Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

BAGIAN 5 : TERINDAH
POV REGAN

“Lo kalo Cuma mau ngegame mending di rumah lu sendiri dah Han..” Gerutuku dengan jengkelnya ketika Hani malah asik bermain kejar-kejaran di atas rel kereta yang sedang booming belakangan ini. Ia terlihat nyaman bermain dengan hp android keluaran Lenpopo itu, tengkurap melintang di atas kasurku, dengan bantal gulingku diselipkan di bagian depan tubuhnya.

Sedang aku yang tengah merokok, duduk di kusen jendela, sebal karena sedari tadi Hani malah asik sendiri. Dialoh itu.. cuma say hello bentar, terus langsung tenggelam dengan game lari-lari di atas rel sambil lompat-lompat enggak jelas.

Mendapatkan teguranku, Hani hanya melirik sebentar, tanpa ekspresi sama sekali, dan langsung focus kembali ke layer androidnya. Membuatku merasa kesal sendiri, bukan pada Hani, tapi pada hp sok keren itu. Bisa-bisanya hp sok kinclong itu merebut perhatian Hani. Bajigur betul!

Merasa tak mendapat respon dari Hani, aku pun bangkit dan membuang puntung rokokku yang sudah mendekati filternya. Berjalan ke arah computer, dan menyetop alunan suara Mas Piyu di lagu Harmoni. Setelah itu aku juga mematikan komputerku dengan langsung mematikan daya-nya melalui tombol yang ada di CPU.

Pokoknya sebel aja udah. Mending nyari angin di luar lah, dari pada ngeliatin Hani haha hihi, tapi haha hihi-nya bukan sama aku? Yakan?

Apa yang aku lakukan sepertinya sedikit mampu mencuri perhatian Hani, ia sesekali melirik ke arahku dengan tatapan yang.. ah sudahlah, enggak akan luluh aku pokoknya.

Aku pun langsung membuka pintu dan berjalan menuju ruang tamu, di mana kulihat Ayah yang sepertinya baru saja mandi, tengah mengenakan jaket berbahan kulit warna hitam. Alisku tentu saja langsung tertaut bingung, Ayah mau kemana lagi coba? Belum juga genap tiga jam di rumah, masa iya mau berangkat lagi?

“Ayah mau berangkat lagi?” Tanyaku dengan suara memelas, langkahku entah mengapa menjadi sedikit lemas.

Ayah menoleh padaku, melempar senyum kecil segaris, dan memintaku untuk mendekat padanya dengan lambaian tangan. Tanpa menunggu dua kali aku pun mendekat pada Ayah, dan langsung mendapatkan elusan di kepala, Ayah tersenyum lebih lebar ketika melakukan itu.

“Ayah mau ke Lemah Kidul De, mau nemenin Mang Diman nengokin keluarganya.. ” Ayah menjawab pertanyaanku dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, ada pancaran Bahagia di sana, namun entah mengapa tatapan Ayah juga seperti sedikit sendu.

Tunggu, Lemah Kidul? Mau ngapain coba? Oh iya, Lemah Kidul adalah kampung halamannya Mang Diman, letaknya berada di daerah pantai selatan, namun kampung Mang Diman berada di daerah perbukitannya, kalau enggak salah ya, karena memang kontur daerah selatan pulau ini tuh, kombinasi perbukitan yang langsung berbatasan dengan laut selatan. Seenggaknya itu yang aku tahu dari televisi-televisi, maupun dari cerita Mang Diman dan Teh Arum sendiri.

Aku sendiri sih, belum pernah ke daerah-daerah sana, karena memang Ibu maupun Ayah tidak pernah mengizinkanku pergi terlalu jauh.

Waktu itu pernah nih, pas baru masuk SMK, ada kalau enggak salah namanya LDKS, singkatan dari latihan dasar kesiswaan, biasa diadakan selepas masa Ospek. Nah, waktu itu LDKS-nya akan dilaksanakan di Kota Hujan, sebuah kota di atas perbukitan dataran tinggi yang jaraknya 3-4 jam perjalanan saja. Dan kalian tahu, dari seluruh angkatan, hanya aku yang tidak mengikuti acara tersebut.

Ya itu, Ayah sama Ibu enggak ngizinin. Untuk membujukku, Ayah dan Ibu malah lebih memilih membelikan Si Davis. Padahal harga Si Davis berkali-kali lipat dibanding biaya LDKS itu sendiri. Entahlah, meski sebenarnya aku sih enggak memaksa ikut waktu itu, pokoknya ya kalau diizinin aku jalan, enggak diizinin juga yaudah, aku enggak akan maksa, Cuma pastinya rada kecewa aja.

“Ibu ikut?” Tanyaku dengan berat hati. Ayah tersenyum, menganggukkan kepalanya.

Huh.. ngapain coba aku nanya gitu? Ya Ibu pasti ikutlah. Tapi ini kok aku enggak dikasih tahu mereka pada mau ke kampungnya Mang Diman? Emang enggak ada niatan ngajak aku gitu?

“Nggan enggak diajak Yah?” Tanyaku seperti keberatan dengan hal ini.

“Kamu itu De, kalau kamu ikut nanti Hani gimana? Dia kan baru dateng?” Ayah justru bertanya balik padaku, kini tangannya menepuk-nepuk bahuku. Loh apa hubungannya sama Hani? Kalau emang aku mau diajak ya tinggal suruh pulang aja Si Hani itu.

“Ya tinggal suruh pulanglah Yah, bentar Nggan suruh pulang Hani dulu, sekalian ganti baju..” Ucapku tergesa dan sedikit terburu-buru, hendak berbalik ke kamar. Namun entah sejak kapan, Ibu sudah berada di belakangku, menghalangi jalanku.

“Hayo.. mau kemana?” Selidik Ibu dengan mata seperti mencari sesuatu di mataku.

“Mau ganti baju, sekalian nyuruh Hani pulang..” Jawabku santai sembari mencoba menggeser tubuhku ke sebelah kanan. Namun oleh Ibu jusrtu dihalangi kembali, ikut berpindah posisi.

“Ade enggak boleh gitu sama Hani ih!” Protes Ibu dengan wajah dibuat seolah-olah sedang marah.

“Tapi kan Nggan mau ikut Bu..”

“Ish.. udah.. pokoknya enggak boleh! Kalau kamu ikut yang jaga rumah nanti siapa? Lagian, kamu enggak kasian biarin Teh Arum sendirian di rumah?”

Eh eh bentar.. jadi Teh Arum enggak ikut? Lah gimana ceritanya? Masa Teh Arum enggak ikut sih? Emangnya dia enggak mau gitu nengokin keluarganya juga di sana?

“Tapi Bu..”

“De..” Aku yang hendak berucap sesuatu kepada Ibu langsung terdiam tatkala kurasakan elusan terasa di bahuku. Dan suara itu adalah suara Ayah, ia dengan lembut memutar tubuhku.

“Dede di rumah aja, temenin Hani, dia kan baru dateng, masa langsug disuruh pulang. Lagian bener kata Ibu, kasian Arum kalau kamu ikut juga, terus nanti siapa yang ngasih makan Bogi sama Kepin? Kamu tau sendiri Arum kan enggak terlalu berani sama Bogi..” Terang Ayah dengan tangan sudah memegang kedua bahuku. Dan mau tidak mau aku pun menganggukkan kepala. Benar, nanti Si Bogi boncel itu siapa yang ngasih makan? Kalau si kepin mah Teh Arum berani-berani aja pasti.

Lagian kalau Kepin tuh enggak ada akhlak, enggak perlu dikasih makan juga dia mah pasti bisa nyari makan sendiri, atau seenggaknya.. kepin kan berani minta makan, beda sama Bogi, yang kalau enggak ditawarin makan, enggak akan makan, diem doang dipojokan. Huh..

“Yaudah, kalau gitu Nggan, Teh Arum, Bogi sama Kepin ikut sekalian aja.. biar kita semua bareng-bareng..” Sahutku lembut namun dengan semangat berapi-api.

“Nggan.. lo itu baru masuk sehari, masa udah mau izin lagi. Dasar bebel! Anak kecil Bebel!”

Kupingku panas, panas sekali ini kupingku. Ituloh dari arah belakangku terdengar suara mengganggu yang sebenarnya tadi sudah aku tinggalkan di dalam kamar, siapa lagi kalau bukan Hani?! Aku menolehkan kepala, dan mendapati ia sudah berada dalam pelukan Ibu.

“Berisik!” ketusku padanya dengan wajah masam. Bukannya takut. Hani malah tertawa Bersama Ibu.

“Hushh.. enggak boleh gitu sama perempuan De..” Ayah kembali menegurku dengan suara tenangnya. Aku menghela napas, kembali mengangguk.

“Tapi entar malem udah pulang kan Yah?” Tanyaku memastikan, Ayah menggeleng pelan.

“Paling cepet besok sore, atau mungkin lusa De.” Jawab Ayah terlihat sedikit berat. Aku menghela napas kecewa, namun tetap tak berani mempermasalahkan. Besok atau lusa? Lama banget dong..

“Yaudah.. Ayah sama Ibu berangkat ya, titip rumah ya Dek..” Ayah kembali berkata sembari merapihkan rambutku yang tadi diacak-acak olehnya, aku melempar senyum dan mengangguk. Bersamaan dengan itu, Ibu pun mendekat ke arahku, memelukku erat dan menciumi kedua pipiku dengan gemas.

Aku hanya bisa pasrah, tapi mencoba berlapang dada. Fiyuhh.. demi Bogi, ya.. demi Bogi aku harus ikhlas!

“Awas ya.. Jangan bandel! Kalau main jangan pulang malem-malem, kasian Teh Arum nanti..” Pesan Ibu yang kini sudah mencubit kedua pipiku. Aku hanya menggeliat kecil sembari mengangguk. Setelah itu, Ayah dan Ibu juga bergantian memeluk Hani.

Bersama-sama, kami pun berjalan keluar rumah. Di halaman, Bogi dan Kepin sudah menunggu kami, Bogi yang ceria berlarian kesana kemari, sedang Kepin si pemalas hanya rebahan saja di rumput.

Melihat kami keluar, Bogi langsung menggonggong dengan riang dan berlari ke arah kami, larinya Bogi ituloh.. menggemaskan. Bagaimana tidak menggemaskan? Badannya Bogi ini bogel-bogel bantet gitu, kalau lagi lari udah kaya apa tau deh, kalian bayangin ajalah kalau anjing jenis pitbull bantet lagi lari, geal geol geal geol gitu, gemesin pokoknya.

Sedang dari kejauhan gerbang sana, Mang Diman yang sudah membuka gerbang lebar-lebar, kini tengah berlari ke arah kami, wajah Mang Diman awalnya masam-masam gitu, tapi begitu melihatku, wajah tengil sang penguasa halaman rumah itu pun langsung kembali.

“Kalau bulan bisa ngomong.. pasti dia bakal ketawa.. melihat Nggan cemberut.. mirip banget sama Si Bogi..” Mang Diman dengan riangnya mengumandangkan lagu yang liriknya diubah menjadi garing segaring-garingya, membuat telingaku gatal bukan main.

“Awas aja enggak bawa oleh-oleh, Nggan suruh Bogi ngencingin kamarnya Mang Diman nanti!” Ancamku pada Mang Diman, yang masih terkekeh-kekeh seraya membuka pintu kemudi, oh iya.. selain bersih-bersih halaman rumah dan merawat pohon-pohon serta tanaman, Mang Diman sesekali juga merangkap jadi supir di sini, ya tapi jarang-jarang, paling kalau Ibu lagi malas nyetir, atau kalau Ayah mau ke bandara aja.

“Mau apa? Manisan pala aya, biji kopi ada, bangkoang aya, singkong aya, Ubi juga ay..”

“Awewe geulis aya Mang?” Aku dengan santainya memotong promosi yang tengah dilakukan Mang Diman, membuat Ayah dan Ibu tertawa kecil.

“Aya! Mau yang kaya gimana?” Tantang Mang Diman padaku.

“Yang kulitnya putih bersih, yang pipinya cabi kemerah-merahan, yang rambutnya hitam lurus disanggul, yang bodinya semlohai kaya gitar spanyol, dan yang penting.. itunya harus.. Aaw aw aw!”

Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, sebuah jeweran mendarat di telingaku, jeweran kuat dengan sedikit pelintiran yang membuat kepalaku serasa ikut terbawa.

“OUGH!! OUGH!!” Bogi menggonggong dengan kuat seolah berusaha membantuku.

“BOGI DIEM DISANA!!” Bentak Hani dengan garangnya pada Bogi, membuat anjing itu langsung berhenti menggonggong dan merengut memandangiku.

“Hann.. Aw.. Aw.. sakit Han..” Aku terus berusaha mengikuti arah tarikan tangan Hani di telingaku, berusaha mengurangi sedikit efek sakit dari jepitan jemari Hani di lembaran tipis telingaku ini. Sebab kalau dilawan, beuhh.. bisa putus nanti.

“Itunya harus apa hah? Harus apa? Ishhh” Hani dengan gemasnya terus menarik sembari memberi sedikit putaran pada telingaku, membuat telingaku panas bukan main.

“Auuww..” Bogi hanya bisa meraung lemah melihat aku yang tengah mendapatkan siksaan dari Hani, wajah Bogi memelas, seolah bisa merasakan sakit yang menjalar di telingaku.

“Han.. han.. ampun Han.. sakit sakit..” Aku berkata sembari mencoba menahan tangan Hani agar tidak semakin keras menarik telingaku, dan untungnya Hani akhirnya melepas jeweran tersebut, dan langsung bersendakap dada, Memalingkan wajahnya dari wajahku.

Ibu, Ayah dan Mang Diman malah tertawa-tawa sembari satu persatu mulai masuk ke mobil jenis 4X4 milik Ayah, mobil yang sebenarnya lebih sering mengendap di garasi.

“Aughh aughh.. aughh..” Bogi langsung mendekat dan melompat-lompat sembari memutar-mutar tubuhnya, seolah bertanya tentang keadaanku, aku mengelus kepala Bogi dengan tangan kananku, sedang tangan kiriku mengelus kupingku sendiri. Bajigur ini..

Dari dalam mobil, Ayah dan Ibu serta Mang Diman memandangku dengan senyuman lebar, seolah tak memiliki empati sedikit pun padaku yang habis teraniaya ini.

“Kita berangkat ya De.. jaga rumah baik-baik..” Ucap Ibu dengan senyum manis dan meneduhkannya. Aku dengan wajah masam hanya menjawab Ibu dengan anggukkan.

“Hani titip Dede ya.. galakin aja enggak apa-apa kalau dia nakal..” Kini Ibu berbicara pada Hani, yang oleh sahabatku itu langsung dijawab dengan acungan jempol, wajahnya tersenyum riang dan puas sekali.

“Dadah Nggan.. mau jalan-jalan dulu wuehehe..” Mang Diman dengan cengengesan mulai menjalankan mobil, bersamaan dengan itu Ayah melemparkan anggukkan kepadaku, yang olehku langsung kubalas dengan senyuman dan lambaian tangan.

Mobil pun mulai bergerak meninggalkan halaman, diiringi dengan gonggongan riuh dari Bogi, serta pandangan sendu Kepin yang masih berbaring santai di bawah pohon beringin, tepat di samping mobil milik Ibu.

Aku terus saja melambaikan tangan, sampai mobil Ayah benar-benar menghilang dari pandangan.

Setelah itu dengan malas aku berjalan menuju gerbang dengan Bogi berlarian di sampingku. Sesekali Bogi menoleh ke belakang, ke arah Hani yang sudah berbalik badan dan berjalan masuk.

“Kamu jangan macem-macem sama dia Bog.. dia itu golongan makhluk yang nyeremin, pokoknya semua makhluk yang namanya betina itu adalah jenia makhluk berbahaya yang memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Kalau lengah sedikit bisa-bisa kamu kena jewer kaya aku, mau?” Aku berbicara pada Bogi, seperti memberi petuah gitu tepatnya, dan hal tersebut langsung membuat wajah anjing pitbull kesayanganku menegang ketakutan, seolah mengerti akan seluruh ucapanku.

“Oughh ough..” Sahut Bogi yang sepertinya benar-benar mengerti ucapanku, membuatku tersenyum seraya memberi elusan di kepalanya. Lalu aku mulai menutup gerbang, menguncinya kembali, dan berlari ke arah rumah, Bogi yang cebol seolah kesusahan mengimbangi lariku.

“Aku ke kamar dulu, kamu sana main sama Kepin, jangan berantem..” Pesanku ketika sedang melepas sandal. Bogi melompat sembari memberikanku gonggongan, lalu berlari ke arah Kepin yang masih saja berada dalam posisi yang sama.

Aku hanya menggeleng pelan, karena ketika Bogi baru saja tiba di hadapan kucing oren tersebut, namun oleh Kepin malah disambut dengan ayunan cakarnya, membuat Bogi langsung melompat ke belakang dan menyalak protes.

Tapi Kepin tetaplah Kepin, dia seperti tak peduli pada gonggongan Bogi, tetap rebah dengan santainya sembari menikmati angin siang. Ya.. semoga saja Kepin tetap dalam mode seperti itu, karena kalau mode jahil dan bar-barnya sudah datang, bisa ambyar si Bogi dikerjain dia seharian.

Aku dengan perasaan sedikit lebih riang karena tingkah laku Bogi pun berjalan masuk ke dalam rumah. Namun ada yang baru kusadari, bahwa sedari tadi, aku belum melihat Teh Arum lagi, kemana ya dia? Kok enggak keliatan pucuk putingnya dari tadi?

Bahkan ketika sampai di ruang tamu pun aku tak menemukan siapa-siapa, kalau Hani mungkin sudah masuk ke kamarku, terserah deh kalau dia mau ngegame lagi juga, terserah. Nah tapi Teh Arum ini lho.. kemana kembang harum rumahku itu?

Dan aku pun mengarahkan kaki ke kamar Teh Arum, yang pintu kamarnya tertutup rapat. Aku pun mencoba mengetuk pintu berbahan kayu jati itu, namun tak ada jawaban dari dalam. Aku ketuk lagi, dengan kini sembari memanggil nama Teh Arum.

“Teh.. Teh Arum..” Panggilku seraya menekan handle pintu, namun ternyata terkunci.

Panggilanku pun tak ada yang mendapatkan jawaban. Apa Teh Arum sedang keluar ya? Soalnya kalau sekedar beraktivitas di rumah pintunya pasti tidak akan dikunci kan? Kalau dikunci ya kemungkinan Cuma dua, antara tidur atau sedang ke luar, tapi kalau tidur mana mungkin ia tak terbangun mendapati ketukan dan panggilanku?

Fix ini sih, pasti Teh Arum lagi keluar! Tapi kemana? Kok enggak ngasih tahu? Eh ngasih tahu juga buat apa? Akuloh siapa.

Mungkin aja Teh Arum sudah izin sama Ayah dan Ibu, mana tahu kan? Yaudahlah, aku pun memutuskan kembali ke kamar, toh kalau bener keluar Teh Arum pastilah membawa kunci gerbang, jadi aku tak perlu takut ia terkunci di luar.

Dan ketika memasuki kamar, aku langsung tertegun saat mendapati kamarku juga kosong. Lah Hani kemana coba? Ini kenapa orang-orang seneng banget ya ninggalin aku sendirian? Bajigur bener.

Aku menghela napas malas, lalu mulai melangkahkan kakiku memasuki kamar, dan tanpa menutup pintu kamarku lagi, aku langsung merebahkan tubuhku di atas Kasur. Memandang langit-langit kamar dengan sedikit perasaan yang merasa ditinggalkan. Hampa-hampa gimana gitu.

Aku menyambar Si Davis dan mengecek bbm yang masuk, oalah ternyata tadi Hani sempat mengabari kalau mau ke sini, akunya aja memang yang jarang cek bbm. Sisanya sih, hanya bbm makian dari Dito maupun Oman, sedang Wawi hanya mengirim emot jempol.

Yah.. siap-siap aja besok kena ocehan Tachibana bersaudara, ituloh si Dito sama Oman, kaya Tachibana bersaudara di kartun Captain Tsubasa. Iya sih mukanya enggak mirip, tapi kelakuan dan kekotoran mulut mereka itu 11-12.

Dan ketika tengah asik melihat-lihat aktivitas di TL bbm-ku, tiba-tiba Hani masuk dengan sudah berganti baju, ia kini mengenakan kaos tanpa lengan milikku, serta celana training mengatung yang juga milikku. Rambutnya masih terlihat basah, dengan handuk menutup sembarang bagian atas rambutnya, lengannya menenteng seragam dan pakian kotor yang tadi ia kenakan.

Oh.. jadi Hani habis mandi toh, kenapa enggak bilang coba? Tahu gitu kan bisa mandi bareng hehehe.

Oh iya, karena sudah sangat dekat dalam kurun waktu yang lama, jadi Hani memang seringkali meminjam bajuku jika tengah main ke sini. Dan aku tak pernah mempermasalahkannya, karena ketika Hani tengah mengenakan pakaianku, ia terlihat lebih lucu, mungkin karena pakianku yang sedikit kebesaran baginya, jadi dilihatnya imut aja gitu.

Aku hanya melirik Hani sebentar, sebelum akhirnya kembali fokus ke Si Davis, dan ketika aku mengecek room invite bbmku yang sudah lama tidak ku cek, ternyata banyak pin bbm yang belum aku accept, ada sekitar belasan mungkin, dan aku juga tak berniat untuk mengaccept dulu. Rada males aja, belum tahu juga siapa yang nginvite.

Dan aktivitasku pada Si Davis langsung terhenti tatkala tanpa permisi Hani langsung membaringkan kepalanya di perutku, rambutnya sudah tak lagi ia tutupi dengan handuk, membuat aku harus menelan ludahku sendiri karena harum yang begitu semerbak.

Dan Ia dengan santai mulai memainkan jemarinya di lenganku, menelusuri bagian dalam pergelangan tanganku, dan dengan usilnya menggelitik telapak tanganku, membuatku lekas melempar Si Davis dengan sembarang, dan langsung mengatupkan telapak tanganku, membuat jemari Hani terperangkap di sana, tak bisa ke mana-mana.

“Anak bebel senyum dong, cemberut terus dari tadi..” Ucap Hani sembari memiringkan tubuh, miring menghadapkan wajahnya ke wajahku. Loh.. loh.. emang mukaku masih asem ya? Perasaan aku sih udah biasa aja.

“Cuma enggak diajak jalan-jalan aja sampe segitu manyunnya..” Ucap Hani lagi dengan kepala yang sedikit terangkat, aku hanya meliriknya sebentar, untuk kemudian kembali memalingkan wajah. Kini mataku ku arahkan ke jendela kamarku. Sedikit tenang hatiku ketika berduaan seperti ini dengan Hani, seperti ada suatu kenyamanan saja.

“Nggan..” Hani kini sudah mengubah nada suaranya, menjadi lebih lembut dari sebelumnya.

“Hmm?” Responku tanpa mengalihkan pandang.

“Udahan sih manyunnya..” Hani berkata seraya menggerakkan jemarinya yang berada dalam tangkupanku, kemudian menelusupkan ruas-ruas jemarinya pada ruas-ruas jemariku. Kemudian menautkan jemari kami menjadi satu.

“Gue harus ngelakuin apa biar lo udahan manyunnya?” Tanya Hani semakin mengangkat kepalanya, mendekatkan wajahnya pada wajahku.

“Tau..” Jawabku ketus mencoba menggodanya.

“Apa perlu gue nyupirin lo buat ngejar Ayah sama Ibu?” Hani kini semakin mendekatkan wajahnya, ini dia benar-benar mikirnya aku sebel karena enggak diajak orangtuaku jalan gitu?

LOH iya, Hani memang sudah biasa memanggil kedua orangtuaku dengan panggilan yang sama sepertiku, Ayah dan Ibu. Ya karena memang semenjak aku SMP sudah dekat dengannya, rumah kami waktu SMP soalnya berada di satu jalur yang sama, jadi kami sering berangkat bareng.

Dan dari cerita Ibu, semenjak aku dipindahkan ke kampung Uwak kelas 2 SMP waktu itu, Hani sesekali berkunjung ke rumah, ya hanya untuk menanyakan kabarku saja, sebab di kampung Uwak dulu, aku sama sekali tidak diizinkan memegang handphone. Ya megang juga percuma, kampung Uwakku terlalu terasing, sampai sinyal pun susah hinggap di sana.

Dan kedekatanku dengan Hani semakin menjadi-jadi tatkala aku kembali ke kota ini, dia adalah satu-satunya temanku yang tersisa. Yang lain? Entah pada kemana, aku tak perduli, sama seperti mereka yang tak perduli lagi padaku.

“Nggan ih.. gue dicuekin!” Protes Hani lembut. Aku memandang matanya.

“Apaan?” Tanyaku malas. Hani menggelembungkan pipinya, membuatku gemas ingin menciumnya saja.

“Gue harus apa biar elo enggak manyun terus? Kalau emang harus ngejar Ayah sama Ibu juga gue lakuin deh..” Rayu Hani mengulangi ucapannya yang tadi.

Astaga Dragon.. ini dia ternyata beneran mikir aku masih ngambek karena enggak diajak kedua orangtuaku lho! Gemesin sekali ini.

“Ngapain? Gua mah biasa aja kali ditinggal Ayah sama Ibu, lagian elu tuh belom punya SIM kali..” Jawabku masih pura-pura malas meladeninya.
“Ya tapi kan elo udah punya, nanti kalau ada razia tinggal tuker tempat duduk..” Jawab Hani bersungguh-sungguh hendak mengajakku menyusul Ayah dan Ibu.

“Mana sempaaaaat.. keburu telat.. he' euh.. mana sempat..” Cibirku acuh, membuat Hani menarik napasnya berat.

“Yaudah, tinggal tilang aja.. paling ktp gue yang ditahan..” Ucapnya santai.
“Yeh mana bisa ktp ditahan? Yang ada STNK kali..” Sahutku cepat. Hani menggerak-gerakkan matanya seperti tengah berpikir, dan itu benar-benar amat sangat menggemaskan.

“Emang iya ya? Enggak bisa gitu ktp gue aja yang ditahan?” Tanya Hani bersungguh-sungguh, aku di dalam hati hendak tertawa, namun sekuat tenaga aku tahan.

Hani ini, meski pun dulu satu kelas denganku, dan sekarang satu kelas di atasku.. sebenarnya umurnya itu satu tahun lebih muda dariku loh..

Kenapa? Ya kan aku nunda sekolah waktu itu, ingat kan? Atau Kalian enggak percaya Hani umurnya setahun lebih muda dariku? Silahkan cek nih ktpku sama ktp-nya Hani.

“Iya..” Jawabku pendek, sembari sekuat tenaga bersikap cuek. Dan sepertinya Hani menangkap gelagatku tersebut.

“Yakin? Boong kali..” Godanya semakin mendekatkan wajah.

“Ini lu bener-bener mikir kalau gua kesel gara-gara ditinggal Ayah sama Ibu jalan-jalan ya?” Tanyaku dengan kedua alis aku tautkan. Kepalaku sedikit aku angkat.

“Lah emang iyakan?” Tanya Hani balik. Aku mendengus pura-pura sebal.

“Dasar cewek enggak peka lu!” Ucapku asal, membuat Hani langsung tersenyum kecil.

“Hihihi.. iya iya maaf.. masa sama game aja cemburu..” Rayu Hani seraya mendekatkan wajahnya, dan menggesek-gesekkan hidungnya di hidungku.

Nah kalau tebakan yang ini aku rada setuju nih, aku tadi memang rada sebel karena dia sibuk main game subway apalah itu, aku enggak tahu juga. Tapi itu kan tadi, sekarang kan dia udah enggak ngegame.

Aku pun akhirnya menyudahi sandiwaraku, karena ketika mataku tenggelam dalam bola mata gadis di hadapanku ini. Seketika itu juga hatiku luluh. Membuatku langsung menyambar bibir tipis kemerah-merah mudaan itu. Aku pagut dan kulumat dengan lembut bibir gadis yang sedari SMP sudah tabah menemaniku, menungguku kembali, dan kini selalu ada untuk menemani keseharianku.

Hani dengan tak kalah lembutnya membalas pagutanku, ditempatkan tangannya yang lain dipipiku, kemudian dielusnya pipiku dengan amat lembut. Kami berpagutan cukup lama, tak sedikit pun kuperdulikan pintu kamarku yang masih terbuka lebar, sama sekali tak kuperdulikan.

Aku menempatkan sebelah tanganku yang lain di tengkuk Hani, seolah menahan kepalanya agar tetap berada dalam jangkauan bibirku.

Kurasakan suatu gejolak perlahan bangkit dari inti terdalam perasaanku, gejolak yang terasa hangat dan menggebu-gebu. dan ketika menyadari itu, aku secara perlahan-lahan menyudahi pagutanku pada bibir lembut nan hangat milik Hani, menarik kepalaku, kemudian dengan masih sedikit terengah, kutempelkan keningku pada keningnya.

Mataku masih terpejam, selain menikmati sisa-sisa pagutan kami, aku juga berusaha meredam apa yang menciba bangkit dari dalam tubuhku. Kurasakan hembusan harum napas Hani menghangat di wajahku. Harum.. benar-benar harum.

“Han..” Ucapku sembari membuka mataku perlahan, hitam bening bola mata Hani langsung menusuk tepat di relung perasaanku.

Hitam purnama yang sudah membuatku terombang-ambing itu benar-benar indah ketika dipandang. Hani balas menatapku, bola matanya melebar, seolah menungguku kalimatku selanjutnya.

“Pacaran yuk?” Ajakku dengan sungguh-sungguh, yang oleh Hani langsung direspon dengan senyuman manis dan gelengan kepala. Aku menghela napasku dalam-dalam, sudah hatam dengan respon Hani ini.

Mengapa aku bilang sudah hatam? Sebab ini bukan pertamakalinya aku mengajak Hani untuk menjalani hubungan lebih dari sekedar sahabat. Entah sudah ke berapa kali, mungkin sudah tiga atau empat kali. Karena aku sadar betul, bahwa aku memiliki perasaan khusus padanya, sebuah perasaan nyaman nan membahagiakan.

Dan aku sadar, aku bukanlah tipe pria romantis, aku mana bisa mengungkapkan perasaanku ini dengan kata-kata indah. Mana bisa aku bilang..

Oh Maharani Sukma.. kau adalah ciptaan terindah yang Tuhan kitimkan ke ranah kehidupanku yang serba kelam, engkau adalah cahaya di tengah gelap yang temaram, pelangi selepas badai, rindang pohon tengah kemarau.

Oh Maharani Sukma.. aku sudah mencintaimu sejak lama, dan ingin mencintaimu lebih dari sekedar sederhana.. dan aku ingin mencintaimu seperti aku mencintaimu selama ini.. tanpa perumpamaan, se apa adanya aku yang runtuh ketika menatap teduh matamu..

Oh Maharani Sukma.. kiranya sudikah engkau menjadi pelengkap bagi sukmaku yang terasa tak pernah utuh.. sudikah engkau menjadi satu kecintaanku? Sudikah engkau menjadi.. kekasihku?


Masa aku harus bilang kaya gitu? Menjijikan sekali rasanya. Yang ada sama Hani aku langsung di jewer nanti. Paling dibilang lebay, alay, dan kamseupay..

Huh! Simalakama sekali rasa yang kumiliki ini..

Tapi sungguh, aku berani mengajak Hani untuk berpacaran, bahkan berkali-kali, bukan karena aku kepedean atau malah enggak tahu malu. Tapi karena aku bukan pria bodoh yang buta mata hatinya, aku tahu betul, sedikit banyak pasti Hani juga memiliki perasaan yang sama denganku. Karena kalau tidak, mana mungkin dia mau sedekat ini denganku?

Dia bahkan tidak segan menggandengku di depan umum, memelukku, menciumku, bahkan melakukan hal-hal yang lebih dari itu. Namun ya itu, aku juga enggak abis pikir, kenapa dia selalu menolak tiap aku mengajaknya untuk menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat.

Apa aku ini kurang tampan? Padahal kata Ibu, aku ini tampan pake banget loh. Sumpah..

“Udahlah kita pacarana aja ayo..” Rayuku lagi seraya beringsut duduk, menyandarkan tubuhku di tembok, sedang Hani langsung merebahkan kembali kepalanya di pahaku. Membuatku harus menunduk sembari memandangi lekat-lekat wajahnya, Hani hanya tersenyum, kembali kepalanya menggeleng. Dan ia langsung memiringkan tubuhnya, membuat wajahnya menghadap ke perutku, perlahan tautan jemari kami yang sedari tadi menyatu pun terlepas, dan Hani langsung memeluk pinggangku.

Ditenggelamkan wajahnya di sana, membuat Si Marco yang tadi sempat bangun, namun berhasil kutidurkan, kini perlahan menggeliat hendak bangkit. Mungkin karena merasakan sedikit tekanan di sana. Arrgghhh..

“Han..” Kini giliran aku yang ingin mengajak Hani terus bicara, utamanya ingin melihat wajah Hani yang tersembunyi di bawah sana.

“Hmm?” Tanya Hani tanpa mengangkat wajahnya. Aku terdiam, namun tanganku dengan lembut mengelus bahu Hani yang yang terbuka, merasakan lembut kulit Hani yang putih bak daging bangkuang.

Dan jemariku pun merambat naik, kini sudah bermain di sekitar telinga Hani, mengusapnya lembut, membuat Hani menggeliat geli. Dan akhirnya menyerah, ia bangkit dan langsung mengalungkan lengannya di leherku, menarikku untuk menindih tubuhnya.

Dan seperti naluri alami, bibirku kembali mencari tempat peraduan yang selalu berhasil membuatku tenggelam, kupagut kembali bibir Hani dengan begitu lembut, dengan tubuhku yang perlahan-lahan bergeser dan menindih tubuh Hani sepenuhnya. Perlahan namun pasti, pagutan kami berubah menjadi sebuah kuluman, lidahku pun sudah mulai menyapu bagian dalam bibir milik sahabatku tersebut.

Hani yang sudah terbiasa memagut bibirku pun, perlahan membuka sedikit bibirnya, membuat lidahku bisa masuk dan mencari pasanganya di dalam sana, hingga akhirnya, lidah kami pun saling beradu, saling membelit saling memberikan kehangatan.

Hani sejenak mendorong lembut tubuhku, lalu mengangkat bagian bawah kaos poloku hingga terlepas, membuatku kini sudah bertelanjang dada di hadapannya.

Setelah itu ia kembali mengalungkan lengannya di leherku, membawaku untuk kembali tenggelam, menyatukan kembali bibir kami pada satu peraduan.

Aku tak mau kalah, kaos oblong yang digunakan Hani mulai sedikit terangkat di bagian bawah, membuat tanganku dengan berani mengelusi bagian perutnya dengan lembut. Hal tesebut jelas membuat Hani langsung menggeliat dan mengeratkan pelukannya, kakinya kurasakan mulai ikut melingkar di sekitar pinggulku, sesekali kurasakan bibir bawahku digigit dengan gemas oleh Hani, hal itu aku balas dengan menghisap bibir atasnya.

Tanganku yang sedari tadi mengusap lembut perut Hani pun perlahan naik, dan begitu tanganku sampai di bagian dasar payudara Hani, gejolak di dalam dadaku seperti berontak dengan kerasnya, Itu karena di balik kaos oblong yang dikenakan Hani, ternyata sudah tak ada kain penghalang lagi, Hani tidak mengenakan bra lagi! Gila.. ini gila!

Nafsuku langsung memuncak saat itu juga, namun meski begitu, aku terus berusaha mengendalikan diriku. Aku tak ingin nafsuku ini, membuat Hani tersakiti nantinya. Jadi, masih dengan gerakan yang amat lembut, jemariku mulai merayap naik, centi demi centi, sembari memberikan remasan pelan yang membuat Hani sesekali mendesah manja.
Kini, telapak tanganku benar-benar sudah menggenggam penuh payudara kencang nan menantang milik Hani, aku sengaja tidak menganggu gugat posisi putingnya, kuusahakan agar tidak tersentuh dahulu.

Dan ketika remasanku ku kuatkan sedikit, Hani langsung melepaskan ciuman kami, ia kini menenggelamkan wajahnya di leherku dalam-dalam, tubuhnya bergetar hebat, bersamaan dengan itu, kurasakan hisapan kuat di leherku.

“Ssshhh.. Nggan..” Desah Hani di sela-sela nafsunya yang meninggi, sementara aku terus meremas-remas payudara sebelah kirinya dengan begitu lembut, tanganku masih belum menyentuh puting Hani yang saat ini pasti sudah tegak menantang.

Ciumanku kini kuarahkan ke bahunya, lidahku mengusap lembut di kulit putih yang masih menyisakan wangi harum sabun itu, dan tangan kananku yang sedari tadi hanya menyusup dipunggung Hani, kini mulai ikut dalam aksi yang disutradarai oleh birahi dari sepasang insan berlainan jenis.

Tangan kananku dengan pelan turun ke bawah, mengusap lembut dengan sesekali memberi gelitikan dengan ujung jemari, hal itu membuat Hani benar-benar semakin lepas akan kendali dirinya sendiri.

Tubuh bagian bawahnya terlonjak-lonjak ke atas, dan itu aku manfaatkan untuk memantapkan posisi tangan kananku, kini tanganku sudah berada di bokong sekal milik primadona sekolahku tersebut. Ku remas-remas lembut dari luar celananya, membuat napas Hani kian memburu hebat, desahnya kian rapat terdengar.

“Nggan.. Ssshhh.. Ahhh…” Bibir Hani yang kini tepat berada di telingaku mulai meracau, nafsunya sama sepertiku, sudah kian membuncah. Sesekali juga, kurasakan jilatan lembut menyapu telingaku, membuatku merinding bukan main.

Dan aku pun memutuskan untuk mulai melakukan pertunjukan utama, tangan kiriku yang sedari bergereliya meremas dada sebelah kanan Hani tanpa menyentuh putingnya, kini.. mulai mendaki ke puncak utama gunung yang menjulang indah tersebut, lalu dengan ibu jari dan telunjuk, aku pilin putting tersebut dengan memberi sedikit tenaga di kedua jari itu tersebut, kupilin dengan sedikit keras.

“OUGHHH.. NGGAN..” Teriakan kecil Hani langsung menggema di sepenjuru kamarku, mungkin juga ke sepenjuru rumah, kepalanya yang sedari tadi sibuk menciumi bagian dekat telinga serta leherku kini terjatuh di atas kasur, matanya terpejam, bibirnya terbuka dengan sebegitu menggodanya.

Beruntungnya, Ayah, Ibu, dan Mang Diman sudah berangkat, plus Teh Arum yang tengah keluar. Membuatku tak perlu khawatir akan teriakan Hani barusan.

Tangan kananku yang sedari tadi meremas bokong sekal Hani dari luar celana pun tak mau kalah, ia mulai menyelusup ke dalam, dan kembali hatiku tersenyum, tatkala mendapati Hani ternyata tidak mengenakan celana dalam juga. Aku elus dengan lembut kulit hangat di telapak tanganku itu, kuremas dengan sedikit gemas.

Sungguh, bokong Hani terasa begitu padat dan kenyal di dalam telapak tanganku. Dan meski ini bukan pertama kalinya aku merasakan hangat tubuh dari gadis muda ini, namun sungguh lagi.. tiada kata bosan ketika merasakan lembut kulit tubuh Hani yang terasa begitu harum semerbak sore ini.

Aku menaikkan kepalaku ke leher putih nan jenjang milik Hani, kuhirupi tiap-tiap inci kulitnya, kuciumi dengan begitu serakahnya, dan kuberi kecupan-kecupan lembut di sana. Sungguh, aku selalu menggila tiap bermesraan seperti ini dengan Hani. Dan entah mengapa, tiap kami melakukan ini, selalu saja hanya Hani yang banyak bersuara, aku lebih sering diam dan menikmati segala permainan nikmat dengannya.

Kepala belakangku kini terasa dicengkeram kuat-kuat oleh Hani, seolah tiada bolehlah bibirku menjauh dari kulitnya. Dan aku seumpama tikus yang terperangkap di atas jebakan lem, pasrah pada jenjang dan putihnya leher gadis yang selalu mengisi ruang-ruang perasaanku.

Dan celanaku sungguh sudah terasa begitu sesak, bahkan setitik rasa sakit ada di dalam sana, sebab ukuran Si Marco yang kian mengembang dan bangkit dari tidur siangnya dengan sempurna.

Aku perlahan-lahan mulai menurunkan ciumanku, sesekali kusesap keringat yang luruh di kulitnya, dan terus membawa bibirku untuk menuruni lereng tubuh bagian depan milik Hani. Dalam satu kedipan mata, tangan kananku yang sedari tadi meremasi bokong Hani kutarik ke atas, dan dengan cepat memegang bagian bawah kaos oblong yang sudah terangkan sebatas dasar gunung indah dalam dekapanku ini.

Kuangkat kaos tersebut sampai melewati puncak gunung, dan tanpa meloloskan kaos tersebut aku langsung menjatuhkan bibirku di payudara putih yang tegak menjulang dengan diameter yang begitu pas di dalam genggamanku.

“NGGAN.. AAHH… SSHHH..” Hani kembali terlonjak dengan diiringi teriakan kecil tatkala bibirku dengan lembut mengecup kulit bagian atas payudaranya, kuciumi dan kujilati benda kenyal dalam tangkupan tanganku tersebut, membuat Hani belingsatan sendiri. Kakinya semakin erat mengunci pinggulku, membuat bagian bawah tubuhku dan tubuhnya bergesekkan dengan begitu mesra.

Dan kini, tepat di depan mataku, sebuah putting merah muda yang begitu mungil terlihat tegak menantang langit-langit kamar, begitu indah.. sungguh.. ini adalah salah satu keindahan yang takkan pernah habis ku syukuri kehadirannya dalam hidupku.

Dan dengan segenap perasaanku yang menggebu, kukecup putting mungil itu, dan kulahap dengan sedikit rakus, kujilati putting kecintaanku ini dengan begitu mesra dan dalamnya, membuat Hani tak habis-habisnya mendesah dan berteriak parau.

Aku memfokuskan permainan lidahku di payudara kiri Hani, sedang payudara sebelah kanannya kuremasi dengan alunan yang kubuat semesra mungkin. Aku ingin Hani benar-benar menikmati ini semua, aku hanya ingin ia merengkuh penuh kenikmatannya, ingin dia bahagia dalam pelukanku.

“Nggan.. ssshh..” Desahan Hani benar-benar sebuah kidung yang begitu indah di telingaku, dan aku takkan pernah bosan mendengarkan kidung tersebut. Sebab bagiku, Hani adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti aku luar dan dalam.

Orang yang bisa menerima segala kekurangan dan sedikitnya kelebihanku. Dan aku takkan pernah menyia-nyiakan itu, aku ingin membahagiakan dia semampu yang aku bisa.

Dari itu, kubawa bibirku berpindah ke payudara kanan Hani, dan kembali kulahap putting mungil yang selalu membuatku candu ini. Ku sesap kuat sesekali, kugigit kecil kadang-kadang, dan itu benar-benar membuat Hani berkejat-kejat bak ulat di atas daun pisang.

Bibirnya tak henti-henti menggumamkan namaku, desahannya tak henti-henti menghangatkan jiwaku. Dan itu membuatku semakin bersemangat untuk memberi kepuasan terhadapnya, kini kubawa tubuhku turun perlahan, lidahku bak ujung kuas yang tengah menggores kanvas putih. Kutinggalkan sementara gunung terindah yang tak pernah mengkhianati anganku itu, berpaling pada perut Hani yang rata dan begitu menggoda untuk kuciumi.

Lidahku menari sejenak di sekitar pusarnya, membuat Hani melenguh dengan keras tanpa peduli pada semesta sekitarnya. Dan setelah puas, aku kembali membawa tubuhku turun menjelajah, dan di depan pinggul Hani yang sesekali terlonjak, kuangkat wajahku untuk memandang sejenak wajah sayu milik Hani, matanya menampilkan bening-bening air mata. Bibirnya tersenyum lebar, aku membalas senyuman itu lalu mulai menarik turrun celana yang dikenakan Hani, ia membantuku dengan mengangkat pinggulnya, dan tanpa susah payah, celana training tersebut sudah terlepas dari kaki jenjang nan putih di hadapanku, kusingkirkan sembarang celana tersebut, dan mulai menurunkan tubuh.

Di hadapanku kini, terpampang vagina indah yang basah bak lembah pegunungan yang habis diterpa hujan. Kulit vagina Hani yang putih bersih, dengan bagian dalam yang sedikit menampilkan warna kemerahan benar-benar sempurna ketika bulu-bulu halus tertata rapih di bagian atasnya.

Vagina ini, meski bukan pertama kali berada di ambang mataku, namun selalu berhasil membawaku ke jurang keterpanaan yang begitu membius. Bentuknya yang sedikit tembam plus bagian tengah yang terlihat hanya segaris itu benar-benar tak pernah membuatku jemu dalam sebuah semu, aku luruh, amat luruh.

Dan bak dituntun seribu angin, kepalaku semakin turun, membawa wajahku tenggelam di antara paha putih bersih yang kini terpampang lebar, membuka bagian dalam yang selalu ia jaga dari segala kejahatan dunia, namun selalu dipersembahkan dengan sukarela padaku, yang masih menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri.

Harum.. harum semerbak ini seketika membuatku mabuk kepayang, langsung kujatuhkan wajahku di belahan vagina merah muda itu, kubenamkan hidungku untuk menghirup harum kecintaanku ini, bergantian, kukecupi pula bagian tepian vagina Hani, kanan, kiri, kanan, kiri, tak pernah putus. Membuat Hani terus meracau dan melenguh dalam kenikmatannya sendiri.

“NGGANNNN… UHHHH.. HHHMMM..” Mendengar desahan Hani adalah suatu kenikmatan yang hakiki bagiku, danitu bak mantra yang membuatku rela melakukan apa saja agar desah tersebut tak menghilang dari pendengaranku.

Setelah puas menciumi harum vagina Hani yang sudah dibanjiri lendir kenikmatan, aku mulai menyapukan lidahku di lembah dalam yang masih begitu sempit dan rapat, kuusapkan lidahku menyisir dari bawah ke atas, membawa lendir kenikmatan Hani berpindah pada lidahku, dan sebaliknya, kutanamkan liurku di sana, seolah memberi tanda bagi teritorialku yang tak boleh diganggu gugat.

“Slurrp.. slurrpp..”

Kujilati terus menerus vagina kemerahan di ambang wajahku ini, membuat lenguhan dan desahan terus menggema silih berganti, lalu kubawa jemariku untuk ikut bermain, kuusapkan pada bagian atas vagina Hani, tepat di benda kecil yang menonjol menantang bak putik bunga yang tersembunyi di antara lembah.

Kuusap dengan lembut, dan sesekali kujilati penuh gelora nafsu, membuat pinggang Hani tak henti-hentinya dibuat maju agar jilatanku tak pergi dari kulit harum vaginanya.

“NGGGANNNN… UUUHHH…”
Bahan bakar, desahan Hani bak bahan bakar bagiku, unsur hara yang membawaku lebih hidup. Kini, dengan tanganku yang lain, kubawa jemari telunjuk mendekat pada bibir vagina Hani, kuusap lembut di sana, kuangkat kepalaku lagi, Hani menampilkan raut wajah kemerahan, diburu nafsu yang sudah memuncak. Aku melempar senyum, senyum yang langsug berbalas dengan begitu ikhlasnya.

Dan kembali kupusatkan pandanganku pada gundukan daging di hadapanku, lalu.. dengan amat lembut, kumasukkan jari telunjukku dengan hati-hati ke dalam liang vagina milik gadis kecintaanku ini. Membuat tubuhnya bergetar panjang, desahannya seperti tertahan, setelah tenggelam setengah bagian, kuhentikan laju telunjukku, kutahan disana. Aku tak mau lebih dalam dari itu, aku tak mau merusak apa yang ada di dalam sana.

Lalu mulai kembali kukecupi dan kujilati lembah indah di hadapanku, kukombinasikan dengan ayunan lembut jari telunjukku yang keluar masuk sebatas yang aku sepakati dengan diriku sendiri, sedang tanganku yang lain mulai merambat naik, menggapai bukit menjulan yang selalu nyaman untuk diremasi.

“Uhhh.. Nggann.. ssshhh..” Desahan itu, desahan itu benar-benar membuatku seperti hidup untuk kedua kalinya.

Dan kursakan, tangan Hani mulai bergerak untuk menangkup telapak tanganku yang tengah berada di dadanya, dan perlahan, dengan begitu mesranya, kulepaskan peganganku pada payudara indah tersebut, kemudian menautkan jemariku, pada jemari Hani yang tak pernah alfa menyambutku.

Dan aku sudah amat hafal dengan gesture Hani, sudah amat terpatri di kepalaku, ketika ia menautkan jemarinya dengan jemariku, itu berarti ia sudah mendekati puncak kenikmatan yang ia tuju. Dari itu, kupercepat tusukan jari telunjukku, keluar masuk dengan begitu intensnya, kubarengi dengan jilatanku yang semakin intens.

Ritme percepatanku tersebut, direspon Hani dengan goyangan pinggulnya yang kian tak terkendali, seiring dengan itu, remasan di jemariku pun kian terasa kuat, sebentar lagi.. hanya sebentar lagi..

Sluurpp.. Slurrpp.. Clek.. clek.. clek..

Bunyi jilatan yang kupadukan dengan hisapan berkolaborasi dengan bunyi keluar masuknya telunjukku, seiring itu pinggul Hani terus menggila, maju mundur dan bergoyang tak tentu arah. Sampai entah di menit ke berapa hisapan dan jilatanku di vagiananya, entah ditusukan telunjuku yang ke berapa pula, pinggung Hani terangkat dan menegang dengan hebat.

“NGGGANN… OOUUGHHHHHHH…”

Crett.. Cret.. Cret.. Srrrrrr…

Lolongan menguar dari bibir tipis yang tengah merekah milik Hani, pinggulnya yang terangkat dan menegang itu bergetar-getar dan melonjak-melonjak dengan hebat, punggungnya ikut melengkung, bersamaan dengan itu, cairan kenikmatan Hani dengan deras mengalir keluar.

Dan aku bak penyamun yang tersesat di tengah gurun yang terik, begitu kehausan dan membutuhkan cairan untuk membasahi tenggorokanku, tanpa buang-buang waktu, kubenamkan wajahku dalam-dalam pada vagina Hani yang berkedut dengan hebat itu, kuhisap dan kujilati segala cairan yang mengalir dari mata air yang tersembunyi jauh di tengah lembah itu, mmebuat Hani terus melolong hebat karena didera badai kenikmatan yang teramat sangat.

Kunikmati betul tiap detik orgasme dari gadis yang selalu membuatku tenggelam dalam dii samudera perasaan ini, hingga sampai di detik yang kesekian, pinggul Hani terhempas kembali menyentuh daratan. Sudah selesai ledakan orgasmenya, tinggal aku saja yang masih menjilati dan mereguk cairan nikmat yang keluar dari dalam sana.

Sesekali Hani mencoba berkelit, memintaku untuk menyudahi jilatanku, namun aku bergeming. Tugasku masih belum terpenuhi, aku harus membuat lembah surgawi di hadapanku ini kembali bersih sebersih-bersihnya.

“Nggan.. udah ah.. geli..” Ucap Hani dengan manjanya, aku tak merespon ucapan tersebut, terus menyapukan lidahku membersihkan sisa-sisa lendir kenikmatan yang tersisa di sekitar vaginanya.

Barulah, entah di pintanya yang ke berapa, aku mencukupkan kegiatanku, kuberikan sepasang kecupan di tepi kanan dan kiri vagina itu, lalu membawa tubuhku naik, merangkak di atas tubuh indah bak dewi-dewi di cerita legenda.

Setelah tubuh kami selaras, langsung kulumat bibir Hani, lumatan cinta yang begitu dipenuhi gelora asmar, lidah bertemu lidah, liur tertukar sudah, kututup pagutanku dengan gigitan lembut di bibir bagian bawah Hani, lalu ku angkat wajahku untuk memandangi wajah dewi khayangan ini. Dengan satu tanganku yang masih terbebas, kurapihkan anak-anak rambutnya yang sedikit terberai, kupandangi dalam-dalam matanya, lalu kujatuhkan bibirku pada keningnya, kukecup semesra aku mampu, lalu kupandangi lagi matanya dalam-dalam, senyum mengembang di antara bibir kami yang basah oleh nafsu.

Tanganku dan tangannya masih tertaut, dengan begitu masing-masing dari kami hanya memiliki satu tangan yang terbebas untuk melakukan sesuatu, aku memilih untuk mengelus kepala Hani, sembari berusaha merapihkan sisa-sisa anak rambutnya, sedang Hani memutuskan untuk menempatkan jemarinya di pipiku, membelai dengan lembut di sana.

Sepasang mata Hani adalah kolam bisu yang selalu membuatku tenggelam dalam-dalam, namun tak pernah mampu mencapai dasarnya. Dan pada detik ke sekian keterpanaanku, tangan Hani yang tadi membelai wajahku mulai bergerak turun, ujung jemarinya ditempatkan di kulit wajahku, lalu ditariknya menuruni daguku, membelai leherku, menggelitik sesaat di bulu-bulu halus dadaku, kemudian turun menyusuri perutku, hingga beberapa inchi sebelum Hani mencapai bagian kancing celanaku, tanganku lekas menangkap jemarinya, menahannya untuk tidak beranjak dari sana.

Mata Hani langsung menatapku dengan tatapan memelas penuh harap, namun aku memberikan senyuman yang kusertai dengan gelengan kepala. Tampak raut kekecewaan terlukis di sana, dan untuk meredam itu, aku turunkan kembali wajahku, lalu kudekatkan bibirku pada kelopak matanya, Hani pun reflek memejamkan matanya, dan secara bergantian, aku kecup lembut sepasang kelopak matanya, kanan dan kiri.

Lalu kubawa tangannya yang tadi hendak menuju ke bawah tubuhku, untuk naik kembali, ku renggangkan jemarinya, dan kutautkan jemariku menjadi satu dengan jemarinya, membuat kedua tangan kami sudah sama-sama bersatu padu dalam tautan jemari.

“Kenapa Nggan?” Tanya Hani dengan wajah sedikit sendu. Aku tersenyum, kurenggangkan kedua tautan jemari kami, lalu dengan tangan kanan ku turunkan kaos oblong yang masih tersangkut di bagian bawah leher Hani, kukembalikan seperti semula untuk menutupi indah tubuh bagian atasnya. Kemudian dengan tangan kiri, kutarik selimut yang sudah berantakan di bagian kaki ranjangku, kutarik ke atas untuk menutupi tubuh bagian bawah Hani, sampai sebatas perutnya.

Lalu dengan lembut aku menggeser tubuhku, untuk kemudian berbaring tepat di samping Hani, kupandangi langit-langit kamarku sesaat, setelah itu kupejamkan sejanak mataku untuk meredam gejolak nafsu yang masih begitu memburu dari dalam tubuhku.

Kalian pasti berpikir aku munafik bukan? Silahkan saja, karena benar kok, aku memang munafik. Siapa lelaki yang tidak ingin melakukan hal tersebut? Menyatukan tubuhnya dengan tubuh seseornag yang ia cinta. Aku memang munafik, aku lelaki paling munafik!

Kini, kurasakan tubuh Hani kian merapat ke tubuhku, tangannya melingkari perut bagian atasku, kepalanya ia pindahkan ke atas lenganku yang terbuka, menjadikan lenganku sebagai bantalan kepala bagian sampingnya. Aku tersenyum, berangsur gejolak nafsuku mulai turun, sedikit demi sedikit, membuat Marco di dalam sana mulai bersungut-sungut ngambek lagi, seperti biasa.

Aku pun membuka kedua kelopak mataku, lalu memiringkan kepalaku untuk menatap wajah Hani yang dihadapkan padaku. Wajahnya seperti biasa, dipenuhi tanda tanya, sedang akiu hanya bisa menampilkan senyum padanya. Seperti kalian, ia pasti berpikir bahwa aku ini lelaki munafik juga, tapi tak apa, aku takkan menyanggah.

“Kenapa Nggan? Kepana..” Hani bertanya dengan lirihnya, bersamaan dengan itu bulir air mata tergelincir dari sudut matanya.

Aku segera menggerakkan tanganku untuk mengusap ujung mata Hani, lalu menghadiahi kecupan kembali di keningnya.

“Karena gua sayang sama lu Han..” Jawabku dengan nada yang ku usahakan setenang mungkin, terlihat mata Hani kembali berkilat sebab kolam di sana yang masih menggenang.

“Tapi kenapa gue enggak pernah boleh..”

“Han..” Aku memotong kalimat Hani, membuatnya langsung terdiam dengan mata yang kian mengkilat. Aku menggerakkan tanganku, mengelus pipinya, lalu kebanamkan mataku untuk terus tenggelam lebih dalam pada bening indah sepasang purnama hitam di dalam matanya.

“Gua ngelakuin itu, karena gua sayang sama lu, dan elu udah dapetin sepenuhnya hati gua, elu kecintaan gua. Dan karena hati gua udah gua persembahin buat elu, udah jadi kewajiban gua buat bahagiain elu, buat ngebawa lu menggapai surga dunia milik lu. Tapi elu.. elu enggak perlu ngelakuin itu, lu enggak perlu ngebawa gua ke titik itu Han, karena gau belom bisa milikin hati lu sepenuhnya, karena gua belom bisa bikin lu sepenuhnya sayang sama gua, dan karena itu gua belum jadi kecintaan lu Han..” Ucapku dengan serampangan dan tak tahu arah, entahlah, kepalaku selalu amatir jika dipaksa menyusun kata-kata.

“Nggan..”

‘Han.. gua enggak mau elu ngelakuin itu Cuma karena hukum timbal balik, gua maunya ngelakuin itu karena cinta di hati lu Han..” Aku kembali memotong kata-kata Hani, kata-kata yang intinya selalu sama di tiap pergumulan kami sebelum-sebelumnya.

Dan tepat saat itu juga, air mata langsung menetes dari sudut matanya, ia pun langsung beringsut menaikkan kepalanya ke dadaku, memelukku semakin erat dengan isak tangis yang mulai terdengar.

Lenganku pun perlahan membalas pelukannya, kecupanku sesekali kuhadiahkan di puncuk kepalanya. Hani menangis begitu dalam, tangis yang selalu membuat hatiku seperti tersayat seribu sembilu dalam satu waktu.

Air matanya bahkan terasa menghangat di dadaku, guncangan bahunya bergetar jelas merambat ke syaraf-syaraf tubuhku. Ia menangis, menangis untuk ke sekian kali, dalam pelukku lagi. Lelaki yang tak pernah mampu untuk seutuhnya ia cintai.

*

Hari sudah menggelap, petang ini cahaya senja tak terlihat, sebab langit dirundung mendung yang tak berkesudahan, mendung yang hanya mengancam namun tak kunjung menurunkan hujan. Hani sudah terlelap dalam-dalam, tubuhnya meringkuk membelekangiku, sedang aku memeluknya dengan lembut dari arah belakang. Menikmati harum rambut dan kulitnya, menikmati dengkuran halus menenangkannya, dan sesekali mengecupi pipi maupun tengkuknya untuk merasakan lembut dan hangat kulit gadis yang menempatkanku dalam posisi tergantung harapan ini.

Aku menggeliat, bahuku terasa sedikit pegal, dan lagi pula, aku hendak buang air kecil. Jadi dengan lembut kulepaskan pelukanku pada tubuh Hani, dan mulai beringsut bangun dengan pelan dan hati-hati. Setelah berdiri, kurapikan kembali selimut yang menutup tubuh Hani, tak ingin angin malam berbuat kurang ajar padanya. Setelah itu, kunyalakan lampu kamarku, membuat cahaya terlihat berpendar menerangi seisi kamar.

Sedang dari luar kamarku, hanya ada cahaya remang dari lampu ‘siang’ di ruang tamu, jadi di rumahku ini ada dua jenis lampu, lampu utama yang cahaya terang memancar, di mana lampu ini baru akan dinyalakan menjelang malam, dan disebutnya lampu malam.

Lalu ada lampu kedua, atau lampu sekunder atau apalah itu bahasaya, lampu ini tak seterang lampu utama, dan hanya dinyalakan ketika siang hari untuk mengimbangi cahaya matahari, dan lampu ini akan dimatikan begitu lampu utama menyala, maka dari itu, aku dan keluargaku, lebih senang menyebutnya lampu siang, ya karena memang menyalanya hanya di siang hari saja.

Tanpa mengenakan kaos poloku lagi, aku langsung berjalan keluar kamar, tentunya dengan pintu yang sedikit aku rapatkan. Lalu aku mulai menyalakan satu persatu lampu malam di rumahku, bersamaan dengan itu aku juga mematikan lampu-lampu siang, hemat listrik Bung.

Setelah itu, aku sedikit terdiam memandangi pintu kamar Teh Arum, dia masih belum pulang sepertinya, entahlah dia kemana. Aku juga kurang tahu, habis emang Teh Arum enggak kaya Ayahnya, Mang Diman, yang selalu asik dan cengengesan.

Kalau Teh Arum mah banyak diemnya, beda deh pokoknya sama Mang Diman. Maka dari itu, walau pun sudah hampir satu setengah tahun aku kembali ke rumah ini dan mengenal Teh Arum, aku sebenarnya tak memiliki chemistry khusus dengannya, beda kalau aku sama Mang Diman, yang chemistry nya udah kaya sobat kental.

Bahkan rasanya, aku jauh lebih dekat dengan Bogi dan Kepin, dibandingkan dengan Teh Arum. Entahlah, mungkin karena aku, Mang Diman, Bogi dan Kepin sesama pejantan? Maybe.

Tapi ya jujur, aku rada khawatir nih karena Teh Arum belum pulang, kalau dia diculik gimana? Kalau ternyata dia kenalan sama cowok di facebook, terus diajak ketemuan, terus ternyata cowok itu enggak setampan aku, terus Teh Arum kecewa, terus mereka berantem karena mempermasalhkan foto, terus Teh Arum diculik, dipaksa nikah, enggak balik lagi ke rumah ini! Wah bisa dicoret dari kartu keluarga aku sama Ayah dan Ibu kalau hal itu terjadi.

Baik kalau begitu, setelah Hani bangun, aku akan mencari Teh Arum sembari mengantar pulang Hani nanti. Sekarang aku harus mengambil air putih untuk mengentaskan dahaga di tenggorokkanku, sembari bersiul aku pun berjalan menuju dapur, lalu mengambil gelas dan mengisi gelas tersebut dengan perpaduan air panas dan sejuk, yang melahirkan air hangat favorit Regan Denta Purnama hohoho.

Aku teguk sampai tandas isi gelas tersebut, lalu meletakkan gelas di meja. Setelah itu aku teringat tentang Bogi dan Kepin, aku lupa bahwa mereka belum aku beri makan sore ini. Jadi aku berjalan ke bagian lain dapurku, tempat dimana wadah makanan dan makanan kedua peliharaanku itu disimpan.

Aku pun membuka lemari bagian atas, tempat makanan kemasan yang biasa dijadikan makanan utama untuk kedua hewan tersebut, ada dua bungkusan besar di sana, ku keluarkan kedua-duanya, lalu berjongkok untuk mengambil wadah makanan yang memang diletakkan terpisah, di bagian bawah.

Namun begitu aku buka, aku tak mendapati kedua wadah yang biasa digunakan Kepin maupun Bogi di sana, terus dimana dong? Masa iya bekas makan tadi siang belum dibenahi sama Mang Diman. Aku pun menutup kembali lemari penyimpanan, dan lekas berjalan ke depan rumah, tempat dimana terakhir aku meninggalkan Kepin dan Bogi, namun begitu sampai depan aku terdiam bingung.

Selain karena kedua hewan kesayanganku itu tak ada, tapi juga karena lampu-lampu halaman sudah menyala terang. Padahal perasaan aku belum menyalakan lampu-lampu taman tadi, baru lampu-lampu dalam aja. Apa aku lupa ya? Ah enggak tau lah, gara-gara kepala bawah spaneng aku jadi lieur gini.

Aku pun berjalan ke teras, mengenakan sandal, lalu melangkah ke samping rumah untuk mencari Bogi dan kepin, sebenarnya bisa saja aku berteriak lantang memanggil nama mereka, nanti mereka pasti akan datang tanpa menunggu lama. Tapi aku urungkan, karena aku tak mau membangunkan Hani nantinya, sudah teriakanku pasti kencang, ditambah gonggongan Bogi pasti amat ramai, wah bahaya itu, enggak boleh terjadi.

Oke halaman sampingku kosong, tidak ada kedua hewan itu di sini, hanya ada potret tubuh Hani yang masih meringkuk di posisi yang sama seperti tadi aku tinggalkan, aku bahkan sampai memperlambat sejenak langkahku agar dapat mengamati gerakan naik turun di bahu Hani yang diakibatkan tarikan napasnya. Gadis itu, mengapa ia selalu menolak setiap aku memintanya menjadi kekasihku ya? Arrghh pusinglah, mending sekarang nyari Si bogi dan Si kepin dulu.

Aku terus melangkahkan kaki melewati halaman samping rumah ini, menuju halaman belakang, berharap Bogi sedang berdiri asik di tepi kolam ikan sembari mengamati dengan ramah ikan-ikan yang berenang di dalamnya, lalu Kepin bersantai angkuh di atas saung, mencibir Bogi yang selalu jadi bahan bully-an kucing oren itu.

Dan ketika langkahku sudah membawaku ke bagian belakang rumah ini, aku seketika terpatung, terdiam bisu, terpaku, atau apalah itu kosa kata sejenis untuk menggambarkan keterkejutanku pada apa yang sekarang ada di jangkauan pandangku. Semuanya seperti yang aku perkiraan sebelumnya, Bogi asik berdiri di tepi kolam sembari memperhatikan ikan-ikan yang pasti terlihat jelas karena terdapat lampu-lampu penghias, dan Kepin pun sesuai perkiraanku, tiduran dengan santai dan sedikit angkuh sembari mengamati Bogi yang di mata kucing tersebut mungkin hanya anak kecil yang asik diganggu. Semua sesuai perkiraanku, kecuali satu..

Seorang perempuan yang duduk menjuntai kaki di samping Kepin, kakinya diayun-ayunkan dengan wajah di tengadahkan ke langit. Ia mengenakan dress kurung mirip daster modern gitu yang model sebatas dengkul, tanpa lengan, rambutnya ia ikat tingggi-tinggi, menampilkan leher jenjangnya. Aku menelan ludahku dengan berat dan sedikit tercekat, ini Teh Arum dari jam berapa ada di rumah wooyy??!! Sejak kapan dia pulang? Kenapa dia enggak bilang kalau udah di rumah? Kenapa dia enggak nyalain lampu-lampu kalau emang udah pulang?

Di tengah keterpanaanku itu, Bogi yang penciumannya amat tajam pun menoleh padaku, lalu menggonggong dengan bersemangat dan berlari cepat menuju arahku, tentu saja hal tersebut membuat Kepin dan Teh Arum ikut memandang ke arahku, dan saat itu juga, aku bersitatap dengan Teh Arum, yang tatapan matanya terlihat agak sendu malam ini. Bahka kelopak matanya sedikit menyisakan bekas merah, apa dia habis menangis ya? Mungkin aja sih, siapa tahu dia sebenarnya kepingin ikut pulang ke kampung, tapi entah mengapa sama Mang Diman enggak dibolehin. Who Knows?

“Aughh.. Auggh..” Bogi melompat-lompat di hadapanku dengan riangnya, sesekali ia juga memutar tubuhnya, memamerkan ekornya yang bergerak-gerak bak antena pemancar, mencoba mendapatkan perhatianku. Aku pun tersenyum dan langsung berjongkok di depan Bogi, yang olehnya langsung direspon dengan menjilat-jilat tanganku yang hendak mengelus pipinya yang menggemaskan itu.

“Ougghh.. heh heh heh..” Kembali gonggongan Bogi terdengar, lidahnya masih terjulur dan bergundal-gandul dengan gemasnya. Aku langsung meletakkan telunjukku di depan bibir, membuat gesture untuk meminta Bogi tidak terlalu berisik, dan seperti biasanya, Bogi Pitbul pintar ini selalu menurut, ia langsung diam dan tidak menggonggong lagi. Hanya menjilat-jilati saja.

Dengan mencoba menepikan segala pikiranku tentang jam berapa sebenarnya kepulangan Teh Arum, aku pun langsung membopong Bogi dalam gendonganku, beratnya yang mencapai hampir 18kg ditambah gerak-gerakkannya yang bersemangat harus aku akui sangat membuatku kewalahan.

Namun entah mengapa, aku senang sekali jika sudah menggendong Bogi, dia itu tipe-tipe yang beuh.. ngegemesin, terus perhatian, dan manja gitu, enggak kaya si Kepin yang lebih sering ngeselinnya. Ya tapi aku tetap sayang kedua-duanya kok, enggak bohong, suwer deh.

Sembari mengelusi punggung Bogi yang tidak bisa diam dan sesekali menjilatiku, aku terus melangkah mendekat ke saung dimana Teh Arum dan Kepin tengah memandangiku, Teh Arum bahkan sudah terlihat melempar senyum, yang olehku langsung kubalas dengan anggukan dan senyuman juga pastinya.

Dan begitu sampai di saung, aku langsung meletakkan Bogi di atas bale saung ini, bersebelahan dengan Kepin yang terlihat sedikit terganggu rebahannya karena gerakan tidak bisa diam Bogi.

“Bogi diem ya.. Duduk..” Perintahku pada Pitbuul hitam kekar tersebut, yang olehnya segera dituruti, setelah itu aku mengelap dan membersihkan liur-liur Bogi yang menyebar di sekitar wajah, leher, bahu dan dadaku dengan tangan.

Hingga entah dapat dari mana, tiba-tiba Teh Arum menyodorkan sebuah handuk kecil padaku, membuatku sejenak tertegun sebelum menerimanya.

“Pakai ini aja Nggan..” Ujar perempuan dengan lesung pipi manis tersebut, di umurnya yang sudah melewati angka 25, harus kuakui Teh Arum masih sangat terlihat baby face, hanya saja lekuk tubuhnya sama sekali tidak bisa dikatakan seperti itu. Payudara besar dan kenacang, serta liukan pinggulnya yang bak gitar spanyol itu benar-benar kontras dengan wajah imutnya.

“Enggak apa-apa Teh?” Tanyaku memastikan.

“Enggak apa-apa, ini emang aku siapin kok, karena aku tau.. Bogi pasti bakal jilatin kamu hehehe” Ujar Teh Arum dengan tawa renyahnya, aku tersenyum, lalu mengambil handuk tersebut dengan perasaan sedikit tersanjung, sedikit loh ya.

Dan karena letak kamar mandi, maupun keran tanaman lebih jauh dibandingkan letak kolam ikan di depan saung, aku pun memutuskan untuk membasahi handuk tersebut menggunakan air kolam saja, lalu kuperas di atas rerumputan, dan mulai kugosokkan ke bagian-bagian tubuhku.

Yang baru aku sadari adalah, ketika aku melakukan itu, Teh Arum terus memandangiku dengan lekat, matanya seperti magnet yang tak bisa lepas dari tubuhku. Membuatku gugup sendiri pada akhirnya, dan untuk mengentaskan kegugupanku, sepertinya aku lebih baik mencari wadah makan kedua hewan peliharaanku ini.

“Hhhmm Teteh liat tempat makan Bogi sama Kepin enggak?” Tanyaku seraya mendekat ke saung, Teh Arum seketika melebarkan senyum lalu menunjuk ke arah samping saung ini.

Mataku pun mengikuti arah tunjukkan itu, dan mendapati dua wadah makan berada di sana, namun sepertinya wadah itu belum lama digunakan, karena sisa-sisa makanan di wadah Bogi masih terlihat agak basah, pertanda masih baru.

“Mereka udah dikasih makan ya Teh?” Tanyaku memastikan, Teh Arum pun mengangguk dengan senyuman kecil di bibirnya. Aku tersenyum kikuk.

“Kalo gitu makasih ya Teh..” Ucapku lagi sembari duduk di samping Teh Arum, menggesser Kepin yang sudah mulai jengah dengan keberadaan Bogi.

Kembali, Teh Arum memberikan anggukkan kecil, wajahnya sedikit ditundukkan, jemarinya merapihkan anak-anak rambutnya yang terburai. Eh kok akward gini ya? Fiyuh..

“Tapi kok Teteh berani ngasih makan Bogi?” Tanyaku lagi mencoba mencari topik pembicaraan. Teh Arum mengangkat wajahnya, lalu melirikku sebentar.

“Ya abis kalau Kepin doang yang dikasih makan, nanti malah aku yang dimakan si Bogi lagi..” Jawab Teh Arum sembari menatap lurus ke depan. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku saja.

“Kan Teteh bisa bangunin Nggan.. biar nanti Nggan yang ngurusin Si Bogi, dari pada nanti Teteh was-was kan?” Tanyaku yang lebih seperti memberikan saran padanya, Teh Arum kulihat menghela napasnya dalam-dalam.

“Aku enggak enak bangunin kamu Nggan.. takut ganggu..” Jawab perempuan bertubuh sintal di sampingku ini, dan aku harus kembali menelan ludahku sendiri, sebab ketika aku menoleh dan mengalihkan pandang dari arah wajah Teh Arum, aku justru berhenti di belahan dadanya yang putih dan membusung indah, yang bahkan saking besar dan kencang atau montok apalah itu pokoknya, bagian samping payudara Teh Arum seperti mengntip dari sela-sela daster bagian sampingnya. Membuatku benar-benar harus memujinya dalam hati.

Besar, padat, berisi, bulat dan kencang.. fyuh..

Kok gugup banget aku ini ya? Apa karena aku kepikiran tentang sejak kapan Teh Arum pulang? Maksudku.. dia tahu enggak ya tentang apa yang aku lakukan di kamar tadi bersama Hani?

Ya gimana ya.. emang sih ini bukan kali pertama, kedua atau pun ketiga aku melakukan hal tersebut bersama Hani di kamarku, tapi kan sebelum-sebelumnya aku selalu mengunci dan menutup pintu maupun jendela ketika tengah ‘berduaan’ sama Hani, tapi ya karena aku mikir tadi enggak ada siapa-siapa, makanya aku selow-selow aja gitu dengan pintu yang terbuka lebar dan jendela yang tidak kututup. Apa aku tanya aja ya? Tapi masa aku langsung tembak dengan :

Hay Teh Arum, Teteh tau enggak tentang aku yang uyeah-uyeah di kamar sama Hani tadi?

Lah kali.. Yang ada malah shock dia nanti, iya kalau bener dia tahu? Kalau dia enggak tahu terus aku bilang gitu.. apa enggak berabe? Nanti malah yang tiada menjadi ada.. yang enggak tahu menjadi tahu.. wah dablek ini namanya, bebel bener aku!

“Hhhmm.. Teteh pulang jam berapa tadi? Kok Nggan enggak tau?” Aku bertanya dengan hati-hati dan sedikit gugup, beruntungnya aku merasa pertanyaanku itu sudah sempurna setelah melalui banyak filter yang ada di kepalaku.

Teh Arum langsung menolehkan wajahnya, menampilkan raut bingung di hadapanku yang begitu menggemaskan. Duh dragon fire.. kenapa itu pipi bisa cabi begitu? Terus putihnya kemerah-merahan sampai memperlihatkan urat-urat samar di sana?

Aihh.. Jadi pengen ngelus rasanya.. pake bibir.. uhhh..

“Pulang jam berapa? Emangnya aku kemana?” Teh Arum bertanya balik padaku, membuatku berpikir sejenak, dengan perasaan yang juga ikut bingung.

“Ituloh Teh yang tadi.. Pas orang rumah pada berangkat ke kampung Teteh.. kan Teteh enggak ada tuh..” Aku mencoba membangun ingatan untuk Teh Arum, membuat ia seketika membuka bibirnya, seolah mengundang lidahku untuk bersilahturahmi ke dalam sana..

Eh.. ini apaan sih?! Kok aku jadi enggak fokus gini ya?

“Oh itu.. enggak kemana-mana kok..” Jawab Teh Arum dengan santainya, kepalanya sedikit dimiringkan, seolah memberi jalan untuk bibirku mendekat dan menempel di rekahan bibirnya.

Fyuh.. ini gara-gara Si Marco kentang ini pasti, jadi ngeres banget aku.. Bajigur sekali ini.. fokus Nggan.. fokus..

“Ya enggak kemana-mananya itu kemana Teh? Apa ke warung Mas Ibas, apa ke Taman komplek, apa ke..”

“Enggak kemana-mana Nggan, aku di kamar aja kok”

DEG..

Gimana-gimana? Barusan Teh Arum bilang apa? Enggak kemana-mana? Di kamar aja? Apasih? Aku salah denger ini kayanya, pasti salah denger ini, kerjaannya Marco ini pasti, bikin isi kepalaku menjurus ke kamar kamar dan kamar.

“Canda aja Teh Arum mah, orang tadi pas abis Ayah, Ibu sama Mang Diman berangkat Nggan ke kamar Teteh kok. Enggan ketok-ketok sama Nggan panggil-panggil, tapi Teteh enggak ada..” Sanggahku dengan berusaha sesantai mungkin, namun Teh Arum malah terlihat jauh lebih santai dibandingkan diriku, iya malah tersenyum lebar, bahkan seperti menahan tawa.

“Ohh.. tadi tuh aku lagi ngambek gara-gara sama Abah enggak dibolehin ikut, padahal aku udah lama enggak pulang ke kampung. Kata Abah besok-besok aja, sekarang mah jangan dulu. Ya kan aku jadinya kaya kesel gitu, tapi mah dikit aja keselnya. Yaudah, abis itu aku masuk aja ke kamar, aku konci pintu, terus aku pake headset, setel musik deh kenceng-kenceng biar enggak denger kalau Abah manggil mau pamitan..” Teh Arum bercerita dengan sebegitu ringan dan riangnya, berbanding terbalik denganku yang mendadak tegang setegang-tegannya.

Ini bukan Si Marco yang tegang ya.. bukan sama sekali! Ini mah tegang beneran, alias beneran tegang ini. Keringet dingin ini..

Si Marco mah boro-boro tegang, kisut mengkerut melipat tubuh lalu bersembunyi dibalik rimbunnya jembut! Sialan memang!

Ini berarti dari tadi Teh Arum tahu dong aku ngapain aja sama Hani? Seenggak-enggaknya dia pasti dengarlah teriakan-teriakan manjalita menggairahkan milik Hani.

Asem asem asem.. aseem banget ini.. kaya bajigur yang udah didiemin tiga hari terus enggak sengaja keminum.. Aseemm..

“Kenapa Nggan? Kok diem?” Tanya Teh Arum membuyarkan lamunanku, sedang aku yang entah mengapa terasa seperti terpojok reflek mengusap keningku.

Oke.. kendalikan diri.. stay cool.. keep calm.. huh.. tariuk napas.. hembuskan.. tarik lagi.. hembuskan lagi.. fyuh..

“Eng.. enggak apa-apa kok Teh, kirain Nggan Teteh kemana, barusan aja Nggan hampir mau nyari Teteh ke luar, soalnya Nggan bangun lampu malem belom ada yang dinyalain, kirain Nggan Teteh lagi pergi dan belom pulang..” Jawabku dengan jantung berdegup tak karuan, berkali-kali ludahku tertelan dengan amat berat, dan bulir keringat di keningku seperti tak habis-habisnya bereproduksi, ngucur terus!

“Oh.. aku tadi sebenernya pengin nyalain lampu, Cuma mah enggak enak aja, makanya aku tunggu di sini..”

“Enggak enak kenapa Teh?”

Shitt.. dablek dablek dablek.. benar-benar dablek aku ini. Kenapa pakai ditanya segala astaga.. udah jelas Teh Arum enggak enak ya karena aku sama Hani sedang dan habis berpacu dalam melodi.. eh birahi maksudnya.

Dan sbelum obrolan ini semakin menelanjangiku, sebaiknya aku segera menyingkir, aku butuh air.. sangat butuh air.. bukan air kolam ini juga tapi, air minum maksudnya.

“Hhhmm Teh.. Nggan masuk dulu ya, aus soalnya..” Ucapku kikuk seraya berdiri, kulihat Teh Arum hanya meresponku dengan tatapan heran.

Sedang aku yang sudah kepalang deg-deg serr uyeh sudah membulatkan tekad untuk keluar dari obrolan yang hanya akan membuatku semakin deg-deg serr uyeh lebih dari saat ini.

Melangkah terus Nggan.. Jangan berhenti.. Jangan menoleh ke belakang kaya Cinta pas ninggalin Rangga di pasar buku kwitang.. pokoknya maju terus, pantang noleh..

“NGGAN..”

Tap..

Kaki sialan, kaki jahanam, otak keparat.. kenapa aku malah berhenti?!

Itu jelas-jelas suara Teh Arum.. kalau aku berhenti, nanti obrolannya bisa nyambung lagi, aku bisa semakin malu lagi. Kenapa ini kaki keparat enggak bisa disinkronisasi sih? Aarrghh..

“I.. iya Teh?” Tanya mulutku mau enggak mau, sembari leherku yang kaku kupaksakan untuk menoleh ke arah saung lagi.

“Aku enggak akan ngadu kok ke Bapak sama Ibu.. janji!” Teh Arum berseru dengan senyum berseri di wajahnya, tangan kanannya terangkat dan memberi gestur ‘peace’ tanda ia bersungguh-sungguh akan ucapannya.

Seketika itu juga kakiku yang keparat dan bangsat tak tahu diri ini pun melemas, seolah ngelos aja gitu tulang-tulangku, keringatku rasanya turun lebih deras lagi, membasah sampai ke celana dalamku.

Aseem ini.. pahit juga rasanya.. Asshhit.. Bajigur sekali ini..

Bersambung..
 
Hallo suhu-suhu.. selamat pagi dan selamat berakhir pekan.. maaf sebelumnya baru bisa up hari ini 🙏 ditunggu saran dan masukannya ya, dan terimakasih untuk yang sudah menyempatkan membaca serta memberikan komentar, maaf karena tidak bisa membalas satu persatu, saya masih kurang ngerti soalnya cara-cara komen di forum ini hehehe.

Oh iya, sekali lagi kalau ada yang tahu tentang tata cara membuat indeks mohon koment di bawah ya, atau bisa pm saya langsung, maklum masih newbie banget soalnya, jadi perkara indeks aja saya belum ngerti hehehe 😭

Sekali lagi terimakasih ya 🙏 salam dablek dan bebel 🙏🙏
 
Terakhir diubah:
ketauan nonton film wikwik aja bikin kita jantungan apalagi kegep gituan wkwkwk

thanks updatenya hu :beer: sekedar saran untuk indeks bikin gini aja hu contohnya part 1 page 1,part 2 page 2 dst..biar mudah daripada bikin hiperlink nanti ngribetin suhu lagi wkwk:Peace:
Wah makasih gan masukannya, hatur nuhun pisan ini, tapi tetep coba-coba googling buat Hyperlink juga, tapi untuk sementara kaya gini dulu ya, semoga berkenan, terimakasih sudah membaca 🙏
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd