Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

Asiiiik, cerita malam pertamanya nih bakal puaanjaaang bgt :klove:

Siap2 jay makan telor mentah sekarung oplos pake obat kuat :hore:
 
makasi hu. uda update...
premium nie...
tetap semangka hu..
cucok cucok ....saya suka

terima kasih gan

Uceeeettrt....menang banyak lu koh...

Bagi² napah siih...ngincip secelup dua celup doangan mah kaga ngaruh kali....anggep aje nolongin elu kali² aje kaga sanggup...

Bhaahahahahahaahaha....:ha: :lol:




Semangat om megu...:beer:




Salam kemphit..:semangat:

terima kasih gan
weetss, ga bisa itu. semuanya reserved buat Jay wkwkwk

Hehehe makasi om megu, vote ane menang , kelimanya jd bini jayy
Asik tiap hari 1 jayy, sabtu minggu masing2 three some

hahaha sama2 gan

Buset ga ada halangan sama ortunya valensia, kira2 sm ortu senja gimana ya

ikutin aja cerita2 selanjutnya gan

Mantaaaap sekale suhu ditunggu lamaran kerumah selanjutnya, saya sedia nyupirin lah biar ko Jay bisa santai

jaaah, ngapain nyupirin doang. yang ada nanti si Jay malah pacaran wkwkwk

Klo si Jay gak di restui ma ortu senja.. ane siap melamar senja :pandaketawa:

Senja nya emang mau? wkwkwkwk peace gan

Ada yang aneh nih, kok sekarang updatenya cepat banget yah, udah plong masalah udah selesai, mangtabs boss

lho, ane udah state kan ya sebelumnya? kalo main story dari cerita ini udah selesai, dan udah dibetulin juga typo2 (yang kelihatan di mata ane) dan juga udah direview. jadi ane tinggal copy dan paste kesini aja. alhamdullilah sih itu ga ngeganggu RL

Cerita kaya gini nih...


Bahaya..
bikin saya ngimpi meranin tokoh si jay.

Alur ceritanya asik bgt om Megu. Kocaknya dapet, serunya juga dapet, SS'nya apalagi.
Ditunggu ya om megu kelanjutannya.


PS: Devina yg superhot itu gmn ya di ranjang... :)

terima kasih gan
yaaah, mungkin hal itu kelihatan di cerita2 selanjutnya

wah.... update tiap harinya gag jadi ya om megu??
padahal udah saya tunggu" loh kelanjutan buat yg d rumah senja.
ya mungkin om megu ada kepentingan d RL.
saya bakalan ttp setia menunggu kelanjutannya kok om.... hehehehe.....

hmmm? jadi kok gan
agan nungguin update hari sabtu/minggu bukan?
kl iya, ga akan keluar updatenya
ane kan bilang kalo update daily nya itu adalah weekdays. no update on weekend dan libur tanggal merah hehehe

hmmmm sesuai tebakan bnyk orang ini yg agak repot itu di rumah senja ama villy
kalo rumah martha ngga terlalu :D

hmmm, betulkah demikian? lihat saja nanti

Pas ke rumah martha, ada si arvin nggak ya,???

Kalo ada, bakal seru kayakny om

laah, ini udah pada jawab gan :

B

Bukannya arvin udah mokad d bunuh boss mafia naga hijau?
Kalo beneran ada alvin :takut::takut::ugh::kacau:
si Arvin kan udah koit bro, kalo muncul lg, brarti zombie dong?


Mungkin yang arvin yang dibunuh adalah bunshin nya hahaha:Peace:

kalo ini ane bisa spoil. jelas bukan kok. Arvin emang udah bye-bye
 
Maksudny model2 highlander jaman jadul dulu,

Khan biasanya pjahat utama tiba2 muncul lagi,

Soalnya, bpkny devina khan benci banget tuh,
Tapi kali inin yg bales dendam, bukannya jay,
tp, konco2ny om, ya p.budi dan p.antono

Gitu maksudny
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Klo arvin muncul lg pun gak mungkin di rumah martha soalnya ortunya martha dah benci bgt sma arvin (bacanya mundur lg deh biar ga lupa sama jalan ceritanya ok)
 
EPISODE 52 : Lamaran, Part 2

Aku tidak kenal dengan kedua orang tuanya Senja. Jadi, aku betul-betul kikuk sekali. Sementara, mereka berlima bercakap-cakap dengan hangat dengan kedua orang tuanya Senja, karena mungkin mereka sudah saling kenal. Sesekali aku juga berbicara dengan ibunya Senja. Ayahnya Senja sepertinya cukup pendiam, dan sedikit galak sepertinya hahaha. Ibunya sangat ramah. Daritadi, ibunya yang paling bawel mengobrol dengan kelima calon istriku.

“Jay, om punya firasat, sepertinya kamu kesini ingin ngomong sesuatu yang penting.” Kata ayahnya Senja tiba-tiba membuka pembicaraan.

Deg! Secepat inikah? Dan bukan main firasatnya. Luar biasa.

“Oh, betul begitu, Jay?” Tanya ibunya Senja.

“Om, tante. Betul seperti apa yang dikatakan oleh om. Kedatanganku kesini, memang ingin membicarakan sesuatu yang penting.” Kataku.

“Oke. Silakan, Jay.” Kata ayahnya Senja.

“Om, tante. Ada dua hal yang ingin aku bicarakan. Hal yang pertama. Aku dan Senja saling mencintai satu sama lain. Aku datang kesini memohon doa restu dari om dan tante buatku untuk menikahi Senja.” Kataku.

“Haaahhh?” Tanya ibunya Senja.

Ayahnya Senja langsung mengangkat tangannya pelan, menyuruh istrinya diam.

“Sepertinya tidak ada yang perlu diklarifikasikan dari pernyataan kamu, Jay. Pemilihan kata-kata kamu cukup jelas, om mengerti maksudnya. Om rasa juga tante mengerti maksudnya. Baiklah. Yang kedua apa?” Tanya ayahnya Senja.

“Yang kedua adalah, saya tidak hanya akan menikahi Senja, tapi juga akan menikahi keempat sahabatnya secara bersamaan.” Kataku.

“HAAAAAAAHHHH?” Kata ibunya Senja dengan nyaring.

Akan tetapi, ayahnya Senja langsung mengangkat tangannya, kembali menyuruh istrinya diam. Ekspresinya tidak berubah, senyuman tetap tersungging di bibirnya. Akan tetapi, matanya menatap begitu dalam ke dalam mataku, seolah-olah aku sedang ditatap oleh peramal yang mampu membaca seluruh isi hatiku. Sesekali, ia juga menatap Senja. Ia ganti-gantian menatapku dan Senja. Ukh, aku langsung paham, ayahnya Senja bukanlah orang sembarangan.

“Kenapa kamu ingin menikahi mereka?” Tanya ayahnya Senja.

“Baik, om. Aku dan Senja selama ini-“ Kataku.

“Maaf, om potong. Om nggak tanya alasan kamu ingin menikahi Senja. Kalau masalah cinta, meskipun anak om ini masih kekanak-kanakan, tapi om yakin dia tidak sebegitu bodohnya sampai bisa dibutakan oleh cinta. Masalah kesungguhan kalian berdua, om kurang lebihnya cukup yakin. Nah yang om tanyakan, kenapa kamu ingin menikahi mereka berlima dan bukan satu saja?” Tanya ayahnya Senja.

“Baik, om. Saya cinta sama Senja, seperti saya juga cinta sama yang lainnya. Mereka itu menurut saya adalah satu kesatuan yang nggak bisa dipisahin. Awalnya, mereka memang meminta aku untuk memilih satu diantara mereka. Tapi, aku tahu bahwa mereka sempurna adanya, jika mereka bersatu. Mereka saling mengisi diri mereka masing-masing menjadi suatu kelengkapan yang utuh. Adalah suatu kesalahan yang besar jika saya memecah suatu kelengkapan itu. Karena itu, saya membuat rencana ini, demi mempertahankan kelengkapan itu, dan mencapai kebahagiaan yang utuh.” Kataku.

“Maaf, Jay. Tapi, resolusi kamu om rasa nggak bisa membuat kita memberikan restu kepada kamu untuk menikahi anak om. Mungkin bagaimana caranya, kamu bisa membohongi orang tua keempat sahabatnya. Tapi, om ga akan tertipu.” Kata ayahnya Senja.

“Pa, papa keterlaluan!” Kata Senja.

“Sen!” Kataku.

Kemudian, Senja memegang tanganku dengan lembut sambil mengelus-elusnya.

“Nggak apa-apa, sayang. Aku masih inget apa yang koko bilang. Aku betul-betul inget kok. Biar aku pengen ngomong dulu sama papa mamaku. Apa yang terjadi selanjutnya, paling nggak aku udah ngomong sama mereka. Oke?” Kata Senja.

“Oke, Sen.” Kataku.

“Pa, aku ngerti kok. Mungkin papa sama mama belom kenal sama Ko Jay. Tapi bukannya papa ngasihtau aku, kalo menggunakan kata-kata yang ceroboh sama orang yang belum dikenal adalah sesuatu yang sangat sembrono?” Tanya Senja.

“Papa tahu betul dia orangnya seperti apa. Kamu hati-hati. Jangan termakan oleh rayuan gombalannya, malah nanti kamu yang sengsara.” Kata ayahnya Senja.

“Pa, apa yang membuatku sengsara, dan apa yang membuatku bahagia, itu aku bisa nentuin sendiri, dan aku yakin aku tahu mengenai apa yang ngebuat aku bahagia dan sengsara.” Kata Senja.

“Kamu nggak berpikir dengan kepala dingin, Senja.” Kata ayahnya Senja.

“Papa yang nggak berpikir dengan kepala dingin! Papa yang biasanya akan duduk tenang dan diam tanpa melompat pada kesimpulan dengan terlalu cepat. Nah, sekarang siapa yang nggak berpikir dengan kepala dingin?” Tanya Senja.

“Senja, sejak kapan kamu jadi pembangkang begitu? Apa karena laki-laki itu?” Kata ayahnya Senja.

“Pa, mungkin Ko Jay yang membuat aku seperti sekarang ini. Tapi, tolong, pa. Aku nggak pernah bermaksud untuk jadi pembangkang. Aku dan Ko Jay disini dateng untuk memperjuangkan kebahagiaan dan masa depan kami.” Kata Senja.

“Kalau papa nggak setuju?” Tanya ayahnya Senja.

“Oke. Kalau papa nggak setuju, paling nggak aku pengen denger alesannya. Alesan papa yang paling jujur dan tidak mengada-ada.” Kata Senja.

“Kalau kamu sudah dengar alasannya, lalu apa?” Tanya ayahnya Senja.

“Aku akan coba meyakinkan papa. Percaya sama aku, pa. Aku bener-bener yakin bahwa tindakanku ini nggak salah.” Kata Senja.

“Kamu nggak bisa meramal masa depan, Senja. Gimana caranya kamu bisa yakin bahwa kamu nggak salah?” Tanya ayahnya Senja.

“Aku memang nggak punya kemampuan meramal, nggak kaya papa. Tapi, aku yakin betul bahwa aku tidak salah. Hatiku mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang benar dan layak untuk diperjuangkan.” Kata Senja.

“Dan kalau ternyata kamu nggak bisa juga?” Tanya ayahnya Senja.

“Oke. Aku akan menurut, pa. Kalau kata-kataku nggak bisa meyakinkan papa, aku akan nurut sama papa. Tapi tolong, pa. Katakan dulu alasan papa nggak ngizinin Ko Jay nikahin aku.” Kata Senja.

“Berarti kamu sendiri nggak yakin dong sama resolusi kamu untuk nikah sama Jay?” Tanya ayahku.

“Aku yakin kok, pa.” Kata Senja.

“Kalo kamu yakin dengan resolusi kamu, kamu nggak akan bilang bahwa kamu bakal nurut sama papa kalo kesepakatan tidak dicapai. Kamu akan bilang bahwa kamu bakalan kawin lari, kaya yang kakak kamu bilang ke papa. Itu baru resolusi yang mantap.” Kata ayahnya Senja.

“Mungkin betul kata papa, itu resolusi yang mantap. Tapi yang aku cari bukanlah resolusi yang mantap, tapi suatu tindakan yang benar. Emang, aku punya kok jalan pintas untuk ngedapetin apa yang aku mau. Tinggal kawin lari aja kaya cici. Beres. Tapi, dengan itu, aku yakin lima orang yang ada dibelakangku ini nggak bakal setuju. Ko Jay mao menikahi aku dengan maksud baik, membuat diri kita menjadi lebih baik, bukan menjadi orang yang durhaka terhadap orang tuanya. Aku paham betul siapa Ko Jay.” Kata Senja.

“Kamu tahu Senja, kakakmu itu jauh lebih dewasa dari kamu.” Kata ayahnya Senja.

“Iya, pa. Aku ngerti kok. Aku itu cuma anak manja yang masih kekanak-kanakan, nggak dewasa.” Kata Senja.

“Tapi, ternyata disini terlihat jelas perbedaan kamu dan kakak kamu. Mungkin kamu lebih beruntung mendapatkan pria yang lebih tepat daripada kakakmu. Dalam hal ini, jelas sekali bahwa kamu yang kekanak-kanakan, sudah menjadi dewasa. Rasanya, beberapa bulan lalu itu sifat kekanak-kanakan kamu masih kuat. Papa percaya, kalau ada sesuatu yang mengubah kamu, pastilah orang-orang di belakang kamu itu.” Kata ayahnya Senja.

“Jay, bagaimana pendapatmu tentang anak om ini?” Tanya ayahnya Senja.

“Senja ini, anaknya imut, om. Cantik, baik, hebat, dan juga rajin. Seperti yang om bilang, bahwa dia ini sangat kekanak-kanakan, apalagi kalau sudah memanyunkan mulutnya. Dia memang mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi insya Allah, saya ada disini bersama keempat calon istri saya untuk menjaga dia agar tidak terpengaruh oleh pengaruh jahat orang lain. Satu hal yang paling menonjol darinya dan tidak dipunyai oleh siapa-siapa adalah, ketulusan hatinya, om. Tidak tertandingi.” Kataku.

“Oke. Kalau kamu bisa ngomong gitu, artinya Senja betul-betul menganggap bahwa kamu adalah orang yang tepat buat dia. Nggak semua orang bisa mendapatkan ketulusan hatinya yang begitu murni, om beritahu kamu mengenai hal itu. Om pun juga sudah lihat, bahwa Senja betul-betul sudah semakin dewasa sekarang. Pastilah kalian juga membawa pengaruh yang baik baginya.” Kata ayahnya Senja.

“Jay, tolong jangan diambil hati kata-kata om tadi yang menyinggung kamu. Om sama sekali nggak bermaksud demikian. Om hanya ingin melihat perubahan yang terjadi pada Senja.” Kata ayahnya Senja.

“Iya, aku paham kok om. Daritadi om begitu tajam melihatku dan Senja, aku paham kalo om itu sedang mencari tahu apakah Senja sedang diliputi tekanan atau tidak.” Kataku.

“Wah, ketahuan ya? Hebat kamu, Jay.” Kata ayahnya Senja.

“Hah? Jangan-jangan disini... Cuma aku yang nggak nyadar maksud papa.” Kata Senja.

“Senja, kamu memang sudah dewasa sekarang. Tapi kepekaan kamu masih kekanak-kanakan. Temen-temen kamu mah dibelakang daritadi udah tau. Kamu doang yang nggak tau. Tapi justru berkat itu, papa jadi bisa menilai situasi.” Kata ayahnya Senja.

“Iiihhh... Papa mah... jahaaattt...” Kata Senja sambil memanyungkan mulutnya.

“Nah gitu dong, Sen. Manyuuunn.” Kataku.

Kami semua pun langsung tertawa.

“Oke, Jay. Sekarang gantian om yang bertanya sama kamu. Kapan kita jadi mertua-menantu?” Tanya ayahnya Senja.

“Maaf, om. Jujur, aku masih belum nentuin tanggal. Karena...” Kataku.

“Kamu masih perlu mendapat restu dari orang tua mereka?” Tanya ayahnya Senja.

“Betul itu, om.” Kataku sambil tersenyum malu.

“Nggak masalah. Memang, kamu memang perlu izin dari mereka semua. Oke nggak apa-apa. Berapa rumah lagi yang harus kamu singgahi?” Tanya ayahnya Senja.

“Dua lagi, om.” Kataku.

“Waah, kamu sudah dapat restu dari lebih dari tiga orang tua. Harusnya sih secara resmi kamu sudah boleh mengambil keputusan ya.” Kata ayahnya Senja.

“Belum, om. Walaupun sudah sebagian besar, tetap saja saya harus meminta restu dari semuanya, karena bagaimanapun juga, mereka adalah orang tua dari calon istri saya, yang kemudian akan menjadi orang tuaku juga.” Kataku.

“Bagus, Jay. Paling tidak om lega nyerahin masa depan Senja ke kamu. Apalagi, istri-istri kamu yang lain juga sahabatnya Senja, yang om juga sudah kenal baik.” Kata ayahnya Senja.

“Jadi, apakah aku direstuin om?” Tanyaku.

“Hahaha. Emang masih perlu ditanya? Kalau kamu merasa nggak direstuin, jangan-jangan kamu ketularan Senja nih.” Kata ayahnya Senja.

Kami pun semua langsung tertawa. Sedangkan Senja hanya cemberut kesal saja sambil memanyunkan mulutnya. Ukkhh, Senja yang seperti itu betul-betul imut. Kemudian, seperti sebelumnya juga, aku langsung berlutut dihadapan ayah dan ibunya Senja, dan langsung menyalami mereka sebagai ucapan terima kasih yang begitu besar. Kelima calon istriku pun juga melakukannya. Setelah itu, kami berbasa-basi ngobrol sebentar. Karena masih ada dua rumah lagi dan hari sudah siang, maka kami pun berpamitan. Selanjutnya, kami menuju rumah Martha.

Dalam setengah jam, kami pun sampai di rumah Martha. Aku pernah ke rumah Martha sebelumnya, jadinya aku sudah pernah bertemu dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya menyambut kami dengan sangat ramah. Kemudian, kami duduk bersama di ruang tamu. Aku pun memulai pembicaraan.

“Om, tante. Sebelumnya, aku ingin memberitahu bahwa ada dua hal yang ingin aku sampaikan.” Kataku.

“Naaahh! Gitu doong! Om sama tante udah nunggu kamu dateng kesini dan melamar Martha. Oke, jadi kapan, Jay?” Tanya ayahnya Martha dengan begitu bersemangat.

Eh? Lho? Aku betul-betul dibuat tidak bisa berkata apa-apa.

“Maaf, om. Om sudah tahu apa yang ingin kubicarakan?” Tanyaku.

“Ah, udah tau! “Om, tante. Saya ingin menikahi Martha.” Jawab om,”Oke. Boleh.” Jawab tante,”Silakan”. Kaya gitu mah formalitas aja. Udah kita skip aja ya. Langsung aja, kapan?” Tanya ayahnya Martha.

“Tapi, om. Aku bukan cuma menikahi Martha, tapi juga menikahi keempat sahabatnya.” Kataku.

“Silakan. Yang penting, kapan Jay? Om nggak sabar pengen denger.” Kata ayahnya Martha.

Lloohh?? Aku sedang mimpi atau tidak sih??

“Aku... direstui?” Tanyaku.

“Lah, restu mah sudah om kasih dari dulu, pas om nganterin kamu ke kantor. Ngapain minta lagi?” Tanya ayahnya Martha.

Jujur, aku hanya bengong dan garuk-garuk kepala.

“Emang om setuju, kalo Martha saya poligami-in?” Tanyaku.

“Setuju.” Kata ayahnya Martha.

“Loh? Kenapa bisa setuju segampang itu, om?” Tanyaku.

“Jay, dari awal kita ketemu kamu, kita udah tau kalo kamu itu orang baik. Apalagi setelah kamu nolongin Martha dari bahaya yang ngancem nyawa dia. Kita udah yakin lah kamu itu orangnya baik dan penolong. Kalo kamu memang memutuskan untuk poligami, kita berdua yakin bahwa itu didasari oleh hal yang kuat. Apalagi kalau Martha juga setuju. Udah begitu sih, kita merasa nggak perlu menyampaikan sesuatu lagi. Kita yakin lah sama kalian semua.” Kata ibunya Martha.

“Oh, oke. Makasih, tante.” Kataku.

“Oke, Jay. Jadi, kapan?” Tanya ayahnya Martha.

“Om, aku harus jujur om. Aku belom dapet restu dari semua orang tua mereka. Aku harus minta restu dulu dari mereka semua, baru deh kita rembuk sama-sama nentuin tanggal. Gimana, om?” Tanyaku.

“Ooohh, ya! Itu wajib! Om kira kamu dateng kesini udah dapet restu dari semuanya. Oke, sekarang kamu lanjut aja. Dari om sama tante sih setuju-setuju aja.” Kata ayahnya Martha.

“Oke, om. Kalau begitu, kita permisi dulu ya, om.” Kataku.

Kemudian, kami pun sama-sama berpamitan. Kami pun segera naik ke mobil.

“Eits lupaa!!!” Kataku.

“Kenapa?” Tanya Martha.

“Kita belom salaman ngucapin terima kasih!!” Kataku.

“Oh iya!!” Kata Devina.

Kemudian, kami sama-sama turun kembali dan kembali masuk.

“Wah, udah ya? Cepet amat? Udah dapet restu dari semuanya?” Tanya ayahnya Martha.

“Bukan om. Itu, om. Aku terima kasih banget ya om udah dikasih restu.” Kataku sambil berlutut dan memberi salam kepada ayah dan ibunya Martha.

“Oh, nggak apa-apa, Jay. Om yang terima kasih karena kamu mao memperistri Martha.” Kata ayahnya Martha.

“Selamat ya, Jay.” Kata ibunya Martha.

“Iya. Terima kasih banyak, tante.” Kataku sambil berlutut dan menyalami ibunya Martha.

Yang lain pun juga melakukan hal yang sama denganku. Kemudian, kami kembali berpamitan dan naik ke mobil.

“Haduuh, awkward banget dah.” Kataku.

“Iya. Gw nggak nyangka semudah itu. Gw pikir bakal tegang kaya di rumah Senja.” Kata Valensia.

“Aku mah udah tau. Aku udah cerita ke mereka sebelumnya.” Kata Martha.

“Oh terus kata mereka apa, Tha?” Tanyaku.

“Mereka malah lompat-lompat kegirangan karena koko mao nikahin aku.” Kata Martha.

“Oh, begitu. Hahaha.” Kataku.

Jujur, aku tidak menyangka akan semulus ini. Nah, tinggal satu orang tua lagi. Jika sudah selesai, maka tinggal merencanakan proses pernikahan.

“Guys.” Kata Villy.

“Oit, kenapa Vil?” Tanya Valensia.

“Lu semua mungkin udah tau, tapi Ko Jay belum tahu kan.” Kata Villy.

“Apa?” Tanyaku.

“Orang tua aku.” Kata Villy.

Mendengar perkataan Villy, semua langsung mendadak tenang. Aku langsung tahu ada yang tidak beres.

“Ga usah khawatir, Vil. Gimana pun juga, akan aku dapetin restu dari orang tua kamu, secara sah dan tulus dari mereka.” Kataku.

“Semuanya, kalo keadaan gawat, tinggalin aja ya gw. Lu semua lanjut aja ama Ko Jay. Nggak usah peduliin gw.” Kata Villy.

“Aku udah bilang, Vil. Akan aku dapetin restu dari orang tua kamu. Ga usah khawatir.” Kataku.

Entah apa yang menanti kami, aku terus mengemudikan mobilku menuju rumah Villy yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Martha. Dalam kira-kira dua puluh menit, kami pun sampai di rumah Villy. Aku bisa merasakan adanya ketegangan dari mereka berlima.

“Vil, aku ga pernah ketemu sama orang tua kamu. Kamu kira-kira keberatan ceritain sedikit latar belakang orang tua kamu?” Tanyaku.

“Orang tuaku itu single parent, ko. Mamaku meninggal pas aku umur tujuh.” Kata Villy.

“Oke. Kira-kira, ada lagi yang masih perlu diceritain?” Tanyaku.

“Mungkin, aku cerita latar belakangnya aja kali ya, ko. Dulu, papaku itu dokter, mamaku itu kerja di rumah, ngurus aku dan rumah. Dari kecil, semangat sosial yang orang tua aku ajarin ke aku itu sangat tinggi. Papaku kerja di rumah sakit yang gede, dengan gaji yang cukup besar untuk membiayai kita semua. Karena merasa dari gajinya aja udah cukup, kalau sore ke malem gitu, papaku praktek di rumah, dan nggak mungut biaya dari pasien.” Kata Villy.

“Wah, hebat banget tuh.” Kataku.

“Iya. Keluarga kami sangat bahagia. Kami saling mencintai satu sama lain. Kasih sayang yang aku dapetin dari mereka itu begitu hangat. Aku nggak dikasih gaya hidup yang hedon, melainkan dikasih gaya hidup yang cukup sederhana. Tapi, aku bahagia banget. Kalo aku ngeliat temen-temenku yang dari kecil udah punya mainan dan game console yang bagus-bagus, aku sih nggak dikasih ama orang tuaku. Tapi meski begitu, aku tetep bahagia. Dari situ aku sadar, bahwa harta banyak itu bukan satu-satunya penjamin kebahagiaan seseorang.” Kata Villy.

“Hingga, akhirnya terjadilah kejadian itu...” Kata Villy.

Aku melihat keempat calon istriku yang lain langsung diam dan merenung. Sepertinya, mereka sudah tahu kisahnya.

“Tiba-tiba, mamaku jatuh sakit. Sakitnya parah, waktu itu sih belom ada obatnya. Dan biaya pengobatannya mahal banget, dan nggak semua rumah sakit bisa. Rumah sakit tempat papaku kerja, itu termasuk rumah sakit yang bisa ngobatin. Tapi yah gini aja, berobat di rumah sakit kecil untuk penyakit itu aja bisa ngabisin puluhan juta, apalagi di rumah sakit gede kaya tempat papaku kerja. Oh iya, waktu itu belom krisis moneter, jadi puluhan juta sih masih gede banget hitungannya. Papaku pertama sih coba mohon keringanan biaya karena kebetulan papaku kerja disana, tapi rumah sakitnya nggak ngasih. Akhirnya, dia beresolusi untuk ngobatin sendiri aja di rumah, secara papaku dokter. Tapi tetep aja, biaya pengobatan sendiri pun juga mahal, karena kan mesti beli alat-alat. Akhirnya, terpaksa papaku jual harta-hartanya. Tapi nggak nutup juga. Akhirnya, dia cari pinjeman. Karena papa mamaku waktu itu nggak punya keluarga, terpaksa dia cari pinjeman ke temen-temen dan tetangga-tetangga. Dan tetep aja, nggak ada yang mao ngasih pinjeman. Padahal, tetangga-tetangga itu berobat sama papaku itu gratis lho.” Kata Villy.

“Akhirnya, ya beli alat dan pengobatan seadanya. Sayangnya, itu semua nggak cukup. Hingga akhirnya, mamaku menghembuskan napas terakhirnya di rumah. Waktu itu, aku dan papaku sangat berduka. Tapi, papaku lebih dipenuhi penyesalan. Andai waktu itu dia narik biaya dari orang yang berobat, mungkin jadinya nggak bakal kaya gini, gitu pikiran dia. Tapi, aku berusaha meyakinkan papa, bahwa itu nggak bener. Semangat sosial yang aku terima, itu kan ajaran papa mamaku juga. Tapi yah itu, kayanya papaku terlalu dibutakan sama duka dan penyesalan. Sejak saat itu, pikirannya betul-betul kacau dan sangat money-oriented. Kerja jadi dokter, malpraktek terus. Mungkin karena pikirannya yang kacau. Akhirnya, dia dipecat dari dunia kedokteran, dan diblacklist juga.” Kata Villy.

“Oke.” Kataku.

“Beneran dah, money oriented banget sekarang pikirannya. Temen-temenku yang dateng ke rumah tuh pada dimintain duit semua. Jadinya, aku nggak pernah ngajak temenku ke rumah. Waktu itu Devina doang yang dateng ke rumah bawa segepok duit. Laennya mah langsung diusir, meskipun itu Martha, Senja, ato Val.” Kata Villy.

“Waktu itu mao kerja kelompok. Aku sekelompok sama Villy. Tadinya mao di rumahku kan, eh ternyata papaku lagi rapat mafia di rumah. Nggak bisa deh, soalnya kalo Villy aku bawa ke rumah, nanti di-dor lagi kepalanya. Aku pikir mending di rumah Villy aja. Ya aku bawa segepok duit aku kasih papanya, udah seharian itu aman kok hahaha.” Kata Devina.

“Oke, Vil. Sekarang aku mao tanya sama kamu, apa papa kamu pernah melakukan suatu hal ke kamu? Apapun itu.” Tanyaku.

“Hmmm, kita jarang komunikasi sih. Papaku lebih sering merenung. Oh, paling waktu itu... Mao ngejodohin aku ama anak orang kaya, tapi batal tuh.” Kata Villy.

“Udah, itu doang? Mukul kamu pernah? Minta duit pernah?” Tanyaku.

“Nggak pernah. Cuma ngejodohin aku ama orang yang sebetulnya aku nggak mau, dan agak maksa.” Kata Villy.

“Oke. Yaudah, yuk kita turun.” Kataku.

“Eh, yakin nih ko?” Tanya Villy.

“Yakin. Kalo nggak turun, gimana caranya kita minta restu ke papa kamu?” Tanyaku.

“Tapi, aku serem nih, ko. Nanti koko diapa-apain lagi.” Kata Villy.

“Udah biasa. Ayo-ayo! Semuanya turun.” Kataku.

Mereka semua pun turun. Villy memimpin jalan, ia membuka gerbang pintu rumahnya, kemudian membawa kami semua masuk ke dalam rumah. Di dalam rumahnya, ada ruangan yang bentuknya seperti ruang tamu. Dari ruang tamu, aku bisa melihat ada seorang laki-laki yang sedang duduk di ujung ruangan. Laki-laki itu terlihat sangat depresi, dan terpancar penyesalan dan kesedihan yang begitu besar di matanya. Sepertinya, orang itu adalah ayah Villy.

“Pa...” Kata Villy.

“Vil, udah pulang kamu? Siapa orang-orang itu?” Tanya ayahnya Villy.

“Pa, ini temen-temenku. Sama ada Ko Jay. Ko Jay mao ngomong sama papa.” Kata Villy.

“Ngomong apaan? Penting nggak?” Tanya ayahnya dengan nada yang cukup tinggi.

Sebelum Villy sempat menjawabnya, aku segera memberi aba-aba tangan kepada Villy.

“Biar aku yang terusin.” Bisikku kepada mereka.

Kemudian, aku berjalan ke tempat ayah Villy sedang duduk. Jaraknya tidak jauh, paling hanya sekitar lima meter saja.

“Selamat siang, om. Nama saya Jay Ganama Yaeslim.” Kataku sambil membungkukkan badanku dihadapan ayahnya Villy.

“Udah, saya nggak mao tau nama kamu. Tujuan kamu dateng kesini apa?” Tanya ayahnya Villy.

“Baik, om. Saya datang kesini untuk menemui om, untuk meminta restu dari om buat aku untuk menikahi Villy.” Kataku.

Mendengar perkataanku, ayahnya Villy langsung mengangkat alisnya. Akan tetapi, ia tidak menunjukkan keterkejutan. Ia tetap tenang.

“Kerjaan kamu apa?” Tanya ayahnya Villy.

“Aku bekerja di kantor yang sama dengan Villy. Di kantor, aku menjabat sebagai supervisor-nya Villy.” Kataku dengan sopan.

Ayahnya Villy langsung menghela napas. Ia kini menatap wajahku sebentar dengan pandangan yang terlihat merendahkan.

“Dengan jabatan yang kecil kaya kamu, mana mungkin kamu bisa bahagiain anak saya? Jangan main-main, kamu! Nggak, saya nggak setuju!” Kata ayahnya Villy.

Hmmm, jabatan supervisor di perusahaan biasa mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lima orang istri. Tapi, perusahaan tempatku bekerja ini bukan perusahaan biasa. Dengan gajiku sekarang, harusnya sih cukup ya. Akan tetapi, aku bingung bagaimana membicarakannya ya.

“Maaf om, tapi aku sudah menghitung-hitung dengan cermat. Ditambah dengan usaha sampingan yang saya lakukan, saya yakin cukup untuk membiayai kehidupan keluarga kami. Aku pun juga sudah membicarakan hal ini dengan Villy.” Kataku.

“Tahu apa kamu tentang kebutuhan finansial? Cukup itu tidaklah cukup. Segala sesuatunya harus berlebih. Gimana coba nanti seandainya di masa depan, terjadi suatu bencana yang ngabisin harta kamu? Nanti kamu nggak punya harta dan hidup luntang-lantung?” Tanya ayahnya Villy.

“Apa yang om katakan itu betul, betul sekali, om. Untuk masalah itu, alhamdulillah aku udah ngitung-ngitung, dan bisa nabung om tiap bulannya. Aku juga udah mecah-mecah tabungan itu, dimana diantaranya ada juga tabungan untuk jaga-jaga, untuk mengatasi masalah yang om katakan itu seandainya amit-amit terjadi.” Kataku.

“Kamu cinta sama Villy?” Tanya ayahnya Villy.

“Iya, om. Aku cinta sama dia.” Kataku.

“Saya rasa sebaiknya kalau demikian, kamu bawa saja dia lari. Om sih nggak akan kasih kamu restu. Kecuali kalau kamu besok-besok dateng dan udah jadi pengusaha besar.” Kata ayahnya Villy.

“Wah, maaf, om. Kalau bawa dia kabur, itu bukan opsi buat saya.” Kataku.

“Kenapa?” Tanya ayahnya Villy.

“Biar gimanapun juga, om itu kan papanya Villy. Aku pengennya itu merajut masa depan bersama Villy, bukan ngebuat Villy jadi anak yang durhaka.” Kataku.

Mendengar perkataanku, terlihat bahwa ayahnya Villy memikirkan sesuatu dengan sangat sulit sambil memejamkan matanya. Seolah-olah, ia baru saja mendapatkan masalah yang begitu besar, dan sedang berpikir keras untuk memecahkan masalah itu. Tiba-tiba, kedua matanya terbuka dengan sangat cepat. Uh, ini... aura membunuh! Saat itu juga, sebuah kepalan tinju yang cepat melayang ke pipiku dan membuat tubuhku terjatuh.

“Ko Jay!!” Kata Villy sambil berusaha bangun dan mendatangiku.

Tetapi, Devina langsung menangkap tangan Villy dengan cepat. Aku lihat, Devina hanya menggelengkan kepalanya kepada Villy. Oke, terima kasih Devina. Ya, biarlah ini jadi urusanku saja. Aku pun segera bangun.

“Saya sih hanya berpikir logis saja ya. Kamu tahu bahwa mamanya Villy meninggal saat dia kecil?” Kata ayahnya Villy.

“Ya, om. Saya sudah dengar ceritanya.” Kataku.

“Oke. Saya asumsikan kamu tahu sampe sejauh bahwa saya nggak punya uang yang cukup untuk nyelamatin nyawa istriku.” Kata ayahnya Villy.

“Iya, om.” Kataku.

“Gimana kamu akan menghadapi situasi kaya gitu?” Tanya ayahnya Villy.

“Om, maaf saya lancang. Tapi, tentunya dalam hidup itu kan pasti ada hal yang ga kita prediksikan. Ga semua hal itu bisa kita baca. Kadang, hal yang tidak kita inginkan terjadi. Tapi, tentunya kita tidak sendirian. Kita punya orang lain, dan yang lebih penting lagi, kita punya Tuhan yang begitu peduli dan menyayangi kita.” Kataku.

“Tuhan? Kalau Tuhan ada, pastinya Dia nggak akan membiarkan kondisi keluarga saya begini. Apalagi kalau Tuhan itu begitu peduli dan menyayangi kita.” Kata ayahnya Villy.

“Om, di balik semua kejadian, itu pasti ada hikmahnya. Tinggal kita mau mengambil hikmah positif, atau larut dalam kesedihan yang timbul dari kejadian menyakitkan yang terjadi. Jika kita mengambil hikmah positifnya, pastilah kita merasakan Kasih Tuhan yang begitu besar dalam hidup kita.” Kataku.

“JANGAN MENGGURUIKU!! KAMU HANYA ANAK BAU KENCUR YANG TIDAK TAHU APA-APA!!” Kata ayahnya Villy sambil berdiri.

Kemudian, ia memukulku dari atas, hingga tubuhku langsung terjatuh ke lantai. Kali ini, kembali disusul oleh pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi. Bukan main, seluruh pukulan dan tendangannya begitu berat. Tubuhku merasakan sakit yang luar biasa. Aku melihat Martha dan Villy berusaha berdiri untuk menolongku.

“Lu berdua, duduk.” Kata Devina.

“Dev, tapi!!” Kata Martha.

“Jangan ikut campur! Bukannya dia lagi memperjuangkan nasib kita?” Kata Devina.

Aku terus mendapat pukulan yang bertubi-tubi. Aku sambil tetap memastikan bahwa tidak ada yang berdiri untuk mendatangiku.

“Sen, buka mata lu. Lu lihat baik-baik perjuangannya yang sedang memperjuangkan kita ini. Belum tentu lu bisa dapet momen kaya gini.” Kata Devina.

“O... oke, Dev.” Kata Senja.

Uhh, sial! Pukulan dan tendangan ayahnya Villy jauh lebih berat dibandingkan dengan preman-preman yang disewa oleh mantannya Martha dulu. Kesakitan pun mulai melanda tubuhku. Lama-lama, aku semakin tidak kuat.

“PAPAAA!!! STOOPP!!!” Kata Villy.

Gawat, aku lihat Villy sudah berada diatas tubuhku, sementara satu buah pukulan ayahnya Villy sedang mendarat. Dengan kondisi seperti itu, ayahnya Villy tidak akan bisa lagi menghentikan pukulannya. Kalau begini terus, Villy bisa kena. Dengan refleks dan sisa kekuatanku, aku segera membalik tubuh Villy dan melindunginya dengan tubuhku. Aku menunggu satu pukulan berat itu mendarat di tubuhku. Kutunggu... kutunggu... tetapi, pukulan itu tidak juga mendarat di tubuhku. Aku lihat, pukulan ayahnya Villy berhenti tepat sangat tipis dari tubuhku.

“Kenapa kamu melindungi Villy sampai sejauh itu?” Tanya ayahnya Villy.

“Maaf lagi om kalau aku lancang. Tapi, seorang ayah ga boleh sampai memukul anaknya. Dan juga, aku nggak mau kalau sampe Villy terluka dari segi fisik dan mental.” Kataku.

Ayahnya Villy hanya diam saja. Pukulannya masih belum ditarik dari tempatnya semula. Ia tampak hanyut dalam pikirannya.

“Kamu benar-benar ingin menikahi Villy?” Tanya ayahnya Villy.

“Iya, om.” Kataku.

“Aku tanya ke kamu. Hal apa yang menurutmu paling utama dalam suatu keluarga.” Kata ayahnya Villy.

“Kebahagiaan.” Kataku.

“Kebahagiaan seperti apa?” Tanya ayahnya Villy.

“Kebahagiaan hati dan hidup.” Kataku.

“Kebahagiaan seperti apa yang bisa kamu dapat tanpa harta yang banyak?” Tanya ayahnya Villy.

“Om, aku harus mengakui, bahwa hampir segalanya butuh uang. Akan tetapi, tidak semua bisa dibeli dengan uang, termasuk kebahagiaan. Villy yang memberitahu aku sebelum kita semua masuk ke rumah om.” Kataku.

“Villy?” Tanya ayahnya Villy.

“Pa... Inget kan?... Waktu itu tuh... kita begitu bahagia... Pas mama masih ada... Jujur pa... dulu aku cuma butuh papa dan mama... cuma butuh papa dan mama yang selalu nyempetin waktu... untuk main sama aku... selalu nyempetin waktu... untuk nasihatin aku... Aku nggak masalah kok, meskipun... nggak punya mainan yang bagus-bagus... Yang penting papa sama mama ada... Itu udah lebih dari cukup...” Kata Villy sambil menangis.

Ayahnya Villy kembali diam.

“Pa... Aku dapetin kok... kebahagiaan yang aku perluin... dari Ko Jay dan juga dari mereka...” Kata Villy.

Ayahnya Villy kembali diam. Kali ini ia tampak berpikir dengan serius. Kemudian setelah beberapa saat, ia pun menarik tangannya. Aku pun berguling kesamping, dan Villy pun terduduk di lantai. Ayahnya Villy pun berjongkok sehingga matanya sejajar dengan Villy.

“Villy, kamu betul-betul bahagia pas kecil pas mama masih ada?” Tanya ayahnya Villy.

“Iya, pa. Aku nggak ngerasa ada yang kurang.” Kata Villy sambil menghapus air matanya.

“Dulu, pas mama kamu pergi, papa betul-betul nyesel. Kalo aja papa ada uang banyak, pastilah mama bisa selamat.” Kata ayahnya Villy.

“Nggak, pa. Aku yakin sih nggak begitu.” Kata Villy.

“Maksud kamu?” Tanya ayahnya Villy.

“Ya, mao nggak mao aku harus ngakuin sih pa, kalo hidup dan mati itu sepenuhnya ada di tangan Yang Diatas. Mungkin, waktu itu emang saatnya mama pergi. Kalau emang udah begitu, aku rasa keadaan apapun yang kita punya waktu itu, tetep aja nggak bisa mengubah kepergian mama. Dan inget, mama ninggalin pesen loh buat kita, pa. Mama kan ngomong, apapun yang terjadi, tetaplah senyum dan bahagia. Jangan nyalahin siapapun, karena mama pergi dengan hati bahagia. Bukankah gitu, pa?” Tanya Villy.

“...” Ayahnya Villy tidak menjawab.

Kemudian, ayahnya Villy pun menghembuskan napas yang agak panjang.

“Villy, sejak kepergian mama, apakah kamu bahagia?” Tanya ayahnya Villy.

“Jujur, pa. Nggak. Apalagi dengan kondisi papa yang kaya gitu. Aku berusaha cari cara biar papa balik kaya dulu dan bisa bangun dari kesedihan, tapi tetep aja nggak ngaruh.” Kata Villy.

“Sampai akhirnya aku dijodohin sama si Tony itu. Sebetulnya mah aku nggak mao, pa. Apalagi si Tony itu maniak seks dan kasar. Tapi, aku pikir demi papa, siapa tau papa bisa seneng, aku ikut aja. Tapi, ternyata sama aja.” Kata Villy.

“Iya, papa betul-betul salah waktu itu. Papa pikir, kamu bisa bahagia, tapi ternyata nggak. Papa udah berbuat sesuatu yang nggak mungkin bisa dapet maaf dari kamu. Entah, apa yang mama kamu bakal katakan ke papa kalau nanti ketemu di Surga.” Kata ayahnya Villy.

“Nggak, pa. Itu nggak betul.” Kata Villy.

“Hmm, maksud kamu, Vil?” Tanya ayahnya Villy.

“Waktu aku sama Tony, emang semuanya bagaikan neraka. Ditambah lagi, papa waktu itu nggak kunjung berubah juga. Terus juga, akhirnya malah dia yang campakkin aku dan pergi sama cewek lain. Bener deh, semuanya bener-bener lengkap. Tapi di saat keterpurukan itu, aku jadi sadar, ada empat teman perempuanku yang selalu ada di sisi aku dan selalu support aku. Dan juga, ada seorang laki-laki yang datang ngulurin tangan ke aku, tanpa pernah sekalipun nanya tentang masa lalu aku yang kelam, meskipun aku yakin dia udah punya gambaran sendiri. Menerima aku apa adanya, dan berjuang keras mempertahankan aku, meskipun aku ini orang yang nggak layak dipertahankan. Aku bener-bener merasa ditinggiin sama dia, meskipun aku merasa kalo aku ini sangat rendah.” Kata Villy.

“Ah, kamu aja Vil yang rendah diri. Semua manusia itu derajatnya sama kok. Di mata Tuhan, nggak ada yang lebih rendah dan nggak ada yang lebih tinggi.” Kataku.

“Iya, ko. Koko yang ngajarin ke aku masalah itu. Makasih ya, ko.” Kata Villy.

“Tadi kamu bilang, nama kamu Jay, ya?” Tanya ayahnya Villy.

“Betul, om.” Kataku.

“Ikut om sebentar ke kamar. Biar om obatin luka-luka kamu.” Kata ayahnya Villy.

“Oh, aku ga apa-apa kok, om. Jangan repot-repot, om.” Kataku.

“Kamu mau melamar putriku dengan kondisi luka-luka begitu? Ayo sini bangun dan ikut om ke kamar.” Kata ayahnya Villy.

Aku pun segera bangun tanpa berkata apa-apa, kemudian mengikuti ayahnya Villy ke kamarnya. Di kamarnya, aku disuruh berbaring. Setelah aku berbaring, ayahnya Villy meletakkan tangan kirinya di dadaku, kemudian menekan bagian dadaku disebelah tangan kirinya dan mengusapnya sambil menekannya kearah tulang rusukku. Ia melakukannya selama berkali-kali. Aku merasa lukaku mulai sembuh. Mustahil... Aku pernah merasakan sensasi ini. Tidak salah lagi... Ini tenaga ki.

“Kaget bahwa om bisa menggunakan tenaga ki?” Tanya ayahnya Villy.

“Iya, om.” Kataku.

“Om juga tahu kalau kamu bisa menggunakan tenaga ki.” Kata ayahnya Villy.

“Tau darimana, om?” Tanyaku.

“Kalau kamu nggak bisa, luka kamu pasti udah jauh lebih parah.” Kata ayahnya Villy.

“Yang om pake sekarang ini adalah aplikasi tenaga ki untuk dunia medis. Levelnya setingkat diatas penggunaan tenaga ki dasar.” Kata ayahnya Villy.

Hebat, aku tidak menyangka bisa seperti itu. Pastilah dulu ayahnya Villy adalah seorang dokter yang handal.

“Udah. Gimana?” Tanya ayahnya Villy.

“Ah, udah sembuh kayanya, om. Sama sekali ga sakit sekarang.” Kataku.

“Syukurlah. Mengenai restu, oke, Jay. Kamu dapet restu dari om. Silakan menikah dengan Villy.” Kata ayahnya Villy.

“Terima kasih banyak om atas doa restunya. Tapi, ada hal lain yang harus aku omongin, om.” Kataku.

“Oh, apa itu?” Tanya ayahnya Villy.

“Sebetulnya sih, om. Aku ga hanya menikahi Villy, tapi juga menikahi keempat sahabatnya.” Kataku.

“Wow. Hebat kamu bisa dapetin lima wanita sekaligus.” Kata ayahnya Villy.

“Nah, aku ngerasa nih, aku juga mesti minta persetujuan om untuk hal ini.” Kataku.

“Oke. Kamu harus jawab sejujur-jujurnya ya. Apa Villy setuju dengan hal ini?” Tanya ayahnya Villy.

“Iya, om.” Kataku.

“Terlihat ada perdebatan pas kamu ngutarain itu ke mereka?” Tanya ayahnya Villy.

“Hampir ga ada sih, om.” Kataku.

“Oke, om setuju. Silakan.” Kata ayahnya Villy.

“Hah, segampang itu, om?” Tanyaku dengan tidak percaya.

Jelas saja aku tidak percaya. Aku sih mengira akan dipukuli lagi berhubung daritadi aku sudah dipukuli.

“Dulu, om terlalu memaksakan kehendak, dan menentukan sendiri apa yang baik dan buruk untuk Villy. Kali ini, biarlah dia yang nentuin kebahagiannya sendiri. Dan kamu, rasanya matamu lebih baik dari om. Kamu memutuskan hal ini, tentunya kamu sudah mempertimbangkan bahagia dan tidaknya Villy dan empat istrimu yang lain.” Kata ayahnya Villy.

“Baik, om. Terima kasih, om.” Kataku sambil berlutut dan menyalaminya.

“Pesan om cuma satu, Jay. Bangunlah keluarga yang bahagia bersama kelima istrimu.” Kata ayahnya Villy.

“Iya, om.” Kataku.

“Sekarang tolong kamu keluar sebentar, dan panggil Villy dan empat temannya. Kali ini, om pengen bicara dengan calon mempelai wanitanya.” Kata ayahnya Villy.

“Baik, om.” Kataku sambil berdiri kemudian keluar kamar.

Saat aku keluar kamar, mereka semua langsung berdiri dan mendatangiku. Aku hanya mengacungkan jempol, kemudian memberi tanda pada mereka untuk masuk ke kamar ayahnya Villy. Mereka pun mengangguk. Kemudian, Villy masuk duluan, diikuti satu per satu calon istriku. Aku hanya menunggu di ruang tamu sambil duduk. Tidak lama kemudian, mereka pun keluar. Mereka semua sangat sumringah.

“Kokooo, kita jadi nikaahh!!! Huaaaa!!!” Kata Villy sambil berlari dan memelukku.

Aku pun balas memeluknya.

“Jadi gimana nih? Tadi katamu apa tuh? Aku disuruh lanjut aja tanpa kamu? Jadi aku nikah sama empat yang lainnya aja nih?” Godaku.

“Aahhh, jangaann... Aku ikut, dongg...” Kata Villy.

“Makanya, jangan sekali-kali lu ngeremehin calon suami kita, Vil. Lihat nih akibatnya gw. Langsung dibikin kelepek-kelepek waktu di markas mafia.” Kata Valensia.

“Val, kayanya belakangan ini lo muji gua terus. Ternyata lo punya sisi feminim dan so sweet yah.” Kataku.

“Kampret!” Kata Valensia.

Kita semua pun tertawa. Ya, akhirnya perjuangan pertama pun sudah selesai. Tinggal merencanakan pernikahan. Semoga, semuanya berjalan dengan lancar.

BERSAMBUNG KE EPISODE-53
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Yes!!! Dapet restu semua.
:mantap:

***** said:
“Senja, sejak kapan kamu jadi pembangkang begitu? Apa karena laki-laki itu?” kata Senja.
Papa senja kali ya hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd