"PLEASE La. Aku khilaf. Kamu mau
kan maafin aku?" iba Ran.
Laila mendesah. Sulit baginya untuk tidak memaafkan Ran, apalagi dia sangat mencintai pria ini. Lagipula, jika mendengar penjelasan dari calon suaminya itu, dia pun punya andil hingga sang kekasih berselingkuh.
Ya, Laila tau Ran berselingkuh dengan Sarah, mantan istri kekasihnya. Perselingkuhan yang dia saksikan dengan mata kepala sendiri.
Senin siang, satu jam menjelang waktu istirahat. Tak bisa menutupi rasa khawatir, Laila akhirnya mengakhiri sambungan telepon. Sudah tiga kali dia berusaha menghubungi Ran namun tak diangkat. Tak lama gadis itu memutuskan untuk menghubungi kantor sang kekasih.
Dugaannya tepat, ternyata Ran ijin karena sakit. Tanpa menunda, Laila pun bergegas menuju parkiran untuk menengok sang calon suami, membayangkan pria itu mungkin tengah meringkuk lemah di ranjang.
Betapa marah dan hancur hati Laila ketika dia temukan Ran berdiri bugil di hadapan Sarah, yang duduk di sofa dengan tubuh bagian atas telanjang. Mantan istri kekasihnya itu tampak asik mengocok
kontol dengan wajah celemotan sperma.
Murka, kecewa, dan sedih, Laila bergegas balik badan. Meninggalkan rumah itu dengan air mata berlinang, saat Sarah mulai menghisap
kontol Ran yang berkilat licin.
Selama beberapa hari, Laila menghindari Ran, menolak sambungan tiap kali pria itu menghubungi, dan tak menjawab pesan-pesannya. Gadis itu bahkan bersembunyi saat Ran mencarinya di kampus, pura-pura tak ada ketika sang kekasih datang ke kost.
Namun Laila lelah bermain petak umpet, dia harus menghadapi Ran, dan mengakhiri pertunangan mereka.
Minggu pagi. Usai beberapa waktu lalu memaki dan memberi Ran tamparan di pipi, tanpa suara dia mendengarkan penjelasan pria itu, dan kini tak lagi yakin dengan keputusannya untuk putus.
Tubuh Laila yang sedari tadi tegang akhirnya mengendur, menatap tajam pada Ran yang menunduk bagai pesakitan. Tak urung rasa iba muncul dan gadis itu pun mengambil keputusan.
Laila bangkit dari sofa, memutari meja ruang tengah yang memisahkan dia dengan Ran, menghampiri pria itu, dan duduk di sebelahnya. "Kakak cinta aku?" tanya dia lirih, sedikit menjaga jarak dari sang kekasih.
Ran mengangkat wajah, menatap Laila dengan mata merah berkaca-kaca, dan mengangguk lemah.
"Kakak masih menginginkan aku sebagai istri?" tanya Laila lagi, kali ini diiyakan Ran dengan suara tercekat.
"
Kalo gitu Laila
maapin kakak," kata gadis itu tak mampu menahan senyum melihat wajah lega Ran.
"Eit... nanti dulu. Aku masih marah sama kakak," ujarnya menahan Ran yang hendak memeluknya.
"Kakak harus janji
nggak akan
ngulangin lagi perbuatan kakak," tegas Laila melanjutkan.
Ran pun berjanji. Sumpah yang hanya mampu Laila harapkan agar ditepati. Menyambut pelukan sang kekasih, tak lama gadis itu pun membiarkan Ran memagut bibirnya mesra.
Satu jam berlalu. Laila menyandarkan dirinya di bahu Ran yang merangkulnya mesra saat keduanya bertukar cerita mengenai kejadian selama mereka bertengkar.
"Kak..." panggil Laila mesra.
"Kita ke halaman belakang yuk. Aku punya sesuatu buat kakak," ajaknya kemudian.
Ran tersenyum menyetujui, sedikit terkejut karena Laila ternyata membawa hadiah. Padahal mereka sebelumnya masih bertengkar. Juga dengan sikap manja gadis itu yang menggandeng dia keluar, sedikit menarik tangannya.
"Duduk di sini. Tutup mata dan jangan
ngintip sebelum Laila kasih ijin," perintah gadis terkasihnya.
Ran menuruti, mendudukan diri di sofa panjang, di teras halaman belakang. Pria itu lalu menutup mata dan menunggu.
"Kakak boleh buka mata sekarang," seru Laila.
Segera setelah membuka, mata Ran membelalak. Melongo, terpana menatap Laila yang menghadap padanya. Di bawah, di balik celana pendek serta CD yang dipakainya, kemaluannya berkedut dan mengeras tanpa mampu dia tahan.
Ran terus memandang Laila yang berdiri dengan senyuman menggoda, di atas rerumputan, di depan pohon rindang penghias taman. Kedua tangan gadis itu memegangi bagian depan masing-masing sisi jaket hitamnya yang terbuka, kepalanya menoleh ke samping dengan rona merah di wajah.
Apa yang membuat Ran terkesima adalah Laila telah menggulung kausnya dan membiarkannya itu tersangkut di atas busungan dada tak ber-BH, dengan sengaja memamerkan sepasang payudara montok, yang tak lagi terlindung dari tatapan birahinya.
Perlahan Laila mendekati sang kekasih. Tiap langkah membuat jantungnya kian berdetak cepat, hingga gadis itu berdiri di depan Ran yang masih terpesona. Dia tak mampu mengalihkan pandangan dari sepasang bukit indah yang membusung dan menantang.
Gugup dan dengan kedua tangan sedikit gemetar, Laila pun melepaskan jaketnya, kaus hitamnya menyusul tak lama kemudian. Yang tersisa pada Laila hanyalah kerudung hitam di kepala serta celana panjangnya.
"Hari ini aku milik kakak seutuhnya," ujar Laila merona lalu lanjut berbicara
"Jadi kakak hanya boleh berpaling ke aku... kapan pun kakak menginginkan," tutup Laila lirih.
"Kamu
nggak perlu melakukan ini La. Aku akan tetap setia
nunggu sampai kamu siap, sampai kamu juga menginginkannya," ujar Ran.
"Kakak salah paham. Aku memang menginginkan. Aku ingin merasakan kakak, ingin kita menyatu. Aku ingin selalu bisa memuaskan kakak, jadi satu-satunya wanita yang kakak
datangin, saat kakak butuh untuk melampiaskan hasrat kakak," tegas Laila menatap mata Ran.
"Kamu yakin?" tanya Ran dan Laila pun mengangguk.
Laila tau Ran masih merasa ragu, tahu sang kekasih masih ingin menjaga kehormatannya, dan dia semakin mencintainya karena hal itu.
Namun dia tak ingin mundur, maka kedua tangannya bergerak meraih kancing celana jeans, sedikit kesulitan karena masih merasa gugup. Tak lama reseletingnya menyusul turun.
Ran tak mampu berkata-kata, hanya menonton saat Laila menarik pinggang celana jeansnya turun hingga lutut. Birahinya bergejolak, nyaris tak berkedip memandang lekuk belahan kemaluan sang gadis yang tampak mencetak tembem di balik CD putih. Tak lama segitiga pelindung terakhir tunangannya itu pun ikut terlepas dan berdirilah Laila, telanjang bugil dengan segala keindahan tubuhnya.
Bagai terhipnotis Ran mengulurkan tangan, tak mampu menahan keinginan untuk membelai kemaluan Laila yang ditutupi rambut-rambut hitam halus, namun sang gadis menepis tangannya.
"Aku
emang udah maafin kakak. Tapi bagaimanapun aku masih marah," ujar Laila menjawab tatapan bertanya Ran. "Sekarang aku
pengen ngasih kakak hukuman," lanjutnya tersenyum nakal.
Laila lalu turun, berlutut di lantai dan mengulurkan kedua tangan pada pinggang celana pendek Ran yang mengangkat pantat untuk memudahkan dirinya menarik celana itu terlepas.
"Iihh ujungnya
ngintip," ujar Laila manja menyadari kepala
kontol Ran menyembul keluar dari CD pada bagian pinggang.
"Kangen
pengen ngeliat kamu," canda Ran, tersenyum pada Laila yang mendongak memandangnya.
Kali ini Ran tak sabar menunggu Laila melucutinya. Tergesa-gesa tangannya bergerak melepaskan CDnya, dan mengacunglah batang
kontolnya yang sedari tadi mengeras.
"Lucu," komentar Laila singkat memandang kemaluan Ran yang dua hari lalu baru dicukur sang kekasih.
Bersamaan dengan itu Laila pun meraih
kontol Ran dan mulai membelainya mesra. Dia memang tak terlalu memperhatikan saat pertama melihat
kontol itu. Panjang dan agak bengkok dengan urat-urat besar yang menonjol pada permukaannya.
Laila tak tau apakah pria lain memiliki ukuran yang sama, namun
kontol Ran memang besar. Bahkan dia tak mampu menggenggam penuh batang keras itu.
'Eits...
nggak boleh pegang-pegang," larang Laila kembali menepis tangan Ran yang hendak menyentuh payudaranya.
Pria itu tersenyum tanpa protes karena Laila kemudian mencondongkan kepalanya dan menunduk. Diawali dengan menyium ujung
kontol Ran, gadis itu mulai menjilati seluruh permukaan batangnya lalu mengulumnya. Ran mengerang. Memang tak selihai Sarah, namun tetap saja enak.
"Jangan kena gigi sayang. Masukin semua ke mulut kamu," bimbing Ran.
Laila mematuhi, melipat bibir ke dalam menutupi giginya, dan memasukan
kontol Ran sedalam mungkin dalam mulutnya. Berusaha menahan mual saat kepala
kontol sang kekasih menyodok pangkal tenggorokannya, gadis itu kemudian mulai menghisap dan menggerakan lidahnya.
"Aahhh... iya begitu sayang. Keluar-
masukin mulut kamu," perintah Ran.
Sabar dan telaten, Ran terus mengajari Laila, meminta gadis itu menjilati lipatan di pangkal paha sembari mengocok
kontolnya. Sang kekasih pun mematuhinya, senang melihat ekspresinya yang tampak keenakan.
Laila belajar dengan cepat, mengetahui aksi apa yang paling membuat Ran merasakan nikmat, dan bagian mana yang mampu membuat pria itu bergelinjang.
Gadis itu pun semakin terbiasa dengan rasa
kontol Ran di lidahnya. Tak lagi dia merasa tersedak dan mual, meski kepala
kontol sang calon suami menyodok pangkal tenggorokannya.
Waktu berlalu, Laila tak tau pasti berapa lama sudah dia memberi Ran sepongan dan kocokan. Sepertinya cukup lama karena matahari semakin terasa terik.
"Uuggghhh Laila... aku
nggak kuat sayang... aku mo keluar..."
Segera setelah mendengar peringatan Ran, Laila pun melepas
kontol kekasihnya dari mulut. Tangannya bergerak semakin cepat, memberi kocokan pada batang yang licin oleh liurnya itu hingga... "a-aku keluar sayang."
Diiringi erangan serta gelinjangan, memancarlah sperma Ran, muncrat mengenai dagu hingga payudara Laila dan melumuri tangannya yang masih menggenggam
kontol pria itu.
Senang dan puas telah mampu membuat kekasihnya mencapai klimaks Laila pun menyudahi kocokan pada
kontol Ran lalu membersihkan jemarinya dengan tisu di atas meja.
"Enak kak?" tanya Laila.
"Banget. Makasih ya sayang," jawab Ran tersenyum. "Gantian. Sekarang giliranku
muasin kamu," lanjutnya.
Ran bangkit berdiri. Dengan cepat kedua tangannya menangkap Laila lalu mengangkat tubuh telanjang gadis itu dan menggendongnya ke dalam diiringi protes manja sang calon istri.