Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Bimabet
Sepertinya bagian ayahnya Arya meninggal kecelakaan mobil dengan penis yang masih tertancap di dalam mulut perempuan selingkuhannya terlewatkan nih.. :|
perasaan gx gitu deh cerita ayahnya arya,,, hehe
itu kan cerita di selingkuhannya liana di 4HAF karya suhu nijjuyichi, wh kelihatan baru baca ulang 4HAF nih :D
jadi kebawa cerita beliau.
 
ralat, suami liana yg selingkuh, "ditemukan dalam perjalanan ke puncak, dengan posisi si perempuan pagi mengoral penis suami liana, menabrak pembatas jalan, anak lelaki satu-satunya tewas seketika karna terlempar keluar jendela mobil, dan kedua pasangan selingkuh itu terhimpit dalam posisi cewek sedang mengoral penis si lelaki yg sedang menyetir" police said,,,
klo begitu, dan di cerita ini gx seperti itu kejadian ayahnya arya,,,
 
MDT SEASON 1 – PART 3

------------------------------

sebstu10.jpg

"Cakep banget.... Mau lo pacarin ya?" tanya Jacob via media sosial setelah dia pergi. Sementara Kanaya masih ada di studioku, melihat-lihat rekaman video dokumentasi manggungku selama ini di komputer. Dirinya pasti heran, karena apa yang kumainkan tidak ada mirip-miripnya maupun ada benang merahnya dengan musik Hantaman.

"Cakep sih... tapi kan baru kenal" jawabku ke Jacob.
"Jarang tau ada yang bentuknya begitu..."
"Iya tau, makanya santai aja, gue juga ga mikir apa-apa kok hahaha...."

Kanaya masih memilih-milih video mana yang ia mau lihat selanjutnya. Dia tampak bingung sekaligus excited. Mungkin dia baru tahu kalau musisi bisa main kemana-mana tergantung apa yang dia suka. Sebenarnya kami tidak pernah mengkotak-kotakkan jenis musik dan genre apapun. Karena pada dasarnya semua sama dan semuanya enak. Semua punya tingkat kesulitan masing-masing yang berbeda-beda.

"Kok gini ya, elo beda banget...." Kanaya duduk sambil melipat dan memeluk kakinya.
"Yah, banyak kok yang kayak gitu, gak cuma gue"
"Boong"
"Serius..."

"Mas Arya..." Ai muncul lagi kepalanya di pintu studio.
"Ya?"
"Mau makan malem? Ajak temennya juga kata Mama"
"Mau?" tanyaku ke Kanaya.
"Boleh..." jawabnya sambil senyum ke arah Ai.

------------------------------------------

Makanan Ibuku memang paling enak. Paling luar biasa dibanding dengan makanan lainnya di dunia ini. Semua rasanya pas, dan selalu ingin tambah. Tapi suasana makan malam atau makan bersama keluarga yang baik seperti ini baru terjadi setelah ayahku meninggal. Sebelumnya tidak ada yang mau makan bersama seperti ini. Makan terpisah, atau makan diluar. Dan aku tidak mengerti apa yang tidak enak dari masakan ibuku, karena di mata ayahku, rasanya selalu gagal. Atau mungkin seleranya sudah tidak ada di rumah ini lagi. Seleranya sudah entah dimana, semu, kabur, dan tidak jelas lagi.

Sedangkan kami berempat kini makan dengan lahapnya, tak terkecuali Kanaya.

"Kamu jadi ke Jepang?" tanya Ibuku.
"Jadi.."
"Loh mau ke Jepang?" tanya Kanaya heran.
"Iya"
"Ngapain?"
"Bertapa kali ya.. haha... Lagi jenuh aja, sama mau cari gitar-gitar vintage yang bagus" jawabku.

"Kayaknya bareng ama Mbak Dian ya?" tanya Ai.
"Dian kan sama suaminya, lagian dia beda, honeymoon dia mah... haha.. Kebetulan aja timingnya sama, pesawat dan lain lainnya beda semua kok"

"Tambah lagi ya..."
"Aduh, gak usah tante, kenyang... makasih ya, enak banget makanannya..." jawab Kanaya canggung.
"Mas Arya kok punya pacar gak bilang-bilang sih" tukas Ai.
"Eh... bukan kok, temen ini"
"Ah lama-lama temen juga jadi pacar entar..." ledeknya.

Kanaya cuma nyengir, lebih karena canggung mungkin. Jujur saja aku bahkan tidak berpikir jauh kesana. Karena aku lebih memikirkan musik. Aku senang bisa berteman dengan perempuan yang seperti Kanaya, friendly, bisa menjaga dirinya dan terlihat tangguh. Tapi untuk pacar, aku belum memikirkannya. Kita lihat saja kemana arahnya semua ini. Aku tidak ingin menuntut apa-apa dari diriku, apalagi dari orang yang baru saja kukenal seperti Kanaya.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

sebstu10.jpg

"Break dulu ya!" teriak Anin di dalam studio. Tampaknya mulutnya sudah gatal ingin merokok. Aku lantas mematikan ampli gitarku dan menaruh gitarku di stand. Kulihat gitarku yang berjejer. Hagstorm Viking, Gibson SG, dan Ibanez AF 55, yang khusus untuk memainkan musik Jazz. Ada juga Yamaha APX1000 berwarna hitam untuk memainkan lagu akustik. Ingin rasanya menambah gitar, tapi nanti sepertinya di Jepang. Dan sebenarnya tadinya gitar listrikku ada empat. Tapi satu sudah patah oleh Stefan. Dan gitar lainnya datang dan pergi, tidak selama mereka semua yang ada di studio sekarang.

Aku menghampiri Stefan dan Anin yang sedang merokok di teras studio malam itu. Pukul 10 malam, setelah jam kerja mereka semua habis, saatnya berlatih, karena kedepannya akan ada beberapa acara manggung di sekolah-sekolah, ataupun di acara-acara lainnya.

Bagas sedang memainkan handphonenya saja. Aku melirik. Membaca berita online ternyata.

"Enak memeknya?" tanya Stefan kepadaku.
"Lo ngomong apa sih..."
"Kanaya"
"Mana gua tau haha...." jawabku asal
"Ahahaha... Enak pasti cewek bentuknya kayak gitu mah. Yummy abis pasti" ucapnya nakal, tanpa difilter.

"Ai udah punya pacar lagi ya?" tanya Anin penuh harap.
"Udah..."
"Sama siapa sekarang?"
"Belom kenal, baru juga sebulan dua bulan, katanya sih pilot"
"Ah mampus... makin jauh deh gue..."
"Kayak yang usaha aja lu" ledek Stefan.
"Lu juga ditolak mentah-mentah sama Ai kan" balas Anin.

"Ini pada ngeberisikin hal apa sih..." gelengku sambil meregangkan badan.

"Eh si Karina apa kabar?" tanya Anin kepadaku.
"Gak tau..."
"Kok gak tau, kan lu deket banget ama dia.."
"Ah, gak tau deh..."
"Lo berdua gak jelas sih... putus nyambung putus nyambung gitu... Mending buat gue, gapapa deh bekas lo" Stefan ikut bersuara.

Ya, aku dan Karina, sempat dekat, sempat pacaran, tapi semuanya tidak jelas. Sering berantem, kadang baikan, kadang mesra bersama, kadang mau bikin project bareng, kadang putus. Sampai saat ini aku sudah tidak bisa menghitung lagi berapa kali pertengkaranku dengannya dan berapa kali proses rekonsiliasi itu ada. Intinya kami berdua tampak sangat cocok, apalagi kalau sudah membicarakan musik. Tapi lama kelamaan ego kami berdua membumbung tinggi, sehingga menjadikan kami sering beradu argumen dalam hal apapun. Memang nyaman bersamanya, tapi seringkali juga tidak nyaman. Hubungan aneh yang putus nyambung, entah berjalan sudah berapa lama itu membuat kami berdua capek. Hingga kami memutuskan untuk break sejenak, tidak bertemu lagi untuk beberapa lama. Kira-kira itu semua terjadi 3-4 bulan yang lalu.

Kadang teman-temanku masih suka menggodaku akan hal itu. Yang lucu dari kami berdua adalah, ketika sehabis berantem, besoknya jika kami bertemu, seakan-akan tidak ada masalah apapun lagi. Jadi hal yang menyakitkan seperti itu terjadi terus menerus sampai kami berdua cuek. Cuek tidak jelas atas apa, kami pun tidak mengerti.

Ya sudah lah. Aku sendiri memilih untuk tidak memikirkan itu.

------------------------------------------

guitar10.jpg

"Please men, lo harus manggung ama gue, seenggaknya sebelom lo ke Jepang..."
"Kapan rencananya tapi?"
"Dua minggu lagi"
"Hari?"
"Jumat malem, Kemang. Please"
"Lagu dari album lama lo kan?"
"Betul"
"Yowes deh"
"Ada Karina juga loh"
"Yowes"
"Bawa adik lu dong..."
"Dia kerja, sayang"
"Ya ayo abis kerja kan?"
"Kerjanya di sudirmannnn"

Percakapan whatsapp dari Jacob pun selesai. Stefan sedang di kamarku malam itu, sehabis latihan. Dia sedang fokus menggerinda dan akan melinting. Dia membuatkan satu juga untukku. Aku duduk di atas kasurku, sambil memainkan gitar akustik nilonku asal-asalan. Asal tahu saja, kebanyakan lagu yang kutulis, awal mulanya dari gitar yang tak jelas apa merknya itu. Suaranya juga agak fals, dan kalau disetem gampang kendornya.

"Lo ini aneh ya" celetuk Stefan mendadak.
"Kenapa?" tanyaku membalasnya.
"Lo mabok kagak, rokok kagak, gele tapi iya"
"Beda kan"
"Sama aja bego"
"Beda" balasku.
"Nih udah, rakab nih.."

Aku meraihnya dan langsung membakarnya. Entah darimana aku bisa menjadikan benda ini sebagai temanku. Lama aku bergaul dengannya. Tidak pula lantas aku jadi kecanduan. Tapi sepertinya wajib untuk bercengkrama dengan daun-daun ini setiap ada kesempatan. Aku membiarkan asap pedas dan pahit itu masuk. Merayap ke paru-paruku, membuatku sesak mendadak. Perlahan, pasti, dia masuk pelan-pelan, seiring dengan irama tanganku menyemprotkan deodorizer agar tidak bau. Penyelamat hidupku, deodorizer, menghilangkan bau dari udara dan kain. Bisa kita beli di supermarket, harga berkisar 30.000. Lebih murah daripada biaya hanky panky dengan polisi.

Stefan duduk malas, sambil pelan menghisap masuk asap berbau busuk itu.

"Ntar gue nitip...."
"Apaan"
"Nitip itu"
"Apa"
"Itu.... yang disetel"
"Setel?"
"Setel"
"Itu?"
"Benar"

Pembicaraan aneh. Biasa terjadi dalam kondisi seperti ini. Masuk lagi asapnya. Kurang goyang kapalnya. Kapal goyang. Goyang.

"Maksudnya nitip itu, wahai Arya"
"Apa"
"Bokep"
"Oh.... Mahal tapi kan?"
"Gapapa"
"Donlot aja"
"Pokoknya"
"Apa?"
"Nitip"

"Serah" jawabku sambil menikmati hisapan terakhir. Stefan tampaknya ingin membuat selinting lagi. Aku melarangnya. Harus hemat. Tidak murah soalnya. Jadi... Ya jangan deh pokoknya... Duh. Apaan sih.

"Gue pengen ngewe anak smp deh..." mendadak Stefan meracau.
"Gih. Cari perek cabe-cabean" jawabku asal.
"Gak ada sensasinya kalo bayar bego" jawabnya.
"Oo.. Yang kemaren lo bawa abis manggung itu? Gimana?"
"Siapa?"
"Itu anjing"
"Oh itu... Nih"

Stefan membuka handphonenya, memperlihatkan video, seorang perempuan muda sedang tertidur di atas kasur, dengan paha terbuka. Stefan sedang menyetubuhinya.

"Matiin anjing" seruku pelan
"Apaan"
"Titit lu keliatan"
"Sori men"
"Sori juga"
"Yoi"
"Matiin"
"Bentar susah nyarinya.."
"Nyari apaan"
"Brisik bentar..."

Dasar Stefan. Lagian buat apa dia menitip dvd porno sebagai oleh-olehku dari Jepang? Pasti mahal. Download bisa gratis. Ingin aku mengingatkannya lagi soal Gitar yang harus ia ganti, tapi sudahlah, aku malas untuk bicara. Jari-jariku sudah bermain gitar. Bermain entah apa. Tidak jelas. Suara-suara yang keluar hanya melodi melodi ringan tanpa suatu kejelasan yang pasti. Meracau. Suara melodi meracau. Stefan fokus pada handphonenya. Aduh. Bakal berapa menit kami di udara? Sementara jari jariku fokus pada gitar, ingatanku terbang ke masa lalu. Dua tahun lalu. Sehabis Event Jazz hari pertama itu.

--

java-j10.jpg

Aku senang sebenarnya bisa mengenal Karina, dimana kami menjadi sangat akrab setelah aku membantu penampilannya di Event Jazz tahunan di Kemayoran tahun itu. Pianis yang bertalenta, dan sangat atraktif. Andai saja waktu itu aku tahu, kalau hubunganku dengan dia lantas jadi problematik. Putus - sambung. Berantem - baikan, selama dua tahun itu. Disanalah hubungan kami bermulai.

Dimulai dari sebuah pertunjukkan musik Jazz di Depok. Aku pada saat itu menjadi gitaris untuk Jacob, dan membantu satu band pop-jazz untuk tampil, karena gitaris mereka harus diopname. Dan Karina Adisti pada saat acara itu manggung juga.

Sehabis acara, kami para musisi berkumpul di cafe dekat venue, dan berbagi cerita, berkenalan, bercanda. Karina baru pulang dari Jepang. Ia belajar di Koyo Conservatory, mendalami Jazz Improvisation. Koyo Conservatory bekerja sama dengan Berklee, dimana link untuk kemudian mendalami ilmu di Berklee sebagai kiblat belajar musik tingkat dunia menjadi arahan Karina waktu itu. Tapi ia gagal meneruskan studinya disana. Entah karena tekanan lingkungan, atau memang dia yang terlalu ambisius sehingga terlalu perfeksionis, dan memvonis dirinya gagal, atau apa. Tapi dia tampak kecewa dengan itu semua, dan lalu kembali ke Indonesia dengan perasaan hampa.

Tapi permainan pianonya luar biasa. Aku, sebagai orang yang belum punya keinginan untuk belajar musik di luar negeri, apalagi di tempat-tempat yang mentereng seperti itu langsung tertarik padanya. Tertarik bagaimana dia bisa belajar disana, tertarik dengan prosesnya, bahkan aku tertarik dengan kegagalannya. Sampai suatu hari aku bertekad untuk bisa pergi ke Jepang, cuma karena tertarik dengan Karina. Rasanya ingin punya bahasa dan pengalaman yang mirip dengannya.

Pertama mengenalnya, dia sangat mudah diajak ngobrol. Dan kami langsung nyambung. Mendadak ia menawariku untuk mendampingi dirinya tampil. Dan selanjutnya bisa ditebak. Aku menjadi dekat dengannya, lalu berlatih terus, sampai mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan versi Karina.

39588210.jpg

Malam itu, aku menemaninya di kamar hotel. Ia sengaja membook satu kamar di hotel, tentunya kelas bisnis agar tidak terlalu mahal. Rumahnya agak jauh jika dari kemayoran, dan jadwal manggungnya malam menjelang tengah malam. Jadi pilihan yang baik untuk menyewa hotel. Kemayoran - Pamulang pada tengah malam sehabis manggung pasti melelahkan. Bisa saja aku tawarkan untuk mengantarnya dengan motor. Tapi dia terlanjur menyewa kamarnya. Lagipula Sabtu-Minggu dia tidak akan ada di Kemayoran, dia akan istirahat di rumah. Sedang Sabtu besok aku harus menemani Jacob manggung.

"Keren tadi emang sih" pujiku padanya. Dia sedang duduk manis di kursi, melihat rekaman manggungnya tadi. Dia memang selalu melihat rekamannya sehabis manggung.
"Banyak salah"
"Gak ada yang nyadar juga kok.." balasku.
"Enggak, ini masih kurang. Itu kok bisa gue improvnya di situ?" mukanya terlihat stress.

Jacob perfeksionis? Masih kalah. Karina ada di level perfeksionis tingkat paranoid. Dan ketika gagal, dia cenderung menyalahkan dirinya terlalu hebat.

"Ini... disini juga kayak telat masuknya gue..."
"Udah, mendingan istirahat aja... Udah jam berapa sekarang? Jam 1 lho..." tegurku.
"Lo gak ngerti"
"Aduh... Kan kita latihan bareng ya, tiap latihan makin lama makin bagus kok, dan pas tadi itu pas paling bagusnya"
"Tapi gak kayak gitu, Arya... Coba ini aduh.... Tau gini latihan lebih banyak lagi.."
"Kan yang sadar kalo ada salah atau gak puas cuma kita kan?" tanyaku.

"Tapi ini gak perfect! Aduh..."
"Rin, ga ada yang sadar...."
"Kita main musik buat diri kita sendiri kan? Ini masih kurang buat gue..."
"Ya udah, pelajarin aja salahnya dimana, ntar diperbaikin pas manggung berikutnya.."
"Momennya udah lewat" Karina membuang camera video itu ke atas kasur. Kadang aku stress juga mendengar keluhannya. Entah, buatku permainannya sudah sempurna. Dan bukankah yang baik bagi musisi itu adalah ketidak sempurnaannya? Itu yang kupelajari dari John Scofield, We Montgomery, dan gitaris-gitaris Jazz lainnya yang tidak takut pada kesalahan dan kekurangan mereka. Tapi ada juga musisi yang sangat perfeksionis. Pat Metheny misalnya, atau Miles Davis. Ini tampaknya bukan soal musik, tapi soal ego.

Dan terenyuh rasanya, melihat Karina yang berbakat dan menurutku hebat, serta disertai dengan keramahan dan kebaikan yang membuatku nyaman berteman dengannya, selalu uring-uringan setelah dan sebelum manggung. Seakan-akan semuanya menjadi kurang. Dirinya selalu terlihat kurang didalam kepalanya sendiri.

"Lo gak balik?" tanya Karina.
"Maunya, tapi udah lemes juga, naik motor jam segini"
"Disini aja deh kalo lo mau"
"Gampang lah, ntar gue paling nyewa kamar juga dibawah, cuma 400 rebuan kan semalem?" tanyaku.

"Duh gue butuh temen ngobrol maksudnya.... Masih stress gue"
"Lo butuh tidur"
"Gue gak bisa tidur kalo gak jelas mainnya kayak tadi" Karina berdiri, dan mendekati tempatku duduk, menatap ke jalanan lewat jendela. Dia membelakangiku, berdiri melipat tangannya, sesekali tangannya tampak menutupi mata maupun mulutnya. Tampaknya dia benar-benar stress oleh hal yang tak kumengerti. Dan ia berdiri cukup lama. Sayang hotel ini tanpa balkon. Kalau ada balkon, aku mungkin bisa menawarkan sedikit dedaunan ajaib yang membuatnya agak rileks. Walau mungkin dia menolak. Aku berdiri dan menepuk punggungnya.

"Udah, tidur ya, gue ke lobby, nyari kamar"
"...."
"Lho... kok nangis?" kagetku.

Matanya berkaca-kaca menatapku. Aku tak menyangka dia menyalahkan dirinya sedalam itu. Aku bingung, tapi dengan bodohnya, aku malah mencoba menyeka air matanya dengan tanganku. Karina malah memegang tanganku dengan pelan.

"Kok bisa sih, careless dan nyantai gitu?" tanyanya kepadaku.
"Tiap orang kan beda-beda"
"Pengen banget ngerasain kayak gitu, gak kepikiran soal kesalahan-kesalahan yang dilakuin pas main..."
"Piano kan cara lo untuk nyanyi, ibaratin aja gitu.." tatapku ke matanya dengan dalam, tanpa melepas tangannya. Rambut panjangnya tampak indah malam itu.

"Gue suka banget main piano. Tapi gue takut gagal... Gue juga gak tau ekspektasi gede ini dateng dari mana"
"Udah, lo butuh istirahat..." Tapi tanganku malah menyentuh pipinya yang lembut.

Masih dengan mata yang basah, Karina mendadak mendekatiku. Aku tak menghindar. Tubuh kami berdua bergetar. Seperti ada magnet yang saling menarik. Kami saling mendekat, berusaha untuk menyentuh, dan perlahan bibir kami mendekat, terus mendekat.

Dan terjadilah ciuman itu.

-----------------------

BERSAMBUNG
 
So sweet.
Makasih Updatenya Om @racebannon, ditunggu lanjutannya.
Tetap semangat Om Race dalam berkarya, sukses selalu RLnya. :semangat::mantap:
 
Potong tumpenggg!!!!!!
Akhirnya salah satu cerita paling favorit keluar lagi
Moga2 sampe MDT season 2 ya suhu
Tapi sampe tamat
:semangat:
 
wooohooo. life's complete...... semoga MDT 2 yang ngegantung bisa diselesaikan dengan jalan cerita. bukan ringkasan kayak yang tempo hari. penasaran juga kenapa Ai bisa ends up sama Zul dll. Dan gimana akhirnya Arya - Kyoko punya anak. Daaan, mungkin muluk. Tapi nanti cerita pamungkas dari bastardverse ini bisa menggabungkan semua cerita yang udah ada di satu cerita besar dgn tokoh2 yg saling berkesinambungan. Mungkin sdh ada teaser2nya. but I can only hope.
 
Ini yg gw tunggu kisah MDT feel musiknya kerasa bgt. Thanks di reborn suhu
 
MDT SEASON 1 – PART 4

------------------------------

39588210.jpg

Ciuman yang hangat. Tampaknya ciuman itu membuat Karina merasa nyaman. Dia memelukku dengan perasaan yang galau, terasa dari bahasa tubuhnya. Bisa kruasakan dia tampak butuh seseorang terus meneriakinya untuk tidak berpikir sejauh dan seburuk itu. Terutama tentang dirinya.

"Arya... Lo bisa kan temenin gue malem ini?" bisiknya sambil memeluk diriku.
"Bisa..." bisikku perlahan, sambil memegang dagunya. Aku kembali menciumnya, sambil memainkan rambut panjangnya yang indah, rambutnya yang begitu halus, lembut dan wangi. Semua bagian wajahnya terasa sangat indah. Terasa begitu nikmat untuk dinikmati mataku. Matanya yang lentik, bibir tipisnya dan dagunya yang lancip membuatku merasa aman malam itu. Aman untuk akhirnya melepaskan perasaanku kepadanya.

Ciuman itu membawa kami berdua duduk di tepi kasur. Kami dengan ragu saling berpandangan, sebelum akhirnya tanganku mulai bergerak terlabih dahulu, memeluknya. Memeluknya dan lantas kembali meraihnya, menjelajah ke dalam pakaiannya. Merasakan kulitnya yang halus dan lembut, bertemu dengan kulit tanganku. Entah kenapa perasaan kami berdua tercampur pada malam itu. Perasaan dirinya yang tampak ingin selalu dilindungi dan dijauhkan dari perasaan menyalahkan diri sendiri. Dan disitulah mungkin aku bisa masuk. Bisa menjaganya dari melukai dirinya sendiri. Dari pemikirannya yang tanpa cela, yang selalu mencela apapun yang ia perbuat di atas panggung. Bibir kami berdua bertemu sambil aku perlahan membuka kancing kemejanya. Kemeja kasual berwarna cream yang cocok dengan dirinya. Sementara ia mencoba membuka tracksuitku. Tracksuit adidas berwarna biru tua.

Entah sudah berapa lama waktu terlewa. Kami sudah berhasil menelanjangi diri kami masing-masing, namun kami berdua hanya di balik selimut, berpelukan, saling mencium. Saling meraba area-area yang membuat hati kami berdua nyaman, punggung, paha, bahkan perut. Seperti ada keraguan untuk melanjutkannya ke hal-hal yang berbau seksual.

Tapi rasanya begitu perfect. Tubuh telanjang kami berdua berpelukan di kamar hotel itu, ditemani oleh langit yang kosong. Dan keramaian manusia di luar sana selepas Java Jazz.

"Arya... Gue pingin bisa careless kayak elo....." bisiknya perlahan, sambil menggerakkan tubuh telanjangnya ke atas tubuhku. Aku merespon dengan memeluk pinggangnya yang ramping.

"Gak bisa seserta merta itu, prosesnya panjang"
"Tau. Makanya itu jadi harapan gue" dia kembali menciumku. Menciumku dengan penuh perasaan. Aku tak kuasa lantas merayapkan tanganku dari punggungnya ke buah dadanya yang firm.

"Nggh..." Karina sedikit menunjukkan reaksi kegelian dari genggaman tanganku. Jariku mengambil alih. Bisa kurasakan putingnya yang lembut, bertengger di tengah daging dan kulit halus yang proporsional. Aku lantas mencoba untuk mendekatkan badannya ke diriku, meraih buah dadanya ke bibirku. Dia merespon dengan baik, aku lantas memainkannya. Kumainkan dengan segala cara yang kubisa. Kuciumi, kuremas lembut, bahkan kupermainkan putingnya dengan lidahku. Karina tampak menerimanya dengan baik. Dia pasrah, sambil memainkan tangannya di telinga dan rambutku. Rambut panjangnya tergerai, dengan indahnya kadang terbawa jatuh, mengenai badanku.

Aku lantas mendorong badannya agar berbaring telentang. Dengan posisi itu aku bisa lebih leluasa lagi menjelajahi setiap jengkal tubuhnya. Aku mulai bekerja. Aku mulai dari mencium bibirnya dengan erat. Menciumnya dengan segala perasaan yang ada pada saat itu. Lama kami berciuman, lantas aku bergerak ke lehernya, menjelajah setiap lekuk yang ada disana, sambil terus meraba tubuh halusnya.

Aku bergerak semakin kebawah, menciumi seluruh permukaan yang bisa kucium, buah dadanya, lalu belahannya, perutnya, lalu begitu terus, sampai ke daerah kewanitaannya. Sampai ke daerah yang privat. Daerah yang bisa jadi terlarang bagi siapapun yang tidak ia izinkan. Namun dia pasti sudah mengizinkanku. Mengizinkanku untuk menjadikan aku dan dirinya satu malam itu. Menjadikan ini semua terjadi.

Mendadak Karina menghentikan penjelajahanku. Dia menahan kepalaku untuk bergerak terus kebawah.

"Jangan... Gue sensitif banget disitu... " senyumnya malu. Aku tersenyum, lantas mencoba merabanya dengan tanganku. Oh well. Sudah lembab dan siap. Sudah basah. Ternyata tidak hanya perasaannya saja yang sensitif. Badannya pun agak over sensitif. Sedikit rangsangan dan dia sudah lebih siap daripada aku. Sudah lebih siap untuk menjadikanku miliknya. Untuk menjadikan malam ini hanya milik kami semata, yang lain entah kemana.

Karina melebarkan pahanya, tanda kalau ia siap untuk menerimaku apa adanya malam ini. Tak lama kemudian aku telah siap. Dia berbaring di bawah badanku, dan mencoba untuk memasukkan penisku ke dalam tubuhnya. "Pelan-pelan...." bisiknya kepadaku, memohon agar aku memperlakukannya dengan baik. Aku lantas bergerak pelan, membiarkannya masuk dengan alami.

"Uhh..." Badan Karina menegang saat penisku masuk ke dalam. Karina memelukku dan kemudian menerimaku dengan pasrah. Aku perlahan menggerakkan pantatku dan membuatnya merasakan kenikmatan dengan stabil.

"Ahhh... ahhh.. ahh..." Karina mendesah dengan perlahan di telingaku, seiring dengan iramaku malam itu. Suaranya terdengar seperti lagu yang paling indah yang pernah kudengar. Irama gerakanku bersahutan dengan suaranya. Call and Response. Saling menyahut, seperti dua buah nada improvisasi yang indah, bercampur dalam irama yang satu. Menjadikan diriku miliknya dan dirinya milikku. Terus aku bergerak, dan berusaha membuat tubuhnya merasakan kenikmatan.

Aku berusaha mengangkat tubuhnya, mendudukkannya. Dia menurut. Kami lantas berhubungan dengan posisi itu. Aku duduk di kasur, dan Karina duduk di pangkuanku. Dia sekarang ikut menggerakkan badannya perlahan, mencoba mengimbangi ritmeku dengan ketukannya sendiri. Wajahnya yang cantik tampak makin cantik dalam nafasnya. Rambut panjangnya tergerai indah dengan aura yang sangat menggoda. Aku tidak menyesali keputusanku untuk menemaninya malam ini. Karena kami jadi satu. Memainkan musik dalam irama yang sama. Berbicara dengan bahasa tubuh, saling mencoba memuaskan. Rasanya sungguh luar biasa, saat badannya yang ramping dan cantik itu beradu dengan badanku di dalam kamar itu. Keringat berbalas desahan, dan desahan berbalas ciuman, sungguh sulit rasanya menahan semua hasrat yang tersimpan selama ini.

Perlahan tapi pasti, kami terus berusaha bergerak saling memuaskan.

Masih lekat di ingatanku waktu itu. Betapa dia lalu mendorong diriku, dan mengambil alih kendali. Dirinya seperti menari di atas diriku. Pantatnya bergerak dengan indah, menggoyangkan dan mengurut penisku dengan gerakannya yang luar biasa. Semuanya terasa nikmat, sangat nikmat sampai kau tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kenikmatan yang tiada tara.

Karina terus bergoyang, tapi makin lama rasanya semakin tidak beraturan. Tanganku menggenggam pinggangnya dengan lembut, sedangkan dia sambil bergerak, memainkan buah dadanya sendiri, dan menutup matanya seakan-akan kenikmatan itu sudah berada diubun-ubunnya. Kegilaan melanda dirinya. Dirinya terus bergerak naik turun dengan tidak beraturan. She's enjoying herself.

"Arya... Gue..." dia mendesah dengan tidak sabar. Aku mengerti. Aku lantas mencoba menstimulasinya lebih dan lebih lagi. Aku mulai memompakan penisku ke dalam vaginanya dengna kekuatan penuh. Dengan kekuatan yang luar biasa. Dengan ajaib Karina mendadak menggelinjang.

"Ahhh... Ahh... Ahh.... Ahhh...." Badannya menegang mendadak, seperti terserang kejang yang tidak tertahankan lagi.

"Uhhh....." Badannya menjadi kaku, lalu ia melepas penisku. Dan meringkuk, badannya bergetar perlahan. Nafasnya terengah-engah dan tampaknya matanya sangat tidak fokus. Aku mencoba mendekatinya, mengelus rambutnya dan memeluknya. Tampaknya dia baru saja mengalami orgasme yang luar biasa.

"Maaf.... gue.. sensitif banget badannya. Maaf kalo gue mendadak kayak tadi" bisiknya saat aku berusaha memeluknya.
"Gakpapa" jawabku sambil menciumi keningnya.
"Lo mau juga kan?" wajah cantiknya tampak tidak enak kepadaku. Aku tersenyum dan mencium pipinya.
"Gak usah segitunya, sini, kita tiduran aja..." bisikku kepadanya.

Dan dia menurut, aku memeluknya dengan penuh perasaan, berniat ingin melindunginya. Kucium rambutnya yang indah itu, lalu berusaha membuatnya tenang dengan tidur bersamanya. Bersama dengannya. Kuharap semua ini indah pada akhirnya.

--

Tapi itu dua tahun yang lalu. Setelahnya, selalu seperti yang pernah kudeskripsikan. Berantem. Baikan. Mesra. Berantem. Pisah. Baikan. Berantem. Ada saja yang kami jadikan bahan untuk bertengkar, masalah musik, masalah makanan, masalah apapun. Jadi intinya memang hubungan yang unik ini memusingkan kami berdua. Tapi aku bermimpi soal jepang, karena ceritanya. Betapa jalan di Ochanomizu penuh dengan gitar-gitar antik secondhand. Dan scene Jazz Jepang, terutama scene undergroundnya memang edan. Tidak sehebat Amerika Serikat memang, tapi biaya dan usaha ke Jepang tidak sehebat usaha untuk pergi ke Amerika Serikat.

Membayangkan dikelilingi gitar dan melihat scene underground Jazz disana, tampaknya menyenangkan. Untunglah aku sudah memberikan notice ke anak anak Hantaman kalau setelah rilis album kedua ini, aku akan pergi ke Jepang. Mereka mengiyakan saja. Aku sudah membeli tiket, pulang pergi. Sebentar lagi aku akan mengurus visa di kedutaan, dan aku memang berniat tinggal disana selama sebulan penuh. Untuk tempat tinggal, aku memutuskan menurunkan egoku sedikit dengan menumpang temanku jaman SMA yang memang studi di sana. Dia sudah setuju. Tabunganku dari hasil bermusik, berstudio dan lain-lainnya tampaknya sudah cukup untuk belanja gitar dan efek disana, juga untuk makan sehari-hari. Tampaknya aku akan mengakrabi mini market. Aku ingin hidup sementara di scene Jazz mereka. Itu tujuanku. Mimpi yang dipengaruhi oleh Karina, walau keakrabanku dengan dia memudar dan mendekat dengan anehnya.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

Aku mengajak Kanaya malam itu. Dia memang penasaran dengan permainan gitarku di luar musik cadas. Kebetulan yang baik. Akan ada Karina nanti. Membawa Kanaya kesana seakan memberi tanda kepadanya "Gue bisa bareng sama orang selain elo". Memang itulah senjata kita berdua kalau salah satu dari Aku atau Karina ingin kembali menjali hubungan "Aku gak bisa kalo gak sama kamu" klasik. Tapi selalu bisa menangkap kami di situasi yang tidak nyaman itu terus-terusan.

Jacob akan tampil sebelum Karina. Bagus lah, jadi aku tidak usah menontonnya atau terpaksa ada di situasi awkward yang ujung-ujungnya malah ada pembicaraan serius dan nantinya mengarah kepada balikan lagi. Capek.

Kanaya membonceng di belakangku, dan aku memeluk gitarku di depan, posisi yang biasa kulakukan kalau aku harus pergi kemana-mana dengan membawa gitar. Tidak masalah. Yang masalah kalau nanti aku dan Karina terjebak berdua dalam satu percakapan yang tak nyaman. Dan tinggal dulu nanti lama kelamaan siapa yang mengajak untuk balikan duluan.

Mahgrib itu akhirnya aku dan Kanaya tiba di Kemang. Di salah satu resto yang terletak disana, yang memiliki program live music setiap Jumat malam. Dan bulan ini aku sedang hectic-hecticnya. Undangan pensi, radio, live show, dan segala macamnya membuatku hampir tidak bisa bernapas. Untunglah ada satu hiburan untuk bermusik Jazz yang terakhir kalinya, sebelum aku dan Hantaman pergi ke Bali, lalu sepulangnya dari Bali aku akan terbang ke Jepang. Sebulan. Tampak lega membayangkannya, melepaskan diri dari kepenatan dan kesibukan selama ini.

yolo-i10.jpg

Jacob menyambut kami dengan sumringah, kami bertiga lantas duduk di salah satu meja, sambil memperhatikan panggung yang sedang disetting.

"Stefan mau dateng katanya entar" infoku ke Jacob.
"Wah, lucu lho kalo liat dia, blingsatan mulu kayak setan"
"Emang" jawabku singkat.

Kami masih menunggu pianis dan drummer kami yang akan bermain bersama kami. Tenang saja, pianisnya bukan Karina. Kanaya tampak excited menunggu saat pertunjukkan tiba. Jacob memberiku partitur, sebagai panduan. Tampaknya ada sedikit perubahan komposisi lagi, last minute. Katanya dia sudah mengirim partiturnya tadi kepada drummer dan pianisnya, via media sosial. Terserahlah, i'll play along with it. Kanaya masih sibuk memperhatikan sekitar, melihat-lihat sedikit demi sedikit musisi datang. Ah, aku hapal beberapa mukanya. Haha. Bassist dan drummer Karina sudah datang. Cuek sajalah, pasti sebentar lagi Karina datang.

Dan benar.

Karina datang, dengan ekspresi pura pura dingin seperti biasa. Tampangnya yang tenang dan kalem membuat kita tertipu. Di balik bentuknya, di dalam sana, kesannya sebagai orang yang insecure dan paranoid masih membekas dengan kuat dalam ingatanku. Terutama pertengkaran terakhir yang kami alami. Aku memperdengarkannya hasil mastering album kedua hantaman. Masih kuingat kata katanya. "Solo gitar kamu di lagu ini Alex Scolnik banget..."

"Emang"
"Ini mah niru"
"Kagak, cuma mulainya aja sama, aku kan butuh rangsangan biar lancar bikin solonya" argumenku waktu itu.

"Jangan niru tapi"
"Ga ada yang bakal nyadar juga"
"Aku nyadar"
"Kamu kan wawasannya luas"
"Jangan muji aku untuk nyembunyiin kekurangan kamu dong" ketusnya.
"Lho... Ini cuma beberapa lick pertama doang... Emangnya itu kekurangan?"
"Kamu gak original"
"Gak semua orang se perfeksionis kamu Rin"
"Sekarang malah nyindir ya..." galaknya.
"Mau apa sih ribet" keluhku.
"Oh emang bener kan aku ribet di mata kamu...."

Dan lanjutannya bisa ditebak. Argumen argumen penuh kemarahan dan tanpa akhir merusak suasana tiga bulan yang lalu itu. Dan sekarang aku bertemu dengan Karina lagi. Mata kami lalu bertemu. Lalu membuang muka. Cuek saja lah. Lebih baik aku fokus mengobrol dengan Kanaya dan Jacob.

------------------------------

maxres12.jpg

"Makasih buat semuanya... Lagu terakhir.. Meditation, dari Antonio Carlos Jobim.." sahut Jacob di depan Microphone. Aku tersenyum melihatnya. Aku melirik ke arah meja yang ada Kanaya dan Stefan disana. Kanaya masih bingung dan sumringah melihatku. Stefan menyeringai dan membuat gerakan masturbasi dengan tangannya ke arahku. Orang gila.

Intro gitar mulai kumainkan, dan selanjutnya lagu itu mengalir dengan indah.

Tepuk tangan mengakhiri penampilan kami, tentunya beberapa penontin juga tampak bingung dengan kehadiranku di panggung, memainkan gitar tanoa efek distorsi dan tanpa vokalis gila yang sekarang sedang mencoba ngobrol dengan seorang perempuan. Perempuan itu adalah Karina. Stefan berusaha ramah dengannya. Aku hanya menggaruk kepala saja, karena artinya kalau nanti aku kembali ke meja, mau tak mau aku harus menyapa Karina yang memang sedang berada di sekitar mejaku tadi. Tapi pasti hanya sebentar, toh dia sebentar lagi harus naik panggung.

Aku turun dari panggung dan berjalan menenteng gitar ke backstage. Kami membereskan peralatan, sementara aku berusaha berlama-lama membereskan gitarku karena malas bertemu dengan Karina. Suara background music mengalun sayup di telingaku, memberikan rasa malas, rasa ingin segera pulang.

Bassist dan drummer Karina sudah bersiap untuk menaiki panggung, kami tersenyum kepada mereka ramah. Karina belum muncul. Aku berharap ia segera naik panggung dan tidak berpapasan denganku.

"Pacar kamu ya tadi?" mendadak suara yang kukenal menyapaku dengan cara yang tidak nyaman.
"Bukan"
"Kata Stefan iya"
"Mau percaya sama dia?"

"Gapapa sih, hebat aja udah punya pacar lagi, ga nyaman ya soalnya kalo sama aku, berantem mulu" ketus Karina panjang seperti biasa. Ada sisi yang sangat kusukai darinya, ada juga sisi yang membuatku muak dan tidak tahan padanya. Seperti saat ini.

"Good luck manggungnya" sinisku dan lantas berjalan pelan ke arah mejaku.

------------------------------

Karina baru selesai membawakan lagu pertamanya. Aku sudah malas saja rasanya ingin pulang. Sejenak aku bergidik membayangkan kemungkinan aku dan dia kembali bersama lagi, kalau saja aku tidak ditemani Kanaya kesini. Kenapa aku berpikir seperti itu? Karena memang hal seperti itu terjadi beberapa kali. Mendadak kami jadi lupa kalau kami sudah bertengkar dan memutuskan untuk berpisah. Mendadak semua terasa biasa saja, apalagi kalausudah melibatkan diskusi musik. Untung ada Kanaya sebagai bemper. Jadi ingin kutraktir rasanya kenalan baruku ini.

"Balik ah..." celetukku pelan.
"Belom selesai lho" jawab Kanaya.
"Capek, mau istirahat, mana Minggu gue ama Stefan ada manggung di acara pensi SMA" jelasku.
"Kan cuma nonton ini sekarang bego" sahut Stefan.
"Lagian lo yang mendadak semangat pas ada yang kontak kita buat pensi" balasku.
"Kan biar bisa gue pake sebiji aja anak SMA..." seringainya seram.

"Kalo lo mau tetep nonton ama Stefan juga gapapa Nay"

"Gak deh, kalo lo mau balik gue ngikut aja, kan elo yang ngajak gue kesini. Lagian misi gue kan cuma liat elo main selain di Hantaman kan..." senyumnya cool. Tapi sepertinya dia bisa merasakan kalau aku merasa agak tak nyaman. Apalagi sejak aku melihat muka tidak puas Karina sehabis lagu pertama. Walaupun dia tadi tersenyum dan terlihat charming di atas panggung, tapi aku hapal mikro ekspresi itu. Ekspresi tidak puas. Karina banget. Pasti dia mencari-cari kesalahan dirinya, entah apa, walaupun permainannya terdengar sempurna di telingaku. Pantas saja Karina jarang ikut jam session, bisa stress dia. Kadang aku berpikir, harusnya dia main musik klasik saja, instead of Jazz. Perfeksionis memang perlu, tapi kalau sampai mengganggu mata pencaharian utama dan cara menikmatinya, pasti akan timbul masalah.

------------------------------

pianob10.jpg

"Bro, gue duluan" bisikku ke Jacob yang sedang serius menonton penampilan Karina.
"Hah, belom beres kan acaranya?"
"Capek"
"Oh.. ya udah"

Aku dan Kanaya lantas menuju ke motorku, dan tak berapa lama kemudian kami sudah menembus jalanan malam Jakarta yang ramai dan temaram, penuh dengan cahaya lampu mobil dan hingar bigar yang tertelan dalam sayupnya jalanan.

"Itu tadi mantan lo ya? Makanya males?" tanya Kanaya. Ia berbisik dari belakang, dan terpaksa maju dan berpegangan ke pinggangku agar kami dapat berbincang dengan jelas.

"Iya, kok tau?"
"Dikasih tau Stefan"
"Duh dia mah ya..."

"Haha, tapi lo hebat ya, bisa temenan sama orang kayak gitu, gue sih pasti sebel ama mahluk genit kayak gitu" komentarnya.
"Kan dia gak pernah genitin gue" jawabku tersenyum.

"Eh btw makasih karena dah nemenin gue ya" lanjutku.
"Gue yang makasih, udah liat sisi lain lo soalnya" jawab Kanaya.
"Eh laper gak?" tanyaku.
"Banget"
"Mau makan dimana?"
"Belom kepikiran, udah jam mau jam 9 lagi, ntar pada tutup..."
"Mau di rumah gue aja, lumayan anak kosan makan gratis? Di rumah selalu ada makanan sih" tawarku.
"Boleh, gue suka banget makanan nyokap lo" senyum Kanaya.

------------------------------

"Mas, aku jalan sama temen-temen + pacarku sampe malem banget abis ngantor ya, Mama juga bakal balik malem banget, atau malah gak balik, Omnya Papa meninggal soalnya baru aja" pesan singkat dari Ai baru saja kulihat saat aku tiba di rumah.

Aku menggelengkan kepala. Mama masih saja mau mengurus hal-hal yang berhubungan dengan keluarga besar almarhum ayahku. Aku dan Ai tidak pernah dekat dan masa bodo dengan mereka. Bukan salah mereka sebenarnya, tapi karena sikap dan sifat ayahku yang super bajingan membuat kami malas untuk mengenal mereka, semacam ada penghalang bagi kami berdua untuk mengakrabkan diri dengan mereka. Berbeda dengan keluarga besar mamaku. Kami sangat akrab dengan mereka, apalagi sepupu-sepupunya. Tak jarang dulu malah ketika Ai sedang tertekan sangat hebat oleh perlakuan ayahku, dia beberapa kali kabur dan menginap di rumah Dian. Kabur yang selalu dikamuflase oleh ibuku ke ayahku sebagai "Main ke rumah sepupu". Kebetulan memang Kakaknya Dian memang tinggal di Singapura. Jadi, alibi "Main ke rumah sepupu" bisa ditambah dengan alibi "Dian kesepian, ngajakin Ai main".

Ah, intinya aku selalu pusing dan sangat antipati dengan hal-hal yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan ayahku. Almarhum ayahku.

"Kok sepi?" Kanaya bingung saat aku sedang merogoh sakuku untuk mencari kunci rumah.
"Lagi pada keluar ampe malem" jawabku ringan.
"Ngejebak ya?" curiga Kanaya.
"Ngejebak buat ngapa2in elo?" tawaku.
"Iya" senyum konyol Kanaya terlihat.
"Haha, tenang, gue bukan Stefan"

Aku lantas membuka pintu, mempersilahkan Kanaya masuk dan langsung menuntunnya ke meja makan. Kami lantas bekerja sama berdua. Bekerja sama untuk menyiapkan dan memanaskan makanan yang sudah dimasak ibuku. Ternyata walaupun bertato dan terlihat independen, Kanaya tampak sangat bisa diandalkan di dapur. Jauh lebih baik daripada Karina.

Tunggu. Kenapa harus dibandingkan? Karina mantan pacar, dan Kanaya cuma teman. Sudahlah. Makan saja.
Makanan sebentar lagi siap untuk dimakan.

------------------------------

"Lo gak kerja hari ini?" tanyaku.
"Enggak, gue gak harus ada disana jumat ini. Gue baru kerja lagi besok. Sengaja ambil libur, penasaran liat elo soalnya" senyumnya sambil menyantap makanan masakan ibuku yang luar biasa enak itu. Pemandangan lucu, seperti keluarga kecil yang sedang makan bersama.

"Lo gak capek apa kerja kebalik jamnya?" tanyaku.
"Sama aja, cuma dibalik doang kan?" jawabnya santai. "BTW, Stefan tadi bilang sesuatu juga ama gue" lanjutnya.

"Apa tuh?"
"Katanya lo aneh, gak minum, gak ngerokok, tapi..."
"Aduh... Tu anak.. Kenapa sih semua mua diceritain ke elo?" tanyaku bingung. Aku agak sedikit paham. Menceritakan hal-hal yang seperti itu bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang, sekaligus aku bisa mencium niat Stefan untuk segera mendekatkan aku dan Kanaya.

"Haha... Boleh dong?" senyumnya manis berharap bisa sedikit menikmati daun kering itu.
"Aah... Yaudah deh, tapi jangan sering-sering, lo tau kan itu gak murah..."

"Gue juga ada dikit di kosan, tapi kalo gue harus ngambil sendiri kan bolak balik. Lagian enak kalo ada temennya. Bisa ngobrol ngaco.... Hiburan itu" balas Kanaya panjang lebar dengan senyum khasnya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil meratapi nasib persediaanku yang menipis. Awas saja kalau Stefan minta-minta lagi. Soalnya perkara mendapatkan persediaan saat ini bukan perkara mudah, mengingat polisi sedang getol getolnya razia dan sebagainya.

------------------------------

guitar10.jpg

"Gakpapa ngerokok disini?" tanya Kanaya di dalam kamarku.

"Gapapa kalo disini mah" jawabku sambil membuka tupperware andalanku. Memasukkan beberapa helai ke gerinda, lalu dilanjutkan kegiatan menghaluskannya. Perlahan tapi pasti. Serpihan halus itu nantinya akan dimasukkan kedalam gulungan kertas rokok. Atau yang biasa disebut papir. Jangan lupa untuk membuat "filter" nya dari kertas biasa atau dari kertas yang lebih keras. Cara lain, bisa juga dengan mengeluarkan tembakau dari rokok dan menggantinya dengan daun itu. Bisa juga menggunakan alat bantu pipa atau bong. Bebas.

"Apa yang nyebabin lo bisa bisanya ngisep ginian tapi gak ngerokok ya?" tanya Kanaya.
"Beda tau, rokok mah jelas-jelas bikin kecanduan"
"Iya sih... Kalo ini gak ketemu bertaun taun juga gak kenapa napa" jawabnya.

Aku masih dengan giat melinting. Kanaya duduk di sofa kecil yang hanya muat dua orang di kamarku itu. Layout dan furniture di kamarku memang membuat orang betah. Ada bed yang cukup untuk dua orang di pojok. Di pojok satunya ada sofa kecil, coffee table yang menhadap ke televisi layar datar yang kecil dan murah itu. Ada satu meja belajar yang berisi komputer dan tumpukan efek gitar. Tak lupa amplifier kamar dan beberapa gitarku mejeng disana.

Lemari baju dua pintuku terbuka dengan malasnya. Aku memang tak suka menutupnya, membuatku malas mencari baju sebelum berangkat ke manapun.

"Lo bajunya kok kaos band semua gitu?" tanya Kanaya.

"Kebiasaan dari jaman kuliah" jawabku. Memang hari ini aku memakai t shirt hitam yang bertuliskan "Level 42" sebuah band pop-jazz yang berasal dari Inggris. Kaosku yang bertema musik memang banyak. Tidak hanya yang bertema musik cadas, tapi juga banyak yang nyeleneh. Seperti t shirt Noah ataupun Ratu jaman Mulan dan Maia masih akur.

"Nih" aku menyerahkan satu lintingan yang agak gemuk ke Kanaya. Dia menerimanya dengan suka cita.

Dia membakarnya dengan penuh antusias. Dan baunya yang khas sudah tercium tajam di kamarku. Saatnya deodorizer beraksi. Aku pun membakar punyaku. Dan bergegas pindah ke sebelah Kanaya, untuk mendekatkan diriku dengan asbak.

Kami sudah menghabiskan setengah jalan. Sudah mulai terasa. Badan sudah agak lemas dan hal hal biasa jadi menarik dan lucu. Kanaya tampak sedang menahan senyum. Perasaan santai itu datang. Senyumnya mulai keluar.

"Jadi kan dia main piano ya"
"Siapa?" tanyaku.
"Itu, ada lah orang"
"Orang"
"Iya jadi kalau dia nikah sama elo, ntar anak kalian bisa main musik apa?"
"Alat nya?"
"Iya itu maksud gue. Alat"
"Oh... Jemuran kali ya.."
"Jemuran?" Kanaya bingung sambil senyum tertahan.
"Hahaha..."
"Apa kok ketawa?" tanyanya kepadaku.
"Haha"

Aku sengaja menambah kekuatan angin dari AC. Supaya baunya cepat hilang. Atau gak ngaruh? Gak tau juga. Yang penting usaha. Aku terus menyemprotkan deodorizer agar sebenarnya... Pusing. Pikiranku sedang melayang di udara. Kanaya bersender dengan santainya di sebelahku, kakinya mendadak kurang ajar dan menjadikan coffee table sebagai tatakan. Tapi biasa kok. Selama tidak ada makanan disana sih santai saja. Santai... Duh, habis ini enak tidur pasti. Eh ada Kanaya. Biar pulang dulu dia. Tapi pulang juga nunggu dia sadar dulu ya? Haha.

"Duh kok sesek ya" Kanaya mendadak meremas dadanya sendiri. Aku kaget.
"Sesek?"
"Kekencengan kayaknya make BH nya" ucapnya cuek. "Panas lagi" lanjutnya.
"Panas apaan? Dingin kok"
"Perasaan lo doang kali...." balasnya asal.

Kanaya lantas membuka jaketnya, melemparnya ke ujung ruang. T Shirt hitam polos ketatnya terlihat indah di tubuhnya. Dia pun melepas kaos kakinya dan melemparnya ke arah yang sama.

"Gila..." dia lantas merebahkan dirinya, menjadikan bahuku sandaran.

-----------------------

BERSAMBUNG
 
asoooyyyy MDT juga revival

ayo suhu marathon update buat cerita2 revival, gue kangen hahaa
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd