Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
Kegelisahan


"Ibu kan sudah bilang dari dulu, kamunya sudah terlanjur tergila-gila padanya"
"Jadi apa yang ibu bilang, tak ada yang didengar"

"Agh! Sudahlah Bu! jangan bicara tentang Lani depan aku lagi!"

"Cucuku bagaimana?"

"Biar Lani yang urus"

"Kamu bapaknya, Gus"

"Bukan! Fikri itu bukan anakku Bu!", Bagus mengelak dengan tegas di hadapan ibunya.

"Istighfar kamu, gus! Istighfar!"

"Fikri itu anak haram! Lani ternyata diam-diam ada main dengan laki-laki lain sebelum dekat dengaku Buk!"

Ibunda Bagus menggeleng-geleng, dulu saja si Bagus memuja Lani setinggi langit. Sekarang malah sebaliknya.
"Kata siapa? Kamu dapat info dari mana?"

"Benar kata Ibu dulu, Lani itu bukan perempuan baik-baik"

"Kamu ini, Gus yah, selalu terlambat sadar"

Bagus sedang mampir ke rumah Ibunya. Ia mengutarakan sudah berniat menggugat cerai Lani. Ibunda Bagus sangat menyetujui karena ia beranggapan Lani itu bukan perempuan baik-baik, hanya karena ia kalah cantik dan perawakan dan cara berpakaian Lani yang seronok tak sopan. Padahal, itu permintaan Bagus yang senang punya pasangan secara terang-terangan menampilkan tubuh molek, seakan-akan Bagus bisa membangga-banggakan dirinya dihadapan orang lain.

Namun rasa cinta Bagus kepada Lani memudar semenjak Lani tak mau menuruti kemauannya, menyadari cerewetnya, dan tak mengerti bahwa ia bekerja sampai larut malam. Bagus menjadi lelaki kasar dan penuh menaruh curiga kepada Lani yang tak lagi penurut. Kadang diam-diam Bagus memeriksa hape Lani. Istrinya itu terlampau asyik dengan grup pertemanannya. Di samping itu, selalu saja, Lani merasa kurang terhadap nafkah pemberian bagus.

"Binimu itu kalau sudah tidak mau diatur, ya sudah ceraikan saja"
"Bapak punya kenalan wanita mapan yang jauh lebih pantas untukmu"

"Agh sudah bapak gak usah ikut campur"

"Tuh Bu, anakmu, tidak pernah mau mendengarkan apa kata orang tua"
"Sekarang dia juga yang pusing kan?"

"Gus, dengerin bapakmu. Dia bisa carikan pendamping baru buatmu yang jauh lebih cantik daripada si Lani ganjen itu"

"Sudah bu. Cukup. Bagus mau selesaikan masalah satu per satu"
"Lagipula, Bagus ke sini bukan mau bahas itu, Bagus mau istirahat"

=∆=


Meski hanya berbicara ringan mengenai keamanan sekitar rumah kos yang desas-desusnya bahwa kemarin telah terjadi penyergapan perampok oleh polisi di rumah kos sebelah, Fikri menilai janggal karena seringkali Pak Sarmin menyapa pagi-pagi. Mengetuk pintu, Pak Sarmin lantas ingin mengajak bincang-bincang Mamanya dengan berbagai topik. Mulanya biasa, lama-kelamaan menurut Fikri mencurigakan juga. Lagipula, sepertinya dari sekian penghuni kamar rumah kos, Pak Sarmin lebih sering mengajak bicara mamanya.

Beberapa kejanggalan lain seperti tatapan nakal Pak Sarmin ke arah bodi sang Mama, mengusik Fikri untuk berupaya mengingatkan agar Mamanya lebih berpakaian tertutup dan tak terkesan seksi. Di kamar, Fikri tak menyangkal, ia saja cukup tergiur dengan tubuh sintal mamanya. Apalagi ia sedang beranjak puber. Nafsunya sedang meledak-ledak. Beberapa kali Lani berganti pakaian di depan Fikri karena ia merasa di depan anak kandung tak mengapa. Fikri justru pura-pura tak mengabaikan, aslinya ia curi-curi pandang. Itu mengapa Fikri meminta Mamanya agar lebih tertutup. Sayangnya, tak ditanggapi. Bagi Lani, itulah dirinya apa adanya.

"Beneran ada apa-apanya itu Bapak-bapak!"
"Kagak salah lagi", keluh Fikri, tetapi ia tetap belum mantap hatinya mengecap Pak Sarmin adalah laki-laki hidung belang yang perlu diwaspadai. Ia perlu pembuktian, namun tak tahu harus bagaimana.

"Sayang, nanti malam kita makan malam bareng Pak Sarmin ya"

"Hah? Dalam rangka apa Maah? Kok mendadak banget", tanya Fikri terheran-heran saat ditemui Mamanya yang baru saja dari luar.

"Ya enggak dalam rangka apa apa juga"

"Maa, aku rasa itu Pak Sarmin ada hati sama mama deh"

"Ah, gak mungkin. Kamu gak boleh ngomong gitu"
"Pak Sarmin orang baik-baik"

"Buktinya, dia ngedeketin mama mulu, akrab banget"

"Itu kan karena kita tetanggaan"
"Kamu gak boleh berpikiran buruk sama orang lain", ucap Lani hendak mencuci piring.

"Masalahnya Pak Sarmin itu gak kayak gitu sama tetangga yang lain, Maah"
"Cuman sama Mama doang"

"Enggak, kemarin ngobrol sama Mba Tiara, Mas Darno,..."
"Kamu aja yang gak melihat"

"Tapi Maa?"

"Sudah, mendingan kamu sekarang beresin tempat tidur"

"Terus kita mau makan malam di mana nanti?"

"Di sini"

"Hah? Di kamar ini?!", Fikri terkaget-kaget. Ia memaklumi ini adalah rumah kos, dapurnya saja di luar, ramai-ramai digunakan oleh penghuninya.

"Iyaa"

"Aduh, Mama, ngaco deh"

"Udah ah, Mama mau cuci piring dulu", ujar Lani membopong piring, dibawanya keluar kamar kos menuju dapur di lantai 1.



Fikri benar benar tak paham ide siapa makan malam di kamar kosnya. Sungguh ngawur dan tak bermodal sama sekali. Di kamar kos yang sempit ini, malam nanti ia akan menyambut orang yang sedang dicurigainya. Fikri tak berdaya. Apalagi ia seorang remaja yang masih bergantung. Kehidupan Fikri dan Mamanya saja ditanggung oleh kakek dan nenek (orang tua mamanya). Itu mengapa ia masih bisa bertahan kendati hidupnya mulai serba hemat dan pas-pasan.

Di luar kamar, Lani sedang mencuci piring di dapur lantai bawah. Di tempat itu penghuni kos biasa memasak atau mencuci piring. Bahkan disediakan meja makan, namun jarang ada yang memakainya. Lani melamun. Sambil membilas, Ia tak tahu harus membelikan makan malam apa uang yang diterimanya dari Pak Sarmin.

Kepada Lani, Pak Sarmin mengaku adalah seorang bapak yang sedang mengunjungi putranya yang bekerja di Jakarta. Jarang sekali Lani bertemu putra Pak Sarmin itu pun pagi-pagi buta. Sementara istri Pak Sarmin di kampung. Pak Sarmin sudah hampir setengah tahun menemani putranya. Ia mengaku betah dekat dengan anaknya. Bagi Lani, Pak Sarmin adalah orang baik. Apalagi Lani pernah dipinjami uang sewaktu kiriman dari orang tuanya telat. Ketika dikembalikan Pak Sarmin menolak, beranggapan ia ikhlas memberi.

Malam ini pun, Pak Sarmin memberi uang kepada Lani yang mengaku pintar memasak. Sebab Pak Sarmin mulai jenuh dengan putranya yang hampir tidak ada waktu baginya. Kini ia merasa Lani adalah putri atau jangan-jangan sudah ia anggap pacar dan fikri adalah tetap cucunya.

"Apa beli aja ya, takut Pak Sarmin seleranya lain", gumam Lani menimbang-nimbang uang pemberian Pak Sarmin mau diapakan.

"Ealah kamu di sini toh", Pak Sarmin muncul menuruni anak tangga. Lelaki bertubuh tegap dan tambun itu menghampiri Lani.

"Wah ada yang nyariin nih ya"

"Iya, kan ada yang mau masak"
"Hehe"

Pak Sarmin tersenyum. Matanya melirik diam-diam ke arah daster biru menerawang yang dikenakan Lani. Tampak cup bh menjelaskan ada buah dada besar yang sedang disembunyikan.

"Musti segera pulang kampung itu Pak"
"Ibu kayaknya kali juga udah nungguin tuh"

"Ah Istri saya itu, sibuk omongin orang sama tetangga"
"Lebih kerasan di sini"
"Hehe"
"Oh iya, kamu rencana masak apa?"

"Belum tahu nih, apa beli aja?", tanya Lani. Ia sesekali menengok ke arah Pak Sarmin sembari membilas piring yang kotor.

"Wah kalau beli, saya rugi sekali tidak bisa merasai masakanmu, Mba Lani"
"Masak apa saja, pasti saya makan"

"Yang bener nih Pak? Kalau enggak enak bagaimana?"

"Iya, tetap dimakan, dirimu saja kalau bisa saya makan, saya makan kamu"
"Hahahah", tertawa Pak Sarmin memandang gemas bokong dan sepasang paha mulus Lani dari meja makan dekat dapur. Ia senantiasa berhasrat menyentuhnya. Apalagi Lani pernah bercerita bahwa ia sudah beberapa bulan pisah rumah dengan suaminya. Itu berarti perempuan tersebut lama tak disentuh oleh laki-laki. Pak Sarmin memendam birahi karena lama tak menjamah perempuan. Namun, Ia tak mau mengambil langkah sembrono. bisa-bisa ia digebukki orang, diusir oleh anaknya, atau ditangkap polisi.

"Kalau begitu, aku belanja dulu Pak Sarmin, ke Supermarket dekat sini"

"Oh boleh, silakan"

"Pak, boleh minta tolong?"

"Apa, pindahin piring-piringnya ke rak yang di sana itu"

"Oooh, siap"

Lani tertegun memerhatikan kebaikan Pak Sarmin. Ia selalu mau untuk dimintai tolong, seperti meminjami uang, membetulkan kabel listrik, dan membelikan sarapan. Berbeda dengan suaminya yang sudah kasar, susah sekali membantunya.

"Terima kasih ya Pak"

"Wah tidak usah terima kasih, saya yang semustinya berterima kasih karena selama tinggal di sini ada teman ngobrol"

"Iya Pak, saya juga ngucapin terima kasih karena sudah banyak banget membantu"

"Wah itu gak banyak. Biasa saja. Hehe"

"Baik Pak, saya kembali ke kamar saya dulu ya", pamit Lani meninggalkan Pak Sarmin yang tetap menatap ke arah tubuhnya.

Sesampainya di kamar, Lani tercengang karena Fikri menghilang dan belum juga membereskan kamar. Anak itu terbiasa pergi tanpa pamit kepadanya. Lani yang telah hafal mengira bahwa Fikri tengah berkunjung ke rumah temannya karena ia mungkin terlampau bosan di dalam kamar kos. Lani berupaya mengambil alih. Ia sebetulnya ingin membereskan kamarnya dulu, tetapi ia memutuskan pergi belanja agar memiliki cukup banyak waktu.

"Pak, titip dulu ya"

"Mau kemana?", Pak Sarmin kebingungan bertemu Lani yang tergesa-gesa pergi.

"Mau belanja!"

=∆=​

Menjelang sore, Pak Sarmin duduk di depan layar televisi. Ia kerap menguap karena siaran tak menarik, namun kantuk tak jua menjemput. Ia menunggu tertidur, tetapi pesan Lani tetangga sebelah hinggap di kepalanya.

"Si Lani itu sudah janda apa belum ya"
"Kepikiran dia terus aku inih, duh haduh"

Pak Sarmin bangkit berdiri. Ia mematikan televisi lekas keluar kamar. Ia ingin mengetahui Lani sudah pulang apa belum. Barangkali ia terlewat atau lengah ada penyusup maling. Pak Sarmin lalu mengetuk kamar Lani berulang-ulang hingga ia memastikan bahwa tak ada orang di kamar kos sebelahnya. Ketika ia menarik gagang pintu. Pintu terbuka. Rasa penasaran membuat Pak Sarmin masuk sampai lupa mengucap salam.

"Wah semrawut betul", ujar Pak Sarmin memandangi sprei kembang kuning bercampur biru kalang kabut di berbagai sudut. Sepasang bantal kepala dan guling berserakan. Salah satunya terjatuh ke lantai.

Pak Sarmin mencopoti sandalnya. Ia masuk ingin tahu lebih jauh. Ia amati satu per satu benda dan perabotan yang berada di kamar tetangga sebelahnya. Tak ada televisi di sini. Hanya ranjang dan lemari pakaian yang bersandingan. Terdapat ransel bersandar di tembok.
Ketindihan bantal yang terjungkal.

"Ah sudah kuduga! Betul susunya Lani ranum. Anak saja satu"
"Masih rapat juga pasti selangkangannya ini hehehe", ujar Pak Sarmin membuka lemari pakaian Lani.
Pak Sarmin memeriksa isi lemari pakaian tersebut. Ia dapati pakaian dalam Lani dengan bermacam warna bra dan celana dalam. Yang mengejutkannya adalah ukuran bra Lani yang selama ini menjadi pertanyaan besar mengendap di otak mesum Pak Sarmin, telah sesuai dugaannya.

Tak kalah mengejutkan, ia menengok ke bagian sebelah kiri lemari. Beberapa pakaian tergantung, di antaranya seragam sekolah dan kemeja. Bagian paling akhir yang membuat Pak Sarmin terbengong-bengong.



"Yang ini tak boleh dilewatkan hehe"
"Aku genjot kamu suatu saat nanti di sini sayang", ucap Pak Sarmin tersenyum membayangi hal mesum sambil menatap ke arah ranjang. Pak Sarmin penasaran memeriksa isi lemari. Berikutnya di laci lemari ia temukan satu kotak kondom utuh yang belum digunakan. Pak Sarmin mengira itu mungkin sisa simpanan suaminya Lani.

Selanjutnya Pak Sarmin tak menemukan apa-apa di dalam lemari. Mengintip ke bawah ranjang. Ia menemukan dildo tergolek, nyari terselimut debu.

Bersambung...

Apakah yang akan dilakukan Pak Sarmin selanjutnya?
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd