Pecah Utak
Pertapa Semprot
-------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
Cerita 196 – Misteri Tersembunyi
Bagian 09
“Kau percaya orang tua bernama Probosangkoro itu adalah Parto Sumartono..?”
Bisik Rio di telinga Candi, sembari melempar kemasan rokok di meja pendek di ruang depan rumah Si Mbah.
Gadis itu tak segera menjawab.
Ia asyik sekali memeluk gelas teh hangat dan menempelkan kehangatan gelas itu ke pipinya.
“Tadinya tidak. Tapi cerita kakek itu logis. Lagipula, ia bisa bicara bahasa Belanda.
Sangat mungkin ia Parto Sumartono yang asli. Ia lebih sering berhubungan dengan von Weissernborn..”
Tajam Candi berbisik, sambil mengunyah biskuit.
Rio menatap Candi. “Apa lagi yang diceritakan orang tua itu..?”
“Semuanya sudah kuceritakan padamu. Makin ruwet, bukan..?” Ujar Candi.
“Ya. Kalau benar-benar utusan Yayasan von Weissernborn datang dan menemukan bukti itu..
berarti mereka memberikan uang hibah pada orang yang salah..” ucap Rio.
“Lalu apa usaha kita..? Menceritakan yang sebenarnya pada Pak Lurah..?
Padahal kakek Probosangkoro wanti-wanti agar aku tak panjang lidah membongkar rahasianya..” tukas Candi.
Rio tak menyahut. Terlalu mendadak informasi ini untuk ditimpali reaksi.
“Aku tak menduga desa ini tenyata menyimpan seribu satu teka-teki..” Rio bicara sendiri.
“Soal Kuntoro, orang yang menyelamatkanmu itu, bagaimana ia bisa membuat si celana longgar menyingkir..?”
“Boleh jadi karena Kuntoro adalah salahsatu dari sekian sesepuh desa yang disegani. Itu wajar..” kata Rio.
“Kakek misterius itu juga sempat menyebut nama Kuntoro..” sela Candi kemudian.
“Oh ya..?” Bersemangat Rio bertanya.
“Ya. Kuntoro adalah salahsatu pemuda yang sedang bersama von Weissernborn..
tatkala Parto dan Probosangkoro menemukan fosil berharga itu..”
“Itu cuma suatu kebetulan, kukira..” timpal Rio.
“Ya, mudah-mudahan begitu. Kalau tidak, makin rumit saja teka-teki ini..”
Rio mengisap rokok dan melirik arloji. Sudah sepuluh menit melewati delapan malam.
Di luar.. penjagaan makin ketat dan rapat. Senjata yang dibawa, tak lagi cuma pentungan dan kelewang.
Kini ada besi lancip panjang, ada pedang, ada clurit dan sejumlah gobang.
Penduduk desa, agaknya sudah bertekad menggelar total war pada para penyelinap gelap.
Rio menguap, bersamaan dengan nyala lampu tekan yang meredup-redup.
Gas lampu itu, pasti menurun. Rio baru saja hendak menambah pompa lampu tekan ketika tiba-tiba ada suara di pintu.
”Nuwun Sewu..!” Candi menoleh. Seorang lelaki tua, berkemeja batik, berkacamata dan bertongkat..
berdiri di pintu dengan santun.
Segera Rio mengenali sosok ini. ”Pak Kuntoro..” Rio berdiri menyambut. Candi mengernyitkan alis.
Macam cerita lenong saja; orang yang baru dibicarakan, mendadak muncul.
”Saya bermaksud menjenguk si mbah Parto. Sejak tiba kembali di desa tadi pagi, saya belum menjenguknya..”
ujar Kuntoro, lelaki tua itu.
”Silakan, Pak. Langsung saja..” ajak Rio, ”Oh, ya. Nama saya Rio. Ini Candi, teman yang saya sebutkan tadi..”
Rio memperkenalkan Candi. Candi membalas uluran tangan Kuntoro yang lebih dulu diajukan.
”Ini gadis yang kau bilang kau cari-cari tadi..?” Tanya Kuntoro simpati..
”Syukurlah, kau menemukan temanmu ini. Sayang kalau hilang. Ia cantik, seperti cucuku..” seloroh Kuntoro.
Candi tersenyum. Cukup pintar orang tua ini bikin celetuk segar.
Tak lama kemudian Kuntoro lenyap di pintu kamar si mbah.
Ada setengah jam ia menghabiskan waktu untuk mengamati dan berbicara dengan istri Sujarno di bilik Si Mbah.
Sujarno sendiri sejak tadi pagi tak tampak. Kata istrinya, tak biasa Sujarno pulang malam dari kota kecamatan.
Ketika Kuntoro muncul kembali di ruang depan, Rio sudah siap dengan ucapan terimakasih, yang siang tadi lupa disampaikan.
”Kalau tak ada bapak, tadi siang saya sudah babak belur..” Rio mempersilakan Pak Kuntoro duduk di antaranya dan Candi.
Kuntoro tersenyum.. ”Kalau tidak ada nak Rio, nasib Si Mbah makin tak keruan lagi..” ujarnya, kebapakan sekali.
”Bapak bisa saja..” kata Rio.
”Betul, Nak Rio. Seluruh orang desa berterimakasih pada Nak Rio. Si Mbah itu salahsatu kebanggaan desa ini.
Jasanya amat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Sebagai penduduk Kemiren dan tetangga dekat Si Mbah sejak bertahun-tahun lalu, saya amat bangga pada si mbah.
Kau lihat kemajuan Kemiren dengan kerajinan fosil itu?” ucap Kuntoro.
”Ya..” timpal Rio.
”Sedikit banyak itu karena jasa Si Mbah, yang senantiasa memompa masyarakat untuk menelateni hikmah kekayaan Kemiren.
Penggalian-penggalian lain mungkin tak akan menghasilkan karya-karya besar..
seperti yang ditemukan Si Mbah bersama von Weissernborn. Tapi wisatawan yang datang untuk membeli kerajinan..
’kan merupakan hikmah terselubung..?” Kuntoro tersenyum.
Kumis warna perak yang tipis rapi memberi aksentuasi kearifan wajahnya.
”Orang yang menyerang saya tadi, apakah orang Kemiren juga, Pak..?”
Rio mengajukan pertanyaan yang sedari tadi ingin diajukan.
Kuntoro menaikkan alis. ”Itu yang saya herankan. Kenapa di zaman seperti ini masih ada begal.
Tapi di sekitar Kali randu memang ada satu-dua pengangguran yang kerjanya menganggu orang..” jelas Kuntoro.
”Kelihatannya mereka segan pada Pak Kuntoro..” kata Rio.
”Kebetulan saja. Saya sering suruh orang bagi-bagi beras di sekitar Kali Randu.
Mungkin itu salahsatu orang yang biasa terima sedekah dari saya.
Mereka takut kalau saya tidak bagi-bagi beras lagi..” ujar Kuntoro.
”Bapak tinggal di sekitar sini..” tanya Candi tiba-tiba.
”Rumah saya ada belakang rumah di seberang jalan itu..” Kuntoro menunjuk ke arah luar.
”Saya baru bisa menjenguk Si Mbah malam ini.
Tadi pagi sampai sore saya harus memeriksa sebidang tanah saya dekat Kali Randu..” kata Kuntoro.
Ia kemudian menatap arloji kuno yang melingkar di pergelangan tangan kanan.
”Senang sekali di sini banyak orang berjaga. Saidun kabarnya diopname di kota kabupaten..?” Ujar Kuntoro.
”Betul. Kata orang-orang lukanya cukup parah. Untunglah Pak Lurah menanggung semua biayanya..” ulas Rio.
Kuntoro mengangguk-angguk.
”Oh, ya, apa yang kalian orang-orang muda ini lakukan di desa ini..?” Tanya Kuntoro kemudian.
”Saya mahasiswa antropologi, sedang menulis laporan tentang sejarah penemuan di Kemiren..
dan teman saya ini Candi, wartawati yang tengah meliput tentang kerajinan fosil di Kemiren..” jelas Rio.
”Hebat..! Saya turut senang. Promosi kerajinan Kemiren harus digencarkan.
Nanti kirimkan korannya pada saya. Koran apa, to?” tanya Kuntoro.
”Tajuk Zaman..!”
”Tajuk Zaman..? Oh ya, saya pernah baca di Jogja.
Bagus, anak muda jaman sekarang memang membanggakan hati..” tutur Kuntoro.
”Wah, tampaknya hari sudah malam. Maaf, saya minta diri dulu. Kalau ada waktu, silakan mampir ke rumah saya..”
Kuntoro melangkah ke pintu. Rio menguntit langkah orang ini yang hilang dalam gelap.
Jam kuno di dinding berdentang sembilan kali. Rio mengantar Candi pulang ke rumah Bu Parmi.
Rio baru ingat Danica belum datang juga.
”Ke mana bule itu kira-kira..? Ia bilang akan kembali ke desa sebelum gelap..” kata Rio.
”Barangkali menginap di kota kabupaten. Pernah ia bilang ia ingin melihat kraton di kota kabupaten..” timpal Candi.
”Ya, sudahlah. Besok pasti nongol. Besok apa rencanamu..?” Tanya Rio.
“Malam ini aku nulis laporan tentang kerajinan.
Besok aku pergi ke kota kabupaten buat kirim email ke redaksiku. Mau nitip apa?”
“Tak ada. Aku mau nulis laporan besok saja, capek sekarang..” Rio merebahkan diri begitu saja di tikar dekat meja.
“Aku mau menulis di sini, mungkin tidur di sini juga..” kata Candi, “tadi sudah pamit pada Bu Parmi..”
Candi menyiapkan kertas, memilih pena bertinta hitam dan memutar ulang rekaman di hape.
Tapi baru dapat dua baris, dia merasakan pelukan Rio di belakang tubuhnya.
“Apaan sih..?” Ttanyanya menggeliat.
“Aku lega kamu selamat..” sahut Rio. “Kukira aku bakal kehilangan kamu selamanya..”
“Ah.. sok romantis kamu..!” Candi mencibir.
“Terserah apa katamu. Tapi beneran, itulah yang kurasakan..” balas Rio.
“Ya, ya, aku tau. Sekarang lepaskan, aku mau nulis..” cetus Candi.
“Tidak mau..” Rio menjawab.
“Kalau begitu, bantu aku menulis..” Candi mencondongkan tubuhnya.
“Males ah..” sahut Rio.
“Terus kamu maunya apa..?” Tanya Candi mulai sedikit sebal.
“Tidak ada..” Rio tersenyum. “Aku cuma mau peluk kamu..” katanya dengan nada konyol.
Candi kehabisan kata-kata untuk membantah.
Beberapa saat mereka berdua larut dalam perasaan masing-masing, perasaan bahagia.
Mereka berdua pun tanpa ragu saling berdekapan untuk beberapa lama. Rio meremas lembut jari-jari halus Candi.
Gadis itu menundukkan kepala ketika Rio menyibakkan rambut pendeknya yang jatuh menutupi sebagian wajah.
Embusan napas Rio terasa hangat di tengkuk Candi karena tubuh keduanya sudah tak berjarak.
Candi menoleh, menatap sendu penuh makna. Entah keberanian dari mana..
Tanpa sadar Rio mengecup dan mengulum bibir indah yang setengah terbuka itu.
Ah.. seperti sudah bisa diduga, Candi sama sekali tidak marah.
Malah dia memberikan reaksi positif dengan membalas ciuman itu.
Maka, dengan penuh nafsu, keduanya berpagutan mesra. Ciuman itu berlangsung cukup lama..
sampai Candi melepaskan pelukan dengan muka merah dan napas terengah-engah.
“Rio, jangan..! Kita tidak boleh melakukan ini..!”
Katanya setengah berbisik sambil berusaha melepaskan rengkuhan.
Tapi Rio bertahan, tak akan ia lepaskan gadis cantik ini. Bibir Candi terasa begitu manis dan lembut.
Rio sangat menikmatinya. Lagipula, sudah kepalang tanggung.. pikirnya.
“Kenapa, Can, apanya yang tidak boleh..?”
Sahut Rio sekenanya sambil mendaratkan kecupan di leher Candi yang jenjang.
Sejenak Candi meronta-ronta kecil berusaha menghindari kenakalan bibir Rio pada leher mulusnya..
sementara tangan pemuda itu tengah meremasi kemontokan buah dadanya yang masih terbalut bra tipis.
Beberapakali tangan halus Candi mencoba untuk menepis.. tapi segera jemari Rio kembali ke tempat semula.
Sampai sesaat kemudian perlawanan Candi berhenti..
dan berubah menjadi desah nafas memburu serta geliatan tubuh yang gelisah.
Rio pun mengendurkan serangan.. kecupan bibirnya diperlembut.
Demikian juga remasan tangannya.. berubah menjadi elusan lembut pada kulit payudara Candi..
kemudian gelitikan mesra pada puting susunya yang terasa sudah mengeras.
"Rio, sssshhh.. a-aku nggak tahan..” bisik Candi pendek, dekat sekali suaranya di telinga.
Dan ouw.. daun telinga Rio dikulumnya, dijilatinya.
"Ikuti saja, Can. Nikmati..” Bisik Rio mesra sambil menarik baju dan tali beha yang menyilang di pundak gadis itu.
Memperlihatkan kesempurnaan bukit montok di depan dada Candi.
Begitu putih dan mulus, dengan puting mungil yang sudah mengeras berwarna merah kecoklatan.
Rio mendaratkan jilatan pada ujung benda itu.. tubuh Candi langsung menggeliat sambil mendesah panjang.
"Ssssssshhh.. aaaahh.. Rio, a-aku.. mmmmmhh!”
Rio tak mempedulikan lagi kalimat-kalimat itu karena nafsunya seperti sudah di ubun-ubun.
Apalagi menghadapi kenyataan ternyata tubuh Candi memang tak layak untuk dilewatkan sesenti pun.
Desah-desah resah berhamburan dari mulut Candi..
Geliatan tubuhnya sudah menunjukkan kepasrahan kepada birahinya sendiri.
Tangannya mulai melingkar di leher Rio.. rambut pemuda itu ia acak-acak di kala menyusu ke bulatan payudaranya.
Betapa kuat jari lentik Candi mencengkeram kulit punggung Rio..
manakala puting susunya dikulum dalam waktu yang lama.
"Auw, ampuuunn..!” Desah Candi lirih.
Perutnya yang rata berkulit putih dihiasi lubang pusar berbentuk bagus.
Dia menggeliat erotis manakala bibir Rio mengecupinya. Tubuh atasnya sudah telanjang sekarang.
Candi setengah rebah dengan kepala berada di sandaran kursi..
Sementara tangannya terlihat meremasi payudaranya sendiri. Gadis itu mengerang panjang..
Kepalanya mendongak dan menggoyang-goyang lirih ketika lubang pusarnya dikorek-korek mesra oleh Rio.
Tubuhnya yang sintal menggeliat erotis, rupanya di situ adalah salahsatu daerah sensitifnya.
"Ouw, Rio.. jangaaan.. g-gelii..!” Bisik Candi sambil tangannya menahan dagu Rio..
yang berniat mengecupi gundukan kemaluannya dari luar celana dalam yang sudah tampak bebercak basah.
"Kenapa, Can..?" Tanya Rio lembut.
"Sssssshhh.. nanti a-aku nggak tahan..!" Jawab Candi sambil berusaha menarik tubuh Rio ke atas.
Tapi Rio tak peduli, dia sudah terlanjur bernafsu.
Selanjutnya tanpa permisi, celana dalam Candi ia singkap ke samping. Fuih..!
Sebuah gundukan kecil yang dibelah tengah dengan rambut kemaluan yang tidak begitu lebat..
kini tampak di depan matanya. Sebuah bentuk luar kemaluan wanita yang jarang sekali dipakai. Indah sekali..!
Belahan yang basah dengan warna memerah yang berdenyut-denyut pelan.
Tak ayal lagi lidah Rio terjulur untuk menyapu dan mencicipinya.
Ia jilat cairan yang mulai terlihat membasahi vagina indah itu.
"Aaaaahhh.. Rio..! Kamu bandel..” erang Candi dengan tubuh semakin menggeliat hebat.
Sepasang kaki panjangnya kian terkangkang lebar;
Kaki sebelah kiri terjuntai ke lantai yang beralaskan tikar pandan..
Sedangkanb kaki sebelah kanannya ditumpangkan di atas sandaran kursi.. setelah Rio melepas celana dalamnya.
Rambut pemuda itu ia acak-acak sambil sesekali tangannya yang gemas mencengkeram erat kulit pundak.
Ini membuat Rio semakin kesetanan.. ditambah aroma vagina Candi yang segar dan wangi, dia jadi makin ketagihan.
Bibirnya segera menciumi bibir vagina Candi berulang-ulang.. layaknya menciumi mulut.
Sementara lidahnya menyelip memasuki liangnya yang basah dan menusuk masuk sampai sedalam-dalamnya.
Sesekali juga Rio mengulum klitoris mungil Candi yang sudah mulai mengeras.
"Rio, ampuuuunn.. nikmat sekali..” Candi merintih-rintih dengan suara merengek seperti orang mau menangis.
Pinggulnya yang bulat bergerak-gerak merespon ulah lidah dan bibir Rio yang terus menyerang di daerah selangkangannya.
"Ooowwh.. Rio, sudah.. aku tak tahan..” rengeknya semakin memilukan.
Dan tiba-tiba gadis cantik itu bangkit dan mendorong lembut tubuh Rio yang tengah bersimpuh di depan vaginanya.
Rio mengikuti saja apa yang Candi inginkan. Dia telentang di tikar sedangkan Candi mengikutinya..
Sehingga kini tubuh mereka saling menempel dan bertindihan mesra.
Payudara Candi yang montok dan kenyal kini menempel ketat di dada Rio.
Wajah mereka begitu dekat hingga Rio bisa melihat dengan jelas paras cantik Candi yang tengah diamuk birahi.
Ough.. gadis itu terlihat begitu mempesona.
"Rio, aku masukkan ya..?” Desis Candi dengan bibir indah gemetar.
Alis lentik di atas mata bulatnya mengernyit, sementara matanya kini agak menyipit dan menatap Rio sendu.
Dia yang tadi bilang jangan, kini malah meminta untuk dimasuki.
Rio pun mengabulkan karena memang inilah yang ia tunggu-tunggu sedari tadi.
Pelan dia mendorong ke atas batang penisnya. Slebb.. clebb..
"Ouughhhh.. pelan, Rio. Sssshhhhh.. nyeri..!!” Keluh Candi sambil mempererat pelukan.
Uhhhhh..!! Rio merasakan liang senggama Candi sangat sempit sekali. Burungnya kesulitan untuk menembus.
Candi yang sudah sangat bersemangat untuk menuntaskan gairah binalnya, mulai memutar-mutar pinggul..
Berharap dengan begitu Rio bisa lebih mudah melakukannya.
Dengan ekspresi nikmat bercampur kesakitan.. di usahanya yang kelima.. akhirnya.. blessepphh..!!
Amblaslah seluruh batang penis Rio tertanam di liang vagina Candi yang sempit.
"Sssshhh.. ahh, gila! Besar sekali punya kamu, Rio. Hhhh.. hhhhhh..”
Tubuh sintal Candi ambruk ke bawah ketika penetrasi itu berhasil.
Rio mendiamkannya sejenak, memberi Candi kesempatan untuk menarik napas.
Candi diam tak bergerak di atas tubuh kurus Rio dengan napas memburu tak beraturan.
Tubuh sintalnya yang empuk dan hangat menempel erat di atas tubuh pemuda itu.
Rio sudah akan mencium bibirnya saat Candi mengeliat dan mulai menggerakkan pinggulnya.
"Oughhh.." Nyutt.. rrrbbb.. nyutt.. rrbbb.. nyutt.. rrbb.. nyutt.. rrrbbb..
Rio merasakan gesekan-gesekan kecil ketika vagina sempit Candi mengurut-urut lembut batang penisnya.
Dan dia semakin mengaduh manakala merasakan gerakan pinggul Candi menjadi semakin cepat dan kuat.
Rio tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak membalas.
Maka, sambil berpegangan pada buah dada Candi yang bulat, ia ikut mengayunkan batang kemaluannya.
"Rioo, oooohhh.. sssshhhh.. ohhh.. ohhh..!”
Hanya itu desah-desah kalimat pendek yang sering terucap dari mulut manis Candi.
Ia tampak begitu tak tahan menerima tusukan penis Rio di dalam lubang kemaluannya.
Di sela-sela erangan dan rintihannya yang ekspresif, sesekali bibir mereka berpagutan liar.
Remasan gemas tangan Rio pada payudara montok Candi yang terayun-ayun juga semakin kuat seakan tak mau lepas.
"Rio, ohhhhhh.. aku hampir.. ooggghhh..!” Gerakan tubuh Candi semakin tak beraturan.
Kadang ke belakang kadang ke depan.. naik turun.. Uhhhh.. Rasanya memang sangat nikmat sekali.
Pertemuan antara penis Rio dan vaginanya seperti membawa tubuh mereka melayang ke langit ke tujuh.
Rasanya, tak perlu waktu lama bagi tanggul sperma Rio untuk jebol dan membanjiri rahim Candi.
"Tunggu, Can..” desisnya pendek.. dan bagaikan dikomando.. tubuh keduanya serentak meregang.
Rio terpaksa mengayunkan batang kemaluannya sekuat mungkin untuk menghasilkan kenikmatan secara maksimal.
"Aaaaarrgh.. Rioo..! Ammpuuuunn..!” Tubuh Candi menggelepar hebat di atas tubuh Rio.
Kuku jarinya dengan kejam mencengkeram dada Rio sebagai pelampiasan puncak birahi kenikmatannya.
Srrrr.. srrrr.. srrrr.. srrrr..!! Rio merasakan beberapakali semprotan hangat..
Menyiram ujung kemaluannya yang masih menancap kuat di dalam vagina Candi.
Lalu kemudian.. hening semuanya. Rio melihat jarum jam di dinding menunjukkan angka 21.30.
Di luar sana, udara dingin menyergap desa.
Para petugas Hansip memasang mata dan telinga baik-baik dan tak berhenti meronda dengan formasi tiga-tiga.
Sejumlah pemuda desa lain yang tidak secara resmi bertugas juga membantu berjaga dan pasang mata.
Malam itu, desa Kemiren sepertinya tidak bisa terlelap.
Sama seperti Candi dan Rio yang kembali meneruskan kebersamaan mereka setelah sempat beristirahat sejenak.
Kali ini Rio di atas dan Candi di bawah.
Sampai akhirnya sperma Rio meledak di dalam liang kemaluan Candi saat tengah malam tiba.
------ooOoo------
Telah 10 halaman kertas folio penuh tulisan tangan Rio. Kopi di meja tinggal setengahnya.
Candi berangkat ke kota kabupaten satu jam lalu.
Candi merasa aman-aman saja pergi sendiri, toh semalam tak terjadi apa-apa.
Semua penjaga melakukan tugasnya dengan baik.
Satu-satunya laporan pagi itu Cuma berbunyi: dua ekor kucing berkelahi di atas rumah Bu Parmi.
Danica belum juga tampak batang hidungnya. Rio bertanya-tanya kenapa si bule belum muncul juga.
Atau jangan-jangan ia ketakutan dan memilih menyingkir dari Kemiren..?
Hari masih pagi, sekitar pukul 10.
Rio melintas rumah Si Mbah untuk menuju ke kamar kecil tak jauh dari rumah Bu Parmi.
Halaman belakang itu benar-benar sepi. Seusai buang air, Rio menyapukan pandangan.
Sepi sekali, semua orang sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Angin yang berdesir di pepohonan terdengar jelas.
Halaman belakang rumah Bu Parmi yang berpagar pepohoan rimbun tampak hening.
Tiba-tiba ia melihat sekelabat bayangan cerah di halaman belakang rumah Bu Parmi. Itu mungkin Candi.
Sosok itu bergerak ke pintu belakang rumah Bu Parmi.
Rio menghampiri pintu dan membukanya. Tak ada suara orang.
Tapi manaka Rio menerobos dapur dan masuk ke ruang tengah..
yang remang hanya dengan sebias cahaya lewat genting kaca.
Ia tertegun sejenak. Hidungnya menangkap aroma rempah-rempah.
Tadinya ia hendak berbalik ke pintu belakang rumah, tetapi aroma itu mengingatkannya pada seseorang.
”Dik Rio..! Aku kira siapa..!” Seutas suara mengangetkannya.
Bu Lurah duduk di kursi dekat meja, memperhatikan. Rio terpana sesaat. Bu Lurah tampak tak biasa pagi itu.
Ia mengenakan busana perempuan kota, rok span ketat sebatas lutut dan blazer berwarna hijau tosca.
Satu hal yang membuat Rio terdiam sesaat adalah betapa menariknya perempuan berkulit cerah ini..
Dengan rambut ikal terurai sampai ke bawah bahu.
Rambut itu tidak disisir terlalu rapi, tapi justru membuatnya tampak ayu.
”Bu Lurah..! Saya pangling..” Akhirnya Rio bisa bicara..
Masih berdiri mematung agak jauh dari tempat Bu Lurah duduk. Bu Lurah cuma tersenyum.
”Kok Bu Lurah di sini..?” Tanya Rio.
”Sekali-sekali saya mampir rumah ibuku. Barusan saya dari pasar kecamatan. Capek, mau istirahat dulu.
Bu Parmi masih belanja ke kota kecamatan, membelikan tole seragam sekolah..” kata Bu Lurah.
”Tadi saya kira Candi yang masuk ke sini..” ujar Rio.
”Kata Bu Parmi, Candi ke kota kabupaten. Jauh lo, baru nanti sore pulangnya..” ujar Bu Lurah.
”Ya, saya tau. Baiklah, Bu Lurah. Saya permisi dulu..” Tak enak Rio berdiri mematung begitu..
Apalagi bila teringat pertemuan mereka kemarin yang begitu panas dan membara.
”Mari, Bu..!” Rio berbalik.
”Sebentar to, Dik Rio..!” Tahan Bu Lurah, matanya menatap Rio penuh minat.
Ia berdiri, setelah mengeliat dengan memajukan dada dan menekan pinggang.
Rio melihat perempuan ini berjalan melintasinya dan menutup pintu belakang rumah dari dalam.
Dia tak merasa heran saat tau Bu Lurah menutup pintu, dan menguncinya.
”Suka banyak kucing liar masuk rumah lewat belakang sini. Saya tutup pintunya..” kata Bu Lurah.
Rio paham soal kemungkinan kucing masuk, itu hanya akal-akalan saja.
”Kebetulan Dik Rio di sini. Mau ada yang aku tanyakan. Saya baru beli obat sesak nafas buatan Cina untuk Pak Lurah.
Petunjuknya dalam bahasa Inggris. Dik Rio ’kan pinter bahasa Inggris, tolong bacakan, ya..?”
Bu Lurah mulai mencari-cari sesuatu dari tasnya di atas meja.
Rio tak menjawab. Ia menunggu Bu Lurah menemukan kemasan obat yang dimaksud.
Diam-diam Rio menatap postur tubuh Bu Lurah dari belakang.
Sungguh wanita ini nampak terlalu muda untuk usianya yang di kisaran 37 tahun.
”Di mana ya kertas itu tadi..?” Bu Lurah beralih ke sebuah ranjang tidur tanpa penyekat, sekitar 3 meter dari kursi.
Ia membolak-balik bantal di ranjang itu.
”Ini dia kertas petunjuknya..” Bu Lurah duduk di pinggiran ranjang. Sibuk ia membuka kertas petunjuk obat itu.
”Apa ya isi petunjuk obat ini?” Bu Lurah mengunjukkan kertas petunjuk itu tanpa berdiri. Rio termangu.
Ingin ia mendekat, tapi masih sungkan. Tapi mata Bu Lurah mengisyaratkan agar ia tidak malu-malu.
”Kemari, Dik. Tolong baca..!” Rio akhirnya mendekat juga, dan menerima kertas itu dari tangan Bu Lurah.
Rio berdiri tak jauh dari Bu Lurah mengamati kertas petunjuk yang berbahasa Cina dan Inggris itu.
Ia tak melihat kesibukan kecil Bu Lurah yang melepas blazernya..
Menyisakan busana atas berbahan kaos tanpa lengan warna merah maroon dan pinggiran atas yang rendah.
Rio melirik sedikit bahu bersih dan lengan kencang milik Bu Lurah.
Sungguh luar biasa perempuan desa bisa memiliki kulit secerah dan sekencang itu.
Kemarin dia tidak sempat memperhatikannya karena terlalu terburu-buru.
”Kalau siang, desa ini panas sekali..” ujar Bu Lurah mencampakkan blazernya.
Ia menengadah, berusaha mencari angin untuk lehernya. Kedua tangan Bu Lurah menopang tubuh dari belakang.
Percik debur mulai menyesaki dada Rio.. tak mengingkari pesona perempuan ini..
membuat jantungnya jadi berdetak hebat.
Rio mencoba menekuni kertas itu sambil matanya sesekali melirik penuh minat. Di bawah..
penisnya perlahan mengacung dan menegang kencang, teringat bagaimana emutan Bu Lurah kemarin sore.
”Aku tak bisa dengar suaramu dengan baik, duduk di sini biar lebih jelas..”
Bu Lurah menepuk kasur tak jauh darinya dengan tangan kiri.
Rio seperti tersihir langsung duduk di situ. Dekat sekali ia dengan Bu Lurah.
Perempuan ini mendekatkan kepala ke arah Rio.. seolah ingin bergabung membaca kertas petunjuk itu.
Huffh..! Nafasnya menyapu leher Rio.
”Obat ini harus diminum sehari tigakali, pagi siang dan malam..” ujar Rio. Dengan jarak sedekat itu..
Rio bisa melihat Bu Lurah mengais minggir bagian kain busana yang melintangi pundak kiri dan kanannya.
”Gunakan sendok teh, satu sendor tiap minum untuk anak-anak, atau satu sendok makan untuk orang dewasa..”
Rio terus menerjemahkan.
Bu Lurah tak bersuara, mungkin juga tak mendengar hasil terjemahan Rio.
Separuh dadanya dari atas sudah terbentang.
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
Cerita 196 – Misteri Tersembunyi
Bagian 09
“Kau percaya orang tua bernama Probosangkoro itu adalah Parto Sumartono..?”
Bisik Rio di telinga Candi, sembari melempar kemasan rokok di meja pendek di ruang depan rumah Si Mbah.
Gadis itu tak segera menjawab.
Ia asyik sekali memeluk gelas teh hangat dan menempelkan kehangatan gelas itu ke pipinya.
“Tadinya tidak. Tapi cerita kakek itu logis. Lagipula, ia bisa bicara bahasa Belanda.
Sangat mungkin ia Parto Sumartono yang asli. Ia lebih sering berhubungan dengan von Weissernborn..”
Tajam Candi berbisik, sambil mengunyah biskuit.
Rio menatap Candi. “Apa lagi yang diceritakan orang tua itu..?”
“Semuanya sudah kuceritakan padamu. Makin ruwet, bukan..?” Ujar Candi.
“Ya. Kalau benar-benar utusan Yayasan von Weissernborn datang dan menemukan bukti itu..
berarti mereka memberikan uang hibah pada orang yang salah..” ucap Rio.
“Lalu apa usaha kita..? Menceritakan yang sebenarnya pada Pak Lurah..?
Padahal kakek Probosangkoro wanti-wanti agar aku tak panjang lidah membongkar rahasianya..” tukas Candi.
Rio tak menyahut. Terlalu mendadak informasi ini untuk ditimpali reaksi.
“Aku tak menduga desa ini tenyata menyimpan seribu satu teka-teki..” Rio bicara sendiri.
“Soal Kuntoro, orang yang menyelamatkanmu itu, bagaimana ia bisa membuat si celana longgar menyingkir..?”
“Boleh jadi karena Kuntoro adalah salahsatu dari sekian sesepuh desa yang disegani. Itu wajar..” kata Rio.
“Kakek misterius itu juga sempat menyebut nama Kuntoro..” sela Candi kemudian.
“Oh ya..?” Bersemangat Rio bertanya.
“Ya. Kuntoro adalah salahsatu pemuda yang sedang bersama von Weissernborn..
tatkala Parto dan Probosangkoro menemukan fosil berharga itu..”
“Itu cuma suatu kebetulan, kukira..” timpal Rio.
“Ya, mudah-mudahan begitu. Kalau tidak, makin rumit saja teka-teki ini..”
Rio mengisap rokok dan melirik arloji. Sudah sepuluh menit melewati delapan malam.
Di luar.. penjagaan makin ketat dan rapat. Senjata yang dibawa, tak lagi cuma pentungan dan kelewang.
Kini ada besi lancip panjang, ada pedang, ada clurit dan sejumlah gobang.
Penduduk desa, agaknya sudah bertekad menggelar total war pada para penyelinap gelap.
Rio menguap, bersamaan dengan nyala lampu tekan yang meredup-redup.
Gas lampu itu, pasti menurun. Rio baru saja hendak menambah pompa lampu tekan ketika tiba-tiba ada suara di pintu.
”Nuwun Sewu..!” Candi menoleh. Seorang lelaki tua, berkemeja batik, berkacamata dan bertongkat..
berdiri di pintu dengan santun.
Segera Rio mengenali sosok ini. ”Pak Kuntoro..” Rio berdiri menyambut. Candi mengernyitkan alis.
Macam cerita lenong saja; orang yang baru dibicarakan, mendadak muncul.
”Saya bermaksud menjenguk si mbah Parto. Sejak tiba kembali di desa tadi pagi, saya belum menjenguknya..”
ujar Kuntoro, lelaki tua itu.
”Silakan, Pak. Langsung saja..” ajak Rio, ”Oh, ya. Nama saya Rio. Ini Candi, teman yang saya sebutkan tadi..”
Rio memperkenalkan Candi. Candi membalas uluran tangan Kuntoro yang lebih dulu diajukan.
”Ini gadis yang kau bilang kau cari-cari tadi..?” Tanya Kuntoro simpati..
”Syukurlah, kau menemukan temanmu ini. Sayang kalau hilang. Ia cantik, seperti cucuku..” seloroh Kuntoro.
Candi tersenyum. Cukup pintar orang tua ini bikin celetuk segar.
Tak lama kemudian Kuntoro lenyap di pintu kamar si mbah.
Ada setengah jam ia menghabiskan waktu untuk mengamati dan berbicara dengan istri Sujarno di bilik Si Mbah.
Sujarno sendiri sejak tadi pagi tak tampak. Kata istrinya, tak biasa Sujarno pulang malam dari kota kecamatan.
Ketika Kuntoro muncul kembali di ruang depan, Rio sudah siap dengan ucapan terimakasih, yang siang tadi lupa disampaikan.
”Kalau tak ada bapak, tadi siang saya sudah babak belur..” Rio mempersilakan Pak Kuntoro duduk di antaranya dan Candi.
Kuntoro tersenyum.. ”Kalau tidak ada nak Rio, nasib Si Mbah makin tak keruan lagi..” ujarnya, kebapakan sekali.
”Bapak bisa saja..” kata Rio.
”Betul, Nak Rio. Seluruh orang desa berterimakasih pada Nak Rio. Si Mbah itu salahsatu kebanggaan desa ini.
Jasanya amat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Sebagai penduduk Kemiren dan tetangga dekat Si Mbah sejak bertahun-tahun lalu, saya amat bangga pada si mbah.
Kau lihat kemajuan Kemiren dengan kerajinan fosil itu?” ucap Kuntoro.
”Ya..” timpal Rio.
”Sedikit banyak itu karena jasa Si Mbah, yang senantiasa memompa masyarakat untuk menelateni hikmah kekayaan Kemiren.
Penggalian-penggalian lain mungkin tak akan menghasilkan karya-karya besar..
seperti yang ditemukan Si Mbah bersama von Weissernborn. Tapi wisatawan yang datang untuk membeli kerajinan..
’kan merupakan hikmah terselubung..?” Kuntoro tersenyum.
Kumis warna perak yang tipis rapi memberi aksentuasi kearifan wajahnya.
”Orang yang menyerang saya tadi, apakah orang Kemiren juga, Pak..?”
Rio mengajukan pertanyaan yang sedari tadi ingin diajukan.
Kuntoro menaikkan alis. ”Itu yang saya herankan. Kenapa di zaman seperti ini masih ada begal.
Tapi di sekitar Kali randu memang ada satu-dua pengangguran yang kerjanya menganggu orang..” jelas Kuntoro.
”Kelihatannya mereka segan pada Pak Kuntoro..” kata Rio.
”Kebetulan saja. Saya sering suruh orang bagi-bagi beras di sekitar Kali Randu.
Mungkin itu salahsatu orang yang biasa terima sedekah dari saya.
Mereka takut kalau saya tidak bagi-bagi beras lagi..” ujar Kuntoro.
”Bapak tinggal di sekitar sini..” tanya Candi tiba-tiba.
”Rumah saya ada belakang rumah di seberang jalan itu..” Kuntoro menunjuk ke arah luar.
”Saya baru bisa menjenguk Si Mbah malam ini.
Tadi pagi sampai sore saya harus memeriksa sebidang tanah saya dekat Kali Randu..” kata Kuntoro.
Ia kemudian menatap arloji kuno yang melingkar di pergelangan tangan kanan.
”Senang sekali di sini banyak orang berjaga. Saidun kabarnya diopname di kota kabupaten..?” Ujar Kuntoro.
”Betul. Kata orang-orang lukanya cukup parah. Untunglah Pak Lurah menanggung semua biayanya..” ulas Rio.
Kuntoro mengangguk-angguk.
”Oh, ya, apa yang kalian orang-orang muda ini lakukan di desa ini..?” Tanya Kuntoro kemudian.
”Saya mahasiswa antropologi, sedang menulis laporan tentang sejarah penemuan di Kemiren..
dan teman saya ini Candi, wartawati yang tengah meliput tentang kerajinan fosil di Kemiren..” jelas Rio.
”Hebat..! Saya turut senang. Promosi kerajinan Kemiren harus digencarkan.
Nanti kirimkan korannya pada saya. Koran apa, to?” tanya Kuntoro.
”Tajuk Zaman..!”
”Tajuk Zaman..? Oh ya, saya pernah baca di Jogja.
Bagus, anak muda jaman sekarang memang membanggakan hati..” tutur Kuntoro.
”Wah, tampaknya hari sudah malam. Maaf, saya minta diri dulu. Kalau ada waktu, silakan mampir ke rumah saya..”
Kuntoro melangkah ke pintu. Rio menguntit langkah orang ini yang hilang dalam gelap.
Jam kuno di dinding berdentang sembilan kali. Rio mengantar Candi pulang ke rumah Bu Parmi.
Rio baru ingat Danica belum datang juga.
”Ke mana bule itu kira-kira..? Ia bilang akan kembali ke desa sebelum gelap..” kata Rio.
”Barangkali menginap di kota kabupaten. Pernah ia bilang ia ingin melihat kraton di kota kabupaten..” timpal Candi.
”Ya, sudahlah. Besok pasti nongol. Besok apa rencanamu..?” Tanya Rio.
“Malam ini aku nulis laporan tentang kerajinan.
Besok aku pergi ke kota kabupaten buat kirim email ke redaksiku. Mau nitip apa?”
“Tak ada. Aku mau nulis laporan besok saja, capek sekarang..” Rio merebahkan diri begitu saja di tikar dekat meja.
“Aku mau menulis di sini, mungkin tidur di sini juga..” kata Candi, “tadi sudah pamit pada Bu Parmi..”
Candi menyiapkan kertas, memilih pena bertinta hitam dan memutar ulang rekaman di hape.
Tapi baru dapat dua baris, dia merasakan pelukan Rio di belakang tubuhnya.
“Apaan sih..?” Ttanyanya menggeliat.
“Aku lega kamu selamat..” sahut Rio. “Kukira aku bakal kehilangan kamu selamanya..”
“Ah.. sok romantis kamu..!” Candi mencibir.
“Terserah apa katamu. Tapi beneran, itulah yang kurasakan..” balas Rio.
“Ya, ya, aku tau. Sekarang lepaskan, aku mau nulis..” cetus Candi.
“Tidak mau..” Rio menjawab.
“Kalau begitu, bantu aku menulis..” Candi mencondongkan tubuhnya.
“Males ah..” sahut Rio.
“Terus kamu maunya apa..?” Tanya Candi mulai sedikit sebal.
“Tidak ada..” Rio tersenyum. “Aku cuma mau peluk kamu..” katanya dengan nada konyol.
Candi kehabisan kata-kata untuk membantah.
Beberapa saat mereka berdua larut dalam perasaan masing-masing, perasaan bahagia.
Mereka berdua pun tanpa ragu saling berdekapan untuk beberapa lama. Rio meremas lembut jari-jari halus Candi.
Gadis itu menundukkan kepala ketika Rio menyibakkan rambut pendeknya yang jatuh menutupi sebagian wajah.
Embusan napas Rio terasa hangat di tengkuk Candi karena tubuh keduanya sudah tak berjarak.
Candi menoleh, menatap sendu penuh makna. Entah keberanian dari mana..
Tanpa sadar Rio mengecup dan mengulum bibir indah yang setengah terbuka itu.
Ah.. seperti sudah bisa diduga, Candi sama sekali tidak marah.
Malah dia memberikan reaksi positif dengan membalas ciuman itu.
Maka, dengan penuh nafsu, keduanya berpagutan mesra. Ciuman itu berlangsung cukup lama..
sampai Candi melepaskan pelukan dengan muka merah dan napas terengah-engah.
“Rio, jangan..! Kita tidak boleh melakukan ini..!”
Katanya setengah berbisik sambil berusaha melepaskan rengkuhan.
Tapi Rio bertahan, tak akan ia lepaskan gadis cantik ini. Bibir Candi terasa begitu manis dan lembut.
Rio sangat menikmatinya. Lagipula, sudah kepalang tanggung.. pikirnya.
“Kenapa, Can, apanya yang tidak boleh..?”
Sahut Rio sekenanya sambil mendaratkan kecupan di leher Candi yang jenjang.
Sejenak Candi meronta-ronta kecil berusaha menghindari kenakalan bibir Rio pada leher mulusnya..
sementara tangan pemuda itu tengah meremasi kemontokan buah dadanya yang masih terbalut bra tipis.
Beberapakali tangan halus Candi mencoba untuk menepis.. tapi segera jemari Rio kembali ke tempat semula.
Sampai sesaat kemudian perlawanan Candi berhenti..
dan berubah menjadi desah nafas memburu serta geliatan tubuh yang gelisah.
Rio pun mengendurkan serangan.. kecupan bibirnya diperlembut.
Demikian juga remasan tangannya.. berubah menjadi elusan lembut pada kulit payudara Candi..
kemudian gelitikan mesra pada puting susunya yang terasa sudah mengeras.
"Rio, sssshhh.. a-aku nggak tahan..” bisik Candi pendek, dekat sekali suaranya di telinga.
Dan ouw.. daun telinga Rio dikulumnya, dijilatinya.
"Ikuti saja, Can. Nikmati..” Bisik Rio mesra sambil menarik baju dan tali beha yang menyilang di pundak gadis itu.
Memperlihatkan kesempurnaan bukit montok di depan dada Candi.
Begitu putih dan mulus, dengan puting mungil yang sudah mengeras berwarna merah kecoklatan.
Rio mendaratkan jilatan pada ujung benda itu.. tubuh Candi langsung menggeliat sambil mendesah panjang.
"Ssssssshhh.. aaaahh.. Rio, a-aku.. mmmmmhh!”
Rio tak mempedulikan lagi kalimat-kalimat itu karena nafsunya seperti sudah di ubun-ubun.
Apalagi menghadapi kenyataan ternyata tubuh Candi memang tak layak untuk dilewatkan sesenti pun.
Desah-desah resah berhamburan dari mulut Candi..
Geliatan tubuhnya sudah menunjukkan kepasrahan kepada birahinya sendiri.
Tangannya mulai melingkar di leher Rio.. rambut pemuda itu ia acak-acak di kala menyusu ke bulatan payudaranya.
Betapa kuat jari lentik Candi mencengkeram kulit punggung Rio..
manakala puting susunya dikulum dalam waktu yang lama.
"Auw, ampuuunn..!” Desah Candi lirih.
Perutnya yang rata berkulit putih dihiasi lubang pusar berbentuk bagus.
Dia menggeliat erotis manakala bibir Rio mengecupinya. Tubuh atasnya sudah telanjang sekarang.
Candi setengah rebah dengan kepala berada di sandaran kursi..
Sementara tangannya terlihat meremasi payudaranya sendiri. Gadis itu mengerang panjang..
Kepalanya mendongak dan menggoyang-goyang lirih ketika lubang pusarnya dikorek-korek mesra oleh Rio.
Tubuhnya yang sintal menggeliat erotis, rupanya di situ adalah salahsatu daerah sensitifnya.
"Ouw, Rio.. jangaaan.. g-gelii..!” Bisik Candi sambil tangannya menahan dagu Rio..
yang berniat mengecupi gundukan kemaluannya dari luar celana dalam yang sudah tampak bebercak basah.
"Kenapa, Can..?" Tanya Rio lembut.
"Sssssshhh.. nanti a-aku nggak tahan..!" Jawab Candi sambil berusaha menarik tubuh Rio ke atas.
Tapi Rio tak peduli, dia sudah terlanjur bernafsu.
Selanjutnya tanpa permisi, celana dalam Candi ia singkap ke samping. Fuih..!
Sebuah gundukan kecil yang dibelah tengah dengan rambut kemaluan yang tidak begitu lebat..
kini tampak di depan matanya. Sebuah bentuk luar kemaluan wanita yang jarang sekali dipakai. Indah sekali..!
Belahan yang basah dengan warna memerah yang berdenyut-denyut pelan.
Tak ayal lagi lidah Rio terjulur untuk menyapu dan mencicipinya.
Ia jilat cairan yang mulai terlihat membasahi vagina indah itu.
"Aaaaahhh.. Rio..! Kamu bandel..” erang Candi dengan tubuh semakin menggeliat hebat.
Sepasang kaki panjangnya kian terkangkang lebar;
Kaki sebelah kiri terjuntai ke lantai yang beralaskan tikar pandan..
Sedangkanb kaki sebelah kanannya ditumpangkan di atas sandaran kursi.. setelah Rio melepas celana dalamnya.
Rambut pemuda itu ia acak-acak sambil sesekali tangannya yang gemas mencengkeram erat kulit pundak.
Ini membuat Rio semakin kesetanan.. ditambah aroma vagina Candi yang segar dan wangi, dia jadi makin ketagihan.
Bibirnya segera menciumi bibir vagina Candi berulang-ulang.. layaknya menciumi mulut.
Sementara lidahnya menyelip memasuki liangnya yang basah dan menusuk masuk sampai sedalam-dalamnya.
Sesekali juga Rio mengulum klitoris mungil Candi yang sudah mulai mengeras.
"Rio, ampuuuunn.. nikmat sekali..” Candi merintih-rintih dengan suara merengek seperti orang mau menangis.
Pinggulnya yang bulat bergerak-gerak merespon ulah lidah dan bibir Rio yang terus menyerang di daerah selangkangannya.
"Ooowwh.. Rio, sudah.. aku tak tahan..” rengeknya semakin memilukan.
Dan tiba-tiba gadis cantik itu bangkit dan mendorong lembut tubuh Rio yang tengah bersimpuh di depan vaginanya.
Rio mengikuti saja apa yang Candi inginkan. Dia telentang di tikar sedangkan Candi mengikutinya..
Sehingga kini tubuh mereka saling menempel dan bertindihan mesra.
Payudara Candi yang montok dan kenyal kini menempel ketat di dada Rio.
Wajah mereka begitu dekat hingga Rio bisa melihat dengan jelas paras cantik Candi yang tengah diamuk birahi.
Ough.. gadis itu terlihat begitu mempesona.
"Rio, aku masukkan ya..?” Desis Candi dengan bibir indah gemetar.
Alis lentik di atas mata bulatnya mengernyit, sementara matanya kini agak menyipit dan menatap Rio sendu.
Dia yang tadi bilang jangan, kini malah meminta untuk dimasuki.
Rio pun mengabulkan karena memang inilah yang ia tunggu-tunggu sedari tadi.
Pelan dia mendorong ke atas batang penisnya. Slebb.. clebb..
"Ouughhhh.. pelan, Rio. Sssshhhhh.. nyeri..!!” Keluh Candi sambil mempererat pelukan.
Uhhhhh..!! Rio merasakan liang senggama Candi sangat sempit sekali. Burungnya kesulitan untuk menembus.
Candi yang sudah sangat bersemangat untuk menuntaskan gairah binalnya, mulai memutar-mutar pinggul..
Berharap dengan begitu Rio bisa lebih mudah melakukannya.
Dengan ekspresi nikmat bercampur kesakitan.. di usahanya yang kelima.. akhirnya.. blessepphh..!!
Amblaslah seluruh batang penis Rio tertanam di liang vagina Candi yang sempit.
"Sssshhh.. ahh, gila! Besar sekali punya kamu, Rio. Hhhh.. hhhhhh..”
Tubuh sintal Candi ambruk ke bawah ketika penetrasi itu berhasil.
Rio mendiamkannya sejenak, memberi Candi kesempatan untuk menarik napas.
Candi diam tak bergerak di atas tubuh kurus Rio dengan napas memburu tak beraturan.
Tubuh sintalnya yang empuk dan hangat menempel erat di atas tubuh pemuda itu.
Rio sudah akan mencium bibirnya saat Candi mengeliat dan mulai menggerakkan pinggulnya.
"Oughhh.." Nyutt.. rrrbbb.. nyutt.. rrbbb.. nyutt.. rrbb.. nyutt.. rrrbbb..
Rio merasakan gesekan-gesekan kecil ketika vagina sempit Candi mengurut-urut lembut batang penisnya.
Dan dia semakin mengaduh manakala merasakan gerakan pinggul Candi menjadi semakin cepat dan kuat.
Rio tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak membalas.
Maka, sambil berpegangan pada buah dada Candi yang bulat, ia ikut mengayunkan batang kemaluannya.
"Rioo, oooohhh.. sssshhhh.. ohhh.. ohhh..!”
Hanya itu desah-desah kalimat pendek yang sering terucap dari mulut manis Candi.
Ia tampak begitu tak tahan menerima tusukan penis Rio di dalam lubang kemaluannya.
Di sela-sela erangan dan rintihannya yang ekspresif, sesekali bibir mereka berpagutan liar.
Remasan gemas tangan Rio pada payudara montok Candi yang terayun-ayun juga semakin kuat seakan tak mau lepas.
"Rio, ohhhhhh.. aku hampir.. ooggghhh..!” Gerakan tubuh Candi semakin tak beraturan.
Kadang ke belakang kadang ke depan.. naik turun.. Uhhhh.. Rasanya memang sangat nikmat sekali.
Pertemuan antara penis Rio dan vaginanya seperti membawa tubuh mereka melayang ke langit ke tujuh.
Rasanya, tak perlu waktu lama bagi tanggul sperma Rio untuk jebol dan membanjiri rahim Candi.
"Tunggu, Can..” desisnya pendek.. dan bagaikan dikomando.. tubuh keduanya serentak meregang.
Rio terpaksa mengayunkan batang kemaluannya sekuat mungkin untuk menghasilkan kenikmatan secara maksimal.
"Aaaaarrgh.. Rioo..! Ammpuuuunn..!” Tubuh Candi menggelepar hebat di atas tubuh Rio.
Kuku jarinya dengan kejam mencengkeram dada Rio sebagai pelampiasan puncak birahi kenikmatannya.
Srrrr.. srrrr.. srrrr.. srrrr..!! Rio merasakan beberapakali semprotan hangat..
Menyiram ujung kemaluannya yang masih menancap kuat di dalam vagina Candi.
Lalu kemudian.. hening semuanya. Rio melihat jarum jam di dinding menunjukkan angka 21.30.
Di luar sana, udara dingin menyergap desa.
Para petugas Hansip memasang mata dan telinga baik-baik dan tak berhenti meronda dengan formasi tiga-tiga.
Sejumlah pemuda desa lain yang tidak secara resmi bertugas juga membantu berjaga dan pasang mata.
Malam itu, desa Kemiren sepertinya tidak bisa terlelap.
Sama seperti Candi dan Rio yang kembali meneruskan kebersamaan mereka setelah sempat beristirahat sejenak.
Kali ini Rio di atas dan Candi di bawah.
Sampai akhirnya sperma Rio meledak di dalam liang kemaluan Candi saat tengah malam tiba.
------ooOoo------
Telah 10 halaman kertas folio penuh tulisan tangan Rio. Kopi di meja tinggal setengahnya.
Candi berangkat ke kota kabupaten satu jam lalu.
Candi merasa aman-aman saja pergi sendiri, toh semalam tak terjadi apa-apa.
Semua penjaga melakukan tugasnya dengan baik.
Satu-satunya laporan pagi itu Cuma berbunyi: dua ekor kucing berkelahi di atas rumah Bu Parmi.
Danica belum juga tampak batang hidungnya. Rio bertanya-tanya kenapa si bule belum muncul juga.
Atau jangan-jangan ia ketakutan dan memilih menyingkir dari Kemiren..?
Hari masih pagi, sekitar pukul 10.
Rio melintas rumah Si Mbah untuk menuju ke kamar kecil tak jauh dari rumah Bu Parmi.
Halaman belakang itu benar-benar sepi. Seusai buang air, Rio menyapukan pandangan.
Sepi sekali, semua orang sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Angin yang berdesir di pepohonan terdengar jelas.
Halaman belakang rumah Bu Parmi yang berpagar pepohoan rimbun tampak hening.
Tiba-tiba ia melihat sekelabat bayangan cerah di halaman belakang rumah Bu Parmi. Itu mungkin Candi.
Sosok itu bergerak ke pintu belakang rumah Bu Parmi.
Rio menghampiri pintu dan membukanya. Tak ada suara orang.
Tapi manaka Rio menerobos dapur dan masuk ke ruang tengah..
yang remang hanya dengan sebias cahaya lewat genting kaca.
Ia tertegun sejenak. Hidungnya menangkap aroma rempah-rempah.
Tadinya ia hendak berbalik ke pintu belakang rumah, tetapi aroma itu mengingatkannya pada seseorang.
”Dik Rio..! Aku kira siapa..!” Seutas suara mengangetkannya.
Bu Lurah duduk di kursi dekat meja, memperhatikan. Rio terpana sesaat. Bu Lurah tampak tak biasa pagi itu.
Ia mengenakan busana perempuan kota, rok span ketat sebatas lutut dan blazer berwarna hijau tosca.
Satu hal yang membuat Rio terdiam sesaat adalah betapa menariknya perempuan berkulit cerah ini..
Dengan rambut ikal terurai sampai ke bawah bahu.
Rambut itu tidak disisir terlalu rapi, tapi justru membuatnya tampak ayu.
”Bu Lurah..! Saya pangling..” Akhirnya Rio bisa bicara..
Masih berdiri mematung agak jauh dari tempat Bu Lurah duduk. Bu Lurah cuma tersenyum.
”Kok Bu Lurah di sini..?” Tanya Rio.
”Sekali-sekali saya mampir rumah ibuku. Barusan saya dari pasar kecamatan. Capek, mau istirahat dulu.
Bu Parmi masih belanja ke kota kecamatan, membelikan tole seragam sekolah..” kata Bu Lurah.
”Tadi saya kira Candi yang masuk ke sini..” ujar Rio.
”Kata Bu Parmi, Candi ke kota kabupaten. Jauh lo, baru nanti sore pulangnya..” ujar Bu Lurah.
”Ya, saya tau. Baiklah, Bu Lurah. Saya permisi dulu..” Tak enak Rio berdiri mematung begitu..
Apalagi bila teringat pertemuan mereka kemarin yang begitu panas dan membara.
”Mari, Bu..!” Rio berbalik.
”Sebentar to, Dik Rio..!” Tahan Bu Lurah, matanya menatap Rio penuh minat.
Ia berdiri, setelah mengeliat dengan memajukan dada dan menekan pinggang.
Rio melihat perempuan ini berjalan melintasinya dan menutup pintu belakang rumah dari dalam.
Dia tak merasa heran saat tau Bu Lurah menutup pintu, dan menguncinya.
”Suka banyak kucing liar masuk rumah lewat belakang sini. Saya tutup pintunya..” kata Bu Lurah.
Rio paham soal kemungkinan kucing masuk, itu hanya akal-akalan saja.
”Kebetulan Dik Rio di sini. Mau ada yang aku tanyakan. Saya baru beli obat sesak nafas buatan Cina untuk Pak Lurah.
Petunjuknya dalam bahasa Inggris. Dik Rio ’kan pinter bahasa Inggris, tolong bacakan, ya..?”
Bu Lurah mulai mencari-cari sesuatu dari tasnya di atas meja.
Rio tak menjawab. Ia menunggu Bu Lurah menemukan kemasan obat yang dimaksud.
Diam-diam Rio menatap postur tubuh Bu Lurah dari belakang.
Sungguh wanita ini nampak terlalu muda untuk usianya yang di kisaran 37 tahun.
”Di mana ya kertas itu tadi..?” Bu Lurah beralih ke sebuah ranjang tidur tanpa penyekat, sekitar 3 meter dari kursi.
Ia membolak-balik bantal di ranjang itu.
”Ini dia kertas petunjuknya..” Bu Lurah duduk di pinggiran ranjang. Sibuk ia membuka kertas petunjuk obat itu.
”Apa ya isi petunjuk obat ini?” Bu Lurah mengunjukkan kertas petunjuk itu tanpa berdiri. Rio termangu.
Ingin ia mendekat, tapi masih sungkan. Tapi mata Bu Lurah mengisyaratkan agar ia tidak malu-malu.
”Kemari, Dik. Tolong baca..!” Rio akhirnya mendekat juga, dan menerima kertas itu dari tangan Bu Lurah.
Rio berdiri tak jauh dari Bu Lurah mengamati kertas petunjuk yang berbahasa Cina dan Inggris itu.
Ia tak melihat kesibukan kecil Bu Lurah yang melepas blazernya..
Menyisakan busana atas berbahan kaos tanpa lengan warna merah maroon dan pinggiran atas yang rendah.
Rio melirik sedikit bahu bersih dan lengan kencang milik Bu Lurah.
Sungguh luar biasa perempuan desa bisa memiliki kulit secerah dan sekencang itu.
Kemarin dia tidak sempat memperhatikannya karena terlalu terburu-buru.
”Kalau siang, desa ini panas sekali..” ujar Bu Lurah mencampakkan blazernya.
Ia menengadah, berusaha mencari angin untuk lehernya. Kedua tangan Bu Lurah menopang tubuh dari belakang.
Percik debur mulai menyesaki dada Rio.. tak mengingkari pesona perempuan ini..
membuat jantungnya jadi berdetak hebat.
Rio mencoba menekuni kertas itu sambil matanya sesekali melirik penuh minat. Di bawah..
penisnya perlahan mengacung dan menegang kencang, teringat bagaimana emutan Bu Lurah kemarin sore.
”Aku tak bisa dengar suaramu dengan baik, duduk di sini biar lebih jelas..”
Bu Lurah menepuk kasur tak jauh darinya dengan tangan kiri.
Rio seperti tersihir langsung duduk di situ. Dekat sekali ia dengan Bu Lurah.
Perempuan ini mendekatkan kepala ke arah Rio.. seolah ingin bergabung membaca kertas petunjuk itu.
Huffh..! Nafasnya menyapu leher Rio.
”Obat ini harus diminum sehari tigakali, pagi siang dan malam..” ujar Rio. Dengan jarak sedekat itu..
Rio bisa melihat Bu Lurah mengais minggir bagian kain busana yang melintangi pundak kiri dan kanannya.
”Gunakan sendok teh, satu sendor tiap minum untuk anak-anak, atau satu sendok makan untuk orang dewasa..”
Rio terus menerjemahkan.
Bu Lurah tak bersuara, mungkin juga tak mendengar hasil terjemahan Rio.
Separuh dadanya dari atas sudah terbentang.
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------