mata lelaki itu kini sudah telentang di atas ranjang..

Dengan hanya mengenakan beha hijau tipis, sepasang payudaranya yang besar terlihat menantang..
di bawah sinaran lampu kamar yang temaram.

Hendro tak lagi memikirkan siapa perempuan di depannya ini.. setan seakan telah membujuk jiwanya..
Menyatakan kalau semuanya boleh dilakukan.

Maka pelan dia naik ke atas ranjang, menghampiri sosok tubuh sang ibu yang begitu menggiurkan.
Matanya tertuju pada celana dalam yang tergolek di samping tubuh bu Lurah.

Sebuah celana dalam wanita berwarna putih. “Iya, Ndro. Lakukan! Ibu sudah siap..”
Praptiwi membuka kedua kakinya..
Menampakkan gundukan bulu lebat yang bertumpuk-tumpuk di antara kedua belah paha mulusnya.

Gleek.. Hendro menelan ludah. Benda yang selama ini senantiasa ia bayangkan..
Kini berada hanya beberapa senti saja dari mulutnya. Darah, jantung dan nafasnya seketika berhenti.

Pandangannya buram, kerongkongannya pun mendadak kering. Ingin Hendro langsung menciuminya..
Menikmatinya dari segala arah, mengobel-ngobelnya dengan lidah hingga merekah..
kemudian menyemburkan urine seperti di film-film bokep. Aghh.. tapi dia masih ragu.

"Ayo, Ndro, tunggu apa lagi..?" Tanya bu Lurah dengan gemas. “Ini kan yang kamu inginkan..?”
"Ee.. eng.. a-anu.. anu, bu.. a-aku.. " Hendro tergagap.

Gelegar petir terdengar sahut menyahut di kejauhan, juga suara tiupan angin yang bengis menghantam dedaunan.

"Kok bengong..!?" Tanya bu Lurah, menatap Hendro yang masih ’shock’ di pinggir ranjang.
"Ayo cepat. Nanti keburu ada yang datang..!" Lanjutnya tak sabaran.

Berasa canggung untuk mengentoti ibunya yang pertamakali, namun Hendro juga tak mau membuang waktu.
Segera saja ia melepas celana dan menyusul naik ke atas ranjang dengan kontol yang terhunus panjang ke depan.

Sejenak bu Lurah memandangnya sambil melepas ikatan rambut..
Lalu membenarkan posisi bantal yang mengganjal di kepala.

Dan tanpa perlu melepaskan rok, ia lantas mengangkang..
Memperlihatkan ’sangkar burung’nya yang sudah siap sedari tadi, tepat di hadapan sang putra.

Hendro pun segera mencari posisi untuk bisa menindihnya. Hanya menindih..
Karena ia tak bisa melesakkan batang kontol ke dalam memek sang ibu yang rimbun oleh ’rerumputan’.
Hendro benar-benar canggung..!

“Kamu tau caranya, Ndro..?” Tanya bu Lurah..
Menikmati tusukan penis sang putra yang mengganjal di depan memek. Hendro menggeleng.

Bu Lurah cuma tersenyum melihatnya, kemudian menyuruh bocah itu untuk sedikit mengangkat badannya.
"Masa’ tinggal colok aja tidak bisa..!?" Ujarnya sembari meraih..
lalu membimbing ujung batang Hendro ke arah bibir lubang kemaluannya yang masih terlihat sempit.

"Ayo tekan..!" Suruhnya sambil terus menatap. Sleep..! Perlahan Hendro menekan..
Ugghh.. dan ia melenguh saat merasakan vagina sang ibu yang ternyata cukup mencengkeram. \

Ohhhh.. Begitu hangat dan bergerinjal isi di dalamnya. Sungguh beruntung dia hari ini.
Gara-gara Rio menolak, dia jadi bisa merasakan hangat organ intim kewanitaan ibunya.

“Sekarang goyang, Ndro. Gerakkan ke atas dan ke bawah..” Praptiwi memerintahkan, dan Hendro melakukannya.
Namun baru beberapakali pompaan, dia sudah mengerang.

Tubuhnya kejang.. dan spermanya muncrat keluar..
Membuncah tak terkira di dalam bagian tubuh ibunya yang bergerinjal ini.

Croot.. Crooottt.. Cerooocoooooooooooooot.. Banyak dan kental, juga hangat dan lengket.
Usai sudah. Hendro puas tiada terkira. Sementara Praptiwi tersenyum..
Raut di wajahnya begitu menggambarkan kalau dia sedang menikmati semburan sperma dalam rongga memeknya.

Dia tau kalau Hendro bakal kalah.
Seorang perjaka seperti dia tidak akan mampu melawan geliat dan pijitan-pijitan halus liang vaginanya.

Sepasang mata mereka saling beradu, begitu lekat.. selekat kulit alat kelamin yang masih bertaut erat.
Kontol Hendro masih ngaceng.. menancap erat di liang kemaluan sang ibu.
Sedangkan dinding-dinding vagina bu Lurah tetap berkedut-kedut meminta pemuasan.

"Wah, sudah crot duluan kamu.." ujar bu Lurah, tanpa ada nada marah.
"I-iya, bu. A-aku tak kuat.." sahut Hendro malu.

Sejenak Praptiwi membiarkan sang putra ’meleleh’ di atas tubuhnya..
sembari menikmati hangatnya kontol dan sperma bocah kecil itu.

Beberapa menit berlalu dengan perasaan saling menikmati.
Hingga tak lama kemudian, ia menyuruh Hendro untuk sedikit mengangkat badannya kembali.
Tampak beberapa untaian sperma terlepas ketika penis Hendro tercabut keluar.

Bu Lurah meraba untaian itu dengan jemarinya yang halus, meratakannya ke seluruh permukaan vagina..
Kemudian ganti menggenggam batang kontol Hendro untuk mulai digesek-gesekkan ke biji klitorisnya.

Perlahan-lahan diusap.. benda sebesar kacang kedelai itu pun menyembul keluar.
“Kamu lihat itu, Ndro. Sekarang jilat..! Beri ibu kepuasan..!” Bu Lurah memekik.

Hendro tanpa membantah langsung menerjunkan mulutnya ke sana. Bagai kehausan ia melumat.
Dinikmatinya kekenyalan memek sang ibu dengan lidahnya yang kaku.

Ceceran air mani dan cairan kewanitaan ibunya makin menambah rangsangan nikmat itu.
Semakin lama gesekan lidahnya menjadi semakin cepat..
Secepat hasrat ibunya yang menginginkan orgasme saat ini.

Tak terlihat lagi sosok bu Lurah sebagai istri laki-laki pemimpin desa. Praptiwi bukanlah siapa-siapa lagi sekarang.
Selain seorang wanita yang tak berdaya menghadapi birahi yang melecut keras nalurinya..
Memaksanya berpacu laksana seekor kuda. Inilah hasrat, hasrat terdalam dari lubuk jiwa seorang wanita.

Wajahnya makin merona, memerah.
Ekspresinya begitu menggambarkan kenikmatan yang sudah tiba di ujung lubang kencing.
Semakin cepat Hendro menjilat, semakin ia tak kuat menahan rasa geli pada itilnya. Dan akhirnya...

"AAARRRGGGHHHHHH..!!! Sssshhhh.. uuhhhh.. ouuuggghhhhh..”
Bu Lurah mendekap kepala putranya erat-erat, seluruh tubuhnya mengejang.
Rasa dahsyat pada itilnya membuat seluruh tubuh montok bu Lurah bagai meledak, hancur berkeping-keping.

"Aduh, Hendro.. kamu kok nakal sih..?" Candanya sambil terus mendekap tubuh bocah yang beruntung itu.
"Kan ibu yang menyuruh." balas Hendro disertai tawa kecil..
sembari menciumi wangi dari payudara ibunya yang terurai, terasa begitu empuk dan kenyal sekali.

”Eeghh..” bu Lurah menggeliatkan tubuhnya, lalu meminta Hendro untuk mengecup bibirnya.
Karena belum pernah sekali pun mengecup bibir seseorang, Hendro melakukannya dengan sedikit canggung.

Mereka saling bercumbu.. saling mengulum, dan sesekali bu Lurah menjilati bibir Hendro dengan mesranya..
membuat penis si bocah kembali tegak berdiri.

Beberapa menit berselang, mereka menyudahi ritual ini dengan saling memandang.. dan saling mencari.
Tangan Hendro mulai berani meraba-raba lekuk aduhai tubuh ibunya.

Dia memilin puting susu bu Lurah sambil memijit-mijit tonjolannya yang bulat besar.
Sementara bu Lurah dengan telaten mengocok-ngocok penis hingga menjadikannya kian kaku dan tegang.

“Sudah siap, Ndro..” Bu Lurah menyatakan.
Hendro mengangguk.. "Iya, Bu.. kita main lagi yuk..!!" Pintanya sembari mencucup puting.
”Ayo..!” Bu Lurah mengangguk senang.

Selanjutnya.. tidak terdengar lagi percakapan dari kamar itu.
Kecuali puluhan desahan dan rintihan yang ditingkah desau angin di luar sana yang menggesek dedaunan.

Halaman belakang rumah Pu Parmi masih sehening tadi. Benar-benar sepi.
------ooOoo------

Rio menyeka rambut yang awut-awutan dan jidat yang berkeringat.
Sama sekali ia tak mengerti setan apa yang merasuki raga Bu Lurah..
sehingga wanita cantik istri Asromo itu jadi tak terkendali.

Membasuh muka di sumur..
Rio mencoba menghilangkan sisa-sisa luapan kehangatan wanita itu di sekujur bibir, leher dan wajahnya.

Sebentar kemudian ia menatap halaman belakang rumah Bu Parmi. Masih hening.
Ia baru tau kalau yang berdiri di luar rumah yang nyaris ditubruknya tadi adalah Hendro.

Sekilas Rio melihat bagaimana Bu Lurah mengundang Hendro masuk rumah dan tak keluar lagi lama sekali.
Rio tak habis pikir bagaimana wanita yang seelok kembang itu tiba-tiba menjadi liar dan gagal menguasai diri.

Rio memang suka menikmati tatapan syahdu Bu Lurah yang menyejukkan hati..
dan menatap keindahan total wanita yang secerah bunga-bunga itu.
Tapi betul-betul tak pernah berpikir wanita itu memendam hasrat yang dahsyat. Apa yang terjadi padanya..?

Rio masuk rumah Si Mbah lewat pintu belakang.. dan langsung menuju kamar si mbah yang tampak sepi.
Istri Sujarno ternyata masih setia menunggui Si Mbah bersama dengan anak Sujarno yang masih belum bersekolah.

Istri Sujarno tampak letih dan bosan. Itu terlihat dari wajahnya yang demikian kuyu dan tak bercahaya.
Ketika Rio datang, ia menatapnya sekilas dan berucap sedih.
”Suami saya belum pulang sejak sore kemarin..” loyo sekali wajah istri Sujarno.. ”Tak biasanya ia begitu..”

Rio menyeret kursi berhati-hati dan duduk tak jauh dari perempuan lugu itu..
”Barangkali pergi sambang ke rumah sanak saudara di kota..” Rio berusaha menenteramkan hati istri Sujarno.

”Tapi ia selalu pamit kalau hendak pergi lebih dari satu hari. Lagipula, ini bukan saat yang tepat..
untuk sambang sanak saudara. Sekolah tidak libur..” Istri Sujarno tertunduk.. ”Perasaan saya tidak enak, Dik..!”

Rio menarik nafas, dan menatap onggokan tubuh Si Mbah yang pulas.
Dalam hati Rio mengakui persoalan Kemiren tak segampang yang diduga.

Peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi. Misteri dan teka-teki menyergap mendadak.
Apa yang selama ini ia lakukan bersama Candi..?
Nyaris tak ada yang berarti, kecuali menambah panjang daftar teka-teki yang melanda Kemiren.

Dan, benarkah tubuh tua yang tergolek menderita ini sebenarnya menyimpan sejarah palsu..?
Benarkah ia Probosangkoro dan bukannya Parto Sumartono..? Diakah yang memegang rahasia ’bukti’ itu.
Apa sebenarnya kunci jawaban misteri itu..?

Si Mbah terbatuk kecil. Bersamaan Rio dan istri Sujarno menatap sosok tua yang tergolek tak berdaya itu.
Pemuda itu kemudian berdiri, dan mengusap kepala bocah yang bermanin di dekat kaki ibunya.

”Saya akan coba cari tau tentang Pak Jarno, Bu..” ucap Rio. Istri Sujarno mengangguk pasrah.
Tapi wajahnya menyiratkan ia bersyukur ada orang yang mulai mengulurkan tangan.

Perempuan itu kemudian memberi Rio alamat dan nama sekolah tempat Sujarno mengajar di kota kecamatan.
Pada istri Sujarno, Rio berjanji akan kembali tak lama lagi.

Dengan motor ojek sewaan Rio melesat ke kota kecamatan.
Dari Kemiren, ia harus menempuh 5 kilometer ke jalan raya besar.
Dari pertigaan jalan, ia perlu tancap 11 kilometer lagi ke SMP tempat Sujarno mengajar.

Rio tak tau apa yang harus dikatakan pada istri Sujarno.
Di SMP itu Rio mendapat penjelasan bahwa Sujarno tidak masuk mengajar sejak kemarin.
Rekan guru di sekolah itu malah ingin mendapat kabar ke mana Sujarno pergi.

Ke mana Sujarno..? Kecurigaan mulai menggerayangi darah Rio.
Sebetulnya hati kecil Rio tak menaruh curiga pada anak semata wayang Si Mbah Parto Sumartono itu.

Tapi ke mana Sujarno pergi saat keruwetan desa makin menjadi-jadi..
saat semakin mudah orang mencari kambing hitam untuk melabuhkan rasa curiga..?

Hampir tiga jam kemudian Rio sampai di desa Kemiren kembali.
Manakala ia baru saja membayar ongkos sewa ojek dan menyerahkan kembali motor pada pemilik..
seperti tersambar petir ia mendengar penjelasan tukang ojek di pangkalan ojek.

”Mas, cepat kembali ke rumah Si Mbah..! Ada yang gawat..!” Tutur tukang ojek itu.
Rio diantar tukang ojek ke rumah Si Mbah.

Sejumlah orang, termasuk beberapa staf desa bergerumbul di rumah Si Mbah.
”Ada apa..?” Rio menyeruak di antara kerumunan.

Di sekeliling, rumah Si Mbah terlihat sangat berantakan. Koleksi fosil dan temuan Si Mbah berhamburan ke sana kemari.
Sekat-sekat kaca sebagian pecah dan porak-poranda. Gambar-gambar di dinding tak ada lagi.
Dan semua benda yang mudah teguling, berserak hampir di segala penjuru.

”Ada apa ini..?” Rio jengkel tak segera mendapat jawaban.
Orang-orang hanya menatap dengan mata kosong dan bahu yang terangkat. Nyaris tak ada seorangpun yang mampu bicara.

Rio mencari-cari. Istri Sujarno sedang dikerumuni beberapa wanita desa. Ia tergeletak dan matanya berurai air mata.
Ketika ia hendak menerobos kerumunan yang melingkung Si Mbah.
Asromo keluar dari kerumunan dan mengisyaratkan agar Rio mengikutinya untuk bicara di tempat yang lebih hening.

Tampaknya, daftar teka-teki segera bertambah panjang.
Kegawatan akan mendapat tempat lebih luas, dan kunci rahasia makin sulit dicari.
------ooOoo------

Asromo jengkel luar biasa. Paling tidak itu bisa terlihat dari mata meradang dan kata-kata yang bergelegak.
Ia mencoba melampiaskan dengan mengisap asap rokok dan menghempaskannya kuat-kuat.

Tapi itu pun agaknya tak mampu membantu Pak Lurah menghapus rentetan peristiwa di desa..
yang makin menggetirkan posisinya sebagai pemimpin desa.

Pasti Asromo khawatir, kalau itu dibiarkan, kepercayaan orang pada wibawanya bisa meruncing..
dan mungkin bergulir ke ujung tanduk.
Apa kata Pak Camat kalau terbukti Asromo tak mampu mengatasi masalah di desa..?

Dengan langkah kurang bersemangat..
Asromo memimpin Rio mencari tempat yang aman untuk bicara berdua saja.

Rio menunjukkan semak-semak berpayung Kaliandra;
Tempat yang pernah dianggap paling aman ketika Candi menunjukkan surat ancaman untuk pertama kalinya.

Masih dengan mata nyalang, Asromo duduk di bangku kayu, dalam rengkuhan teduh Kaliandra.
Ketika Asromo mulai menatap Rio untuk berbagi kejengkelan..
baru disadari Rio tak berani menatap terus-terusan wajah Asromo.

Entah kenapa, sejak insiden dengan Bu Lurah tadi pagi di rumah Bu Parmi, Rio sedikit jengah menatap mata Asromo.
Ada semacam perasaan bersalah menyudut Rio..
Yang bersumber dari kelengahannya memberi jalan bagi hasrat membara istri Asromo yang tidak pada tempatnya itu.

Rio benci pada dirinya sendiri, yang dengan mudah terkipasi oleh pesona wanita cantik yang tampaknya punya masalah itu.
Rasa jengah, bercampur juga dengan perasaan iba atas beban sosial yang bergayut di pundak pemimpin desa ini.

Mudah-mudahan seluruh kejadian di rumah Bu Parmi tadi pagi..
cuma beredar sebagai rahasia di tengah pelaku-pelakunya; Rio, Bu Lurah dan Harjo.

”Pak Lurah hendak membicarakan sesuatu..?” Rio membantu mengawali percakapan..
lantaran terlalu lama menunggu Asromo yang mendadak kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.
Asromo mengangguk, sembari meremas-remas filter rokok.

”Desa ini makin genting..” Asromo mulai membeber ilustrasi.
”Ketika kau pergi, ada orang yang datang ke rumah Si Mbah dan melakukan kegiatan biadab itu..”
Suara Asromo tertahan gelegak nafasnya.

”Semua sudut rumah diacak-acak. Lemari dicongkel dan isinya dibongkar. Hampir tak ada barang yang utuh..”
Asromo menahan geram. Rio yang sudah menduga sejak tadi, cuma mengangguk-angguk.
Tapi tak urung, panas juga hati mudanya mendengar penjelasan itu.

”Si Mbah sendiri bagaimana?” desak Rio.
”Untung ia tak dijamah. Tapi istri Sujarno cedera. Ia dihantam tangan di bagian tengkuk. Tadi semaput.
Sekarang ia sudah siuman. Kata istri Sujarno, ada dua orang tak dikenal, tanpa bicara sepatah kata pun..
mengobrak-abrik ruangan. Aku yakin mereka kelompok bajingan yang sedang memburu bukti itu..”
Desis Asromo, menyalakan rokok, menyambung puntung yang baru saja dilontarkan entah ke mana.

”Ada barang yang hilang..?” Selidik Rio.
”Belum tau. Masih diperiksa..” Asromo menatap pasrah..
”Tapi apa kita tau kalau ada barang yang hilang..? Hanya Si Mbah yang tau persis ragam koleksi di rumahnya..”

Rio terdiam sesaat, tapi kemudian berusaha mengimbangi kegusaran Asromo.
”Bajingan-bajingan itu lihai sekali, dan pandai membaca situasi.
Mereka tau pada siang hari penjagaan sangat longgar di rumah ini..” kata Rio..
”Saya menyesal pergi ke kota kecamatan meninggalkan istri Sujarno bersama anaknya..” Rio tertunduk.

”Tak apa. Kata istri Sujarno, kau memang berniat membantu mencari suaminya..
yang sudah dua hari tak pulang..” ujar Asromo.. ”Bagaimana hasil pencarianmu..?”

”Nihil. Sujarno tak masuk mengajar sejak kemarin..” jawab Rio. ”Bocah kecil anak Sujarno tak apa-apa..?”
”Beruntung ia sedang berada di belakang rumah ketika dua orang itu menyerbu masuk.
Ia lolos dari bencana..” ucap Asromo, lalu terdiam.

”Pak Lurah..” Rio kemudian memecah sunyi.. ”Saya terpaksa menceritakan satu hal lagi.
Pak Lurah bersedia mendengar..? Ini penting..” tanya Rio..
takut kalau informasinya malah membuat kepala Asromo makin berdenyut-denyut.
”Katakan..!”

”Kemarin sore.. sewaktu saya dan Candi berjalan di sekitar Kali Randu, kami sempat dihadang dua orang.
Satu orang kemudian mengejar saya, dan seorang mengejar Candi..”

Asromo melotot, ”Kenapa kau tak cerita lebih awal..?” Protes kepala desa itu.
”Saya khawatir beban pikiran Pak Lurah makin berat..”

Rio memungut selembar daun kering di tanah dan memulir-mulir dengan tangannya.
”Saya berhasil lolos, atas bantuan Pak Kuntoro, orang tua baik hati yang tinggal di seberang rumah itu..”

”Kuntoro..?” Pak Lurah sedikit gusar, ”Lalu, Candi..?”
”Candi diuber orang, yang malam sebelumnya mencoba membunuhnya. Tampaknya, sarang mereka di daerah itu.”

”Bagaimana ia bisa lolos..?” Tanya Asromo, bersemangat.
”Ia terperosok ke dalam sebuah lembah kecil. Bajingan itu tidak mengejarnya lagi. Dikira Candi tewas di situ.”
”Kurang ajar..!” Gemeretak gigi Asromo. ”Benar-benar kacau desa ini..” matanya kembali menyorotkan merah darah.

Dengan nafas naik turun, Asromo menebar mata berkeliling..
berusaha mencari jawab pada dedaunan rimbun dan bercak-bercak sinar matahari di tanah yang tersaring dedaunan.

”Pak Lurah tidak mencoba menghubungi pihak berwajib, dan mengakhiri ketertutupan desa ini..?” tanya Rio tiba-tiba.
Ia tak peduli lagi kata-katanya ini akan menyudutkan Asromo.

Tapi memberi jalan yang terbaik toh bukan merupakan saran buruk.
Dan rasa-rasanya, kepala desa ini memang sedang butuh banyak saran; baik saran yang gampang ditempuh..
atau saran yang memahitkan perasaan dan bertentangan dengan kepentingan.

Tak lekas Asromo memberi jawaban. Wajahnya mengusut, kerut-kerut di lehernya dan otot menonjol..
seolah berlomba menghiasi permukaan kulit.

Memang sulit bagi pejabat desa seperti Asromo untuk menutup-nutupi kejadian penting di desa yang mudah diendus orang luar.
Tapi keresahan dan kegusarannya sudah menunjukkan orang ini berusaha mengatasi permasalahan.

Mudah-mudahan Asromo kali ini tak bersikukuh menolak ide Rio.

CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
-----------------------------------------------------ooOoo-------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 11

”Pada akhirnya..”
desah Asromo setelah beberapa saat memilih diam..
”Itu memang harus. Saya tak mampu lagi mengatasi teka-teki ini tanpa gagal menyembunyikan..
permasalahan-permasalahan citra desa yang mulai diminati wisatawan ini..” ujar Asromo..
mulai menyingkap hal-hal tersembunyi dalam benaknya, dengan kalimat yang sedikit ruwet, yang boleh jadi sekusut pikirannya.

”Tadinya saya khawatir sekali pihak luar akan menilai desa ini tak aman untuk dikunjungi.
Tapi lalu saya berpikir, ketenangan desa jauh lebih penting daripada niat-niat menjunjung perekonomian desa itu sendiri..”
Kata-kata Asromo berubah arif, meski wajah yang sarat beban belum menunjukkan tanda-tanda cerah.

”Saya akan bikin laporan sejujurnya besok pada Pak Camat, dan meminta petunjuk..” kata Asromo, sedikit lega.
Seolah untuk sementara, dengan persediaan ’petunjuk’ dari pejabat di atas-nya, hati kepala desa ini sedikit teduh.

”Besok, Pak Lurah..?”
”Ya, besok..” desis Asromo, ”Bantulah saya mengumpulkan bahan..”
Rio mengangguk, ”Akan saya bantu.”

Pak Lurah berdiri. Keputusan Pak Lurah rupanya sudah final.
”Tolong periksa barang-barang di rumah Si Mbah. Siapa tau ada barang yang menurutmu sudah raib dari tempatnya.”

Rio menyanggupi, dan membuntuti Pak Lurah melangkah kembali ke rumah Si Mbah.
Bersama beberapa staf desa, ia sibuk mencatat barang yang rusak, mendata fosil yang retak..
dan mencoba menebak barang apa yang lenyap dari meja pamer.

Tapi, ternyata agak sulit mencari tau adanya barang yang tercuri. Satu-satunya hal yang gampang dilakukan..
adalah menghitung jumlah poster-poster lama yang digantung di dinding.

Menurut perhitungan Rio, ada tiga gambar kuno yang lenyap.
Barang-barang inilah yang sudah pasti dijarah para pencoleng siang bolong itu.

Sampai sore Rio menyusun laporan yang dipesan Pak Lurah.
Ia mencoba mengurai selengkapnya.. mulai penganiayaan Si Mbah di malam pertama..
sampai pada insiden pengejaran di tepian Kali Randu.

Sayang sekali ia masih harus menyembunyikan satu hal;
Kisah pertemuan Candi dengan orang tua misterius di tebing rahasia Kali Randu.
Kalaupun nanti itu harus dikisahkan, Candilah yang akan ia minta membuat laporannya.

Rio menduga.. ada maksud-maksud tertentu kenapa Candi merahasiakan pertemuan dengan orang tua itu.
Boleh jadi, gadis itu punya rencana khusus merekayasa rahasia itu. Siapa tau..?
------ooOoo------

Matahari menjelang rebah di barat saat Candi meloncat turun dari ojek tepat di depan pelataran rumah Si Mbah.
Begitu menjejak tanah, langsung Candi berlari kecil ke rumah Si Mbah untuk mendapatkan Rio.

Lega Rio melihat Candi datang. ”Sudah ada berita tentang Danica..?” Tanya Candi, mengejutkan.
”Ia belum datang, kenapa..?” Sambut Rio.

”Ini aneh..” Candi meletakkan tas di meja.
”Salahsatu tukang ojek mengatakan, ia ditumpangi seorang bule, yang ciri-cirinya persis sama seperti Danica..”

”Ditumpangi ke mana..? Kapan..?” Tanya Rio.
”Ya ke sini, dari pertigaan jalan raya, kemarin sore..”

”Tapi ia belum sampai..” Rio mulai gusar.
”Itulah yang kubilang aneh. Ke mana perginya Danica..?”

Candi duduk di lantai, menghadap meja, dan menangkap atmosfir lain di ruangan itu.
Ia baru sadar situasi di sekitarnya agak beda dari biasanya. Barang-barang semburat, dan teracak-acak.

”Katakan, ada apa ini..?” Candi menyapu pandangan berkeliling.
”Jangan kaget, ruang ini diacak-acak orang tadi siang..”
”Astaga..!” Candi melongo.
”Sudah kubilang jangan kaget..!”
”Diacak-acak..? Kau sendiri ke mana..? Apa tak ada orang di rumah ini..?”

Rio kemudian membeber peristiwa siang itu, tak lupa mengurai rencana-rencana Pak Lurah.
Candi cuma mampu terbengong-bengong.
Tetap masih sulit menerima bagaimana kejutan demi kejutan susul menyusul.

”Jadi Sujarno pun lenyap..?” Tanya Candi.
”Begitulah.. ia tak berada di Kemiren sejak kemarin..” papar Rio..

”Terus terang aku mulai khawatir; curiga, tepatnya. Dan terlebih-lebih, aku merisaukan Danica..”
”Ya.. masih kata tukang ojek itu..
Danica memang minta diturunkan satu kilometer sebelum sampai rumah ini. Ke mana dia pergi..?”

Tercenung Rio dengan informasi bertubi-tubi, yang semuanya tak mengenakkan hati itu.
Kalau ia menuliskan informasi tambahan ini dalam laporan, sudah pasti pecah kepala Asromo.

Candi menggigit ujung pena dan matanya menerawang matahari yang kian redup..
Yang membuat papan nama bertuliskan kebesaran Si Mbah di sana terlihat remang.

Dingin mulai merobek tulang.
Satu per satu staf desa uang sedari tadi sibuk merapikan koleksi Si Mbah, meninggalkan rumah.
Seperti bersamaan, Rio dan Candi merasakan sepi luar biasa. Dan malam makin terlihat kelam.

Memang ada sejumlah wanita dan laki-laki tua yang bergantian menjenguk dan menjaga simbah, dan Pak Mantri.
Tapi kemudian mereka juga beranjak begitu malam turun.

Orang terakhir yang menjenguk Si Mbah malam itu adalah Kuntoro.
Ia datang khusus untuk menyarankan agar Si Mbah ditangani dokter yang dari kota kabupaten.

”Besok saya akan desak Asromo untuk mengirimkan Si Mbah ke rumah sakit di kota kabupaten..”
Demikian Kuntoro berbisik di telinga Rio sebelum orang tua itu meninggalkan rumah Si Mbah.

Sepeninggal Kuntoro, hanya ada wanita tua dan istri Sujarno yang sudah mendingan yang menjaga Si Mbah.
Candi dan Rio melihat Karman, staf desa, muncul dari gelap malam.

”Mbak Candi, Mas Rio. Ada orang menemukan ini..” Karman menyerahkan sebuah buku kecil.
Candi menerimanya. ”Paspor Danica..!” Ujar Candi.

”Di mana ini ditemukan. Si Rambut jagung di mana..?” Tanya Rio.
”Saya ndak tau di mana si rambut jagung. Buku ini ditemukan oleh warga desa di semak-semak sekitar satu kilometer dari sini.
Pak Lurah minta ini ditunjukkan pada Mas Rio dan Mbak Candi..” tutur Karman.

Rio menatap paspor itu. ”Kenapa barang sepenting ini bisa tercecer..? Apa yang terjadi pada Danica..?”
”Apa kata Pak Lurah..?” Tanya Candi kepada Karman.

”Saya cuma disuruh berikan ini pada Mas dan Mbak.
Saya permisi dulu, masih ada kerjaan lembur di kantor desa..” kata Karman.

Candi dan Rio tak tenang sepeninggal Karman.
”Kita harus melakukan sesuatu, malam ini juga, tak perlu tunggu besok..” kata Candi.

”Kau punya rencana..?” Tanya Rio.
”Ya..!”
”Sebutkan..!”

”Kita harus kembali ke persembunyian Probosangkoro di lembah itu.
Aku yakin ada banyak misteri yang kita bisa pecahkan dari situ..” kata Candi.

”Malam-malam begini, ke lembah liar dan menakutkan itu..?” Tanya Rio.
”Ya. Bakal terlambat kalau menunggu besok..!” Otot Candi.

Rio tak segera menimpali Candi. Ia bisa bayangkan.. pada siang hari saja medan di lembah itu sulit ditempuh..
dan terbentang luas berbagai kemungkinan kejahatan.

Bagaimana Candi ingin kembali ke tempat itu malam-malam begini..?
Apakah ada yang tak beres pada gadis ini.. pikir Rio.

Kentongan di gardu jaga dekat rumah Si Mbah dipukul 8 kali.
Rio mengencangkan resluiting jaket dan berjalan berdampingan dengan Candi meninggalkan rumah Si Mbah.

Sejumlah petugas Hansip menghadang mereka dengan lampu baterai tersorot.
”Mas Rio dan Mbak Candi mau ke mana..?” Gimun, staf desa yang ikut berjaga menghentikan Rio dan Candi.

”Mau ke rumah Pak Lurah, menyerahkan laporan pesanan beliau. Besok mau dikirim ke Pak Camat..” ujar Rio berbohong.
”Kalau begitu, akan kami kawal..” kata Gimun.

”Tidak, tidak perlu. Kami bisa sendiri..” kata Candi.
”Tapi ini perintah Pak Lurah, demi keamanan dan keselamatan kalian..” otot Gimun.
Mukanya serius. Candi berpikir beberapa saat.

”Bagaimana kita bisa lolos dari mereka..?”
Tanya Rio pada Candi dalam bahasa Inggris agar tak difahami Gimun.

”Biarkan mereka mengawal kita, nanti kita cari akal..” jawab Candi.
”Baiklah. Ayo kita jalan..” kata Rio.

Gimun memanggil Jono, salahsatu teman jaga dan minta Jono bergabung dengannya.
Keduanya segera menguntit Candi dan Rio dari belakang.

”Oke, kau masih ingat jalan ke arah selatan, ke bukit di mana kita bisa lihat jajaran kaliandara..?”
Tanya Candi masih dalam bahasa Inggris.
”Aku ingat..”

”Sip. Aku tunggu kau di sana. Sebentar lagi aku akan lancarkan aksiku untuk mengelabui dua Hansip ini.
Kau nanti cari cara sendiri untuk lolos dari mereka, oke..?” Kata Candi.
”Oke..!”

Selama beberapa menit mereka melintas jalan menuju ke rumah Pak Lurah. Jalanan sepi dan gelap.
”Astaga. Catatan penting untuk Pak Lurah ketinggalan.
Bisa minta tolong Pak Gimun kembali dengan saya ke rumah Bu Parmi..?
Saya harus ambil catatan itu. Pak Jono terus saja sama Rio..” Candi menggamit lengan Gimun dengan gaya genit.

”Oo.. bisa.. ayo kita kembali ke sana..!” Kata Gimun, senang sekali tangannya digamit Candi.
Jono sebenarnya tak suka ini, tapi ia membiarkan saja Gimun berbalik arah bersama Candi.

Rio meneruskan jalan bersama Jono. Gimun menyorotkan lampu menerangi perjalanan mengantar Candi..
balik ke rumah Bu Parmi, kelihatan bangga bisa mendampingi gadis cantik berjalan berduaan di malam gelap.

Tiba-tiba Candi berkata.. ”Pak Gimun, saya kebelet pipis, nih. Yunggu di sini dulu, saya mau pipis di semak-semak situ..”
”Lho, apa ndak sebaiknya di kamar mandi di dekat rumah Bu Parmi saja, kan sudah dekat..?” Tanya Gimun.

”Keburu keluar pipisnya, Pak. Ndak tahan, nih..!!” Candi pura-pura meringis mendekap perut.
”Lha ‘mbersihkannya pakai apa..?” Tanya Gimun lugu.

”Pakai ini..” Candi mengeluarkan sekotak kecil kertas tisu dari tas pinggang.
”Tunggu sebentar, ya..” kata Candi. ”Ingat, Pak Gimun tunggu di situ. Jangan ke mana-mana..!”

Candi menuju ke semak-semak gelap di sebelah. Gimun malah melempar cahaya senter ke semak-semak.
”Matikan dong senternya..!!” Teriak Candi.

”Gelap lho, Mbak..!” kata Gimun.
”Ndak apa-apa, saya berani. Lagian, masa’ cewek pipis disenteri..!?” Kata Candi.

”Pak Gimun jangan menghadap ke sini..!” Lagaknya genit sekali. Gimun berpaling dan mematikan senter.
Sambil meminimalkan bunyi gemerisik, Candi menerobos semak-semak menjauh dari Gimun.

Ia melompati beberapa gundukan yang membawanya ke dataran lebih rendah di perladangan penduduk.
Gimun pasti masih menunggu di tempatnya.
Dari situ ia berjalan melintasi perladangan ke selatan sejauh beberapa puluh meter.

Ia tau ia bisa memintas naik ke jalan besar menuju selatan tanpa harus lewat depan rumah Bu Parmi..
yang sudah jelas bakal membuat mereka curiga kalau ia lewat situ.
------ooOoo------

Ternyata Rio agak kesulitan melepaskan diri dari Jono. Tapi ia melihat satu peluang.
Jono tengah mencari-cari rokok di sakunya. ”Pak Jono punya rokok..? Rokok saya habis..” kata Rio.

”Waduh, rokok saya ketinggalan di gardu jaga..” kata Jono.
”Kalau begitu saya beli rokok dulu. Tadi saya melihat ada warung buka di belakang sana.
Pak Jono tunggu di sini, mau nitip rokok apa, saya bayari..?”

”Lho, saya ikut saja..”
”Walah, sebentar, kok. Tunggu di sini..! Rokoknya apa..?” Kata Rio.

”Yo wis, jangan lama-lama. Saya tunggu di sini. Rokok saya Bentoel..” kata Jono.
Ia kemudian duduk di sebongkah batu di pinggiran jalan sambil mempermainkan senternya.

”Sip.. Bentoel. Lima menit ya..!” Rio langsung berbalik..
dan setengah berlari menyusuri jalan kembali ke selatan. Tentu saja ia tak mampir warung rokok.

Ketika mendekati kawasan depan rumah Si Mbah.. Rio berbelok ke semak-semak..
kemudian berjalan menerabas menghindari pengawasan para Hansip di depan rumah Si Mbah.

Selepas kawasan rumah Si Mbah, ia balik ke jalan besar dari semak-semak dan terus melaju.
Beruntung ia masih ingat jalan mana yang harus ditempuh menuju bagian atas Kali Randu tempat ia janji ketemu Candi.

Malam makin kelam, suara binatang malam mencekam sekaligus menghibur.
Diam-diam Rio ragu pada gagasan Candi kembali ke tempat persembunyian Probosangkoro malam-malam begini.

Mudah-mudahan Candi berubah ketakutan dan membatalkan rencana gila ini.
------ooOoo------

Gimun tergopoh-gopoh sampai di kantor desa hampir bersamaan dengan Jono.
Banyak orang di balai desa. Pak Lurah ada di situ. ”Candi dan Rio..!
Apakah mereka sudah sampai sini..?” Tanya Gimun.

Asromo mendongak. ”Tidak ada Candi dan Rio. Apa mereka mau ke sini..?” Tanya balik Asromo.
”Mereka tadi kami kawal, katanya mau menyerahkan laporan ke Pak Lurah..”
Ujar Gimun, serba salah, sambil melirik Jono.

”Kenapa bisa terpisah..?” Tanya Pak Lurah.
”Tadi Mbak Candi bilang mau pipis ke semak-semak. Saya tunggu setengah jam tidak muncul juga.
Saya cari ke rumah Bu Parmi, tidak ada juga..” kata Gimun.

”Mas Rio juga begitu. Ia bilang mau beli rokok, saya tunggu, tidak muncul juga..” ujar Jono.
”Di rumah Si Mbah juga tidak ada. Kita eh.. kami dikelabui oleh mereka..”

”Terus, ke mana mereka..?” Tanya Pak Lurah.
”Lha itu yang kami tidak tau..” polos Gimun dan Jono menjawab.

”Aneh sekali dua orang itu..” Pak Lurah berdiri. ”Terus ke mana mereka malam-malam begini..?
Lihat, sudah lebih dari jam sembilan..” Pak Lurah menunjuk jam dinding.

”Maaf, Pak. Sejak kemarin-kemarin saya curiga pada dua orang itu..”
Tiba-tiba Karman yang sedari tadi menemani Pak Lurah ikut bicara.

”Apa mungkin mereka terlibat semua ini..?” Suara Karman berubah menjadi bisikan.
”Perasaan saya mengatakan mereka ini ada apa-apanya..”

”Ada apa-apanya bagaimana..?” Tanya Pak Lurah, turut mengalir dalam kecurigaan Karman.
Karman tak menyahut. Ia malah memperhatikan wajah Pak Lurah yang mengkerut.

Karman kaget ketika Pak Lurah membanting puntung rokok dan menginjakknya dengan gerakan jengkel.
”Aku pusing..! Desa ini tambah ruwet saja. Kian kusut..! Kian Runyam..!”

Pak Lurah meraih gagang cangkir kopi dan meminumnya.
”Huah..! Kopi ini pahit sekali..! Siapa yang bikin..!?” Gelegar Pak Lurah.

“Saya, Pak..!“ Aku Murjito, gemetar.
“Panggil Harjo. Suruh ia minta kopi ke Bu Lurah..!” Masih meradang nada suara Asromo.

“Harjo tak tampak sejak sore tadi..” ujar Murjito.
”Kalau begitu kau yang minta kopi sana, awas jangan bikin sendiri. Kau tidak becus..!”

”Baik, Pak. Tapi di rumah Pak Lurah tidak ada siapa pun. Bu Lurah sejak sore mengunci diri di kamar.
Kata Marni, Bu Lurah masuk angin..” tutur Murjito.

”Bangunkan Marni. Suruh bikin kopi dan bawa pisang rebus..!” Asromo meninju pilar pendopo.
”Bikin kopi saja susah setengah mati, apalagi mencari kunci teka-teki desa ini..” omel Asromo, keras..
Sengaja agar didengar anak buahnya.

Para staf desa tak satupun ada yang bersuara. Semuanya menatap lantai..
Hanya Gimun yang memanfaatkan suasana hening itu untuk mencari mengupil dan daki di tangannya.

Beberapa detik kemudian Asromo berjalan ke tepian pendopo dan menatap kelam ke lembah perbukitan.
Nafasnya berat dan lehernya menyembulkan otot.

Tak lama kemudian ia menyapukan pandangan ke arah anak buahnya dan berucap:
”Malam ini, semua berjaga di balai desa, tanpa perkecualian..!”
------ooOoo------

Gulita bertabur di setiap sudut Kemiren.
Setiap jengkal Kemiren di bagian selatan yang tidak dialiri listrik..
mulai dari kawasan rumah Si Mbah sampai ke selatan, seperti tersaput jelaga.

Bintang terlihat temaram di di langit, tak ada bulan.
Jam baru merangkak beberapa menit dari pukul sembilan.
Namun pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat dan tak terdengar nadi kehidupan.

Di sepanjang jalan menuju Kali Randu.. hanya ada beberapa rumah yang berandanya berlampu..
itupun cuma lampu minyak yang bergoyang-goyang dihempas angin malam.

Dari kejauhan.. nyala lampu di beranda rumah penduduk seperti titik-titik kecil..
yang tak banyak memberi terang pada kelamnya malam.

Semakin jauh ke selatan, semakin jarang terlihat titik lampu minyak, kecuali titik-titik suram bintang di langit.
Betul-betul gulita. Cuma cahaya lampu baterai Rio yang terlihat benderang.
Rio kini berdiri tak jauh dari jajaran kaliandra tempat pertamakali ia berbuat mesum dengan Bu Lurah.

Di mana Candi..? Mestinya di sini gadis itu menunggu. Kesunyian benar-benar mencekam.
Rio menebar cahaya lampu baterai ke sekeliling. Tiba-tiba ia dikejutkan suara berkeratak yang memecah sunyi.
Bunyi itu bersahut-sahutan.. seperti bebunyian butir-butir kacang yang dikocok di dalam tabung bambu.

Bunyi itu berasal dari jenis tumbuhan tak jauh dari Rio.. yang menurut dugaan Rio tergesek oleh gerakan manusia.
Refleks Rio menyorotkan lampu ke arah bunyi itu. Candi menyeruak dari rerimbunan tumbuhan itu.

”Hebat..! Pintar juga kau bisa sampai di sini..” kata Candi.
”Edan kau..! Aku kaget, tau..!” Semprot Rio. ”Bunyi apa yang berkerosok itu..?”

”Itu bunyi biji-bijian pohon orok-orok. Orang desa sini menyebutnya ecek-ecek. Mau tau nama latinnya: crotalaria sp.
Buahnya hampir sebesar biji kacang, karena kering dan berongga, biji-biji di dalamnya menimbulkan bunyi gemericik..” kata Candi.
Rio jengkel melihat Candi yang sepertinya tak berhenti mengguruinya untuk hal-hal yang sama sekali tidak penting.

”Jangan bengong begitu..” kata Candi, memetik satu buah orok-orok.. ”lihat buah ini..” Candi menyorot buah itu.
”Setiap buah bersisi antara 6 sampai 15 biji…”

”Stop! Boleh aku tanya..?” Potong Rio.
”Apa..?”
”Kamu anggota PSTI, ya..?”
”Apa itu PSTI..?” Tanya Candi.
”Persatuan Sok Tau Indonesia.
Tau nggak.. aku bosan kamu bicara tak penting begitu. Sekarang kita mau ke mana..?” Ujar Rio ketus.

”Lho, kok tanya lagi..? Kita turun ke bawah sana, mengikuti jalurku waktu dikejar si jebah.
Kita cari tanah bergerak di dekat sebuah pohon besar. Lalu kita melorot ke bawah seperti aku kemarin.
Jangan kuatir, aman kok, seperti main perosotan..” kata Candi, mulai memimpin Rio menuruni lembah dalam gelap.

Rio mengikuti Candi. Sungguh luar biasa semangat gadis ini. Ia tekun mencari jalur lari itu melewati pepohoan..
gundukan, semak-semak belukar.. dan tanda-tanda lain yang diingatnya.

Setengah jam kemudian mereka menemukan posisi yang disebutkan Candi.
”Ini pohon besar itu. Tempat lorotan pasti ada di sekitar sini..” kata Candi.

Gadis itu menyorotkan lampu. ”Nah, itu dia..!” Ia membuka segugus semak.
”Jadi lewat rerimbunan ini kamu terperosok ke bawah..?” Tanya Rio.

”Betul. Sekarang bersiaplah. Aku duluan, kamu menyusul setelah kau perkirakan aku sampai di dasar.
Ingat, jangan ragu-ragu. Jangan takut..”

Candi mengencangkan jaket dan menguak rerimbunan, dan mengambil ancang-ancang.
Dengan pekik kecil tubuhnya luruh ke bawah.

Rio menanti beberapa saat. Ketika dipastikan Candi sudah sampai di bawah, Rio menyusul.
Jantungnya berdetak keras manakala tubuhnya meluncur deras ke bawah.

Ia terjungkal sedikit ketika sampai di dasar perosokan.
Candi sudah menanti tak jauh dari dasar perosokan dengan lampu baterai menyala.

”Mana gubug Probosangkoro..?” Tanya Rio.
”Itu di sana..!” Ia menyorot dengan lampunya..
”Orang tua itu pasti terkejut kita datang berkunjung malam-malam begini..”

Mereka melangkah ke arah gubug. Gubug itu gelap gulita.
”Aneh.. Probosangkoro tidur tanpa penerangan sama sekali..” kata Candi.

”Tapi ada bekas bakaran yang menyala..”
Rio menunjuk setumpuk sisa bahang yang masih hangat dan cercah sisa api di balik abu.

”Bahang ini masih baru. Kalau bukan untuk memasak, pasti buat memanaskan tubuh..” kata Rio.
”Probosangkoro tidak ada di dalam gubug..” lampu baterai Candi menjelajah bagian dalam gubug.

”Ke mana dia..?” Kata Rio. ”Tak pernahkah kau tanya pada Probosangkoro ke mana ia pergi di malam hari..?”
”Sialan..! Memangnya aku tau bakal ke sini lagi malam-malam..?” Balas Candi.

Rio sibuk mengawasi bagian dalam gubug, Candi mundur beberapa langkah.
Tak sadar kakinya berdiri di pinggiran kolam, dan batuan di pinggir kolam bergerak.

Candi kehilangan kesimbangan. Ia tercebur diikuti buncahan air. Seluruh badannya terendam.
”Batu sialan..!” Candi berdiri dan merayap ke pinggiran kolam. Menggigil ia dalam pakaian basah.

Ia menyisir rambutnya yang basah pula ke belakang. Rio menyorotkan lampu baterai ke muka Candi.
”Busyet..! Kamu jelek sekali kalau basah kuyup begitu..” kelakar Rio.

Candi mengusap rambut, mencoba memeras air di rambut. Tubuhnya menggigil.
”Kau bisa masuk angin dengan baju basah begitu. Tanggalkan bajumu dan pakai jaketku..”
Rio melepas jaket dan menyerahkannya pada Candi.

Candi bersiap melepas jaket dan baju dalamnya. ”Eit. Tunggu dulu. Aku berbalik.
Tak mau aku melihatmu telanjang dada sebelum kau jadi istriku..” kelakar Rio lagi..
Padahal sudah duakali dia melihat tubuh molek Candi.

“Memang siapa mau jadi istrimu..?“ Tukas Candi ketus.
”Siapa saja boleh. Siapa tau kamu mau..” kata Rio.

”Kau memang menyebalkan..” Candi mendekap tubuhnya seusai mengenakan jaket Rio. Kedinginan dia.
”Mau kupeluk biar hangat..?” Kata Rio asal-asalan, menggoda Candi.

Candi tak menjawab. Itu tanda Candi tak keberatan. Rio merapatkan tubuh dan takut-takut memeluk Candi.
Candi tak protes dan membiarkan Rio menghangatkannya. Rio mematikan lampu baterai yang sedari tadi menyala.

”Lebih hangat sekarang..?” Tanya Rio. Candi mengangguk, dan merapatkan pelukannnya.
”Aku tau sekarang, kau sengaja menceburkan diri ke kolam supaya ..”

”Supaya apa..?” Tiba-tiba Candi melepaskan pelukan.
“Supaya ini..” Rio mengecup bibirnya, dipagutnya keras.

Hmm.. wangi sekali baunya.. pengaruhnya seakan membius Rio ke dalam kesenangan syahwati.
Tubuh seksi yang tergolek pasrah ini mesti disetubuhi lagi.

"Geli, Rio, jangan..!!" Rintih Candi..
sewaktu jari-jari Rio menyibak jaket dan mulai meremas-remas tonjolan payudaranya.
"Tahan sedikit, biar tubuhmu hangat..” rayu Rio sambil terus meraba. Dia menjadi agak liar.

Diperosotkannya beha Candi yang masih membungkus buah dada berukuran besar.
Ia cium-cium tonjolan daging itu, putingnya yang berwarna merah muda terasa mulai mengeras.
Clurpp.. clrupp.. slrupp.. Rio memilin-milinnya, lalu ia cium dan gigit-gigit pelan.

Candi tidak menolak sama sekali, bahkan dia merintih keras.. "Auh.. uhh.. ahh..” Membikin Rio jadi makin gila.
Ia gigit bergantian buah dada itu..
sambil tangannya turun ke bawah membuka kancing celana Candi yang berwarna hitam.

“Owghh.. Rio..!” Candi menjerit keras. Rio hanya tersenyum dan melepas gigitannya..
Memandangi cupang merah yang ada di buah dada Candi sebelah kiri.

Agar seimbang, ia gigit juga yang sebelah kanan. Candi jadi kembali berteriak.
Tapi asyiknya, dia tidak melarang sama sekali. Malah dia terlihat suka dikasari.

Rio lalu berlutut dan jongkok di depan gadis itu, diperosotkannya celana Candi hingga terlepas.
Putih sekali pahanya.. mulus.. terlihat bercahaya di kegelapan lembah yang begitu kelam.
Kakinya yang panjang itu ia elus dari bawah ke atas, sampai ke pangkal paha.

“HHss.. Rio..! Geli..!” Candi menggelinjang-gelinjang..
saat daging cembung besar dengan rambut hitam keriting lebat di selangkangannya mulai dipegang-pegang.

Rio mendorong agar Candi duduk di bebatuan. Gadis itu menurut saja.
Tak berkedip Rio memandangi tubuh molek itu.

Buah dada Candi yang besar dan padat nampak menjulang indah..
Pantatnya yang lebar menyangga vaginanya yang gembul.

Sambil mengelus-elus paha Candi.. Rio segera mengarahkan mulutnya ke sana.
Ia acak-acak memek Candi dengan isapan rakus..
Sementara tangannya dengan ahli meremas-remas buah dada Candi yang menggantung indah.

"Rio.. oughhhh..!!” Candi berteriak histeris begitu jari-jemari Rio mulai menyibak belahan kemaluannya.
Rio mengusap-usap untuk mencari kelentitnya.

Kacang merah besar itu sudah menyembul keluar, jadi gampang dan enak sekali saat dimakan.
Betul-betul Rio 'mengunyahnya' hingga Candi jadi semakin berteriak kencang.

Rio menambah rangsangan dengan memasukkan jari ke dalam lubang senggama gadis itu.
Ia korek-korek dindingnya yang lembut dan hangat sambil ia jilati habis kemaluan Candi luar dalam.

"Rio, sudah..! A-aku g-geli..!" Candi kian menjerit.
Pantatnya yang bulat bergoyang-goyang, meminta agar lekas dihajar.

Cepat-cepat dia bangun kemudian mendorong Rio agar tiduran di rerumputan.
"Aku mau di atas..!" Candi berkata.

Santai Rio berbaring.. sementara Candi mengarahkan penis ke lubang kemaluannya yang sudah membanjir.
Dia lantas jongkok di atas pinggul Rio.. lalu clebb.. bleesskk..!! “Nghhh.. ughhhh..!!” Candi merintih.

Benda tumpul dan kejal itu sudah dijepit oleh belahan daging nikmat liangnya.
Candi berhenti sejenak.. menikmati kepejalan pancangan otot keras.. sembari menggetarkan otot vaginanya.
Nyutt.. nyutt.. nyutt.. nyutt..!!

Beberapa detik kemudian.. Sleepp.. dia angkat pantatnya.. lalu .. jlebb-jlebb-crebb-crebb-crebb..!!
Candi menaik-turunkan pantatnya kencang sekali.. napasnya panas menggebu.

Dengan gerakan gemulai pula.. Candi menggeolkan pinggul dan pantatnya dan terkadang bergerak naik-turun..
Mengocokkan turun-naik 'tiang pancang' batang berotot kejal dan alot Rio di kerapatan belahan liang nikmatnya

Tangannya berpegangan pada tangan Rio.. kepalanya bergoyang.. sehingga rambutnya yang agak panjang berderai-derai.
Sementara pinggulnya bergerak lincah.. mengayak kiri-kanan.. seolah ingin melumat habis batang penis Rio.

"Nghh.. oghh.. oghh oghh..!" Candi melenguh-melenguh. Cukup lama Candi beraksi.. sementara Rio enak-enakan..
Memeras.. meremas.. menguli susu besar yang menggelantung indah di depan hidungnya.. sepuas-puasnya.

Terkadang tangan Rio juga turun ke bawah.. untuk meremas pantat bulat Candi yang bergoyang kencang.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 12

“Ahhh.. ughhh.. ughhh.. ahhh..”
Candi merintih-rintih penuh nikmat..
Nampak ketagihan menggesekkan dinding-dinding lubang kemaluannya dengan batang kontol Rio..
yang masih menancap dalam. Dia genjot-genjotkan pinggulnya ke sana ke mari untuk memuaskan nafsunya.

Rio masih tetap meremas-remas payudara Candi hingga menjadi merah sekali.
Jepitan memek gadis itu membuat bendungannya serasa mau jebol..

Maka ia bangkit dan dirangkulnya Candi erat-erat.
Dengan meremas susunya dan menekan pahanya.. Crrrtt.. crrrttt.. crrrttt..!!

Rio memancarkan air maninya ke dalam kemaluan Candi yang ternyata juga turut berkedut-kedut pelan.
“Arghhhh..” mereka merintih secara bersamaan.

Namun Candi memberi kejutan dengan bangkit dan menunduk.
Ctapp..!! Ia tangkap kontol Rio yang masih memuncratkan pejuh dan dimasukkan ke mulutnya.
Candi mengulum dan mengisapnya hingga cairan lengket yang melekat di sana jadi bersih tak tersisa.

Rio mengecup pipi Candi sebagai ucapan terimakasih.
"Kamu benar-benar pintar memuaskan lelaki, Can." Dia tidak tahan berkomentar.
"Ah, kamu bisa saja." Candi bersandar mesra. Mereka terdiam untuk beberapa saat.

”Eh lihat, dasar gubug itu terbuka..” Rio menyorot gubug ketika terdengar bunyi berderak dalam gubug.
”Benar juga. Kok bisa..?” tanya Candi. Menggeliat dan bangun.

Mereka masuk ke dalam gubug dan memeriksa.
Lantai gubug yang semula tertutupi dedaunan dan kain-kain kumal kini terangkat..
menyisakan lubang menganga ke bawah yang berbau apek bercampur bau tanah.

Tapi ketika Candi mendekati bukaan itu..
tiba-tiba penutup yang tadi terangkat kembali berdebum ke bawah dan menutup rapat lubang itu.

”Aku tau kenapa dasar gubug itu terbuka..” kata Rio sembari menyorotkan lampu senter.
”Lihat.. ada sepotong kayu di pinggiran kolam..”
Rio menginjak sepotong kayu mencuat di pinggir kolam tempat mereka bergumul tadi. Dasar gubug terbuka lagi..!

”Lantai gubug terbuka ketika kamu menyenggol kayu ini waktu orgasme tadi..” kata Rio.
”Ah.. aneh sekali. Ada sistem mekanis di gubug ini. Apa ada sesuatu di lubang menganga di gubug itu..?”
Kata Candi yang kembali mengenakan pakaian.

”Probosangkoro pasti ada di lubang itu. Ayo kita cari tau..” ajak Rio.
Ia menginjak sekali lagi tuas kayu di pinggir kolam, dasar gubug terbuka lagi.

”Lihat, ada tangga kayu menurun..” Rio menyoroti lubang itu dengan lebih seksama.
”Oke, kita turun. Aku yakin ini tempat persembunyian lain Probosangkoro..” kata Candi.

“Tapi sebelumnya, pakai celanamu dulu. Burungmu mematuk ke mana-mana..”
Rio tertawa dan mengenakan bajunya kembali.

Setelah itu hati-hati mereka mulai menuruni tangga dengan rasa was-was. Lampu senter dijepit mulut.
Kalau dihitung, ada 13 anak tangga yang masing-masing berjarak 25 centimer.

Di bawah sana.. mereka melihat sebuah gorong-gorong yang beratap dan berdinding tanah..
dengan penguat terbuat dari kayu malang melintang.

Terowongan itu berlanjut ke kanan dan makin membesar, yang cukup untuk dua orang berpapasan.
Jelas ini merupakan ruang rahasia. Di sinikah Probosangkoro tinggal..?

Belum sempat mereka terkesima pada ruang rahasia itu..
mereka dikejutkan oleh seberkas cahaya lampu minyak dari arah depan.

Rio mencekal tangan Candi untuk menghentikan langkahnya..
serta mendorong gadis itu menepis ke cekungan di dinding tanah.
Berkas sinar itu berhenti mendadak, seakan pemegang lampu mengendus kehadiran Rio dan Candi.

Perlahan Candi mendekati lampu itu. Ia yakin itu pasti Probosangkoro.
Dan benar saya, seorang tua berambut gondrong keperakan berdiri di sana.

Terkejut orang tua itu melihat kehadiran Candi. Ia berbalik dan lari tertatih-tatih ke arah ia datang.
”Kakek Probo, tunggu..! Ini saya, Candi..!!” Teriak Candi.
Tapi Probosangkoro terus berlari menyusuri lorong yang makin menjorok ke dalam.

“Kek, saya perlu bertanya. Desa Kemiren gawat.
Kami harus tau bukti yang ditinggalkan von Weisserborn pada Parto Sumartono.
Ini penting, Kek..!!” Teriak Candi sambil mengejar terus. Probosangkoro tetap berlari menjauh.

Candi dan Rio hampir bisa mendekati Probosangkoro..
ketika tiba-tiba saja dua orang lain datang dari arah berlawanan dengan lampu senter di tangan.

Kedua orang itu membiarkan Probosangkoro lewat ketika berpapasan dengan mereka.
Dan begitu orang yang terdepan kena sorot lampu baterai, Candi terperangah.

“Si jebah..!” Pekik Candi.
“Dan si celana longgar di belakangnya..!” Pekik Rio pula.

Tanpa berpikir panjang, Candi langsung berbalik arah.
Tapi mudah sekali si jebah mengaitkan kakinya ke kaki Candi. Candi jatuh bergulung.
Si jebah langsung menindihnya dari belakang dan mengunci gerakan Candi.

Si celana longgar tak sulit pula mendapatkan Rio.
Begitu Rio dekat dengannya, si celana longgar mengirim tinju yang langsung mendarat di jidat Rio.

Rio terpental ke belakang dan kepalanya menghantam bentangan kayu di dinding tanah.
Kepalanya berdenyut dan sebentar kemudian ia terkulai lemas.

Candi meronta-ronta dalam cengkeraman di jebah.
Si celana longgar menyeret Rio yang setengah tak sadarkan diri ke lorong lebih ke dalam lagi.

Karena Candi terus berontak, si jebah jadi tak sabar.
Ia angkat tubuh gadis itu dan memanggulnya dengan dengan kasar.
Candi memukul-mukul. Tapi si jebah malah terkekeh-kekeh dengan suara menjijikkan.

Dari depan terdengar suara..
”Masukkan kedua bedebah ini ke ruang tertutup. Jangan diapa-apakan sampai Bapak datang..” ujar suara itu.

Si jebah dan si celana longgar mengangguk.
Mereka kemudian berbelok ke ruang berdinding tanah berlantai dedaunan kering.

Terdengar rintihan Candi saat gadis ini dilemparkan dengan kasar ke lantai sebuah ruangan.
Rio mengerang ketika ia dihempaskan ke lantai dengan kekasaran yang sama.

Kenapa bajingan-bajingan ini ada di tempat persembunyian Probosangkoro yang gelap gulita.
Siapa Probosangkoro sebenarnya..? Gerangan apa yang akan terjadi pada dua orang muda itu di sarang gulita ini..?
------ooOoo------

Rio membuka mata ketika Candi menggoyang-goyang pipinya. Pening masih merayapi kepala.
“Syukurlah kau siuman..! Lihat sekeliling.. kita disekap di sebuah ruang tanah.
Si jebah dan celana longgar baru saja menutup lorong buntu ini dengan kayu malang melintang..” ujar Candi.

Rio meraba kepala belakang. “Jadi, di ruang bawah tanah ini ada Probosangkoro, si jebah dan si celana longgar..?
Kira-kira ada berapa banyak orang lagi..?” Tanya Rio.

”Nggak tau. Tapi aku sama sekali tak menduga si jebah dan celana longgar ada di sini bersama Probosangkoro.
Aku menduga komplotan itu bermarkas di sini. Untuk sementara menurut hitungan, jumlahnya lebih dari empat.
Bos komplotan dipanggil ’Bapak’..” kata Candi.

”Bagaimana kamu tau..?” Tanya Rio.
”Aku mendengar ada orang bicara..” tukas Candi.

Rio menatap berkeliling. Ia meraih lampu senter dari tangan Candi..
kemudian bangkit meneliti dinding ruangan dengan sorot lampu.

”Kalau melihat permukaannya, dinding ini tidak baru. Tanahnya sudah mengeras dan berlumut kering.
Ruang ini merupakan modifikasi dari rongga-rongga bekas galian benda-benda purbakala.
Sengaja ada orang yang memanfaatkannya sebagai ruang-ruang rahasia..” ujar Rio.

Candi menyandarkan diri pada salahsatu dinding.
Belum tuntas ia memikirkan hubungan antara Probosangkoro dan dua begundal itu, si jebah dan celana longgar.

Kalau ditilik dari pola gerakan dan cara kerja serta kekacauan yang terjadi di Kemiren..
rasanya tak mungkin si jebah di si celana longgar sendiri yang meletupkan kekacauan di Kemiren.
Pasti ada orang lain yang menjadi otak konspirasi perebutan uang hibah itu di desa ini.

Mungkinkah itu Probosangkoro.. yang bergerak diam-diam dari tempat persembunyiannya di rongga-rongga ini..?
Kalau memang benar Probosangkoro, Candi jadi menyesal terlanjur kagum pada orangtua itu.

”Dengar, ada yang membuka pintu..” Rio menyenggol Candi. Pintu kayu itu bergerak.
Si jebah, si celana longgar dan seorang lain bertubuh tinggi besar dengan kumis tebal masuk ruang sempit itu.
Bau keringat merebak di udara pengap.

Tanpa suara, si kumis merenggut tangan Candi..
sementara dan si celana longgar bersama si jebah mencengkeram kedua bahu Rio.

Mereka menyeret Candi dan Rio menyusuri sebuah lorong lain.
Dalam cengkeraman si kumis, tak ada lagi yang bisa dilakukan Candi kecuali meringis..
menahan puliran tangan si kumis yang menancap di kulit tangan.

Tapi sekilas Candi menangkap bayangan di cerukan lorong yang menyerupai sebuah ruangan di dinding kiri.
Itu satu sosok manusia sedang terpekur menghadap meja berlampu minyak.

Sosok itu menatap meja dengan pandangan kosong. Ia kelihatan letih dan loyo.
Di meja berserak berpuluh-puluh kertas berbagai ukuran, dari ukuran poster sampai ukuran telapak tangan.
Dan Candi tau sosok itu. Itu rambut jagung.

”Danica..! Danica ada di sini..!!” Pekik Candi, memberi tau Rio.
Benar kata Candi, yang sedang duduk menatap tumpukan kertas kekuningan di meja itu Danica.
Bagaimana ia bisa sampai ke sini..?

”Kau apakah si rambut jagung itu..?” Rio memberanikan diri bertanya pada si celana longgar.
Si celana longgar terkekeh. ”Tak usah banyak tanya. Asal tau saja, rambut jagung itu bersama kami.
Ia harus mempelajari bukti-bukti yang kami ambil dari rumah Parto Sumartono siang tadi..” kata celana longgar..
dibarengi ringkik kurang ajar bernada jumawa.

”Kau yang mengobrak-abrik rumah Si Mbah siang tadi..?” Tak tahan Rio menghardik.
”Kamu memang pemuda tolol. Kamilah yang bikin Kemiren gempar sejak awal kedatanganmu di desa ini.
Masih belum jelaskah itu?” Si kumis ikut bicara..

”Masih untung malam itu di rumah Parto Sumartono tidak kukepruk kepalamu pakai linggis..”
Rio merinding. Pastilah si kumis ini yang memimpin penyerbuan Si Mbah Parto Sumartono..
di malam pertama Rio menginap di Kemiren.

”Kau nanti akan tau siapa sebenarnya si rambut jagung itu dan apa tugasnya di Kemiren..” si kumis terkekeh lagi.
Candi mendengar dengan hati getir. Danica..? Apakah ia terlibat persekongkolan jahat ini..?

Tiba-tiba saja ia punya firasat buruk.
------ooOoo------

Tak ada sumber cahaya lain yang lebih benderang selain beberapa buah lampu minyak bersumbu kain perca..
dengan tabung minyak tanah terbuat dari kaleng bekas.

Lampu-lampu itu diletakkan pada jarak sekitar dua meter. Sebagian lampu ditempel di dinding..
diikat dengan tali seadanya, dan sebagian lagi diletakkan begitu saja di tanah.
Jelaga dari nyala lampu menjilat ke mana-mana.

Sekali lagi Candi dan Rio dijerembabkan oleh orang-orang yang membawa paksa mereka.
Kali ini ruangan berbentuk segi empat yang cukup luas.
Persis seperti dugaan Rio.. ruangan ini dulunya pasti situs penggalian tempat ditemukannya fosil-fosil purbakala.

Menggunung geram di dada Candi dan Rio. Tapi agaknya peluang untuk berontak makin sempit saja.
Selain karena si jebah dan kawan-kawannya menghadang dengan posisi macam siap menerkam..
Candi dan Rio tak punya gagasan utuh ke mana mereka harus lari dalam keadaan darurat.

Rongga-rongga dan lorong-lorong bawah tanah ini sudah jelas merupakan perangkap serba buntu..
yang membuat nasib mereka jadi tak menentu.

Rio menetap berkeliling. Atap ruang cukup tinggi, duakali tinggi manusia normal.
Angin menerobos dari bagian depan, menandakan ada ruang terbuka.

Bisa saja itu berhadapan langsung dengan tebing curam.
Kalau terpaksa meloncat, batu-batu runcing di Kalirandu siap menerkam.

Tapi tetap saja ruang terbuka itu mengusik Rio.
Kalau tidak gelap, pasti bisa diketahui di udara terbuka mana ruang rahasia ini berada.

Menilik suara angin yang sangat bebas dan sesekali terdengar percik air..
bisa ditebak ruang itu berada pada salahsatu bagian tebing Kali Randu.

Di halaman rongga ruang itu, remang-remang terlihat semak-semak dan beberapa batang pohon.
Tanaman itu pasti digunakan untuk menyamarkan rongga dari pandangan orang jauh di seberang kali.

Begitu mulai bisa mengamati sudut-sudut ruangan dengan jelas..
Rio dan Candi mulai paham ruangan itu dipenuhi dengan hasil-hasil galian purbakala..
yang sama lengkapnya dengan yang dimiliki Si Mbah.

Barang-barang itu ditata pada beberapa meja kayu tua..
Dan sebagian lagi diletakkan pada bidang-bidang menjorok di dinding.

Satu per satu orang-orang berwajah seram memenuhi ruangan. Rio perkirakan jumlahnya 5 orang.
Muka mereka hampir sama; dekil, sangar, keji dan haus darah.

”Aku sama sekali tak suka situasi ini..” bisik Rio. ”Ada akal untuk lolos..?”
”Jangan patah semangat. Kita baru akan sampai pada ujung misteri desa Kemiren..” tukas Candi.

”Perhatikan baik-baik setiap gerakan orang dan konsentrasi. Itu saja.” Rio tak berkomentar.
Matanya menangkap seorang begundal lain yang tiba-tiba masuk ruangan dan berseru, ”Bapak datang..!”
Semua mata berfokus pada pintu yang bakal dilewati si Bapak.

Dada Candi berdebar ketika Probosangkoro muncul. Candi memperhatikan Probosangkoro dengan mata geram.
Orang tua itu membalas tatapan Candi tanpa semangat.

Rio juga menguntit gerakan Probosangkoro yang melintas ke sudut lain ruangan.
Mata orang-orang masih tersorot ke pintu. Berarti Probosangkoro bukan ’Bapak’ yang dimaksud.

Belum tuntas kegusaran Candi dan Rio, muncullah Sujarno. Masih dengan bahu batik seragam guru..
Putra tunggal Parto Sumartono itu menyapukan pandangan ke seluruh orang yang hadir.

Muka Sujarno lusuh, redup dan penuh memar. Kemejanya bersimbah debu.
Takjub ia melihat Candi dan Rio ada di ruang itu.
”Dik Rio..! Dik Candi..!” Desis Sujarno berubah cerah, seolah kehadiran mereka membuatnya lega.

Rio tak memberi sahutan. Ia masih belum selesai melihat munculnya rentetan orang..
yang sepertinya sengaja diparadekan untuk menguji dugaan yang dibangun Rio dan Candi.

Dan muncullah Danica. Tertegun mata Danica ketika bertatapan dengan Candi dan Rio.
Keadaan Danica sama jeleknya dengan Sujarno. Ada noda-noda darah di kaos Danica.

“Nanti.. nanti aku jelaskan..” ucap Danica lirih dalam bahasa Inggris, jelas ditujukan pada Rio dan Candi.
Semua mata masih menunggu, dan menyorot ke pintu.

Seraut wajah kemudian datang tanpa perlu ditunggu terlalu lama.
Senyumnya lebar dan mukanya ramah, dengan kacamata mahal.

Ia berjalan didahului sepotong tongkat yang bagian atasnya melengkung.
Ia langsung duduk di sebuah kursi yang sudah disiapkan secara khusus oleh si jebah.
Semua mata memandang padanya.

“Pak Kuntoro..” ucap Rio perlahan. Sungguh ia tak menduga Kuntoro di balik semua ini.
”Ya, saya.. kaget ya..?” Ujar Kuntoro tersenyum langsung pada Candi dan Rio.

Dengan kedua tangan bertumpu di atas lengkungan tongkat.. Kuntoro menikmati duduknya..
Dan membagi pandangan ke semua yang hadir. Rio kini melihat senyum iblis tersungging di bibir tua Kuntoro.
Rio dan Candi menunggu Kuntoro mulai bicara.

”Dalam sejarah..” Kuntoro mulai bicara..
”Selalu ada kejutan dan perubahan, selalu ada catatan tentang siapa yang kalah, siapa yang menang.
Siapa yang berhasil, siapa yang gagal..” Ia mengalihkan tongkat ke tangan kiri.

”Kemiren adalah bagian sejarah yang indah..” kata Kuntoro. ”Bagi Kristoff von Weissernborn, Kemiren adalah karir yang cemerlang.
Bagi Parto Sumartono, Probosangkoro dan aku sendiri, kecermerlangan Kemiran adalah kami bertiga.
Kamilah yang membantu membuka peluang bagi von Weissernborn untuk menjadi tenar di dunia..” Kuntoro berhenti bicara.

”Parto Sumartono memang tampak paling menonjol.. karena cangkulnyalah yang terantuk pertamakali dengan balung butho phitecanthropus.
Tapi amat disayangkan kalau kemudian hanya Parto Sumartono yang dikenang oleh von Weissernborn..” wajah Kuntoro berubah garang.

”Masih ada Probosangkoro dan Kuntoro yang juga turut berperan..” kalimat Kuntoro mulai menanjak.
”Saya heran kenapa hibah sebesar 50.000 euro dari yayasan Kristoff von Weissernborn itu hanya diturunkan buat kantong Parto Sumartono..?
Demikian besarkah jasa Parto Sumartono untuk sebuah penemuan kebetulan yang sesungguhnya bisa terjadi pada siapa saja..?”
Kuntoro berdiri. Berapi-api matanya menebari mata setiap orang yang tak berani balik menatap matanya.

”Lihat itu Probosangkoro. Selama hidup ia miskin. Istrinya mati, tak punya anak, tak punya harta. Tak ada siapapun yang perduli nasibnya..
Tidak juga Lurah Asromo. Ia terpaksa hidup terasing di tebing Kali Randu..” Kuntoro berjalan perlahan menghampiri Probosangkoro.

”Orang tua yang hidup papa ini..” tunjuk Kuntoro..
"Harus mendapatkan bagian yang layak, harus mengenyam legitnya sejarah..” Kuntoro menoleh pada Candi dan Rio.
”Tapi biarlah sejarah berkata lain. Biarlah sejarah menetapkan Si Mbah Parto Sumartono sebagai penerima uang hibah..” kata Kuntoro.

”Tapi perlu kita semua ketahui adalah bahwa Probosangkoro yang kalian lihat ini adalah Parto Sumartono asli..
Yang pertamakali cangkulnya terantuk fosil itu..” gelegar Kuntoro, seperti tengah membaca klimaks sebait puisi.

”Jadi bila uang hibah itu akan jatuh pada Si Mbah Parto Sumartono yang saat ini terbaring di rumahnya..
berarti hibah itu akan jatuh ke tangan yang salah.. karena Parto Sumartono yang sebenarnya ada di sini sebagai Probosangkoro..”

Orang-orang itu bergemuruh kecil mendengar kata-kata Kuntoro.
Sujarno menahan nafas, sulit mempercayai kata-kata Kuntoro. Benarkah semua yang diucapkan Kuntoro..?

”Jadi pertanyaannya, sedhulur semua, adilkah bila uang hibah itu jatuh ke tangan Parto Sumartono palsu..?” Kata Kuntoro.
Orang-orang bergemuruh dan berkasak-kusuk.

”Itu tidak benar..!” Tiba-tiba sebuah suara memecah keriuhan kecil di ruang itu.
Probosangkoro berjalan tertatih ke tengah, mencari tempat yang mudah diperhatikan orang-orang yang hadir di situ.

”Tidak benar..! Kaulah yang menyuruh aku membolak-balik sejarah..” Probosangkoro menuding Kuntoro.
”Kau suruh aku mengaku sebagai Parto Sumartono pada setiap orang yang mengenalku.
Kau pula yang suruh aku mengaku sebagai Parto Sumartono ketika gadis wartawati itu kau jebak masuk jurang..
Dan mendarat di dekat gubugku. Kini aku tidak mau lagi berdusta. Aku sudah muak terusik. Cukup sudah kau menguasai aku..”
Probosangkoro agak terhuyung. Matanya berair, terlihat dari pendar cahaya lampu-lampu minyak.

Kuntoro melotot mendengar selaan Probosangkoro. Panik Kuntoro menanti reaksi Candi dan Rio.
”Anak muda..” Probosangkoro menoleh Candi. ”Wajahku memang mirip Parto Sumartono. Tapi aku Probosangkoro asli.
Parto Sumartono yang tergeletak sakit adalah Parto Sumartono asli. Dia, bajingan itu yang menyuruh aku berdusta..”
Tangan gemetar Probosangkoro menuding Kuntoro.

”Bangsat..!” Berkelebat tongkat Kuntoro menghantam kepada Probosangkoro.
Candi beteriak, hendak menolong. Tapi dua anak buah Kuntoro keburu mencekal tubuhnya dan menghadang Rio.

Probosangkoro terjengkang ke belakang dengan lolongan kesakitan. Ia berusaha berdiri.
Sekali lagi Kuntoro mengayun tongkat dari bagian bawah dagu Probosangkoro.
Orang tua itu terlempar sempurna ke belakang dengan rintihan hebat. Ia mendekap dagu dengan kedua tangan.
Mulutnya menganga dan nafasnya terpotong-potong.

”Inilah yang selama ini aku kuatirkan..” terputus-putus kalimat Probosangkoro.
”Sejak lama aku berfirasat penemuan balung butho itu tidak akan membuahkan keakuran di antara kita..”
Suara Probosangkoro bergetar, timbul tenggelam dilahap sengal-sengal nafasnya.

”Itulah sebabnya aku lebih suka menyepi di sini.
Tapi Kuntoro, orang tua rakus dan keji itu mengubah tempat menyepiku ini menjadi sarang kegiatan busuknya…”

Belum tuntas Probosangkoro bicara, Kuntoro mendekat dan menghantamkan kaki bersepatu ke wajah lelaki itu bertubi-tubi.
Candi menutup mata, tak tahan melihat orang tua itu disiksa. Darah segar orangtua itu muncrat dari mulut.
Seketika, sekuat tenaga, Candi mengumpulkan sisa kekuatan dan berontak dari cekalan di kumis.

”Awas..! Ia lepas..!” Seorang anak buah Kuntoro berteriak. Si kumis waspada. Ia mendekap Candi lebih erat.
”Kalian pengecut semua..!!” Rio beteriak, meronta dari cekalan sejumlah orang.
”Candi cuma ingin membantu orangtua ini. Kenapa kalian mesti takut..?”

Agaknya pekikan Rio didengar Kuntoro. Kuntoro mengisyaratkan agar Candi dilepaskan.
Candi langsung menghambur ke arah Probosangkoro, meraih kepalanya dan merebahkan kepala itu di pangkuannya.
”Kakek Probo..” panggil Candi, iba melihat orangtua nahas itu.

”Maaf, saya telah membohongimu..” makin sulit Probosangkoro biacara.. ”semua yang saya ceritakan kepada kamu itu benar..
kecuali satu hal, bahwa saya adalah Probosangkoro dan saya bersaksi;
Parto Sumartonolah yang menemukan fosil berharga itu bersama von Weissernborn.
Saya tetap Probosangkoro, yang setiap malam bermimpi buruk dikejar-kejar makhluk purbakala..” Probosangkoro terbatuk.

”Kuntoro datang ke gubugku beberapa hari lalu membawa kabar soal uang hibah dari Belanda untuk Parto Sumartono..”
Probosangkoro terus bicara. ”Kuntoro mengumbar kata-kata buruk tentang Parto Sumartono.
Ia bilang aku layak mendapatkan sepertiga uang hibah itu.. sama layaknya dengan Kuntoro mendapatkan sepertiganya lagi..”
airmata Probosangkoro membasahi pipi.

”Aku biarkan Kuntoro menggunakan gua bawah tanah bekas galian.. yang sudah puluhan tahun jadi rumahku ini..
untuk kegiatan busuknya. Sujarno memberitau aku soal penganiayaan pada Parto Sumartono.. dan kepadaku..
Kuntoro mengaku dialah yang suruh orang memaksa Parto Sumartono menyerahkan bukti itu.
Kuntoro biang keladi kerusuhan Kemiren..” habis nafas Probosangkoro. Ia makin tersengal-sengal.

Dada Rio terasa panas. Kuntoro berdiri tak jauh dari Probosangkoro dengan sikap pongah. Matanya memandang licik.
Tapi ia tidak segera bereaksi atas uraian Probosangkoro; boleh jadi ia ingin Probosangkoro tuntas meracau;
Boleh jadi juga itu karena Kuntoro bangga ia masih bisa melakukan kelicikan pada usia sesenja itu.

Probosangkoro mendapatkan kekuatan nafasnya kembali.
”Tadinya aku memang berharap mendapat sepertiga uang itu untuk kubagi-bagikan kepada penduduk desa yang tak mampu.
Tapi aku menarik kembali keinginan itu. Aku tak silau terangnya bintang fosil Kemiren. Aku tak berhak menerima apapun.
Tidak juga Kuntoro. Parto Sumartono-lah yang berhak menerima seutuhnya..” ujar Probosangkoro.

”Baik, tua bangka sok suci..” Kuntoro habis kesabarannya. ”Kau boleh modar sekarang..”
Ia menusukkan ujung tongkat itu ke dada Probosangkoro. Berkelojotan Probosangkoro menahan nyeri.

Seketika Candi membabat tongkat itu dengan tangan kanannya.
”Hentikan kebiadaban ini, orangtua jahanam..” hardik Candi. Serta merta dia berdiri dan mendorong Kuntoro.

Anak buah Kuntoro merangsek, mencoba menahan agar Candi tak menyerang Kuntoro.
Kuntoro dibantu berdiri dan mengisyaratkan agar anak buah tak perlu menahan Candi.

”Kalian dengar semua..” kata Kuntoro. ”Tak perlu lagi aku menutupi niatku. Aku akan menemukan bukti yang diminta yayasan hibah itu.
Lihat, utusan dari yayasan sudah ada di sini. Aku tau persis bukti apa yang diperlukan..”

Kuntoro mendekati Danica. Ia kemudian menoleh ke Sujarno.
”Jarno, suruh rambut jagung ini mengatakan siapa dia sebenarnya..” kata Kuntoro.

Sujarno menelan ludah, dan bicara pada Danica dalam bahasa Inggris. Danica mendongak.
”Saya utusan yayasan Kristoff von Weissernborn yang bertugas meneliti kebenaran bukti sejarah itu..” kata Danica..
”Anak buah Kuntoro menculikku di jalan desa kemarin. Aku disiksa dan dipaksa mengatakan wujud bukti penting itu..” kata Danica.

”Sujarno juga diculik khusus untuk menjadi juru bahasa bagi pembicaraanku dengan Kuntoro..” tambah bule itu.
Candi menatap Danica.
Sedih sekali ia melihat kenyataan Danica terpaksa membuka jati dirinya di hadapan iblis kejam seperti Kuntoro.

Kuntoro lalu mengeluarkan secarik kertas kuning kusam berukuran berukuran 15 x 30 cm dari sakunya..
Membuka lipatannya dan melambaikan pada semua orang. ”Bukti itu..” kata Kuntoro..

”Terdiri dari sepasang kertas kusam. Kertas itu bergambar setengah bagian pohon kaliandra dengan setengah lingkaran hitam mengelilingi kertas.
Di bagian bawah gambar kaliandra ada huruf W dan di bawah ’W’ ada angka 19. ’W’ itu singkatan dari Weissernborn..” Kuntoro tersenyum.

”Aku mendapatkan separuh bukti kertas ini dari tangan Danica.
Pasangan kertas ini, yang harus aku temukan, adalah kertas yang bergambar sambungan pohon kaliandra dan sambungan setengah lingkaran..
bertuliskan huruf ’P’ dan berangka 40, ’P’ adalah singkatan nama Parto. Bila digabungkan.. maka akan jadi kertas berukuran 30 x 30 cm..
dengan gambar kaliandra utuh, bertuliskan W dan P dan 1940. Itu tahun ditemukannya fosil pithecanthropus di Kemiren..”

Gusar sekali Rio mendengar gaya bicara Kuntoro yang jelas-jelas menunjukkan kepongahan.
Rio dan Candi tau Kuntoro memang sengaja memamerkan kecerdasannya.

”Dan jangan anggap aku tua bangka yang tak tau diri. Aku akan membalas budi.
Telah kujanjikan 100 juta rupiah untuk rambut jagung karena telah menyerahkan petunjuk bukti itu..
Dan 100 juta rupiah untuk Sujarno yang telah memberitauku di mana bukti yang ada pada Parto Sumartono disimpan..”
Kuntoro mengayun tongkatnya dengan seringai licik.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
Menurut saya, "Misteri Tersembunyi" ini adalah salah satu karya tulis terbaik di dalam thread punya suhu @Pecah Utak ini...

Penulisannya rapi. Plot twist-nya, di luar dugaan. Temponya, meskipun di awal agak lambat, tapi tetap menarik buat dibaca.
Bahkan, saat baca di bagian ke-1 aja, saya udah yakin jika karya ini bagus dan enak buat dibaca.

Kesimpulannya.... Bravo, hu. Salah satu koleksi terbaik, menurut saya...

:top::top::top::top:
 
Menurut saya, "Misteri Tersembunyi" ini adalah salah satu karya tulis terbaik di dalam thread punya suhu @Pecah Utak ini...

Penulisannya rapi. Plot twist-nya, di luar dugaan. Temponya, meskipun di awal agak lambat, tapi tetap menarik buat dibaca.
Bahkan, saat baca di bagian ke-1 aja, saya udah yakin jika karya ini bagus dan enak buat dibaca.

Kesimpulannya.... Bravo, hu. Salah satu koleksi terbaik, menurut saya...

:top::top::top::top:
:jempol: Siaaapppp.. setubuuuhhh, brada..!!

Trims juga analisisnya brada @Lucky_Lucks ..

Awalnya Nubi juga kurang yakin cerita ini bakal diminati atau ngga di mari.
Sebab seperti nyang brada sebut di atas.. 'agak serius'.. hehehe..

Tapi enaknya buat Nubi jadi lebih nyantai ngeditnya.
Nggak harus 'serius' banget ngeditnya.. - terutama tanda baca -
 
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 13


”Edan..!” Pekik Rio.
Nyalang matanya menatap Sujarno.
”Jadi Pak Jarno tau tau di mana Si Mbah menyimpan bukti itu..?” Tanya Rio. Sujarno mengangguk.

”Dan Pak Jarno sudah memberitau Kuntoro di mana bukti itu disimpan..?” Tanya Rio lagi.
Sujarno mengangguk.. ”Saya tak tahan disiksa dan diiming-imingi uang..” kata Sujarno.
Huh.. Ingin sekali Rio menendang muka Sujarno saat itu juga.

Danica tak banyak bicara. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang diperbincangkan orang-orang di sekelilingnya.

”Begitulah..” Kuntoro bicara dan duduk lagi di kursinya. ”Sekarang semuanya jelas dan gampang.
Yayasan itu akan memberikan hibah kepada orang yang mengantongi bukti itu.
Separuh dari kertas yang ada pada Parto Sumartono memang belum ada padaku.
Malam ini adalah malam terakhir peristiwa yang kalian lihat sebagai teka-teki Kemiren itu.
Aku tak perlu lagi menunggu Parto Sumartono bicara.
Saat ini juga salah seorang anakku pasti sedang berada di rumah Parto Sumartono untuk mencari pasangan lembaran ini.
Suatu pekerjaan yang mudah. Pagi nanti aku tinggal menunggu hasilnya.
Selebihnya anakku akan membawa sendiri kertas itu ke kantor Yayasan Kristoff von Weissernborn di Leiden atas namaku.
Anakku telah mempersiapkan segalanya dengan baik..”

”Anakmu..?” Kata Rio.
”Lantas kau pikir kami tidak akan menghentikan niat busukmu itu..!?” Seru Rio. Otot-ototnya mengeras di leher.

Kuntoro terkekeh. ”Tidak akan, anak muda. Tidak akan..! Tidakkah kau lihat kau berhadapan dengan siapa..?
Lima pemuda desa tangguh yang setia padaku..” kata Kuntoro.

”Kau memang orangtua keji tak berbudi..” Candi ikut menyemprot.

Saat itu.. entah kekuatan apa yang didapat Rio, dia tiba-tiba bergerak lepas dari cekalan orang-orang itu.
Ia bergerak maju dan mendorong meja kayu penuh fosil. Meja itu terguling, menghamburkan semua yang ada di atasnya.

Rio menyerbu Kuntoro. Tapi secepat kilat pula anak buah Kuntoro melumpuhkannya dengan pukulan keras ke rahang..
yang membuat pemuda ini harus tergeletak tak berdaya untuk keduakalinya.

Danica dan Sujarno gemetar menyaksikan insiden yang keras itu. Candi kuatir sekali pada Rio.
Kuntoro kini berdiri mengangkangi Rio dengan raut paling menyebalkan.
Tak tersungging lagi senyum di bibir orang tua itu. Yang tersisa cuma ekspresi kemenangan bersayap nafsu binatang.

”Dengar, anak muda..” kata Kuntoro.. ”Aku masih berbaik hati tidak menghabisi kau dan wartawati itu dari awal.
Aku masih memberi kalian waktu untuk menghirup udara segar, sampai aku mendapat kabar barang bukti itu sudah aman di tangan anakku.
Dan itu tidak akan lama lagi. Selebihnya, aku akan mengubur kalian hidup-hidup di sini bersama si tua bangka Probosangkoro.
Tak seorangpun bakal menemukan kalian. Mudah-mudahan ratusan ribu tahun lagi..
kalian bisa digali sebagai fosil orang-orang muda yang kalah di tempat ini..”

Kuntoro melangkah mundur dari kangkangannya pada Rio. “Kuserahkan mereka pada kalian. Terserah mau diapakan.
Yang perempuan diperkosa juga boleh..” Dia terkekeh pada kelima anak buahnya..
Kemudian berbalik dan menghilang bersama si Jebah, celana longgar, si Kumis dan seorang lain.

“Hei, apa-apaan ini..!?” Danica merasa kaget bukan kepalang saat tiba-tiba rambutnya dijambak dan ditarik oleh seseorang.
Sujarno yang ingin menolong, langsung diancam oleh golok, dia jadi tak bisa berbuat apa-apa.
Sementara Candi ditarik masuk ke ruangan lain oleh dua orang.

Danica didorong dengan keras.. sehingga jatuh terjerembab ke tanah.
"Apa yang kalian lakukan..? Jangan..!" Jeritnya setengah bergetar sambil memegangi kepalanya yang terantuk batu.

Para penyiksanya tidak menjawab. Dua orang mendekatinya, sedetik kemudian mereka telah menyergap, mendekap..
dan menggumulinya. Napas keduanya mendengus mengembus di sekitar wajah Danica saat berusaha untuk mencium.

“Jangan perkosa dia..! Hei, lepaskan aku..!" Jerit Sujarno yang berusaha memberontak, namun, “Ughhh..!!”
Dia langsung terdiam dan terbungkuk-bungkuk saat perutnya dipukul.
“Diam, atau kubunuh sampean..!” Ancam seseorang yang memegang golok. Sujarno jadi tak berkutik lagi.

Danica sendiri terus meronta sambil memukulkan kedua tangannya sembarangan, berusaha melepaskan diri dari dekapan.
Tapi kedua lelaki yang menghimpitnya terus memeluk erat, bahkan salahsatunya mendekap pinggang Danica dan mendudukinya..
Sementara yang satu lagi mencekal tangan Danica erat-erat. Perempuan bule itu pun tidak dapat lagi bergerak.

"Bajingan..! Lepaskan aku..!" Danica menjerit parau.
“Ssstt.. diamlah..! Atau ini bakal menjadi lebih menyakitkan..!”
Salahsatunya berkata begitu melihat Danica terus menjerit dan menyumpah-nyumpah.

“Jangan..! Kumohon..!" Rintih Danica. Tenaganya sudah mulai habis dan suaranya pun sudah mulai serak.
Air mata meleleh membasahi pipinya saat salahsatu lelaki membetot keras kemeja yang ia pakai..
membuat seluruh kancingnya terlepas dan berjatuhan di atas tanah.

Sekarang tubuh bagian atas Danica menjadi setengah terbuka.
Mata kedua lelaki yang mengeroyoknya semakin melotot melihat kemontokan buah dada yang masih terlindung di balik bra hitam.

"Lepaskan..!!" Jerit Danica saat satu tangan mereka mulai bergerak meremasi sebelah payudara.
Satu orang satu gundukan, mereka membaginya dengan adil.

Tubuh Danica menggelinjang hebat menahan rasa ngilu.. dia bergetar keras saat kedua lelaki itu menyusupkan tangan ke balik bra..
dan mulai meremas-remas dengan lebih keras.. sambil sesekali menjepit puting dan mempermainkannya dengan dua jari..
Sementara mulut mereka terus menjilati leher Danica begitu buas.

"Lepas bra-nya, Kang..!!" Seru laki-laki yang mendekap tubuh Danica.
Ctass..!! Dengan sekali sentak.. kain penutup itu pun terlepas.

"Tidak.. Tidak..! Jangan..!" Jerit Danica semakin panik. Tangisnya meledak..
Dia begitu ketakutan dan putus asa hingga seluruh bulu kuduknya merinding.

Dan ia semakin gemetar ketakutan saat laki-laki yang menduduki pinggangnya menjauh untuk memandangi gundukan buah dadanya..
yang telah terbuka. Pandangannya seperti hendak melahap habis payudara itu.
"Sempurna..! Besar dan padat..” gumamnya sambil terus memandangi dada Danica yang menggantung bebas.

Setelah itu dia kembali beranjak mendekati.. mendongakkan kepala Danica dan melumat bibirnya..
Sementara tangannya langsung mencengkeram buah dada Danica dan meremasnya dengan kasar.

Suara tangis Danica langsung terhenti begitu mulutnya dilumat. Ia rasakan lidah orang itu menjulur ke dalam mulutnya.
Danica makin tercekat saat tangan lelaki yang satunya bergerak ke arah selangkangan.. menyusup ke balik celana.

Dia tersentak begitu vaginanya disentuh. "Tidak..! Tidak..! Lepaskan aku.. bajingan kalian..!"
Danica menjerit sambil menendang-nendangkan kaki, berusaha menjauhkan kedua laki-laki itu dari tubuhnya.

Tapi.. “Hei, coba melawan terus.. maka golok ini akan menancap ke perut temanmu..!”
Ancam orang ketiga yang berdiri di dekat Sujarno.. sekarang goloknya teracung ke perut Rio yang masih tergolek pingsan.

“Turuti apa kata mereka, Danica..” Sujarno berkata, meski sangat tak tega.
Dia kemudian berpaling agar tidak melihat pelecehan itu lebih lanjut.

"Ouh.. sakit..!" Keluh Danica saat tubuhnya kembali didekap, kali ini dengan lebih erat.
Dia tidak melawan, terpaksa diam agar Rio bisa selamat.

Melihat keadaan tubuhnya yang sudah setengah telanjang.. kedua pemerkosanya jadi semakin bernafsu.
Mereka berdua langsung menyerbu. Seperti kemasukan setan.. mereka melepas celana Danica..
Mencabik-cabik celana dalamnya dan akhirnya merenggutnya dengan paksa hingga Danica jadi benar-benar telanjang.

Danica sudah tidak sanggup lagi untuk menahan.
Dia memejamkan mata dengan air mata semakin deras mengalir membasah pipi.. bulu kuduknya bergidik.
Dia tak pernah membayangkan kalau hari ini akan diperkosa seperti ini.

"Jangan.. kumohon..!" Bisiknya saat melihat salahsatu dari mereka berdiri untuk melepaskan pakaian.
Laki-laki bermuka kusam itu melakukannya dengan sangat terburu-buru.

Danica sadar.. laki-laki itu sebentar lagi akan menggagahinya.
Seketika itu juga ia rapatkan kedua kaki untuk menutupi celah selangkangannya..

Tapi laki-laki itu segera berjongkok untuk membukanya kembali.
Dia merenggangkannya dan kemudian memposisikan tubuh di antara kedua pangkal paha Danica yang licin dan putih mulus.

“Pegangi tangannya, aku mau mulai ini..!!” Lelaki itu berseru pada temannya.
"Jangan..!" Keluh Danica lemah dan putus asa.. sambil bertahan untuk tetap merapatkan kedua kaki.

Tetapi tenaga pemerkosanya jauh lebih kuat, dengan mudah pahanya dibuka dan dikuak.. selebar-lebarnya.
“Sudah tubuhnya bagus, memeknya sempit lagi..” laki-laki itu tersenyum puas.
“Benar-benar beruntung kita hari ini.”

Temannya yang memegang nadi Danica hanya tertawa lirih.
“Buruan, nanti gantian..! Aku juga sudah tidak sabar pingin merasakannya..”

“Habis ini, kita pindah ke sebelah. Tampaknya si bule tadi juga nikmat..”
“Setuju. Tapi pertama-tama, yang ini kita gagahi dulu..”

Danica terhenyak saat tubuh sintalnya mulai ditindih.. membuatnya jadi sesak dan sulit untuk bernapas.
Buah dadanya tertekan oleh tubuh laki-laki itu..
Sementara memeknya terkuak oleh penis si pria yang mulai mencoba menerobos masuk.

"Arghh.. j-jangan! Sakiitt..!" Danica merintih sambil berusaha menggeser pinggul ke kiri dan ke kanan.
Bisa ia rasakan kemaluan laki-laki itu bergesekan dengan bibir kemaluannya.

"Ssst.. diamlah..!” Pria bermuka kusam itu terus mendorong. Bersamaan dengan itu, tangan temannya bergerak..
menjambak rambut Danica dan menariknya hingga kepala Danica terdongak.
Kemudian dengan kasar mulutnya melumat bibir Danica sambil sesekali meremas-remas payudara.

Merasa mendapat jalan.. si muka kusam terus menekankan tubuh.
Ditembusnya selangkangan Danica dengan batang penisnya yang meski tidak besar-besar amat namun sangat panjang.

“Aarghh..!!” Danica merasakan kesakitan yang luar biasa di dalam liang vaginanya.
Batang yang tidak ia kehendaki itu terus melesak masuk.. menghujam ke dalam lorong kewanitaannya..
mengambil kenikmatan yang selama ini selalu ia jaga.

“Ughhh.. sempitnya..! Memek gadis kota memang benar-benar nikmat..!!” Pria itu merintih sambil mulai menggoyang.
"Ahh.. jangan..! S-sakiitt..!!” Danica kembali menjerit keras begitu ciuman di mulutnya terlepas.
Terasa batang penis yang begitu kaku bergerak-gerak menembus dan merobek jalan kencingnya.

Tubuh Danica melenting ke atas menahan sakit yang teramat sangat.
Ia angkat kaki dan ditendang-tendangkan.. berusaha menutupi selangkangannya..
Tapi tetap saja batang penis itu terbenam di dalam liang vaginanya.

Danica sungguh tersiksa dengan sakit yang mendera.
Ia hempaskan wajah ke kiri dan ke kanan.. membuat sebagian wajahnya tertutup oleh rambut.
Matanya membeliak dan seluruh tubuhnya mengejang hebat.

Danica mengatupkan mulutnya.. giginya bergemeretak menahan sakit dan ngilu.
Napasnya seperti tercekat di tenggorokan..
Dan tanpa sadar ia cengkeram keras tangan si pemerkosa yang sedang memegangi kedua lengannya.

“Uughh.. s-sudah..! S-sakit..!!”
Danica masih terus merintih dan menangis, sementara pemerkosanya sudah benar-benar kesetanan.

Laki-laki itu tidak peduli melihat Danica yang begitu kesakitan.. dia terus bergerak dengan keras di dalam tubuh si gadis..
Memompa dengan kasar hingga membuat tubuh Danica ikut terguncang turun naik mengikuti gerakan tubuhnya.

"Ahh.. sshh.. lepaskan..!" Jeritan Danica melemah saat ia rasakan gerakan laki-laki itu semakin cepat dan kasar..
Membuat tubuhnya makin terguncang dengan keras. Buah dadanya pun ikut menggeletar indah.

Laki-laki yang lain segera mendaratkan mulutnya di buah dada itu, menciumi dan mengulum puting payudara Danica.
Sesekali dia juga menggigitinya, membuat Danica kembali terpekik dan melenguh kesakitan.

Kemudian mulut laki-laki itu bergerak menjilati leher dan kembali melumat bibir tipis Danica erat-erat.
“Hhmphm..!!” Danica hanya bisa diam dan pasrah saat lidah laki-laki itu masuk dan menari-nari di dalam mulutnya.

“Ahhh..!!” Laki-laki yang sedang menggoyangkan penis kini menggeram.. sepertinya dia sangat puas..
karena telah berhasil menggagahi dan merenggut kehormatan gadis secantik Danica.

Perlahan-lahan dia menghentikan gerakannya..
namun tetap melesakkan kemaluannya di dalam liang vagina Danica dan menahannya di sana sambil memeluk erat.
Danica dapat merasakan kemaluan itu berdenyut keras.. denyutannya menggetarkan seluruh dinding liang vaginanya.

Lalu laki-laki itu kembali bergerak.. memperkosanya dengan cepat dan kasar..
Sampai Danica meringis dan merintih-rintih sambil tetap memejamkan kedua matanya.

“Kumohon.. hentikan..!” Setiap gerakan dan hujaman penisnya terasa sangat menyiksa, menyakiti seluruh tubuh Danica.
Badan mereka makin rapat menyatu.. dada laki-laki itu makin keras menghimpit buah dada Danica..
membuatnya makin sulit untuk bernapas.

Lalu dia mengatupkan kedua kaki Danica dan menahannya dengan tangan sambil terus memompa..
kemaluannya bergerak sangat cepat dan kuat.

Danica sadar kalau lelaki itu akan berejakulasi di dalam tubuhnya.. mendadak ia jadi begitu panik dan ketakutan.
Danica tidak mau hamil karena pemerkosaan ini.
Pikirannya jadi begitu kalut saat ia rasakan batang kemaluan si pemerkosa makin berdenyut-denyut tak terkendali di dalam liang rahimnya.

"Jangan..! Jangan.. di dalam..! Lepaskan..!!" Jerit Danica histeris..
saat laki-laki itu menghentakkan penisnya beberapakali sebelum akhirnya membenamkannya dalam-dalam.

Seluruh tubuh laki-laki itu menegang dan dia mendengus keras. “Aarrghhhh..!!”
Bersamaan dengan itu, Danica merasakan cairan hangat menyemprot dan membasahi liang rahimnya.

Laki-laki itu telah orgasme.. menyemburkan sperma demi sperma ke dalam lorong vaginanya..
membuat dindingnya yang lecet makin terasa perih. Danica meraung keras.. tangisannya kembali meledak.
Ia tahan napasnya dan mengejangkan seluruh otot-otot perut.. berusaha mendorong cairan sperma itu agar mengalir keluar.

Jlegghh..!! Dengan satu hentakan terakhir.. tubuh si lelaki akhirnya jatuh terbaring lemas di atas tubuh Danica..
setelah seluruh cairan spermanya mengisi dan membanjiri liang rahim si gadis bule.

Mata Danica menatap kosong dan hampa.. menerawangi langit-langit ruangan gua.
Air matanya masih mengalir, pikiranku kacau. Tapi rupanya penderitaan itu belumlah berakhir.

Pemerkosanya bergerak bangun.. melepaskan himpitan dari tubuh mereka berdua.
Danica kembali merintih, menahan perih saat batang kemaluan laki-laki itu tertarik keluar dari liang kemaluannya.

Danica mengangkat kepala.. melihat ada bercak darah bercampur dengan cairan putih di sekitar pangkal pahanya.
Dia menangis, pandanganku nanar.
Ditatapnya pria bermuka kusam yang sedang berjalan menjauh dengan pandangan penuh dendam dan amarah.

Seluruh tubuh Danica terasa sangat lemah. Ia coba untuk bangun, tapi lelaki yang berikutnya sudah berada di sampingnya.
Cepat lelaki itu menggulingkan tubuh Danica dan mulai menggumulinya.
Danica diam tak bergerak saat seluruh punggungnya diciumi.

Sesaat kemudian laki-laki itu bergerak ke arah belakang, merengkuh pinggang dan menariknya ke belakang.
Danica terhenyak begitu pinggulnya diangkat ke atas, membuat posisinya jadi setengah merangkak.

Ia topang tubuhnya dengan kedua tangan dan lutut, sementara kepalanya menunduk lemas.
Rambutnya yang tidak begitu panjang tergerai menutupi wajah.

Kepanikan kembali melanda saat Danica merasakan batang penis menempel..
dan bergesekan dengan bibir vaginanya yang telah membengkak.

"Kamu memang benar-benar cantik dan seksi.." gumam laki-laki kedua yang tidak kalah jeleknya dengan yang pertama..
sambil tangannya meremasi pantat bulat Danica, sementara batang penisnya terus menggesek-gesek di bibir vagina.

"Ahh.. sakit.. sudah.. hentikann..!!”
Jerit Danica menahan ngilu saat kemaluan laki-laki itu mulai melesak masuk ke dalam liang vaginanya.

Ia angkat punggung dan kedua lututnya, berusaha menghindari hujaman batang penis itu.
Tetapi si lelaki menahan tubuhnya.. memaksa Danica agar tetap membungkuk.

Dengan seluruh otot di punggung seperti menegang dan tangan mengepal keras..
Danica benar-benar tak kuasa menahan perih saat penis pria itu terus melesak masuk..
Menggesek dinding vaginanya yang masih luka dan lecet akibat pemerkosaan yang pertama tadi.

Danica menggigit bibir begitu pria itu mulai bergerak memompa tubuhnya.
"Ahhhh.. kumohon.. hentikaann..!” Jerit Danica putus asa.

Napasnya kembali tersengal sengal, tapi si pemerkosa anak buah Kuntoro terus memompa dengan kasar..
Aambil tangannya meremasi pantat, sesekali juga merengkuh pinggul ramping Danica..
Menahannya yang berusaha merangkak menjauhi.

Akibatnya.. seluruh tubuh Danica jadi terguncang-guncang.. terombang ambing oleh gerakannya yang terus memompa.
Tiba-tiba Danica merasakan wajahnya diangkat.
Saat membuka mata.. ia lihat lelaki yang memegang golok.. yang tadi mengancam Sujarno, sudah berjongkok di depannya.

Laki-laki itu meraih dagu dan mengangkatnya. Dia tersenyum menatap Danica dengan wajah penuh kemenangan..
Juga menatap buah dada Danica yang menggantung dan menggeletar indah.

Tanpa disuruh tangannya terulur untuk meremasnya dengan kasar..
Lalu laki-laki itu mendekatkan wajah.. menyibakkan rambut Danica yang tergerai.

Sesaat kemudian.. mulutnya sudah melumat bibir tipis Danica.. mengisapnya rakus.
Membiarkan Danica merasakan desah napasnya yang busuk.

Mata Danica terpejam, air matanya kembali meleleh saat mulut pria itu dengan rakus menciumi bibirnya.
"Ahh..!!” Danica terpekik pelan saat lelaki kedua menyentakkan tubuh dan menekannya dengan kuat.

Batang penisnya terasa berdenyut keras di dalam lubang kemaluan Danica..
Sebelum akhirnya ia rasakan cairan hangat kembali menyembur di dalam liang rahimnya.

Danica menyerah.. dia sudah tidak punya kekuatan lagi untuk melawan.
Dibiarkannya saja pria itu menyemburkan dan mengisi liang kemaluannya dengan cairan sperma yang sangat kental.
"Periihh..!!" Rintih Danica pelan.

Lelaki itu masih sempat menghujamkan kemaluannya beberapakali lagi ke dalam liang vagina Danica..
Menghabiskan sisa-sisa ejakulasinya hingga ke tetes yang terakhir, sebelum akhirnya menarik keluar secara hati-hati.

Danica tidak sempat untuk beristirahat karena sedetik kemudian.. satu penis kembali mengisi liang rahimnya.
Kali ini milik si pemegang golok. Penis itu begitu besar dan panjang.. juga lebih kaku dari yang sudah-sudah.

Danica tak kuasa untuk berteriak meski ia sangat kesakitan. Malah yang ada ia terpuruk ke samping..
kemudian mendarat di tanah dengan wajah terlebih dahulu. Pandangannya berkunang-kunang.. lalu gelap.
Danica jatuh pingsan.
-----ooOoo-----

Candi tidak mempedulikan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang dan awut-awutan..
kecuali memeriksa Danica yang belum juga siuman.

Hidungnya berkembang kempis menahan amarah dan luka hati yang luar biasa.
Bagaimana caranya keserakahan bisa mengubah orang desa seperti Kuntoro menjadi monster keji..?

Ketika Candi berusaha membangunkan Danica, Rio dan Sujarno datang mendekat.
”Maafkan kami. Kami sungguh tak berdaya. Ingin aku datang menolong, tapi aku juga disiksa..”
Bergantian Rio dan Sujarno bicara.

Candi mengangguk tanda paham. Dia mengisyaratkan agar Rio dan Sujarno memeriksa Probosangkoro..
yang baru saja terdengar mengerang.. diikuti rintih kesakitan yang menyayat hati.

Tangan Probosangkoro menggigil meminta Candi mendekatinya.. sepertinya Probosangkoro ingin mengucapkan sesuatu.
Candi mendekatkan telinga ke mulut Probosangkoro. ”Selamatkan diri kalian. Ruangan ini bisa runtuh kapan saja..
dan bisa mengubur kalian hanya dengan menggerakkan pengungkit khusus yang hanya diketahui Kuntoro..” rintih Probosangkoro.

Lima anak buah Kuntoro yang masih beristirahat setelah puas memperkosa Candi dan Danica secara bergiliran..
melihat adegan ini dengan pandangan sinis dan mungkin menikmatinya sebagai hiburan.

”Dekap aku..” pinta Probosangkoro. Candi menuruti perintah orangtua yang makin kritis itu.
Probosangkoro kemudian berbisik-bisik pelan di telinga Candi.
Semula Candi mengira Probosangkoro hanya ingin agar suaranya terdengar lebih jelas.

Tapi kemudian Candi sadar mulut Probosangkoro mengucapkan sebuah informasi yang teramat penting.
Candi menyimak baik-baik komat-kamit Probosangkoro.

Sesaat kemudian ia berusaha menyembunyikan secercah harapan yang baru saja disampaikan Probosangkoro.
Sembunyi-sembunyi Candi melirik anak buah Kuntoro yang masih siaga dan tak lepas mengawasinya.

Ia sangat berharap tak seorang pun tau isi bisikan Probosangkoro.
Ini benar-benar penting. Yang boleh tau cuma Rio.
-----ooOoo-----

Danica masih belum siuman. Probosangkoro juga tertidur mengorok hebat.
Perlahan Candi melepaskan lingkaran lengan dari leher orangtua itu dan beralih memperhatikan Danica.

Rio dan Sujarno duduk bersandar ke dinding tanah. Rio melayangkan pandangan berkeliling.
Kelima anak buah Kuntoro yang masih tersisa di ruangan itu sibuk menuang kopi panas dari sebuah ketel..
yang dipanaskan di atas tungku berkayu bakar.

Tampaknya mereka sangat yakin dengan kekuatan dan keniscayaan para tawanan yang sudah lelah ini untuk melarikan diri..
sehingga mereka tak perlu ketat mewaspadai mereka.

“Kasihan..” ujar Sujarno dalam bahasa Inggris.. ‘Pemuda-pemuda desa ini tak sadar mereka diperdaya dan dimanfaatkan oleh Kuntoro.
Kuntoro pasti sudah mengobral janji muluk pada orang-orang ini. Mereka ini adalah orang-orang miskin yang tinggal tak jauh dari Kali Randu..
dan biasa menerima derma dari Kuntoro. Mereka terlalu setia pada kakek brengsek itu..”
Candi tak menimpali, tapi mencoba mencerna kata-kata Sujarno.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang..?” Kata Rio.
“Cari cara meloloskan diri. Tapi kita harus buat Danica siuman dulu..” kata Candi.
“Mungkin Danica masih bawa krem obat gosoknya itu..”

Rio meneliti tas pinggang Danica. Untung benda itu masih ada di tas. Ia mengangsurkan krem itu pada Candi.
“Astaga..! Bau apa ini..?” Danica langsung tergeragap ketika Candi mengoleskan krem ke bawah hidungnya.
Ia membuka mata dan mencoba untuk bangun. “Akhirnya kau bangun juga..!” Seru Candi.

Danica melihat sekeliling, lega karena pemerkosaannya telah berlalu.
Dia menerima jaket dari Rio untuk digunakan menutupi tubuhnya yang telanjang.

“Sekarang kita terperangkap di sini dan tak ada jalan ke luar..? Aku yakin ruang terbuka di depan itu..
langsung menganga ke jurang curam yang tak mungkin bisa kita turuni dengan cara merayap..” ulang Rio.

Candi mengangguk. “Sekarang dengar ini, teman-teman..” katanya berbisik..
“Probosangkoro tadi membisikkan sesuatu padaku.
Dia bilang ada jalan rahasia yang lebih mudah untuk ke luar di lorong-lorong ini.
Jalan rahasia itu tembus ke semak-semak dan lepas ke Kali Randu..” kata Candi.

“Hai, kalian jangan kasak-kusuk pakai bahasa was-wis-wus. Bikin sebal saja..!!”
Teriak salahsatu anak buah Kuntoro. “Atau mau kuperkosa sekali lagi..?”

“Aku butuh selimut untuk orangtua ini..!” Kata Candi menunjuk Probosangkoro.
“Aku gak peduli. Biar ia modar kedinginan..!” Sentak orang itu.
Lega Candi. Orang-orang ini pasti tidak mengira mereka sedang membahas soal jalan rahasia.

“Kuntoro di mana sekarang..?” Tanya Rio.
“Aku tak tau. Ia keluar lewat lorong itu bersama si Jebah, si Kumis dan si celana longgar serta satu orang lain.
Ia sesumbar akan mengubur kita hidup-hidup di rongga ini..
setelah anak Kuntoro pasti mendapatkan separuh bukti yang tersimpan di rumah Si Mbah..”

“Kalau begitu kita harus gerak cepat. Kita harus cari jalan rahasia itu.
Masalahnya, bagaimana kita lolos dari orang-orang ini..?” Rio melirik.

Candi berpikir sebentar. “Begini saja..” kata gadis itu.. “Bagaimana kalau Pak Jarno mengobrol dengan mereka..
dan kita coba pengaruhi kesetiaan mereka pada Kuntoro. Pak Jarno pakai bahasa Jawa bicara pada mereka..”
“Ya, tapi bicara apa..?” Tukas Sujarno.

Rio berpikir sesaat. “Katakan begini pada mereka..”
Rio mendekat pada Sujarno dan mengajari Sujarno apa yang musti diomongkan. Sujarno manggut-mangut.

“Dapurane..! Dibilang jangan was-wis-wus, kok terus was-wis-wus..! Nanti kusumpal pakai tanah mulut kalian..!”
Orang yang sedari tadi benci was-wis-wus itu menyalak lagi.

”Ini bukan sedang ngrasani njenengan, Mas..” kata Sujarno dalam bahasa Jawa.
“Saya, rambut jagung dan dua anak muda ini kedinginan dan kehausan. Boleh minta kopi..?”
“Kopi tidak cukup..” jawab pemuda itu dalam bahasa Jawa juga.

“Sedikit saja, Mas..” tutur Sujarno.. “Saya dan njenengan kan sama-sama orang Kemiren.
Dan lagi sebentar lagi kita semua akan mati terkubur di sini. Tak ada jeleknya ngopi sedikit bareng-bareng..”

“Kita semua..? Kalian berempat yang modar. Saya dan keempat pemuda lainnya bakal hidup senang..
dengan masing-masing 5 juta rupiah..” kata pemuda itu menyombong.

“5 Juta..? Memang sudah terima uangnya..?” Tanya Sujarno.. senang mulai dapat bahan untuk berimprovisasi.
“Ya belum..!” Jawab si pemuda.

“Walah.. kok belum to..? Mbah Kuntoro tadi sudah pergi dengan 4 temanmu.
Kata Mbah Probosangkoro, ke-empat temanmu itu bakal tenteram hidupnya dengan masing-masing 25 juta rupiah..
malah sudah dapat persekot masing-masing 5 juta rupiah. Lumayan.. bisa buat beli sapi..!” Ujar Sujarno.. pintar sekali ia membual.

“Selawe juta..? Tenane..? Ojo ngawur..!” Tanya salahsatu pemuda yang sedari tadi tak ikut bicara.

“Iki tenan. Ke-empat orang itu istimewa, posisinya lebih penting daripada kalian.
Makanya yang empat itu diajak pergi Kuntoro sementara kalian berlima ditinggal di sini.
Kalian ra bakal dapat 5 juta itu karena uang Kuntoro bakal tidak cukup buat bayari kalian.
Makanya kalian ditinggal di sini..” Sujarno sengaja mengulang kata ‘ditinggal di sini’.

“Pak Kuntoro tidak mungkin meninggalkan kita di sini..” kata pemuda itu, “Jangan coba-coba menghasut..!”
“Lha kalau tidak percaya, kenapa salahsatu dari njenengan tidak menengok ke lorong sana.
Coba lihat.. apakah Kuntoro dan empat temanmu masih ada di sana..” kata Sujarno.

Beberapa dari orang-orang ini mulai berkasak-kusuk kuatir.
Satu orang berinisiatif menuju ke lorong tempat Kuntoro dan keempat orang itu ke luar. Ia balik lima menit kemudian.

“Celaka, Kang..! Jalan ke luar ke atas menuju ke gubug Probosangkoro tertutup. Ditimbun batu besar-besar. Kita tidak bisa keluar..!”

CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
Bimabet
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 14

Tak cuma orang-orang itu yang terkejut.
Rio, Candi dan Sujarno tak kalah kagetnya.
Tiga pemuda lalu memeriksa kebenaran soal lorong yang terbuntu itu. Mereka balik dengan infromasi yang sama.

“Edan tenan..! Ruangan ini sudah tertutup beneran. Kita dikubur hidup-hidup di sini. Bagaimana ini..?”
Panik orang-orang itu. Mereka menoleh pada Candi. Candi mengangkat bahu.

“Waduh.. maaf.. jangan menoleh ke saya. Saya juga tak mengira Kuntoro sungguh-sungguh mau mengubur kita di sini.
Mungkin ini karma kalian karena sudah memperkosaku. Kalau bukti yang ia cari sudah ketemu..
Kuntoro tinggal merobohkan rongga ini dengan alat yang ia kuasai..” kata Candi.

“Terus bagaimana ini..?” Desak seorang pemuda yang mulai kuatir.
“Lusa aku ini mau melamar pacarku..” tuturnya tanpa malu-malu.
“Ya, mikir sana. Jangan ribut thok..!” Pemuda yang sedari tadi kelihatan memimpin jadi meradang.

Ia kemudian menatap Rio. “Ada cara ndak, Mas..?” Pemuda itu bertanya, lebih sopan nadanya.
“Cara terbaik, adalah menuruni tebing di depan itu, pakai tali..” kata Rio menunjuk ruang terbuka di depan rongga.
“Ndak ada tali..” celetuk salahsatu pemuda, membetulkan sarungnya..

“Kalau begitu, pakai sarung, disambung-sambung. Saya yakin lima sarung kalau disambung-sambung..
bisa mencapai salahsatu tempat datar di bawah sana..” kata Rio.

Pemuda-pemuda itu berunding dalam bahasa Jawa. Satu orang mulai melepas sarung..
memotong sambungan sarung dengan golong dan melipatnya jadi panjang. Yang lain mulai mengikuti.
Sarung-sarung itu disambung-sambung erat, menghasilkan lebih dari 10 meter tali buatan.

Rio mendekati pinggiran ruang terbuka itu dan menyorot lampu ke bawah. Angin dinihari mendesir.
Tak ada apa-apa di bawah selain ruang menganga..
dan agak jauh ke bawah ada sebidang tanah datar, yang bisa digunakan untuk mendarat.
Mudah-mudahan, dari tanah datar itu ada dataran lain yang bisa dilewati.

“Awas, jangan terlalu maju. Bisa jatuh nanti..” kata Rio..
melihat beberapa pemuda mengeratkan ujung tali sarung ke sebuah batang pohon.

“Baiklah, Mbah Probosangkoro harus diturunkan dulu. Siapa yang mau bantu..?” Tanya Sujarno.
“Mbah Probo ditinggal wae. Bikin repot saja..!!” Bentak pemuda pemimpin.

“Kalau begitu, saya saja turun duluan..” kata Candi.
“Tidak bisa..! Kami duluan..!” Kata pemuda pemimpin yang dipanggil ‘kang’ itu.

Ia menyingkirkan Candi dengan kasar. Rio tersenyum dalam hati.
Ia memang berharap orang-orang ini yang turun duluan; bagian dari strategi yang sudah disusun di otaknya.

Sedikit gaduh dan takut-takut pemuda-pemuda itu bergiliran turun.
Sujarno, Rio, Candi dan Danica menanti dengan geli sekaligus cemas.

Si Kang turun terakhir. Begitu ia melorot perlahan dengan sarungnya, Rio menanti beberapa saat.
Rio kemudian mengambil sebuah lampu minyak dan membakar ujung separuh penampang sarung dengan lampu.

“Kenapa tidak dibakar habis sekalian..?” Tanya Sujarno.
“Kalau terbakar habis, mereka akan tau kita memperdayai mereka. Kalau saya bakar sedikit.. mereka mengira tali masih terikat.
Kalau mereka naik lagi pakai tali ini, tali bakal putus dan tak bisa dipakai buat naik..” kata Rio.

Sujarno mengerti maksudnya.
“Bagus juga akalmu. Orang-orang itu, gagal dapat lima juta malah kehilangan sarung..” kelakar Sujarno
“Oke, sekarang kita cari jalan rahasia itu..” kata Candi.

Dengan sejumlah cublik mereka berempat menelusuri lorong demi lorong dan cabang-cabangnya.
Sujarno yang bertubuh besar mengangkat Probosangkoro di pundaknya.

“Menurut Probosangkoro.. lintasan itu sudah lama tidak terpakai. Ia menggali lubang itu untuk bersembunyi..
kalau-kalau tentara Jepang menemukan tempat persembunyiannya..” tutur Candi.

Pada saat mereka masih sibuk menetapkan jalan rahasia yang dimaksud..
tiba-tiba terdengar gelegar berat dari bagian lorong yang telah mereka tinggalkan..
diikuti guncangan keras dan remah-remah berguguran dari atap lorong.
Embusan butiran tanah terhempas sampai di lorong tempat mereka berada. Udara jadi pengap.

“Kuntoro tidak main-main. Ia benar-benar merobohkan rongga tadi..” kata Candi.
“Kita harus temukan jalan rahasia itu secepatnya. Sebentar lagi tidak ada cukup oksigen buat kita..” kata Rio.

Selama beberapa menit mereka meneliti setiap cabang lorong. Tak ada satupun yang bisa disebut sebagai jalan keluar.
Udara makin pengap. Keringat menghiasi wajah. Sujarno terengah-engah membawa Probosangkoro.

Rio melihat sebuah batu aneh sebesar pelukan penuh tangan orang dewasa, separuh tertancap di dinding salahsatu lorong.
Ia mendekatkan lampu senter. “Buat apa kira-kira batu ini..?” Tanya Rio.
“Mungkin ini batu penutup jalan rahasia. Ayo kita angkat..” kata Candi.

Danica, Candi dan Rio mencoba mengangkat batu itu. Berat sekali. Semula batu tak bergerak.
Sujarno menurunkan Probosangkoro dan membantu. Batu itu bergerak.

Bersamaan dengan itu, lorong makin bergetar hebat. Atap lorong runtuh satu per satu.
Gumpalan debu menyesaki lorong. Lorong-lorong ini pasti bakal ambruk seluruhnya.

“Betul..” ada terowongan di sini..” Rio menyorotkan senter. Bau tanah apek menyergap hidung.
“Apa tidak terlalu curam menurutmu..?” Kata Candi terbatuk-batuk bernafas dalam debu.
“Mana aku tau. Tapi ini peluang terakhir kita, tak ada pilihan. Ayo masuk..” ujar Rio.

“Masuk kepala dulu. Danica duluan, bawa lampu senter menyorot ke belakang.
Aku dan Pak Jarno akan bawa Mbah Probosangkoro paling belakang..”

Menahan bau apek luar biasa.. Candi merangkak menyusul Danica menerobos lorong yang tidak bisa dilalui sambil berdiri itu.
Susah payah Rio dan Sujarno membawa tubuh lunglai Probosangkoro.

Sujarno bergerak dengan punggung terlebih dahulu.. karena kedua tangannya menyangga bahu Probosangkoro..
dan merayap mundur. Rio kebagian menahan kaki Probosangkoro dan mengikuti gerakan tarik Sujarno.

Beberapa meter setelah kaki Rio masuk terowongan itu. Tanah berdebum hebat dan mulut terowongan tertutup.
Sebagian debu terhantar ke terowongan sempit itu dengan butiran batu bercampur tanah menghantam kaki dan punggung.

Rio berharap terowongan itu tak ikut ambruk, dan perjalanan menembus terowongan itu akan aman-aman saja.
Tapi siapa nyana kemudian Danica berteriak.. “Celaka,,! Terowongan ini makin curam dan licin..!”

Belum sempat Rio menimpali.. ia mendengar Danica meluncur tanpa kendali..
meski dengan tangan bersitumpu di dinding terowongan untuk menahan derasnya luncuran.

Luncuran ini diikuti tubuh Candi.. dan tentu saja Sujarno yang meluncur dengan punggung terlebih dahulu..
Dan Rio yang mati-matian berusaha keras menangkap kaki Probosangkoro yang terseret luncuran deras Sujarno.

Kelima tubuh itu meluncur deras selama beberapa saat. Tak terhitung teriak kesakitan-kesakitan..
manakala tubuh tersayat bebatuan di permukaan lorong.

Rio tak tau berapa lama mereka meluncur.. ketika ia mendengar ceburan di barisan paling depan..
diikuti tiga ceburan lain dan akhirnya ia sendiri yang tercebur. Inilah ujung lorong itu.

“Huah..!” Terdengar lemparan nafas lega dari para peluncur itu.
Mereka mendarat di salahsatu bagian Kali Randu yang masih berair..
Dan untungnya, lumayan dalam untuk menahan luncuran itu.. tapi tidak terlalu dalam untuk membuat mereka tenggelam.

Sujarno dan Rio sibuk menyelamatkan Probosangkoro dari air dan mencari tepian.
Gelagapan orang tua itu bernafas dengan wajah penuh air.
“Sialan..!” Teriak Candi. “Tigakali sudah aku meluncur di desa ini..! Tidak lagi, deh..!”

”Ini salahsatu palung Kali Randu, di bawah sebuah tudung baru di tebing. Untung musim kemarau.
Kalau musim hujan palung ini dalam..”
kata Sujarno mencoba mengangkat Mbah Probosangkoro dan merebahkannya di dataran kering.

”Itu ada cahaya lampu dari seberang kali..” Candi menunjuk jauh ke seberang.
”Itu rumah penduduk..!”
”Ayo cepat kita cari bantuan. Bagaimana Mbah Probosangkoro..?” Tanya Rio.

”Gawat..! Tak ada denyut nadinya..” kata Sujarno setelah memeriksa Probosangkoro yang berada dalam panggulan pundaknya.
Terseok-seok mereka melintasi badan Kali Randu yang setengah kering’
Sujarno perlahan menurunkan Probosangkoro di antara pasir sungai mengering.

”Ia tak tertolong. Mbah Probosangkoro sudah tewas..!” Kata Sujarno setelah memeriksa nadi Probosangkoro sekali lagi.
Mereka berempat duduk tertunduk di seputar tubuh tak bernyawa Probosangkoro..
sejenak tanpa bicara, menyesali kepergian orangtua itu. Terlalu besar deraan derita buat orangtua itu.

Mereka kemudian memutuskan membawa tubuh Probosangkoro ke tepian sungai.
Beruntung mereka menemukan sebuah dangau reyot dan membaringkan Probosangkoro di sana.

”Untuk sementara kita baringkan Probosangkoro di sini! Kita harus mencari bantuan untuk menghentikan Kuntoro.
Ia pasti berada di suatu tempat menunggu anaknya..” kata Candi.

”Anaknya..?” Ulang Rio. ”Anak Kuntoro..! Siapa dia, kira-kira..?” Rio bertanya-tanya sendiri.
Ia berdiri.. ”Aku harus mencari anak Kuntoro.
Siapapun dia. Ia harus dicegah agar tak mendapatkan bukti itu dari rumah Si Mbah..” kata Rio.

“Kita bagi tugas, Can. Kau, Pak Jarno dan Danica coba lacak Kuntoro. Aku akan ke rumah Si Mbah.
Mudah-mudahan belum terlambat menghentikan anak Kuntoro mengambil bukti itu..” kata Rio.

”Ya, Rio. Segera saja. Bukti kertas itu dilipat di balik bingkai cermin kuno di dalam kamar Si Mbah.
Bongkar bagian belakang cermin itu.. kau akan mendapatkannya..!” Kata Sujarno.

Rio segera beranjak dari gubug itu dengan lampu senter yang mulai meredup.
Lampu yang masih menyala terang ia tinggalkan untuk Candi.

”Hati-hati, Rio..!” Ujar Candi. Ia berkacak pinggang meneliti sekeliling.
”Kita harus segera mencapai dusun terdekat, cari bantuan dari penduduk. Jam berapa sekarang..?” Tanya Candi.
”Jam tiga..!” Kata Sujarno, melihat arlojinya dekat mata.
”Pak Sujarno kenal kawasan sini..?” Tanya Candi.
”Mudah-mudahan..!”

Candi, menutupi sekujur tubuh Probosangkoro dengan jaketnya.
Ia kemudian menyusul Sujarno dan Danica berlari kecil dalam kelam dengan bimbingan nyala lampu senter.

Mereka menerabas puluhan semak dan memanjat tebing..
mencoba makin dekat dengan kelap-kelip lampu dari rumah penduduk.

Ketika kelap-kelip lampu makin terang, sekonyong-konyong terdengar teriak-teriakan memecah sunyi.
Jauh di seberang sungai.. di tengah tebing-tebing..
tiba-tiba muncul banyak pendaran lampu terang yang bukan berasal dari nyala lampu minyak.

Cahaya lampu sorot besar berseliweran. Terdengar pula sejumlah tembakan dengan desing membahana.
Candi, Danica dan Sujarno tertegun sesaat dan menatap kegaduhan di kejauhan itu.

Terdengar pula lamat-lama suara terbawa angin.. berasal dari sebuah pengeras suara jenis megaphone.
”Saudara-saudara yang berada di tebing harap menyerah..! Kalian sudah dikepung polisi..!”
Berulang-ulang suara itu dikumandangkan, makin jelas dan terang.

”Polisi..?” Gumam Sujarno lega.. ”Syukurlah. ”Pak Lurah pasti sudah menghubungi polisi..”
Dan suara polisi itu terdengar lagi.. ”Saudara-saudara kami beri waktu 10 detik untuk menyerah.
Ulang.. saudara kami beri waktu sepuluh detik untuk menyerah..!”

Candi, Sujarno dan Danica berdiri menatap tebing-tebing..
yang pasti merupakan tempat kedelapan anak buah Kuntoro itu terjebak setelah turun melalui tali sarung tadi.

”Satu.. dua.. tiga..!!” Terdengar suara dari megaphone. Lalu senyap.
Tapi sebentar kemudian terlihat makin banyak cahaya di tebing itu..
Dan terdengar bunyi letusan senjata yang mungkin merupakan tembakan peringatan.

”Mereka pasti sudah menyerah sekarang. Dugaan saya.. polisi menggunakan petugas macam pemanjat tebing..
untuk menjangkau anak buah Kuntoro atau melempar tali ke atas..
untuk membantu mereka turun dari tempat mendarat pakai sarung tadi..” kata Candi.

”Apakah kira-kira Kuntoro juga tertangkap..?” Desis Sujarno.
”Ayo kita cari tau..” kata Danica.

Mereka kemudian berbalik arah, mencari jalan ke bagian bawah tebing agar bisa mendekat ke lokasi benderang itu.
Tak gampang mencapai bagian bawah tebing.
Mereka harus memutar cukup jauh untuk menghindarkan tebing-tebing di sisi lain Kali Randu.

”Terus terang, Pak Jarno, saya masih ragu Kuntoro sudah tertangkap..”
Kata Candi berjalan dalam gelap si sebelah Sujarno dan Danica.
”Mudah-mudahan..!” Kata Sujarno. ”Aku sudah muak pada tingkah laku orang tua itu..”

”Tertangkap..? Tentu saja tidak semudah itu..!” Tiba-tiba mereka dikejutkan sebuah gemerisik dari semak-semak..
Diikuti lampu senter yang sengaja ditutupi sarung agar redup.

Candi dan Sujarno terkejut. Meski remang.. Candi langsung tau pemilik suara itu. Itu Kuntoro..!
Di sebelahnya.. berdiri si Jebah, si celana longgar, dan si Kumis.
Bagaimana mungkin Kuntoro berada di sekitar sini..? Orang tua keji ini benar-benar licin.

”Aku selalu beruntung memilih tempat lari atau bersembunyi..” kata Kuntoro..
seolah ingin menjawab rasa penasaran Candi kenapa ia bisa berkeliaran di kawasan ini.

“Yang menyerah di sana itu adalah orang-orang yang bimbang pada kesetiannya padaku..
Dan yang tak pintar memilih ruang untuk bertahan..” Kuntoro tersenyum, memuji olah kata filosofisnya.

”Kini semua tugasku hampir tuntas. Kertas yang kuambil dari rambut jagung itu sudah ada pada anakku..
dan anakku pasti sudah menyelesaikan tugasnya.. mengambil satu carik lagi di rumah Parto Sumartono.
Ia kemudian akan membawanya ke luar Kemiren..”

Candi dan Sujarno mencoba mencerna kata-kata Kuntoro. Lelaki itu pasti tidak bohong.
Pasti salahsatu dari empat orang yang mengawal Kuntoro telah diutus..
untuk membawa kertas bukti itu ke anak Kuntoro yang menunggu entah di mana.

Kuntoro mendekati Candi, ”Tau tugas terakhir saya..? Melenyapkan kalian..!” Suaranya menjadi bengis.
”Kau akan segera tertangkap, Kuntoro..!” Geram Sujarno berteriak.

”Aku pasti tertangkap, tinggal tunggu waktu..! Tak jadi soal aku menghabiskan sisa umur di penjara.
Tapi anakku bisa mengenyam uang itu.. di negeri asal uang itu disalurkan. Selamat tingga..l!”
Kuntoro tersenyum lagi, dengan sungging kemenangan di bibir.

Si Jebah mengambil tempat Kuntoro tak jauh dari Candi dengan parang terhunus.
Benda yang sama terhunus juga di tangan si celana longgar, dan si kumis.

Tiga jagal ini tinggal menunggu perintah, untuk membuat tepian Kali Randu bersimbah darah.
-----ooOoo-----

Benar-benar bukan pekerjaan mudah mencari jalan ke perkampungan penduduk pada malam segulita itu.
Kalau tadi habis kulit dibabat dinding kasar jalur perosokan..
kini kulit Rio tanpa jaket harus rela tergores-gores ujung dahan-dahan ranggas.

Ia dikejutkan pula oleh bunyi rententan tembakan dan kelap-kelip banyak lampu di tebing jauh di depan.
Ia mendengar pula suara pengeras suara dari corong megaphone.
Ia tau aparat penegak hukum pasti tengah beraksi seperti yang dijanjikan Pak Lurah.

Dan Rio berjalan terus dalam gelap. Begitu ia berhasil mendekati sebuah rumah..
ia langsung menyambar lampu minyak berdinding kaca yang tergantung di depan rumah orang.

Dengan lampu itu ia agak leluasa bergerak dan segera mencari jalan makadam menuju ke rumah Si Mbah.
Ia harus adu cepat dengan siapapun yang akan datang ke rumah Si Mbah untuk mencari bukti kertas itu.

Agar lebih cepat, Rio berputar lewat halaman belakang rumah Bu Parmi. Tak ada Hansip di belakang rumah Bu Parmi.
Sejumlah Hansip hanya terlihat berseliweran lewat bayang-bayang lampu yang terlihat dari jauh.

Rio berhenti sesaat ketika ia melihat dua bayangan manusia berjalan tergesa meninggalkan rumah Si Mbah dan berjalan ke arahnya.
Itu mirip seorang wanita, terlihat dari rambutnya yang berkibar ditiup angin pagi.

Ketika berpapasan dengan Rio, lampu baterai salahsatu sosok itu tertancap ke Rio.
Harum rempah menebar dari sosok di depannya. Heran Rio mendapati Bu Lurah berjalan tergesa dengan Harjo.

Bu Lurah mengenakan celana jins ketat dengan t-shirt warna putih dan jaket olahraga bermerek Nike imitasi.
”Dik Rio..!” Pekik kecil Bu Lurah.. jadi salah tingkah.
Mungkin karena ketahuan berduaan dengan Harjo dalam gelap dinihari itu. Harjo malu-malu menatap Rio.

”Si Mbah tambah gawat, Dik..” ujar Bu Lurah sebelum Rio bicara. ”Saya baru saja memberinya obat Cina khusus.
Pak Lurah sedang memandu penggerebegan komplotan bajingan di Kali Randu bersama pasukan dari Polres.
Dik Rio dari mana..?” Tanya Bu Lurah.

”Saya dari ..” Rio mencoba menjawab.
”Baiklah, Dik. Saya tergesa-gesa. Rumah dan kantor desa tidak ada yang jaga. Saya dan Harjo harus balik ke kantor desa.
Cepatlah tengok Si Mbah..” serobot Bu Lurah bersiap bergerak.

”Sebentar, Bu Lurah..” tahan Rio.
”Maaf, Dik. Maaf. Ayo, Jo..” Bu lurah menggamit Harjo.

Harjo menyambutnya dengan rengkuhan di pinggang ramping Bu Lurah.
Kelihatan bangga sekali dia bisa memperlakukan Bu Lurah sedemikian rupa.

Rio melanjutkan langkah. Tapi sejenak ia merasa ada getar aneh dari wajah Bu Lurah.
Ia menoleh, melangkah mundur sembari terus memperhatikan dua sosok yang berjalan menjauh.

Rio melihat Bu Lurah berhenti dan menoleh pada Rio dalam gelap.. seolah tau persis Rio pun tak lepas menatap kepergiannya.
Harjo berkacak pinggang, jengkel. ”Mbak Prap, tunggu apa lagi..? Ayo jalan..!” Ajak Harjo.

”Kau jalan dulu, Jo..! Aku balik ke Rio dulu. Masih ada yang perlu kubicarakan dengan Rio..” kata Bu Lurah.
”Mbak Prapti..!” Protes Harjo.

”Kau jalan dulu..! Tunggu aku di pertelon..!!” Bu Lurah bernada memerintah.
Takut-takut Harjo melangkah menuruti kata-kata Bu Lurah.

Bolak-balik ia menoleh ke arah Bu Lurah yang melangkah balik ke arah Rio.
Harjo cemburu melihat perempuan itu berbalik ke arah mahasiswa itu.

Rio tau Bu Lurah berbalik. Ia menanti di bawah sebuah pohon. Sebentar kemudian wanita itu kini berada di hadapan Rio.
Ia tetap kelihatan hebat pada dinihari seperti itu, rambut terurai, senyum menggoda dan semerbak harum rempah-rempah.

“Rio..” ucap Bu Lurah perlahan..
“Saya mau minta maaf soal kejadian di rumah Bu Parmi itu. Saya menyesal, tak akan itu terulang lagi..“
Rio mengangguk dan menatap mata perempuan itu.

Bu Lurah mendesah kecil.. “Tapi kau perlu tau.. aku sangat suka kamu. Kamu muda, ganteng dan gagah. Aku jatuh hati..!”
Bu Lurah menatap Rio sesyahdu yang sudah-sudah.

”Saya juga minta maaf telah berlaku kasar..” hanya itu yang bisa diucapkan Rio.
Dadanya bergetar.. sama bergetarnya seperti yang sudah-sudah ketika meladeni tatapan perempuan itu.

Bu Lurah beringsut lebih dekat ke wajah Rio. ”Mungkin kita tak akan pernah bertemu lagi.
Kita akan sibuk dengan urusan dan dunia masing-masing. Oleh karena itu, bila kau rela..
bisakah kau mengabulkan satu permintaanku..?” Mendesah bibir Bu Lurah.

”Apa itu..?” Bu Lurah meraba tangan Rio yang sedang menggenggam lampu minyak..
dan membantu Rio menurunkan lampu itu di tanah.

Keduanya berhadapan demikian dekat. Dari jauh, dengan sinar lampu minyak dari bawah..
ini terlihat seperti sepasang kekasih siap bercumbu dalam temaram lampu minyak.

”Dengan kerelaanmu..” lirih suara Bu Lurah.. ”Beri aku ciuman..”
Rio menatap dalam-dalam mata Bu Lurah. Menengadah Bu Lurah menanti.

”Cium aku. Aku janji tak akan mendekapmu. Beri aku ciuman terbaikmu..
Dan tak akan kulupakan itu seumur hidupku..” bu Lurah memejamkan mata.

Rio menyapukan bibir ke bibir Bu Lurah. Bu Lurah menyambutnya hangat tanpa menyentuh.
Rio melingkarkan lengan di pinggang Bu Lurah dan menarik erat ke tubuhnya.

Sejenak perempuan itu tak berusaha membalas dekapannya.
Tapi angin dingin terlalu kuat berembus.. membuat perempuan itu ingkar janji.

Ia memeluk lebih erat.. dan Rio tak keberatan Bu Lurah ingkar janji.
Rio tau perempuan ini demikian menginginkannya.

Dibiarkannya hangat dari dada Bu Lurah merembet ke dadanya. Terasa begitu kenyal dan empuk saat Rio merabanya.
Tapi tiba-tiba saja Bu Lurah melepaskan diri ketika Rio mencoba untuk menekan lebih keras.

”Maafkan aku.. maafkan..” ia berkata lirih. Rio masih bisa melihat merah menyala bibir itu dengan nafas memburu.
”Mbak Prap..!” Seru Rio.
”Maafkan aku..” Bu Lurah mundur beberapa langkah, berbalik dan berlari ke arah pertelon.

Rio sangat berhasrat untuk memanggilnya. Tapi angin dingin membuat lidahnya kelu.
Ia membiarkan saja wanita itu hilang ditelan kelam. Agak lama Rio mematung di bawah pohon itu.

Ia baru sadar ketika mendengar suara Hansip dari kejauhan di depan rumah Si Mbah..
yang mengingatkannya bahwa ia harus lekas ke tempat Si Mbah.

Tak sempat Rio menyapa dua Han di depan rumah Si Mbah. Ia langsung mencari si Mbah di kamarnya.
Istri Sujarno heran melihat Rio baru datang dini hari itu. Bu Parmi juga ada di situ, menemani istri Sujarno.

”Bu Jarno tau satu per satu anak-anak Pak Kuntoro..?” Tanya Rio langsung, sedikit tersengal..
tak menghiraukan pandangan aneh istri Sujarno dan Bu Parmi.
”Ya, tau semua..” ujar istri Sujarno heran.

”Adakah salahsatu dari anak Pak Kuntoro datang kemari malam ini..?”
”Tidak. Semua anak Pak Kuntoro tinggal di luar Kemiren.
Ndak mungkin menjenguk Si Mbah malam-malam begini..” kata istri Sujarno.

”Yang datang ke sini malam ini cuma bu Lurah, barusan, ditemani Harjo. Bu Lurah mengantar obat buat Si Mbah..
dan mengambil sesuatu dari balik cermin tua di kamar Si Mbah. Katanya Dik Rio yang suruh..!”

Rio langsung menghampiri cermin lama berbingkai kayu dan memeriksanya.
Bagian belakang pelapis cermin sudah tersobek. Bu Lurah alias Praptiwi pasti telah mendapatkan kertas bukti itu.

”Bu Jarno tau apa yang diambil Bu Lurah dari balik cermin itu..?” Rio memastikan.
”Sepertinya kertas pelapis cermin..!”

”Kalau begitu, tahan. Obat dari Bu Lurah jangan diminumkan Si Mbah..!”
”Kenapa..?”

”Ini gawat. Saya tidak minta Bu Lurah ambil apapun dari rumah ini..!”
”Oh, begitu..?” Kata istri Sujarno. ”Lalu kabar suami saya bagaimana..?”

”Candi, Danica dan Pak Sujarno selamat. Ibu tak usah kuatir.
Kuntoro, biang kerusuhan semua ini sedang dalam pencarian polisi..” kata Rio.
”Kuntoro..?” Sambar Bu Parmi yang sedari tadi cuma mendengarkan.

”Ya, Kuntoro. Saya, Candi, Danica dan Pak Jarno baru lolos dari sekapan Kuntoro di tebing rahasia Kali Randu.
Mbah Probosangkoro tewas dianiaya Kuntoro. Kuntoro bilang malam ini anaknya datang ke sini untuk mengambil sesuatu..”

”Kuntoro..! Kuntoro, kata Nak Rio..!” Sekali lagi bu Parmi memandang Rio panik.
”Ya, Bu..!”

”Duh Gusti..!” Pekik Bu Parmi menutup wajahnya dengan kedua belah tangan.
”Kenapa, Bu Parmi..?”

”Oh, si bajingan itu.. gusti..” bu Parmi terisak.
Rio mencoba menenangkan perempuan tua ini. ”Ada apa, Bu..? Bicaralah pada saya..” kata Rio.

”Kejar Bu Lurah..! Kejar si Praptiwi itu..!!” Sambar Bu Parmi.
”Bu Lurah..?” Rio heran.
”Ya. Ia anakku, tapi anak Kuntoro juga..!” Kata Bu Parmi.
”Hah..!?”

”Saya yang salah. Saya yang salah.. saya malu.. Kuntoro itu kekasih gelap saya.
Ini rahasia yang bertahun-tahun terpendam. Sekarang harus saya buka. Praptiwi anak saya dengan Kuntoro.
Sejak dulu Kuntoro memang punya dendam pada Si Mbah Parto Sumartono.
Kuntoro pasti telah memanfaatkan Praptiwi. Kejar dia, Nak Rio..! Dapatkan dia..! Cegah apapun yang ia akan lakukan..!
Dia sudah kerasukan nafsu serakah Kuntoro..!” Bu Parmi tak berhenti melolong.

Rio menatap gelap di depannya.
Tak habis pikir.. dari malam sampai pagi ini misteri Kemiren membuahkan rahasia-rahasia tak terduga.
Ia harus mengejar Praptiwi. Kelam pagi ini makin meruncing saja.
-----ooOoo-----

Si jebah kelihatan sangat haus darah. Begitu melihat Candi berdiri menantang..
ia menghunus parangnya, dan menunggu perintah dari Kuntoro. Demikian pula si celana longgar dan si kumis.

Kalau sebelumnya selalu saja ada halangan buat membabat musuh-musuh di hdapannya ini..
kali ini mereka yakin bakal tuntas tugasnya. Bernafsu sekali mereka mengelilingi Candi, Danica dan Sujarno.
Mereka permainkan parang itu di hadapan musuh untuk merontokkan nyali musuh.

Candi mencoba menatap tajam di Jebah dan berusaha membaca gerakannya.
Nyala lampu senter di tangan kiri si jebah menjadi terang karena tak lagi tertutup kain sarung.

Dari jauh bisa terlihat jelas gerakan-gerakan mereka yang sedang mengancam dan mereka yang sedang terancam itu.
Kalau saja polisi sedang menyisir tempat itu, pasti mereka akan segera tau. Candi berharap ada keajaiban itu.

Tapi sepertinya harapan itu tipis. Ia dan kawan-kawannya tak bisa menghindari kenyataan mereka kini menghadapi bahaya besar.
Sangat mustahil tak ada darah tertumpah. Candi berharap itu bukan darahnya.

Detak jantung Candi menghebat saat si jebah maju membabatkan parang dengan teriakan tak jelas. Candi berkelit.
Danica dan Sujarno beranjak menjauh dan mencoba mengalangi si jebah.

Si celana longgar dan si kumis tak tinggal diam dan masing-masing langsung memilih mangsa, Danica dan Sujarno.
Kuntoro tampak senang dengan adegan ini. Ia berdiri dengan dua tangan menopang di atas tongkatnya.
Ia yakin musuh-musuh gampang ini sebentar saja akan tumpas.

Dan Kuntoro benar. Candi, Danica dan Sujarno benar-benar tak berkutik dengan serangan-serangan parang itu.
Mereka hanya bisa menghindar dengan perasaan was-was luar biasa, dan mereka yakin in tak akan bertahan lama.
Sebentar lagi pasti ada darah.

”Auh..!” Tiba-tiba Sujarno berteriak nyaring, diikuti lolong panjang kesakitan.
Candi melihat sekilas, bahu Sujarno terbabat parang si kumis. Darah segar muncrat dari sobekan kemeja batiknya.

Danica berusaha menghindar dari desakan si celana longgar dan berusaha menjauhkan Sujarno dari makin gencarnya serangan si kumis.
Namun, upaya Danica ini malah membahayakan posisinya. Si celana longgar mendapatkan peluang bagus menyabetkan parang.

Candi melihat ini dan meneriaki Danica untuk memberi peringatan.. dan ini mengacaukan konsentrasinya.
Si jebah melompat dengan parang teracung siap menebas. Candi menutup mata dan menantikan datangnya malapetaka besar itu.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd