Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

terima kasih atas comment2nya

Wah suhu megu keliatannya lagi on fire nih, triple apdet terus..
Moga selalu triple apdet terus ya hu hehehe

hmmm, mumpung cerita yang sebelah lagi buntu, makanya ane lagi lumayan fokus di cerita ini hahaha
amiin, semoga waktu dan kesibukan mengizinkan untuk triple update terus deh

Siapa tuh budi antasari? Lanjut

betul
lanjut baca selanjut2nya

Tengkyu apdetnya bro...btw mbak fera di ekse ya....

hmmm, that will not happen
she belongs to someone else
 
Gas pool suhu ceritanya seru dan layak di angkat dalam film layar panjang;)
:motor1::motor4::motor5::motor2::motor3::polisi:
Ngawal rombongan motor gede dulu mereka mau lihat tkp
 
EPISODE 34 : New Journey

“Hahahaha.” Kata Pak Jent.

“Eh, maaf pak. Saya terlihat bodoh ya?” Tanyaku.

“Oh, ga kok, Jay. Aku ketawa cuma karena Diana tuh ga salah satu hal pun tentang kamu.” Kata Pak Jent.

“Yaah, bukannya keinginan saya sih, pak. Tapi nggak tau kenapa, dia itu selalu ngerepotin, sampe akhirnya entah kenapa juga saya jadi tau baik dan busuknya dia... Walaupun kebanyakan busuknya sih.” Kata Ci Diana sambil tertawa mengejekku.

“Yaelah ci, lu mah kompor doang melulu bisanya.” Kataku dengan sewot.

“Hehehe. Abis ngomporin lu enak sih, Jay. Kayanya lebih enak lagi kl ngegoreng lu.” Kata Ci Diana.

“Biarin. Goreng aja gua. Tapi sebelom digoreng, gua akan pastikan untuk melumuri racun yang menguap kalo kena panas di tubuh gua. Setelah itu, gua akan membawa lu juga ke neraka bareng gua, ci.” Kataku.

“Heh. Coba aja kalo bisa.” Kata Ci Diana.

“Hahaha. Kalian berdua udah kaya kakak-adek aja. Cocok bener dah.” Kata Pak Jent.

Yaah, inilah suka dukanya punya kakak perempuan. Di sisi lain menyebalkan, tapi di sisi lain juga menyenangkan.

“Oke, Jay. Aku ngerti kalo kamu pengen ngajuin unpaid leave a.k.a. cuti tidak dibayar selama dua bulan. Kamu ga usah khawatir masalah kerjaan kantor. Dan pastikan... masalah kenapa kamu cuti ini, diketahui oleh saya, Diana, dan Bu Novi aja ya. Yang lain ga perlu tahu, Jay.” Kata Pak Jent.

“Lho, pak? Bukankah kita sedang disadap?” Bisikku.

“Ga usah khawatir, Jay. Ini markas khusus yang dibuat oleh Abby. Anti penyadapan, anti-CCTV, dan anti bom.” Kata Pak Jent.

“Hah? Anti bom? Serius pak?” Tanyaku dengan kaget.

“Ga serius sih.” Kata Pak Jent sambil tertawa kecil.

Aduuhh, ini atasan dan bawahan sama saja. Enggak Pak Jent, Enggak Ci Diana, dua-duanya sama-sama ga beres!! Kalo ditambah sama Pak Abby yang misterius dan maniak itu sih, jadi tiga deh. Hadeeehhh!!

“Pokoknya kamu tenang aja selama kamu ada disini. Dijamin, satu hal yang pasti disini itu anti-sadap. Dan tempat ini cuma diketahui aku, Diana, Abby, dan Fera. Kalo kamu nanti kesulitan diluar sana, silakan datang kesini. Kamu udah tau juga kan protokol untuk masuk ke tempat ini?” Kata Pak Jent.

“Pak, saya punya satu pertanyaan. Boleh pak?” Tanyaku.

“Ga boleh.” Kata Pak Jent sambil tertawa kecil.

Aduuuhhh!! Atasanku yang satu ini emang sering bikin orang pengen ngacak-acak rambut sendiri!!

“Kenapa, Jay?” Tanya Pak Jent.

“Kenapa bapak percaya ama saya?” Tanyaku.

“Masalah itu, sebetulnya sih aku ga pengen jawab, Jay. Toh jawabannya juga simpel aja kok. Tapi pokoknya kamu inget aja, kalo kamu butuh support diluar sana, silakan hubungin aku.” Kata Pak Jent.

“Hmmm... Baik, pak.” Kataku.

Kemudian, aku berdiri dari tempatku duduk dan hendak berpamitan kepada Pak Jent dan Ci Diana.

“Baik kalau begitu, saya pamit dulu. Makasih, pak. Makasih, ci.” Kataku.

“Jay.” Kata Ci Diana.

“Heh? Apaan?” Tanyaku.

“Good luck.” Kata Ci Diana sambil memposturkan tembakan pistol dengan ibu jari tangan kanannya.

“Thanks.” Kataku sambil membalas postur tembakan pistol dengan ibu jari tangan kananku.

“Jay, tangkep.” Kata Pak Jent.

Saat aku menoleh bersamaan dengan menyadari perkataan dari Pak Jent, aku berusaha sekeras mungkin untuk menangkap benda yang dilemparkan oleh Pak Jent. Hmmm, rupanya sebuah smartphone. Akan tetapi, smartphone merek apa ini? Bentuk dan ukurannya seperti iPhone 4, akan tetapi tidak ada tombol home dan logo apple-nya.

“Itu smartphone khusus, bikinan Abby. Hanya bisa menerima pesan saja, dan pesan itu akan langsung hilang setelah dibaca. Dilengkapi dengan keamanan, yaitu suara dan matamu. Jangan khawatir, jika kamu berada dibawah tekanan, misalkan pemaksaan, smartphone itu tidak akan terbuka isinya.” Kata Pak Jent.

“Wow, canggih amat, pak.” Kataku dengan kagum.

“Abby gitu loh. Orang yang dipercaya oleh Dewa dari para komputer untuk menyebarkan misi dan ajaran komputerisme di bumi ini.” Kata Ci Diana.

Hmmm, sebegitu parah kah sosok Pak Abby bahkan diantara teman-temannya. Akan tetapi, harus kuakui bahwa penemuannya ini sungguh hebat. Setelah itu, aku segera berpamitan kepada mereka, dan keluar dari “markas rahasia” ini.

Mungkin semuanya bingung apa yang sedang terjadi? Baiklah. Setelah membaca nama “Budi Antasari” itu, aku memutuskan untuk mencari sendiri orang itu. Oleh karena itu, aku harus mangkir dari pekerjaan kantorku. Kepergianku ini pun sangat rahasia. Aku sudah memberitahu Pak Jent dan Ci Diana tentang rencanaku. Yang tinggal perlu kulakukan hanyalah mengabari Martha, Villy, dan Senja mengenai rencanaku ini. Akan tetapi, apakah itu adalah tindakan yang tepat untuk memberitahu mereka? Bagaimana jika mereka memintaku untuk ikut? Tidak, aku harus bisa tegas untuk menolak mereka. Yaah, geer banget sih lo, Jay. Kaya mereka mao ikut aja. Emangnya lo siapa, sampe-sampe mereka pengen ikut kemana pun lo pergi? Ah sial! Perkataan hati nuraniku langsung membuatku merasa begitu tertohok. Kurang ajar kau, Hati Nurani-ku!

Sekarang, aku menuju ke sebuah cafe yang bernama setarbaks di tengah kota. Aku janjian untuk ketemu Martha, Villy, dan Senja di tempat itu sekaligus untuk memberitahu maksud kepergianku selama dua bulan. Dalam waktu yang tidak lama, aku sudah sampai di cafe setarbaks yang kutuju itu. Ah, rupanya mereka bertiga sudah sampai duluan. Mereka mengambil tempat di sofa yang letaknya agak diujung ruangan. Aku langsung mendatangi mereka.

“Wah, sorry ya udah nunggu lama ya?” Tanyaku.

“Nggak kok, ko. Kita juga baru sampe.” Kata Martha dengan senyum khasnya.

“Cantik amat senyum kamu hari ini.” Kataku memuji Martha.

“Ah, biasa aja kok, ko.” Kata Martha sambil tersipu-sipu malu.

“Kalo aku, ko?” Tanya Senja.

Yaahh, inilah Senja, si tidak mau kalah nomor satu sedunia.

“Hmmmm....” Kataku sambil pura-pura berpikir.

“Eaaa... koko pusing nih.” Kata Villy sambil tertawa.

“Ah, pertanyaan kamu terlalu susah, Sen. Aku pesen minum dulu.” Kataku.

“Iiihhh, kokooo... Jawab duluuu....” Kata Senja sambil manyun.

Aduh, kalau sudah manyun seperti itu, memang sulit sih rasanya untuk menahan diri.

“Iya, Sen. Kamu juga cantik kok.” Kataku.

“Hehehe. Oke, ko. Pesen minum deh.” Kata Senja.

Haaah, dipuji baru deh aku dilepasin. Setelah itu, aku segera memesan minum kopi campur coklat dan choco chips yang harganya cukup mahal. Ukh, kenapa minuman seperti ini saja harganya bisa mahal sekali ya? Apa karena cafe ini adalah franchise dari luar negeri, makanya mahal gila? Setelah aku mendapatkan pesananku, aku langsung kembali ke tempat duduk untuk bergabung lagi bersama mereka bertiga.

“Jadi, aku bakal pergi. Mungkin selama dua bulan.” Kataku dengan singkat.

Mendengar perkataanku, mereka bertiga tampak tidak terkejut sama sekali, melainkan malah mereka seolah-olah sudah menduga bahwa aku akan mengambil keputusan demikian.

“Iya, ko. Aku udah punya feeling kok kalo koko ngajak kita kesini tuh mao ngomong tentang hal itu.” Kata Villy.

“Iya. Tolong jaga keadaan disini ya selama aku pergi.” Kataku.

Mendengar perkataanku, mereka bertiga langsung kaget.

“Ko... Kita emang... Nggak ikut koko?” Tanya Martha.

“Iya, Tha. Aku akan pergi sendirian.” Kataku.

“Kenapa, ko?” Tanya Senja.

“Grup yang aku hadapin itu bukan grup yang main-main. Salah satu grup mafia terbesar di Indonesia, yang hampir menguasai sebagian lahan kota Jakarta. Sorry kalo aku egois, tapi rasanya aku akan lebih mudah kalo aku bergerak sendirian. Selain itu, aku nggak akan khawatir dengan keselamatan kalian. Disini aman.” Kataku.

“Tapi, ko. Kalo sama-sama koko, kita nggak takut mati kok. Selain itu-“ Kata Senja.

“Sen, bentar. Sorry gw potong. Ko, aku mao tanya nih. Koko pergi itu keperluannya untuk apa?” Tanya Martha.

“Cuma pengen tahu apa yang terjadi... Sekaligus-“ Kataku.

“Nolongin Val?” Tanya Martha.

“Yap.” Aku mengangguk dengan pelan.

“Ko, kita bertiga itu juga punya pikiran yang sama. Val itu temen kita... sahabat kita. Kita juga pengen nolongin dia.” Kata Martha.

“Tapi, ini bahaya, ga main-main.” Kataku.

“Kita ngerti kok ko kalo bahaya, tapi kita tuh-“ Kata Martha.

“Sorry, Tha. Kali ini gw yang potong ya.” Kata Villy.

Martha hanya memberi gestur untuk Villy agar Villy melanjutkan.

“Ko, sorry ko. Aku mau tanya nih sama koko. Koko anggep kita tuh apa?” Tanya Villy.

Ah, pertanyaan yang sulit dijawab. Tentu saja aku menganggap kalian bertiga... tidak, berempat bersama Valensia... adalah sebagai seseorang yang lebih dari sekedar teman atau sahabat saja. Ya, tidak bisa dipungkiri kalau dihatiku memang sudah tumbuh perasaan sayang pada kalian. Akan tetapi, benarkah tentang hal ini? Tidak bisa dong aku selamanya begini terus. Pada akhirnya, aku memang harus memilih salah satu dari kalian, seperti yang dikatakan oleh Akung dalam mimpiku saat aku kritis.

“Vil... Aku sayang ama kalian, kalian berempat.” Kataku dengan lugas dan jujur apa adanya.

Mendengar hal itu, Villy dan aku hanya bertatap-tatapan mata. Aku bisa membaca bahwa Villy sedang dilanda oleh emosi yang begitu kuat. Entah campuran emosi dari senang, bingung, terkejut, dan campuran emosi-emosi lainnya. Aku pun bisa membaca perubahan gerak dan raut wajah Martha dan Senja.

“Oke, aku ngerti, ko. Kalo gitu, oke. Kita nggak akan ngikutin koko.” Kata Villy.

“Vil, jangan ambil keputusan sepihak dong! Lu aja yang nggak ikut, gw mah mao ikut.” Kata Senja.

“Iya, Vil. Emang lu nggak peduli ama Ko Jay?” Tanya Martha dengan heran.

“Gw peduli, gw khawatir, dan gw pengen banget ikut. Tha, Sen, tapi setelah dipikir-pikir, bener kata Ko Jay. Yang dihadapin itu grup mafia besar, bukan grup teri. Apalagi lu pada tau Devina kan?” Tanya Villy.

“Ya iya sih... tapi kan...” Kata Senja.

“Wajar kalo Ko Jay nggak yakin, secara yang dihadapin itu adalah grup mafia besar gitu. Ngelindungin diri sendiri aja mungkin bakal susah, apalagi ngelindungin kita-kita kalo kita ikut. Dan lu pada denger sendiri kan pengakuan Ko Jay. Tha, Sen, sekarang gantian gw yang nanya ke lu berdua. Lu berdua punya perasaan yang sama kan kaya gw ke Ko Jay? Lu berdua menganggap Ko Jay bukan cuma sebagai sahabat ato koko lu, tapi sebagai seorang cowok yang kita sayangin betul-betul tulus dari hati kita. Gitu kan?” Tanya Villy.

Eh, Villy. Betulkah itu?

Martha dan Senja mengangguk tanpa keraguan sama sekali. Aku sudah mendengarnya dari Senja, jadinya aku tidak begitu terkejut dengan pengakuannya. Tapi, Martha? Betulkah itu? Apakah memang ini adalah sesuatu yang harusnya baru kuketahui ataukah aku terlalu bodoh karena tidak melihatnya?

“Nah, oke. Berarti lu sepaham ama gw, karena kalo lu nggak sepaham ama gw, baru gw bakal izinin lu untuk ikut Ko Jay.” Kata Villy.

“Maksud lu apa, Vil?” Tanya Martha.

“Coba lu bayangin, jika terjadi sesuatu ama kita-kita, gimana nanti perasaan Ko Jay? Apalagi kalo terjadi sesuatu itu diakibatin karena Ko Jay nggak sanggup ngelindungin kita. Apa lu mao ngebiarin Ko Jay hidup dalam perasaan bersalah dan trauma?” Tanya Villy.

“Errr... itu...” Kata Martha.

“Aduh... Yaah, nggak sih...” Kata Senja.

“Nah, sekali lagi lu setuju ama gw kan? Yah kenapa gw bilang gini. Ko Jay itu ada benernya kok. Yang dia hadapin itu grup mafia besar, nggak heran kalo dia sendiri juga jiper. Apalagi, Valensia juga ada disana. Nggak mengherankan sama sekali kok kalo Ko Jay ragu apakah dia bisa ngelindungin kita-kita dari bahaya ato nggak. Emang gw paham betul, kemampuan bela diri itu adalah kemampuan yang harus kita punya karena kerja di Ancient Tech. Tapi, apa kemampuan bela diri kita yang pas-pasan itu ngaruh buat misi besar ini? Gw juga nggak mao ngakuin sih, tapi kita tuh cuma akan jadi beban doang.” Kata Villy.

Martha dan Senja hanya menunduk mendengar penjelasan Villy.

“Ya, yang bisa paling banyak kita lakuin tuh adalah, nunggu kepulangan Ko Jay dan Valensia disini, berdoa yang banyak untuk mereka dan mohon berkat agar mereka selalu dilindungin sama Tuhan, dan menjaga diri kita sendiri disini agar paling nggak kita tuh nggak jadi beban pikiran Ko Jay. Biarin dia fokus untuk nolongin Valensia.” Kata Villy.

“Sen, Tha. Tolong dengerin Villy, yah.” Kataku.

“Iya, ko. Aku rasa Villy bener. Kita cuma akan ngerepotin koko doang.” Kata Martha.

“Koko kira-kira perlu bantuan apa gitu nggak?” Tanya Senja.

“Jangan, Sen. Justru aku kesini cuma mao pamitan kok. Aku nggak akan ngasihtau kemana aku pergi, karena kayanya kalo kalian tau sesuatu tentang aku, malah takutnya kalian jadi bahaya.” Kataku.

“Iya, ko.” Kata Senja.

Pas sekali, minuman yang kubeli ini sudah habis aku seruput. Aku pun mengangguk pada mereka.

“Oke. Mungkin sampe sini aja. Aku pergi dulu, semuanya. Jaga diri kalian baik-baik ya.” Kataku.

“Iya, ko. Hati-hati di jalan. Kalo bisa sih kabarin kita ya, ko. Kalo perlu apa-apa, kita pasti bantu kok.” Kata Senja.

“Iya, Sen. Makasih.” Kataku sambil mencium pipi Senja.

“Bawa Valensia pulang dengan selamat ya, ko.” Kata Senja.

“Pasti.” Kataku.

“Ko, jangan lupa balik ya. Inget, aku belom beliin potato chips yang koko pengen banget cobain itu.” Kata Villy.

“Ah, itu. Emang serius, Vil?” Tanyaku.

“Serius lah.” Kata Villy.

“Oke. Aku bakal pulang untuk pastiin aku dapet potato chips itu, Vil.” Kataku sambil mencium pipi Villy.

“Ko, jangan lupa balik ya. Inget... inget... Aku juga belom menebus rasa bersalahku lho sama koko.” Kata Martha sambil tersenyum penuh maksud.

“Hmmm? OOHH!!! THREESO-“ Kataku.

“SSTTTT!!!!” Kata Martha sambil menutup mulutku dengan panik. Dia melihat sekitar dan juga Senja.

Oh iya, disini ada banyak orang. Dan ada Senja pula. Huff, hampir aku keceplosan.

“Threeso apa ko?” Tanya Senja.

“Sstt. Nggak enak diomongin disini. Nggak penting juga kok, Sen.” Kata Villy sambil tersenyum.

“Oh, kirain apaan.” Kata Senja.

Huff, untunglah Villy menyelamatkan kita hahaha.

“Abis koko pulang, ya.” Kata Martha sambil mencium pipiku.

“Iya. Aku makin semangat buat pulang.” Kataku sambil mencium pipi Martha.

“Oke, girls. Cabut dulu.” Kataku.

Mereka bertiga pun melambaikan tangan padaku sambil tersenyum.

Setelah itu, aku segera pulang menuju kontrakanku. Kenapa ke kontrakanku? Entah kenapa, aku mungkin merasa trauma dengan kejadian kemarin, sehingga rasanya masih waswas untuk pulang ke rumah. Lagipula, keluargaku sedang “diamankan” oleh Pak Jent, jadinya di rumah juga tidak ada siapa-siapa.

Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba ada nada dering yang tidak kukenal. Eh, nada dering apa itu? Bunyinya seperti bom yang meledak, tapi sangat pelan. Aku mencoba mencari asal dari bunyi itu, dan ternyata dari smartphone yang Pak Jent berikan kepadaku. Aku mencoba membuka smartphone itu, akan tetapi aku tidak menemukan tombol apapun.

“Aneh, gimana cara membukanya ya?” Aku bicara sendiri.

Tiba-tiba, smartphone itu menyala, dan kemudian mengaktifkan mode kamera depan sendiri. Setelah itu, smartphone itu langsung menampilkan pesan. Wow, keren sekali. Smartphone ini tidak bisa dinyalakan secara manual, tetapi langsung membaca scan retina mataku begitu aku bersuara. Gila, bagaimana cara membuatnya ya? Aku membaca pesan yang tertera di smartphone itu. “JW Mariott Hotel Surabaya”. Ah, itu tujuanku selanjutnya ya? Baiklah.

Sesampainya di kontrakan, aku langsung membook kereta api yang berangkat besok pagi-pagi buta ke Surabaya. Akan tetapi, saat aku mengecek jadwal kereta api ke Surabaya, ternyata ada kereta yang berangkat hari ini juga, berangkat kira-kira jam 18:45 sampai di Surabaya pagi-pagi sekitar jam tujuh. Sekarang, aku melihat jam dan masih jam 13.30. Ah, kebetulan sekali. Lebih baik aku pesan kereta api yang berangkat hari ini saja. Aku segera packing singkat, dan aku istirahat tidur sebentar sampai kira-kira pukul 17.

Setelah semuanya siap, aku segera berangkat ke Stasiun Gambir untuk naik kereta api ke Surabaya. Aku sampai di Gambir rupanya cukup tepat waktu. Saat aku naik ke tempat pemberhentian kereta, kereta itu sudah ada. Aku segera masuk ke gerbong eksekutif dan mengambil tempat duduk yang kosong. Wah, rupanya tempat duduknya cukup nyaman. Tempat duduknya berdua-dua, dan jarak antar tempat duduk dengan tempat duduk depannya pun sangat lowong, sehingga kaki bisa selonjoran. Begini toh kelas eksekutif itu.

Aku segera meletakkan barangku, kemudian duduk di tempat duduk yang dekat dengan koridor. Ah, lumayan nyaman juga ternyata.

“Maaf, boleh saya duduk disitu?” Terdengar suara seorang wanita.

Eh? Bukankah disini masih banyak tempat duduk yang kosong? Mengapa harus duduk disebelahku? Aku segera melihat kearah sumber datangnya suara itu, dan aku kaget melihat seseorang yang tidak mungkin aku tidak kenal.

“Villy!” Kataku dengan kaget.

“Boleh nggak?” Tanya Villy sambil senyum.

“Ya, silakan sih.” Kataku.

Kemudian, Villy pun meletakkan barangnya, kemudian ia masuk untuk duduk di kursi yang dekat dengan jendela, disebelahku.

“Kamu nih, aku kira kamu ngerti apa yang aku alamin, eh ternyata kamu malah ikut juga kesini.” Kataku.

“Aku ngerti kok, ko. Tapi, aku tetep aja nggak bisa biarin koko sendirian. Lagipula tenang aja, ko. Aku nggak ada penyesalan sama sekali. Kalopun terjadi apa-apa sama aku nanti, ada Martha ama Senja.” Kata Villy.

“Kamu itu, emang seolah-olah tuh adalah pemimpin bagi mereka ya, Vil.” Kataku.

“Yah, nggak gitu juga sih, ko. Tapi aku ngerasa aku tuh harus jalan didepan mereka. Mereka berempat tuh masih anak-anak.” Kata Villy.

Yah, inilah Villy. Memang dia adalah seolah-olah kakak perempuan yang selalu mengingatkan adik-adik perempuannya, dan seolah-olah adalah pemimpin yang berjalan didepan mereka berempat untuk memastikan bahwa jalan yang mereka lalui itu mulus dan aman.

“Kalo Martha dan Senja nya juga ikut, gimana?” Tanya suara seorang wanita dari arah sebelah kananku.

Eh? Aku segera melihat kekanan, dan ternyata Senja dan Martha sudah duduk di kursi sebelah kananku.

“Lah, kok lu pada ikut juga?” Tanya Villy.

“Kita satu pikiran Vil sama lu. Kita udah mikir dalem-dalem, dan kita mutusin bahwa kita nggak bisa biarin Ko Jay untuk nempuh semua ini sendirian. Mungkin kita emang cuma jadi penghalang doang. Tapi gue yakin, kita somehow pasti bisa guna kok. Kalo ada apa-apa terjadi ama kita, Ko Jay masih punya Valensia. Betul nggak?” Kata Martha.

“Haduh, kalian itu emang. Yaudah deh, kalo udah sampe sini yah mao gimana lagi.” Kataku.

“Oh iya! Ngomong-ngomong, kok kalian semua bisa tahu kalo tujuanku tuh Surabaya dan naik kereta yang ini pula?” Tanyaku.

“Ci Diana, ko. Dia yang ngasihtau aku, dan kayanya dia juga ngasihtau Martha sama Villy.” Kata Senja.

Hmmm? Harusnya memang Ci Diana tahu sih bahwa tujuanku adalah Surabaya, karena dia dan Pak Abby pasti cs-an. Tapi, kenapa dia juga tahu tentang kereta yang ini ya? Oohh!!! Sial! Kurang ajar! Dia pasti meng-hack laptopku, tidak salah lagi!! Tritt... Tiba-tiba ada ringtone HP-ku yang mengindikasikan bahwa ada pesan masuk. Rupanya dari Ci Diana. “Good luck, Jay. Semoga suka ama kado yang gw kirim buat lo.”. Haah, aneh-aneh saja si cici satu itu. Memang pasti dia yang memberitahu aku kemana aku akan pergi kepada Martha, Villy, dan Senja. Yah, mungkin harus kuakui bahwa aku memang membutuhkan kehadiran mereka selama perjalananku ini.

“Oke, kalian semua siap?” Tanyaku.

Mereka bertiga mengangguk sambil tersenyum. Kemudian, kereta pun mulai jalan. Kita akan tiba di Surabaya sekitar jam tujuh besok di pagi hari. Entah, apa yang menanti kita disana.

BERSAMBUNG KE EPISODE-35
 
Duh bukan threesome lagi ini mah foursome... Ko jay gempor gempor luh.... Hahaha
 
Gue kok ngerasa cerita lo bakal berakhir klise kyk cerita sebelumnya ya?

Para cewek ikut tempur dan gugur satu per satu, satu yg terakhir survive bakal jd bini protagonis utama.


Btw sisain senja buat gue oy :hush:

hmmm, kl berakhir klise sih ga tau yah
tapi ane bisa buka yang ini. ga akan ada yang mati diantara berlima itu (diantara berlima itu lho ya. yang lainnya kaga tau)
karena kl ada yang mati diantara lima itu, jadi menyimpang dong antara cerita sama judul hehehe
kl satu mati atau dua mati, nanti judulnya diedit jadi "Malaikat PAling Sempurna Diantara Empat Malaikat" atau "Malaikat Paling Sempurna Diantara Tiga Malaikat" wkwkwk

Hmmm, Senja ya?
diatur deh nanti kalo Senja-nya mao ya wkwkwk
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd