Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kopi

Bimabet
Yo wes lah. Sekarang waktunya apdet. Abis ini mau ngeladeni apdetan orang lagi. Hari ini baru kelar satu. Masih ada beberapa yang lain numpuk. Apdet setelah ini nunggu yang lain kelar dulu, baru mulai ngetik lagi. Itupun kalau masih ada marlena, eh arlena, eh ide hehehe :)
 
Bab 5


"Lha ini, juragan kita nih. Gimana pijetnya sama Marlena enak?"

"Wuidiiih, semalaman coy. Sampe kusut dengkule hahaha."

Nah, yang gini ini yang aku takutkan. Pagi-pagi sudah ketemu kebo. Eh, ketahuan dari arah mana. Nah, baru arah saja dia sudah tau aku dari mana. Lha berapa lama aku di sana dia juga sudah bisa nebak aku lagi ngapa-ngapa... Emm bahasa Indonesianya olaopo itu apa ya? Ya sudah, gitu deh.

Alhasil, dia pun ngajak aku, lebih tepatnya menyeret, emm menodong, atau apalah yang lebih ekstrim, ke warungnya Bi Yem. Buat "ngopi" katanya. Ya ujung-ujungnya interogasi. Dari situ aku tau bagaimana Kebo bisa tau kalau aku baru saja nginep di rumah mbak Marlena. Kemarin itu, agak malam, kebo datang. Terus Bi Yem ngasih tau, kalau tanganku terkilir. Kecekluk kalau orang sini bilang. Terus sama Bi Yem aku disuruh ke tempatnya mbak Marlena. Ealah, paginya ketemu. Lha jadilah aku diajak ngopi sama Kebo. Terus aku diinterogasi gini...

"Mbulet ae ngomonge. Terusno ae ceritone cak. Ojo mbulet ae koyok raimu!"
(Mbulet aja ngomongnya. Teruskan aja ceritanya cak. Jangan mbulet sepert mukamu)

"Iyo sik talah ambekan disik."
(Iya sebentar tah. Bernafas dulu)

"Yo wes ndang tutukno."
(Ya sudah buruan lanjutkan)

Yo wes lah, nasib. Udah dikasih pijet gratisan. Bonus makan dan peluk pula. Apa salahnya sih ngasih sedikit recehan untuk mbayari kopinya Kebo pagi ini.

"Bi, kopi sama gorengannya tujuh, rokoknya gak tau Kebo ambil mildnya berapa tadi. Kayaknya lima deh. Soalnya ada yang dikesak tuh," tanyaku kepada Bi Yem, beberapa saat setelah Kebo pergi.

"Bentar yo To. Emmm... Kopi delapan ribu, gorengan tujuh ribu, rokok lima ribu. Dua puluh ribu semua."

"Nih Bi," aku menyerahkan selembar uang warna hijau, terus balik ke kost.

Sesampainya di sana, aku langsung ganti baju, nyalakan motor, berangkat. Kulakukan semua agar aku gak terlambat terlalu lama di kantor. Sebuah harapan yang sia-sia. Bagaimanapun rapat mingguan marketing sudah dimulai ketika aku memasuki ruangan.

"Tumben kamu terlambat To?" tanya Ima sesaat setelah aku memasuki ruangan.

Sebuah pertanyaan yang gak tau harus kujawab pake apa. Kombinasinya sulit. Rumusnya juga rumit. Gabungan antara kecelakaan, pijet, pingsan, sarapan, kopi, macet, terlambat, deg degan, dan pertanyaan menohok. Semua dikemas dalam wadah yang namanya rapat. Sedangkan yang namanya rapat, pasti suasananya lebih resmi. Beda lah sama cangkrukan. Bikin aku hanya bisa menjawab...

"Emmm," jawabku.

"Sudahlah, simpan saja jawabanmu nanti. Akan ada sesi khusus denganku. Sekarang kita lanjutkan tadi," Ima mengalihkan fokus pembicaraan kembali kepada materi rapat.

Dan bisa ditebak. Rapat tadi gak masuk sama sekali di otakku. Aku gak bisa konsen sama sekali. Ancur ancur dah hari ini.

"Lapo koen To? Dungaren telat?" tanya Alit serelah rapat selesai.
(Ngapain kamu To? Tumben terlambat?)

"Emboh lah Lit, isuk iki ruwet."
(Entah lah Lit, pagi ini ruwet)

Nah, dengan Alit, dan dalam kondisi yang lebih santai, aku baru bisa menceritakan kronologi kejadian mulai dari pulang kerja kemarin. Ditambah Ima yang bergabung setelah membereskan berkas, jadilah sesi curcol ini semakin menjadi-jadi. Ya, intinya mereka mendengarkan curhatku lah.

"Makanya To, kalo jalan itu jangan meleng aja," ucap Ima memberi nasihat.

"Iya To. Ndang goleko pacar. Ndang rabien, ben matane gak ndelereng ndeloki arek wedok ndik dalan ae," tambah Alit kemudian.
(Iya To. Segera carikan pacar. Segera nikahi, biar matanya gak liatin perempuan di jalan saja)

"Iya iya. Aku sudah berusaha konsen. Nih buktinya tadi. Aku sampai dengan selamat toh," ucapku sambil manyun.

"Lagian jodoh itu tergantung yang di atas," lanjutku.

"Iya sih tergantung. Tapi kalo kamu gak berusaha meraihnya, ya kegantung terus. Gak bakal dapet deh," balas Ima.

"Iya iya, aku berusaha."

"Nah gitu dong. Itu baru namanya pren. Ya gak Ima?" kata Alit.

"Iya, gitu deh. Tapi gimana caramu berusaha?" timpal Ima.

"Emmm.... Mboh," ucapku singkat.

"Yah-"

"-Yah," ucap mereka bersamaan.

"Ngene ae Ma. Yok opo lek awak dewe nyomblangi arek elek iki. Sopo weruh cocok?" usul Alit.

"Boleh juga Lit. Biar kita cariin aja cewe yang masih single buat dia," jawab Ima.

"Wes talah Co. Aku ngerti kalian perhatian sama aku. Boleh lah nyomblangi, tapi jangan terlalu memaksa. Aku takut malah kalian sendiri yang kenapa napa."

"Udah diem aja kamu To. Nanti tak carikan cewek yang kira-kira pantas dan mau denganmu," ucap Ima tegas.

"Ya sudah terima kasih banyak. Aku tak nurut ae."

"Nah gitu toh. Ya sudah kita lanjut. Tak ulangi lagi ya simpulan rapat tadi. Khusus yang berhubungan denganmu," jelas Ima.

Selanjutnya aku mendapat briefing kilat dari Ima. Dari situ aku mengetahui bahwa wilayah kerjanya minggu ini adalah kecamatan tempat kosku. Waduh. Daerah situ kan sulit. Orang-orangnya gak terlalu doyan kopi tubruk. Mereka demennya wait sama meskape. Nah, bisa bayangkan kan bagaimana jualan kopi tubruk di basis minumnya wait sama meskape. Masak harus kujual saja semua ke Bi Yem. Haish, aku gak boleh menyerah.

Oke, rencanaku adalah: Bi Yem adalah pembeli utamaku. Dengan aku dan Kebo jadi pelanggan setianya. Artinya.... Cari tau sendiri lah artinya apa. Nah, minggu kemaren kan aku sudah survey, sekaligus memetakan jualan kopi di wonokromo dan wonocolo. Nah, kebetulan juga minggu ini yang dapet wilayah situ juga si Alit. Nah, sekarang kan bulannya dah ganti. Pake bulan purnama. Nah, kalo sudah begitu mudah kan lobinya ke Alit, untuk nutupi target bulan ini. Nah, entah apa. Pokoknya aku bilang nah saja. Masalah buat lu?

Sasaran pertamaku hari ini adalah pasar. Di sana ada toko yang biasanya jadi tempat kami, anak kos belanja. Setelah melaju meliuk melintasi padatnya jalanan surabaya, akhirnya sampailah aku di ruwetnya pasar. Kebetulan pula tokonya gak begitu ramai. Segera kuparkirkan motorku di depan toko.

"Om, sepi nih jualannya?"

"Eh kamu To. Iya nih, rada sepi hari ini. Kenapa? Tanya kopi?"

"Hehehe iya om. Kopinya gimana om? Laku berapa seminggu ini?"

"Lumayan. Seminggu dapat lima renteng. Kamu kasih lima aja buat nambahin stok."

"Sepuluh lah om. Tak diskon wes. Kan langganan."

"Hayah, kalo sepuluh sulit jualnya."

"Mau lah om. Tak kasih diskon sepuluh ribu. Nah tuh kan. Murah lho. Tapi sepuluh. Gak bisa kurang. Sayang tuh kalo kurang. Diskonnya ilang loh."

"Huuuh dasar kau, pinter sekali kalo nawari barang. Ya sudah aku ambil sepuluh. Tapi gak jamin bisa habis dalam seminggu ya."

"Iya deh om. Terima kasih."


Segera kuambil sepuluh renteng dari motor. Kuberikan kepada si om pemilik toko. Huft, diskon sepuluh ribu sebenarnya yang rugi ya aku. Kasih harga ke pabrik minus lima ribu. Tapi gak pa pa lah, sekali-kali. Biar laris hehehe.


"Ini om. Sekalian nomer hape saya. Kali aja om butuh lagi kopinya hehehe."

"Iya iya. Trims ya."


So, pedagang pertamaku hari ini sudah bikin laku. Moga aja berikutnya bikin laris hehehe. Oke, siap-siap naik motor. Lho eh, itu kan...


"Hei, Bi.... Bi Yem! Woi."

"Eh kamu To. Kirain sapa."

"Hehehe iya bi. Lagi kerja nih. Kebetulan dapet daerah sini. Udah dapet belanjanya?"

"Udah, tuh dibawa si Aji sama becaknya," ucap Bi Yem sambil menunjuk ke arah becak yang mangkal agak jauh dari tempat kami berada

"Oh iya Bi... Kopinya masih ada gak?"

"Ada To. Tinggal dikit. Mau kamu tambah tah? Kamu bawa berapa?"

"Iya Bi. Banyak ini."

"Ya sudah, lima renteng aja, buat seminggu cukup," ucapnya sambil mengeluarkan dompet.

"Siap Bi. Bayarnya nanti saja, di warung."

"Hehehe ngerti saja kamu sama kebutuhan wanita di pasar To."

"Hahaha, guwe gitu loh," ujarku sambil mengambil rentengan kopi berikutnya.


Akhirnya Bi Yem pergi setelah menerima lima renteng kopi dariku. Alhamdulillah, bonus lima renteng. Memang rejeki gak akan kemana.

Next, toko pojokan pasar. Kupacu motorku pelan. Harus berhati-hati kalau lewat sini. Kalau tidak, bisa berbahaya. Senggol bacok! Hahaha, gak segitunya juga kali. Tapi namanya juga pasar. Banyak orang jalan sembarangan. Kalo aku jalannya ngebut, ya nabrak. Kalau nabrak, yang susah kan ya aku juga. Kalo luka yang bawa ke rumah sakit ya aku. Kalo gak. Mau ke rumah sakit, minta ke tukang pijet, ya harus bayari biayanya. Dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain.

"Kong, kopi kong," tawarku kepada engkong penjual di toko pojok.

"Eh, iya... Iya. Gak banyak, dua pak saja. Belapa semua?"

"Lima puluh tujuh saja. Itu sudah termasuk diskon," aku tahu temanku kemarin jual lima puluh tujuh. Jadi aku gak akan ngurangi harga lagi. Kasihan temanku yang minggu depan. Apalagi ini toko yang berpengaruh. Beda sama toko yang pertama tadi. Salah sendiri beli cuma rentengan. Kalo beli pak-pak an kan harganya beda hehehe.

"Haiyaaah, belum bisa tulun juga halganya."

Nah, yang gini nih sulit jawabnya. Bagaimanapun, pembeli selalu ingin nawar lebih rendah hehehe.

"Harga kopi mentah masih tinggi kong. Nanti kalo sudah turun, pasti harganya ngikut."

"Kalo gitu owe minta bonus deh."

"Bonus? Cipok ya. Nih," bibirku kumonyong-monyongkan seolah mau mencium dia.

"Hayaaah... Ogah ogah ogah. Hahaha bisa saja kamu anak muda. Nih duitnya. Selatus empat ya."

"Hahaha kamsia kong. Kamsia."


Lumayan. Laku dua puluh empat renteng. Target sih laku sepuluh pak dalam dua hari. Huft. Makin berat saja target yang ditetapkan Ima. Kuambil persediaan kopi di motorku dan kuserahkan kepada anak buah engkong. Tak lupa aku berpamitan kepada mereka.

Kini aku bersiap menuju sasaran berikutnya. Masih di pasar juga sih sebenarnya. Enak juga main di pasar sih. Lebih cepat lakunya. Tapi gak mungkin kan ke sini juga tiap hari. Bisa bosen mereka. Maka besok aku harus bergerilya lagi ke toko-toko di luar pasar. Nah ini yang agak sulit. Harga sih emang lebih mahal daripada pasar. Tapi lakunya ya gak sebagus pasar.

Sudahlah, bukan waktunya berdiam diri. Sekarang aku harus menuju toko berikutnya. Apalagi hari semakin siang. Bentar lagi toko-toko pasti tutup. Aku harus bergerak cepat. Kunyalakan motorku, kunaiki, dan kujalankan perlahan. Ingat, ini pasar.

Toko terakhir yang kukunjungi hari ini pemiliknya cakep. Cute. Gampang digoda. Digoda lho ya, jangan ditafsirkan macam-macam. Ingat, ini pasar.

"Trus apa hubungannya?"

"Gak tau. Pokoknya ada."

"Ih, maksa!"

"Suka-sukaku lah. Orang ini curhatanku."

"Tapi kan yang bikin cerita ini ane."

"Eh kata siapa kamu bikin cerita ini? Buktinya, yang kemarin aja kamu bikin cerita jiplakan."

"Tapi itu kan..."

"Itu, itu. Udah lah, kamu nurut aja. Kalo enggak aku mogok kerja runyam noh."

"Iya iya. Dasar bawel."

"Dasar tukang protes. Sudah ah, lanjut."

"Mbak Aaniii, kopi yang kujual laku banyak gak?" ucapku setelah berada di dalam tokonya.

"Kopi apaan?"

"Kopi tubruk sachetan."

"Oooh yang itu. Lumayan. Emang kamu ada stok?"

"Ah, mbak minta berapa sih?" ucapku dengan nada menggoda.

"Ah kamu, kayak apaan aja To," ujarnya sambil malu-malu.

"Hihihi, emang kemarin gak ada yang ngirim ya mbak?" aku tau soalnya gak ada yang lapor abis jualan ke toko ini.

"Iya To. Cuma kamu saja yang mesti ke sini. Atau... Kamu sengaja ya gak ngasih tau yang lain?"

"Kan kamu sepecial milikku mbak."

"Aiiiisssshhh.... Kamu godain aku terus."

"Abisnya mbak cakep sih."


Plash.... Pipinya bersemu merah sekali.


"Dasar gombal."

"Gak ada gombal gak bersih lho."

"Kan ada vacum cleaner."

"He em?"

"Ih dasar penggoda," tangannya menepuk ringan lenganku. Dia pun tertawa ringan.

"Hahaha, sudah ah. Mbak cantik pengen beli berapa pak sih?"

"Untuk setok sebulan butuh berapa banyak?"

"Emm biasanya mbak cantik butuh berapa?"

"Emm berapa ya? Kalo satu pak dulu gimana? Biar nanti kalo kurang aku telpon kamu aja. Gimana?"

"Emm boleh. Nomerku masih mbak catet kan?"

"Ya pasti lah. Eh, ntar aku cek dulu. Emmm mas To..." ujarnya dengan volume suara yang makin pelan. Jarinya runut, digerakkan di layar hapenya, mencari kontakku di sana.

"Nah, ada. Gak ganti kan mas? Coba aku telepon ya."


Aku memgambil barang di motor setelah terdengar tanda dering di hape dan mengkonfirmasikan panggilan dari mbaknya. Setelah berbasa basi sebentar, akupun pamit kepadanya. Hmmm.... Sosok yang menarik. Cantik, grapyak, entah apa bahasa Indonesianya, bisa digoda, dan gak gampang marahan. Aku tahu sifatnya dari dulu karena aku sering ke tempat itu, baik untuk jualan kopi, maupun membeli kebutuhan sehari-hari. Toko itu seperti tempat favorit kami, para jomblo ngenes di kos-kosan, untuk berbelanja hehehehe.

Ah, omong-omong tentang kos-kosan, sambil jalan kuceritakan sekilas tentang kosku. Kebetulan deket dari sini.

Kosku sederhana sih, tapi nyaman. Ada dua lantai di sana. Masing-masing sepuluh kamar, dengan kamar mandi ada di dalam kamar masing-masing. Dari seluruh kamar yang ada, baru dua belas kamar saja yang terisi. Seluruhnya pekerja, entah itu sales sepertiku, ada pula yang jadi supervisor dan manajer muda, eh junior manager, itu ya istilah kerennya? Kesibukan itu lah yang menjadikan tempat ini selalu terlihat sepi. Pergi pagi pulang malem. Nyaris gak ada interaksi diantara penghuni, kecuali pada hari sabtu, minggu, dan hari libur. Itu pun kalau mereka gak pulang kampung. Meski begitu, terkadang kami membuat acara kecil-kecilan. Biasanya sih kalau ada momen tertentu dan dimungkinkan malam hari kalau besoknya pada libur. Misalnya bakar ikan pada malam tahun baru. Nah, kalau sudah ada acara seperti ini mereka biasanya kompak. Pasti ada saja yang dikerjakan. Mulai dari nyiapin bahan, peralatan, ikan, nasi, sampai gitar pun ada yang ngurusi. Ah, biasanya aku kebagian nyiapi kopi hehehe. Dapur umum ada satu. Paling sibuk pada malam hari, ketika penghuni kos mulai datang dan membuat kopi... Eh iya, kopi. Kusediakan kopi tubruk sachetan selalu. Memudahkan mereka jika ingin membuat. Dengan kaleng tempat membayar tentunya. Lumayan lho, cuma lima ratus rupiah saja. Di warung gak ada yang jual segitu. Murah kan?

Akhirnya sampai juga di kos. Penat rasanya siang-siang begini. Setelah menaruh motor, membereskan barangku seadanya, aku langsung masuk kamar. Setelahnya kulepas baju dan mandi. Hmmm segar rasanya. Setiap tetes air yang mengguyur tubuhku serasa embun yang menyejukkan di pagi hari. Wuih.... Sueger rek.

Setelah mengguyur tubuh, tak lupa kusabuni semua bagiannya. Dari muka sampai pangkal paha dan belama-lama di "ekornya". Aku menikmatinya, sungguh. Bayangan itu silih berganti, berklebatan di pelupuk mataku. Mbak toko, mbak Marlena, Yu Jum, dan Ima... Eh? Ima? Woi, gak pake Ima woi. Dasar penulis gebleg! Gak baik teman sendiri dicoliin!

Ah, sudahlah gak perlu diceritakan bagaimana aku coli. Kalian pasti lebih mahir daripada aku. Betul kan? Betul!

Selesai mandi dan melakukan ritual begituan, aku segera merebahkan diri di kasur. Surga milikku satu-satunya. Menikmati buaian mimpi sebelum kembali ke kantor sore nanti.
 
Disini mulai diperjelas, apa hubungan paidi dengan si to. Berikutnya break dulu. Mo ngerjain cerita (orang) lain hehehe :p
 
Apik cak to,,,
Monggo dilanjut,,
:jempol:

Sekalian ngopi karena sudah masuk jam nya,
:ngeteh:
 
trengg:motor6:ghh.. tengg... teengg...wusshhh..


kerjaa:dansa:aaaa......
kerjaaaaaa........:dansa:
:dansa:...kerjaaaaaaaaaa...



hm:ngeteh:mmmmm​
 
Wah ga jadi pertamax dipage baru....


Btw ini cerita org bikin kopi yah?


:tkp:
 
K**al api mantap ...om mas bro pai' nunggu apdet..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Pagi-pagi dapat suguhan kopi 2 chapter





Makasih suguhan kopinya suhu:ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd