Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
MDT SEASON 1 – PART 5

------------------------------

guitar10.jpg

Handphoneku berbunyi. Wah tolol. Sudah jam berapa sekarang? Jam 11 malam. Aku melihat Kanaya terkapar di sebelahku, di sofa. Telpon dari Ai rupanya.

"Mas? di rumah? Bukain pintu dong..."
"Eh? bentar-bentar........."

Aku dengan sedikit buru-buru turun ke bawah, sambil berusaha supaya tidak membangunkan Kanaya mendadak. Perlahan aku turun ke lantai bawah. Untung saja bau daun sialan itu sudah pergi berkat deodorizer dan air purifier. Dan aku membuka pintu dengan cepat.

"Lama amat telpon baru diangkat?Ketiduran? Matanya merah amat?" tanya Ai kesal.
"Lagi ada tamu soalnya, keasikan ngobrol, maaf ya..."

Ai melirik ke arah sepatu yang teronggok disana. Sneakers yang bukan milik Stefan, Anin, atau Jacob. Dia pun tersenyum genit.

"Mentang-mentang ga ada Mama, bawa cewek ke kamar ya..."
"Ngobrol doang kok..."
"Alah.. Kayak aku gak tau cowok mikirnya kayak apa aja"
"Hus..."

"Eh, maaf ganggu..." Kanaya muncul dari atas, sudah mengenakan jaketnya lagi.
"Eh malah aku kok yang ganggu... hihihi..." Ai lantas membuka high heelsnya dan berlalu ke dapur, mengambil air untuknya. Aku melirik ke Kanaya, matanya pun merah, sama sepertiku. aku menyuruhnya untuk kembali masuk ke kamarku, khawatir Ai akan bertanya soal merah di matanya.

"Mayan, move on dari Karina" celetuk Ai dengan gelas berisi air dingin di tangan.
"Baru juga temen"
"Temen kok dibawa ke kamar" ledek Ai.
"Stefan juga aku bawa masuk kamar"

"Alesan... hahaha" Ai pun berlalu dengan cepat ke kamarnya. "Gak aku ganggu lagi ya Mas..." ujarnya sampai melambaikan tangannya dan segera masuk ke kamar, dengan lidah menjulur. Sial haha. Gara-gara Ai aku jadi mikir macam-macam. Aku pun perlahan kembali ke kamar, dan menutup pintu lagi.

"Lo tadi apain gue?" tanya Kanaya.
"Hah?"
"Kok tau-tau jaket gue lepas?"
"Gak ngapa-ngapain, lo buka sendiri..."
"Boong..." tapi mukanya bukan muka kesal. Malah muka bercanda.
"Terserah kalo gak percaya" aku tersenyum kecil dan mengembalikan tupperware itu ke tempat persembunyiannya.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

asdaf10.jpg

Sukses besar. Inilah enaknya manggung di acara pensi SMA. Penontonnya gampang terbuai oleh aksi panggung siapapun. SMA Negeri di Bulungan itu sukses jadi mangsa bagi Hantaman. Kami sudah turun dari panggung. Anin dan Bagas bermandi keringat, membasahi T-shirt Abu-abu kembaran mereka yang bertuliskan "HAN" dan "TAMAN". Ide garing Anin, dan Bagas mau-maunya disuruh memakai t-shirt seperti itu oleh sepupunya. Sementara aku memakai T-shirt Metallica Hitam yang juga sudah basah oleh keringat. Aku menenteng Hagstrom Vikingku, sedangkan Ampli dan peralatan yang lainnya sedang dibereskan oleh Mang Ujang, supir Stefan merangkap kru angkat-angkat kami dan Sena, sepupu Anin yang lain, kadang ia bertugas sebagai Sound Engineer, kadang ngangkut barang, tapi kebanyakan urusan di belakang panggung itu urusan dia, kecuali manajerial, karena manajer kami adalah Anin sendiri.

Sementara disana bisa kulihat Stefan, sedang beramah tamah dengan beberapa anak-anak SMA yang menjadi panitia. Perempuan tentunya. Aku hanya menggeleng saja, melihat dirinya. Waktu sudah menunjukkan jam makan malam, kami digiring menuju salah satu ruangan kelas yang disulap menjadi Artist Lounge. Makanan untuk kami sudah tersedia disana. Terlihat beberapa pemuda tanggung yang sekujur tubuh mereka bertato dengan design yang bisa kubilang agak buruk, berkumpul disana. Mereka sedang merokok sehabis makan.

"Itu kok pada ngerokok sih..." bisik Anin.
"Tau, padahal di TOR, bintang tamu gak boleh ngerokok di lingkungan sekolah" bisikku.
"Musti dikasih tau" kata Anin. Dia menghampiri mereka.

"Bro, sori, bukannya ga boleh ngerokok ya kata TOR nya?"

"Bentar lagi kita manggung ini kok bro, bentar doang, asem abis makan" sang Gitaris yang sudah mematikan rokoknya menatap Anin dengan muka yang kesal. Mereka adalah Dying Inside My Heart. Band Metalcore baru yang mendadak tenar, belum-belum sudah keluar 2 album saja. Sepertinya pengaruh dunia digital sangat berpengaruh untuk mereka.

"Ya matiin aja, biar gak ribet ama pihak sekolah, atau keluar dulu kek..." balas Anin kesal.
"Mau apa sih om?" mendadak si vokalis yang berambut hijau berdiri sambil menghembuskan asapnya ke muka Anin.

"Loh, gue bilang baik-baik kok gitu jawabnya?" Anin tampak kesal dan menatap balik ke arah sang vokalis. Aku berdiri. Bagas masih tetap duduk dan cuek makan. Tanpa suara. Si Vokalis yang tampaknya mudah marah melempar puntungnya entah kemana dan malah menarik kerah Anin dan bersiap memukul. Mendadak tong sampah besi melayang ke arah kepala si Vokalis.

Telak. Ke kepalanya.

"Anjing!" si Vokalis mengaduh, berteriak, ujung kasar tong sampah itu tampaknya melukai pelipisnya sehingga mengeluarkan darah. Tidak banyak, tapi entah kenapa dia reaksinya seperti habis ditabrak truk tronton. Di pintu sudah berdiri Stefan, dengan jeans belel dan T-Shirt V Neck putihnya. Tampangnya kesal, sementara para panitia melihat kejadian itu dengan takut.

"Apa lo pegang-pegang temen gue!" teriak Stefan sambil menunjuk si Vokalis yang tersungkur. "Gue bikin gak bisa nyanyi lu ya" Stefan maju, dan meraih leher si Vokalis. Tangannya yang juga penuh tato itu mencekik si vokalis dengan kekuatan emosi yang kuat. Lantas terlihat kentara antara design tato Stefan dan design tato si Vokalis. Tato Stefan matang, terkonsep dan digambar dengan indah. Sedangkan yang satunya... Okay....

"Fan udah Fan..." tegurku sambil menepuk bahu Stefan. Anin tampak kesal dan menatap ke anggota Dying Inside My Heart lainnya. Bagas masih makan. Tanpa suara. Stefan lalu meludah ke muka vokalis itu, dan melepas cengkramannya. Mendadak ruangan itu sepi. Dying Inside My Heart sudah tidak ada lagi di ruangan itu, Kabur.

"Lo gimana sih? Sepupu lo mau ditonjok diem aja?" marah Stefan ke Bagas.
"Anin kan kuat" jawabnya pelan sambil tetap kalem mengunyah makanan.
"Jadi gak selera gue ngobrol sama cewek-cewek disini... Ada bintang tamu yang ngehe malah diem aja!" Stefan malah membentak ke arah para panitia. Mereka lalu diam dan perlahan pergi.

Kami berempat diam. Mang Ujang masuk mendadak ke ruangan itu. "Mas Epan, udah masuk semua barangnya ke mobil..."

"Yaudah mang, panggilin si Sena, suruh makan sini ama kita..." Stefan masih kesal dengan kejadian tadi. "Abis ini ke tempatnya Kanaya yuk... Minum kek, masih kesel gue" seru Stefan.

Kami mengangguk, mengiyakan ajakannya.

------------------------------

004df610.jpg

"Coba lu liat tadi! Dan coba ada lo! Pasti takut semua liat ambon satu nih!" teriak Stefan yang sudah mabuk ke arah Jacob.

"Apaan sih..." Jacob diam saja sambil menenggak birnya. Dia memang sengaja bergabung dengan kami malam itu di pub. Ajak Jacob biar rame, kata Stefan. Musik tekno kekinian yang berdentum dari speaker memenuhi ruangan itu. Anin tak henti hentinya merokok sembari meminum bir saja. Bagas diam dan ngemil kacang. Stefan menenggak apapun yang bisa ditenggak. On me, katanya. Dan aku menggenggam sebotol soft drink di tanganku.

Kanaya tak terlihat. Mungkin dia di office, dan tadi sesekali keluar menyapa tamu atau sekedar minum dan memperhatikan suasana.

"Lo pasti tadi takut kaaan... Bilang aja..." ledek Stefan dengan muka merah ke Anin.
"Takut? Ama anak ingusan yang tatonya kayak krayon itu?" bingung Anin. "Kalo tadi lo gak lempar itu tong sampah, udah abis tu anak ama gue..." lanjutnya.
"Lah elu kan hatinya Bambi banget...."
"Monyet dasar... Bilang aja galau ga dapet mangsa" balas Anin.
"Nah kan jadi gak dapet memek bocah gue..." seru Stefan tak sopan.

"Emang lo pas sma ga pernah bareng cewek apa..." celetukku.

"Kan beda begghooo.... Kalo jaman gue sma dulu ngewe ama anak es em a... Itu biasa ajaa... Nah sekarang. Gue... Ngewe ama anak sma... Tanpa harus bayar..... Itu kan prestasi..." jawabnya panjang.

"Prestasi itu juara gambar se kabupaten, bukan ngewe bocah..."
"17 taun dah dewasa, tolol" balas Stefan.
"Mending mikir kapan beliin gitar ganti buat gue"
"Nah... Lo ambil aja itu strato vintage gue... Gak kepake"
"Gue ga suka suara strat. Lagian lo kan harusnya main gitar juga Fan, bantuin gua dong... Capek kalo ga ada yang ngerythm..."

"Alah, gitaris jes jenius aja masih harus dirythmin" ledeknya.
"Nah... Ngatur sound nya Bang Arya enak lho.. Suaranya dah bulet..." Sena mendadak bersuara.
"Nyaut aja... Tadi pas Anin mau ditonjok lo kemana?" tanya Stefan asal.
"Lah kan ngangkut barang kalian semua ama Mang Ujang...." bingung Sena.

"Lo orang mabok dilawan Sen..." bisik Anin.
"Gue gak mabok, kontol!" teriak Stefan.

"Ciri-ciri orang mabok itu ngaku gak mabok" mendadak Kanaya muncul di meja kami, berdiri sambil mengambil rokok Stefan dan menyalakannya.

"Eh, ada Kanaya... Gimana, enak ngewe ama Arya?"
"Belom tau... Bukan urusan lo lagian..." Kanaya dengan senyumnya menjawab pertanyaan asal Stefan.
"Belom artinya bakal dong..." senyumnya nakal.

"Haha..." dan Kanaya berlalu kembali. Aku hanya bisa tersenyum mendengar obrolan khas Stefan ketika mabuk. Tidak mabuk saja sudah liar, dan kalau mabuk remnya dalam berbicara hilang sudah. Hilang entah kemana.

"Guys, kita selasa malem latihan lagi oke, Bali bentar lagi nih... Abis itu adem dulu kita sebulan, si Arya ke jepang... Dan Ya, jadi lo mau kasih studio sebulan ke Sena?" Anin berbicara panjang lebar.
"Jadi" jawabku.
"Lo gak takut semua alat lo dicolong?" tanya Stefan.
"Itu kalo kasusnya gue suruh elo yang jaga studio...." ledekku ke Stefan. "Inget ya Sen, jangan godain Ai, dia udah punya pacar.." senyumku tipis sambil menghabiskan soft drink di tanganku.

"Sekeluarga besar Bang Arya emang cantik-cantik ya? Dulu siapa itu yang dokter?" tanya Sena.

"Dian.." jawabku.
"Duh jadi pengen sakit..." canda Sena.
"Dah punya laki tau..." senyumku tipis.
"Bang Arya kapan dong nyusul?"
"Belom lah, gue kan jomblo"
"Karina cakep gitu dilepas..." seloroh Jacob.

"Lo aja sana ama miss ribet.." balasku.
"Sekarang diledek ntar balikaaan" ledeknya.

Ledekan yang mengundang tawa seisi meja.

------------------------------

"Kita apain nih?" tanya Anin.
"Tinggalin aja bagus nih..." Jacob mengambil foto Stefan yang tersungkur di depan mobilnya.
"Bang Stefan kalo mabok lucu yak, gak mabok aja lucu...." Sena juga mengambil foto Stefan yang posisinya ajaib itu. Aku tersenyum sambil mengambil foto juga. Bagas diam saja, berdiri tanpa ekspresi.

"Loh pada belom pulang?" Kanaya keluar dari pub yang sedang beres-beres mau tutup. Dia tampaknya akan pulang juga. Tracksuit puma hitam melapisi badannya, menahan angin jalanan yang ganas. Dia melongok dan lalu tersenyum geli melihat Stefan tersungkur dalam posisi aneh di depan mobilnya sendiri.

"Telpon Mang Ujang kali ya, suruh angkut..." usulku.
"Mang Ujang mana bangun jam 3 subuh gini..." Sena membalasku.
"Bawa ke studio lu aja Ya, lo setirin mobilnya..."

"Wah, gue dah janji mau anter Kanaya balik nih" aku mengedipi Kanaya, supaya dia menerima sinyalku, kalau aku berbohong untuk menghindari tanggung jawab. Kanaya langsung mengangguk dan melihat ke arah semua orang dengan canggungnya. Dan dia dengan aneh lalu bergeser untuk berdiri di sebelahku.

"Terus gimana?"
"Lo angkut aja Nin... Bawa ke rumah lo"
"Jangan... nyokap gue gak suka ama ni anak..." jawab Anin.
"Sena ama Bagas ngikut Anin sih ya..."

"Jacob"
"Iya Jacob"
"Jacob"

"Kok gue?" Jacob mendadak kaget. Semua orang seperti menunjuknya. "Yaudah deh..." dia pasrah, dan kami lantas bersama-sama mengangkut tubuh Stefan yang lunglai dan di mulutnya ada bekas muntahan itu ke mobil Jacob. Tak lupa kami bercanda dan memasukkan tubuhnya di bagasi, untuk mengambil fotonya. Tapi lantas setelah selesai kami foto, kami masukkan tubuhnya ke kursi belakang mobil Jacob.

"Hoeeeekkkkkk..."
"Wah bangsat mobil gue dimuntahin...." Jacob tampak sedih dan pasrah melihatnya. Kami tertawa sejadi-jadinya, Sena malah mengambil foto lagi, foto Stefan dan muntah yang tergenang di mobil Jacob. Kumis dan jenggot Stefan tampak jorok. Kami semua geli melihatnya. Bagas sedang melihat handphonenya. Ternyata sedang baca berita online.

------------------------------

"Parah ya..." bisik Kanaya di belakangku. Motorku berjalan pelan menyusuri jalanan selatan Jakarta.
"Iya haha.... Sering banget begitu tuh..." balasku, sambil menyeimbangkan posisi motorku di jalanan itu.

"Arya"
"Apa?"
"Mau ke kosan gue gak?"
"Ngapain?"
"Gue mau bales elo, kemaren ada barang bagus dari temen gue... Mau?" senyumnya dari belakang.

"Waduh... tapi kosan lo bebas gak? tar digrebek lagi..." jawabku.
"Santai, tenang aja..."

------------------------------

kamar-11.jpg

Aku duduk di lantai kosan Kanaya. Kanaya sedang membuka lemari bajunya. Tank top hitam ketat dan skinny jeansnya memamerkan bentuk tubuhnya yang bagus itu. Aku sudah mengirim pesan ke orang rumah, kalau aku baru pulang hari minggu. Dia lantas memberiku kotak rokok, yang berisi tiga batang rokok.

"Karena gue gak jago ngelintinginnya, jadi gue masukin ke rokok" senyum Kanaya manis saat dia duduk di depanku. AC sudah menyala, pewangi ruangan ada, oke, mungkin tempatnya sudah cukup ideal untuk membakar daun bau busuk itu. Tapi ada yang kurang.

"Ini filternya dicopot, biar lebih enak" aku memberinya ilmu. Aku lantas mencoba membuka filternya, lalu menyuruh Kanaya mencari kertas, entah dari flyer, atau kartu nama dan gunting. Sejenak aku membuat filter-filteran dari kertas, dan memasukkannya ke batang rokok yang sudah dilepas filternya. Dengan begini efeknya akan lebih terasa, karena efeknya tak tersaring oleh filter rokok. Kanaya tampak memperhatikan dan sesekali manggut-manggut.

"Udah ini, tinggal dibakar" senyumku. Dan ritual itu pun dimulai.

Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit batang rokok itu musnah jadi debu. Debu musnah jadi abu. Aku musnah jadi apa. Duh. Bagus benar, baru sebentar efeknya sudah terasa, walau naiknya tidak langsung dahsyat. Perlahan-lahan, menuju puncak roller coaster. Agak lama mencapai puncaknya.

"Mata lo merah" tegas Kanaya.

"Elo juga"
"Apanya?"
"Mata?"
"Hah?"
"Itu... Mata"
"Apa sih, ganggu"
"Mata ya ampun..."

"Bentar..." Aku malah meregangkan badan, dan berbaring di karpet itu. Dua batang telah habis. Masing-masing satu. Dan tampaknya terlalu banyak. Gila. Berpendar. Semua menjadi lambat. Keterlaluan lambatnya. Melayang, perlahan. Seperti tak tentu arah dan tak tentu semuanya. Wow.. Gila hahaha..

"Lo ngapain" tanyaku.
"Capek juga"
"Kenapa?"
"Kan abis kerja" jawab Kanaya asal.
"Oh, emang kerja itu capek?"
"Capek lah bego...."

Kanaya berbaring di sebelahku, sama sama telentang. Kami berdua menatap langit. Menatap ke langit-langit maksudnya. Langit-langit putih yang aneh. Terus... apa ya. Kok ada rasa geli-geli di balik celana. Tapi kok tidak berdiri. Ingin tanpa ada reaksi. Aneh. Aku dengan kurang ajar malah berbalik perlahan, menatap Kanaya, yang cuma beberapa senti di depanku.

"Coba" bisikku ke Kanaya.
"Apaan?"
"Bentar..." Aku malah mendekat dan memeluknya. Dia menyambutku, dan kami malah saling berpelukan dengan bodohnya. Di atas karpet.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Jadi beda nya versi revival sama yg sebelum nya apa ya hu?? Semacam ada revisi atau apakah?
Soalnya ane udah tamat baca yg season 1 tp mandek di pertengahan season 2 .
 
MDT SEASON 1 – PART 6

------------------------------

Aku dan Kanaya berpelukan dengan malas. Hasrat itu ada, tapi malas menghantui. Mendadak Kanaya malah melepas celananya, memamerkan celana dalam hitam yang senada dengan tank topnya. Dirinya makin masuk ke pelukanku. Aku ingin menciumnya tapi rasanya badanku tak sanggup.

Kami seperti saling ingin meraih. Tapi tak teraih.

Kami hanya bergumul dengan bodohnya. Tanpa arah. Tanpa maksud.

------------------------------

kamar-11.jpg

Aku membuka mataku dengan berat. Pukul 9 pagi. Kanaya masih ada dipelukanku dengan bodohnya. Mukanya tampak culun dengan mulut terbuka. Kecantikannya hilang. Aku tersenyum sambil lemas. Aku melepaskan dirinya dari pelukanku, lalu meninggalkannya, beranjak bangun, lalu memeriksa handphoneku. Tidak ada yang spesial. Hanya whatsapp dari Stefan.

"Gitar-gitar lo gimana? Kapan mau dianter ke rumah?"
Kujawab dengan segera. "Abis makan siang deh"
Dan kembali menaruh handphoneku entah dimana.

"Oi..." aku menggerakkan tubuh Kanaya.
"Mmmhhh......"
"Gue mesti balik..."
"Yaudah....." matanya masih tertutup, lalu merayap dengan tolol ke arah kasur.

------------------------------

sebstu10.jpg

"Pasti lo tidur bareng!" tuduh Stefan saat mengangkut gitarku ke studio.
"Iya"
"Enak?"
"Tidur bareng, bukan nganu, mas"
"Sok romantis..." ledek Stefan.
"Tidur karena ketiduran lebih tepatnya sih" aku menjulurkan lidahku.
"Lo pacarin?"
"Ga tau, gue sih nyantai aja. Dianya juga slow aja tuh"
"FWB dong..."
"Apaan tuh?"
"Friend with benefits"
"Kan gak ngapa-ngapain..." jawabku untuk menutup keraguan Stefan.

Dipikir-pikir aneh juga aku dengan Kanaya. Tidak mesra seperti pacar, tidak seberjarak teman, tapi juga tidak seperti sobat. Semuanya mengawang. Melayang. Mengambang di udara. Tidak ada kepastian, tapi apakah kepastian dibutuhkan?

Sejenak kepalaku membayangkan Bali. Membayangkan nanti disana akan seperti apa. Pasti Stefan berburu bule. Pasti Anin malu-malu. Pasti Bagas diam saja. Kami akan manggung di hari Sabtu. Kami berempat akan pergi. Tentunya membawa Sena sebagai sound engineer kami. Sisa slot dua orang kru masih bingung membawa siapa tapi? Apakah Mang Ujang? Tapi disana katanya disediakan kru angkut.

"Slot dua biji lagi buat Bali, mau ajak siapa? Mang Ujang?" tanyaku yang membenamkan diri di kursi studio.
"Tadi gue dah telponan sama Anin, katanya bawa yang bener bener guna buat kita.." jawab Stefan yang bersiap nongkrong untuk merokok di teras.
"Jacob gimana?"
"Nah, dia kan ngerti sound banget tuh. Dan ngerti teknis. Siapa tau dia bisa kita ajak, tapi dia bakal manggung juga disana gak? Kan dia suka jadi cabutan Bassisnya Glenn atau Afghan."

"Musti ditanya dulu... Satu lagi siapa dong? Manajer kita ya bassis kita soale..." tanyaku lagi.

"Kanaya aja biar lo ada temen ngewe"
"Pasti sibuk kerja dia, lagian.... Ngewa ngewe aja pikiran lo..."
"Ai gimana?"
"Ngapain dia disana?"
"Pura pura manajerin, padahal buat dimodusin..." jawab Stefan asal.

"Itu adek gue, nyet" balasku sambil tertawa. Aku lantas berjalan agak jauh menuju dapur. Mencari sesuatu untuk diminum. Pilihanku tertuju pada air dingin. Aku membawakan satu gelas juga untuk Stefan.

"Gini doang nih? Gak kopi? Teh? Es campur? Vodka?" ledek Stefan saat aku memberikannya segelas air dingin.
"Udah bagus diambilin..." jawabku dengan lemas.
"BTW, Ai kan cuma beda 2 tahun sama elo kan?"
"Iya"
"Lo gak pernah horny gitu, atau coli bayangin adek lo sendiri?"
"Si kont*l.... Pertanyaan macam apa itu?" kagetku sambil senyum aneh.
"Kali aja...." dia menghisap rokok dalam-dalam dan membuang asapnya banyak-banyak.

------------------------------

Sehabis latihan, dan dua minggu lagi kami akan berangkat ke Bali. Seperti biasa Anin dan Stefan meluangkan waktu untuk merokok dan mengobrol di teras studio. Bagas entah kemana. Mungkin dia di dalam studio atau entah kemana. Yang berangkat dengan kami jadinya adalah Jacob dan.... Ai. Ai entah kenapa sangat excited dengan rencana itu. Jadi pertemuan dengan penjual daun herbal yang sudah kukontak di Bali terpaksa kubatalkan. For safety reasons. Mengajak Ai adalah ide Stefan, tapi entah kenapa malah Jacob dan Anin yang deg-degan dan excited.

Aransemen kamar sudah dibagi. Aku dan Ai. Anin dan Bagas. Jacob dan Stefan, dan Sena sendirian. Kalau ada uang lebih mungkin aku akan mengusulkan Mang Ujang untuk menemani Sena tidur.

"Entar di Bali ada Frank's Chamber ya?" celetuk Anin.
"Yoi, senior itu... Terakhir kali kapan ketemu mereka? Pas manggung di Bandung kan?"
"Pengen liat mereka manggung deh... Pasti kacau banget..." Anin tampak tak sabar.

"Yang lo tunggu kok kumpulan om-om brewok buncit sih Nin.." sanggah Stefan.
"Musiknya, Fan..."
"Gue lebih pengen liat Rissa manggung entar..." dia menyebut nama penyanyi perempuan yang ngetop itu.
"Lo modusin aja... Kan baru putus tuh ama cowoknya..." aku memberi Stefan ide.

"Oh ya? Asik hahahaha" Stefan tertawa lepas.
"BTW kok random banget ya ini acara, ada Rissa, The Smooth, terus Naciluva juga ada, bah... Ada Dying Inside My Heart hahahahaha...." tawaku sambil melihat buklet acara.

"Nah, gue gebukin lanjut disana..." kata Stefan.
"Jangan men... Umurnya aja beda 10 taun ama elo... Pamali gebukin bocah..." kata Anin.
"Itu mah lo takut aja"

"Oiya... Sebelum kita ke bali, gue ada hadiah buat elo...." lanjut Stefan.
"Apa tuh?"
"Bentar"

Stefan lalu menghilang, agak lama, lalu dia datang lagi, membawa kotak besar, sebesar gitar yang dilapis kulit. Seringai jahilnya terlihat di mukanya. Aku kaget. Ternyata gitar pengganti gitarku yang patah sudah ada! Rasanya seperti anak kecil yang mendapatkan mainan favoritnya.

"Gantinya, izinin gue ngedate sehari sama Ai..." seringai Stefan nakal.
"Dia pasti gak mau..."

Kami semua lalu masuk ke dalam ruangan studio dan aku dengan excited membuka kotak gitar itu. Wow. Epiphone Les Paul Black Beauty. Wow, bagus sekali. Aku terpana.

"Jangan cuman diliat aja, mainin dong..." sentil Stefan.

"Eh... Makasih men..."
"Sorry ya lama.."

Aku lantas menyambungkannya ke head ampliefier 5150 ku. Wow. Suara cleannya bulat sekali. Cocok dengan settinganku dan musikku. Beratnya pas. Suaranya enak, walau mungkin tidak seenak yang versi Gibson-nya. Tapi ini sudah lebih dari cukup sebagai tambahan gitar touringku. Hagstrom Viking, Gibson SG, dan Black Beauty ini. Cantik sekali.

"Kasih nama dong..." kata Anin.
"Sorry, gue gak senorak itu.." jawabku.
"Kasih nama, Karina gitu" ledek Stefan.
"Tokai... Cobain yuk, main apa gitu... "
"Rusty Cage?" tanya Stefan.
"Ayo!"

------------------------------
------------------------------
------------------------------

soundr10.jpg

Soundrenaxxxx 201X

Acara musik dua harian yang akan kami coba jajah. Kali kedua bagi kami untuk main di Bali. Untuk Soundrenaxxxxxnya sendiri kami sudah beberapa kali. Kali ini kami kebagian untuk manggung di Louder Than Ever Stage. Tepat sesudah Frank's Chamber. Padahal band ini lebih senior dari kami. Band yang sangat kami nantikan penampilannya, karena mereka pernah mementori kami sewaktu kami masih kecil. Terdiri dari Bimo, vokalis/gitaris, yang tinggi, dan buncit karena terlalu banyak menenggak bir. Wajahnya penuh dengan brewok yang awut-awutan, walau rambutnya terlalu rapih. Tato di tangan kirinya penuh. Senjata utamanya adalah Fender Jaguar Baritone Custom yang beraneka warna, dan penuh dengan efek-efek yang bisa membuat panggung penuh. Maklum, mereka tidak pernah memakai pemain bass additional.

Dan yang satunya lagi adalah Prawira, atau biasa dipanggil Kang Wira. Drummer yang kalem, dengan rambutnya yang selalu gondrong dan muka yang bersih. Tanpa tato. Kemana-mana selalu memakai flanel dan celana pendek. Settingan drum nya juga agak ribet. Biar mirip Neil Peart nya Rush, katanya.

Walau begitu, mereka memang salah satu pentolan Seattle Sound indie di Indonesia. Sound nya tebal dan gila. Untuk urusan lirik, kata-katanya bisa dibilang dalam. Tapi ternyata tidak. Kalau Stefan membuat lirik yang puitis dan keras, lirik lagu-lagu mereka enigmatis. Penuh tanda tanya. Salah satu lagunya, "Putus Asa" liriknya sangat depresif dan gila. Tapi ternyata isinya tentang kegagalan menamatkan game. Liriknya banyak terinspirasi dari game, film, bahkan racauan asal. "Lirik cuma jeda diantara dua solo gitar" menurut Bimo. Jadi menurut dia sah untuk diisi kata apapun.

"Apa kabar kang?" aku menepuk bahu Bimo dengan pelan.
"Eh Arya, kumaha? damang?" jawabnya dalam logat sunda yang kental. Di bibirnya terselip rokok putih. Dia sedang memperhatikan kondisi pada hari Jumat itu. Suasana riuh oleh persiapan sebelum acara. Beberapa melakukan check sound akhir. Mereka sudah melakukannya, dan kami juga. Aku hanya berjalan-jalan di sekitar venue untuk mengusir bosan. Anak-anak sedang di hotel, dan Ai mendadak jadi mama mereka. Ai mengambil cuti hari jumat dan senin.

"Kumaha ngejazz keneh?" tanyanya. Dia sering tidak peduli, dengan siapapun bicara, selalu bahasa sunda.

"Masih kang"
"Alus atuh... Nyieun album atuh..."
"Belum kang"
"Sayang, skill jangan disimpen sorangan..."
"Ah apalah saya dibanding akang"
"Saya mah cuma suka denger jazz doang, ga bisa maininnya mah" candanya.
"Bisa aja"
"Ah saya mah main drop d doang, pake efek doang, menang di berisik..." senyumnya ramah.

"Kang Wira mana?"
"Cari cewe kali..."
"Istri akang gimana kabarnya?" tanyaku berbasa basi.
"Baik, kamu juga nikah atuh, kasian si Karina.."
"Udah putus kang.."
"Wah kacau" komentarnya santai tanpa melihat mukaku. Dia terus dengan tenangnya menghisap rokok.

"Enak ya jadi kamu, bisa main jazz, main rock, kalo misal si Stefan mati mendadak masih enak lah.." candanya.
"Ahaha..."
"Lah kita cuman duaan, kalo Wira mati ya bubar.. Emangnya jual piringan hitam bisa ngasih makan istri yah?" tanyanya bercanda. Dia memang memiliki toko piringan hitam di Bandung.

"Ah pasti akang ntar bikin band lagi"
"Nah iya, saya teh takut, Wira suka ngilang ga jelas kayak sekarang, siapa tau balik-balik udah tinggal mayit gitu yah..."

"Maneh ngomongkeun urang?" mendadak ada suara yang tak kalah akrabnya di balikku. Kang Wira.
"Eh, si koplok"
"Naon, koplok" mereka berdua berbalas hinaan. Seperti melihat lawakan ala sunda di televisi nasional.

"Nah pada disini rupanya... My Meeeeeeeen" teriak Stefan dengan tangan terbuka, seperti ingin memeluk Bimo. Bimo langsung berpose seperti akan bermain silat dengan Stefan.

"Mas, ini kunci kamar ya" Kata Ai, sambil tersenyum dengan manisnya kepada Wira dan Bimo.
"Siapa nih?" tanya Wira.
"Adeknya Arya... Jangan digoda Kang, galak banget sama kita" balas Anin. Ai hanya tertawa, mungkin ini pertama kalinya dia berinteraksi dengan kondisi touring.

"Saya kirain teh pacarnya Arya, pake sekamar lagi yah" celetuk Wira.
"BTW, tar malem minum yuk Kang" ajak Stefan semangat.
"Wah ga bisa euy, udah janjian sama Ibor Naciluva dan Isa Mawardi..." jawab Bimo.
"Yah..."
"Besok aja, abis kalian manggung, kumaha?" tanya Wira.

"Besok saya mau nonton Rissa" kata Stefan.
"Abis Rissa aja... Ai kamu kok pake nonton Rissa segala..."
"Kan baru putus dia"
"Wah besok kalo gitu saya juga mau nonton..." Wira mendapat ide.

"Yaudah, besok atuh ya, kita minum-minum abis nonton Rissa.... Saya minggu udah balik soalnya, kasian istri lagi hamil sorangan di Bandung..." seloroh Bimo.

"Besok kolaborasi atuh yuk... Kasih kejutan buat yang nongton?" Bimo mendapat ide.
"Wah... malu kami kolaborasi ama kalian..." jawab Anin dengan rendah hati.
"Malu mah kalo di jidat kamu ada kontol... Hayu, pas abis lagu terakhir kita yah, kan kalian abis kita tuh..."

"Saya mah ga malu kalo di jidat saya ada kontol.." kata Wira.
"Eh iya, keren juga yah..." balas Bimo.

"Tapi kamu mau nyamperin Rissa dari backstage pasti yah" lanjut Wira.
"Iya dong" seringai Stefan.
"Kenapa gak Parabunyi aja, vokalisnya kan cakep tuh, siapa yah namanya, Awkarin gitu?" komentar Bimo asal.

"Akterisna, belegug" jawab Wira.

"Iya yah, cakep tau, itu aja Fan... Keren pisan namanya Akterisna, ibunya ngidam apa yah pas lagi hamil, namanya bisa gitu..."
"Ngidam ban serep kali..."

"Nah saya dulu teh penasaran, kalo dulu kamu ama Karina jadi kawin, anaknya main apa yah bakalan?" tanya Bimo. Tanpa bermaksud apa-apa.
"Wah ga tau kang..." senyumku.

"Kalo kata saya mah anaknya udah lahir langsung bawa alat musik" celetuk Wira.
"Nah iya, langsung lahir bawa Bass gitu yah" kata Bimo.
"Kenapa mesti Bass?" tanya Wira.
"Pan biar bisa langsung ngeband sama ortunya atuh..."
"Kita seband ga pake basis...."
"Pan kita mah ngasal..."
"He euh nya.."

Kami hanya tertawa saja mendengarkan percakapan absurd mereka. Absurd sekali sampai mengundang tawa. Hanya Ai yang pusing mendengar informasi aneh dari mereka berdua. Wira dan Bimo.

"Yaudah, ntar saya ngomong ke stage manager yah, kalo oke, tar malem saya telpon si Anin yah.... " tutup Bimo menyimpulkan soal kolaborasi dua band ini.
"Siap Kang"

------------------------------

"Gimana Bali?" pesan media sosial dari Kanaya muncul.
"Asik"
"Hahahahaha padahal pengen ikuuuuuut"
"Nyusul gih"
"Ga ada duit... Lo enak kan kerja disonoo"

Aku duduk di lobby hotel. Dengan handphoneku. Mendadak aku melihat muka yang familiar. Tapi ada yang agak berbeda dari ingatanku.

"Anggia?" tegurku
"Eh.. Arya! Apa kabar!" senyumnya sumringah.
"Kirain siapa, rambutnya pendek sekarang ya?"
"Hahaha.... oh iya, kenalin"

"Adrian"
"Arya"

"Ini temen kamu yang bakal manggung besok ya?" tanya si lelaki.
"Nah iya, besok manggung jam berapa?" tanya Anggia.

"Wah, musti liat jadwal lagi.... Tapi lo pasti dateng buat nonton Soundrenaxxxx kan?"

"Iyak hahaha.... yowes, sampe ketemu besok ya kalo ketemu.

Alasan terbentuknya band ini ada disini. Kalau Anin tahu, bisa gemetar dia, senyumku dalam hati.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Jadi beda nya versi revival sama yg sebelum nya apa ya hu?? Semacam ada revisi atau apakah?
Soalnya ane udah tamat baca yg season 1 tp mandek di pertengahan season 2 .

ya, ada revisi, salah satunya adalah nama2 dan sosok di dunia nyata yang ada singgungannya dengan cerita ini akan saya hapus dan saya ganti dengan tokoh fiksi yang gak terkait ke siapa2
 
Bimabet
Kena badan sensor semua ya om, tpi gpp sih daripada bermasalah endingnya

Thanks update nya om
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd