Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

Ditunggu updatean nya hu..
Btw, udah kesekian updatean, devina kgk ada ada trus dalam cerita.. Apa benar hilang ditelan bumi ya ?
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
EPISODE 41 : Battle Begins

Lemparan pisau Mbak Fera sungguh cepat. Aku harus memfokuskan pikiranku untuk melihat arah pisaunya dengan benar dan menghindarinya. Gila, lemparannya lebih cepat dari pada saat kita bertarung di bantaran Sungai Ciliwung waktu itu. Rupanya memang benar yang dikatakan Mbak Fera bahwa waktu itu dia memang tidak serius menghadapiku. Sudah sekitar tiga pisau yang dilemparkan olehnya. Pisau keempat pun melaju dengan cepat. Aku pun menghindarinya ke kiri. Akan tetapi, kemudian pisau itu berbelok dengan cepat kearah kiri, mengikutiku. Aku pun langsung melompat untuk menghindarinya. Tampaknya, Mbak Fera cukup terkejut karena atas manuver yang aku lakukan untuk menghindari pisaunya. Aku pun memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari kearahnya. Aku harus mempersempit jarak dengannya. Dia pun melempar satu buah pisau lagi. Masih dalam posisi berlari, aku menghindarinya sambil melompat. Tampaknya ia pun kali ini cukup terkejut karena aku menghindarinya dengan melompat. Lompatanku itu pun berhasil membuat jarak antara aku dan Mbak Fera sangat dekat. Sekalian, aku langsung melancarkan tendangan berputar yang cepat kearah kepalanya. Mbak Fera pun menahan tendanganku dengan tangannya. Akan tetapi, pertahanannya tidak cukup kuat, sehingga ia terpental beberapa langkah ke belakang.

“Sudah aku duga, pisau Mbak Fera itu cuma bisa berbelok ke bawah.” Kataku.

“Gimana kamu bisa membuat hipotesis kaya gitu?” Tanya Mbak Fera masih dalam kondisi terbaring di lantai.

“Aku menduga, ada teknik khusus yang Mbak Fera lakukan dalam melempar pisaunya, sehingga pisau itu bisa berbelok, layaknya tendangan pisang yang dilakukan oleh para pemain sepak bola. Akan tetapi, tentunya hanya bisa berbelok kebawah, karena tidak mungkin dengan kecepatan melempar segitu, bisa berbelok keatas melawan gravitasi.” Kataku.

“Lumayan pinter juga analisis kamu. Aku kasihtau, emang ada teknik lemparan khusus yang aku pake. Tapi nggak cuma teknik lemparan aja yang ngebuat pisauku berbelok.” Kata Mbak Fera sambil berusaha bangun.

“Aku pake tenaga dasar yang ada dalam tubuh manusia, namanya ki.” Kata Mbak Fera.

Ki? Bukankah itu tenaga atau energi dasar yang mengalir dalam tubuh seluruh makhluk hidup? Beladiri-beladiri yang menggunakan tenaga dalam pun biasanya menggunakan energi dasar dalam tubuh manusia yang dinamakan ki. Akan tetapi, menguasai ki sangatlah susah. Jangankan menggunakan ki untuk membelokkan arah benda, menggunakan ki untuk memperkuat tubuh saja sangat sulit.

Kini, Mbak Fera yang sudah berdiri, langsung melempar beberapa pisau sekaligus. Di tengah jalan, beberapa pisau pun berbelok, kemudian membentur pisau lain, sehingga otomatis mengubah arahnya. Gawat, kalau begini, arah pisau menjadi tidak terprediksi. TRINGG!! Aku melihat ada sebuah pisau yang arahnya berubah karena ditabrak oleh pisau lain. Pisau itu menuju perutku dengan kencang. Cih! Aku terpaksa melompat ke samping untuk menghindarinya. Akan tetapi, saat itu ada pisau lain yang menuju kakiku dengan cepat. BLESSS... Pisau itu langsung menancap di kakiku dengan telak. Aku langsung terjerembab ke lantai. Akh, bukan main sakitnya. Gawat, kakiku kena. Kalau begini, aku tidak akan bisa bermanuver selincah biasanya.

Serangan pisau-pisau itu pun belum selesai. Pisau-pisau yang sudah terbang melewatiku, masih terus berubah arah akibat pisau-pisau lain yang arahnya berubah-ubah terus. Aku pun melihat ada satu pisau yang menuju tubuhku dari arah belakangku. Aku segera menggulingkan tubuhku untuk menghindari pisau itu. JLEEBB!! Pisau itu menancap di lantai dengan cukup dalam. Gila, pisau itu bisa menancap di lantai begitu dalam. Sekuat apa lemparannya itu? Kalau pisau itu sampai terkena jantungku, aku yakin pisau itu akan menancap di jantungku dengan sangat dalam.

Kemudian, aku melihat Mbak Fera melemparkan satu pisau lagi kearahku, tepat kearah kepalaku. Gawat, dia melemparkan pisau itu kearah bawah. Jika betul perkataannya bahwa dia bisa menggunakan tenaga ki, membelokkan pisau itu kearah manapun bukan masalah, karena tidak melawan gravitasi. Ah, aku punya ide. Aku segera menumpukan kedua tanganku di lantai, kemudian mendorong tubuhku ke belakang dengan memanfaatkan tumpuan kedua tanganku. Pisau itu pun hanya menusuk lantai. Baiklah, sepertinya aku sudah mulai mengerti pola serangan serta kelemahan Mbak Fera. Yang tinggal aku lakukan, hanyalah membuat strategi yang mantap untuk menjatuhkannya. Harus dalam sekali serang, karena aku tidak boleh memperpanjang pertarungan ini. Ditambah, kakiku juga sudah tertusuk pisau. Lama-kelamaan, manuver dan kecepatanku akan menurun secara drastis.

Sepertinya kelemahan Mbak Fera adalah musuh yang mengudara, karena pisaunya tidak bisa berbelok keatas melawan gravitasi. Akan tetapi, jika aku mengudara sembarangan, bisa jadi sasaran lempar pisau yang empuk juga karena di udara tentu aku lebih sulit bergerak. Cih, tidak, aku tidak boleh kebanyakan berpikir. Kakiku sudah tinggal menunggu waktu saja sampai kehilangan lebih banyak darah lagi.

Baiklah, aku langsung maju tanpa berpikir. Meskipun begitu, aku tetap fokus pada tangan Mbak Fera yang akan melempar pisau. SYUUTT. Aku melihat tangan kanan Mbak Fera bergerak dengan cepat untuk melempar pisau. Sasarannya adalah mata kananku. Aku membalikkan tubuhku 45 derajat ke kanan untuk menghindarinya. Belum selesai sampai situ, Mbak Fera kembali melempar pisau lagi dengan tangan kanannya. Kali ini sasarannya kepalaku. Jarak antara aku dan Mbak Fera sudah cukup dekat. Baiklah, ini saatnya aku melakukan sliding untuk menghindar sekaligus memperdekat jarakku dengan Mbak Fera. Aku yang berhasil melakukan sliding dengan sempurna, kini sudah sangat dekat dengan Mbak Fera. Aku langsung menumpukkan tanganku di lantai untuk menghentikan gerakan sliding-ku, kemudian langsung melancarkan tendangan tusukan dengan kaki kiri. Aku mengincar dagunya. Akan tetapi, sialnya ia melihat gerakanku. Ia langsung memundurkan punggungnya untuk menghindari tendangan tusukan kaki kiriku. Heh, tapi jangan senang dulu, Mbak Fera. Tujuan tendangan tusukanku ke dagumu adalah untuk mengunci gerakanmu. Terbukti dengan memundurkan punggungmu, gerakanmu menjadi terkunci. Dengan kedua tangan masih tertumpu pada lantai, aku melepaskan tumpuan tangan kiriku dan melancarkan tinju kearah perutnya. Mbak Fera tampak sedikit terkejut dengan langkah yang kuambil. Akan tetapi, ia berhasil mengantisipasinya dengan menangkap tinjuku dengan kedua tangannya. Dalam posisi punggung condong ke belakang, tentu saja tenaga tubuh akan berkurang setengahnya, sehingga mau tidak mau ia harus menangkap tinjuku dengan kedua tangannya. Yak, inilah saatnya serangan pemungkasku. Dengan menahan sakit dan sekuat tenaga, aku melancarkan tendangan sapuan dengan kaki kananku kearah lengannya. Kali ini ia sangat terkejut, karena ia sudah tidak memiliki cara lagi untuk menghindari ataupun menahan seranganku. DAAK! Kali ini seranganku kena telak mengenai lengan kirinya, dan berhasil membuatnya terjatuh ke lantai.

Mbak Fera terlihat jatuh berguling-guling di lantai. Hooh, ternyata tendanganku lumayan kuat juga ya. Andai saja kakiku tidak tertusuk pisau, pasti aku bisa mengerahkan tendangan yang lebih kuat lagi. Eits, aku tidak boleh berdiam diri. Aku segera berusaha berdiri dan hendak menghampiri Mbak Fera, karena aku harus mempersempit jarak terus menerus jika melawan Mbak Fera yang ahli serangan jarak jauh. Aku berhasil berdiri, tetapi kemudian terjatuh ketika aku akan berlari. Ukh, aku merasakan sakit yang sangat di kaki kananku akibat tertusuk lemparan pisau Mbak Fera tadi. Sial! Apakah kaki kananku sudah sampai pada batasnya.

Aku lihat Mbak Fera pun berusaha bangun. Akan tetapi, ia pun bangun dengan susah payah. Kalau aku lihat dari gestur gerakannya, sepertinya ada tulang lengan kirinya yang retak akibat tendanganku. Tetap saja kondisiku lebih tidak menguntungkan. Jika aku tidak mempersempit jarak dengannya, aku akan jadi sasaran empuk pisau yang dilempar oleh tangan kanannya. Aku pun akhirnya bisa bangun dengan sekuat tenaga. Rasa sakit di kaki kananku ini begitu menganggu sekali. Aku tetap mempertahankan posisi berdiriku dengan susah payah. Aku lihat Mbak Fera pun sudah menyiapkan satu bilah pisau di tangan kanannya.

“Kita kayaknya sama-sama nggak punya tenaga untuk ngelanjutin pertarungan ini. Kalo luka kita sama-sama dibiarin, pasti nggak lama infeksi. Aku buat cepet aja ya, Jay.” Kata Mbak Fera sambil menyiapkan kuda-kuda.

Hmmm? Kuda-kuda itu, bukan kuda-kuda untuk melempar pisau, tetapi lebih ke kuda-kuda untuk bertarung jarak dekat. Mustahil... Apakah Mbak Fera juga ahli dalam bertarung jarak dekat. Akan tetapi, akan cukup baik jika Mbak Fera mendatangiku, karena dengan demikian aku tidak perlu repot-repot datang ke tempat Mbak Fera.

Mbak Fera pun langsung berlari mendekatiku. Setelah sudah dekat denganku, ia langsung memutar tubuhnya, dan melancarkan serangan tebasan dengan pisaunya. Leherku yang dia incar. Menunduk bisa berbahaya, karena itu, aku menyeret kakiku kebelakang sehingga tubuhku ikut mundur ke belakang. Kemudian, ia maju lagi untuk melancarkan tusukan pisau bertubi-tubi. Semuanya mengincar titik vitalku di kepala. Aku menghindari tusukan demi tusukan darinya dengan susah payah.

Suatu ketika, aku menghindari tusukannya dengan mencondongkan punggungku ke belakang. Dilihat dari pandangan matanya yang begitu tajam, sepertinya Mbak Fera betul-betul menunggu kesempatan ini. Kenapa ya?... Oh gawat! Sama seperti Mbak Fera mencondongkan punggungnya ke belakang yang menjadi awal dari retaknya tulang lengan kirinya, kali ini pun Mbak Fera akan menggunakan kesempatan yang berbalik kepadanya. Aku melihat ia melempar pisau di tangan kanannya dengan cepat. Aku melihatnya, pisau itu mengarah dengan cepat ke jantungku. Akan tetapi, sebelum pisau itu bisa mencapai jantungku, tubuhku terjatuh dengan otomatis, sehingga pisau itu hanya terbang melewati udara begitu saja. Oh, rupanya kali ini kakiku betul-betul sudah tidak kuat, sehingga otomatis tubuhku betul-betul kehilangan pijakan. Ah, tidak kusangka kakiku yang tertusuk pisau ini malah menyelamatkanku.

Aku yang sudah jatuh, tidak menyerah begitu saja. Aku segera menyapu kedua kaki Mbak Fera dengan tangan kananku, sehingga ia pun kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kebetulan tubuhnya terjatuh kearah samping, sehingga dari tempatku sekarang ini, tanganku masih mampu menjangkaunya. Aku segera melancarkan tinju kepalan tangan kananku sekuat tenaga kearah perutnya. BUUKK! Tinjuku pun mengenai perutnya dengan telak, dan sepertinya kali ini cukup untuk melumpuhkannya. Mbak Fera pun tampak meringis menahan rasa sakit yang melanda tubuhnya. Akan tetapi, setelah itu ia menutup matanya dan tersenyum.

“Selamat, Jay. Diana pasti bangga sama kamu.” Kata Mbak Fera.

“Ah, aku juga menang karena faktor keberuntungan.” Kataku.

“Keberuntungan itu juga bagian dari kemampuan, Jay.” Kata Mbak Fera.

“Yaah, begitu ya, Mbak?” Tanyaku.

“Udah, kamu mendingan nggak usah banyak omong. Cepetan kamu bangun, dan pergi ke tempat Valensia. Meskipun aku ragu kamu bisa bangun dan jalan dengan kondisi kaki kaya begitu.” Kata Mbak Fera.

Ah, betul kata Mbak Fera. Sebaiknya aku berusaha berdiri.

DOORR!!

Tiba-tiba, aku mendengar suara pistol ditembakkan. Eh? Darimana asalnya suara pistol itu. Sepertinya, dari arah atasku. Aku segera melihat keatas. Rupanya, di lantai dua ruangan ini, aku melihat seseorang... tidak, ada banyak orang. Orang yang paling tengah yang menembakkan pistol.

“Ugh!” Kata Mbak Fera.

“Mbak Fera!” Kataku sambil segera kembali melihat kondisi Mbak Fera.

Gawat, rupanya dia tertembak. Tapi mengapa orang itu menembak Mbak Fera.

“Fera. Sudah kuduga, kamu itu tidak pernah berpihak pada kita.” Kata seseorang yang berada di lantai dua.

Aku kembali melihat ke lantai dua ke kumpulan orang-orang itu. Orang yang menembak Mbak Fera itu sepertinya memiliki posisi yang cukup tinggi di grup mafia ini.

“Ja... Jay... Orang itu adalah... Gandar Siantana...” Kata Mbak Fera.

Oh, itukah ayah dari Devina? Wajahnya sekilas terlihat sangat mirip dengan Devina.

“Berikutnya, giliranmu...” Kata orang itu.

Cih, gawat. Dengan kondisi begini, aku tidak mungkin menghindari pistolnya. Gawat.

“Selamat tinggal, nak.” Kata orang itu sambil menarik pelatuk pistolnya.

DOORRR!!

Ah, sial, tamat sudah riwayatku. Eh, tapi aku tidak merasakan sakit sama sekali. Dan aku mendengar vas bunga yang ada dibelakangku pecah. Oh, rupanya pelurunya meleset ya?

“Apa maksudnya ini?” Terdengar suara orang itu.

“Papa, orang ini biar aku yang urus.” Suara seorang wanita yang sangat familiar di telingaku.

Saat aku kembali melihat keatas, ternyata wanita itu tidak lain adalah Devina. Ia sedang memegang pergelangan tangan ayahnya. Aku duga, dia sengaja membelokkan arah tangan ayahnya.

“Mungkin orang ini bisa berguna untuk meredamkan kerusuhan yang terjadi di markas ini. Biar orang ini aku yang tahan aja. Papa kembali aja ke ruangan papa dan kerja lagi.” Kata Devina.

Devina dan ayahnya tampak bertatap-tatapan mata dengan sangat lama.

“Baiklah, lakukan sesukamu.” Kata ayahnya Devina.

Bukan main, tampaknya ayahnya Devina ini bukan orang biasa. Dengan melihatnya dari jauh saja, aku bisa merasakan aura mengerikan yang terpancar dari tubuhnya. Kemudian, barisan orang-orang di lantai dua itu pun bubar, termasuk ayahnya Devina. Adapun, Devina berjalan ke lantai satu dengan menggunakan tangga yang ada di ujung ruangan.

Sesampainya di tempatku, ia langsung memeriksa kondisiku. Kemudian, ia menekan kakiku yang tertusuk pisau itu. Ukh! Bukan main sakitnya.

“Wah, kalo nggak cepet diobatin, bisa infeksi. Koko jangan berbuat macem-macem ya, ini demi keselamatan koko juga.” Kata Devina sambil merangkul dan membangunkan tubuhku.

“Apa motif kamu kali ini, Dev?” Tanyaku.

“Aku cuma menjalankan perintah aja kok.” Kata Devina sambil memapah tubuhku dan berjalan.

Sambil mulai berjalan, aku melihat ke belakang untuk melihat kondisi Mbak Fera. Sepertinya, ia sudah mulai kehilangan kesadaran. Perut sampingnya tertembak dan mengeluarkan darah. Akan tetapi, aku melihat ia memberi tanda jempol secara diam-diam kepadaku. Oke, Mbak Fera. Seandainya memungkinkan, aku pasti akan kembali dan menolong Mbak Fera.

Devina terus memapahku berjalan, menyusuri lorong demi lorong. Aku sempat melihat kearahnya. Ia mengenakan gaun sedikit ketat berwarna hitam, yang dilengkapi dengan ekor gaun berwarna merah. Karena gaunnya cukup ketat, aku jadi bisa melihat lekukan-lekukan tubuhnya. Tidak bisa kupungkiri memang bahwa dia memiliki tubuh yang sangat seksi dan ideal. Harus kuakui, bahwa empat malaikat lainnya emang kalah jauh dibanding Devina. Ah!! Ingat, Jay!! Dia itu musuh!! Musuh!! Jangan sampai tergoda!!

“Kenapa, ko?” Tanya Devina dengan bingung.

Haah, saat aku salah tingkah tadi, aku malah tertangkap basah. Sial! Bikin malu saja!

“Ga ada apa-apa.” Kataku dengan datar.

Devina hanya diam saja mendengar jawabanku. Ia masih terus memapah diriku menyusuri lorong-lorong di tempat ini. Akhirnya, ia membawaku memasuki suatu ruangan. Ruangan ini cukup besar. Ada meja kursi sofa di dalamnya, dan juga tempat tidur yang sangat besar. Sepertinya sih ini kamar tidur wanita.

“Kamar siapa ini?” Tanyaku.

“Kamarku.” Kata Devina.

Oh, kamarnya Devina toh. Kemudian, ia memapahku untuk duduk di sofa. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari laci lemari yang letaknya ada di samping ranjang yang besar itu. Tidak lama kemudian, ia pun kembali kehadapanku. Rupanya ia membawa perban, sekaligus larutan yang aku tidak tahu apa itu. Kemudian, ia duduk diseberangku dan mulai menuangkan larutan itu ke perban di tangan kirinya. Setelah itu, ia tersenyum kepadaku. Hmmm? Aku tidak merasakan adanya maksud jahat dalam senyuman itu. Apa yang dia rencanakan sebetulnya? Kemudian, ia mendekatkan wajahnya ke hadapanku, dan kemudian mencium bibirku. Eh? Ada apa ini? Ia mencium bibirku dengan begitu lembut. Aku pernah merasakan ciuman di kening waktu di rumah Devina waktu itu. Baru kali ini aku merasakan bibirnya langsung di bibirku. Sial, meskipun dia musuh, tetapi aku hanyalah laki-laki normal biasa. Yang namanya ciuman di bibir dari wanita seksi non bohay seperti Devina, tetap saja membangkitkan gairahku. Lama-lama, aku pun mulai menikmati ciuman bibir ini, dan mulai membalas melumat bibirnya. Bibir dan lidah kami mulai saling menyerang satu sama lain. Akan tetapi, di tengah-tengah kenikmatan itu, tiba-tiba aku merasakan perih yang luar biasa di kaki kananku. Aku sampai tersentak, tetapi Devina langsung memeluk aku dengan erat. Gila, perih sekali kaki kananku ini. Akan tetapi, jujur saja, ciuman dan pelukan Devina membuat semuanya berkurang sangat jauh.

Hingga akhirnya, rasa perih itu mulai hilang, dan menurun. Barulah akhirnya Devina melepaskan ciuman dan pelukannya. Aku baru melihat, ternyata Devina menempelkan perban yang sudah diolesi larutan itu ke kakiku. Kemudian, Devina berlutut dihadapanku, dan mulai membalut kakiku dengan perban baru yang sedikit diolesi larutan itu. Saat ia membungkuk di hadapanku, aku bisa melihat kedua buah dadanya yang tampak dari sela-sela bajunya. Astaga, wanita ini memang memiliki tubuh yang sempurna. Mungkin hampir sesempurna Bu Novi. Entah bagaimana ya jika dia jadi istriku? Aahhh!!! Sudah-sudah!!! Dia ini musuh!!! Yah meskipun begitu, aku merasakan ada yang mulai bangun dari sela celanaku. Sepertinya Devina menyadari hal itu, dan ia langsung menutup sela-sela leher bajunya. Ah sial! Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Malu-maluin saja aku.

Setelah selesai membalutkan perban itu di kakiku, ia pun berdiri, dan membereskan semua peralatan yang ia gunakan. Setelah itu, ia duduk disampingku.

“Sekarang, nggak perlu khawatir. Dalam beberapa lama, nggak bakalan sakit lagi.” Kata Devina.

“Kamu ngolesin apaan Dev?” Tanyaku.

“Hmmmm. Gimana yah jelasinnya? Mungkin larutan yang lebih hebat dari alkohol. Dapet dari dunia bawah.” Kata Devina.

Oh iya, grup mafia sekelas mereka, pasti punya akses ke dunia bawah. Aku tidak heran ada obat semujarab itu yang bisa menyembuhkan luka yang sangat parah ini dalam waktu yang sangat singkat.

“Terus, kenapa kamu nolongin aku, Dev?” Tanyaku.

“Yah, pengen aja, ko.” Kata Devina.

Hmmm? Ada yang aneh pada Devina. Sudah jelas Devina ini berada di posisi musuh. Akan tetapi, berada disampingnya aku tidak merasakan aura jahat sama sekali dari Devina.

Tiba-tiba, pintu kamar ini diketok dengan cepat. Devina pun segera berdiri dan membukakan pintu.

“Non!” Kata seorang laki-laki, yang sepertinya begitu terkejut melihatku.

“Nggak apa-apa. Ada apa?” Tanya Devina.

“Kayaknya ada penyusup yang berhasil memasuki area ini. Non harus evakuasi sekarang juga, perintah dari pak bos.” Kata laki-laki itu.

“Oh, oke. Aku pergi sekarang.” Kata Devina.

“Lho, non? Terus tahanan itu didiemin aja disini?” Tanya laki-laki itu.

“Kalo dia dibawa malah gawat. Kakinya luka separah itu. Ngebawa dia malah repot. Biarin aja dia disini. Nanti aku kunci pintunya.” Kata Devina.

Kemudian, mereka berdua pun keluar. Aku mendengar pintu ini dikunci dari luar. Ah, sial! Aku terkunci di tempat ini. Akan tetapi, ada penyusup yang berhasil memasuki area ini? Siapa ya kira-kira? Apakah rombongan Bu Novi dan Pak Jent? Ya, tentunya pasti mereka sih. Lalu, aku khawatir dengan Senja. Semoga dia baik-baik saja.

BERSAMBUNG KE EPISODE-42
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Duuh pengawal sialan ... Disaat moment langka Jay ama devina malah ganggu
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd