Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

kontrakan

perjoko

Adik Semprot
Daftar
9 Aug 2012
Post
119
Like diterima
265
Lokasi
Tempat paling enak
Bimabet
“Dek, ayo buruan… sebelum aku kesiangan…” kata mas Andri, suamiku.
Dia berdiri di samping meja makan yang telah bersih dari peralatan makan, sambil mengurut perlahan batang penisnya.
“Iya… aku datang…dasar tikus hutan ….” Candaku sambil tertawa.
Aku letakkan piring dan gelas kotor di dapur, lalu aku kembali kearah ruang makan. Aku lepas cd yang membungkus vaginaku dan aku lempar ke atas tumpukan cucian kotorku. Cd itu adalah cd terakhirku, karena semua cd yang aku miliki belum sempat aku cuci. Sekarang, satu-satunya baju yang masih menempel di tubuhku adalah daster batik berbelahan dada rendah yang menggantung sepanjang separuh pahaku. Adalah suatu rutinitas, hampir setiap pagi aku harus melayani nafsu suamiku yang menggebu-gebu. Nafsu seks yang seolah-olah tak pernah ada habis-habisnya. Sepertinya, yang ada diotaknya ketika ada aku, hanyalah tentang seks…ngentot…make love…ngewe. Hanya itu saja. Aku, sebagai istrinya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkat yang aku anggap lucu ini. Aku mendekat, sambil menurunkan tali pundak daster miniku. Daster itu meluncur turun dengan cepat, dan langsung menampakkan kepolosan tubuh putihku. Putingku telah ereksi, dan vaginaku juga mulai basah. Dikecupnya kening, pipi, hidung, leher dan bibirku. Karena aku mudah sekali terbakar nafsu birahi, tak perlu menunggu terlalu lama untuk pemanasan. Langsung saja lidah kami bergulat. Tangan kiri mas Andri mulai memelintir dan meremas putting payudaraku, dan tangan kanannya merogoh vaginaku dari depan. Aku pun tak mau tinggal diam, aku raih batang penisnya yang sudah menegang dengan kedua tanganku dan aku kocok penis mas Andri, naik turun dengan cepat.
“Memek kamu cepet sekali basah dek… Kamu dah sange ya sayang?” tanyanya sambil tersenyum.
“Ya iyalah…. Siapa coba yang ga sange klo jari mas mengobok-obok memek adek kayak gitu..” Mas Andri tersenyum, ia menatap wajahku yang sudah mulai memerah sayu.
Mas Andri mendadak menghentikan gulat lidahnya, dan mengarahkan mulutnya ke payudaraku. HAP. Dia langsung mencaplok dada kananku. Disedotnya kuat-kuat, lidahnya menari lincah diatas putingku. Geli. Tak lama, mulutnya pun pindah ke payudaraku yang kiri. HOP. “Annnnggg…” kali ini giginya ikut bermain, dengan menggigit perlahan puttingku yang mulai mengeras.
“Owhh… sssshh” Aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuannya.
“Mas, sekarang ya….” Bisikku lirih. “Aku sudah tak tahan”. Mas Andri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tubuh telanjangku dibalik menghadap ke arah meja makan dan ia mendekap tubuh mungilku dari belakang. Walau sudah berubah posisi, kedua tangannya masih saja menggerayangi tubuhku. Tangan kiri meremas perlahan payudaraku, dan tangan kanan mencolokkan beberapa jemari gemuknya ke dalam vaginaku. Aku merasakan penisnya berada tepat di belahan bokongku, digesek-gesekkannya penis itu dengan penuh perasaan.
“Mas.. ayo…. Dimasukkin … Adek udah nggak kuat lagi….” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa aku tahan lagi, mas Andri lalu mendorong pundakku ke depan dan bertumpu pada meja makan.
“Lebarin kakimu dikit dek…. Nah gitu”
Aku terperanjat ketika merasakan, tangan kanan suamiku mencoblos perlahan vaginaku dari arah pantat. “Pemanasan…” katanya menenangkanku. Disodok-sodokkan jemari gemuknya beberapa kali di vaginaku. Cairanku membanjir. Dengan perlahan, mas Andri mulai mengarahkan kepala penisnya kearah vaginaku. Digesek-gesekkan batang penis itu diluar bibir kemaluanku. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vaginaku. Mas Andri mengambil ancang-ancang. Kurasakan kepala penisnya di antara bulatan bokongku. Perlahan ia mulai mendorong batang penisnya dan mulai menyeruak masuk. Benda itu begitu hangat, kenyal namun keras. Sambil tetap meremas-remas kedua dadaku dengan satu tangan, mas Andri mendorong sedikit demi sedikit kepala penisnya.
“CLEP” kepala penisnya telah masuk.
“Uhh…” aku mendesah sambil memejamkan mataku rapat-rapat. Walau aku sudah terbiasa dengan ukuran penis mas Andri, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul.
Mas Andri menggeser-geser posisi tubuhku, mencoba membuatnya menjadi lebih mantap ketika kami bersetubuh. Perlahan, batang penisnya mulai ia dorong masuk ke vaginaku. Aku merasakan denyut-denyut pelan yang membuat organ kewanitaanku semakin membanjir basah. Sedikit demi sedikit, sampai batang sepanjang 16 cm itu benar-benar hilang ditelan organ kewanitaanku.
“Mmm…mas….” Suaraku gemetar menahan nafsuku.
“Kenapa dek…? Enak…?” mas Andri mengecup punggungku ketika melihat aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
Saking nafsunya, cairan vaginaku menjadi tak terbendung, karena aku merasakannya mulai turun, mengalir ke arah pahaku.
“CLEP… CLEP… CLEP… “ mas Andri mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, mengaduk dan menusukkan batang penisnya dalam-dalam, semakin lama semakin cepat.
“PLAK… PLAK… PLAK…” Suara tubuh kami ketika saling bertabrakan.
“SREEK…SREEK…SREEK…” Meja makan yang aku buat sebagai tumpuan tubuhku juga perlahan mulai bergerak, tiap kali pinggul mas Andri menabrak pantatku. Kaki mejanya berderit-derit, tergeser oleh gerakan liar kami berdua. “DUG… DUG… DUG…” Suara bibir meja ketika menabrak tembok dan desahan suara kami memenuhi ruang makan yang sempit ini.
“Enak dek…?” tanyanya dari arah punggungku sambil terus meremas payudaraku.
Saking enaknya, aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum mendesis sambil mengangguk-anggukan kepalaku. Mulut mas Andri tak henti-hentinya mengucapkan kata “Aku sayang kamu dek” tiap kali ia memompa penisnya diliang vaginaku. Terkadang ia mengecup dan menjilat punggungku. Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil melenguh keenakan, merasakan tusukan-tusukan tajam penis mas Andri.
“Pagi hari yang berisik… “ pikirku tiap kali kami bersetubuh.
Karena memang benar, kami adalah pasangan yang tidak bisa diam, selalu bercinta tiap kali ada kesempatan. Tak peduli akan waktu, tempat ataupun situasi. Oleh karenanya aku panggil suamiku tikus hutan, karena nafsunya mirip dengan aktivitas makhluk kecil itu, hanya bercinta dengan pasangannya sampai dia mati. Gelombang kenikmatan itupun perlahan datang. Jantungku bercetak semakin cepat, nafasku memberat, siap menyambut orgasme pertamaku di pagi hari ini.
“Shhhh… Aku mau keluar mas…ayo… tusuk memek adek lebih dalam…” kataku menyemangatinya.
Tanpa menunggu perintahku untuk yang kedua kalinya, mas Andri semakin mempercepat sodokannya. Tubuhku terhentak-hentak dengan keras, tiap kali menerima sodokan penis mas Andri. Penisnya terasa begitu cepat, keluar masuk dengan ritme yang semakin cepat. Meja makan tempat aku menyandarkan tubuhku pun sepertinya ikut merasakan dorongan brutal mas Andri, berderit dengan keras dan menabrak tembok seiring desahan kenikmatan kami berdua.
“Shhh…ayo mas… aku sudah dekat.. aku mau keluar …. Ssshhhh…” erangku kepada suamiku. Dengan tangan kiri yang masih menopang badanku, aku pegang pantatnya dengan tangan kanan. Aku gerak-gerakan pantat semok itu kearahku, berharap mas Andri semakin mempercepat goyangannya.
“Mas…ayo…. sodok aku dengan keras… tusuk aku dengan tititmu… aku mau keluar mas…”
Di tengah-tengah pendakian kami ke puncak gunung kenikmatan. Tiba-tiba mas Andri menghentikan sodokannya. Dia terdiam, menusukkan penisnya dalam-dalam ke arah vaginaku, dan….
“Aaahhhhhhkkkkk……… ahhhh… ahhhh… “ mas Andri berteriak lirih. Gumpalan cairan hangat langsung memenuhi rongga rahimku. Tak begitu banyak, namun cukup membuat liang rahimku agak sedikit penuh. Mas Andri mendorong tubuh gemuknya ke arahku dengan brutal tiap kali penisnya memuntahkan lahar panasnya. Sampai aku merasa sakit pada bagian paha depanku yang terkena bibir meja.
Enam kali sodokan keras aku terima pada vaginaku ketika suamiku ejakulasi, sebelum akhirnya ia merubuhkan tubuhnya ke arahku. Berat sekali. Nafasnya tersengal-sengal.
“Aku sayang kamu dek…” ucapnya sambil mengecup bagian belakang leherku.
“Iya.. Aku juga sayang kamu mas” jawabku lirih.
Sebenarnya ada rasa kesal karena aku masih belum mendapatkan orgasmeku. Sekali lagi, mas Andri gagal memberiku kenikmatan yang telah lama aku inginkan. Tidak sampai 5 menit dia sudah terpuaskan, mas Andri selalu saja begitu, terlalu cepat ejakulasi.
“Mas… aku masih pingin… ayo ngewe lagi… ayo mas…” kataku.
“Aduh… mas dah terlambat dek… ntar malem ya kita sambung lagi…” elaknya.
Selalu saja, kata-kata itu yang menjadi alesan. Mas Andri memeluk tubuh telanjangku sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebagai istri yang harus selalu patuh, aku harus menyembunyikan rasa ketidakpuasanku. Aku harus bisa ikut tersenyum melihat kepuasan yang terpancar dari wajahnya, dan membiarkan kehausan nafsuku hilang dengan sendirinya. “PLOP” Aku masih merasakan kedutan pelan di dinding vaginaku ketika batang penis mas Andri yang telah lemas, jatuh keluar dengan sendirinya. Sekarang penis itu menggelatung tak berdaya di luar bibir vaginaku. Meneteskan lendir kenikmatan kami berdua di belakang paha dan betisku.
“Dek, aku berangkat dulu, khawatir ketinggalan angkutan… dah siang nie” kata mas Andri sambil mengangkat badan lebarnya dari punggungku.
Dia menepuk pantat semokku dan balikkan badanku yang masih tengkurap diatas meja makan. Aku sekarang dalam posisi telentang, menatap langit-langit rumah kontrakanku. Dengan kaki yang menjuntai di tepi meja makan. Mas Andri tiba-tiba mencium vaginaku dan menyeruput cairan yang keluar dari vaginaku.
“Hayo… kamu lupa ya dek?” tanyanya sambil tertawa.
“Hahaha.. geli mas… geli…iya iya…adek inget….” Jawabku berusaha menjauhkan mulutnya dari selangkanganku.
Memang sudah menjadi kebiasaan, jika setelah kami bersetubuh, aku selalu membersihkan seluruh batang penisnya dengan mulutku.
Aku segera bangun, turun dari meja makan dan langsung berjongkok di depan selangkangan suamiku. Aku raih batang penisnya yang menggelantung lemas itu, dan aku jilat perlahan. Kuhirup dalam-dalam aroma kewanitaanku yang bercampur dengan spermanya. Sejak pertama kali kami bersetubuh, aku memang suka sekali meminum sperma, teksturnya mirip dawet, minuman khas dari pulau jawa yang terbuat dari campuran gula merah dan santan kelapa, terlebih lagi aromanya, mirip aroma daun pandan. Kubuka mulutku lebar-lebar, lalu aku masukkan seluruh batang penisnya. Aku kecap, hisap dan urut batang penis lemasnya dengan mulutku. Berharap penis itu bisa tegang kembali. Namun setelah beberapa menit aku oral, sama saja, penis itu tetap menggelayut lemas.
“Nah…..Dah bersih mas…” kataku. “Dah… sana berangkat kerja…”
Mas Andri menyuruhku berdiri, dan sekali lagi, ia kecup keningku. “Kamu yakin? Nggak mau menunggu besok Minggu buat mengerjakan semua pekerjaan rumah ini…? Kamu mau mengerjakannya semua ini sendirian? Jangan terlalu capek ya istriku sayang” tanyanya begitu mengkhawatirkanku.
“Iye baweeeeel… aku yakin… dah ah… jangan menganggap aku cewek manja seperti dulu… aku dah berubah… sana buruan berangkat” kataku pada suamiku tercinta.
Dengan tubuh telanjang bulat dan vagina yang masih meneteskan cairan kenikmatan kami berdua, lalu aku antar mas Andri ke pintu depan sambil bergelayutan manja dipundaknya.
“Dah ah… sana buruan pakai dasternya… ntar ada orang yang ngliat loh…” kata suamiku.
“Ah.. kagak ada yang bakalan ngeliat mas… khan rumah kita paling tertutup…”
“Berani yaaaa……. “ Kata mas Andri sambil mencubit pantatku..
“He he he… Iyeeeee….”
Diciumnya kening dan bibirku tuk terakhir kali, dan tak lupa salam berangkat kerja andalannya. Meremas kedua belah dadaku, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku.
“Salam sayang buat mimi imutku… jaga baik-baik ya dek” katanya sambil tersenyum manja.
“Jaga juga dedenya… jangan diapa-apain sampai ntar malam kamu pulang ya mas” sambungku.
Mimi dan Dede adalah panggilan sayang kepada alat kelamin kami masing-masing. Mas Andri melambaikan tangan, dan melangkah menjauh meninggalkan aku sendirian di rumah kontrakan baruku ini.
Mas Andri, suamiku, berumur 32 tahun, berpostur agak gemuk, 170cm/90kg, dan berkulit putih mirip denganku. Dia baru saja diangkat jabatan menjadi seorang pengawas lapangan disebuah Perusahaan Pengeboran Minyak Internasional. Mas Andri adalah seseorang yang bijaksana dalam pengambilan keputusan, pandai dan penuh dengan perhitungan.
“Bukannya pelit dek… tapi khan lumayan… kita bisa menghemat uang jutaan rupiah perbulan loh kalo tinggal di rumah ini… daripada aku harus menyewa rumah mewah dekat kantor… toh beda jaraknya cuma 1 jam…” itulah kalimat yang selalu di ulang-ulang ketika aku sedikit ngambek karena keputusannya mengambil rumah yang “jauh dari peradaban ini”.
Rumah kontrakanku adalah rumah petak, yang terbagi menjadi beberapa bagian, teras, ruang tamu, ruang tidur, dapur, kamar mandi dan halaman belakang untuk cuci dan jemur. Aku dan suamiku kebagian rumah paling ujung. Rumah yang paling jauh dari pintu masuk komplek kontrakan, namun memiliki ukuran paling besar diantara rumah kontrakan yang lain.
“Hari yang cerah untuk memulai aktifitas” kataku dalam hati.
Aku ambil daster kecilku yang teronggok di kaki meja makan lalu aku mulai mengenakannya lagi melalui atas kepalaku. Malas sekali rasanya ketika aku mulai mengenakan dasterku. Sepertinya sangat nyaman jika bisa hidup seperti kaum nudis yang tak perlu repot-repot menggunakan selembar bajupun ketika beraktifitas. Kubawa piring dan gelas kotor ke dapur, aku letakkan di dalam bak pencucian. Aku pandang tumpukan cucian kotor yang sudah lama teronggok dan mulai mengeluarkan bau tak sedap di sudut kamar mandi.
“Sabtu ini akan menjadi hari yang melelahkan. Ayo Liani, kamu pasti sanggup menjalani ini semua” aku menyemangati diriku sendiri dan mulai mengerjakan pekerjaan rumahku itu.
Aku harus bisa menjadi istri yang bisa diandalkan oleh suamiku. Menyapu, mengepel dan mencuci piring bisa aku lakukan dengan cepat. Namun ketika aku akan memulai mencuci tumpukan baju kotor, langsung terbayang betapa lelahnya tubuhku nanti malam. Ternyata menyeret bak cucian basah itu begitu susah, berat, dan licin. Perlu tenaga ekstra untuk bisa memindahkannya ke dari kamar mandi ke halaman belakang.
“Lagi mau nyuci mbak?” Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara seorang pria. Celingukan aku mencari asal suara itu.
“Banyak juga cuciannya mbak… dah berapa minggu tuh baju-baju nggak dicuci?” tambahnya lagi.
Ternyata suara itu berasal dari penghuni rumah kontrakan di samping tempat aku tinggal. Mas Manto, begitu tetanggaku biasa memanggilnya, adalah seorang satpam yang bekerja di perumahan dekat komplek kontrakan tempat aku tinggal. Selama aku tinggal disini, baru pertama kali ini aku melihat seperti apa bentuk suami mbak Narti sebenarnya. Mas Manto berumur sekitar 40 tahunan. Posturnya mirip dengan suamiku namun agak kurus 170cm/60kg dengan kumis tipis yang dipotong rapi diatas bibir tebalnya. Kulitnya coklat kehitaman dengan rambut kriting pendek. Sedangkan istrinya, Mbak narti, berusia 35 tahunan, berperawakan gemuk dengan payudara yang meluap-luap, khas badan ibu-ibu, adalah seorang pelayan toko yang juga bekerja pasar dekat komplek rumah kontrakan kami.
“Iya…” jawabku sekenanya. “Dah hampir 2 minggu nie belum diapa-apain….” tambahku lagi.
Sebenarnya aku sudah mengenal siapa mas Manto, karena hampir setiap hari aku melihatnya berangkat kerja, tapi selama aku dan suamiku tinggal di rumah kontrakan ini, belum pernah sekalipun aku bercakap-cakap. Hanya kenal sebatas sapa dan cerita saja.
“Saya Manto mbak…suami si Narti..” katanya lagi sambil menjulurkan tangan.
“Mmm… Nama saya Liani… “ jawabku sambil menyalami tangannya.
Langsung saja tubuhku merinding begitu menyentuh tangan mas Manto. Tangan itu begitu dingin, hitam, dan keriput, sangat kontras dengan tanganku, putih, mulus. Entah kenapa, begitu aku melihat wajah dan postur tubuhnya, aku langsung terbayang akan cerita-cerita pemerkosaan sadis yang menimpa kepada para perantau di tanah orang. Apalagi saat itu aku hanya mengenakan daster pendek tanpa baju dalam sama sekali. Memamerkan kaki panjang dan belahan dadaku.
“Mas Andri kerja mbak?” tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.
“I… Iya… baru saja berangkat”
“Oooowwwh….. saya permisi ya mbak… gerah habis mencuci…mau mandi dulu” jawabnya sambil tersenyum.
“Iya….silakan” kataku sambil melihat deretan cucian mas Manto yang masih meneteskan air sabun.
“Sopan juga dia…” ternyata aku salah pikir terhadap mas Manto.
Walau hanya dari perkenalan singkat tadi, aku merasa kalau mas Manto tak seperti orang-orang kebanyakan. Sopan, tak seperti orang yang berpandangan jahil terhadap wanita berbusana seksi sepertiku barusan. Aku berpostur badan sedang dan terbilang langsing, 165cm/45kg, berkulit putih dengan ukuran buah dada yang cukup besar. Yang membedakan aku dengan wanita lain adalah pinggangku sangat kecil dan kakiku agak lebih panjang dari kebanyakan teman-temanku. Mata bulat lebar, bibir merah dan rambut panjang hitamkulah yang selalu aku banggakan. Sebenarnya aku kurang begitu suka dengan baju seksi, tapi aku lebih memilih baju yang berukuran kecil, karena merasa nyaman aja ketika digunakan untuk beraktifitas.
“PRAK….” Bak cucianku pecah, ketika aku mencoba menggesernya kehalaman belakang.
Pecah karena tak kuat menahan beban rendaman baju kotor kami. Air cucian kotorpun langsung keluar dari sela-sela bak cuci pecahku, menggenang, disertai bau apek yang cukup menyengat.
“Sialan… belum juga mencuci…” emosiku langsung meninggi…” sabar Liani… sabar…”
Aku diam sejenak, memikirkan apa yang harus aku lakukan.
“Daripada beli, mungkin lebih baik aku pinjam saja sebentar.” Pikirku
“Mas Manto..” Walau pintu halaman belakang rumahnya terbuka begitu saja, tapi aku berusaha tuk sopan. Aku ketuk pintu rumahnya beberapa kali.
Mas Manto

Tak ada jawaban.
“Mas Manto..” aku panggil namanya lagi dengan suara lebih lantang.
“Iya sebentar…” jawabnya dari dalam rumah. “maaf tadi saya masih mandi… ada apa ya mbak??” tanyanya sambil mengikatkan handuk kecil berwarna hijau yang sudah lusuh dan sedikit berlubang di pinggangnya yang ramping. Badannya basah kuyup, dengan rambut yang juga masih meneteskan air..
“Ada apa ya mbak? Kok kayaknya kebingungan gitu?” tanyanya.
Aku tak menjawab, aku masih terkesima melihat postur tubuhnya, badannya begitu hitam, kekar, dengan bongkahan dada dan lengan yang menonjol disana-sini.
“Mbak?” tanyanya lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Eeh…maaf…anu….. bak cuci aku pecah” kataku terbata-bata. “Apa boleh aku pinjem bak cucinya? Ntar begitu sel………..”
“Boleh-boleh… bentar ya saya ambilin dulu” potongnya sebelum aku menyelesaikan kalimat.
Mas Manto buru-buru masuk, dan mengambil bak mandi yang tergeletak di sudut lantai kamar mandinya. Ketika dia membalikkan badan, kembali aku terkesima melihat otot-otot kekar badannya. Punggungnya lebar dan pantat yang hanya ditutupi handuk merah lusuh itu begitu semok. Aku sedikit tertawa ketika melihat kaki mas Manto. Pahanya besar tapi betisnya kecil. Mirip badan tokoh film kartun yang memang hanya badan bagian atasnya saja yang besar, namun bagian bawahnya kecil. Dan dari disinilah cerita itu dimulai. Ketika dia membungkuk tuk mengambil bak cuci miliknya, bagian belakang handuk itu otomatis meninggi, mengikuti gerak badannya. Dan dari sela-sela paha belakang mas Manto, aku melihat barang yang tak seharusnya tak liat. Hitam, panjang menjuntai, dengan ujung besar berwarna merah kehitaman. DEG….Detak jantungku terasa berhenti sejenak. Langsung saja aku tinggalkan pintu rumahnya dan masuk kedalam rumahku. Aku tutup pintu dapur, dan langsung saja aku duduk terjatuh. Lututku lemas dan dadaku berdebar-debar mengingat hal yang baru saja aku lihat. Aku melihat barang yang seharusnya tidak boleh aku lihat, barang yang menjadi simbol kejantanan dan kebanggaan kaum pria. Ya, barang itu biasa disebut penis, titit, atau kontol. Walau sekilas, seumur-umur, baru saja aku melihat barang yang bukan milik suami aku sendiri. Walau sekilas, tapi aku bisa membayangkan bagaimana bentuk keseluruhan dari barang milik mas Manto itu. Hitam, besar, dengan urat-urat yang mengelilingi sekujur batangnya, berkepala merah kehitaman dengan mulut kemaluan yang lebar menganga, bau amis asam selangkangan yang menusuk hidung dan rambut kemaluan yang lebat.
“Mbak… loh… kemana orangnya….?” Suaranya terdengar pelan dari sebelah rumah.
“Mbak…ini bak cucinya……” panggilnya dari samping rumahku. Mas Manto pun akhirnya mengantarkan bak cuci miliknya ke halaman rumahku. Karena melihat aku yang tak langsung keluar, mas Manto mendekat kearah pintu dapur, mengintip kedalam dari jendela dapur, dan mengetuknya perlahan.
“Mbak Liani… ini bak cucinya…” panggilnya.
Andai saja mas Manto agak menunduk dan melihat kebawah, mungkin saja ia bisa melihatku yang meringkuk di balik pintu dapur rumahku. Meringkuk menahan malu yang seharusnya tak aku rasakan. toh yang terlihat adalah bukan aurat tubuhku. Detak jantungku masih berdetak begitu kencangnya sampai aku sama sekali tak berani untuk bergerak. Susah rasanya aku berdiri dengan kedua kakiku. Lemas, tak bertenaga. Dengan gerak super pelan, aku mencoba berdiri, memasang telinga, untuk mendengarkan, mungkin saja ia masih ada di dekat jendela. Tenagaku perlahan pulih, setelah melihatnya berdiri tak jauh dari pintu dapur. Membelakangiku sambil berkacak pinggang. Dari balik korden tipis jendela dapur, aku amati gerak-geriknya. Dengan muka kebingungan, mas Manto hanya bisa celingukan ke arah rumah kontrakanku lalu mengamati banyaknya cucian kotor yang terhampar di depannya. Karena mungkin merasa iba, diapun membantu memindahkan cucian kotor yang ada di bak cuciku yang telah pecah, ke bak cuci miliknya. Sekali lagi, ketika mas Manto memindahkan baju-baju kotorku, aku pun kembali melihat barang hitam miliknya. Handuk kecilnya naik turun. Memperlihatkan barang yang ada dibaliknya setiap kali ia membungkukkan badan untuk memindahkan cucian kotorku. Ketika sedang dalam posisi membungkukkan badan tuk mengambil baju-bajuku, tiba-tiba mas Manto terdiam. Masih dalam posisi menungging. Lama sekali. Dan selama itu pula aku menatap tajam ke arah benda yang bergelatungan di balik handuk kecilnya. Bergoyang goyang seiring gerakan pantat mas Manto.
“Apa yang dia lakukan” tanyaku dalam hati.
Ternyata hal yang membuatnya terdiam adalah…. Tumpukan baju dalam kotor milikku. Iya, benar sekali, mas Manto mengamati baju dalam kotorku.
Tiba-tiba mas Manto berdiri, membalikkan badannya dan melihat ke arah rumahku, matanya celingkuan mencari dimana aku gerangan. Dia berpindah posisi, memutari bak cucian kotorku, mengawasi segala gerakan dari dalam rumah. Matanya sangat tajam, mengamati setiap sudut rumahku dengan seksama. Namun aku yakin dia tak bisa mengetahui posisiku, karena terhalang oleh korden tipis jendela dapurku. Karena menurutnya aman, diapun membungkukkan badannya kembali dan dengan tangan kirinya, dia mengambil salah satu cd kotorku. Cd putih dengan pinggiran berenda. Dengan mata yang masih celingukan penuh rasa was-was, dia mengamati dalam-dalam cd kotorku itu. Diamati bercak lendir lengket berwarna putih yang menepel di bagian depan cdku. Dan dengan jemari tangan kanannya, disentuhlah bercak lendir itu, dikorek-korek. Lalu, apa yang sama sekali tak pernah aku bayangkan terjadi. Mas Manto, tanpa rasa jijik sedikitpun, menjilat jemari tangan bekas mengkorek cd kotorku. Karena kurang puas, dia menghirup, menjilat dan mengecapnya, seolah-olah itu adalah makanan paling enak sedunia. Gila. Dia lakukan itu semua dengan tanpa rasa jijik sedikitpun. Tiba tiba, perlahan namun pasti, ada sesuatu yang bergerak dari dalam handuk kecilnya. Penisnya mulai ereksi. Naik, sedikit demi sedikit, semakin menggembung, mengembung dan mengeras. Ereksi dengan diiringi kedutan denyut nadi yang ada di batang penisnya. Handuk kecilnya tersingkap, terdorong ke atas, oleh batang kejantanan seseorang yang sama sekali belum aku kenal dekat. Penis hitam yang sempurna, keras, berurat, dengan ujung berwarna merah pekat. Buah zakarnya mengelantung pasrah, ukuran zakarnya pun tak kalah hebohnya, sebesar jeruk nipis. Penis itu terlihat begitu gagahnya, mulai meninggi keatas disertai dengan kedutan yang berirama. Naik, naik, naik dan terus naik. Berkedut naik, sampai melewati pusarnya. Sekarang yang ia lakukan sungguh nekat. Sama sekali tak khawatir akan adanya orang yang melihat. Dia berdiri di halaman belakang rumahku, menghadap tepat ke arahku dengan penis yang tegak mengacung sambil menjilat dan mengecap cd kotorku dengan rakus. Merasa tak cukup hanya mengecap satu cd kotorku, dengan tangan kanannya yang masih bebas, diapun kembali mengambil cd kotorku. Kali ini yang berwarna hijau muda dengan gambar bunga bunga di bagian vagina. Sekarang di kedua tangannya, ia memegang cd kotorku.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Cd hijau yang ada di tangan kanannya tak hanya ia cium dan jilat saja. Melainkan……ia pakai sebagai sarana masturbasinya. Ia lilitkan cd hijauku ke batang penisnya dan ia mulai menggerakkan tangan kanannya maju mundur. Makin lama makin cepat, main cepat dan makin cepat. Dia mengocokkan penis yang terbungkus cd hijauku dengan kecepatan tinggi. Dengan sangat bernafsu dan brutal. Melihat tingkah laku mas Manto, detak jantungku pun semakin berdebar-debar tak karuan. Tubuhku menghangat, nafasku memberat, putingku mengeras dan yang paling tak aku sadari, kemaluanku mulai membasah. Secara reflek, aku sentuh cd yang aku pakai, dan aku raba belahan bibir kemaluanku. Aku basah, aku horny, aku terhanyut akan tingkah laku kurang wajar yang telah dipertontonkan oleh mas Manto. Bagian depan cdku terasa sangat hangat dan basah oleh cairan kewanitaanku. Astaga, aku benar-benar dibuatnya mabuk kepayang. Mas Manto, seseorang yang sama sekali belum aku kenal dengan dekat, berani berbuat hal yang begitu nekat. Begitu gila, yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. Dengan tanpa rasa malu sama sekali ia masturbasi dengan menggunakan cd kotorku di halaman belakang rumahku. Badan kekar berotot, kulit hitam yang basah oleh air bekasnya mandi, ditambah sinar matahari yang menerangi halaman belakangku, membuat apa yang ia lakukan terlihat begitu seksi. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan perasan yang berbeda kepadanya. Perasan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Hanya ada rasa penasaran dan ingin tahu yang begitu menggebu. Mas Manto semakin mempercepat kocokannya. Badannya membungkuk dan membusur. Otot-otot tangan dan lehernya mengejang. Ia merem melek, pupil matanya tak terlihat, hanya putih. Ia terlihat begitu menikmati semua yang sedang ia lakukan. Melihatnya begitu menikmati akan apa yang sedang ia perbuat, aku jadi ikut merasakan kenikmatan. Tiba-tiba, muncul perasaan aneh dari dalam diriku. Perasaan nakal, binal, liarku sepertinya muncul. Ingin rasanya aku membuka pintu dapurku dan mendekap tubuhnya, mencium bibirnya dan meraih penisnya. Ingin rasanya aku membantu menuntaskan semua hasrat nafsunya. Menjilat batang penis yang begitu besar, hitam, panjang. Ingin sekali aku merasakan tusukan dan sodokan penis dahsyatnya di liang vaginaku. Dan… Aku ingin mas Manto menumpahkan semua spermanya di dalam rahimku.
“Liani…..mbak Liani….terima persembahanku untukmu….. mbak Lianiku…..” bisiknya lirih sembari dia mempercepat kocokannya.
“Mbak Lianiku….?” Tanyaku dalam hati. Heran.
“Ooooooohhhhh…..mbak Liani!!!”
Mas Manto tiba-tiba menghentikan kocokan tangan kanannya dan dengan cd di tangan kiri, ia berusaha menampung semua tumpahan cairan kenikmatannya.
“Crut… crut… crut… crut…”
Mas Manto orgasme. 8 tembakan sperma menabrak cd putih di tangan kirinya. Semburan benih-benih kejantanan seorang lelaki menyemprot keluar dari mulut penisnya yang lebar. Begitu banyak. Sampai-sampai cd putihku yang ia gunakan untuk menampung tumpahan cairan nafsu mas Manto, tak mampu membendung itu semua. Cairan itu merembes keluar dari cd hijauku yang ia gunakan untuk melilit penisnya, dan menetes jatuh ke atas cucian kotorku. Sungguh menakjubkan melihat ekspresi wajahnya. Semua terjadi seperti dalam gerakan slow motion. Andai aku punya handycam, pasti aku kan merekam semua kejadian barusan. Penisnya berkedut dengan hebatnya. Berkedut sambil memuntahkan semua cairan spermanya.
“tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt……..” kami berdua dikejutkan oleh suara SMS dari HP milikku. Suara yang walau lirih, tapi terdengar begitu lantangnya. Memecah kesunyian yang terjadi selama beberapa menit ini. Mas Manto terlihat begitu panik, dia bingung, celingukan, mengkira-kira, kapan aku bakal menampakkan diriku dari dalam rumah. Dia juga bingung dengan benda yang sekarang masih ada di kedua telapak tangannya. Cd putih yang ia gunakan tuk menampung tumpahan sperma dan cd hijau yang ia gunakan tuk membungkus batang penisnya, semua basah karena sperma. Dibuang sayang, di letakkan di bak cucian pun khawatir aku akan curiga. Karena kehabisan akal, mas Manto akhirnya melepas handuk kecil yang melilit pinggang dan meletakkannya di pundak. Astaga, sekarang aku dapat melihat keseluruhan tubuh telanjang beserta penis raksasa mas Manto yang masih menggelatung lemas setelah dikocoknya habis-habisan. Penis itu telihat seperti buah terong, panjang, besar, berwarna hitam kemerahan dengan ujung kepala yang menggelembung. Dan anehnya lagi, penis itupun masih berkedut dan mengeluarkan sperma.
“Ga ada habisnya tuh peju” pikirku kagum.
Dengan cepat, mas Manto langsung mengenakan cd putihku yang penuh dengan spermanya. Cd tersebut dipaksa untuk dapat masuk, karena mas Manto tak dapat menemukan lokasi tuk menyembunyikan cd tersebut. Janggal sekali aku melihatnya mengenakan cd wanita. Ujung kepala penisnya tak dapat sepenuhnya tertampung. Masih menjulang keatas, melawati karet kolor cdku. Sampai-sampai ia harus bersusah payah tuk menekuk batang penisnya ke bawah, kearah pantat, supaya tak terlihat lagi. Biji testisnya pun terlihat tak nyaman, menggelambir keluar dari masing-masing celah celana dalamku. Dan cd hijau, yang juga terciprat spermanya, ia sembunyikan di dalam tumpukan baju kotorku. Setelah itu, ia segera melilitkan kembali handuk kecilnya, dan bertingkah seperti tak ada apa-apa..
“Mbak Liani…” panggilnya. “Mbak…Ini bak cucinya…”
“Eeh iya… sebentar mas….” Jawabku. Aku mencoba mengatur nafas, menyembunyikan deru nafsuku yang juga masih menggebu-gebu ini..
“Maaf mas… tadi mas Andri telpon, jadi mas Manto langsung saya tinggal deh…”
“Oh gapapa mbak…ini baju kotornya sudah saya pindahkan ke bak cuci saya… jadi mbak Liani tinggal meneruskan saja…” mas Manto berkata sambil mengurut-urut telapak tangannya di depan selangkangan, mencoba menutupi gundukan penis yang aku kira mulai menggeliat lagi.
“I….iya…ma kasih mas… jadi ngerepotin nie ceritanya….” Kataku.
“Ah.. gapapa kali mbak…. Lagian aku kasian kalau melihat cewek secantik mbak Liani harus bercapek-capek sendirian gini….” Katanya tersenyum meringis.
“Wah… sepertinya dia mulai merayuku” batinku. Aku hanya bisa tersenyum-senyum mendengar kalimat mas Manto.
“Hhmmm… anu mas… kalau boleh… apa saya bisa….….”
“Boleh boleh…mo apa ya?” potongnya.
“Anu… apa bisa saya minta tolong buat …..sekalian penuhin bak cuci dengan…..?”
“Wah bisa banget mbak.. tenang aja… “potongnya lagi. “bahkan kalau mau… saya bisa bantu mbak liani nyuci”in bajunya…”
Dengan sigap, mas Manto memindahkan air dari bak penampungan ke bak cucinya. Dia terlihat sama sekali tak merasa terbebani dengan segala perintahku. Dan tak lama, semua bak cucinya penuh dengan air bersih.
“Yup….semua bak cuci sudah saya penuhi ….apa ada hal lain yang bisa saya kerjakan??”. Matanya berbinar-binar penuh harap. Terlihat seperti anjing yang haus akan perintah dari majikannya.
“Hmmmm… sepertinya itu saja deh mas….” Kataku sambil tersenyum.
“Mbak Liani tuh orangnya murah senyum ya? Jadi seneng saya mbantuinnya… jadi ga ada capek-capeknya dah…” candanya.
Langsung saja aku duduk di bangku kecil yang ada disisi bak cuciku, mulai mengucek dan membilas semua baju kotorku. Tapi begitu aku duduk di bangku kecil itu, aku baru sadar. Aku tak mengenakan cd dan bra sama sekali, dan di depanku, ada mas Manto, suami tetanggaku. Aku merasakan hal yang sangat kurang nyaman. Bangku itu terasa begitu pendek, hanya 15 cm dari lantai. Jadi, mau tidak mau, aku harus duduk dalam posisi jongkok. Paha, betis, lengan dan belahan dadaku terpampang jelas di depan mata mas Manto. Dan yang paling parah, daster kecilku ini sama sekali tak mampu untuk menutupi selangkanganku. Walau vaginaku bersih dan aku bisa dengan santai berbugil ria di hadapan mas Andri, tapi tetap saja, mas Manto adalah orang lain, orang yang baru aku kenal sekitar 30 menit yang lalu. Pasrah…hanya itu yang dapat kulakukan. Aku hanya jongkok, merapatkan kedua lututku, dan menempelkan dada montokku kearah paha. Berusaha sebisa mungkin tak memperlihatkan vagina dan belahan dadaku sama sekali.
Melihat aku yang kebingungan mencari posisi paling aman tuk menyembunyikan auratku, Mas Manto pun ikut sedikit menjauh. Dia mengambil posisi di seberang halaman, dan duduk di bangku kayu panjang, yang berjarak sekitar 2m dari tempatku duduk mencuci. Bangku itu hanya setinggi lutut orang dewasa, yang jika mas Manto duduk menghadapku, lutut dan pantatnya berada dalam posisi yang sejajar. Sehingga membuatku dapat dengan leluasa menerawang kedalam handuk kecilnya dan melihat perjuangan cd putih kecilku menyembunyikan penis besar mas Manto.
“Jadi sama-sama tau aurat masing-masing lah…” pikirku gampang.
Mas Manto ternyata orang yang mudah bergaul, ramah, dan suka memuji. Tak heran, aku yang biasanya tertutup akan adanya orang baru, merasa begitu nyaman dan bisa ngobrol lama dengannya. Apalagi dia bukan orang yang mata keranjang. Karena walau aku berbaju begitu minim, mas Manto mampu menahan keinginannya tuk menatap tubuhku lama-lama, hanya sekilas saja ia melihat, lalu melengos ke arah lain, seolah-olah tak peduli sama sekali. Situasi tegang diantara kamipun lama-lama mencair, karena mas Manto tahu sekali bagaimana berbicara denganku. Sering becanda dan pintar merayu orang. Diapun tak segan tuk tertawa terbahak-bahak ketika aku bercerita lucu. Bahkan tak jarang selangkangannya dapat aku lihat dengan jelas ketika dia tertawa. Ketika tertawa, kadang ia mengangkat kaki dan memegang perut sehingga penis yang terbungkus cd putihku sering terpampang dengan jelas. Sama sekali tak berusaha tuk menutupinya.
“Penis hitam mas Manto berusaha menampakkan dirinya… penis itu bersembunyi di dalam cd putihku… yesss…. aku bisa melihat penisnya lagi…. penis besarnya…” hanya itu pikirku ketika melihatnya tertawa puas.
Kadang aku berpikir, apakah mas Manto adalah seorang ekhibisionis. Seorang yang memiliki penyakit psikologis, suka memamerkan penisnya kepada orang lain.
 
"Iya... aku yakin dia adalah seorang ekshibisionis.. tapi,ah masa bodoh... yang jelas mas Manto adalah teman yang enak diajak ngobrol.... toh aku sudah merasa begitu nyaman dengannya..." pikirku, berusaha untuk tak memperdulikan kekurangannya.
Karena aku sangat yakin akan tingkah mas Manto, yang terkadang dengan sengaja membuka lulutnya lebar-lebar, seolah mempersilakan mataku tuk mengagumi batang penisnya yang hitam, membuatku pelan-pelan, juga mulai membuka diri, melemaskan semua pertahanan tubuhku. Semula aku yang hanya duduk jongkok, menutup semua aurat, sekarang sudah mulai melebarkan lututku, sedikit mengkangkang. Selain aku merasa capek dengan posisi jongkok yang rapat itu, aku juga ingin mempernyaman posisi mencuciku. Mas Manto bersandar di dinding pagar halaman belakang rumah kami, sambil menatap ramah kearahku. Sesekali ia beranjak, memindahkan air dari bak penampungan, dan menuangkannya ke bak cuci yang aku pinjam darinya. Ia tampak begitu tenang, walau aku tau, saat ini penisnya dah mengeliat karena melihat kemolekan tubuhku. Tapi wajah itu, begitu santai, seperti tak ada kejadian apa-apa. Aku terhanyut oleh auranya. Iya. Aku hanyut olehnya. Terbukti, walau tak beberapa lama kami bercakap-cakap, tapi aku sudah merasa kalau mas Manto tuh seperti orang yang benar-benar dekat denganku. Bahkan tak jarang kami mulai melontarkan ejekan dan gurauan jorok.
"Mas Manto... jorok deh.. dah gede gitu masih ngompol..." kataku disela-sela percakapan seru kami..
"Ngompol.... Idih... nggak lah...?"
"Lalu ...itu apa hayoo...? kok ada yang ngalir dari dalem handuknya? Ah pasti ngompol tuh?" godaku lagi..
"Ohh... ini...?" mas Manto menunduk, mencari tau apa yang aku maksud, diusapnya cairan yang merembet turun dari dalam handuknya, dia pun mencium, dan merasakan cairan yang ada di tangannya. Dia melirik kearahku. Lalu berkata "Cuih...ini mah sabun bekas aku mandi tadi...."
"Sabun?" tanyaku heran. Sebenarnya aku tahu kalau yang mengalir turun dari dalam pahanya tuh bukan sabun, melainkan spermanya sendiri yang tak tertampung di cd putihku yang ia kenakan. "Hahahaha... bisa aja..."
Cucian demi cucian telah selesai dibilas, sampai akhirnya aku temukan cd hijauku. Cd yang bekas digunakan mas Manto untuk melilit batang penisnya ketika ia onani. Onani brutal yang membayangkan dan menyebut namaku. Cd hijau bergambar bunga-bungan dibagian vagina, yang berlumur sperma mas Manto. Kuraih cd hijauku dan kurasakan lendir yang menempel di permukaannya. Hangat, licin, dan bertekstur. Detak jantungku kembali berdetak dengan cepat.
"Aku memegang peju mas Manto..." batinku. "Aku merasakan benih-benih yang dimuntahkan oleh penis mas Manto..."
Ingin aku rasanya mendekatkan cd hijauku yang berlumuran sperma itu kehidungku. Menghirup aroma anyir spermanya, menjulurkan lidahku, menyentuh dan merasakan tekstrur sperma mas Manto. Mengecapnya, penis mas Manto, oh, mas Manto.
"Mbak...? Kok diem aja ?.... Hayo ngelamunin apa...?" suara mas Manto membuyarkan lamunanku.
"Eh... anu... ini..." jawabku bingung, mencoba mengembalikan pikiranku dari imajinasi yang tak jelas.
"Waduh... itu bekas pejunya mas Andri ya mbak...?" celetuknya, langsung, to the point.
"Eh.. kenapa mas?..." Tanyaku, kaget.
"Iya... itu pejunya mas Andri khan?...banyak juga ya mbak... pasti tadi pagi habis......" jawabnya lagi. Memperjelas kalimat yang tadi ia tanyakan sambil tertawa cengengesan.
Aku merasa mukaku seperti kepiting rebus, merah padam, menahan malu. Sepertinya mas Manto mengetahui apa yang terjadi antara aku dan suamiku tadi pagi. Sepertinya suara desahan kami terlalu keras sehingga terdengar sampai rumahnya. Sepertinya itu alasan kenapa tadi ketika onani, mas Manto memanggil-manggil namaku. Ia pasti membayangkan bersetubuh denganku.
"Mas Andri pasti seorang yang sangat beruntung ya mbak... " mas Manto beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan kearahku.
"Tiap malam bisa... hmmm anu........." ia tak meneruskan kalimatnya dan menantikan jawabanku.
"Anu apa???....." tanyaku lagi.
"Anu... itu tuh..." jawabnya sambil memajukan bibirnya, menunjuk kearah dada dan selangkanganku... ".......pokoknya puas deh mas Andri sepertinya....punya istri cantik dan bahenol kayak mbak Liani... Hahahahahaha..." kelakarnya.
"Idih ngaco..." jawabku tersipu. Aku ambil air dengan gayung, lalu aku lemparkan air itu ke badannya. "Dasar otak mesum...." Aku tertawa.
"Omong-omong, mas Manto tau cd putihku nggak?" pancingku.
"Cd putih...?" tanyanya sambil mengaruk rambut kepalanya yang tak gatal.
"Iya... cd putih yang ada rendanya... kali aja mas tau... soalnya khan mas yang mindahin semua baju kotor aku..." pancingku. Aku tatap wajahnya, mencari tau, apa akan yang ia lakukan setelah mendengar pertanyaanku barusan.
Terlihat ada sedikit keterkejutan yang tersirat di wajah mas Manto namun langsung saja hilang, dan berganti lagi dengan raut wajah yang tenang.
"Hmmm... yang mana ya?" jawabnya pura-pura tidak tahu.
"Cd putih yang ada renda-rendanya.." ulangku lagi. Kembali aku tatap wajahnya, tapi kali ini aku alihkan tatapanku. Dari wajahnya yang tenang ke arah selangkangannya yang melompong. Sebenarnya aku tahu bahwa cd putihku tak hilang, melainkan dipakainya sebagai bahan onani. Dan sekarang cd itu ia kenakan untuk menahan konaknya agar tak muncul dan terlihat olehku.
"Waduh... saya kurang tahu tuh mbak... mungkin terselip kali di tumpukan cucian tadi" jawabnya "Eh... tapi ntar klo saya temuin, saya dapet apa?... bisa dapet isinya nggak?..."
"Idih ngawur aja deh...."
"Yaaa... kali aja bisa dapet.... Pasti masih kenceng deh.... ga memble kayak punya si Narti gitu ...." jawabnya enteng.
"Kenceng... mobil balap kali mas...?"
"Iya...lah itu buktinya ada di cd mbak Liani...pejunya mas Andri bisa tumpah ruah seperti itu.... berarti isi cd itu masih kenceng khan?... Klo Narti kayak gitu, saya bisa punya banyak anak nih... hahahahaha"
Entah kenapa, mendengar kelakar mas Manto, seharusnya aku marah, tapi yang aku rasakan beda. Aku merasa malu tapi sekaligus bangga.
"Punya banyak anak?"
Aku tatap cd hijau itu yang belepotan sperma mas Manto dalam-dalam. Andai yang ia dikatakan itu benar, betapa bahagianya aku. Aku dan mas Andri sebenarnya telah menikah selama 3 tahun, namun selama itu, kami masih belum dikaruniai seorang anak. Suamiku bukannya mandul, melainkan ada gangguan pada testisnya, sehingga benih sperma yang dikeluarkan, banyak yang tidak lengkap. Selain itu, volumenya juga tidak begitu banyak. Konsultasi dan terapi kesehatan sudah kami lakukan, namun belum juga membuahkan hasil. Aku sisihkan cd hijauku itu, tak aku campur dengan cucianku yang sudah bersih. Mas Manto hanya tersenyum-senyum melihat tingkah lakuku dalam memperlakukan cd hijau yang terkena spermanya. Dan aku pun membalas senyumannya. Segera aku selesaikan cucianku, dan aku jemur. Mas Manto pun tak mau tinggal diam. Dia ikut membantuku menjemur semua baju-bajuku. Tak jarang kami saling pandang, dan tersenyum. Bahkan terkadang tangan kamipun bersentuhan ketika mengambil baju yang akan dijemur. Tiba-tiba aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Masa dimana aku dan mas Andri sedang kasmaran. Saling lirik, saling senyum dan saling sentuh. Namun kali ini orang yang membuatku kasmaran bukanlah mas Andri, melainkan mas Manto, tetangga baru kenal yang aku rasa begitu nyaman jika dekat dengannya.
"Kamu cantik banget mbak...." Mas Manto merayuku. "Seksi.."
Aku hanya bisa tersenyum sambil tersipu malu. Pujiannya sungguh membuatku melayang ke awang-awang.
"Makasie ya mas.. buat pinjaman ....."
"Ah... biasa aja mbak..." potongnya. "kalau mbak butuh yang lain... saya misalnya... langsung saja ya mbak... ga usah sungkan-sungkan... hehehehehe..." tambahnya lagi, tersenyum penuh harap.
Ketika tanganku hendak mengambil bak cuci mas Manto, dia langsung mencegahnya, memegang pundakku, dan meraih tanganku.
"Gak usah repot-repot mbak... biar saya saja yang membawa bak cucinya..."
Cukup lama tanganku berada didalam genggaman tangannya. Dan selama itu pula mas Manto memainkan jemari jangannya. Meraba, mengelus, dan meremasnya dengan perlahan. Melihat aku yang hanya diam saja, mas Manto pun mengangkat talapak tanganku dan dikecupnya perlahan.
Mukaku kembali memerah. Malu.
"Kalau butuh saya ya mbak..."
"Iya.... Iya...." Jawabku gugup. Aku langsung menarik tangan dan mengambil cd hijauku. "Ma... makasih banyak ya mas..."
Aku langsung masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu dapurku rapat-rapat, meninggalkan mas Manto sendirian di halaman belakang rumahku. Detak jantungku tak bisa diatur, nafasku berat, dan mukaku merah.
"Gila... Sangat gila... Ini adalah awal mula sebuah perselingkuhan..." kataku dalam hati. Aku tahu ini semua mulai berjalan kearah yang salah, namun jauh didalam hatiku, aku menginginkan semua kesalahan ini.
Aku dekap cd hijauku erat-erat, aku tatap dalam-dalam dan aku bayangkan semua kejadian barusan. Aku merasa terangsang. Cairan vaginaku terasa seperti mengucur keluar dengan derasnya. Aku kembali menatap keluar melalui jendela dapurku, mencari tau apa yang sedang dilakukan oleh mas Manto sekarang. Berharap dia masih ada di tempat semula.
"Dia masih ada..." batinku. Mulutku semakin lebar mengembangkan senyum. Apalagi setelah tahu yang ia lakukan sekarang. Jauh lebih nekat.
Mas Manto berada di belakang pintu dapurku. Berdiri agak membungkuk. Handuk hijau lusuhnya sudah tersampir di pundak kirinya. Cd putihku yang ia kenakan tadi, sudah ia turunkan sampai sebatas paha, tangan kirinya kedepan, menopang tubuhnya pada dinding pintu dapurku, dan tangan kanannya, menggenggam erat batang penis miliknya yang sudah berwarna sangat merah. Dikocoknya penis itu dengan cepat, sampai terdengar bunyi "tek tek tek". Suara kulit penis yang terenggang dan tertarik oleh tangan kekarnya.
"Mbak Liani..... ohhh.... Mbak Liani....." erangnya tertahan.
Lututku kembali melemas. Aku langsung jatuh terduduk. Menyandarkan punggung dibawah jendela dapurku.
"Mas Manto sedang beronani di balik pintu dapurku" batinku girang."mas Manto sedang mengocok penis besarnya di belakang pintuku"
Jantungku terasa seperti mau loncat melalui mulutku. Aku sudah sangat terangsang. Vaginaku gatal, berdenyut hebat, pengen sekali digaruk oleh kejantanan mas Manto. Aku tatap lembar pintu dapur yang ada disamping kananku. Aku tatap gagang pintu yang berada ditengahnya. Hanya sekali putar saja, aku bisa membuka pintu itu dan mempersilakan mas Manto tuk masuk ke rumahku. Aku sudah begitu terangsang, tanganku, entah sejak kapan juga sudah mengobok-obok vagina dan klitorisku.
Aku benar-benar menginginkan mas Manto untuk masuk ke dalam rumahku, menciumku, menjilat payudaraku, menyodok vaginaku, dan menumpahkan seluruh spermanya yang kental kedalam rahimku. Seumur hidup, tak pernah aku merasakan nafsu seperti ini. Dengan lutut yang masih gemetar, aku memberanikan diriku tuk berdiri. Aku coba mengintip, apa yang mas Manto lalukan sekarang. Dia masih dalam posisi yang sama. Mengocok batang penisnya kuat-kuat. Aku bulatkan tekad, memberanikan diri tuk membuka pintu dapurku. Aku tak peduli akan apa yang akan orang lain katakan jika mereka melihat kami selingkuh. Aku tak peduli akan resiko yang akan aku peroleh jika hubungan gelap yang akan aku mulai dengan mas Manto ini sampai diketahui oleh suamiku. Ya. Hanya itu. Aku ingin kenikmatan dan kepuasan. Aku ingin merasakan kenikmatan yang selalu gagal aku capai dengan mas Andri, suamiku. Aku raih gagang pintu dapurku. aku tarik nafas dalam-dalam, dan aku putar ke bawah.
"Arrrrrgggggghhhhh....Mbak... Liaaaaannnniiiiiiii...."
Aku dikagetkan oleh suara erangan mas Manto. Enam semburan kencang ditembakkan ke arah pintu dapurku. Mas Manto telah orgasme duluan, sama seperti mas Andri, aku kembali ditinggalkan terangsang seorang diri. Aku urungkan niatku. Gagang pintu itu tak sempat aku putar. Aku hanya bisa menyesali ketidak beranianku.
"Mas Manto...." Aku hanya bisa memanggil namanya lirih. aku merasa begitu kecewa dan mengutuk diriku yang tak berani mengambil resiko.
Masih dari balik korden jendela dapurku, aku lihat mas Manto berdiri tertegun. Menatap penis dan cipratan sperma yang membasahi pintu dapurku. dada bidangnya naik turun, dan nafasnya terengah-engah. Mukanya berwarna merah. Dengan tangan yang masih mengurut-urut batang penisnya ia berusaha mengeluarkan semua cairan dari dalam kantong zakarnya. Tak lama kemudian, dengan kondisi masih tanpa mengenakan baju apapun, mas Manto melangkah mundur, pergi meninggalkanku, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Mendadak, tak terdengar suara sedikitpun. Sunyi.
"Pluk...pluk...pluk..." Saking sunyinya, sampai telingaku mampu mendengar suara tetesan air keran yang berada di halaman belakang rumahku.
"Blak... keblak.. keblak..." Suara kebatan baju basah milikku yang dihembus oleh semilir angin.
Sunyi....perlahan, aku putar gagang pintu dapurku dan kugeser perlahan pintu dapurku sampai terbuka semua. Aroma tajam sperma langsung menyengat hidungku. Aroma dari kejantanan seseorang yang baru saja menjadi idolaku.
"Gila...Banyak sekali...." Pikirku.
Sperma itu membasahi pintu dapurku, setinggi perut. Terdapat sekitar enam lokasi cipratan sperma yang masih menempel dan merayap turun ke tanah. Rasa penasaran itu pun muncul kembali. Aku julurkan tanganku, menyentuh sperma yang masih mengalir turun itu. Aku usap-usap, dan aku masukkan beberapa jemari tanganku ke dalam mulut.
"Inikah rasanya...?" bibirku mengecap perlahan.
Merasa kurang puas merasakan sperma yang masih menempel itu, aku lalu jongkok. Memposisikan diriku dihadapan lokasi cipratan sperma mas Manto yang masih menempel di pintu dapurku. Aku julurkan lidah, menutup kedua mata, dan memajukan kepalaku. Kutempelkan lidahku ke pintu kayu yang belepotan sprema itu.
"Asin..." kataku dalam hati.
Mendadak, aku seperti merasa tak mengenali diriku lagi. Aku merasa tidak seperti Liani yang sopan, berpendidikan, dan bermoral baik. Sekarang aku merasa seperti pelacur yang haus akan kepuasan. Aku bersihkan semua cipratan itu dengan tangan dan lidahku. Bahkan tak jarang, sperma yang belepotan ditangan, aku colok-colokkan di vaginaku, membayangkan kalau tangan kecil milikku itu adalah penis besar mas Manto. Aku tak peduli jika ada tetangga yang melihat aktivitas gak wajarku. Yang jelas, saat ini, aku begitu bernafsu untuk dapat menghabiskan semua sperma gurih yang menempel di pintu dapurku.
**********
Jam dinding telah menunjukkan pukul 5 sore. Tak terasa, sudah hampir 6 jam aku terlelap. Walau hanya mencuci satu bak kecil, tapi rasanya aku seperti baru saja melakukan pekerjaan membangun perumahan satu komplek. Sangat capek. Masih di atas tempat tidurku, tiba-tiba aku tersenyum sendirian. Membayangkan kejadian yang terjadi beberapa jam yang lalu. Kejadian gila, nekat, dan tak pernah sekalipun aku bayangkan.
"Mas Manto dan badan berototnya... Mas Manto dan penis besarnya... Mas Manto dan pejunya yang menyembur begitu banyak... aku butuh kenikmatan darinya... oh mas Manto... gimana ya rasanya selingkuh dengan tetangga...?" tanyaku dalam hati "Kenapa tidak...? Toh suamiku tak pernah memberiku kepuasan jasmani...." jawabku sendiri." Kamu gila Liani... kamu gak waras..."
"Tok... tok...tok... " terdengar ketukan di pintu dapur.
Aku langsung beranjak dari kasur empukku dan berjalan kearah dapur. Kubuka pintu dapurku, namun aku tak melihat siapa-siapa. Aku hanya menemukan satu keranjang kotak yang tertutup taplak meja makan dan dua buah rantang bertingkat yang juga tertutup. Semua diletakkan di lantai depan pintu dapurku.
"Kiriman dari siapa ya?" celingukan aku mencari tahu siapa gerangan yang telah mengirim ini semua. Aku lalu menekuk kaki, dan berdiri dengan lututku. Aku buka kain yang menutup keranjang kotak itu.
"Ini khan baju...?" aku baru saja tersadar, ternyata semua cucianku yang aku jemur di halaman rumahku, telah lenyap. Berpindah kedalam keranjang kotak yang ada di hadapanku. Kaos, kemeja, daster, handuk, kolor, sampai semua cd dan braku telah licin terlipat dan tersusun rapi di dalam keranjang kotak itu. Terlebih, baju-baju itu telah terpisah, antara milikku dan milik mas Andri. Kembali aku celingukan mencari tau. Namun tetap saja, tak kutemukan jawaban apa-apa. Tiba-tiba aku kembali mencium aroma yang begitu khas. Aroma yang baru-baru ini selalu memenuhi benak dan imajinasiku.
"Bau peju mas Manto" batinku.
Kupertajam daya pengendusanku, kucari-cari darimana aroma itu berasal. Bukan dari pintu dapurku, aku meyakinkan diri. Karena pintu itu sudah aku bersihkan dengan benar tadi pagi. Aroma itu seperti berasal dari tumpukan baju ini. Dadaku kembali berdebar-debar.
Aku angkat satu persatu tumpukan baju kering yang ada di depanku. Aku periksa dengan seksama. Dan, benar. Ada cairan sperma yang menggenang di dalam tumpukan bajuku. Bukan di tumpukan baju mas Andri, suamiku, melainkan hanya di tumpukan bajuku.
"Sialan... berani benar mas Manto melakukan hal ini..." gerutuku. Aku merasa, semua jerih payah yang aku lakukan tadi pagi menjadi tak berarti sama sekali. Karena walau tak semua baju bersih ini terkena spermanya, tapi tetap saja, mau-tak mau aku harus mencuci ulang semua bajuku.
Aku lempar semua baju yang telah ternoda oleh sperma mas Manto kedalam keranjang. lalu aku saut rantang besi yang ada di sampingnya. Dan, sekali lagi, hidungku mencium aroma khas yang keluar dari rantang besi itu. Ketika aku buka tutup paling atas dari susunan rantang itu, aku hanya mendapati kolak labu yang masih mengepulkan asap hangat.
"Kolak? Pikirku heran.
Lalu, aku angkat rantang teratas tuk mengetahui apakah isi rantang di bawahnya. Mendadak, aku tersenyum, tertawa terbahak-bahak, sampai aku jatuh terduduk. Aku tidak lagi merasa kesal, malah aku merasa senang dan bahagia. Aku merasa mas Manto sudah jatuh kedalam pelukanku. Karena tinggal menunggu waktu saja kapan perselingkuhan ini akan berjalan. Di dalam rantang paling bawah, aku mendapati cd putihku yang masih berlumuran sperma, satu botol selai, dan selembar kertas. Aku ambil kertas itu dan kubaca tulisan jelek diatasnya perlahan.
"Cd putih mbak Liani sudah saya temukan loh... sekarang saya minta hadiahnya..." aku tersenyum sambil mengambil cd putihku. "Saya juga tau loh siapa yang membersihkan pintu dapur mbak....dan bagaimana dia membersihkannya..."
Mukaku langsung memerah dan mulai tertawa girang sambil mengamati beberapa bagian cd putihku telah mengeras Kuendus-endusdan kuhirup dalam-dalam aroma sperma mas Manto yang masih menempel sambil sesekali menjilatnya. "Ini pasti baru saja disembur lagi..."
Dan yang terakhir, aku ambil botol selai itu, dan aku buka tutupnya. Kembali aku cium aroma sperma mas Manto, namun kali ini sungguh menyengat. Botol itu berisikan sperma. Tak banyak, hanya sekitar seperempat botol dan sudah sebagian besar mulai mengendap.
"Obat Awet Muda. Minum 3x sehari" mirip label obat yang beredar di pasaran.
Aku kembali tersenyum dan tertawa terbahak-bahak. Aku merasa seperti anak kecil, yang baru saja dibelikan mainan boneka, begitu senang dan gembira. Aku baca tulisan jelek yang menempel didinding botol. Segera saja kumasukkan semua barang kiriman yang aku yakin, ini semua adalah kiriman dari tetangga sebelah. Mas Mantoku. Semua baju milikku dan milik suamiku kuletakkan rapi kedalam lemari pakaian. Aku tak peduli sama sekali akan noda-noda sperma yang ada, bahkan aku ingin untuk memakai semua baju yang ia nodai itu.
"Dingin... " kataku sambil mengusap vaginaku yang sekarang kembali basah oleh cd putihku yang belepotan sperma mas Manto. Lalu kupergi kedapur untuk mengambil sendok.
"Semoga ini benar-benar obat awet muda". Kutuangkan cairan dari botol selai itu, memenuhi sendok makanku, dan kubuka mulutku lebar-lebar.
***
"Dek... liat deh yang sudah mas bawain buat kamu..." sambil tersenyum, suamiku mengangkat kantong kresek hitam yang ia bawa. "Aku bawain kamu... sup dan sate kambing... buat bekal kita menghabiskan malam minggu ini bersama... hehehehe... "
"Aduh... kamu emang yang paling top deh mas..."
Setelah menyantap makan malam, tak lama kemudian aku dan mas Andri pun memulai apa yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Ya, kami bersetubuh. Aneh. Dalam persetubuhan kali ini, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda muncul dari dalam diriku. Aku lebih bisa mengekspresikan diriku, lebih bebas, dan lebih agresif. Tak ada lagi rasa nyeri seperti yang tadi pagi aku rasakan ketika mas Andri menusukkan batang penisnya kevaginaku. Semua terasa begitu nikmat. Malah, sekarang aku tak malu lagi untuk melenguh, mendesis dan berteriak lebih lantang. Jauh lebih lantang daripada biasanya. Dan yang paling aku rasa aneh adalah, aku mampu dua kali orgasme. Sekali ketika disodok dari belakang oleh mas Andri, di samping meja makan. Mirip seperti posisi tadi pagi. Dan sekali ketika aku dalam posisi telentang, diatas kasur tidur kami yang luas. Aku tak tau, perubahan dalam diriku ini dikarenakan sop dan sate kambing atau karena hal lain. Hal lain...
"Malam ini kamu benar-benar beda dek.... lebih beringas... mas suka itu... hahahaha..." kata suamiku sambil mengacak-acak poni rambutku.
"Apaan sie mas... adek mah biasa aja kok.... Mas aja kali yang yang dah nggak sabar pengen ngewe sama adek...."
"Bener dek... kamu beda... tatapan mata kamu... senyum kamu...dan yang paling beda... memek kamu... lebih peret..." pujinya.
"Aah mas bisa aja..."
"Aku sayang kamu dek..." tangannya yang besar menelungkup diatas tubuhku, menyelimutiku dengan rasa sayangnya.
"Adek juga sayang kamu, mas............"
Masih dalam keadaan telanjang bulat, kamipun akhirnya tertidur.
***********
Minggu pagi datang begitu cepat.
"Met pagi ratu manjaku..." kecupan hangat dan basah mendarat di putting kananku. Segera saja aku buka mataku dan membalas salam pagi suamiku.
"Dasar tikus hutanku....." tawaku renyah.
Seharian itu kami merasa seperti penganten baru. Bersetubuh, bersetubuh, dan bersetubuh. Seolah-olah kami mendapat kekuatan baru yang membuat badan kami selalu fit. Pintu dan jendela rumah sama sekali tak kami buka, karena kami bersetubuh di seluruh area rumah. Memasak, mencuci dan segala aktifitas rumah tangga pun, kami lakukan seperti kaum nudis. Tanpa menganakan baju sama sekali. Semua terasa seperti mimpi.
**********
"Masku sayang... ayo ah... bangun.... " kataku sambil memukul-mukulkan batang penis lemasnya yang sudah bersih keperut buncit suamiku. " dah bersih nih dedenya...."
Mas Andri yang masih dalam kondisi telanjang bulat, tetap saja berdiam diri, telentang di atas kasur dan membuka tangannya lebar-lebar. Dadanya naek turun dan nafasnya masih terengah-engah. Dia memutar kepalanya kebawah, menatap aku yang masih menungging setia di atas pahanya. "Aduuuh... mas masih capek nih dek.... 10 menit lagi ya..." jawabnya.
Gemas karena mendengar jawaban malas, aku gigit batang penisnya pelan.
"Iya...iya...iya... ampun.... Mas bangun.... Ampun dek..."
"Hahahahaha... nah gitu donk...ini udah siang... ayo berangkat kerja... katanya ntar ada meeting...?"
"Astaga... kamu bener..."
Tergopoh-gopoh mas Andri bangun dan berlari ke kamar mandi. Tak menutup pintu kamar mandi, mas Andri langsung mengguyur kepalanya.
"Sayang tolong siapkan semua perlatan kantorku ya... mas dah telat nih..." Sambil keramas, dia menginstruksikan padaku barang apa saja yang mau dibawanya meeting.
"Syukurin... biar aja telat...makanya jadi tikus hutan tuh liat-liat waktu donk... sini kalo masih mau nambah... adek siap melayani... hahahaha" kataku sambil berdiri di depan pintu kamar mandi, meliuk-liukkan tubuhku bak penari erotis." Come"on... come to mama..." ejekku lagi...
"awas kamu ya... " kata mas Andri sambil melempar air dengan gayung...
"Dek, mas berangkat dulu ya... harus buru-buru nih... ntar malem kayaknya mas pulang agak telat deh... jadi kamu jaga diri baik-baik ya..." nasehatnya sambil mengecup keningku.
"Iye...iye....dasar baweeeeel... sana gih buruan berangkat" kataku pada suamiku tercinta.
Dengan gemas. Mas Andri melakukan salam perpisahan khas kami. Meremas kedua belah dadaku, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku. Ia lalu beranjak pergi sambil melambaikan tangan.
Kembali, aku seorang diri lagi rumah kontrakan baruku ini. Menjadi ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan mencuci baju. Tiba-tiba aku teringat akan kejadian kemarin lusa. Kejadian gila yang membuatku berubah menjadi Liani yang baru. Liani yang nakal, binal dan tak kenal malu ini. Kejadian awal perselingkuhanku dengan tetangga samping rumahku. Mas Manto. Kakiku melangkah ringan menuju belakang rumah, lalu kuputar gagang pintu dapurku. kubuka lebar-lebar pintu itu dan mengamati keadaan di sekelilingku. Masih tetap sepi seperti kemaren lusa. Hanya saja, aku tak melihat cucian mas Manto yang dijemur. Hari ini, hanya ada beberapa helai cucian kotor yang teronggok basah di bak cuciku. Tapi entah kenapa, aku sepertinya ingin segera mencuci lagi. Dengan hanya mengenakan daster pendek tanpa daleman sama sekali, kembali, aku menyeret bak cuciku kearah halaman belakang rumah kontrakanku.
"Cburrr.....cbuuurrrr......" aku mendengar suara air dan gayung.
"Wah ... mas Manto sedang mandi nie..." pikirku.
Vaginaku yang masih basah karena baru saja disodok-sodok mas Andri tadi, mulai kembali berdenyut. Cairannya mulai membanjir turun kearah pahaku. Putting dadaku juga mulai mencuat, menampakkan keberadaannya dibalik daster tipisku. Dadaku berdebar-debar dengan hebatnya dan lututku pun mulai melemas.
"Tok... tok... tok..." aku ketuk pintu dapur mas Manto yang tertutup rapat.
Suara deburan air itupun sejenak terhenti. Mas Manto menutup keran airnya, dan berteriak lantang. "Yaaa... sebentar.... Syapa ya...?"
"Sa... saya mas... " kataku putus-putus menahan nafsu yang sudah memuncak "Liani..."
Aku mendengar mas Manto membuka pintu kamar mandinya, berjalan kearah pintu dapur dan membukanya perlahan. "Yaa...? Ada apa ya mbak....?" Katanya tenang.
Pria idamanku sekarang berada di depan mataku. Pria yang selalu aku bayangkan ketika bersetubuh dengan mas Andri, suamiku, sekarang benar-benar ada didepanku. Dia terlihat begiru segar, sama persis seperti saat aku meminjam bak cucinya sabtu kemaren. Badan dan rambut yang masih sama, basah terkena air mandi, namun kali ini agak berbeda. Aku tak lagi melihat handuk lusuh berwarna hijau yang terikat di pinggang rampingnya. Saat ini, mas Manto dengan sangat percaya diri, berdiri dalam kondisi tanpa mengenakan penutup aurat sama sekali. Telanjang bulat, memamerkan batang penisnya yang menjulang tinggi melewati pusarnya. Cairan vaginaku sudah tak tertahankan lagi. Meleleh turun, membasahi paha dan betisku. Aku benar-benar terangsang.
"Mas Manto... bisa pinjem ....." tanyaku lirih sambil menyunggingkan senyum selebar mungkin.
"Bisa..." potongnya sambil memamerkan senyum paling indah sedunia. Senyum tenang yang selalu menghanyutkan diriku. Diraihnya pergelangan tanganku, dikecupnya pelan, dan diletakkannya telapak tanganku tepat di kepala penisnya yang sudah berdenyut hebat.
"Yuk...mbak... "
Aku terima ajakan mas Manto, melangkah masuk ke dalam rumah kontrakannya, dan menutup pintu dapur di belakangku rapat-rapat.
 
"KEPLAK...KEPLAK......KEPLAK" hembusan angin pagi menggoda helai pakaian basah yang terjemur rapi di halaman belakang rumahku. Semerbak aroma bunga dari pewangi pakaian beterbangan terbawa angin keseluruh penjuru ruang.
"PLUK...PLUK...PLUK" suara lembut tetesan air yang jatuh dari ujung mulut keran ke dalam bak mandi.
"TENG...TENG...TENG" dentang jam terdengar nyaring sebanyak sepuluh kali.
Hari ini, langit terlihat jauh lebih bening daripada biasanya, membuat matahari bersinar dengan teriknya. Beberapa awan kecil dengan malu-malu melayang lucu, ditemani layang-layang yang berjoget riang.
"Benar-benar pagi yang sempurna" kulihat bayangan senyum bibirku terpantul dari peralatan masak yang tergantung rapi di dinding.
Pandanganku menebus beningnya kaca nako jendela dapur. Kutatap bak cuci pecah yang bertengger manis di sudut dinding belakang rumahku, bersebelahan dengan 2 buah bak cuci baru berwarna merah tua. Senyumku semakin mengembang lebar jika mengingat kejadian konyol beberapa waktu lalu. Kejadian dimana awal perkenalan, pertemanan, dan perselingkuhan dengan tetanggaku dimulai. Semua gara-gara bak cuci yang pecah. Entah kenapa akhir-akhir ini, hari terasa begitu cepat berlalu. Siang datang dengan tiba-tiba, dan tak lama kemudian, malam pun menampakkan keanggunannya. Semua hari seolah berlomba-lomba untuk mengabsenkan dirinya. Kulihat kembali bayangan seksi diriku terpantul dari peralatan masak yang tergantung rapi di dinding. Kuputar-putar pinggangku, mencoba melihat kemolekan lekuk tubuhku sendiri.
"Ternyata badanku masih tampak sangat seksi" Batinku. "Nggak kalah lah dengan badan muda anak-anak SMA" kembali aku tersenyum.
Dengan proporsi 165cm/50 kg, tubuhku terlihat begitu semok. Ditunjang kulit putih tak berbulu, kaki jenjang panjang, pantat bulat, dan payudara 36C yang besar membusung, aku yakin mampu membuat mata para pemuda serasa mau loncat dari kelopaknya jika melihatku dalam kondisi bugil seperti ini. Kuraih celemek kecil yang tergantung di sisi pintu dapur, dan langsung kukenakan guna menutupi tubuh polosku. Kupecahkan sebuah cangkang telor ayam dengan sudip. Cairan bening lengket beserta gumpalan bulat bewarna kuning meluncur turun dengan manjanya. Mendarat di atas besi licin, dan langsung mendidih kepanasan.
"SREEEENNGG". Dua kali kulakukan hal yang serupa. Jemariku bergerak lincah, mengambil sejumput garam, dan menaburkannya diatas genangan telor yang bergejolak. Tak lama, aroma wangi makanan memenuhi dapur kecil ini, membuat perut yang lapar semakin meraung-raung.
Kubiarkan beberapa saat, sampai tiba waktunya 2 telor itu pindah dari panasnya besi penggorengan ke atas nasi merah yang masih mengepulkan asap. Telor itu tersenyum manis kearahku dan kemudian terlentang dengan genitnya. Tak lama, kubawa sajian pagiku ke kamar tidur. Kondisi kamar tidur terlihat begitu berantakan. Sebagian bantal dan guling beserta selimut telah jatuh ke lantai. Kain sprei tertarik kesana kemari, tak mampu lagi membungkus kasur dengan sempurna. Gumpalan kertas tissue yang basah tercampur sperma berserakan dimana-mana. Kaos, rok, kolor, sarung, celana dalam dan bra, teronggok di hampir setiap sudut ruangan. Benar-benar berantakan. Kusapu seluruh sudut kamar tidur mas Manto dengan mataku. Aku baru sadar, jika sebenarnya udara dalam kamar ini benar-benar pengap. Gelap, panas, dan berbau amis. Walau kipas angin yang berada di sudut ruangan telah disetel semaksimal mungkin, namun, angin yang dihembuskannya masih terasa panas dan lengket. Kubuka tirai dan jendela kamar tidur mas Manto membiarkan udara pengap dalam kamar ini tergantikan oleh udara baru yang segar. Kilau sinar matahari langsung membutakan mataku, terang sekali. Karena terbiasa dengan kondisi temaram kamar mas Manto beberapa saat tadi, perlu sedikit waktu bagi mataku untuk dapat beradaptasi dengan terangnya pagi itu. Hembusan segarnya udara pagi langsung menyapa wajahku. Kuhirup dalam-dalam dan kubiarkan jendela kamar tidur itu terbuka lebar-lebar.
"Ini sarapan paginya mas"
Kuletakkan nampan berisikan nasi goreng telor setengah matang, air putih dan kopi pahit kegemaran suamiku di meja rias yang ada di sudut kamar tidur. Aku duduk ditepi tempat tidur, di samping kanan tubuhnya yang masih polos tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Ia menatapku dalam-dalam sambil tersenyum. Tangan kirinya diletakkan dibelakang kepala tuk dijadikan bantal. Dan tangan kanannya selalu dalam kondisi siaga, mengurut penisnya yang mulai kembali tegang secara perlahan. Kukecup pelan pipinya dan kupeluk perlahan tubuh kekarnya. Dadanya yang bidang terlihat sudah bergerak normal, naik dan turun dengan teratur. Begitu pula dengan hembusan nafasnya yang sekarang terlihat begitu tenang. Dengan sigap, ia segera bangkit dari posisi tidurnya dan bergeser ke kiri, mempersilakan aku untuk semakin mendekat ke arahnya. Punggung lebarnya disandarkan ke kepala ranjang.
"Makasih dek" suamiku tersenyum dan mengecup keningku "Kamu baik banget...setiap pagi selalu menyediakan 'sarapan' paling enak sedunia...bahkan mungkin sarapan yang paling enak se-jagat raya"
"Aaaah mas bisa aja...khan memang ini tugas seorang istri mas" kukecup dada bidang suamiku dan kukenyot puting yang berwarna hitam itu "Untuk selalu bisa memuaskan lelaki pilihannya...lahir dan batin"
"Kamu memang bidadari dek" ditariknya kedua pundakku maju kearahnya dan dipeluknya erat-erat. Sangat erat sampai aku merasakan sedikit kesakitan pada kedua payudaraku yang tertekan ke dada bidang suamiku. Dielusnya belakang kepalaku sambil mengusap-usap punggung putihku dengan tangannya yang kasar. "Aku sayang kamu dek"
"Hmmm...udah udah...nih dimakan makanannya...ntar keburu dingin" aku berusaha melapaskan diri dari pelukan suamiku. Sekuat tenaga kudorong tubuhnya, tapi sia-sia, ia begitu kuat. "Udah ah mas...nie adek mo ngambil makanannya dulu"


Sambil tersenyum, ia akhirnya mengendurkan pelukannya. Namun ketika aku membalikkan badan dan beranjak mengambil makanan di meja di sudut kamar, kembali suamiku menarik pinggangku yang kecil dan memelukku dari belakang. Tak lama kedua tangannya mulai jahil, menelusup dari sisi-sisi celemek dan meremas payudaraku yang bergelantungan bebas
"Bentaran ah dek...mas masih kangen kamu"
"Shhh...Aduuuuhhhh...udahan donk mas...sarapan dulu"
"Tapi mas nggak kepingin makan sarapannya dek" diremasnya kedua payudaraku lagi dan mulai mempermainkan putingku yang mulai tinggi mencuat "Mas kepingin makan kamu"
"Aduh...khan baru 20 menit tadi mas makan adek...masa mau nambah lagi?"
"Hahahaha" tawanya lantang "Kalo makan kamu mah mas nggak bakalan kenyang dek"
"Ssssshhh" Erangku mulai terhanyut arus birahi "Iya deh iya...ntar adek kasih lagi...tapi shhhh...sekarang mas makan dulu yak"
Seperti keasyikan bermain balon berisi air, diguncang-guncangkannya payudaraku sembari mengecup tengkukku. Membuatku semakin merinding mendapat perlakuan seperti itu.
"Makasie ya dek Lianiku sayang" masing-masing payudaraku ditarik jauh-jauh kearah samping dan diplintirnya puting payudaraku keras-keras . "Mas sayang banget ma kamu"
"Aawwwhhh...aduh...mas Manto tega deh" kutampikkan kedua tangan nakalnya keras-keras, mengusirnya supaya tak menggoda putting dan payudaraku lagi. "Khan sakit" kataku sambil mengernyitkan hidungku kearahnya, lalu beranjak bangun.
Kuambil nasi goreng yang ada di atas meja rias mbak Narti dan kuserahkan kepada mas Mantoku. Diambilnya piring nasi goreng itu dengan satu tangannya, lalu ia kembali duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Ia hanya tersenyum lalu tertawa lantang. Dan sekali lagi, aku terbuai oleh senyum yang menawan. Tak terasa, perselingkuhanku dengan mas Manto telah memasuki bulan kedua. Dan selama itu pula aku merasakan bagaimana indahnya hidup. Bukannya aku tak mensyukuri akan apa yang telah diberikan oleh mas Andri, suamiku asliku, namun jika bersama mas Manto, aku merasakan bagaimana rasanya menjadi wanita yang sebenarnya. Karena dari mas Manto, aku bisa mendapatkan kepuasan yang tak pernah aku dapatkan dari mas Andri. Kepuasan lahiriah sebagai seorang wanita. "Kenikmatan ketika mendapatkan ORGASME, benar-benar tak terkatakan" Semenjak tragedi pecahnya bak cuciku beberapa waktu lalu, aku menjadi seolah terhipnotis untuk menjadi istri kedua mas Manto. Menjadi budak pelampiasan nafsu binatang suami mbak Narti, tetangga sebelah rumah kontrakanku.
Peranku sebagai istri mas Manto berlaku semenjak mas Andri berangkat kerja di pagi hari sampai ia pulang di sore harinya. Semenjak saat itu pula, aku jadi sering menginap dirumah mas Manto ketika siang. Setelah istri mas Manto berangkat kerja juga tentunya. Mungkin karena jadwal mas Andri dan mbak Narti yang terlalu mudah diprediksi, kami menjadi benar-benar merasa tenang dengan perselingkuhan yang terjadi selama ini. Pagi hari sekitar pukul 8, suamiku berangkat ke kantor. Tak lama, sekitar 30 menit kemudian, mbak Narti juga kepasar untuk bekerja di toko. Sore harinya, mbak narti pulang lebih dahulu, sekitar pukul 6 sore. Dan suamiku, juga baru sampai rumah sekitar pukul 8 malam. Otomatis dari pukul 9 pagi sampai 5 sore, tak ada lagi pasangan masing-masing yang bakal memergoki kami berdua untuk berbuat mesum. Sehingga ada sekitar 8 jam waktu untuk kami berdua guna menikmati perzinahan ini.
"Enak bener dek masakanmu...sempurna" katanya memuji masakanku sambil tersenyum lebar.
"Siapa dulu donk istrinya...??" kataku sambil berkacak pinggang dan menepuk-nepukkan tanganku di payudaraku. "Liani...sang istri super"
"Haahahahaha...mas bangga dek bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi suamimu"
"Bangga sih boleh bangga...tapi mbok ya kontolnya diajarin supaya sedikit hormat" kataku sambil menunjukkan daguku kearah kemaluan mas Manto yang telah berdiri tegang dengan sempurna "Kok kayaknya nantangin gitu"
Liani yang kalem, sopan dan berperilaku terpelajar berubah menjadi Liani yang liar, binal dan berlaku bak pelacur murahan. Kugeleng-gelengkan kepalaku, takjub akan stamina penis mas Manto. Tak peduli sebanyak, sebrutal dan secapek apapun persetubuhan yang telah kami lakukan, penis itu dapat dengan mudah bangkit dari tidurnya. Tanpa banyak basa-basi, segera saja aku loncat ke tengah-tengah kasur lalu kuraih batang berurat yang tumbuh di selangkangan suami baruku itu. Kubuka paha dalam mas Manto lebar-lebar dan mulai kukocok penis beruratnya perlahan.
"Bentar dek...bentar" mas Manto berusaha meletakkan piringnya dan menjauhkan tanganku dari selangkangannya. Namun buru-buru aku cegah.
"MAKAN...!!!" Kubelalakkan kelopak mataku, dan kutatap mata mas Mantonya dalam-dalam.
"Ampuuunnnnn...iya deh...iya"
Denyutan batang penis mas Manto begitu hebat. Sampai aku bisa merasakan kedutan aliran darahnya ketika melewati rongga urat-urat yang berwarna hijau kehitaman. Ukuran penis mas Manto mirip tongkat kasti, begitu besar dan panjang.
Sekilas jika aku bandingkan antara penis mas Manto dengan penis milik suamiku, terlihat sungguh jauh berbeda. Panjang penis mas Andri hanya sekitar 16 cm. Digenggam dengan dua kepalan tanganku pun, batang dan kepala penis mas Andri sudah habis. Berbeda dengan penis mas Manto, walau sudah dibungkus dengan dua kepalan tanganku, masih ada lebih dari sepertiga bagian penisnya yang tersisa. Jengkalan tangankupun tak mampu untuk menyamai panjang batang penisnya. Belum lagi dengan diameternya. Jika diameter batang penis mas Andri mampu aku genggam penuh dengan mudah, tak begitu dengan batang penis mas Manto. Batang penis mas Manto terlihat jauh lebih besar, bahkan saking besarnya, ketika kucengkeram, hanya ujung ibu jariku yang mampu menyentuh ujung jari tengahku, tak peduli sekeras apapun aku mencengkeram batang itu.
"Ampuuunnn deeekk"
Semakin cepat aku naik turunkan tanganku pada penis mas Manto, dan semakin merah pula batang penis itu menderita. Sesekali, kepala penis mas Manto aku cekik, sampai bagian kepala penisnya menggelembung besar, penuh dengan darah berwarna merah kehitaman. Sesekali pula aku gigit keras-keras batang penisnya, sampai membekas cetakan gigiku. Berderet merah bak jahitan kemeja kerjanya.
"HAP...sluuurrrrpp" kumasukkan batang penisnya kemulutku.
Sesaat, tercium aroma pesing selangkangan yang langsung menusuk hidungku. Tak mau ketinggalan, aroma anyir sisa-sisa sperma juga kembali aku rasakan menjalar keseluruh bagian lidahku. Kujilati semua permukaan kulit penis yang bertonjolan urat-urat itu. Kukecup kepala penis mas Manto yang semakin memerah dan kukelitik lubang kencingnya yang mulai mengeluarkan air mani. Aku urut batang berurat itu dengan kencang dan keras, berharap dari lubang kencingnya segera muncrat benih-benih kejantanannya. Benih kehidupan yang tersimpan di kantung zakar hitamnya.
"Uuuuhhhhhh...Shhh" mas Manto memejamkan mata dan mendesah lirih, berusaha menikmati jilatan brutal lidahku diantara sakitnya cengkeraman jemari tanganku. "Ammpuun dek...ampuuunnn" katanya sambil berusaha meletakkan piring makannya.
"Hiiiieeeemmmm hhaaajjaaa hhiiissiiihhuuu...(diem saja disitu)" perintahku tegas.
"Dek...bentar dek...mas naruh piring makan dulu ya" katanya sambil memegang kepalaku, berusaha menjauhkan dari penisnya yang telah memerah tegang.
"Mmmmhh bodo" jawabku enteng. Kulepaskan batang mas Manto dari kuluman mulutku. "Slllrruup...syapa suruh tadi mas melintir-melintirin puting adek...khan adek jadi pengen ngewe lagi...Mmmmnnhh " kataku sambil menegakkan penisnya, berusaha menjilat dan memakan biji zakarnya.
Biji zakar sebesar buah duku itu juga tak kalah sangarnya. Terlihat begitu bulat, hitam dan terbungkus kulit tipis yang ditumbuhi ratusan helai rambut. Menggelambir turun dan ikut terombang-ambing kesana kemari seiring kocokan jemari lentikku.
"Rambut jembut yang lebat sekali" batinku, sembari terus mengurut batang besar itu dengan mulutku. Sesekali, aku kunyah rambut rambut kemaluan mas Manto sambil menggigit buah zakarnya...
"Ammppuuunnnn deeekk...Mas ga kuat lagi...ampunn" rintih mas Manto keenakan. Diletakkannya piring nasi goreng itu disamping tempatnya duduk, dan sambil mengejan keenakan, mas Manto memegang kepalaku.
Melihat ketidak berdayaan suami baruku, aku menjadi semakin gemas dan brutal. Dengan dua tangan, kupercepat kocokan penisnya, sambil terkadang kupelintir batang penis itu, bak memeras cucian basah.
"Dek Liani...bentar dek sssshhh...aduuhh deekk...kalo kontol mas kamu plintir-plintir gitu...mas bisa cepet keluar lagi...ssshhh" desisnya.
"Ya udah...sok...Mnnmmhhh" Tantangku sambil kembali memasukkan kepala penisnya lebih dalam ke mulutku. Kuhisap kepala penis mas Manto sekuat tenagaku, sampai kurasakan pipi putihku kempot. Aku ingin kembali merasakan benih kejantanannya.
"Deekk...Dekk"
"Uhhaaahhh...huurruuaann hiihheelluuaahhiinnn...(Udah buruan dikeluarin)"
"Ammppuunnn deeekkk...ampun" digerakkannya kepalaku naik turun.
Mas Manto sepertinya berusaha menjadikan bibir, mulut dan lubang tenggorokanku sebagai sarana pengocok penisnya. Walau mas Manto tahu, hanya setengah dari total panjang penisnya yang mampu aku telan, namun hal itu tak juga mengurungkan niatnya untuk memperkosa mulutku. Dengan posisi tubuhku yang menungging, terkadang tangan mas Manto menggapai-gapai vagina dan payudara 36Cku yang bebas bergelantungan. Terkadang pula ia menusuk vaginaku dengan jari-jemarinya atau memuntir dan menarik-narik putingku. Aku hanya bisa memejamkan mata, mencoba menikmati permainan kasar suami baruku. 3 kali sodokan pendek, 2 kali sodokan dalam. Tempo yang dilakukan mas Manto ketika menaik turunkan kepalaku. Mas Manto memang selalu bermain dengan tempo. Aku dapat merasakan kepala penisnya menyundul-nyundul didalam tenggorokanku. Maju mundur dengan tempo yang sangat cepat. Tak jarang tenggorokanku merasa sampai tersekat dan tak bisa bernafas. Namun, entah mengapa, dari kebrutalan gaya bermain mas Manto, aku semakin terlena dibuatnya.
"Tiduran terlentang dek...mas juga pengen ngobel memek kamu" Perintahnya singkat.
Karena aku juga sudah terbawa nafsu jasmani, segera saja aku ambil posisi terlentang. Mas Manto segera merangkak ke atas kepalaku, dan mengatur posisi penisnya supaya tepat di mulutku.
Kami memposisikan tubuh seperti angka 69, saling mengoral satu dengan yang lain. Jika aku menyedot sambil memintir batang penis mas Manto yang berukuran ekstra ini, mas Manto pun memperlakukan vaginaku dengan hal yang serupa. Ia menyibakkan bibir vaginaku lebar-lebar, menusuk dengan jemarinya dan menjilat setiap mili bagian vaginaku.
"Ohhh...Mas...Sshh...enak banget mas" desahku ketika mas Manto mempermainkan clitorisku. Geli, nikmat dan sedikit ngilu. Sampai-sampai, terkadang aku merasa vaginaku seperti tersengat arus listrik dan tubuhku menggelijang tak menentu arah.
Sebenarnya aku tak perlu bertingkah macam-macam ketika dalam posisi 69 ini, karena posisiku berada di bawah. Berbeda dengan mas Manto yang berada diatas, harus lebih aktif lagi.
"Enak bangets dek...mas mo keluar nih" Katanya sambil mempercepat goyangan pinggulnya dan menyodok-nyodokkan penisnya di mulutku. Tak lupa, ia pun menjilat dan menusuk-nusukkan dua jari tangannya dalam-dalam ke vaginaku.
Selagi merasakan kenikmatan pendakian ke puncak birahi, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara dari balik jendela.
"Tumben mas To... olahraganya agak siangan? hakhakhak" teriak suara itu lantang sambil terkekeh "Gorong-gorongnya mampet lagi ya?"
"Pak Tarjo..." bisik mas Manto kepadaku sambil mendekap mulutku "Habis turun mesin pak...lagi ngetes" teriak mas Manto, menjawab pertanyaan pak Tarjo dari dalam kamar. Seketika kami menghentikan aktifitas birahi ini dan berusaha memperhatikan kondisi sekitar.
Pak Tarjo adalah tetangga yang tinggal di komplek perumahan kami juga. Rumahnya bersebelahan dengan rumah mas Manto. Pak Tarjo, seorang pegawai negeri sipil yang sedang menanti masa pensiunnya. Berusia sekitar 60 tahun dan memiliki seorang istri dan dua orang anak yang masih sekolah. Memang sudah seperti hal yang biasa saja, mas Manto dan pak Tarjo saling bercanda seperti ini. Bercanda mengenai sex yang kurang lazim jika dilakukan oleh tetangga normal. Namun semenjak aku menjadi budak nafsu mas Manto, akupun mulai terbiasa mendengar mereka saling canda dan ejek. Ya, hanya sebatas saling ejek.
"JGREEEK...JGREEK...JGREK" Distaternya Honda WIN bututnya "BRUUMMM...."
"Oowwh...jadi sekarang baru dapat kendaraan baru nieh...hakhakhakhak" timpalnya lagi sambil memutar gas motornya berulang-ulang.
"Tau aja nie pak'e...hahahaha" jawab mas Manto sekenanya, sambil tersenyum kearahku.
Pak Tarjo selalu saja muncul di saat yang benar-benar tak bisa diprediksi. Tubuh polos kami dan pak Tarjo, hanya dipisahkan oleh dinding dan jendela kaca bertirai tipis yang sesekali terbuka ketika tertiup angin. Di antara rumah mas Manto dan rumah pak Tarjo terdapat teras dan jalan kecil selebar 3 meter yang mengarah ke halaman belakang. Teras tersebut ada di setiap sisi rumah, dan biasanya digunakan sebagai tempat menaruh barang atau motor. Seandainya pak Tarjo iseng mengintip ke dalam kamar tidur mas Manto, ia pun dapat langsung melihat kami yang sedang bertumpuk-tumpukan ini, karena posisi ranjang mas Manto sejajar dengan letak jendela kamarnya. Namun, menurut pengalaman kami berdua selama ini, pak Tarjo tak akan melakukan hal seperti yang aku khawatirkan.
"Pak Tarjo hanya manasin motor dek...tunggu ya...bentar lagi dia juga jalan"
Dan benar, tak lama kemudian, "Mas To...saya berangkat dulu ya" ucap suara dari ballik jendela. "Udah buruan dikelarin...kasihan mbak Narti ntar klo telat...bisa dimarahin bosnya..."
"Mbak Narti?" kami berdua berpandangan heran.
"HAHAHAHAHA..." spontan kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Ternyata pak Tarjo masih mengira, saat itu mas Manto sedang menyetubuhi mbak Narti. Seandainya ia tahu siapa gerangan musuh birahi mas Manto saat itu, tentunya akan menjadi berita yang menghebohkan komplek perumahan kami. Seandainya Pak Tarjo tahu apa yang hampir setiap pagi mas Manto perbuat kepada istri tetangganya, mungkin ia tak jadi berangkat ke kantor, bahkan mungkin, bisa saja ia ikut nimbrung dan bergabung dengan kami berdua. Seandainya saja........Perasaan aneh itu muncul lagi. Tiba-tiba, perasaanku menginginkan supaya pak Tarjo dapat mengetahui keberadaanku disini. Aku ingin pak Tarjo sadar jika saat itu wanita yang sedang dizinahi mas Manto adalah bukan istri syahnya. Aku ingin pak Tarjo menyaksikan persetubuhan kami berdua.
"Mas...ayo terusin kocokannya...adek udah gak tahan" pintaku sambil mulai menggerak-gerakkan pinggulku.
"Bentar dek...masih ada pak Tarjo...ntar dia bisa tau kamu ada disini" bisiknya.
"BODO AHHkk...AYO MASSSsshh...cepetaann" sedikit kunaikkan volume suaraku supaya pak Tarjo sadar akan keberadaanku di sini.
Tepat seperti perkiraanku, sekilas, pak Tarjo menatap tajam ke jendela kamar mas Manto. Namun karena ada tirai putih tipis yang menghalangi pandangannya, ia tak begitu mengetahui kondisi di dalam kamar saat itu. Karena merasa asing akan suara barusan, pak Tarjo celingukan, mencoba mengenali siapa pemilik tersebut.
"Tuh dek...Pak Tarjo bisa tahu loh" bisiknya sambil sesekali melihat ke arah pak Tarjo yang masih menatap tajam kearah kami.
"BODO" tambahku "Makanya BURUAN KOCOK...adek udah bener-bener nggak tahan" ujarku semakin sewot "BURUANnn..."
"Iye..iyeee..." jawab sambil mulai menjilat dan mengocok jemari gemuknya di vaginaku.
"Ouuggghhh...gitu mas...enak bener... terusin mas..." desahku lantang.
Kembali kulihat pak Tarjo dari dalam kamar gelap ini. Ia berdiri menatap tajam kearah jendela kamar mas Manto dengan raut muka penasaran. Kepalanya miring dan alisnya saling bertautan. Beruntung aku akan teriknya sinar matahari diluar sana, sehingga membuat pandangan dari luar sedikit terhalang. Sebaliknya, aku yang ada di dalam kamar, mampu dengan leluasa mengawasi keadaan diluar kamar.
"Sepertinya enak banget nih...weleh-weleh...yang lagi nyobain mesin baru..." kata pak Tarjo lagi "Tumben dek Narti diem saja...hahahaha"
"Ssshhh...Abis keenakan sih pak" teriakku lantang menirukan suara mbak Narti.
Dengan sigap, mas Manto langsung membekap mulutku.
"Gila kamu dek...suara kamu khan beda dengan suara Narti"
"Biarin ahhhhjaahhh..." jawabku genit "Biar kamu nurut semua kata-kataku" tambahku lagi sambil mengernyitkan hidungku.
Entah dari mana kenekatanku, menjawab pertanyaan pak Tarjo. Aku tahu, memang type suaraku berbeda dengan suara mbak Narti. Tapi toh pak Tarjo mungkin tak menyadarinya.
"Mas To... aku berangkat dulu ya... " ujar pak Tarjo sambil menengok terus kearah jendela kamar mas Manto.
"Iya pak...hati-hati ya" teriakku lagi menjawab salam pak Tarjo."Kapan-kapan kalo ada waktu ..***bung ke sini aja pak"
Kaget, pak Tarjo kembali menatap tajam kearah kamar.
"Dasar tetangga edan...hakhakhakhak..." Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa "Yowes...aku berangkat dulu...ati-ati To...nyodoknya pelan-pelan...kasihan mbak Narti...khawatir lecet-lecet" akhirnya tak lama kemudian, iapun berangkat.
Mungkin karena jengkel, mas Manto langsung mengobok-obok vaginaku dengan buas. Dengan cepat dan memburu mas Manto menusuk dan mencabut jemari gemuknya ke dalam vaginaku.
"Mulai nakal kamu ya...nie...rasain hukumanku..."
"Oouuggghhh... enak banget mas...terusin...aku suka banget mas...mas...terus"
Menerima tusukan tajam dan cepat jemari mas Manto, aku merasa gelombang orgasmeku akan datang lagi. Detak jantungku semakin cepat, dan sembusan nafasku memberat. Cairan cintakupun membanjir dan tak terkontrol lagi. Mengalir turun melewati sela-sela bongkahan pantatku. Saking banyaknya, aku tak dapat membedakan, apakah yang keluar dari vaginaku ini murni cairan cintaku, atau sudah tercampur dengan air liur dari mulut mas Manto. Karena yang pasti, aku sudah tak sanggup menahan rasa panas dari gelombang nafsu yang akan datang ini.
"Ooohhh... massshh...adek juga mo keluar...ssshhhh" Kataku "Kita keluar bareng-bareng ya mas"
"Ogah...keluar aja sendiri" ujar mas MantoI sengit sambil terus mengobok liang vaginaku cepat-cepat. Rupanya ia masih jengkel dengan tingkahku terhadap pak Tarjo barusan.
"Hmmm mas Manto mo main-main ya? Boleh...belum tau dia...gimana kalo Liani beraksi" Batinku sambil membalas kocokannya dengan kenyotan mulutku ke batang penisnya.
"Uuuuhhh...uuhhh...dek...dek... pelan-pelan dek" ujarnya sambil mulai mempercepat sodokan penisnya naik turun ke mulut kecilku.
"Mampus" jawabku singkat" semakin kukencangkan katupan bibirku.
"Yah...yah...yah dek ...mas juga sudah nggak tahan lagi dek"
Tiba-tiba, ditekannya dalam-dalam pinggul mas Manto kebawah. Tak sadar akan sakit yang aku rasakan, mas Manto dengan keras mendorong penisnya untuk dapat masuk dan tertelan semua oleh tenggorokanku..
"Gila...Batang penis sepanjang 24 cm ini ia paksa untuk bisa masuk semua ke dalam mulutku" pasrahku dalam hati, sambil berusaha menikmati sakitnya gaya seks brutal mas Manto.
Aku mencoba untuk teriak, namun "Uuuummmgggghhh" hanya itu suara yang keluar dari mulutku. Kurasakan sakit yang luar biasa ketika penis mas Manto berusaha untuk terus masuk lebih jauh lagi, begitu perih sampai seolah-olah batang penis itu merobek tenggorokanku. Seperti tenggelam, aku tak dapat bernafas. Leherku tersekat dan air mataku pun mulai menetes dari sudut mataku. Saking besarnya penis mas Manto memaksa mulutku tuk terbuka, aku merasakan rahangku sampai mati rasa. Pegal sekali, bahkan aku merasa, rahang mulutku seperti hendak lepas dari engselnya. Aku hanya bisa mendongakkan kepalaku semaksimal mungkin, berusaha membuat tenggorokan dan leher ini meregang selebar-lebarnya. Tujuanku hanya satu, aku juga ingin merasakan kenikmatan denyut orgasme pada vaginaku seiring sakitnya sodokan batang penis mas Manto pada tenggorokanku.
"AAAAAAAARRRRRGGGGGGHHHHHHH" Hampir bersamaan kami teriak, melepas semua beban birahi yang ada di otak dan alat kelamin kami masing-masing.
"CRET...CREET...CREEETT"
Lima denyutan hebat, aku kurasakan di dinding kerongkonganku, seiring dengan muncratnya ribuan benih sperma mas Manto. Tak sebanyak, dan sekental spermanya beberapa saat lalu, namun masih kurasa kenikmatan benih-benih pria selingkuhanku langsung masuk menyembur dengan kuatnya. Walau tak terasa oleh lidah, namun tekstur lembut sperma itu masih bisa rasakan ketika mengalir turun dari kerongkongan menuju lambungku.
Mas Manto menjatuhkan badannya kebawah, menimpa tubuh rampingku berusaha menikmati ejakulasi yang ia dapatkan dari mulutku sambil sesekali masih mengaduk-aduk mulut dan tenggorokanku naik turun dengan perlahan. Mas Manto tak memperdulikan tubuh dan tanganku yang menggelepar-gelepar hebat karena orgasme yang juga kurasakan. Karena tak mampu berbuat apa-apa, akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan suami baruku berbuat sesukanya terhadap tubuhku. Toh tubuh ini juga sudah menjadi miliknya. Entah berapa lama lagi aku harus dalam kondisi seperti ini. Nafasku tersekat dan mataku mulai berkunang-kunang. Tanda kesadaranku mulai menurun. Tanpa mengenal kasihan, mas Manto masih saja membenamkan batang penisnya dengan brutal kearah mulutku. Mungkin dengan disodokkannya batang penisnya dalam-dalam, mas Manto bisa merasakan denyut gerakan peristaltic tenggorokanku lebih lama lagi. Merasakan tenggorokanku memanjakan penisnya dengan gerakan mengurut yang tiada henti. Melihat aku yang sudah lemas dan tak meronta lagi, rupanya mas Manto sadar jika aku mulai kehilangan kesadaran. Dengan segera, dicabutnya batang penis raksasanya dari mulutku dan langsung membiarkanku megap-megap mencari oksigen...
"Huuuuaaaaaahhhh" Kubuka mulutku lebar-lebar dan kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kembali tubuhku menggelepar-gelepar, merasakan kembali orgasmeku yang sempat terputus akibat sodokan kasar penis mas Manto di mulutku tadi. Lebih dari 30 detik, dinding vaginaku berkedut dengan hebat. Tak lama, gelinjang tubuhku mulai sedikit mereda, dan detak jantungku mulai pelan. Terlentang menghadap langit-langit sambil mengatur nafasku yang putus-putus.
"Hhhh...gihhla kahhmu mashhh...hhh hhh" kataku dengan nafas yang berat "Tehhga banget...Kalo adek mati gihhhmana?" kataku sambil menatap mas Manto yang sudah kembali bersandar di kepala tempat tidurnya dengan pandangan marah.
Mas Manto hanya tersenyum lebar. Menampakkan deretan gigi-giginya yang kuning sambil mengurut penisnya yang berkilat air liurku.
"Maaf dek...abis sepongan kamu benar-benar enak...mas jadi khilaf"
Mas Manto beranjak dari posisi duduknya dan merangkak kearahku. Gengan posisi kaki yang dilebarkan sejauh mungkin, ia dudukkan pantat hitamnya tepat di atas kepalaku.
"Kamu makin cantik sayang kalo marah gitu" katanya sambil tersenyum dan menepuk-nepukkan penisnya yang setengah ereksi ke rambutku.
"Halah gombal" ujarku sambil melirik ke atas, memasang muka sejutek mungkin.
Diraihnya tanganku, dan kembali diletakkannya pada batangnya yang setengah ereksi.
"Bersihin kontolku dong dek"
Dengan posisi yang masih telentang, akan sulit tentunya membersihkan penis yang ada tepat di atas kepalaku. Kubalikkan badanku dan langsung kucaplok keras-keras penis mas Manto sambil sesekali mengunyah daging kenyal itu dengan gigiku.
Mas Manto mulai meracau tidak jelas "Shhh...Dek...Enak banget"
Mulutku kembali basah oleh zir liur yang bercampur sperma segar mas Manto.
"Lianiku, sang bidadari pecinta peju" julukan sayang yang diberikan kepadaku oleh mas Manto, suami baruku.
Kujilat seluruh permukaan kulit penis mas Manto sambil kuhisap-hisap batang penis yang mulai mengecil itu.
"Seponganmu memang yahud dek...belum pernah aku temui wanita lain dengan sedotan mulut yang maut sepertimu sayang"
"Wanita lain...??"
"Iya...si Narti atau mantan-mantan pacarku dulu...selain kamu...tak satu pun dari mereka yang bisa membuatku moncrot seperti ini...sssshhh"
Walau sedikit jengkel karena dibanding-bandingkan dengan wanita lain, namun sekilas, ada juga perasaan bangga ketika mendengar suami baruku berkata seperti itu.
"Tak ada yang mampu menyamai seponganku" lagi-lagi senyumku mengambang lebar.
Kukecup kepala penis mas Manto
"Kontol berurat...Aku sayaaaang banget ama kamu" ujarku kepada kepala penis mas Manto.
Kugoyang-goyangkan batang itu ke kanan kekiri, sambil sesekali menepuk-nepukkan batang itu ke mulut dan pipiku, seolah sedang berbicara dengan manusia.
"Dasar dek Lianiku" kata mas Manto sambil mengacak-acak rambutku.
Melihat penisnya yang sudah benar-benar bersih dari sperma, ia segera turun dari tempat tidur, mengambil piring dan nampan berisi sarapan paginya lalu melangkah ke luar kamar. Kurebahkan tubuhku, kembali tidur terlentang dan menatap tajam langit-langit kamar mas Manto sambil tersenyum. "Hhhh...perzinahan yang benar-benar nikmat"
Masih dalam posisi terlentang, samar-samar aku mendengar mas Manto bersiul. Dari nadanya sepertinya ia dalam kondisi hati yang riang. Terdengar pula bunyi keresek plastik, dentingan gelas dan botol, serta kucuran air.
"Deekk...Kesini donk" panggil mas Manto dari arah dapur.
"Iya bentar mas"
Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Sesampainya di dapur kulihat mas Manto sedang asyik menyantap sisa makanan yang belum sempat ia habiskan tadi. Ditangannya, terlihat sendok dan garpu yang sedang beradu dengan piring dan nasi. Menyendok nasi goreng, dan memasukkan makanan itu dengan lahap. Sesekali ia berdiri dari kursi makan dan melangkah ke arah kulkas untuk sekedar mengambil air minum. Aku hanya bisa tersenyum, ketika melihat pasangan zinahku beraktifitas. Sungguh lucu melihat mas Manto mondar mandir tanpa mengenakan pakaian selembarpun. Penis yang berukuran sebesar lengan bayi itu bergoyang-goyang dan memukul paha dalamnya tiap kali ia melangkahkan kaki.
"Dek duduk sini donk" pintanya sambil menggeserkan kursi makan di sampingnya mempersilakanku untuk duduk.
Sambil terus menatap aktifitas makannya sambil sesekali melirik batang penisnya yang tidur dengan damai, aku letakkan pantat bulatku di kursi yang ada di samping kanannya.
"Dek...habis mas makan... temenin mas mandi yuk" ujarnya santai sambil terus melahap nasi goreng di depannya.
Aku mengangguk pelan.
"Lucu sekali batang penis mas Manto...sekarang batang penis itu tak segahar beberapa waktu lalu. Pendek, hitam dan gemuk. Mirip terong...besar dikepala tapi kecil di pangkal batangnya" batinku sambil tersenyum.
"Kok senyum-senyum sendiri dek" Tanya mas Manto heran.
Aku tak menjawab, hanya tersenyum.
Dengan cuek, mas Manto kembali menyantap sarapan paginya. Kujulurkan lengan kiriku. Dan kuraih batang gemuk yang tergeletak diantara paha kekar mas Manto itu. Kutimang-timang batang hitam itu, layaknya seorang pembeli sedang melakukan transaksi di pasar buah.
"Uhuk...uhuukk" mas Manto tiba-tiba tersedak. Beberapa butir nasi muncrat dari mulutnya.
Rupanya ia terkejut ketika merasakan penisnya tiba-tiba aku sentuh. "Kaget aku dek...kirain kontol mas mau kamu betot...emang kenapa dek...?"
"Nggak kenapa-kenapa mas...adek cuman pengen mengamati kontol mas aja" ucapku sambil terus tersenyum "Mas terusin aja makannya"
Walau penis itu masih dalam kondisi tidur, tetap saja aku dibuat takjub. Ukurannya hampir sebesar penis mas Andri suamiku ketika telah ereksi dengan sempurna.
"Tak sepanjang penis mas Andri ketika ereksi sih...namun yang jelas, jauh lebih gemuk" batinku.
Kepala penis mas Manto hampir tertutup seluruhnya oleh kulit tipis, sehingga hanya mulut penisnya saja yang menampakkan senyumnya. Urat-urat batang penis mas Manto juga masih tetap terlihat, walau hanya sebagian saja. Namun kali ini aku bisa dengan mudah melingkarkan jemariku. Batang penis mas Manto yang super keras ketika ereksi, sekarang terasa begitu lembut, ketika kuremas perlahan, aku seperti meremas balon balon berisi air. Kenyal namun hangat. Diseruputnya kopi pahit sampai tak tersisa "Slurpp aaahhhh". Dan, selesai sudah acara sarapan pagi mas Manto. Sambil bersandar malas di kursi makan, ia mengusap-usap perutnya yang menggelembung. Mas Manto menatap ke arahku, kepalanya dimiringkan dan kembali, ia tersenyum kepadaku.
"Suamimu beruntung banget dek bisa dapat istri seperti kamu"
"Kok...? Mas Andri...?"
"Iya...dia bisa dapat kenikmatan darimu seutuhnya...tanpa harus melakukan hubungan yang sembunyi-sembunyi dan selalu takut ketahuan seperti ini" ada rasa pesimis dalam nada kalimatnya. "Andai kita bertemu 4 atow 5 tahun kemaren dek"
"Mas Manto...justru adek yang merasa beruntung mas"
"Loh...?"
"Iyalah...aku jadi merasa memiliki belahan jiwa yang selalu mengerti segala kebutuhanku" kataku mencoba menaikkan semangat mas Manto
Memang benar, jika dilihat dari segi fisik dan ekonomi, mas Andri beberapa langkah lebih unggul daripada mas Manto. Wajah mas Andri terlihat tampan, berkulit putih dan selalu berpenampilan rapi terawat. Bekerja di perusahaan minyak asing sebagai pengawas lapangan, yang aku yakin penghasilannya beberapa kali lipat diatas gaji mas Manto. Intinya, semua kebutuhan rohani dan jasmaniku, dapat dipenuhi oleh mas Andri. Sedangkan mas Manto. ia hanyalah seorang satpam perumahan biasa, berkulit hitam kelam, dan sama sekali tidak menampakkan ketampanan apapun. Penghasilannya juga pas-pasan, sampai mengijinkan mbak Narti bekerja. Sama sekali bukan lelaki pilihanku jika aku diminta memilih antara mas Manto dan mas Andri. Namun, jika dibandingkan dengan kebutuhan birahi yang aku terima dari suamiku. Jelas, mas Andri tak ada apa-apanya.
"Jasmani, rohani dan birahi" batinku. Kembali aku tersenyum-seyum sendiri
"Ah kamu bisa aja dek"
"Yeee dibilangin kok...selain itu...dengan adanya mas Manto seperti sekarang ini, adek khan jadi bisa mendapatkan 2 kontol yang selalu siap mengaduk-aduk memek adek SETIAP SAAT" ujarku sambil tersenyum lebar "Udah ah...yang jelas...kontol mas jauh lebih hebat dari milik mas Andri, suami adek"
Kembali mas Manto tersenyum lebar, dan mendekatkan bibirnya yang hitam tebal itu ke keningku. Dikecupnya perlahan lalu merangkul tubuh semampaiku. Tangannya yang kekar melibat tubuhku. Dan dengan satu gerakan mudah, ia membopongku dan membawaku masuk ke kamar mandi. Begitu sampai di dalam kamar mandi, mas Manto segera menurunkan tubuhku. Kututup pintu kamar mandi, dan kugantungkan celemek masak yang aku kenakan di balik pintu. Tak lama, setelah satu-satunya pakaian yang menutupi tubuh putihku lepas, terpampanglah tubuh polosku. Kugelung rambut panjangku dan kupamerkan ketiak putih mulus tak berambutku ke arah mas Manto sambil berputar-putar berjoget bak penari erotis. Kumenari seerotis mungkin. Melihat lekuk tubuhku polosku ketika menggelung rambut, mungkin membuat mas Manto kembali bernafsu, karena tiba-tiba kembali aku ditubruk dan dipeluknya kencang.
"Aku sayang kamu dek...benar-benar sayang kamu" ucapnya sambil mengecup tengkukku dalam-dalam.
Berusaha mempertahankan kestabilan posisi berdiriku ketika dipeluk mas Manto dari belakang, langsung kusandarkan kedua tanganku ke bibir bak mandi. "Aku juga mas..."
Perlahan, dari bawah belahan pantatku, aku merasakan sesuatu mulai menekan ke atas. Ada benda tumpul dan hangat mulai membesar di sela-sela belahan pantatku.
"Gila...ini penis ga pernah ada matinya" Batinku.
Digesek-gesekkannya kepala dan batang penisnya yang mulai ereksi itu ke belahan pantatku. Otak jorokku segera merespon gerakan mas Manto. Tanpa menunggu perintah apapun, segera kubungkukkan punggungku lebih rendah lagi, berharap mas Manto akan segera menusuk vaginaku dengan penis besarnya dari belakang. Namun aku ternyata salah...
"SSEEEEEERRRRRRRRRRRR" aku merasakan cairan panas menyembur belahan pantat, dan paha dalamku. Mengalir turun dan membasahi kaki jenjangku.
Segera kutundukkan kepalaku, berusaha melihat apa yang sedang terjadi melalui sela kedua kakiku. Ternyata cairan hangat itu adalah air seni mas Manto. Ia kencing. Eh, bukan. Lebih tepatnya ia mengencingi pantatku. Spontan, aku balikkan badanku dan langsung bergerak kesudut kamar mandi, menjauh dari semburan air seni yang memancar kencang dari mulut penis mas Manto.
"Iiiiihhhh...jorok bangets sih kamu mas" ujarku sambil membilas pantat dan pahaku berulang kali "Masa adek dikencingin"
Mas Manto menghentikan *an air seninya. "Hehehehe...kamu khan udah sering mas kasih kencing enak dek...sekali-kali lah kamu mas kasih kencing beneran...hehehehe" jawabnya polos "Lagian mas suka deh ngliat kamu ngambek gitu"
Dari mulut penisnya, kembali mas Manto menyembur cairan bening kekuningan yang memancar kuat mulai dari ujung pintu tempat ia berdiri sampai sudut kamar mandir, tepat di antara kedua telapak kakiku. Bahkan, saking kuatnya semburan air kencing mas Manto, tak jarang semburan itu ia tembakkan keras-keras sampai membasahi paha dan lututku lagi. Seharusnya aku marah mendapat perlakuan tak senonoh seperti ini. Dikencingi oleh orang dewasa secara terang-terangan. Harga diriku serasa benar-benar dijatuhkan. Mirip seperti sampah yang tak berharga sama sekali. Namun, ketika melihat mas Manto asyik bermain-main dengan air seninya, timbul suatu perasaan aneh dari dalam diriku.
"Gimana ya rasa air kencing mas Manto...?"
Segera saja kuraba area pahaku yang terkena semburan kencing mas Manto tadi, kuusap dengan tanganku dan kuangkat mendekat ke hidungku.
"Iiiiiihhhhh... Pesing banget mas" jawabku sambil mengerutkan hidungku begitu mengetahui bagaimana aroma air seni seorang pria.
"Hehehehe...ya iyalah dek...khan namanya juga air kencing" Mas Manto hanya tertawa melihatku yang seperti merasa jijik karena terkena air seninya "Sini deh sayang" tambahnya.
Sambil masih menghirup dalam-dalam aroma air seni mas Manto, aku mendekat ke arahnya. Mas Manto dengan sopan memegang pundakku, dan memintaku berjongkok tepat di depan penisnya yang masih mengucurkan air kencing.
"Bersihin kontolku dong sayang" pintanya enteng
"Hah?" Tanyaku sambil mendongak heran kearahnya.
"Iya...jilatin kontolku sampai bersih" Katanya lagi sambil mulai mengarahkan kepala penisnya yang masih meneteskan air seni.
"Tapi khan...EMMmmhhhh"
Aku tak dapat menyelesaikan kalimatku, karena dengan sedikit memaksa, mas Manto menjejalkan batang penisnya masuk kedalam mulutku. Dan dengan tangan kiri, mas Manto juga menarik kepalaku mendekat ke selangkangannya. Walau sedikit menolak, namun pada akhirnya, kutelan saja batang penis itu bulat-bulat.
"Emmmmhhhmmmm"
Masam, getir dan agak sedikit kecut. Itu kesan pertamaku ketika merasakan bagaimana rasa air seni mas Manto sebenarnya. Seumur hidupku, aku belum pernah merasa dipermalukan seperti ini. Mas Andri, suamiku yang sebenarnya pun sampai saat ini belum pernah memintaku untuk memperlakuan penisnya seperti yang mas Manto perbuat terhadapku sekarang. Jika ia baru saja buang air kecil dan memintaku untuk mengoral penisnya, aku selalu menolaknya tegas-tegas, bahkan aku bisa emosi dibuatnya. Namun hal berbeda aku rasakan ketika bersama mas Manto, walau penisnya baru saja menyemburkan cairan seni, aku sendiri yang dengan suka rela mengoralnya.
"Menjilat kelamin orang lain yang baru saja mengeluarkan air seni...?" Tanya suara dalam hatiku.
"Enak kali ya...?" tanya suara dalam hatiku yang lain
"Hmm...Walaupun air seni itu hanya sedikit yang masih menetes keluar, tapi itu khan sama saja dengan menyuruhku untuk meminum air seninya"
"Tapi bagaimana dengan halnya dengan sperma...?"
"Iya... itu khan hampir sama dengan meminum sperma...cuman sedikit beda aja"
"Tapi khan kalo meminum sperma tuh sudah biasa...orang-orang juga banyak yang melakukan hal itu...sedangkan meminum air kecing.????"
"Emang apa bedanya? Toh sama-sama dikeluarin oleh penis orang yang kita sayangi"
"Toh sama saja"
"Benar juga...toh sama saja...sama-sama berbentuk cair...sama-sama dikeluarin dari lubang penis...sama-sama dioral juga"
Ketika sedang asyik-asyiknya mengoral penis mas Manto yang masih belepotan air kencingnya. Kusadari, cairan cinta vaginaku mulai membanjir dan merayap turun. Aku horny. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengoral penis mas Manto sekuat mungkin, berusaha membuatnya ereksi dan keras lagi. Penis mas Manto merespon sedotan mulutku. Penis itu mulai menegang. Lalu dengan sigap, aku berdiri, kubalikkan badanku, kupegang bibir bak mandi dan kutunggingkan pantat semokku kearahnya.
"Ayo mas...tusuk memek adek sekarang"
"Hah?...Kamu mo nambah lagi dek...??" tanya mas Manto kebingungan...
"Buruan mas...adek udah nggak tahan"
Mas Manto segera berjalan mendekat ke arahku. Dengan tangannya yang kasar, direntangkannya pahaku lebar-lebar. Diurutnya batang penisnya perlahan. Dan Ajaib, batang itu langsung mengeras, benar-benar keras. Terlihat dari urat-urat yang mulai bertonjolan di sekujur batang penisnya. Entah mas Manto memiliki ilmu sakti dalam bercinta atau memang telah terbiasa mempermainkan stamina batang penisnya, yang pasti, kembali aku dibuat terpana melihat keajaiban batang hitam yang tumbuh diantara selangkangannya. Dengan tangan kanan yang menggenggam pangkal batang penis hitamnya bak memegang pentungan hansip mas Manto memukul-mukulkan kepala penisnya ke pantat semokku "PLAK...PLAK...PLAK" sambil sesekali ia goser-goserkan ujung penis itu di antara sela pantatku. Sepertinya ia berusaha melumuri sekujur batang penisnya dengan lendir cintaku. Diletakkannya batang penis itu diantara pangkal pahaku, dan didorongnya perlahan.
"Uuuhhh...ia mas, sodok memek adek mas...terus" ujarku dengan nada panuh nafsu.
Namun ternyata mas Manto tak melakukan hal yang seperti aku inginkan. Ia terus mendorong penis itu maju, namun tak ia masukkan ke lubang vaginaku. Maju dan terus maju. Sampai jika aku lihat dari posisiku berdiri, aku dapat merasakan batang penisnya yang panjang itu tumbuh melalui bawah celah vaginaku. Seperti seorang pria, sekarang aku merasa memiliki penis yang tumbuh dari dalam vaginaku sendiri. Mas Manto terus saja mendorong batang penisnya maju kedepan sampai pangkal penisnya menyentuh pantatku. Kulihat cermin kamar mandi yang tergantung di disamping kiriku.
"Aku seperti waria" karena jika dilihat dari samping, aku seolah benar-benar memiliki batang penis. Penis itu menonjol sekitar 8 cm, keluar dari pangkal pahaku.
Tak lama, mas Manto mulai menggerakkan pinggulnya maju, mundur, maju, mundur. Ia lakukan gerakan tersebut berulangkali, tepat dibawah bibir kewanitaanku. Sampai batang penisnya terasa cukup licin guna penetrasi ke dalam liang vaginaku. Walaupun penis itu sama sekali tidak ia masukkan ke liang vaginaku, tapi sentuhan urat-urat yang tumbuh di sekujur batangnya mampu menyentuh klitorisku berulang kali. Membuatku semakin melayang.
"Ayo dong mas...Buruan masukin" kataku sambil menengok ke belakang, ke arah mas Manto yang hanya tersenyum lebar.
Tangan kirinya yang kasar kembali maju, dan meremas salah satu payudara yang menggelantung bebas. Sedangkan tangan kanannya, melingkar ke samping melewati pinggangku dan mulai menstimulus celah vaginaku dari depan. Diusapnya perlahan. Jari telunjuk dan jari tengahnya mulai ngait-ngait clitorisku, sambil sesekali jemari itu menjepitnya pelan.
"Uhhhhhggg..." kigigit bibir bawahku, seperti menahan gatal vaginaku namun tak juga kunjung digaruk. Vaginaku bener-benar terasa gatal. Cairan cintaku mengalir dengan derasnya "Vaginaku semakin membanjir" batinku.
 
Wajahku semakin panas dan nafasku semakin memburu. Detak jantungku semakin keras memompa darah nafsu kesekujur tubuhku. Mas Manto mulai menyusupkan telunjuk dan jari tengahnya yang gemuk kedalam vaginaku. Dengan mudah kedua jari gemuk ia dorong celupkan masuk ke celah vaginaku. Dan ketika ditariknya keluar, jemari gemuk mas Manto sudah benar-benar basah, berkilau cairan vaginaku. Merasa dipermainkan, aku julurkan kedua tanganku kebelakang "Mas...buruan masukin kontolmu mas" berupaya menggapai batang penis mas Manto. Namun begitu aku dapat menggenggam erat batang itu dan berupaya memasukkan ke lubang vaginaku, mas Manto selalu saja menampiknya.
"Bentar ya sayang...bentar lagi" kata mas Manto sambil berulang kali mengecup punggungku.
Tiba-tiba tangan kanan mas Manto melingkari pinggangku dari samping. Lalu tak lama kemudian, jemari gemuk mas Manto kembali dimasukkan perlahan kedalam vaginaku dan dimainkannya maju mundur.
"Pemanasan dulu ya dek" Ujarnya enteng sambil menggapai payudara kiriku yang menggelatung bebas.
Aku hanya bisa melenguh keenakan, merasa "Uhhh...uuuuuhhhh"
Walau hanya ditusuk-tusuk oleh dua jari gemuknya saja, aku merasa orgasmeku mulai Namun seolah sadar aku akan orgasme, mas Manto tiba-tiba menghentikan gerakan kocokannya dan berjongkok di belakang belahan pantatku. Dua jari gemuk itu sekarang tak lagi tercelup ke dalam vaginaku.
"Ughhhh...mas..." desahku, kembali aku dipermainkan.
Dibukanya daging bulat yang menutup lubang anusku lebar-lebar. Tak lama kurasakan hembusan nafas hangat mas Manto menerpa kulit pantatku, lalu kurasakan sesuatu yang lebar, tipis, basah, hangat dan sedikit berambut.
"Ini pasti mulut mas Manto" batinku.
Lahap, seperti orang yang tak makan 2 hari, mas Manto langsung menyantap hidangan vaginaku
"Hmmm...wangi banget memek kamu dek" gumamnya asyik sambil menghirup dalam-dalam aroma kewanitaanku "Mana bersih banget...putih...tak berjembut...dan keset..*** kayak memek Narti" candanya.
Sedikit rasa bangga kembali aku rasakan "Ouugggghh...mas...ayo mas buruan sodok memek adek mas..."pintaku berulang-ulang. Namun tetap saja tak ia gubris.
Lidah mas Manto bergerak kesana-kemari, menyapu setiap mili kulit liang vaginaku yang telah mengkilat basah akibat lendir cintaku. Aku baru sadar, ternyata, tak hanya penis mas Manto yang memiliki ukuran yang panjang, namun lidahnya, juga jauh lebih panjang daripada orang-orang kebanyakan. Kasar tekstur lidah mas Manto seolah amplas yang menghaluskan dinding vaginaku, benar-benar geli aku dibuatnya. Terlebih tusukan lidah tajamnya. Semakin membuat cairan vaginaku merayap turun ke pahaku.
"Uuuuggghh...mas...udah donk...ayo"
Kembali, seolah tak memperdulikan gumamanku, mas Manto terus saja menjilat liang vaginaku. Saking buasnya, ia juga menjilat lubang anusku. Sesekali, mas Manto mengkorek-korek jemari tebalnya ke dalam liang vaginaku. seolah sedang mencungkil-cungkil barang dari dalam vaginaku.
"Sempit sekali dek memek kamu" kata mas Manto sambil sesekali menjilat dan menusuk vaginaku.
Merasa nafsuku selalu dipermainkan aku berdiri dan segera berbalik kearahnya.
"Mas...udah ah...kalo maen-maen begini...adek pulang aja kerumah..." kudorong kepalanya yang masih mencoba mengulik vaginaku "NYEBELIN..."
"Hehehehehe...ya udah...yuk"
Mas Manto segera berdiri dan memposisikuan ujung kepala penisnya supaya sejajar dengan liang vaginaku lalu ia meremas kedua sisi pinggangku.
"Siap dek?" tanyanya singkat.
Aku hanya mengangguk pasrah.
"Mas mau masukin kontol mas ke memek....."Tanpa menunggu kalimatnya selesai, dengan sekali hentakan keras, mas Manto menghujamkannya pantat hitamnya ke depan. Mendorong batang penisnya jauh-jauh, dan membenturkan paha depannya keras-keras dengan pantat semokku. ".....mu" sambungnya.
"Arrrgggghhhh...sakit mas..." teriakku
Mendengar jeritanku, sepertinya semakin membangkitkan gairah bercinta mas Manto. perlahan, batang penis yang sudah terbenam cukup dalam di vaginaku itu ditariknya sampai ujung kepala penisnya. Kemudian, kembali, mas Manto menghentakkan pinggulnya maju. Menghujamkan batang penis raksasanya dalam-dalam keliang vaginaku.
"Ooouuuuugggghhh...sakit mas...pelan-pelan" Kembali, aku merasakan dinding vaginaku begitu penuh sesak menyambut penghuni barunya. Rasanya menohok sampai ke ulu hati.
"Gimana?" Tanya mas Manto dengan nada sombong. Dicabutnya penisnya perlahan dan kembali didorongnya masuk. Maju, mundur, maju, mundur, maju, mundur. Berulang kali mas manto melakukan gerakan yang sama. Mencabut dan menusuk celah vaginaku dengan tajam. Semakin lama semakin cepat, semakin cepat dan semakin cepat.
"Shhhh....enak bangets mas" Ujarku sambil berusaha menjaga payudaraku agar tidak terlalu banyak ikut bergoyang seiring kencangnya sodokan batang penis mas Manto dari belakang "Ssshhh...sodok memek adek mas...sodok yang kencang...terus mas"
Dengan kedua tangan besarnya yang masih memegang erat pinggulku, mas Manto perlahan memasukkan batang penisnya lebih dalam lagi "Hhmmm...mau mas tusuk lebih dalam lagi rupanya"
Kuanggukkan kepalaku dengan yakin "Oooowwwhhh...ya mas...begitu...sodok lebih dalam lagi mas" kusunggingkan senyumku sambil menengok ke belakang, kulihat suami baruku memejamkan mata, seperti sedang menghayati setiap tusukan yang ia lakukan. Dengan satu hentakan tajam "mampus kamu dek" didorongnyaseluruh batang raksasanya untuk dapat masuk ke dalam vaginaku.
"OOOWWwwwhhh... massshh" erangku lirih "Besar sekali kontolmu mas...sampai mentok banget"
"PLEK" suara tumbukan paha mas Manto dengan pantat semokku.
Suara itu terdengar begitu keras dan nyaring. Dapat kurasakan penis itu menyodok keras dinding terdalam mulut vaginaku, bahkan aku rasakan penis itu mampu menyentuh ujung rahimku. Ditambah dengan rasa geli akibat rambut jembut yang tumbuh super lebat di pangkal batangnya, mas Manto selalu mampu menggelitik vagina dan anusku. Selama hampir 5 detik, mas Manto membenamkan seluruh batang penisnya berada di dalam liang kenikmatanku. Dan selama itupun, dinding vaginaku yang terasa penuh itu dapat merasakan kedutan lembut batang penisnya. Dengan super pelan, ditariknya batang penis itu keluar dari vaginaku.
"Ohhh...Masss" Ketika mas Manto menarik perlahan batang penisnya, aku dapat merasakan, seolah-olah seluruh dinding vaginaku dibajak oleh kepala penisnya. Dan begitupun dengan bibir vaginaku, yang karena saking eratnya mengempot, ikut tertarik keluar seiring cabutan batang penis mas Manto.
Vaginaku membanjir, dan saking banyaknya lendir cintaku, tiap kali mas Manto menyodokkan batang penisnya ke vaginaku, ada busa putih yang keluar dari vaginaku. Busa putih itu mengiringi gerakan nya maju mundur. Semakin cepat ia menggerakkan batangannya, semakin banyak pula busa putih itu dikeluarkan vaginaku. Walhasil, tak sedikit pula cairan dan busa itu yang perlahan mengalir turun ke paha dalamku.
"PLEK" kembali dihentakkannya pinggulku kearah selangkangannya dengan keras, menusuk tajam sampai kembali menyentuh mulut rahimku. Kembali, didiamkannya beberapa saat, ditariknya dengan gerakan super pelan.
"PLEK" kembali kurasakan kenikmatan super sensitive dari dinding liang vaginaku.
"PLEK" Dihentakkan batang penisnya dalam-dalam, dibiarkan sejenak, lalu ditariknya perlahan.
"PLEK" sampai akhirnya
"Oowwhh...Aku keluar mas...Aku udah keluar"
Kelopak mataku melotot, bolamataku berputar keatas dan hanya menampakkan warna putih. Mulutku menganga lebar sampai membentuk huruf "O". Tubuhku menggelijang dengan hebat dan ambruk ke bawah, menghempaskan payudaraku dengan keras ke atas kasur.
"Aku udah keluar lagi mas" Tangan dan kepalaku bergidik, bergerak tak terkontrol, mengikuti gelombang kenikmatan yang dipancarkan organ kewanitaanku. Gelombang birahi yang terpuaskan.
"Sama-sama dek" jawab mas Manto seolah aku berkata terima kasih.
Mas Manto mendiamkan batang penisnya dalam-dalam di vaginaku, dan menjatuhkan badan kekarnya kedepan. Meraih payudaraku yang terhimpit tangan, dan bibir bak mandinya serta memelukku dari belakang. Dikecup pundakku sambil sesekali mengusap dan meremas bongkahan empuk payudaraku. Orgasme, orgasme, dan orgasme. Entah, sudah berapa kali sensasi nikmatnya orgasme aku rasakan di pagi hari ini. Dan hanya dengan batang penis hitam berurat milik mas Manto, aku bisa merasakan sensasi seperti ini, menggelijang-gelijang keenakan.
"Empotan ayammu sungguh dahsyat dek" ujar mas Manto. memang, ketika orgasme, vaginaku selalu berkedut hebat, seolah memiliki system otomatis, mengempot dan mengurut batang penis mas Manto yang telah masih keras terbenam di liang vaginaku. Seolah empotan dan urutan itu adalah imbalan yang setimpal atas kenikmatan yang aku terima. "Kuat banget" Aku hanya bisa tersenyum. Kadang aku merasakan ada keanehan pada diriku, biarpun mas Manto hanya melakukan gerakan dengan cara menghentak-hentakkan batang penisnya dengan rentang tempo yang pelan dan sedikit, aku bisa mendapatkan orgasmeku kembali. Mas Manto memang pejantan sejati. Hal yang tak pernah bisa dilakukan oleh suamiku yang sebenarnya. Walau mas Andri bertindak sebrutal apapun ketika bercinta denganku, sekeras dan sesakit apapun ketika menusuk vaginaku, orgasme yang diberikannya sungguh sangat lain. Tak sehebat dan sedahsyat dengan apa yang aku terima dari mas Manto. Sungguh, keperkasaan penis mas Manto benar-benar membuat jarak dan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan mas Andri, suamiku. Baik dalam kualitas atau pun kuantitas. Tak terasa, sudah lebih dari dua menit, kami berdua terdiam dalam posisi bertumpukan seperti ini. Nafasku sudah mereda, dan tubuhku sudah mulai bisa aku kontrol.
"Kamu nggak mau keluar lagi mas?" tanyaku kepada mas Manto yang berlulang kali mengecup pundah dan tengkukku.
Tanpa ditanya dua kali, mas Manto langsung melepas remasan di payudaraku, menegakkan badannya dan mulai menarik batang penisnya.
"Uuuhh...uuhh...uhh" tangan kananku langsung mencengkeram pantat hitam mas Manto. "Pelan-pelan mas... masih sedikit ngilu"
Diremasnya bongkahan pantatku dan dibukanya lebar-lebar kearah samping "Lendir kamu banyak banget dek"
"Iya mas" sambil meringis ngilu, aku coba mengumpulkan kembali sensasi kenikmatan birahku yang mulai meninggi "Itu emang cirri khas memek aku mas"
"Aneh" Kata mas Manto pelan.
"Kenapa...?"
"Kata banyak orang...kalo wanita punya memek becek kayak punya kamu ini, rasanya seperti diempot nenek-nekek"
"Aaahhh...jadi kamu bilang memek aku kayak memek nenek-nekek...?"
"Bukan gitu dek Lianiku sayaaaaannng" kembali bongkahan pantat putihku dibuka lebar-lebar ke samping "Memek kamu tuh aneh...dia mampu menepis semua anggapan itu"
"Aah...kamu tuh mas" nadaku mulai sewot.
"Bener...baru kali ini aku ngerasain, memek becek yang super legit"
"Uudah ah...kalo nggak mau ngewe ma adek lagi... adek pulang aja" jawabku dengan sengit.
"Sumprit dek...sumprit...aneh banget...walau lendirnya buanyak banget...tapi rasa memek kamu tuh...super ketat...sempit banget dek... mirip memek anak sekolahan"
Kuputar kepalaku dan kutatap wajah mas Manto "Emangnya mas pernah ngerasain memek anak sekolahan...?"
"Kata orang-orang sie" Jawabnya enteng sambil mengembangkan senyum kuda andalannya. Tak lama, mas Manto pun mulai mempercepat sodokan penisnya.
Diusapnya cairan vaginaku yang meleleh turun di pahaku, dibersihkan dengan kedua balah tangannya. "Sumpah...nie lendir kok nggak ada habisnya yak...?" tanyanya heran.
Aku hanya diam, dan semakin menggoyangkan pantatku berlawan arah dengan hentakan pinggul mas Manto. Tiba-tiba, mas Manto menyentuh area duburku.
"Ngapain mas...?" tanyaku kaget.
"Nggak kok...Nggak ngapa-ngapain" jawabnya. "Pantat kamu bagus banget ya dek...mas baru sadar...putih dan semok " tambahnya. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan sembari kembali menyodok-nyodok vaginaku dari belakang.
"Oowwhh...terusin mas...sodok memek adek lebih kencang lagi"
Mas Manto kembali mempercepat sodokan tajamnya kevaginaku. Namun, tak lama berselang, kembali kurasakan jemari tangan mas Manto menyentuh area duburku.
"Hmmm...Sepertinya ada yang mau mencoba main kasar nih" batinku ingin tahu.
Kubiarkan saja ibu jari mas Manto memutar-mutari mulut duburku, aku ingin tahu sampai sejauh mana permainan ini akan berjalan. Perlahan, jemari mas Manto yang pada awalnya malu-malu menyentuh lubang duburku, sekarang mulai sedikit memberanikan diri. Dengan ibu jari tangan kanannya, ia mulai melakukan gerakan melingkar-lingkar. Aku pura-pura tak menyadari hal itu, dan untuk sesaat membiarkan ibu jari tangannya bermain-main di lubang duburku. Begitu mengetahui aku tak bereaksi sedikitpun ketika jempol mas Manto bermain di lubang duburku, ia bertindak semakin jauh. Tanpa sepengetahuanku, diambilnya busa vaginaku yang terus menerus keluar dari kocokan kelamin kami, lalu diusapkannya ke lubang duburku. Sepertinya mas Manto berusaha membasahi lubang itu supaya licin.
"CLEP" Satu ruas ibu jari mas Manto menusuk masuk ke liang duburku.
"Owwwhhh..." erangku "...Mas"
"Ya dek?"
"Ssshhhh...."
"Kenapa dek?"
"Terusin mas...enak banget" ucapku lirih.
"HAH...TERUSIN...?" kataku dalam hati "Liani...kamu gila...mas Manto tuh ingin melakukan seks anal keliang duburmu...itu adalah suatu tindakan yang bodoh...memangnya kamu nggak sadar...sebesar apa kelamin yang dimiliki suami barumu itu...?"
Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. aku hanya menggigit bibir bawahku, mencoba untuk menterjemahkan kenikmatan baru yang kurasakan dari lubang tubuhku yang lain. Kenikmatan asing dari liang duburku. Merinding, geli, dan sakit. Kurasakan sensasi yang benar-benar berbeda ketika mas Manto mulai menggerakkan ibu jarinya keluar masuk di liang anusku. Terlebih ketika mas Manto juga mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur seiring dengan tusukan ibu jarinya. Kupejamkan mataku, mencoba tuk merasakan kenikmatan ganda yang kuterima di liang vaginakaku dan lubang duburku. Dua lubang tubuh bawahku disodok oleh dua organ dalam waktu yang bersamaan. Sungguh sensasi yang tak dapat terukirkan dengan kata-kata. Sensasi jorok yang nikmat.
"Dek"
"Hhmmmhh...yah mas?"
"Boleh nggak...?"
"Ouughhh...ssssshhh...apa?"
"Tapi adek jangan marah dulu"
"Iya iya...adek nggak marah"
"Janji?"
"Apaan sie?"
"Janji dulu"
"Iya adek janji ga bakalan marah mas Mantoku sayang... buruan mas Mau apa?"
"Mas pengen ..." dihentikannya semua aktifitas yang mas Manto lakukan. Baik sodokan penis besarnya di vaginaku, maupun kelitikan ibujarinya di lubang duburku.
Mas Manto mengecup punggungku dan menarik nafas panjang. Dengan suara lantang dan tegas, ia berujar penuh harap kepadaku.
"Mas pengen masukin kontol mas di lubang pantatmu dek"
 
"Bentar mas... adek mau beli pembalut dulu..." kataku ke mas Andri, suamiku.
"Pembalut? Loh bukannya kemaren kamu baru saja selesai mens..." tanyanya
"Iya mas... mungkin adek kecapekan jadi siklus mens adek agak kacau..."
Mas Andri langsung memeluk tubuhku "Tuuhh....khaaaannnn... kamu sih terlalu memforsir tubuhmu...jadi sampai sakit gini...udah, besok mas carikan kamu pembantu buat ngurusin rumah" katanya sambil mengecup keningku.
"Ahh...nggak usah mas...adek masih bisa kok...masih kuat mengurus rumah...adek cumin butuh waktu buat menyesuaikan diri sebagai ibu rumah tangga"
"Tapi kalau kamu sampai sakit gini dek...mas nggak tega ngelihatnya"
"Udah ah...mas nggak perlu khawatir...adek pasti bisa"
"Yakin?"
"Iya mas...adek yakin...jangan anggep adek seperti anak kecil ahhh...adek khan sudah jadi wanita dewasa yang bisa mengurus dirinya dan suaminya dengan baek..."
"Hhhmmm...oke lah kalau itu mau kamu dek..." kembali mas Andri mengecup keningku.
"Udah ah mas...adek malu mas cium-ciumin mulu...banyak orang yang ngliatin tuh"
"Yeeeeeeee....kamu khan istriku dek, wanita pendamping hidupku, kenapa harus malu? Mereka cuman iri aja ngliat aku bisa mendapatkan istri bak bidadari sepertimu...hahahahaha..." kata mas Andri sambil diam-diam meremas pantat bulatku lalu tertawa lantang.
Mendengar suamiku tertawa lantang seperti itu membuatku sedikit merasa bersalah, tidak, merasa sangat bersalah. Aku telah mengkhianati sumpah pernikahan kami. Sumpah suci dihadapan penghulu, wali dan saksi. Ikrar setia sehidup semati ketika kami menikah terkesan hanya sebatas ucapan biasa. Bagiku, semua sumpah itu seolah hilang, sirna begitu saja ketika nafsu bersetubuhku dengan orang lain muncul. Dua bulan belakangan ini, aku telah bermain api dengan mas Manto, suami tetanggaku. Terbakar oleh api asmaranya, api cintanya, api nafsunya yang selalu mendidihkan birahi dan menghilangkan pikiran warasku. Panasnya api itu, semakin lama mengubah sosokku dari Liani lama yang setia, menurut, kalem, menjadi Liani baru yang sering berbohong, suka berdebat, dan liar. Mengubahku menjadi menjadi Liani sinting, yang tanpa berpikir panjang telah berselingkuh dengan suami tetangganya dan rela memberikan sebagian sayang serta cintanya kepada lelaki lain selain suaminya. Liani sang pelacur murahan, yang telah merelakan tubuh dan seluruh aurat terlarangnya untuk dapat dinikmati oleh lelaki lain tanpa meminta imbalan sedikitpun. Liani sampah, yang tak menolak untuk dipermalukan dan diperlakukan tak senonoh oleh lelaki yang baru dikenalnya beberapa saat lalu
"Berapa totalnya mbak?" Tanya mas Andri sambil mengeluarkan kartu debit dari dompetnya.
"Delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah pak" jawab wanita penjaga kasir sambil tersenyum ramah.
"Itu sudah termasuk pembalut barusan?" Tanya mas Andri lagi
"Sudah pak"
Pembalut. Kembali rasa bersalah itu menghampiriku. Aku kembali teringat akan pertanyaan mas Andri barusan, mengenai siklus mensku yang tak menentu. Siklus mensku sebenarnya teratur, bahkan sangat teratur. Selalu datang setiap akhir bulan, sekitar tanggal 25 atau 26. Namun mengapa ditengah bulan seperti ini, aku membeli pembalut? Hal tersebut bukanlah dikarenakan siklus mens, melainkan......merinding, geli, dan sakit. Kurasakan sensasi ketika mas Manto mulai menggerakkan ibu jarinya keluar masuk di liang anusku.
"Dek"
"Hhmmmhh...yah mas?"
"Boleh nggak...?"
"Ouughhh...ssssshhh...apa?"
"Tapi adek jangan marah dulu"
"Iya iya...adek nggak marah"
"Janji?"
"Apaan sie?"
"Janji dulu"
"Iya adek janji ga bakalan marah mas Mantoku sayang... buruan mas Mau apa?"
"Mas pengen ..." dihentikannya semua aktifitas yang mas Manto lakukan. Baik sodokan penis besarnya di vaginaku, maupun kelitikan ibu jarinya di lubang duburku. Mas Manto menarik nafas panjang dan berujar lantang penuh harap kepadaku.
"Mas pengen masukin kontol mas dipantat kamu"
Flashback. Teringat aku akan kejadian yang menyakitkan kemaren, kejadian dimana mas Manto memperawani lubang duburku. Walaupun pada mulanya aku menolak, namun entah kenapa pada akhirnya aku menganggukkan kepalaku. Mengijinkan lelaki yang bukan suami resmiku melesakkan penisnya menerobos gerbang anusku. Dengan semangat yang menggebu-gebu, mas Manto menghentikan gerakan menyodoknya, mencabut bonggol batang penisnya dari vaginaku yang masih berlumuran busa putih hasil pergumulan alat kelamin kami, lalu langsung menancapkan ke liang duburku.
"OOOUUuuggghhh....sakit mas...pelan-pelan" teriakku keras.
"Tenang dek... tahan sebentar..." ucapnya sambil meremas dan merenggangkan buah pantatku, berusaha membuka liang duburku lebar-lebar.
"Pelan-pelan mas...bo'ol adek sakit banget"
"Emang awalnya sakit dek...tapi lama-lama juga terasa enak kok...malah sangat enak...cuuhhhh" ucapnya sambil meludahi liar duburku.
Diusapnya sekeliling urat lubang pantatku yang berwarna kemerahan itu dengan jari kasarnya, mencoba melumasi sampai selicin-licinnya. Tak lupa, mas Manto juga meludahi sekujur batang penisnya agar coblosannya dapat ia lakukan dengan mulus. Dengan satu sentakan keras, mas Manto mendorong pinggulnya sekuat tenaga.
"EEeeggghhhh..."
Kucoba menahan rasa sakit yang menusuk tubuh bagian belakangku itu. Kupejamkan mataku dan kugigit dalam-dalam bibir bawahku supaya teriakanku dapat sedikit teredam. Kurasakan, ujung kejantanan mas Manto menggeliat-geliat, berusaha menerobos barisan urat duburku. Gumpalan daging kebanggaan mas Manto itu terasa bagai pentungan kayu yang begitu keras, begitu padat, yang sanggup menjebol pertahan sekuat apapun. Karena tak perlu waktu lama, lingkar urat duburku perlahan membuka, terkuak, dan tak sanggup menahan desakan kepala penis mas Manto yang berusaha masuk itu.
"CLEP" akhirnya, kepala penis mas Manto yang berukuran ekstra besar itu berhasil melesak masuk kedalam liang duburku. Sekuat tenaga, kucoba menahan rasa sakit yang menusuk tubuh bagian belakangku itu namun tetap, tak tertahankan.
"AARRrrggggghhhhh....stop mas... STOOOP!!!" teriakku "Berhenti sebentar mas" tambahku, sambil kembali menahan desakan maju pinggul mas Manto dengan tangan kananku.
Mendengar teriakan kesakitanku. Mas Manto menghentikan sejenak desakan pinggulnya. Membiarkan kepala penis dan setengah batang hitamnya menancap erat di lubang duburku.
"Pantat kamu peret banget dek" kata mas Manto sambil mengelus pinggangku perlahan.
"Sakit banget mas..." kataku.
"..............." mas Manto tak berkata apapun.
Rasanya sungguh LUAR BIASA sakit. Semua ludah, cairan vaginaku dan rangsangan jemari yang mas Manto lalukan beberapa saat lalu, sama sekali tak memberikan efek nyaman kepadaku, tak sedikitpun.
Kutengokkan kepalaku, dan kutatap raut muka suami baruku yang berada dibelakang sana. Seolah tak terjadi apa-apa, mas Manto hanya memiringkan kepalanya, dan tersenyum tenang. Perlahan, telapak tangan kasarnya mulai mengusap buah pantatku, meremas, sambil sesekali kembali menguak lubang duburku yang masih mencengkeram batang penisnya.
"Cuuuhhh...terusin ya dek?" pintanya lagi sambil kembali meludahi lubang duburku.
"..............." Aku tak menjawab.
"Dek? Dek Liani? Mas terusin yah...?" tanyanya lagi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meminta persetujuanku.
"..............." kembali aku tak menjawab, hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca, meminta ampun darinya.
"Nggak boleh ya?...Yaudahlah..." mas Manto menghela nafas panjang dan mulai menarik separuh batangnya yang sudah tertanam di liang duburku. Pelan-pelan, batang hitam itu ditariknya keluar dari dalam duburku.
"OOOoohhhh" bulu kudukku tiba-tiba meringing. Detak jantungku tiba-tiba terasa berdetak lebih cepat lagi dan nafasku mendadak tersekat. Sesaat, kurasakan sensasi aneh yang belum pernah aku rasakan sepanjang hidupku. Rasa geli yang menggelitik, rasa gatal yang nikmat dan denyutan yang menggetarkan liang duburku, muncul seiring tarikan keluar batang penis mas Manto. Enak sekali. Spontan, kuremas paha kanan mas Mantoku, dan menghentikan gerakan mundur pinggangnya.
"Jangan mas...jangan dicabut..."
"Hoh??"
"Jangan dicabut mas...sodok bo'ol adek lagi..." ujarku sambil membungkukkan tubuhku kedepan. Semakin kulebarkan bentangan kakiku dan berpegangan erat pada bibir bak mandi.
"Bener dek?" tanyanya dengan nada riang, mirip anak-anak ketika baru saja mendapatkan mainan baru.
Kuanggukkan kepalaku pelan dan tersenyum kearahnya.
"Makasih ya dek Lianiku...makasih banget dek...cuuuuhhh"
Bak mendapat tenaga baru, mas Manto langsung menghentakkan pinggulnya maju sekeras-kerasnya. Melesakkan batang raksasanya kembali masuk dan menjebol liang duburku.
"ARRGGggg....Pelan-pelan mas...pelan-pelan" erangku namun eranganku terdengar tak berarti sama sekali.
Bak bercinta dengan mahluk tunarungu, mas Manto tak menghentikan desakan penisnya sedikit pun. Seolah sedang berlomba, sodokan penis mas Manto semakin kuat, pinggul kekarnya ia hentakkan maju sekuat mungkin. Mas Manto sepertinya lupa akan ukuran penisnya yang super besar itu. Rasa sakit, perih, panas, semua rasa negatif itu kembali berkumpul menjadi satu, seolah ikut masuk kedalam tubuhku melalui lubang duburku. Penuh sekali. Lubang duburku seolah dipaksa untuk merenggang selebar mungkin. Rasa yang teramat sakit itu semakin terasa, seiring dengan desakan kepala dan batang penis raksasa mas Manto ketika berusaha ia lesakkan jauh lebih dalam lagi. Erangku tak ia gubris, air mataku pun tak ia hiraukan. Sakit sekali. sampai kupukul-pukul kepalan tanganku ke bibir bak mandi tempat tanganku bertumpu untuk mencoba mengalihkan perhatian otakku ke sakit pada tanganku. Kugeleng-gelengkan kepalaku tanda penolakan yang amat sangat. Namun, sepertinya semua telah terlambat. Mas Manto telah tenggelam dalam kenikmatannya di surganya sendiri. Surga dalam jepitan lubang duburku. Dengan kedua tangan kasarnya, mas Manto mencengkeram samping pinggangku erat-erat, dan ia mundurkan paksa kearahnya, sehingga penis berukuran panjangnya itu semakin melesak masuk kedalam liang duburku. Sampai tiba-tiba kurasakan geli-geli rambut kemaluan dan tepukan lembut dua buah kantong zakar mas Manto pada bibir vaginaku.
"Uuuhh mentok dek...sumpah...peret sekali bo'ol kamu" lenguh mas Manto keenakan Sesaat, didiamkannya kembali penis besar itu didalam liang duburku.
"NYUT...NYUT...NYUT" Kurasakan pompaan darah di urat yang mengitari sekujur batang penis mas Manto berdenyut begitu hebat.
Karena seluruh batang panjangnya telah berhasil masuk seluruhnya kedalam liang duburku, mas Manto mulai memainkan kejantanannya. Mas Manto mulai menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur.
"OOoouuugghhh..."
Kembali kurasakan, kenikmatan garukan kepala penis mas Manto. Kepala penis miliknya itu menggaruk kasar dinding duburku, dan urat-urat yang mengitari sekujur batang penisnya juga ikut menggelitik bibir duburku. Nikmat sekali. Begitu batang penis itu tertarik sampai ujung, kembali mas Manto mencengkeram sisi pinggangku dan mendorong pinggulnya maju. Liang duburku kembali terasa begitu penuh dan menyesakkan perutku, namun entah kenapa, aku ingin merasakan bagaimana jika batang penis itu keluar masuk dengan cepat pada liang duburku. Ditarik, didorong, ditarik, didorong. Semakin lama, semakin cepat sodokan batang penis mas Manto pada liang duburku. Tak henti-hentinya mas Manto meludahi kelamin kami masing-masing sehingga penis dan liang duburku semakin basah oleh air liurnya.
"Enak banget dek...sumpah...peret banget..." desah mas Manto.
"Ooouuhhh" desahku juga, seolah menjawab pernyataan mas Manto barusan.
"Enak dek...?" tanyanya lagi.
"Hoo.... Ooouuhhh" jawabku sekenanya sambil menganggukkan kepalaku.
"Masih sakit?"
"Masih..." Kataku sambil menganggukan kepala " Abisan kontolmu gedhe banget mas"
"Tapi enak khan...?"
Kuanggukkan kepalaku dan tersenyum kearahnya. Memang benar, pada akhirnya, akupun menyerah akan kenikmatan yang aneh pada lubang belakang tubuhku ini. Gelitikan dan garukan kepala penis mas Manto pada liang duburku, benar-benar beda. Mungkin karena belum terbiasa, kurasakan batang penis mas Manto terasa lebih geli ketika bermain di dubur, daripada di vaginaku. Dengan tangan kananku, aku mulai mempermainan putting susuku. Malah terkadang aku juga merogoh biji kelentitku guna menyeimbangkan kenikmatan yang kuraih dari rongga belakang tubuhku.
"Ouuggghh...terus mas...sodok memek adek lebih dalam lagi mas...enak banget" pintaku ke mas Manto.
Sepertinya sedikit-demi sedikit, aku mulai bisa melupakan akan rasa sakit yang semula menusuk lubang duburku. Dan perlahan aku pun mulai tenggelam dalam gelombang kenikmatan seiring dengan sodokan tajam penis panjang milik suami tetanggaku ini. Towelan jemariku pada biji kelentitku pun semakin cepat, hingga cairan vaginaku juga semakin banyak merembes mengalir membasahi paha dalamku. Sampai suatu saat, ketika sedang enak-enaknya menikmati perzinahan melalui liang duburku, aku dikagetkan oleh lenguhan mas Manto.
"Ooohhh...ooohh...ohhh..." teriak mas Manto tiba-tiba sambil menggerakkan pinggulnya keras keras dan menghujamkan tusukan batang penisnya ke pantatku.
"Ooooouuuuggggghhhhh...aku nggak kuat lagi dek...aku nggak kuat..."
"Tahan bentar mas...tunggu adek...adek juga pengen keluar" pintaku.
Kupercepat towelan pada biji kelentitku. Aku juga ingin segera mendapat orgasme pertamaku, orgasme yang kuperoleh dari lubang duburku.
"Tahan mas...adek juga pengen keluar bareng..."
Namun, sekuat-kuatnya mas Manto, akhirnya ia kalah juga. Kalah oleh sempitnya lubang duburku. Kalah oleh empotan dinding duburku. Kalah oleh jepitan dubur perawanku.
"Mas nggak kuat lagi dek ... mas mau keluar ...mas keluar..." teriak mas Manto lantang.
"CROOOT... CROOT... CROT..." enam semburan kencang sperma mas Manto langsung memenuhi liang duburku. Kali inipun kembali kurasakan sensasi yang berbeda. Cairan kenikmatan mas Manto terasa jauh lebih banyak dan lebih hangat daripada sebelumnya. Bukan hangat, melainkan cenderung lebih panas daripada saat menumpahkan spermanya di dalam rongga rahimku. Untuk beberapa lama, mas Manto mendiamkan goyangan pinggulnya, dan membiarkan penis panjangnya tertanam di liang duburku. Kurasakan batang penisnya berdenyut kencang, seiring dengan semburan sisa-sisa cairan spermanya. Nafas mas Manto memburu, badannya hangat, keringatnya menetes membasahi punggungku, dan detak jantungnya berdegub dengan kencang. Mirip seperti orang selesai melakukan olahraga.
"Bo'ol kamu enak banget dek...uuuuuuueeeeeeennnnnnnnaaaa aaaaakkkkkkk" ucapnya sambil memeluk dan mengecup punggungku dari belakang "makasie ya dek Lianiku..."
"Iya mas...kontol kamu juga enak banget..." jawabku "tapi kok cepet banget ya keluarnya kamu mas?...biasanya khan adek yang keluar duluan...baru setelah itu kamu?"
"Sumpah dek...jepitan bo'ol kamu kenceng banget...jadi mas nggak sanggup lagi menahan dorongan peju mas biar nggak keluar" ucapnya.
Diremasnya perlahan buah pantat putihku sambil sesekali dibukanya bongkahan pantat itu kesamping, memperlihatkan penis besarnya yang masih menancap dalam-dalam di lubang duburku.
"Bo'ol kamu memang nggak ada duanya dek..." pujinya.
"Halah gombal" jawabku singkat sambil tersipu malu.
"Aku sayang kamu dek..." ucapnya lagi "dah yuk...kita mandi trus bubu siang"
"Hah...? Kok bubu siang?"
"Loh? Khan ngentotnya udah selesai?"
Yeeeee....bentar dulu donk...adek khan belum dapet jatah keluar..." kataku sambil mengernyitkan hidungku ke arahnya.
"Hehehe...oh iya-iya...mas lupa..."
"Dasar babon"
"Heheheh...kamu tenang aja dek...sehabis mas istirahat...kamu pasti dapet kok" ucap mas Manto sambil memamerkan deretan gigi kuningnya.
"Enak aja...nggak pake istirahat-istirahatan..." ketusku "nanggung nih...adek udah nggak tahan...buruan sodok lagi sekarang"
"Waduh...bentaran aja dek...kontol mas bisa kering kalo langsung digenjot begini"
"BODO...Awas aja sampai nggak...adek bakal cincang kontol kamu mas"
"Aduh...jangan donk..." pintanya "Istirahat bentar yak?"
"Hmm......" kupikir, ada benarnya juga saran suami baruku ini. Sudah hampir 3 jam kami memburu kenikmatan ragawi. Semenjak pukul 9 sampai sekarang, hampir jam 12 kami berlomba-lomba mendapatkan kenikmatan, mungkin memang ini waktu yang tepat untuk sedikit beristirahat.
"Ya udah...tapi bener loh...AWAS kalo nggak!!" ancamku.
"Siap tuan putri...hamba mandi dulu yah..."
Perlahan, mas Manto mulai menarik penisnya yang mulai mengecil itu. Kurasakan, seiring tarikan penis mas Manto, cairan spermanya pun ikut merembes keluar dari lubang duburku. Geli akan gelitik kepala penisnya ketika mas Manto cabut dari liang duburku, serta rasa sakit pada dinding duburku, membuat bulu kudukku merinding.
"Sensasi nikmat persetubuhan yang aneh..." batinku dalam hati.
Namun ketika aku masih terlena akan kenikmatan baru pada liang duburku, tiba-tiba, kami berdua dikagetkan oleh cairan hangat berwarna putih kemerahan yang keluar seiring tarikan batang penis mas Manto dari dalam liang duburku. Kulihat kebelakang ke arah pantatku, dan dengan tangan kananku, kuraba cairan hangat yang merayap turun melalui pahaku...
"DEG" Jantungku seolah berhenti berdetak.
Jemari tanganku belepotan oleh cairan berwarna kemerahan. Otak sehatku langsung berpikir keras, mencari tahu apakah cairan merah tersebut. Ternyata, setelah kuamati, sepertinya anusku berdarah. Mendadak, kurasakan rasa yang amat sakit, perih, panas dan seperti terbakar. Liang anusku robek, dinding anusku pasti tak mampu menerima penuhnya desakan batang penis mas Manto yang ekstra besar itu. Melihatku lubang pantatku berdarah mas Manto panic, buru-buru ia menarik paksa batang penisnya untuk dapat segera keluar dari liang pantatku. Karena tanpa persiapan, begitu kepala penis mas Manto berhasil seluruhnya tercabut, kembali rasa sakit itu menghampiriku.
"PLOP!"
"OOUuuuugggghhhh" Sakit sekali.
Cairan berwarna merah langsung mengucur seiring keluarnya penis besar mas Manto dari lubang anusku. Batang penis yang begitu besar itu meninggalkan rongga anusku terbuka dan menganga lebar.
"Sepertinya susah untuk dapat mengatupkan kembali bibir duburku..." batinku.
***
"Dek...kok diam saja" Tanya mas Andri sambil melambai-lambaikan tangannya didepan mukaku. Pertanyaan suamiku itu langsung membuyarkan segala lamunanku.
"Eh...ke...kenapa mas?" jawabku gugup.
"Ini belanjaannya sudah semua..." ujarnya lagi sambil tersenyum lebar.
Senyum mas Andri begitu tulus. Ingin rasanya aku bersujud di kaki mas Andri tuk meminta maaf. Aku merasa seperti pelacur murahan, yang menjajakan kenikmatan liang tubuhnya kepada setiap lelaki yang lewat. Bak sampah yang sangat tak berharga, aku merasa hina berdampingan dengan orang sebaik mas Andri, suamiku.
"Yuk...kita pulang... "
Aku hanya mengangguk. Andai lidah bisa berkata, andai bibir bisa bercerita.
"Maafkan adek mas...sudah membohongimu...sudah menyelingkuhimu"
"Maafkan adek mas...sudah membiarkan tubuh sucinya ini dilihat...disentuh...dan dinikmati oleh laki-laki lain..."
"Maafkan adek mas...jika sangat menikmati perzinahan yang adek lakukan"
"Maafkan adek mas..."
***
Tak terasa, sudah hampir seminggu waktu berlalu semenjak kejadian anal dengan mas Manto. Tubuhku pun sudah kembali fit, tak lagi perlu memakai pembalut guna mencegah darah yang merembes keluar dari lubang duburku. Cara berjalanku pun sudah normal, tak lagi mengkangkang, mirip seperti bocah yang habis dikhitan. Dan empat pagi hari ini, akupun telah dapat melaksanakan semua tugasku sebagai istri dengan baik. Karena aku sudah dapat melayani hasrat birahi suamiku sepenuhnya. Gairah seksku yang beberapa hari kemarin sempat menghilang karena sakit yang kuderita pada duburku, perlahan mulai kembali lagi. Gatal di vaginaku pun mulai kembali membabi buta, ingin selalu disodok, ditusuk, dihujam oleh batang kejantanan pria. Mas Andri tampaknya mulai merasakan perubahan pada diriku. Suamiku sepertinya menyadari bahwa istri tercintanya berubah menjadi semakin liar, nakal, dan binal. Ucapan jorokku, pikiran kotorku, dan gaya bercintaku yang brutal, sedikit demi sedikit mulai diketahui mas Andri. Namun hal itu sepertinya bukanlah menjadi suatu masalah, karena sampai detik ini, mas Andri masih sayang dan mencintaiku apa adanya. Mas Andri pun, semenjak beberapa hari lalu, telah aku ijinkan untuk mencoba liang duburku. Liang belakang tubuhku yang semenjak awal pernikahan kami, ingin sekali ia jebol. Berulang kali suamiku mengucapkan kata sayang dan terima kasih, atas kado birahiku padanya. Ia benar-benar menyukainya. Begitu pula denganku, sepertinya aku sudah mulai terbiasa untuk menggunakan asset tubuh belakangku yang satu ini. Malah sepertinya, aku sudah mulai menikmati nikmatnya bersodomi.
***
Pagi itu, tubuh bagian bawahku kembali basah untuk kesekian kalinya. Cairan kenikmatanku merembes keluar dari bibir vaginaku, dan sperma kental suamiku juga sedikit demi sedikit ikut menetes keluar dari liang duburku. Cairan kenikmatan kami sama-sama merayap, mengalir turun melewati paha dalam dan betisku. Sekarang, tak ada darah, tak ada sakit, hanya kenikmatan yang kurasakan dari kedua liang tubuhku. Dari balik terali jendela, kutatap mobil kerja mas Andri yang perlahan menghilang di balik tikungan komplek perumahan kami. Ya, mas Andri telah dipercaya kantor untuk dapat menggunakan fasilitas kantor, dan dalam beberapa waktu belakangan ini, karir suamiku melesat begitu pesat. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan karir suamiku, aku menjadi sedikit ia lupakan. Mas Andri menjadi semakin gila akan bekerja, berangkat semakin pagi dan pulang semakin malam.
"Sudahlah... toh semua itu juga demi kebahagiaan kami berdua" batinku pasrah.
Kulihat keadaan sekitar rumahku. Sepi, hanya ada beberapa balita yang sedang bermain, berlarian di lapangan rindang yang ada di tengah-tengah komplek perumahan kami. Ibu-ibu terlihat sibuk, berlarian kesana kemari sambil membawa mangkok nasi dan menangkapi anak-anak mereka untuk disuapi, sungguh seru melihat tingkah mereka. Tak jauh dari tempat ibu yang sedang menyuapi anak-anaknya, duduk ibu-ibu hamil yang juga sedang tertawa-tawa. Membahas gossip dan nasib mereka masing-masing. Ingin rasanya aku keluar dari rumah ini, dan ikut bergabung dengan mereka. Bergosip dengan sesama wanita, mirip semasa aku masih duduk di bangku kuliah dulu. Walau sekarang mungkin apa yang digosipkan jauh berbeda dengan masa-ku dulu, tapi paling tidak aku bisa menghabiskan waktu senggangku ketika sendirian dirumah seperti ini. Namun ketika sedang melihat keasyikan mereka, tiba-tiba aku merasa pesimis, minder, dan iri. Kutatap tubuhku polosku ini. Tubuh ramping yang masih menebarkan aroma segar persetubuhan pagiku dengan suamiku. Tubuh yang masih meneteskan sisa-sisa sperma dari liang vagina dan duburnya.
"Kapan ya aku bisa hamil? Kapan ya aku bisa memiliki momongan? Kapan ya aku bisa bermain dan bercanda dengan buah hatiku?" tanyaku dalam hati.
"Aku juga ingin memiliki gundukan besar yang menempel didepan perut, berisikan janin hasil cintaku dan suamiku...memiliki tubuh gemuk nan cantik, khas tubuh ibu-ibu hamil... mengidamkan sesuatu yang dapat merepotkan suamiku..."
Sudah lebih dari 3 tahun aku dan mas Andri menikah, namun sampai detik ini, belum ada tanda-tanda tentang kehamilanku sama sekali. Aku hanya bisa mengelus perut rataku, dan menghela nafas panjang. Kuambil daster tipis dan celana dalam yang teronggok merana disudut sofa ruang tamuku dan mulai kukenakan lagi satu persatu. Aku merasa mulai jenuh dengan kondisi yang sepi di siang hari seperti ini. Setelah tugasku sebagai istri selesai, sepertinya tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Semua acara TV pun sepertinya tak layak tonton, karena hanya berisikan sampah dan curhat masyarakat. Sinetron ulangan yang tak bermutu, ditambah iklan murahan yang selalu menghipnotis pemirsa untuk segera membelinya. Aku bosan. Satu-satunya kegiatan yang bisa membuat waktu cepat berlalu adalah, tidur siang. Kubiarkan tubuhku terlempar dan membal diatas kasur empukku. Kurentangkan tangan dan kakiku lebar-lebar sambil menatap langit-langit kamar tidurku. Di tengah kesunyian yang begitu membosankan ini, kembali terlintas ingatan mesum ketika aku bersama suami tetanggaku. Bersamanya, siang hari tak pernah menjadi begitu membosankan. Bersamanya, siang selalu menjadi saat yang paling mengasyikan, saat yang paling ditunggu-tunggu dan tak ingin segera berlalu. Namun sekarang, semenjak kejadian "siang berdarah" itu, entah kenapa, sudah seminggu ini mas Manto tak kelihatan sama sekali. Kupejamkan mataku, berharap dewa mimpi khan segera menghampiriku, dan mengajakku berkelana di alam mimpinya. Kembali aku menghela nafas. Mungkin mas Manto sudah melupakanku.
***
Suatu sore, sepulang mas Andri kerja, ia sengaja menyempatkan waktu dan mengajakku refresing untuk makan malam diluar. Dengan mobil kerja milik kantor mas Andri, kami menyusuri jalanan kota. Mencari-cari makanan yang pas untuk menemani sore yang mendung ini.
"Bakso atau soto dek?"
"Hmmmm...soto deh kayaknya mas...adek laper banget"
"DEPOT SAMIDI..." teriak kami berdua spontan sambil tertawa lantang. Kami berdua memikirkan hal yang sama
"Oke deh cantik... segera meluncur..." katanya sambil mencubit hidung mungilku.
Tak lama, mobil yang kami naiki segera masuk ke halaman depot soto terenak di kotaku. Depot Samidi, depot andalan kami ketika ingin memanjakan lidah. Depot itu sebenarnya depot biasa yang menjual semua jenis makanan. Mirip warteg, namun masakan yang paling tenar adalah sotonya. Dan hal itulah yang membuat depot Samidi selalu ramai dikunjungi pembeli. Setelah memarkir mobil, kami segera masuk dan mencari tempat duduk. Pak Samidi, pemilik depot segera menyambut kedatangan kami, ia segera menyuruh anak buahnya mengantar kami ketempat duduk yang masih kosong. Kami mendapat tempat duduk di bagian paling ujung dan tepat disamping jendela yang menghadap ke area parkir. Tak berapa lama, setelah kami selesai memesan makanan, tiba-tiba aku lihat dari kejauhan ada sepasang suami istri dengan motor bututnya, masuk ke halaman parkir depot Samidi.
"Itu mas Manto dan mbak Narti" dadaku mendadak berdegup dengan kencang.
Jantungku langsung memompa darah ke sekujur tubuhku dengan cepat. Badanku pun memanas. Entah kenapa aku gugup, bingung, dan tak mampu berpikir.
Pasangan suami istri itu segera turun dan berjalan kearah pintu masuk depot. Mas Manto dan mbak Narti celingukan mencari lokasi tempat duduk yang kosong. Sampai pada akhirnya, mas Manto langsung dapat mengetahui lokasi kami berdua.
"Eh dek... itu sepertinya mas Manto dan mbak Narti ya?" Tanya mas Andri yang ternyata juga melihat kedatangan mereka.
"Sepertinya bener deh mas..." jawabku.
Langsung saja mas Andri melambaikan tangannya kearah mereka "Kita ajak aja mereka bergabung kemari"
Pasangan suami istri itu sadar jika mereka sedang kami bicarakan. Karena tak lama, mbak Narti segera membalas lambaikan tangan suamiku. Digandengnya tangan mas Manto dan langsung berjalan ke arah kami.
"Waah...ada mas Andri dan mbak Liani...." Sapa mbak Narti "Kok tumben makan-makan disini ...?"
"Hehehehe... iya nih mbak... mumpung saya bisa pulang agak sorean, jadi disempet-sempetin deh buat makan bareng Liani..." jawab suamiku "Yah itung-itung mengingat masa pacaran dulu....ayo gabung mbak..."
"Waduh terima kasih... jadi ngrepotin..."
Mas Andri beranjak dari duduknya "Justru saya yang merasa nggak enak kalo mbak sama mas sampai menolak" ucap mas Andri berdiri sambil mempersilakan mbak Narti duduk "Udaaaah duduk aja dulu... yuk mbak... mas..."
Meja tempat kami makan berisikan 4 kursi plastic yang saling berhadapan dan bertaplak panjang. Aku yang duduk dekat jendela, berseberangan dengan mbak Narti. Dan mas Andri berseberangan dengan mas Manto. Tak lama, seperti teman lama yang bertemu kembali, kami saling bertukar cerita. Apa saja kami ceritakan.
"Ya ampun hampir lupa...Pak Sam (nama tenar pak Samidi) Soto specialnya lagi ya...dua..." teriak mas Andri lantang, sambil mengacungkan 2 jarinya "Super lengkap dan tambah lagi 2 teh botol ya..."
"Sssiiiiaaap bos..." jawab pak Samidi bakso tersebut sigap sambil menempelkan telapak tangan ke dahinya, mirip orang hormat ketika upacara.
"Wah sepertinya mas Andri sudah sering ya makan disini, sampai pak Samidi ngasih hormat kayak gitu..." ucap mas Manto sambil tersenyum lebar.
Kembali aku terpana melihat 'ketampanan' senyum mas Manto. Senyum menawan yang selalu membuat aku terlena. Kembali terlintas di memoryku. Saat-saat dimana sedang berasyik masyuk dengan mas Manto, saat ketika sedang bercengkrama dan bercinta, saat sedang mendaki lembah kenikmatan orgasme.
"Oh mas Manto"
"Bentar ya dek, mas tinggal dulu... mas mau ke toilet dulu..." kata mas Andri tiba-tiba, sambil mengecup pipiku.
"Eh...i...iya mas..." kagetku.
"Kamu layani saja dulu mas Manto dan mbak Narti ya dek...mas cuma bentaran kok" candanya sambil tertawa kearah kami bertiga dan berjalan menjauh kearah toilet.
"O iya mas...bentar ya...aku juga mau kewarung sebelah" pamit mbak Narti "Mumpung makanannya belum datang...mumpung masih sore juga...khawatir tokonya tutup"
"Emang kowe mau ngapain dek?" Tanya mas Manto.
"Mau beli kantong kresek buat jualan besok" tambahnya lagi sambil buru-buru berjalan meninggalkan kami berdua.
Mas Manto


Hampir 5 menit, setelah kepergian pasangan kami masing-masing, tak terjadi sedikitpun komunikasi diantara antara kami berdua.
Sunyi. Tak terucap sepatah katapun. Ada sedikit rasa kikuk yang memagari kami berdua. Seolah kami adalah pacar lama yang telah lama putus, dan dipertemukan oleh nasib. Diam seribu bahasa. Aku hanya mengutak-utik handphone yang sedari awal tak kulepaskan dari genggaman tanganku.
"Aku kangen kamu dek..." ucap mas Manto pelan
Aku terdiam, kupegang erat-erat handphone yang ada di tanganku dan kutatap benda elektronik itu dalam-dalam.
"Dek..." tanyanya lagi.
Aku tak menjawab.
"Masih sakit ya...?"
Aku mengangguk pelan.
"Maafin mas ya dek..." ucap mas Manto dengan nada yang penuh perhatian "Mas khilaf...merasakan enaknya pantat kamu...mas jadi ga bisa berpikir waras"
"Ya sudahlah mas..." kataku pelan "Udah nggak kenapa-kenapa kok...adek sudah agak baikkan"
"Ya nggak begitu dek...mas merasa bersalah...sudah membuat kamu kesakitan seperti kemaren...sampe berdarah-darah gitu"
"Udah-udah tolong jangan membahas kejadian kemaren ya mas...adek jadi ngilu kalo mengingat kejadian itu...adek sudah sehat kok..." kataku sambil berusaha senyum kearah mas Manto.
Kasihan sekali melihat raut wajah jelek mas Manto, dia terlihat begitu tua. Hitam dan tak terawat, beda sekali dengan suamiku. Namun ada pesona dari pancaran mata dan senyumnya yang selalu membuat aku begitu sayang kepadanya.
"Maafin mas ya dek..."
Aku masih tak menjawab. Melihat kebisuanku, mas Manto yang semula duduk berseberangan dengan kursi mas Andri, menggeser pantatnya dan berpindah ke tempat duduk yang ada di depanku.
"Dek...maafin mas ya dek..." ulangnya.
Aku tetap terdiam
Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan di ujung jari kakiku. Mas Manto mencoba mengalihkan perhatianku dengan menyenggol-nyenggol kakiku. Seolah mendapat sengatan listrik dari jemari kakinya yang kasar, darahku kembali berdesir. Kembali aku gugup akan tingkahnya.
"Dek Liani?" tanyanya lagi.
"..............." diamku.
Mungkin karena gemas melihatku tak menggubris semua pertanyaannya, mas Manto semakin berani mempermainkan jemari kakiku. Jemari itu mulai menyentuh punggung telapak kakiku. Merayap naik dan naik. Semakin naik keatas, kearah lututku.
"Mas jangan aneh-aneh...disini banyak orang..." jawabku singkat sambil berusaha memundurkan kursiku. Tapi sayang, hanya sedikit jarak antara sandaran kursiku dan tembok depot itu. karena begitu aku gerakkan mundur. "TUK" sandaran itu sudah membentur tembok. Tak mungkin lagi aku gerakkan mundur.
"Aku cuma mo minta maaf dek"
"Iya mas...iya...mas Manto sudah aku maafkan kok" jawabku singkat.
"Kalo udah dimaafin...Senyum donk dek..."pintanya.
"Udah ya mas...Ada mas Andri disini"
"Iya...tapi tolong...senyum dulu donk...biar hatiku tenang...dek Lianiku...istri baruku"
Seolah terkena mantra-mantra gaib dari mulut mas Manto, begitu mendengar kalimatnya barusan langsung membuatku kembali dimabok kepayang. Segera kusunggingkan senyum terlebarku. Aku tak kuat menahan rasa kangen di hatiku yang menggebu-gebu. Rasa kikuk itu tiba-tiba lenyap, hilang entah kemana. Walau mas Andri masih ada disekitar kami, hal itu kuanggap seperti bukanlah menjadi masalah untuk dapat kembali merajut benang-benang perselingkuhan antara aku dan suami tetanggaku. Terlebih ketika aku masih merasakan usapan jemari kasar mas Manto yang semakin naik ke lutut kakiku. Membuat nafsuku kembali mendidih. Jemari itu dengan sopan mengusap lutut dan berusaha untuk dapat masuk kedalam pahaku.
"Aku kangen kamu dek..."
Aku hanya tersenyum mendengarnya...
"Sumpah...nggak ketemu kamu seminggu ini rasanya seperti setahun" mas Manto mulai melancarkan rayuan mautnya "Aku kangen kamu dek... kangen istri baruku"
"Halah...gombal" jawabku lirih sambil tersenyum malu "Emangnya kamu kemana aja mas...seminggu tak telihat sama sekali?"
"Loh...Mas khan harus berganti shift kerja dek..." jawabnya sambil terus tersenyum "Seminggu kemaren...mas kena shift malam...jadi siangnya nggak bisa ngliat kamu"
Ternyata mas Manto tak menghindar dariku. Tugas satpamnya memang seperti itu, waktu kerjanya dibagi sedemikian rupa, supaya keamanan tempat mas Manto bekerja selalu terjaga 24 jam non stop.
"Kamu bener-bener cantik dek dengan daster tanpa tali seperti itu...Hijau pendek...mirip lemper..." rayunya memuji penampilanku "Apalagi rambut panjang kamu digelung keatas... rrrrrrrr...mas nggak tahan kalo melihat tengkuk putihmu itu loh..." tambahnya lagi sambil ia goyang-goyangkan tubuhnya mirip orang kedinginan.
"Halah basssiiiiii...bisa aja ngegombalnya..."
"Bener dek..." mas Manto celingukan, melihat situasi disekitarnya lalu berbisik lirih kearahku "Kontolku sudah ngaceng dari tadi dek...pingin ngerasain jepitan apem wangi kamu lagi" ujarnya sambil tertawa mesum.
Layaknya orang pacaran, kami mulai bercanda. Saling lempar banyolan-banyolan. Saling towel dan saling cubit. Mas Manto semakin menggencarkan serangannya, ia majukan kursi makannya kearahku, supaya jemari kakinya dapat merogoh masuk kepahaku lebih dalam. Ia begitu nekat. Mungkin karena taplak meja makan depot Samidi yang tergerai agak panjang, mas Manto dapat dengan tenang melakukan perbuatan cabulnya terhadapku. Terlebih, karena meja tempat kami makan adalah meja terpojok dari depot ini, sehingga tak ada orang yang bakal memperhatikan perbuatan mesum yang ia lakukan. Dengan sekuat tenaga, aku tahan jemari kakinya dengan lututku. Mencegahnya supaya tak masuk lebih dalam lagi. Namun sia-sia, melihat kokohnya pertahananku, ia mulai menggerak-gerakkan jemari kakinya dan mencoba menggelitik lututku. Mas Manto benar-benar tahu kelemahanku. Aku dari dulu memang tak berdaya akan rasa geli. Gelitikan jemari mas Manto pada lututku, membuat pertahananku melemah, dan begitu ia sadar akan lututku yang telah sedikit terbuka, dengan cepat ia menyelinapkan jemari kakinya semakin masuk ke dalam pahaku. Dielusnya paha dalamku dengan punggung telapak kakinya. Digoyang-goyangkannya perlahan, sehingga membuat bulu kudukku merinding. Mendapat perlakuan erotis darinya, mau tak mau, jantungku semakin berdegup dengan kencang, nafasku memberat, dan mukaku memerah.
"Aku sayang kamu Lianiku ?" ujar mas Manto
Seolah menjawab dengan hal yang serupa, aku hanya menganggukkan kepala.
"Hayoooo....Kamu sange ya?...mukamu mulai merah loh"
Aku hanya bisa tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Melihat kenekatan mas Manto, tiba-tiba kenakalanku kembali muncul. Entah kenapa, tanpa ia minta, aku majukan kursi makanku ke arahnya. Kubuka kedua lututku lebih lebar dan mempersilakan jemari kakinya yang kasar untuk dapat masuk lebih dalam. Aku menginginkan jemari kakinya dapat menyentuh vaginaku. Tiba-tiba.
"Empat soto special dan empat teh botol" ujar pramusaji yang membawakan makanan pesanan kami.
Mas Manto menghentikan gerakan nakalnya. Seperti tak terjadi apa-apa diantara kami berdua, dengan santai ia berucap. "Eh makanannya sudah datang ya...taruh disini saja"
Ogie. Nama pramusaji itu, dengan cekatan meletakkan semua makanan pesanan kami. Menatanya sedemikian rupa dengan gerakan yang cepat. Nasi, soto, teh botol semua segera tertata rapi di depan kursi makan masing-masing. Namun...."KLUTUK" tak sengaja, ia menjatuhkan satu botol koya yang ia bawa. Botol itu jatuh membanting lantai, tutupnya lepas, dan semua koyanya tertumpah keluar.
"Ma...maaf maaf...segera saya bersihkan" ujarnya gugup sambil mengambil tissue di meja dan segera berjongkok disamping kursi makan kami.
"Astaga..." aku baru sadar, jika sedari tadi jemari kaki mas Manto masih ada di dalam paha dalamku, dan masih mengelus-elusnya kulit mulus pahaku perlahan.
Melihat Ogie yang sedang sibuk membersihkan tumpahan koya dilantai, terbesit ide mesum dari otak mas Manto. Dengan jemari kakinya, mas Manto memerintah lututku untuk membuka lebih lebar lagi.
"Apaan sie mas..." bisikku sambil melotot kearahnya.
"Udah...pasti luchu..." bisiknya enteng sambil tersenyum.
Karena jemari kaki mas Manto semakin menggelitik pahaku. Akhirnya aku pasrah. Aku biarkan jemari kaki mas Manto membuka pahaku lebar-lebar dan menunggu Ogie untuk dapat melihat isi selangkanganku yang masih terbungkus celana dalam tipis ini. Dan memang benar, lucu sekali melihat tingkah pramusaji muda ini. Mengetahui akan adanya perbuatan mesum yang sedang dilakukan mas Manto kepada pangkal pahaku, Ogie mulai bertingkah aneh. Ia semakin lama membungkukkan kepalanya sambil sesekali melirik kearahku. Ogie mungkin sedang bertanya-tanya dalam hati "Apakah tamu wanitanya ini tahu atau tidak jika dia sedang mengintip ke dalam pahanya?"
Seolah-olah tak menggubris apa yang sedang Ogie lakukan, kami berdua tetap pura-pura tak memperdulikan dan saling bercanda. Berulang kali kulihat, Ogie membelalakkan matanya dan berusaha membasahi tenggorokannya yang kering. Aku yakin, Ogie saat ini sedang menikmati pemandangan indah yang terpampang tepat didepan hidungnya. Ia pasti sedang melihat paha putih mulusku yang dielusi oleh jemari kaki mas Manto. Mendadak aku merasakan perasaan yang sangat aneh. Tiba-tiba, aku menginginkan untuk memamerkan aurat tubuhku. Kurasakan celana dalamku lepek membasah, vaginaku membanjir karena cairan vaginaku semakin banyak keluar. Melihat Ogie yang tak kunjung bangun dari posisi jongkoknya, membuat gairahku semakin meninggi. Aku ingin Ogie melihat pahaku lebih jelas lagi, tidak, aku ingin Ogie melihat vagina basahku yang tertutup celana dalamku mungil. Kuputar posisi dudukku kearah dimana Ogie berada, dan semakin kubuka lututku kebar-lebar. Kutarik ujung kain daster hijauku keatas sampai setengah pahaku terlihat. Aku ingin mempermudah mata Ogie menikmati mulusnya paha putihku. Aku ingin Ogie melihat cairan vaginaku yang membanjir. Sekilas, kutatap mata nafsu Ogie. Kulemparkan senyum tipis dan anggukan kepalaku padanya. Kuharap Ogie mengerti maksudku. Memang, makhluk yang namanya lelaki, sangat mengerti akan kode dan sinyal mesum dari wanita. Begitupun dengan Ogie. Seolah mengerti akan maksud senyuman nakalku padanya, ia kembali menjongkokkan tubuhnya lebih rendah lagi dan berpura-pura membersihkan tumpahan koya soto. Bahkan ia semakin berani menaikkan ujung bawah taplak meja makan kami, dan berusaha memasukkan kepalanya ke dalam kolong meja. Gelitikan jemari mas Manto pada paha dalamku semakin membuat darahku birahi mendidih. Terlebih, dibawah meja makanku, terdapat sepasang mata mesum yang melihat kemulusan kulit pahaku.
"GILA...aku melakukan foreplay di tempat umum..." batinku dalam hati.
Rasa takut, penasaran, dan nafsu birahi bercampur menjadi satu. Benar-benar beda jika melakukan foreplay ditempat tertutup. "Kamu benar-benar SINTING Liani..."
Cukup lama Ogie berada di bawah meja makanku. Aku yakin, saat ini Ogie pasti sedang mengamati setiap jengkal paha dalam dan vagina basahku dengan seksama. Melihat pangkal kewanitaanku dengan jarak yang sangat dekat, karena terkadang aku dapat merasakan hembusan nafas panasnya pada lutut kananku.
"Loh...kamu ngapain jongkok-jongkok di bawah meja?" tiba-tiba kami bertiga dikejutkan oleh suara suamiku.
"JDUK..." terdengar suara benturan keras dari bawah meja, seiring dengan pertanyaan suamiku. Saking kerasnya benturan kepala Ogie ke meja, timbul riak di kuah soto kami.
Kepala Ogie segera keluar dari bawah taplak meja makan kami sambil mengusap belakang kepalanya
"A...aduh ma...maaf...anu pak...saya segang membersihkan tu...tumpahan koya...ini koyanya segera saya ga..***nti yang kok pak" kata Ogie dengan kalimat terputus-putus sambil menunjukkan tissue berisi tumpahan koya.
"Iya mas...tadi dia menumpahkan koya ke lantai...jadi berantakan deh...yaudah...aku suruh dia mbersihin lantainya..." jelasku ke mas Andri.
"Ooowww....yaudah deh...tolong ambil koya baru ya dek" kata mas Andri
"Iya gih...sana..." tambahku sambil melihat kearah gundukan yang nongol didepan selangkangannya.
"Batang penisnya menegang dan membesar dengan posisi yang salah" batinku.
Melihat Ogie yang tak bisa berdiri dengan sempurna, membuatku dan mas Manto kesulitan menahan geli. Terlebih ketika ia mencoba berjalan ke dapur, susah sekali bagi Ogie untuk menyembunyikan tubuh bungkuknya. Mirip kakek jompo yang mencoba untuk menegakkan punggungnya, kasihan sekali aku melihatnya. Karena mas Andri yang telah kembali ke meja makan, mas Manto segera menarik kakinya keluar dari dalam pahaku. Mungkin ia khawatir, perbuatan mesumnya diketahui oleh suamiku.
"Loh...mbak Narti kemana mas?" Tanya suamiku sambil duduk di samping kursiku.
"Ooh...Narti beli plastik di warung sebelah" jawab mas Manto sambil memutar badannya dan menunjuk ke arah toko kelontong yang ada disamping depot "Nah itu dia si Narti sudah datang"
Dari kejauhan aku melihat tubuh bulat mbak Narti masuk ke dalam depot. Mungkin karena repot akan barang belanjaannya yang begitu banyak, ia menolak duduk didepanku. Mbak Narti lebih memilih kursi di depan mas Andri dan membiarkan suaminya tetap pada tempat duduknya. Tepat berada di depanku. Tak lama, setelah mbak Narti duduk, muncul pramusaji lain dari dalam dapur.
"Maaf pak...ini koyanya" ucap pramusaji itu sambil meletakkan dua botol koya yang ia bawa diatas meja kami.
"Loh...? Si Ogie kemana?" tanyaku
"Oh...dia sedang disuruh pak Samidi bu...membersihkan toilet"
"Owww gitu... yaudah gapapa...Makasih ya sayang..." ujarku dengan intonasi semanja mungkin.
"Sama-sama bu...kalo ada apa-apa...ibu bisa panggil nama saya" ujarnya lagi.
"Nah kalo begitu, acara makan sotonya bisa segera dimulai" kata mas Andri bak pejabat yang sedang meresmikan suatu acara.
Acara makan kami begitu seru. Kelentingan suara sendok, berbaur dengan tawa kami berempat. Dari situ, aku baru mengetahui jika ternyata mbak Narti suka bercanda dan bercerita. Apa saja ia ceritakan, mulai dari masa ia kenalan dengan mas Manto sampai kejadian barusan di toko kelontong samping depot Samidi. Melihat ia berbicara saja sudah susah bagiku untuk tak tertawa. Pelawak. Itulah kesan pertama ketika melihat sosok mbak Narti. Suara cempreng ditunjang tubuhnya yang gemuk pendek, semakin mempertegas kesan tukang humor pada dirinya. Mbak Narti telah berusia 35 tahun, namun jika dilihat secara seksama, sebenarnya ia cukup cantik, hanya mungkin karena proporsi tubuhnya yang pendek dan gemuk, kecantikan yang ia miliki sedikit tertutup. Kulitnya hitam namun bersih, matanya lebar, dan senyumnya juga menawan, mirip senyum mas Manto. Dengan proporsi 150cm/60kg, hanya satu kelebihan dari mbak Narti yang membuat aku iri. Ukuran payudaranya sungguh luar biasa, besar sekali mirip payudara pemain film porno professional Amerika. Bahkan saking besarnya, daging kenyal yang menempel di dada mbak Narti itu terlihat seolah-olah mau loncat ke atas meja ketika ia tertawa. Kutundukkan kepalaku dan kubandingkan payudara tumpah mbak Narti dengan payudaraku sekalku
"Yah...mungkin kalau aku gemuk, pasti ukuran payudara itu bisa aku saingin...iya benar...pasti bisa aku tandingin" kataku dalam hati sambil tersenyum sendiri.
Walau aku wanita, tak mudah bagiku untuk dapat tak memperhatikan goyangan payudara mbak Narti. Dalam hati, payudara mbak Narti terlihat begitu menggodaku. Kutengok mas Andri yang tepat berada di depannya. Mas Andri juga tampaknya terlena dengan goyangan payudara mbak Narti, karena ia terlihat begitu menyimak semua cerita dan banyolan yang diceritakan oleh istri mas Manto itu. Sedikit muncul rasa cemburu ketika mata mas Andri tak melepaskan tatapannya dari payudara raksasa mbak Narti. Akan tetapi, semua itu aku biarkan saja. Aku biarkan mas Andri berzinah mata dengan wanita yang ada didepanku. Toh zinah yang aku lakukan bersama mas Manto, jauh lebih parah lagi. Melihat mbak Narti yang keasyikan akan ceritanya, mas Manto diam-diam mulai mengelus telapak kakiku lagi. Rupanya mas Manto menyadari gerak-gerikku ketika aku sedikit membanding-bandingkan payudaraku dengan payudara istrinya. Karena tiba-tiba, ia telusupkan kakinya kepaha dalamku lagi. Sadar akan gerakan jemari kakinya yang semakin erotis, mukaku langsung memerah.
Beruntung, karena tertutup taplak meja yang cukup panjang ini, semua gerak-gerik tak wajar yang dilakukan mas Manto tak dapat diketahui oleh pasangan kami masing-masing. Terlebih mas Manto memiliki wajah bak pemain sinetron, pintar sekali menyembunyikan muka mesumnya. Selain itu, suamiku pun sepertinya telah terhipnotis akan cerita dan kemontokkan payudara mbak Narti, karena ia sama sekali tak memperdulikan kesibukanku dan mas Manto, sehingga tingkah mesum kami dapat berjalan tanpa rasa khawatir sedikitpun. Vaginaku semakin membanjir, celana dalam hijauku semakin basah. Aku semakin gelisah ketika duduk karena berulang kali aku harus mengganti-ganti posisi dudukku, mencari posisi paling enak untuk dapat menikmati elusan mesum jemari kaki mas Manto pada pahaku. Namun sayang, karena ukuran meja makan ini terlalu lebar, sangat sulit bagi jemari kaki mas Manto untuk dapat menelusup lebih dalam lagi. Putus asa karena tak dapat menikmati tingkah nekat mas Manto, akhirnya semua itu aku hentikan.
"Hhhh...permisi mas...adek mo ke toilet dulu" ujarku pada mas Andri.
Mas Andri beranjak dari tempat duduknya dan mempersilakan aku lewat. Tiba-tiba, ketika aku berjalan di depannya, mas Andri mengecup pipiku.
"Mas aaaaaahhh...apa-apan sie...khan malu" ucapku spontan.
"Aduh...mesranya" ujar mbak Narti sambil bertepuk tangan dengan gaya konyolnya.
"Kok malu? Biasa ahh...kamu khan wanitaku yang paling ngegemesin" ujar mas Andri "Udah sana...buruan ke toilet, ntar malah keburu pipis disini...hahahaha" tambahnya lagi sambil sedikit bercanda.
"Terus...terus mbak...gimana kelanjutannya" Tanya mas Andri lagi kepada mbak Narti.
Melihat mas Andri lebih penasaran akan cerita mbak Narti, membuatku menjadi seperti tak diperhatikan, rasa cemburu itu timbul lagi.
"Memang sih, mbak Narti pandai sekali bercerita, pandai melawak, tapi khan aku istrinya. Harusnya ia lebih memperhatikan aku donk" batinku dongkol "Ah tapi biarlah...toh dengan semakin dekatnya suamiku dengan mbak Narti, aku juga bisa semakin dekat dengan mas Manto"
 
Kulangkahkan kakiku ke toilet, kutinggalkan suamiku yang masih terbuai cerita seru mbak Narti. Toilet depot Samidi terletak agak jauh di belakang bangunan depot, berada disamping rumah induk. Sehingga jika hendak menggunakan toilet tersebut, pelanggan harus masuk kedalam dapur dan menyeberangi pekarangan belakang terlebih dahulu.
Depot Samidi menyediakan 6 buah toilet campur yang semuanya berfungsi dengan baik. Kebersihan toilet itu juga sangat terjaga, bersih dan wangi. Kupilih salah toilet kosong yang ada dideretan tengah, dan segera masuk kedalamnya. Kugantungkan tas kecilku di dinding, kuturunkan celanaku sampai sebatas lutut dan segera jongkok di atas jamban yang mengkilat bersih.
"TOK...TOK...TOK" tiba-tiba terdengar suara pintu toiletku diketuk perlahan dari luar.
"Ada orangnya..." jawabku lantang dari dalam toilet.
"Dek...ini aku...mas Manto...buka pintunya donk" bisiknya pelan.
"Apa yang ia lakukan disini? Bukannya jika dia ingin menggunakan toilet, ada beberapa toilet lagi yang kosong disamping toilet yang aku gunakan" tanyaku dalam hati.
"Ada apa mas? Toilet sebelah kosong kok" bisikku lagi.
"Bukan dek...mas kangen" katanya lagi sambil memutar-mutar kenop pintu toiletku.
"Adek sedang pipis mas...tunggu sebentar ya"
"Ayo buka dek...kontolku sudah nggak tahan lagi...keburu muncrat nih"
"Maksudnya apa mas? Adek masih mau pipisnya nih"
"Justru itu dek...bukain pintunya...mas pengen ngentotin memek kamu"
DEG. Kembali jantungku kembali menghentikan detaknya.
"GILA. Ini khan toilet...ini khan tempat umum...masa mas Manto ingin bersetubuh denganku disini? Ini gila... tak mungkin... mas Andri dan mbak Narti khan masih ada di luar sana...bagaimana jika ada orang yang memergokin kami berdua?" pertanyaan-pertanyaan khawatir langsung memenuhi isi kepalaku.
"Dek...ayo buka dek...mas sudah nggak tahan lagi..."
Kata-kata ajakan mas Manto itu terngiang-ngiang di telingaku. Bagai aluan lagu merdu, kalimat itu membujukku tuk menurutinya. Dadaku berdebar dengan hebatnya, nafasku memberat, dan hasrat kencing yang dari ingin segera kutuntaskan, mendadak hilang. Vaginaku kembali membanjir.
"Dek buruan...kontolku dah nyut-nyutan ini...pengen nyodok memek kamu"
Ingin rasanya ku tampar mulut jorok mas Manto itu. Ingin rasanya ku hiraukan semua ajakan mesum dari tetanggaku itu. Ingin rasanya kuteriak lantang, memanggil suamiku yang duduk tak jauh dari tempatku berada guna mengusir lelaki mesumku itu. namun......
Tanpa menaikkan celana dalamku yang masih bertengger di lutut, kuberanjak dari posisi jongkokku. Kuberjalan mendekati pintu toilet, kuraih kenop pintu yang berbentuk bulat itu, kuputar perlahan, lalu kubuka daun pintu yang memisahkan kami berdua. Kembali kulihat, senyum paling menawan dari suami baruku. Senyum indah suami tetanggaku. Mas Manto berdiri miring menyandarkan pundak kirinya di gawang pintu toiletku. Dengan tenang, tangan kanan mas Manto sudah bergerak maju mundur, mengurut batang penis raksasanya yang telah menyembul jauh keluar dari lubang resleting celananya. Sepertinya mas Manto hanya mengenakan celana pendek, tanpa celana dalam. Karena dapat kulihat rambut kemaluannya yang sangat rimbun itu, ikut menyeruak keluar melalui lubang resleting celana pendeknya.
"Gila kamu mas" ujarku sambil melongokkan kepalaku keluar dari dalam toilet, mencari tahu kondisi sekitar "Kita bisa ketahuan"
"Nggak bakal...percaya deh"
Mas Manto langsung mendorong tubuhku kembali masuk kedalam toilet dan menutup pintu yang ada dibelakangnya. Dengan penuh bernafsu, mas Manto langsung mendorong tubuhku sampai menabrak tembok.
"Aku kangen kamu dek..." ucapnya sambil mulai melahap bibirku "Aku udah nggak tahan lagi...aku pengen ngentotin memek sempitmu" Mas Manto terlihat sudah begitu bernafsu. Mulutnya melahap semua bibir tipisku, menyelinapkan lidah kasarnya masuk kedalam mulutku. menarik dan melilit lidah lembutku. Sangat bernafsu. Nafasnya sudah begitu memburu, badannya menghangat, dan batang penisnya yang mengacung tinggi itu, berulang kali menusuk perut rataku. Tangan mas Manto tak mensia-siakan kepasrahanku. Langsung menurunkan daster tipisku, mencengkeram dan meremas payudaraku yang masih terbungkus bra. Lumatan bibir mas Manto mulai turun ke leherku, membuat bulu kudukku merinding menerima semua kecupan nafsunya.
"Ooouuugghhh maassss" desahku menahan geli.
Basah. Foreplay yang selalu mas Manto lakukan, seolah-olah memandikanku dengan air liurnya. Tanpa melepas kait braku, mas Manto menaikkan mangkuk braku dan langsung mencaplok payudaraku yang meloncat ke bawah.
"HAP" dengan brutal mas Manto meremas dan menyedot buntalan payudaraku sampai berwarna kemerahan. Digigitnya perlahan putting merah mudaku hingga tinggi mencuat.
"Ooouuugghhh...Adek juga kangen kamu mas..." kataku.
Nafsuku sepertinya tak tinggal diam, ia ikut bergejolak seiring foreplay basah dari selingkuhanku ini. Sambil memejamkan mata menahan geli, kuberusaha menggapai batang penis mas Manto. Dan dengan mudah, kutangkap batang penis hitam suami baruku itu. Begitu hitam, panas, dan berdenyut hebat. Dari mulut penisnya sudah menggumpal cairan precum, tanda penis itu sudah sangat siap untuk digunakan.
"Berbalik dek, pegangan bak mandi..." ujarnya singkat.
Karena tubuhku sudah sangat bergairah, tanpa basa-basi, segera kubalikkan badanku. Kurentangkan tungkai kakiku lebar-lebar, berpegangan pada bibir bak mandi toilet dan kumajukan tubuh atasku.
"Nungging dek" tambahnya lagi.
Mas Manto menaikkan bagian bawah daster sampai tengah-tengah pinggangku, menggulung dan menyimpulkannya, membuat mirip gulungan sarung. Melihatku yang sudah pasrah menanti sodokan penisnya, mas Manto mendekat maju.
"Mas..."
"Ya dek?"
"Sodok memek adek sekarang yah?" pintaku.
Mas Manto menganggukan kepalanya. Segera ia membuka kancing celana pendeknya dan membiarkan celana pendeknya langsung merosot, jatuh ke lantai toilet. Dengan sigap, mas Manto segera memposisikan kepala penis beserta batang panjangnya diantara liang vaginaku.
"Buruan mas...sodok memek adek" tak kuat menahan gatal di vaginaku, kugenggam organ panjang yang tumbuh diantara selangkangan mas Manto itu dan kuarahkan ujung batang penisnya supaya tepat berada di depan lubang vaginaku. "...TUSUK MAS"
Tanpa perlu menunggu perintahku lagi, mas Manto segera menuruti permintaanku. Ia langsung memulai gerakan erotisnya dan menghujamkan penis raksasanya kedalam vaginaku yang telah membanjir basah.
"OOooouuuggghhhh" kugigit bibir bawahku ketika kepala penis mas Manto mulai menyentuh bibir vaginaku.
Perlahan kepala penis itupun mulai menyeruak masuk perlahan ke liang vaginaku. Kepala penisnya sungguh besar, menguak sempitnya katupan bibir vaginaku, berusaha masuk dengan susah payah. Semakin kutundukkan tubuh atasku dan kulebarkan rentangan kakiku, guna mempermudah upaya kepala penis Manto masuk liang vaginaku. Dengan kedua tanganku, kutarik buah pantatku kesamping berharap penis itu dapat segera mengaduk lubang kenikmatanku.
"CLEP"
"OOuuugghhhsssssshhhh..."
Panas sekali kepala penis mas Manto ketika kurasakan pada bibir vaginaku. Begitu kepala penis itu sudah berhasil masuk seluruhnya, rasanya begitu nikmat, berdenyut hebat seiring detak jantungnya. Didorongkannya batang hitam berbonggol itu maju, masuk lebih jauh kedalam lubang tubuhku. Beruntung karena cairan kenikmatanku yang sudah banyak keluar, batang penis mas Manto dapat dengan mudah masuk ditelan vaginaku. Selagi kepala penis mas Manto menggaruk dinding vaginaku, tonjolan urat yang mengitari batang hitam penis mas Manto, juga mulai menggelitik bibir vaginaku. Nikmat sekali. Dan hanya dalam waktu singkat, separuh dari total panjang penis mas Manto, sudah berhasil masuk, memenuhi vagina sempitku. Sejenak, mas Manto mendiamkan batang gemuknya, mencoba merasakan kenikmatan denyutan dinding vaginaku mengempot batang penisnya.
"Empotan memek kamu memang nggak ada duanya dek..."ujar mas Manto, memecah keheningan diantara kami.
"Hmmm...sshhhh...terus mas...Oooouuugggghhh"
"Enak dek?"
"Hoo...oouugghhhhhh" ucapku sambil menganggukkan kepalaku.
Tangan mas segera memegang sisi pinggangku. Dan dengan sekali hentakan keras, ia menghujamkan penisnya yang berukuran ekstra itu dalam-dalam.
"PLEK" suara paha kami bertabrakan.
"OOoouuuggghhhhh masss...ampun" sedikit kurasakan sakit ketika batang penis yang berukuran ekstra itu dapat melesak, ambles tertelan liang vaginaku.
Kugigit bibir bawahku, menahan supaya rintih kenikmatanku sedikit teredam. Mas Manto kembali mendiamkan gerakan sodokan batang penisnya, mencoba merasakan empotan dinding vaginaku pada batang penisnya. Namun, dengan diamnya mas Manto, malah membuat rasa gatal pada vaginaku semakin menjadi-jadi. Aku menginginkan agar batang berbonggol milik suami tetanggaku itu segera mengaduk-aduk liang vaginaku. Aku berinisiatif, tanpa diminta mas Manto, mulai memaju mundurkan pinggulku, berusaha supaya kepala jamur penis mas Manto dapat menggaruk dan menghilangkan gatal birahiku. Ternyata, Mas Manto juga menginginkan hal yang sama. Ia juga menginginkan segera mencapai kenikmatan duniawi ini. Batang penis yang penuh urat itu mulai ia tarik mundur perlahan sampai ke leher kepala penisnya dan kembali, ia dorongkan masuk perlahan. Maju, mundur, maju, mundur dengan tempo yang semakin lama semakin cepat.
"Shhhss...mas...enak banget...." Desahku lirih " Entotin memek adek mas...entotin yang kenceng..."
Merasakan geli dan kenikmatan batang penis mas Manto, liang vaginaku pun segera beraksi. Lendir licinku mulai membajir dan keluar tak henti-hentinya. Busa khas berwarna putih hasil perzinahan alat kelamin kami pun segera muncul, melumasi kelamin kami masing-masing supaya dapat keluar masuk dengan nyaman. Dinding vaginaku juga mulai berkedut hebat dan meremas batang penis mas Manto sekuat mungkin. Seperti kesetanan, karena lama tak bersetubuh denganku, mas Manto menghajar liang vaginaku keras-keras. Menyodokkan batang penisnya yang berukuran ekstra itu dalam-dalam dan ingin segera menumpahkan benih-benihnya dalam vaginaku. Payudara 36C-ku yang tak lagi terbungkus bra juga mulai bergoyang dengan kencang. Sampai terkadang menampar daguku, ketika aku mencoba menundukkan kepala tuk melihat goyangan badan mas Manto dari bawah. Dengan satu tangan, kuraih tangan mas Manto yang ada di samping pinggangku dan memindahkannya ke payudaraku. Memintanya segera meremas dan mempermainkan putting susuku. Walau tak seluruh daging kenyalku dapat ia tampung dengan tangan kasarnya, mas Manto tepat saja mencoba meremas seluruh permukaan kulit payudaraku. Sesekali ia mencubit, memelintir dan menarik puting susuku kesamping. "PLEK...PLEK...PLEK..." suara persetubuhan kami menggema di seluruh ruangan toilet depot ini. Tubrukan pantatku dan paha mas Manto, benar-benar kencang sampai mendorong tubuhku maju menabrak bak mandi toilet. Sungguh kuat sodokannya, sampai terkadang, walau aku mencengkeram bibir bak toilet, aku merasa kewalahan untuk dapat mempertahankan posisi nunggingku. Perzinahan yang sangat nikmat, bahkan saking nikmatnya, tak mampu ku ungkapkan dengan kata-kata. Aku tak pernah mengerti, entah kenapa, kurasakan sensasi yang sangat berbeda setiap aku bersetubuh dengan mas Manto. Dari batang hitamnya, kurasakan kenikmatan yang tak pernah kudapat dari penis suamiku. Permainan kasar mas Manto selalu dapat membawaku terbang ke langit kenikmatan. Selalu dapat membuatku menggelijang geli dan cepat menghadiahkan orgasme untukku. Berbeda jika aku bersetubuh dengan suamiku. Walau terkadang mas Andri juga melakukan persetubuhan yang kasar dan buas, namun entah kenapa, ia tak pernah dapat memberiku kenikmatan seperti jika aku berzinah dengan suami tetanggaku ini. Entah karena perbedaan ukuran batang penis, perbedaan stamina, perbedaan cara bermain, atau perbedaan perlakuannya terhadapku. "PLEK...PLEK...PLEK..." suara tepukan tubuh kami begitu keras. Begitu nyaring. Seolah telah tenggelam dalam kenikmatan perzinahan ini, kami sama sekali tak memperdulikan semua suara dan kegaduhan yang kami lakukan. Masa bodoh, jika ada orang yang tahu.
"OOOuuugggghhhh...sssshhhh...terus mas" desahku.
"Enak dek?"
"Enak banget mas...terus mas... sodok memek adek dengan kontol hitammu"
"Dek Lianiku..."
"Kencengan mas...lebih kencengan lagi...sodok lebih kenceng lagi..."
"Kamu suka ya dek disodok kontol besarku"
"Iya mas...adek suka banget sama kontol besar kamu mas...enak banget"
"Enak mana ama kontol suamimu dek?"
"Oouugghh" Aku tak mampu menjawab, hanya dapat mendesahkan dengus kenikmatan.
"Pasti enakan kontolku ya dek?"
"Shhh..............." Aku hanya diam membisu, melenguh keenakan.
Karena aku tak menjawab pertanyaan yang ia berikan, mas Manto menghentikan goyangannya, dan membiarkan seluruh batang penisnya amblas, tertelan liang vaginaku. Ia mematung, sama sekali tak bergerak. Hanya kedua tangannya yang masih aktif meremas dan mencubit putting susuku perlahan.
"Mas...ayo goyangin lagi...sodok memek adek lebih kenceng lagi..."
"....................." mas Manto tetap berdiri diam.
"Ayo mas...jangan berhenti...memek adek sudah gatel banget...adek udah mau keluar nih...ayo mas" ujarku sambil memaju mundurkan pinggulku sendiri.
"Gak mau ahh...jawab dulu...enakan mana? Kontolku atau kontol suamimu?
Kuanggukkan kepalaku pelan sambil mencengkeram pantat hitam mas Manto.
"Ayo mas...buruan sodok memek adek mas ...adek udah mau keluar"
"Jawab dulu..."
Ingin segera mendapatkan orgasme, tanpa malu ku berucap "....KONTOL KAMU mas...KONTOL KAMU yang paling enak...kontol mas Andri nggak ada apa-apanya kalo dibandingin KONTOL HITAMmu..." teriakku lantang.
"Hehehehehe...nah gitu donk...khan jadi seneng ndengernya... pegangan dek"
Mendengar jawabanku yang begitu tegas, mas Manto menjadi makin beringas. Seolah kesetanan, mas Manto menggempur liang vaginaku dengan batang penisnya sekencang mungkin. Menyodok dalam-dalam dan menusuknya secepat mungkin. Tak terhitung lagi, berapa banyak sodokan yang telah batang penisnya lakukan pada liang vaginaku beberapa menit terakhir ini, karena sodokannya benar-benar cepat. Sangat cepat. Seperti tak mau memberikan jeda sedikitpun, mas Manto menusukkan batang hitamnya berulang kali bak lengan piston, menghajar lubang vaginaku tanpa ampun.
Cairan vaginaku keluar tanpa henti. Melumasi kelamin kami masing-masing. Busa putihku pun tak henti-hentinya melumuri sekujur batang penis mas Manto, menandakan kenikmatan yang kurasakan pada liang vaginaku benar-benar dahsyat. Sungguh nikmat, sampai tak sedikit, cairan pelumas yang keluar dari liang vaginaku mengalir turun merayap ke paha dalamku, dan terus turun ke lutut dan betisku. Perlahan, rasa hangat dari dalam perutku mulai timbul. Rasa hangat yang khas ketika orgasme itu akan datang, mulai turun kearah rahimku. Menggelitik setiap mili rongga vaginaku seiring sodokan penis besar mas Manto. Bergetar badanku, merasakan orgasme yang bakal menyembur kuat dari dalam rahimku.
"Adek mau keluar mas...adek mau keluar" Ku tancapkan kuku jemariku dalam-dalam ke paha kanan mas Manto.
Ternyata, hal serupa juga dirasakan oleh mas Manto. "Mas juga dek...mas juga mau keluar...mas mau NGECROT di dalam memek kamu" jawabnya sambil makin mempercepat goyangan pinggulnya. Tangan kasarnya pun tak mau kalah, meremas dan menyiksa payudaraku. Ditariknya kedua gumpalan daging yang tumbuh di dadaku ke belakang, sambil terus memilin putting susuku yang semakin mencuat keras. Karena sudah tak sabar ingin merasakan kenikmatan orgasme, aku tak dapat banyak berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melenguh keenakan sambil terus mencengkeram paha kanan mas Manto kuat-kuat. Mas Manto mendadak melepas remasan tangannya di kedua payudaraku, lalu berpindah mencengkeram pinggulku erat-erat. Semakin cepat mas Manto menggoyangan pinggulnya maju mundur. Membentur-benturkan pahanya dengan keras kepantatku, sehingga suara tepukan tubuh kami semakin keras membahana. Suara kecapan cairan lendir vaginaku yang keluar juga semakin renyah, berkecipak seiring tusukan tajam penis mas Manto.
"Terus mas...sodok lebih cepat lagi mas...terus"
"Iya dek..."
Ingin segera mendapat kepuasan birahi, kuremas sendiri payudaraku yang berayun bebas dibawah bra hijauku, sembari kupelintir dan kucubit-cubit putting susuku yang juga semakin keras mengacung. Tanganku pun mulai bermain dengan kedua buah payudaraku yang berayun bebas. Selain itu, aku juga mulai memainkan biji kelentitku, ku usap dan kugelilitk dengan ujung jariku. Nikmat sekali.
"Ohh...mas...adek mau keluar mas..." kulepas biji kelentitku, dan kembali kucengkeram paha kanan mas Manto. Kuminta mas Manto semakin mempercepat gerakan tubuhnya. Dan...
"Ooouugghh...oouuhhh...ooouuhhh...ma assss...aku keelllluuuaaAARRrrgghhmmpppfff " teriakku. Buru-buru mas Manto melepaskan cengkeram tangannya di pinggangku dan segera membungkam mulutku, menjaga supaya teriakkan orgasmeku tak keluar dengan lantang.
"OOooooohhhhhmmmmm" Tubuhku mengejang-ngejang, membusur jauh kedepan. Tangan kananku mencengkeram pinggang mas Manto yang ada dibelakangku. Kutancapkan kuku-kuku panjang jemariku di kulitnya hingga membekas merah.
Aku orgasme. Kembali kurasakan orgasme dahsyat yang kuperoleh dari suami tetanggaku. Lututku tiba-tiba melemas dan kakiku seolah kehilangan tenaganya. Badanku bergetar dengan hebat, mirip orang terkena epilepsy. Melihat orgasme dahsyatku, mas Manto langsung mendekap perutku, berusaha menahan tubuhku agar tak langsung jatuh kelantai toilet. Vaginaku berdenyut begitu hebat, mencengkeram, meremas dan mengempot batang penis mas Manto yang masih keluar masuk dengan cepatnya. Bertubi-tubi, batang besar panjang berwarna hitam itu masih terus dihujamkan oleh pemiliknya kedalam liang vaginaku yang berwarna pink kemerahan. Sampai akhirnya.
"OOOooooohhhhhh......aku juga keluar dek...oooohhhh"
CROOOT...CROOTT....CROTTT" Mas Manto orgasme.
Cairan kental panas langsung membanjiri rongga rahimku. Tujuh semburan kencang kurasakan menyemprot tanpa henti dari mulut batang penis mas Manto. Jutaan benih sperma segar milik mas Manto ia keluarkan di dalam vaginaku dan membanjiri rongga rahimku. Bahkan saking banyaknya, rongga vaginaku tak mampu menampung seluruh benih kenikmatan itu. Karena tak lama, kurasakan banyak sperma mas Manto mulai keluar dari vaginaku, merayap turun kearah paha dalam dan belakang betisku.
"OOooouuugghhhh..." ucapku lagi, merasakan sensasi hangat pada rongga rahimku..
"Memek kamu enak banget dek...peret abis" ucap mas Manto sambil masih menghentak-hentakkan pinggulnya maju. Menghabiskan sisa-sisa sperma dan tenaga birahinya. Keringatnya membanjir, membasahi kening dan lehernya. Nafasnya pendek-pendek, ngos-ngosan, mirip orang yang baru saja menyelesaikan lari marathon.
"Aku sayang kamu dek"
"Aku juga mas...sayang kamu banget..."
Tanpa mencabut penisnya yang masih berkedut dan mengeluarkan sperma, mas Manto memeluk tubuh mungilku sambil mengecup tengkukku " Makasie ya dek Lianiku..."
Nyaman sekali rasanya, dipeluk pasangan zinahku yang telah cukup lama menahan diri untuk tak menyetubuhiku. Dari pelukkannya, dapat kurasakan perhatian yang begitu besar dari mas Manto. Walau hanya dari persetubuhan yang berjalan kurang dari 3 menit ini, aku dapat mengerti betapa kangennya dirinya terhadapku. Hampir semenit kami berpelukan tanpa mengucapkan suara apapun. Berdiri mematung membiarkan kelamin kami yang masih saling bertautan, dengan kondisi pakaian setengah bugil, kami berusaha merasakan sisa-sisa kenikmatan zinah yang baru saja kami lakukan.
 
"CKRIK...."
Samar-samar, aku mendengar suara aneh dari luar toilet Samidi ini. Suara itu begitu pelan, seperti suara jepretan kamera. Pelan, seperti sengaja diredam supaya aku dan mas Manto tak menyadari jika ada seseorang sedang mengambil gambar kami.
"CKRIK...."
Berulang kali, suara aneh itu terdengar lagi. Sepertinya, semenjak beberapa saat setelah mas Manto masuk ke dalam toilet dan menyetubuhiku dengan kasar, suara itu mulai ada, namun karena nikmat yang kurasakan pada bagian bawah tubuhku, aku sama sekali tak menghiraukannya.
"Mas..." bisikku pada mas Manto yang masih mengecup-kecup pundak dan tengkukku.
"Iya...mas juga denger..." bisiknya tenang "Sepertinya ada seseorang yang sedang mengamati kita"
"Tuh khan...kita ketahuan..." bisikku dengan nada yang sedikit meninggi dan mulai agak sewot.
"Tenang dek...anggap saja kita tak mengetahuinya" pinta mas Manto kepadaku sambil perlahan, ia mulai menggoyangkan pinggangnya lagi. Mencoba kembali melesakkan batang penisnya yang masih keras kedalam vaginaku.
"GILA kamu mas...udah ah...kalau itu mas Andri gimana?" bisikku lagi.
"TENANG dek TENANG..."ujarnya santai "Kalau itu suamimu, pasti aku sudah jadi mayat sekarang"
Benar juga dengan apa yang mas Manto katakan, tak mungkin suamiku hanya berdiam diri dan mengintip istrinya ketika sedang bercinta dengan orang lain. Terlebih, tak mungkin suamiku mencuri gambar diriku yang sedang dizinahi orang lain.
"Mas mau beri pelajaran orang itu..." kata mas Manto singkat "Sepertinya orang itu ada di balik pintu ini dek...kamu bertingkah normal saja...pura-pura tak tahu"
"Enak banget memek kamu dek..." ucap mas Manto lantang sambil meneruskan goyangan pinggul hitamnya. Mas Manto sepertinya mulai melakukan aktingnya "Jawab ya sayang...kita pancing dia" bisiknya.
Aku pun menganggukkan kepalaku, menyetujui ide joroknya. "Ooouuuhhh... hmmm... eeennnaakk mas..." jawabku dengan nada merintih keenakan.
"Mas Sodok lagi ya sayang...mas masih pengen ngentotin kamu..."
"Oooouuuggghhh....iya mas...memek adek juga gatel banget...pengen digaruk kontol besarmu...ooohhhmm"
"CKRIK...CKRIK....CKRIK...."
Pelan, suara jepretan camera itupun mulai muncul kembali, seperti mengambil gambar kami secara marathon. Tak mensia-siakan satu moment sedikit pun. Di tengah tingkah laku akting kami, perlahan aku tundukkan kepalaku, mencoba mencari tahu apa yang terjadi di balik pintu yang ada dibelakangku. Kulihat dari sela-sela kakiku dan kaki mas Manto. Ternyata memang benar, setelah aku perhatikan secara seksama, lubang angin pintu toilet ini dipasang terbalik, sehingga memungkinkan untuk diintip dari luar. Dan daun pintu toilet inipun tak sama dengan tinggi gawang toilet ini, masih sedikit menggantung sekitar 5 cm di atas lantai. Sebenarnya aku tak perlu khawatir akan keberadaan si pengintip yang ada dibalik pintu toilet ini, karena ia tak dapat mengetahui siapa kami sebenarnya. Aku juga tak perlu malu, karena selain ia berada diluar toilet mandi, hampir seluruh tubuhku juga tak mungkin dapat ia lihat, terhalang oleh tubuh kekar mas Manto. Tiba-tiba, perasaan aneh itu muncul lagi. Mendadak aku ingin kembali memamerkan aurat tubuhku kepada orang lain selain mas Manto. Aku ingin si pengintip itu tahu siapa aku. Aku ingin si pengintip itu melihat tubuh setengah telanjangku. Aku ingin si pengintip itu masuk, bergabung dan bercinta denganku. Aneh. Benar-benar ide yang aneh.
"PLOP" Tanpa ada instruksi apapun, mas manto tiba-tiba mencabut batang penisnya yang masih menancap erat di liang vaginaku.
"Ooooooohhhhhh......ssssshhhhh...." Lenguhku seketika begitu merasakan bonggolan batang penis mas Manto ditarik paksa.
Bak polisi yang sedang dalam tugas penyergapan. Mas Manto segera membalikkan badan, dan tanpa mengenakan kembali celananya yang masih teronggok di lantai toilet, ia membuka pintu toilet itu lebar-lebar.
"SEDANG APA KAMU?" gertak mas Manto lantang kepada si pengintip yang berada di balik pintu toilet ini.
"Annu...aa...anu..." jawab si pengintip yang tak tahu kalau ia bakal kepergok seperti ini.
Walau tak bercelana, dengan tanpa rasa malu sedikitpun, mas Manto segera mengeluarkan kepalanya, celingukan mengamati kondisi sekitar toilet. Lalu tanpa meminta persetujuanku, mas Manto menarik paksa si pengintip itu masuk ke dalam toilet dan segera menutup kembali pintu di belakangnya rapat-rapat. Aku yang masih belum tahu maksud mas Manto, hanya bisa berdiri diam sambil memegang bibir bak mandi. Kulihat melalui pundakku, mas Manto yang masih mencengkeram kerah baju si pengintip, langsung membantingkan punggung pengintip itu ke arah tembok.
Tanpa membenarkan dasterku yang masih terbuka di bagian atas dan bawah, kubalikkan badanku untuk mengetahui, siapa gerangan sosok pengintip yang sedari tadi memperhatikan persetubuhanku dengan mas Manto. Dan segera, aku mengenali wajah mesum sosok pengintip itu. Dia adalah Ogie.
"JBUK..." satu hantaman keras, langsung menghajar wajah Ogie. Membuatnya bibir tebalnya langsung meneteskan darah segar.
"Ouuuugghh...ampun pak..."
"JBUK...JBUK..." dua hantaman menyusul, menusuk perut dan ulu hatinya.
"HEGHH..." Ogie langsung jatuh terduduk di lantai kering toilet. Dan seiring dengan jatuhnya tubuh Ogie kelantai, terjatuh pula sebuah handphone hitam yang masih dalam kondisi menyala dari tangan kirinya.
Tanpa basa-basi, mas Manto segera memungut handphone Ogie yang terjatuh, di samping kakinya itu. Sejenak, ia memperhatikan handphone Ogie itu.
"SPAAAK..." satu tendangan tepat mendarat di sisi kiri tubuh Ogie.
"MATI LO BANGSAT..." ujar mas Manto sambil terus menendangi tubuh Ogie yang diam tak berdaya.
"Ampun pak...ampun..." rintih Ogie berulang kali.
"MAS...CUKUP..." teriakku. Kutarik lengan mas Manto, dan kujauhkan dari tubuh Ogie yang masih teronggok di sudut toilet depot ini.
"CUKUP mas...sudah..." ujarku tegas.
"Dia mengambil gambar kita dek" marah mas Manto "Nih LIHAT...!!!" tambahnya lagi sambil menyodorkan handphone Ogie kearahku.
Segera kuulurkan tanganku, meraih sodoran handphone milik Ogie. Tampak di layar handphone, pantat hitam mas Manto yang sedang mengeras, menusukkan batang panjangnya maju, ke dalam liang vaginaku. Ogie mengambil photo kami dari berbagai macam sudut. Jarak dan pose pengambilan gambarnya pun bervariasi, ada yang full frame, medium frame, bahkan sampai close up. Sejenak, kuperhatikan kumpulan photo di handphone Ogie. Kulihat, ada lebih dari 78 gambar yang telah ia ambil. Dan benar, Ogie mulai mengambil photo kami berdua semenjak awal. Tak memperdulikan kondisi tubuhku yang masih setengah telanjang, aku mendekat kearah Ogie. Kunaikkan celana dalamku yang masih terenggang pada lututku, kukenakan seadanya dan langsung berjongkok di depan si pengintip yang meringkuk ketakutan di lantai toilet.
Kupegang pangkal lengan pramusaji mesum itu, dan kumintanya duduk, bersandar di dinding toilet. Mungkin karena merasa situasi sudah cukup tenang, Ogie menuruti semua permintaanku. Sambil masih menundukkan kepalanya, Ogie menunggu apa yang bakal terjadi pada dirinya. Kusodorkan layar handphone itu ke muka pemiliknya.
"Ogie...lihat..." panggilku "Buat apa kamu mengambil photo-photo aku?" tanyaku.
"..............." Ogie tak menjawab sepatah katapun. Ia masih dalam posisi duduk menundukkan kepala.
"Ogie...?"
"JAWAB BANGSAT..." kata mas Manto sambil kembali mendekat ke arah Ogie duduk lalu menendang tubuh pramusaji itu keras-keras.
"MAS...CUKUP...biar adek urus semua ini..." ujarku pada mas Manto.
"Ogie...aku tanya sekali lagi...buat apa kamu ngambil photo-photo aku?"
Dengan nada seperti orang yang menggigil kedinginan, walau tanpa melihat kearahku, akhirnya ia mulai membuka mulutnya " Bu...bu...buat ko...koleksi mbak..."
"Koleksi? Buat apa?"
"................" Kembali Ogie tak menjawab.
"JAWAB" perintah mas Manto lagi. "BUAT APA? BUAT BAHAN COLI YA?" tebaknya.
"Mas..." potongku "biar adek aja..."
"Ogie...benar begitu? Apa photo-photo ini kamu buat sebagai bahan untuk coli?"
Perlahan, dengan wajah yang malu-malu, Ogie menganggukkan kepalanya.
"Kamu suka coli?"
Kembali Ogie menganggukkan kepalanya.
"Kamu sering ya ngintipin tamu yang make toilet ini"
Kaget akan pertanyaanku, mendadak Ogie menatap wajahku dan wajah mas Manto namun kembali menundukkan kepalanya. Ia menggelengkan kepalanya.
"BOHONG KAMU YA? BANGSAT..." marah mas Manto kembali meledak.
Langsung kutatap wajah suami tetanggaku itu dalam-dalam, memintanya untuk sedikit diam.
"Trus? Kenapa di handphone kamu ada banyak photo persetubuhanku dan suamiku?" tanyaku bohongku.
"Suami...............?" Tanya Ogie sambil mendongakkan kepala, menatap ke arahku dan kearah mas Manto lalu buru-buru menundukkan kepalanya lagi "Maaf mbak saya tidak tahu...saya pikir suami mbak tuh orang yang ada diluar sana..."
"Iya...dia juga suamiku...sudah-sudah...lupakan saja tentang masalah suamiku... yang sekarang aku pengen tahu...kenapa kamu ambil photo-photo kami berdua?" Tanyaku lagi dengan nada penasaran.
"..............."
"Ogie...?" tanyaku lagi " kenapa...? Jawab saja...mbak nggak akan marah kok...kenapa kamu mencuri photo-photo mbak?"
Akhirnya dengan satu tarikan nafas oanjang, pramusaji itu mulai membuka mulutnya.
"Aku berani karena mbak...aku nekat juga karena ingin melihat keseksian tubuh mbak lagi...sumpah...mbak cantik banget...malah terlalu cantik untuk ukuran manusia..."
"Maksud kamu?"
"Mbak cantik mirip malaikat...Mbuat aku jadi nggak bisa mikir bener" ucapnya spontan.
"Enggak bisa mikir bener? Maksudnya gimana?
"Nggak tahu mbak... kayaknya aku langsung jatuh cinta begitu tadi melihat mbak"
"HAHAHAHAHAHA..." tawa mas Manto tiba-tiba meledak "Belum bisa kencing lurus aja berani bilang cinta..." kata mas Manto yang entah sejak kapan, sudah kembali mengurut penisnya yang telah besar menegang.
"Mas...sudah ah..."
"Bilang aja kamu sange karena tadi ngintipin kancut biniku ini khan?" Tanya mas Manto "Ayo...ngaku aja...tadi kamu lama ngelap lantai itu karena ngintipin kancut biniku khan?"
"Ogie? Bener? Apa yang suamiku katakan?"
Pramusaji itu kembali menganggukkan kepalanya "Iya mbak..."
"Ogie...Ogie, polos sekali anak muda ini" batinku padanya.
Entah karena takut, atau emang karena ia tak pandai berbohong, Ogie menceritakan semuanya kronologis dan alasan mengapa ia berbuat seperti ini.
Sembari mendengar cerita Ogie, mas Manto yang berdiri di samping tempatku jongkok, tanpa malu sama sekali, mulai mengocok batang hitamnya dihadapan Ogie. Malah tak hanya itu, mas Manto juga mulai menyenggol-senggolkan ujung kepala penisnya yang sudah kembali membesar dengan sempurna ke kepalaku. Kulihat apa mau suami baruku ini. Kutatap matanya yang berulang kali menunjuk ke selangkangan Ogie yang mulai membesar. Kembali, otak kotor mas Manto memunculkan ide joroknya. Sambil masih mengurut penis raksasa yang sudah sangat tegang, mas Manto memberikan isyarat tangan kanannya kepadaku. Isyarat ibu jari yang diselipkan diantara jari telunjuk dan jari tengahnya.
Kukernyitkan alisku sampai menukik naik, mencari tahu keseriusan suami baruku ini. Melihat pertanyaan di raut wajahku, dengan mantap, mas Manto mengangguk-aanggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar, mengharap persetujuanku.
"Suamiku yang GILA" Bersama mas Manto, aku seperti orang idiot, seperti menjadi budak nafsunya yang selalu menuruti tingkah dan permintaan anehnya. Kembali aku terhipnotis oleh senyum tenang suami tetanggaku. Aku sudah tak mampu berpikir jernih karena masih horny, kuanggukkan kepalaku, memberi ijin pada mas Manto untuk menzinahiku lagi.
"Gie" suara mas Manto menggema diruangan kecil toilet ini.
"I...iya mas?" jawabnya singkat.
"Kamu suka melihat keseksian tubuh biniku ini?" Tanya mas manto sambil menggoser-goserkan kepala penisnya pada rambutku.
Ogie tak menjawab, dengan posisi kepala yang masih menunduk takut, Ogie menganggukkan kepalanya.
"Kalo kamu suka... kenapa kamu nggak ngelihat saja langsung tubuh bugilnya? Mumpung dia masih ada di dekatmu?"
Ogie tak membalas perintah mas Manto, ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Jangan munafik Gie..." mas manto mendekat kearah Ogie, mengangkat dagu Ogie dan memerintahnya supaya melihat tubuh setengah telanjangku "Sok ...puas-puasin lihat tubuh seksi biniku...ayo..***papa kok"
"Mas...apa-apaan sie?" ujarku.
Perlahan, dapat kulihat mata Ogie yang mulai kehilangan rasa malunya. Matanya mulai melahap tubuh ******* bulat-bulat. Bola matanya melotot seperti hendak keluar dari kelopak matanya, menjelajahi setiap jengkal auratku, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terkadang kulihat, gerakan jakun Ogie, yang sepertinya sangat kesulitan ketika menelan air liurnya.
Karena merasa sedikit jengah, ku langsung berdiri dan sedikit menjauh dari posisi duduk Ogie. Jantungku mendadak berdetak hebat, dan kurasakan wajahku memanas. Walau bukan pertama kalinya keseksian tubuhku dinikmati mata lelaki lain, namun hal ini adalah pertama kalinya aku memperlihatkan aurat tubuhku di tempat umum. Memamerkan ketelanjangan tubuhku kepada seseorang yang sama sekali tak aku kenal. Buru-buru, kuserahkan kembali handphone Ogie ke suami baruku dan kutelungkupkan kedua telapak tanganku pada payudaraku, berusaha menutupi gundukan daging yang tumbuh di dadaku.
"Kok teteknya ditutup dek?" gausah malu-malu ah..." ujar mas Manto yang melihatku sedikit malu, langsung meletakkan handphone Ogie di lantai dan bergerak kebelakang tubuhku lalu memelukku erat.
"Udah dek... kasih lihat aja sedikit..." ujarnya sambil mengecup tengkukku.
"Udah ah mas...kita balik makan yuk...ntar kita dicari'in..."
Mas manto kembali tersenyum dan mengecup tengkukku mesra. Dengan tangan kasarnya, ia langsung mengelus telapak tanganku yang masih bertengger di payudaraku. Perlahan, mas Manto membuka telungkupan telapak tanganku dan membiarkan payudaraku terekspos dengan bebas.
"Suka Gie" Tanya mas Manto
Ogie mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat, mirip mainan jadul, mainan anjing yang biasanyak dipasang didashboard mobil.
"Sebelumnya...apa kamu pernah megang tetek cewek? Tanya mas Manto lagi.
"Belum mas...belum..." gelengnya.
"Mau ngerasain lembutnya daging tetek kaya gini...?"
"Mas udah ah... " bisikku malu pada mas Manto.
"Mau...mau...mau" jawab Ogie tanpa berpikir.
"Sekarang coba kamu berdiri..." perintah mas manto lagi, tanpa menggubris keberatanku sama sekali.
Seperti anak TK yang diperintahkan gurunya, Ogie menurutin semua perkataan mas Manto. Dan seolah lupa akan rasa sakit pada perut akibat hantaman mas manto tadi, ia pun langsung berdiri. Kuperhatikan sosok pramusaji muda yang berada didekatku itu. Aku baru sadar, walau badan Ogie lebih tinggi daripada mas manto namun ternyata tubuh Ogie begitu kurus,. Sekitar 175cm / 55 kg. Berusia sekitar 20 tahun, berambut keriting dan berkulit kuning langsat. Ada sesuatu yang membuatku sedikit tertawa ketika melihat wajahnya, hidungnya besar sekali dan sedikit bengkok. Mirip hidung orang Negara timur sana.
"Aku jadi penasaran, bagaimana bentuk penisnya, apakah sama dengan yang diceritakan orang lain....?" Batinku sambil tersenyum tipis.
"Kamu curang Gie..." ujar mas Manto yang sekarang sudah mulai meremas daging kenyal payudaraku, membuat darah nafsuku semakin mendidih.
"Ma...maaf...? Kok bisa mas?"
"Lihat aja kami... aku dan biniku telanjang...tapi kamu? Masih berpakaian lengkap gitu?" ujar mas Manto. "Kalau kamu masih mau melihat keseksian tubuh biniku...lepas juga donk semua pakaianmu..."
"Waduh?..." Ogie menggaruk-garukkan kepalanya, bingung.
"Ya udah kalau nggak mau...kamu keluar saja...aku mau nerusin ngentotin biniku..."
"Ngentot? Emang kalau saya telanjang...saya boleh ngelihat bapak ngentotin istri bapak?" seolah tak percaya akan pendengaran telinganya, pramusaji itu memperjelas kalimat mas Manto barusan.
"YUP... itu kalau kamu mau..." Jawab mas manto singkat.
"Mas...apaan sieh..." tanyaku pada suami baruku yang masih memeluk tubuhku dari belakang.
"Tenang dek...kamu pasti bakal menyukainya..." bisiknya lirih padaku.
"Iya mau...mau...mau..." jawab Ogie yang sudah mulai tidak sabar. Segera ia melepas seluruh kancing kemeja kerjanya.
"EIIITTTSSS...Tapi...ada syaratnya..."
"Hah...? Syarat apa pak...?" Ogie kembali menggaruk-garuk kepalanya sambil melongo kebingungan.
"Kamu boleh melihat aku ngentotin biniku...boleh coli didepan biniku...bahkan kalo kamu mau, kamu boleh menyentuh tubuh seksi dan tetek biniku ini...asal..." mas Manto sengaja memutus kalimatnya. Ditimang-timangnya kedua gundukan daging besar yang ada di depan dadaku ini dengan tangan kasarnya, sembari menunggu respon dari Ogie.
"Ya? Asal? Asal kanapa pak?" Tanya Ogie tak sabaran...
"....asal...kamu mau menukar handphone canggihmu itu dengan handphone bututku" kata mas Manto sambil tersenyum lebar.
"ANJRIT" umpatku dalam hati.
Sebenarnya, jika kuperhatikan, kata-kata yang diucapkan mas Manto barusan sangat kurang ajar. Benar-benar kampungan. Dia menawarkan orang yang sama sekali tak aku kenal untuk dapat menikmati ketelanjanganku. Menawarkan pramusaji yang bekerja di depot kecil ini beronani didepanku. Dan menawarkan lelaki hidung bengkok ini untuk dapat menyentuh kemontokan aurat tubuhku, hanya demi sebuah handphone. Ya, hanya demi sebuah handphone. Namun aneh. Begitu mendengar kalimat kurang ajar mas Manto barusan, detak jantungku tiba-tiba semakin cepat dan darahku berdesir hangat. Mendadak, rasa isengku yang tadi kurasakan, semakin menggebu tak tertahankan. Rasa iseng untuk dapat memamerkan aurat tubuhku, rasa iseng untuk mempersilakan orang lain menyentuh tubuhku, dan rasa iseng untuk membiarkan orang yang tak kukenal melihat persetubuhanku. Kulihat, selangkangan Ogie sudah mulai besar menggembung, tanda nafsu birahinya sudah kembali.
Ia pun sekarang sudah mulai berani menatap ke arahku dan berulang kali melirik ke payudaraku yang masih tak tertutup bra sama sekali. Ia seperti berpikir keras, menimbang-nimbang penawaran yang mungkin hanya datang sekali dalam seumur hidupnya.
"Ayolah Gie, terima saja... " ujar mas manto. "Tuh...kontol kamu saja sudah ngaceng banget..." tambahnya ketika melihat Ogie menyentuh selangkangannya sekedar membetulkan posisi batang penisnya yang menegang.
"O...oke deh..." jawab Ogie yakin " kapan lagi bisa ngeliat bini orang dientot dengan mata kepala sendiri...." Ujar Ogie yang tanpa berpikir panjang langsung melucuti semua pakaian yang ia kenakan.
Kemeja, kaos kutang, celana panjang, sepatu dan kaos kakinya langsung melayang dan terjatuh ke lantai toilet tempat ia kerja. Kulihat tubuh kurus Ogie yang berwarna kuning pucat sekarang sudah berwarna kemerahan, tanda darah birahinya sudah memanas. Dadanya sudah bergerak naik turun dan nafasnya sudah sangat memburu. Saking hornynya, tangan kurusnya juga sudah tak dapat dapat diam, sesekali mengurut tonjolan yang membesar diantara selangkangannya. Namun ketika Ogie hendak membuka celana dalamnya, buru-buru mas Manto mencegahnya.
"Eit... sisain celana dalamnya buat biniku ya" potong mas Manto "...jangan dibuka dulu"
Terbersit sedikit kekecewaan diwajah mesum Ogie. Karena ternyata, hanya untuk beronani ria, tak semudah yang pramusaji itu bayangkan. Sambil menghela nafas panjang, Ogie hanya bisa menurut pasrah, dan membiarkan celana dalam coklat itu membungkus batang selangkangannya. Mengetahui nafsu birahi Ogie yang semakin memuncak, mas Manto tak tinggal diam. Tangan kirinya mulai kembali meremas payudaraku sambil sesekali memelintir putting susuku yang sudah mencuat tinggi, dan tangan kanannya meremas telapak kananku lalu membawanya kebelakang tubuhku.
"Kocok kontolku dek..." pintanya pelan sambil mengecup pundakku.
Seolah terhipnotis, aku langsung menggenggam batang besar selingkuhanku itu lalu mengocoknya perlahan. Ku tak habis pikir akan kehebatan penis mas Manto ini. Padahal baru beberapa menit tadi ia memuntahkan sperma kentalnya itu, sekarang penis itu sudah kembali mengeras disertai kedutan hebat.
"Benar-benar berbeda dengan penis mas Andri suamiku, yang jika setelah orgasme, perlu waktu puluhan menit untuk dapat kembali mengeras seperti ini...." batinku.
"Ooouuuhh... enak banget dek kocokan jemari lentikmu..." lenguh mas Manto. Dikecupnya pundakku berulang kali sambil memperkeras remasan tangan kasarnya pada payudaraku.
"Ouuhh mas..." merasakan remasan dan permainan jemari kasar mas Manto pada payudara dan putting susuku, aku hanya bisa mendesah. Dan semakin kupercepat kocokan tanganku pada penis panjangnya.
Melihat nafsu birahiku yang semakin tinggi, mas manto memindahkan tangan kanannya dari payudaraku dan menelusupkan kedalam celana dalam hijauku. Sambil tetap mengecup pundak dan tengkukku, mas Manto mulai mempermainkan biji kelentitku yang juga sudah mengeras.
"Enak dek?" bisik mas Manto.
"Iya mas... Enak banget ..." jawabku singkat " terus mas...terus towel itil adek..."
"Towel apanya dek?" Tanya mas Manto.
"I...Itil adek mas...towel itil adek" ujarku yang sekarang sudah tak malu-malu lagi.
Mendengar kalimatku barusan, alih-alih mempercepat towelan pada biji kelentitku, mas manto malah mendadak jongkok dibelakangku sambil buru-buru menurunkan celana dalam hijauku. Dan tanpa basa-basi, ia langsung berdiri lagi dan menempatkan batang panjangnya disela-sela pangkal pahaku lalu menusuknya perlahan.
"BLESSS..." Kepala penis panjang mas manto melesak masuk, menggesek bibir selangkanganku dan menyembul keluar melalui bawah celah kewanitaanku.
"Mas..." desahku sambil merasa bulu kudukku merinding.
Mas manto langsung menggesek-gesekkan batang beruratnya itu maju mundur. Dan karena saking panjangnya batang penis mas manto, ketika panggulnya menabrak pantatku, batang penis itu nongol jauh kedepan. Hingga sekilas, aku terlihat seperti memiliki penis yang tumbuh dari lubang kewanitaanku. Tangannya pun tak mau tinggal diam. Dengan kasar, diremasnya daging kembarku sambil sesekali memelintir putting susuku yang semakin tinggi mencuat.
"Mas...adek sudah ga tahan..." desahku pada mas Manto.
"Sabar ya dek...bentar lagi kok..." jawab selingkuhanku singkat.
"Gatel banget mas..." pintaku
Mas Manto tak menjawab derita birahiku, hanya terus mengecup pundakku, meremas payudaraku, memaju mundurkan pinggulnya dan terus menerus menowel biji kelentitku dari depan.
"Mas...ayo buruan... tusuk memek adek mas..." pintaku lagi.
Seolah telah tenggelam ke dalam rasa gatal birahi, semua rasa maluku seperti lenyap seketika. Tanpa rasa malu, aku meminta untuk dapat segera disetubuhi, mengiba untuk dapat segera dizinahi, tanpa memperdulikan sosok lelaki muda yang berada didepanku. Ogie yang sedari tadi melihat tingkah laku yang kamipun, nampaknya sudah tak mampu lagi menahan birahinya yang telah memuncak. Karena dapat kulihat, bercak lendir dikain celana dalam lusuhnya. Lendir precum yang telah membanjir keluar.
"Sange Gie..." Tanya mas Manto tiba-tiba.
"I...iya pak..." jawab Ogie malu-malu
"Pengen coli ya...?"
Ogie tak menjawab, hanya mengangguk malu-malu.
"Enak dek...?" Tanya mas manto padaku.
"Mas...ayo buruan..." desahku kesal, karena permintaanku sama sekali tak dituruti oleh selingkuhanku ini. Mas manto hanya menggesekkan batang penisnya diluar celah vaginaku.
"Buruan apa...?" goda mas Manto
"Ah mas... jangan becanda ah... adek sudah sange banget nih..."
"Buruan apa dulu...?"
"Tusuk memek adek..."
"Boleh...tapi ada syaratnya..."
Kukernyitkan alisku heran.
"Kamu bantuin Ogie coli ya..." ujar mas masto enteng sambil tersenyum.
"ANJRIT..." umpatku dalam hati. "Permainan apa lagi sih ini " batinku dalam hati...
Dengan santai, didorongkannya pundakku maju kedepan, mendekat kearah tempat dimana Ogie berdiri. Mas Manto yang berada dibelakangku pun menghentikan goyangannya. Mencabut batang penisnya dari bawah selangkanganku dan mulai menempatkan kepala penisnya di ujung celah kewanitaanku. Digesek-gesekkan bonggolan kepala penisnya itu pada bibir vaginaku yang sudah membanjir basah.
"Buka celana dalam Ogie dek..." pinta mas Manto tenang.
"Mas...apa-apaan sih...?" tanyaku dengan nada menolak, sambil mencoba menegakkan punggungku lagi.
Mendengar nada keberatan dalam suaraku, mas Manto semakin mempercepat gesekan kepala penisnya pada lubang vaginaku, sehingga membuat gatal dinding celah kewanitaanku semakin meronta-ronta. Ditahannya punggungku kuat-kuat, dan didorongnya tubuhku sampai wajahku menabrak tubuh Ogie.
Ogie

Dengan kedua tanganku, aku bertumpu pada dinding toilet, kutahan sekuat mungkin tubuhku supaya tak menabrak perut Ogie. Namun apalah daya, dorongan mas Manto dari belakang sangatlah kuat. Terlebih, gelitikan kepala penis mas Manto pada vaginaku, membuat pertahanan kaki-kakiku sama sekali tak dapat aku andalkan. Sehingga setiap kali aku meronta dan menolak permintaan mas Manto, kepala penisnya menguak masuk bibir vaginaku, membuat tubuhku melemas seketika. Untuk kesekian kalinya, kepalaku menabrak perut rata Ogie.
"Dek... ayo donk...buka celana dalam Ogie ..." perintahnya lagi.
Aku tak menjawab. Juga sama sekali tak bergerak. Hanya berdiam diri sambil berusaha menjauhkan tubuhku dari badan Ogie.
Karena gemas, mas manto semakin menggoda nafsu birahiku. Dan, tanpa sepengetahuanku, ia memerintahkan Ogie untuk meremas payudaraku.
"Oooouuugghhh..."
Seperti makan buah simalakama, aku tak dapat banyak berbuat apa-apa. Karena kedua tanganku menopang berat tubuhku supaya tak menabrak badan Ogie, aku menjadi sama sekali tak berdaya ketika pramusaji itu mulai meremas dan mempermainkan payudaraku. Terlebih, dari belakang tubuhku, mas Manto semakin menggelitik bibir vaginaku dengan bonggolan kepala penisnya, membuat lendir kewanitaanku semakin membanjir.
"Empuk banget pak..." ujar Ogie kegirangan "Anget..."
"Enak khan Gie? Itulah kelebihan tetek biniku..." bangga mas Manto "Coba kamu pelintir pentilnya..."
"Keras banget pak...mirip manisan anggur..."
"HAHAHAHAHAHA..." tawa mas manto meledak, mendengar kata-kata polos Ogie.
Merasakan permainan dua lelaki mesum ini pada tubuhku, aku hanya bisa pasrah, melenguh keenakan dan membiarkan mereka memainkan semua aurat tubuhku sesuka mereka.
"Enak dek?" Tanya mas Manto
"Hggghhh...."
"Mau mas sodok sekarang dek?" tanyanya lagi.
"Hhhooo...oohh..." jawabku.
"Tapi... kamu mau khan... nyepong kontol Ogie? Mas pengen liat kamu nyepong kontol orang lain dek..."
ANJING. Benar-benar kurang ajar kalimat mas Manto, sangat tak berpendidikan. Baru kali ini aku dipermalukan seperti ini. Ia sungguh-sungguh memerintahkan aku untuk mengonani dan mengoral penis orang yang sama sekali tak aku kenal. Namun apa dayaku, karena rangsangan bertubi-tubi dua lelaki mesum ini pada vagina, kelentit dan payudaraku, otakku sudah tak mampu berpikir jernih sama sekali. Yang aku bisa lakukan hanyalah melenguh keenakan dan menganggukkan kepalaku, menyanggupi permintaan bejat suami baruku.
"G...Gie buka celana dalammu...mbak pengen nyobain kontolmu...." pintaku lirih.
Bak mendapat durian runtuh, Ogie segera membungkukkan badannya dan melepas celana dalam lusuhnya. Sampai-sampai, karena saking bersemangatnya, begitu karet celana dalam Ogie melorot kebawah, ujung kepala penisnya langsung mencuat keatas, menampar dagu dan hidungku.
"Huuffhhh..." Aku melihat batang kemaluan lelaki lain tepat di depan hidungku.
Dengan seksama, kulihat penis lelaki perawakan timur tengah ini.
"Besar dari hongkong...?" tanyaku dalam hati. Tiba-tiba aku tertawa sendiri. Nampaknya, batang penis yang Ogie miliki, agak sedikit berbeda dengan apa yang orang-orang gemborkan. Tak sebesar pemberitaan yang beredar dimasyarakat. Karena begitu melihat penis Ogie, semua kabar itu kuanggap hanyalah mitos belaka. Batang penis Ogie tak jauh berbeda dengan penis orang Indonesia pada umumnya, malah tak sampai setengah dari besar batang penis mas Manto. Walau memang agak sedikit lebih panjang daripada penis suamiku, namun penisnya sama sekali tak seperti yang orang pikirkan tentang orang Timur Tengah sana. Penis itu begitu kurus.
"Mirip keripik belut..." tawaku lagi dalam hati.
Karena memang benar, sekilas penis Ogie terlihat begitu unik. penis itu berwarna hitam, beda dengan warna kulit pemiliknya. Ditengah batang penisnya, terdapat sambungan kulit kulup bekas khitan berwarna merah tua, dan disekujur batang penisnya bertonjolan urat-urat berwarna hijau kehitaman. Rambut kemaluannya tumbuh tak terawat, sangat rimbun dan panjang, sehingga kalau dilihat sekilas, buah zakar Ogie seolah menghilang tertutup rambut kemaluannya. Dan, yang paling lucu bentuk batang penisnya, bengkok kekanan.
Kurentangkan jemari tangan kananku dan kuletakkan dipangkal penisnya. Kucoba mengukur penis Ogie. "Hhmmm...lumayanlah...sekitar 16-17 cm....Ternyata...tak beda jauh dengan penis mas Andri...apa mungkin karena diameternya yang tipis ya...sehingga membuat penis Ogie terlihat lebih panjang" tanyaku dalam hati sambil mencoba menggenggam batang penis setebal 2 jari itu.
Tipis sekali batang penisnya, karena hanya dengan ibu jari dan jari telunjuk, penis kurus ini Ogie sudah dapat kukocok. Sungguh berbeda dengan batang penis mas manto, yang perlu segenggaman penuh jemari tanganku untuk dapat mengocok batang penisnya dengan benar.
"Pasti sakit sekali kalau ditusuk oleh batang kurus bengkok kayak gini..."
Mendadak, ketika sedang melamunkan batang penis Ogie, tanpa ada pemberitahuan apapun dari mas manto, kurasakan bonggolan daging kepala penisnya mulai menyeruak kedalam bibir vaginaku.
"CLEEEPP"
"Oooooouuuggghhh" lenguhku perlahan.
Kembali kurasakan denyutan kepala dan batang penis mas manto, memenuhi setiap centi rongga vaginaku. penis keras itu terasa begitu besar dan sesak, menguak celah kewanitaanku lebar-lebar.
"Enak dek...?"
"Hee...ehhh" Kuanggukkan kepalaku dalam-dalam.
"Yaudah...buruan sepong kontol kurus itu dek..." ucap mas Manto sambil mendorong pinggulnya maju dengan keras, mencoba melesakkan batang raksasanya masuk kerongga vaginaku.
Segera saja kudekatkan penis itu ke mulutku. Namun, begitu aku akan menjilat kepala penis Ogie, mendadak, hidungku menangkap aroma yang sangat tak mengenakkan. Aroma itu berasal dari depan wajahku, dari batang penis yang menyeruak tegak dari rimbunnya rambut kemaluannya. Selangkangan Ogie benar-benar berbau tak sedap. Pesing dan amis bercampur menjadi satu. Aromanya benar-benar pahit. Kusentuh kulit kepala penisnya dengan ujung lidahku lalu kukecap rasa dan teksturnya.
"Asin..." batinku.
"Yak...gitu dek...bener...sepong kontol kurus itu dek" ujar mas manto yang semakin mempercepat sodokan penisnya.
Karena akal sehatku telah tertutup nafsu birahi, aku hanya bisa melenguh keenakan dan mulai menjulurkan lagi lidahku, mencoba merasakan batang pesing milik pramusaji mesum ini.
"Nakal kamu yaaa..." ujar mas Manto sambil mulai menghujamkan batang raksasanya dalam-dalam "...istriku nakal sekali...mirip pelacur murahan...buruan dek ...buruan...sepong saja kontol kecil itu...hahahahaha..."
Tak kupedulikan ocehan tak bermutu yang keluar dari mulut mas Manto. Yang pasti, saat ini, aku hanya menginginkan satu kata, yaitu orgasme.
"Oouuggghhhmm...enak banget maaassss...."
Kembali kukocok batang penis kecil itu dan perlahan kutarik mendekat kearah mulutku. Karena sudah sangat bernafsu, tak kuhiraukan lagi segala aroma pesing penis pramusaji itu. Dan, segera saja kumasukkan batang kurus itu kedalam mulutku.
"HAP..." kucaplok kepala penis Ogie dengan lahap. Membiarkan dirinya merinding dan mengejang-ngejang keenakan.
"HOOOooooooooohhhhhh...mbak...."
"SLUUuuuurrrppp..." jilatan lidahku langsung menyapu seluruh permukaan kepala penisnya yang sudah memerah. Bibirku menyedot dan mengurut batang penisnya sambil sesekali kukocok perlahan.
Susah sekali mengurut dan mengoral penis Ogie yang membengkok seperti pisang itu. Aku tak bisa masukkan seluruh batang kurusnya kedalam mulutku. Karena setiap kucoba menelan batang bengkoknya, kepala penisnya selalu menabrak dinding pipi kiriku. Namun, bukan Liani namanya, jika aku tak dapat menaklukkan penis bengkok perjaka ini. Tak kehabisan akal, kukunyah buah zakar yang penuh ditumbuhi rambut itu dengan bibirku.
"Ooooohhhh...mmmmhhhh" gelijang Ogie menjadi-jadi.
"Gimana Gie?" Tanya mas manto "Enak nggak sepongan biniku?"
"Ooohhh...HOOOooooooooohhhhhh...." Lenguh Ogie sambil menganggukkan kepalanya berulang kali.
Merasakan kenikmatan dari mulut dan bibir tipisku, tangan Ogie pun bergerak semakin liar. Remasan dan pelintiran jemarinya semakin keras. Mencengkeram daging payudaraku yang menggelantung bebas sambil sesekali membetot putting susuku. Mas mantopun berbuat serupa, mungkin karena melihat wanita selingkuhannya mengoral pria lain, darah nafsu mas Manto semakin mendidih.
"PLEK...PLEK...PLEK..." suara tumbukan alat kelamin kami kembali menggema.
Threesome, seks bertiga. Aku, mas Manto dan Ogie, berlomba-lomba untuk dapat lebih dahulu mencapai garis finish kenikmatan. Orgasme, itulah satu-satunya tujuan kami. Lenguhan, desahan dan teriakan kenikmatan, keluar dengan seksi dari mulut kami bertiga. Semua kegaduhan itu, tak lagi kami hiraukan. Masa bodoh, tak peduli jika ada orang lain yang mendengar.
"Hoooohhh mbak...enak banget..." ujar Ogie, yang mungkin baru pertama kalinya ia merasakan dioral oleh istri orang lain. Ia semakin beringas meremas buah payudaraku yang menggelantung bebas, sambil sesekali ia memegang kepalaku dan meminta mulutku untuk mengurut batang penis kurusnya naik turun.
Di belakang tubuhku, Mas manto seperti memakai holahop, menggoyangkan pinggulnya maju mundur dengan cepat. Melesakkan penis panjangnya berulang kali ke liang vaginaku.
"Liani...kau benar-benar nakal" batinku dalam hati "Lubang mulut dan vaginamu dipakai oleh dua orang yang berbeda dalam waktu bersamaan...benar-benar GILA..."
"PLEK...PLEK...PLEK..."
Akibat hujaman penis mas Manto yang begitu kasar, kurasakan bibir dan liang vaginaku menjadi sangat sensitive, geli jika disentuh. Lendir vaginaku tak henti-hentinya merembes keluar, membanjiri selangkangan dan pahaku. Basah, benar-benar basah. Biji keletitkupun kurasakan sudah merah membengkak, sangat terangsang. Sampai tiba-tiba rasa panas yang sangat aku kenal mulai turun dari rongga rahimku. Orgasmeku akan segera tiba.
"Mas...Ohhh....mas....aku mo keluar mas..." ujarku sambil menengok kearah selingkuhanku yang dengan giat menancapkan batang penisnya dalam-dalam ke liang vaginaku. Melihatnya merem melek keenakan, segera saja kucengkeram paha kanan mas Manto, memintanya untuk segera mempercepat sodokan penis besarnya.
"Hhh...hhh dasar perek...baru bentar saja sudah mau keluar...Enak dek?" Tanya mas Manto dengan nafas yang memburu.
"Mmmmhh....enak mas...terus mas... terus..." jawabku sekenanya, tak memperdulikan semua julukan bejatnya padaku.
Kuterus menggoyang-goyangkan pinggulku sambil terus kembali mengenyot batang bengkok Ogie dengan mulutku.
"Terus apa dek?"
"Terus...sodok memek adek mas...
"Aduh...mas nggak ngerti..." ujar mas Manto pura-pura bego.
"Ah mas...jangan becanda ah..."
"Bener dek...mas masih nggak ngerti mau kamu..." tambahnya lagi " minta yang bener dong...kamu minta apa?"
"Shhh....sodok memek adek mas...shhh..."
"Sodok?"
Sebenarnya aku merasa sebal akan tingkah bego yang dilakukan mas Manto, namun karena ingin cepat-cepat merasakan orgasme, untuk terakhir kalinya kuperintahkan...
"ENTOTIN MEMEK ADEK MAS...ADEK MO KELUAR..." perintahku lantang ke suami baruku. Aku tak peduli akan adanya Ogie yang juga berada didalam ruangan toilet itu. Yang jelas, saat ini aku ingin segera orgasme. Titik.
Mendengar perintah lantangku, tiba-tiba, mas Manto menghentikan gerakan maju mundur pinggulnya, mencabut batang berbonggolnya dan memutar badanku yang masih dalam posisi membungkuk itu 180 derajat. Sekarang kepalaku menghadap batang penis mas Manto dan vaginaku menghadap ke badan kurus Ogie. Tanpa basa basi, mas Manto segera saja menyorongkan batang penisnya kearahku. Ia berusaha menjejalkan batang raksasa yang masih berlumuran busa putihnya itu masuk kedalam mulutku. Karena begitu kuatnya dorongan kepala penis mas manto, sampai-sampai tubuhku agak terdorong mundur dan menabrak badan Ogie.
"Mas...?" tanyaku keheranan. Kucoba mencari tahu apa maksud selingkuhanku ini. Namun setiap kali kucoba menegakkan tubuhku, lengan kekar mas Manto mencegahnya dan memintaku untuk tetap pada posisi membungkuk ini.
"Mas...?" tanyaku lagi sambil mendongakkan kepalaku mencoba mencari tahu.
Mas Manto sama sekali tak menjawab, ia hanya menatapku tenang sambil tersenyum.
"Ayo Gie... gantian...." ujar mas Manto.
"Apa-apaan ini mas?.....mmmppphhhhfff" mulutku tak mampu meneruskan kalimat yang akan kutanyakan pada selingkuhanku. Mas Manto mencengkeram kepalaku dengan erat, dan mulai memaksakan penisnya untuk masuk.
Tiba-tiba, kurasakan tangan dingin Ogie menyentuh pantatku. Perlahan namun pasti, tangan itu mulai berani mengelus dan meremas buah pantatku. Bahkan tak jarang, tangan Ogie berani menyentuh celah vaginaku yang masih basah berlumuran lendir kewanitaanku.
"Ogie...apa-apaan kammmmmppphhhfff" lagi-lagi, aku tak mampu menyelesaikan kalimatku, karena kembali mas Manto memegang erat kepalaku, dan menjejalkan batang raksasanya kuat-kuat ke dalam mulutku.
"Ayo Gie...buruan masukin kontolmu...sekarang giliranmu untuk bisa ngerasain gimana enaknya empotan memek biniku..." perintah mas Manto pada pramusaji mesum yang berdiri tepat di belakang liang kewanitaanku..
 
Kelanjutan setelah ini yg ga aaada...,.yg punya share dunk
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Dikira bakalan ada lanjutannya. Ternyata sama aja, thanks udah share lagi. setidaknya jadi ga lupa sama cerita ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd