Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
BAGIAN II
pOV Mirna

“Masak apa hari ini, bu? Kelihatannya yang dimasak ibu Mirna bakal enak dan lezat”, ujar Pak Yanto memerhatikan bahan-bahan yang aku belanjakan. Dia berdiri di sampingku, mengenakan kutang putih tak berlengan dengan bawahan celana pendek hitam.

“Enggak ah pak, masakanku biasa-biasa aja, kalau enak dan lezat, aku udah ikut kompetisi masak-masak yang di Tivi itu...”
“hehe”

“Sombong banget Pak Yanto yang jago masak”, ceplos Bu Aminah seraya merapikan dagangan yang dia jual.

“Ngawur, makan siang saja sering beli”

“kalau beli ngapain ke sini? Katanya gak bisa masak”, Bu Aminah terkekeh.

“Mungkin kumpul-kumpul bareng yang bisa masak, ikut ketularan bisa”

“Hoooooo begitu, kumpulnya kalau ada Mirna saja ya?"

“Sudahlah, saya pulang dulu”, Hendak berbalik badan, tetapi kedua mata Pak Yanto mencari-cari sesuatu di atas papan meja yang berderet sayur-mayur, seperti kangkung, bayam, labu, kacang panjang, terong dan beberapa kentang yang terbungkus dalam plastik. Buah-buahan berderet di belakang Bu Aminah, seperti semangka, pepaya, apel, dan jeruk. Ikan, Ayam, dan Daging tersimpan dalam box styrofoam yang berada di sudut sebelah kiri Bu Aminah, bersender di tembok.

“Cari apa?”

“Pisang!”

“Punya pisang kok cari pisang. Heeheheh”, gurau Bu Aminah memberikan setangkai pisang.

“Punyaku sebesar terong ini, tahu?”, balas Pak Yanto dengan mencomot sebuah terong yang ukurannya melebihi setangkai pisang.

“Mana? Pintar bohong mulutmu, To, To….”

“Ada Bu Mirna di sini, ya mana mungkin kupaksa buka celana”

“Buat apa besar-besar gak ada fungsinya”

“Kamu mau?!”

“Aku sambel sini terongmu!”, seru Bu Aminah.

“hahahahahahaha”, Kami bertiga tertawa.

“Saya pamit pulang dulu….”

TTTUUUUWWWWIIINGGGGG (Saat berbalik badan dan melangkah pulang, Pak Yanto tiba-tiba mentowel pantatku yang saat itu sedang mengenakan celana piyama pendek)
“Aaaaiiisssssssh!!! Pak Yanto!!!!”, hardikku melotot kaget. Ia malah pergi terkekeh-kekeh, tak merasa bersalah.

“Sudah biarkan. Namanya juga lelaki berumur yang kesepian”

“Memang belum menikah Bu? Bukannya udah?"

“Sudah, istri dan anaknya di kampung, dia di sini pelarian karena di kampung cuman jadi bahan omelan istrinya”, ungkap Bu Aminah memasukkan semua bahan belanjaanku.

“Anaknya di kampung juga?”

“Iya ada dua orang, satu orang di kampung, satunya lagi kerja di Palembang”

"Berarti sendiri dong di sini?"

"Iya, makanya kubilang kesepian"

“Ooowhhh”

“Padahal dia bisa bantu-bantu istrinya berdagang, tapi ya namanya umur kadang bicara jika sudah lelah”

“Dagang apa?”

“Saya kurang tahu, katanya dagang”
Itu adalah kali pertama Pak Yanto berani-beraninya menyentuhku. Hampir tidak ada timbul prasangka macam-macam ketika berbicara dengan Pak Yanto. Sebelumnya kami hanya bertegur sapa karena aku kerap melintas di depan rumahnya pagi hari ketika akan belanja ke warung Bu Aminah. Dahulu Ia senantiasa duduk di teras depan rumahnya sembari mengopi. Aku mulanya mengabaikan, namun karena sering melihat akhirnya melempar senyum sapa. Pak Yanto juga. Tidak ada percakapan di antara kami. Begitulah awal aku bersua dengan Pak Yanto. Kemudian Aku tidak tahu kapan sapa-menyapa itu berlanjut seperti hari ini. Pak Yanto sudah tidak duduk mengopi di teras, melainkan bercengkerama di warung Bu Aminah, sebuah tempat yang biasa kudatangi untuk berbelanja kebutuhan pokok karena pergi ke pasar terlampau boros. Bukan sekali dua kali. Benar-benar ia menyongsong paginya di sana seakan-akan menungguku datang.

Sementara ketika ada ibu-ibu yang lain ikut berbelanja ia tak ada. Aku tidak pernah mendapatinya absen ‘mejeng’ di warung Bu Aminah, bahkan selalu mendahului diriku kalau warungnya sedang lengang. Aku tidak merisaukan, beranggapan bahwa ia adalah tetangga dekat Bu Aminah karena akrab sekali mereka ketika bercengkerama.

Kalimat pertama yang terucap dari Pak Yanto kepadaku adalah pertanyaan,”mau masak apa bu hari ini?” Sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi template, senantiasa ditanyakan ketika aku berbelanja di warung Bu Aminah. Sekalinya diganti ya pertanyaan “mau borong apa hari ini, Bu?” Lalu pembicaraan kami sedikit bersambung ketika membahas harga pangan, perihal makanan atau masak-memasak, dan sesuatu yang sedang viral di sosial-media, baik gosip, politik, pun berita kriminal. Aku ikut terlibat pembicaraan yang bisa kutanggapi. Berangkat dari sana, Aku perlahan beranggapan bahwa Pak Yanto adalah seorang bapak-bapak pada umumnya. Tidak ada yang perlu diresahkan, kecuali ketika ia sudah berani mencolek pantatku. Aku kesal, namun Bu Aminah berupaya meredakan. Aku juga tidak melaporkan ke Mas Riko. Aku khawatir ia malah bikin keributan.

“Karena suami kurang perhatian saja itu”

“Kalau sudah tabiatnya nakal ya nakal, enggak ada urusan dengan kurang perhatian”, jawab Bu Aminah menanggapi berita tentang seorang istri memergoki suaminya selingkuh yang muncul di sosial-media.

"Mungkin kurang cantik juga bininya, kurang seksi. Laki-laki biasanya suka yang semok-semok dan montok seperti Bu Mirna ini", ujar Pak Yanto menatap badanku sambil mengunyah pisang goreng.

"Ah aku gendut Pak"

"Ini bukan gendut, siapa yang bilang gendut? Inih tipikal bini idaman! Tul mantul!"

"Kamu puja-puji bini orang, Istrimu di kampung bagaimana?", tanya Bu Aminah tersipu senyum.

"Istriku????"

"Lah iya, masa istri Pak RT, Istrimu bagaimana? manttrrrul ndak? Mantrrrul apa mantul? Hahaha"

“Kalau bininya seperti bu aminah, laki-laki mana yang kuat kalau tiap hari diomel-omeli? Hehehe”, Pak Yanto balas mengolok Bu Aminah.

“Lakiku! Memangnya kamu, To! Hahahaha”

“Pak Yanto lagi curhat ya bu, diem-diem”, sahutku turut menyindir.

“Saya bukan diomeli-omeli, sumpek di kampung, tidak ada duit”

“Makanya kamu bantu binimu, bukannya kabur ke Jakarta”

“Susah, kalau perempuan yang punya uang, tidak leluasa, tidak merasa pegang uang sendiri. Jatah dari anakku malah diserobot bini juga”

“Hhhmmm pantess”

“Daripada kamu ke sini mulu, kamu kerja apa gitu, To?”

“Seusiaku apa mungkin?”

“Kuli di pasar”

“Ayo saja”

“Ya sana kamu ke pasar, bukannya di sini, beli saja jarang, payah”

“Pak Yanto pendidikan terakhir apa?”, tanyaku. Seketika remahan pisang goreng yang dilahap Pak Yanto tumpah mengenai badanku. Ia panik buru-buru menyeka. Cerdiknya, ia singkat meraba bagian dadaku yang acap mengganggu pemandangan laki-laki kesepian, seperti Pak Yanto. Di sisi lain bahkan ia memegang lenganku yang gempal. Ia remas-remas karena gemas.

"Maaf bu, maaf...."

"Sengaja ya kamu, To pasti sengaja"

"Tumpah ya tumpah, masa sengaja", Pak Yanto menjaga jarak. “Saya? SMP. Ada apa Bu?”

“Kalau memang butuh pekerjaan, nanti coba aku tanyakan ke suami. Syukur-syukur kalau ada”

“Wah jangan repot-repot bu, padahal tadi saya hanya curhat aja”

“Udah gapapa, ambil, lumayan buat rokok dan kopi, To”

“Baik banget Ibu Mirna, seandai istri saya di kampung seperti ibu, sampai mati nempel terusss”

“Mimpi kamu?!! Mulai ngayal!”

“Ya udah, saya duluan yaaa”

“Saya juga!”, ujar Pak Yanto tergesa membuntutiku.

“Cari kesempatan, cari kerja sono!”, sahut Bu Aminah.

Aku hampir tidak pernah pulang beriringan dengan Pak Yanto. Ini kali pertama ia jalan mendampingiku. Ia tidak membawa apa-apa, malah membantuku yang pulang menenteng plastik belanjaan. Aku menolak, tetapi Pak Yanto bersikeras ingin membantu sebagai ungkapan terima kasih karena aku mau mencarikan pekerjaan untuknya. Dalam perjalanan, kami berbicara satu sama lain. Pak Yanto mengatakan bahwa aku tampak seorang istri yang konsisten sekali melayani suami. Padahal tidak juga. Aku belanja sejatinya untuk mengisi kulkas atau memenuhi gizi keluarga. Pak Yanto merasa iri karena ia di rumah seorang diri, tidak ada yang mengurus. Aku katakan padanya kalau rindu mengapa tidak pulang kampung saja, namun ia bukan rindu istrinya, melainkan seorang perempuan sesungguhnya, terlepas banyak hal yang telah dilakukan istri Pak Yanto.

Aku melirik ke Pak Yanto sesekali, mungkin ia memperhatikanku diam-diam. Dari perawakannya yang gembul, baik lengan maupun perut, seharusnya ia sanggup bekerja normal. Otot di lengannya saja seperti otot kuli. Nafasnya yang engap-engapan berjalan kaki. Kami berdua diperhatikan oleh beberapa warga yang lewat.

"Bapak betahan gak bu kalau di rumah?"

"Betahan seperti apa?", tanya Pak Yanto memerhatikan sepasang suami-istri berboncengan naik motor melintas depan kami.

"Iya suka keluar rumah sendiri pas libur"

"Kalau keluar rumah selalu sama saya, di rumah pun, kecuali kerja ya"

"Seperti ibu mah bisa bikin suami bobok di kamar terus"

"Enggak malahan, suami saya main hape melulu, pak"

"Ooooo..***me online?", tanya Pak Yanto berusaha menerka, tetapi aku enggan menjawab bahwa Mas Riko kecanduan film dewasa.

"Bukan"

"Terus apaa?"

"Ada deh, hehehehe"

"Emmmmm.....", Pak Yanto sekedar menganggukkan kepala.

"Istri Pak Yanto pandai masakkan?"

"Pinter masak, ya tapi waktunya sudah habis untuk berjualan"

"Jualan apa?"

"Jajanan pasar, seperti lontong, kue pukis, nagasari, kue lumpur", tutur Pak Yanto.

"Enak dong yaah"

"Untuk pembeli, tiba di rumah sudah terlanjut cape, molor"

"Bapak dong bantuin"

"Saya mana bisa, kalau bisa aku sudah memasak dari kemarin", ujar Pak Yanto menengok ke arah wajahku.

"Mau diajarin?"

"Siapa menolak? Hehehe"

"Berani bayar berapa?", tanyaku bercanda.

"Hahahahahha, hutang dulu kalau pakai duit"

"Kalau hutang supaya bu aminah saja yang bantu", Aku sesekali menatap wajah Pak Yanto.

"Lebih baik tidak usah"

"Mengapa enggak bujuk istri ke sini sih Pak?"

"Mana bisa dia tinggalkan dagangannya juga pelanggannya"

"Hhhmmmm", Kami hampir sampai.

"Maaf ya Bu Mirna, soal yang dulu itu"

"Dulu mana?"

"Ibu Aminah cerita kalau ibu kesal waktu saya colek pantat ibu, itu saya bener-bener bercanda"

"Enggak apa-apa, sudah saya maafkan", jawabku membuka pagar. "Mau mampir dulu, pak?"

"Bapak ada di rumah bu?", tanya Pak Yanto memerhatikan sekeliling.

"Ada anak saya kok"

Aku berjalan masuk ke perkarangan, Pak Yanto menutup pagar. Biasanya Rengga jam segini dia belum berangkat kuliah. Ia masih mandi. Aku mempersilakan Pak Yanto duduk di sofa seraya ia menyerahkan barang belanjaanku. Ketika aku menentengnya ke dapur, Pak Yanto memanggil. Katanya ada yang ketinggalan.

"Ketinggalan nih bu..."

"Apaa?", tanyaku menengokkan muka.

"Terongnya"

"Perasaan saya gak beli terong"

"Sudah bawa saja", balas Pak Yanto menyerahkan. "Daripada terong yang lain saya kasih"

"Hehehhe terong Belanda?"

"Terong-terongan hahaha", tertawa Pak Yanto

"Ih maksudnya apaan sih Pak", senyumku.

Aku sangat mengerti jika Pak Yanto menyahut terong. Bukan berarti sayur, pasti ia ingin aku atau Bu Aminah menebak-nebaknya adalah kemaluan laki-laki. Candaan cabul khas Pak Yanto. Suka sekali berkata mengenai pisang, wortel, mentimun, terakhir terong. Pernah juga ia mengatakan buah pepaya, melon, merujuk ke payudara. Mentang-mentang ukuran buah dadaku terbilang besar, dia selalu menyasar ke arah situ. Bu Aminah memaklumi. Aku elus dada mengiyakan. Pembahasan mengenai terong seringkali terjadi. Pak Yanto hampir selalu memancing kami berpikir jorok.

"Pak Yanto mau minum apa?", tanyaku menawarkan.

"Apapun, air putih juga tidak apa-apa, gak usah repot-repotlah, susu boleh!"

"Enggak punya susu", jawabku

"Kamu gak punya susu? Serius?"

"Ishh bukan susu yang itu pak"

"Teruss susu mana yang kamu maksud?"

"Susu Sapi...."

"Oh saaapiiii, yaudah kopi atau teh saja", tertawa Pak Yanto.

Aku membikinkan minuman di dapur sekaligus menenteng barang belanjaan. Pak Yanto memohon izin melihat-lihat seisi rumah. Aku perbolehkan. Mata menatap langit-langit, tembok, berjalan memerhatikan beberapa perabot rumah, sampai ia tiba-tiba ingin buang air kecil. Aku sebetulnya ingin mencegah Pak Yanto masuk ke kamar mandi karena ada ember berisi cucian dalamanku yang belum dibilas. Sayangnya terlanjur. Aku meletakkan secangkir kopi di sofa depan sambil menunggu Pak Yanto selesai buang air.
Rengga keluar dari kamarnya menggantung handuk di punggung. Ia belum mandi. Dia bertanya kepadaku siapa yang ada di kamar mandi karena sedang terburu-buru. Aku memohon Rengga menahan. Pak Yanto belum keluar. Rengga kembali ke kamarnya.

10 menit kemudian Pak Yanto belum keluar juga. Aku mencuri waktu untuk mengupas umbi-umbian, sayur-mayur. Kemudian terdengar suara pintu terbuka menandakan Pak Yanto sudah selesai. Aku mengira Pak Yanto akan langsung duduk sehingga kubiarkan sejenak karena aku mau menuntaskan kupas-mengupasnya. Dia berdiri memperhatikanku.

"Lagi apa bu?"

"Ini kupas kentang"

"Ohh kentang"

"Hehhee bukan terong yaa. Duduk depan saja Pak, kopinya sudah saya antar", ucapku tetap fokus memegang pisau mengiris kentang.

"Siaaapp, jangan dipotong terongnya sakit dong... hehehe
"ibu gak gemuk ah, montok badan model begini"

"Aaihh masih dibahas"

"Iyaa, heran kalau dibilang gendut, emangnya sama siapa? Pak Riko?", tanya Pak Yanto ingin tahu.

"Enggak sama siapa-siapa"

"Loh bagaimana???"

"Kalau montok bukannya sama dengan gemuk, gendut?", tanyaku kerap Mas Riko suka membandingkanku dengan Yanti.

"Bedalah.. montok itu bikin ngacengin"

"Apaa ngacengin?!"

"Yaa, saya tipikal pria yang suka perempuan badan gemuk lalu payudaranya mekar"

"Duh saya dong"

"Salah satunya hehehehe"

"Sudah Pak, di depan aja nungguinnya"

"Baaiiikk....."

Setelah selesai mengupas sebagian kentang, aku menyusul Pak Yanto ke depan. Ia berdiri di dekat daun pintu dengan bagian selangkangan menonjol ke depan. Mengapa bisa ia ngaceng di rumahku. Aku tersentak. Apakah karena memerhatikanku tadi? Sesuai dengan omongannya? Itukah Terong Pak Yanto????

Hhhmmm.... Kemudian Hari Kali pertama aku melihat terong Pak Yanto adalah saat sedang chat dengannya ketika Mas Riko sudah tertidur kala aku sedang bergairahnya, tetapi Mas Riko lelah meladeni.

Malam Hari Pukul 01:00

Aku: curaaangg, aku udah kasih lihat puting nenen aku, Pak Yanto mana.
Pak Yanto: mana apanya?
Aku: gak bercanda ih
Pak Yanto: saya juga gak bercanda.
Aku: terongnyaa. Foto terongnya.
Pak Yanto: ini [Gambar Terong sungguhan]
Aku: bukan ituh
Pak Yanto: terus yang mana?
Aku: terong gede
Pak Yanto: terong gede ukurannya macem-macem.
Aku: terongnya Pak Yanto.
Pak Yanto: Saya enggak pernah beli terong.
Aku: terong yang ituuh
Pak Yanto: Terong yanh inih [FOTO] (Pak Yanto akhirnya mengirim foto penisnya yang sedang ngaceng. Aku terpesona.
Aku: iyaaaa ituhh.
Pak Yanto: minta foto memekmu sekarang....
Aku: bentar mau hapus-hapusin chat dulu.

BERSAMBUNG
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd