------------------------------
Aku dan Kanaya berpelukan dengan malas. Hasrat itu ada, tapi malas menghantui. Mendadak Kanaya malah melepas celananya, memamerkan celana dalam hitam yang senada dengan tank topnya. Dirinya makin masuk ke pelukanku. Aku ingin menciumnya tapi rasanya badanku tak sanggup.
Kami seperti saling ingin meraih. Tapi tak teraih.
Kami hanya bergumul dengan bodohnya. Tanpa arah. Tanpa maksud.
------------------------------
Aku membuka mataku dengan berat. Pukul 9 pagi. Kanaya masih ada dipelukanku dengan bodohnya. Mukanya tampak culun dengan mulut terbuka. Kecantikannya hilang. Aku tersenyum sambil lemas. Aku melepaskan dirinya dari pelukanku, lalu meninggalkannya, beranjak bangun, lalu memeriksa handphoneku. Tidak ada yang spesial. Hanya whatsapp dari Stefan.
"Gitar-gitar lo gimana? Kapan mau dianter ke rumah?"
Kujawab dengan segera. "Abis makan siang deh"
Dan kembali menaruh handphoneku entah dimana.
"Oi..." aku menggerakkan tubuh Kanaya.
"Mmmhhh......"
"Gue mesti balik..."
"Yaudah....." matanya masih tertutup, lalu merayap dengan tolol ke arah kasur.
------------------------------
"Pasti lo tidur bareng!" tuduh Stefan saat mengangkut gitarku ke studio.
"Iya"
"Enak?"
"Tidur bareng, bukan nganu, mas"
"Sok romantis..." ledek Stefan.
"Tidur karena ketiduran lebih tepatnya sih" aku menjulurkan lidahku.
"Lo pacarin?"
"Ga tau, gue sih nyantai aja. Dianya juga slow aja tuh"
"FWB dong..."
"Apaan tuh?"
"Friend with benefits"
"Kan gak ngapa-ngapain..." jawabku untuk menutup keraguan Stefan.
Dipikir-pikir aneh juga aku dengan Kanaya. Tidak mesra seperti pacar, tidak seberjarak teman, tapi juga tidak seperti sobat. Semuanya mengawang. Melayang. Mengambang di udara. Tidak ada kepastian, tapi apakah kepastian dibutuhkan?
Sejenak kepalaku membayangkan Bali. Membayangkan nanti disana akan seperti apa. Pasti Stefan berburu bule. Pasti Anin malu-malu. Pasti Bagas diam saja. Kami akan manggung di hari Sabtu. Kami berempat akan pergi. Tentunya membawa Sena sebagai sound engineer kami. Sisa slot dua orang kru masih bingung membawa siapa tapi? Apakah Mang Ujang? Tapi disana katanya disediakan kru angkut.
"Slot dua biji lagi buat Bali, mau ajak siapa? Mang Ujang?" tanyaku yang membenamkan diri di kursi studio.
"Tadi gue dah telponan sama Anin, katanya bawa yang bener bener guna buat kita.." jawab Stefan yang bersiap nongkrong untuk merokok di teras.
"Jacob gimana?"
"Nah, dia kan ngerti sound banget tuh. Dan ngerti teknis. Siapa tau dia bisa kita ajak, tapi dia bakal manggung juga disana gak? Kan dia suka jadi cabutan Bassisnya Glenn atau Afghan."
"Musti ditanya dulu... Satu lagi siapa dong? Manajer kita ya bassis kita soale..." tanyaku lagi.
"Kanaya aja biar lo ada temen ngewe"
"Pasti sibuk kerja dia, lagian.... Ngewa ngewe aja pikiran lo..."
"Ai gimana?"
"Ngapain dia disana?"
"Pura pura manajerin, padahal buat dimodusin..." jawab Stefan asal.
"Itu adek gue, nyet" balasku sambil tertawa. Aku lantas berjalan agak jauh menuju dapur. Mencari sesuatu untuk diminum. Pilihanku tertuju pada air dingin. Aku membawakan satu gelas juga untuk Stefan.
"Gini doang nih? Gak kopi? Teh? Es campur? Vodka?" ledek Stefan saat aku memberikannya segelas air dingin.
"Udah bagus diambilin..." jawabku dengan lemas.
"BTW, Ai kan cuma beda 2 tahun sama elo kan?"
"Iya"
"Lo gak pernah horny gitu, atau coli bayangin adek lo sendiri?"
"Si kont*l.... Pertanyaan macam apa itu?" kagetku sambil senyum aneh.
"Kali aja...." dia menghisap rokok dalam-dalam dan membuang asapnya banyak-banyak.
------------------------------
Sehabis latihan, dan dua minggu lagi kami akan berangkat ke Bali. Seperti biasa Anin dan Stefan meluangkan waktu untuk merokok dan mengobrol di teras studio. Bagas entah kemana. Mungkin dia di dalam studio atau entah kemana. Yang berangkat dengan kami jadinya adalah Jacob dan.... Ai. Ai entah kenapa sangat excited dengan rencana itu. Jadi pertemuan dengan penjual daun herbal yang sudah kukontak di Bali terpaksa kubatalkan. For safety reasons. Mengajak Ai adalah ide Stefan, tapi entah kenapa malah Jacob dan Anin yang deg-degan dan excited.
Aransemen kamar sudah dibagi. Aku dan Ai. Anin dan Bagas. Jacob dan Stefan, dan Sena sendirian. Kalau ada uang lebih mungkin aku akan mengusulkan Mang Ujang untuk menemani Sena tidur.
"Entar di Bali ada Frank's Chamber ya?" celetuk Anin.
"Yoi, senior itu... Terakhir kali kapan ketemu mereka? Pas manggung di Bandung kan?"
"Pengen liat mereka manggung deh... Pasti kacau banget..." Anin tampak tak sabar.
"Yang lo tunggu kok kumpulan om-om brewok buncit sih Nin.." sanggah Stefan.
"Musiknya, Fan..."
"Gue lebih pengen liat Rissa manggung entar..." dia menyebut nama penyanyi perempuan yang ngetop itu.
"Lo modusin aja... Kan baru putus tuh ama cowoknya..." aku memberi Stefan ide.
"Oh ya? Asik hahahaha" Stefan tertawa lepas.
"BTW kok random banget ya ini acara, ada Rissa, The Smooth, terus Naciluva juga ada, bah... Ada Dying Inside My Heart hahahahaha...." tawaku sambil melihat buklet acara.
"Nah, gue gebukin lanjut disana..." kata Stefan.
"Jangan men... Umurnya aja beda 10 taun ama elo... Pamali gebukin bocah..." kata Anin.
"Itu mah lo takut aja"
"Oiya... Sebelum kita ke bali, gue ada hadiah buat elo...." lanjut Stefan.
"Apa tuh?"
"Bentar"
Stefan lalu menghilang, agak lama, lalu dia datang lagi, membawa kotak besar, sebesar gitar yang dilapis kulit. Seringai jahilnya terlihat di mukanya. Aku kaget. Ternyata gitar pengganti gitarku yang patah sudah ada! Rasanya seperti anak kecil yang mendapatkan mainan favoritnya.
"Gantinya, izinin gue ngedate sehari sama Ai..." seringai Stefan nakal.
"Dia pasti gak mau..."
Kami semua lalu masuk ke dalam ruangan studio dan aku dengan excited membuka kotak gitar itu. Wow. Epiphone Les Paul Black Beauty. Wow, bagus sekali. Aku terpana.
"Jangan cuman diliat aja, mainin dong..." sentil Stefan.
"Eh... Makasih men..."
"Sorry ya lama.."
Aku lantas menyambungkannya ke head ampliefier 5150 ku. Wow. Suara cleannya bulat sekali. Cocok dengan settinganku dan musikku. Beratnya pas. Suaranya enak, walau mungkin tidak seenak yang versi Gibson-nya. Tapi ini sudah lebih dari cukup sebagai tambahan gitar touringku. Hagstrom Viking, Gibson SG, dan Black Beauty ini. Cantik sekali.
"Kasih nama dong..." kata Anin.
"Sorry, gue gak senorak itu.." jawabku.
"Kasih nama, Karina gitu" ledek Stefan.
"Tokai... Cobain yuk, main apa gitu... "
"Rusty Cage?" tanya Stefan.
"Ayo!"
------------------------------
------------------------------
------------------------------
Soundrenaxxxx 201X
Acara musik dua harian yang akan kami coba jajah. Kali kedua bagi kami untuk main di Bali. Untuk Soundrenaxxxxxnya sendiri kami sudah beberapa kali. Kali ini kami kebagian untuk manggung di Louder Than Ever Stage. Tepat sesudah Frank's Chamber. Padahal band ini lebih senior dari kami. Band yang sangat kami nantikan penampilannya, karena mereka pernah mementori kami sewaktu kami masih kecil. Terdiri dari Bimo, vokalis/gitaris, yang tinggi, dan buncit karena terlalu banyak menenggak bir. Wajahnya penuh dengan brewok yang awut-awutan, walau rambutnya terlalu rapih. Tato di tangan kirinya penuh. Senjata utamanya adalah Fender Jaguar Baritone Custom yang beraneka warna, dan penuh dengan efek-efek yang bisa membuat panggung penuh. Maklum, mereka tidak pernah memakai pemain bass additional.
Dan yang satunya lagi adalah Prawira, atau biasa dipanggil Kang Wira. Drummer yang kalem, dengan rambutnya yang selalu gondrong dan muka yang bersih. Tanpa tato. Kemana-mana selalu memakai flanel dan celana pendek. Settingan drum nya juga agak ribet. Biar mirip Neil Peart nya Rush, katanya.
Walau begitu, mereka memang salah satu pentolan Seattle Sound indie di Indonesia. Sound nya tebal dan gila. Untuk urusan lirik, kata-katanya bisa dibilang dalam. Tapi ternyata tidak. Kalau Stefan membuat lirik yang puitis dan keras, lirik lagu-lagu mereka enigmatis. Penuh tanda tanya. Salah satu lagunya, "Putus Asa" liriknya sangat depresif dan gila. Tapi ternyata isinya tentang kegagalan menamatkan game. Liriknya banyak terinspirasi dari game, film, bahkan racauan asal. "Lirik cuma jeda diantara dua solo gitar" menurut Bimo. Jadi menurut dia sah untuk diisi kata apapun.
"Apa kabar kang?" aku menepuk bahu Bimo dengan pelan.
"Eh Arya, kumaha? damang?" jawabnya dalam logat sunda yang kental. Di bibirnya terselip rokok putih. Dia sedang memperhatikan kondisi pada hari Jumat itu. Suasana riuh oleh persiapan sebelum acara. Beberapa melakukan check sound akhir. Mereka sudah melakukannya, dan kami juga. Aku hanya berjalan-jalan di sekitar venue untuk mengusir bosan. Anak-anak sedang di hotel, dan Ai mendadak jadi mama mereka. Ai mengambil cuti hari jumat dan senin.
"Kumaha ngejazz keneh?" tanyanya. Dia sering tidak peduli, dengan siapapun bicara, selalu bahasa sunda.
"Masih kang"
"Alus atuh... Nyieun album atuh..."
"Belum kang"
"Sayang, skill jangan disimpen sorangan..."
"Ah apalah saya dibanding akang"
"Saya mah cuma suka denger jazz doang, ga bisa maininnya mah" candanya.
"Bisa aja"
"Ah saya mah main drop d doang, pake efek doang, menang di berisik..." senyumnya ramah.
"Kang Wira mana?"
"Cari cewe kali..."
"Istri akang gimana kabarnya?" tanyaku berbasa basi.
"Baik, kamu juga nikah atuh, kasian si Karina.."
"Udah putus kang.."
"Wah kacau" komentarnya santai tanpa melihat mukaku. Dia terus dengan tenangnya menghisap rokok.
"Enak ya jadi kamu, bisa main jazz, main rock, kalo misal si Stefan mati mendadak masih enak lah.." candanya.
"Ahaha..."
"Lah kita cuman duaan, kalo Wira mati ya bubar.. Emangnya jual piringan hitam bisa ngasih makan istri yah?" tanyanya bercanda. Dia memang memiliki toko piringan hitam di Bandung.
"Ah pasti akang ntar bikin band lagi"
"Nah iya, saya teh takut, Wira suka ngilang ga jelas kayak sekarang, siapa tau balik-balik udah tinggal mayit gitu yah..."
"Maneh ngomongkeun urang?" mendadak ada suara yang tak kalah akrabnya di balikku. Kang Wira.
"Eh, si koplok"
"Naon, koplok" mereka berdua berbalas hinaan. Seperti melihat lawakan ala sunda di televisi nasional.
"Nah pada disini rupanya... My Meeeeeeeen" teriak Stefan dengan tangan terbuka, seperti ingin memeluk Bimo. Bimo langsung berpose seperti akan bermain silat dengan Stefan.
"Mas, ini kunci kamar ya" Kata Ai, sambil tersenyum dengan manisnya kepada Wira dan Bimo.
"Siapa nih?" tanya Wira.
"Adeknya Arya... Jangan digoda Kang, galak banget sama kita" balas Anin. Ai hanya tertawa, mungkin ini pertama kalinya dia berinteraksi dengan kondisi touring.
"Saya kirain teh pacarnya Arya, pake sekamar lagi yah" celetuk Wira.
"BTW, tar malem minum yuk Kang" ajak Stefan semangat.
"Wah ga bisa euy, udah janjian sama Ibor Naciluva dan Isa Mawardi..." jawab Bimo.
"Yah..."
"Besok aja, abis kalian manggung, kumaha?" tanya Wira.
"Besok saya mau nonton Rissa" kata Stefan.
"Abis Rissa aja... Ai kamu kok pake nonton Rissa segala..."
"Kan baru putus dia"
"Wah besok kalo gitu saya juga mau nonton..." Wira mendapat ide.
"Yaudah, besok atuh ya, kita minum-minum abis nonton Rissa.... Saya minggu udah balik soalnya, kasian istri lagi hamil sorangan di Bandung..." seloroh Bimo.
"Besok kolaborasi atuh yuk... Kasih kejutan buat yang nongton?" Bimo mendapat ide.
"Wah... malu kami kolaborasi ama kalian..." jawab Anin dengan rendah hati.
"Malu mah kalo di jidat kamu ada kontol... Hayu, pas abis lagu terakhir kita yah, kan kalian abis kita tuh..."
"Saya mah ga malu kalo di jidat saya ada kontol.." kata Wira.
"Eh iya, keren juga yah..." balas Bimo.
"Tapi kamu mau nyamperin Rissa dari backstage pasti yah" lanjut Wira.
"Iya dong" seringai Stefan.
"Kenapa gak Parabunyi aja, vokalisnya kan cakep tuh, siapa yah namanya, Awkarin gitu?" komentar Bimo asal.
"Akterisna, belegug" jawab Wira.
"Iya yah, cakep tau, itu aja Fan... Keren pisan namanya Akterisna, ibunya ngidam apa yah pas lagi hamil, namanya bisa gitu..."
"Ngidam ban serep kali..."
"Nah saya dulu teh penasaran, kalo dulu kamu ama Karina jadi kawin, anaknya main apa yah bakalan?" tanya Bimo. Tanpa bermaksud apa-apa.
"Wah ga tau kang..." senyumku.
"Kalo kata saya mah anaknya udah lahir langsung bawa alat musik" celetuk Wira.
"Nah iya, langsung lahir bawa Bass gitu yah" kata Bimo.
"Kenapa mesti Bass?" tanya Wira.
"Pan biar bisa langsung ngeband sama ortunya atuh..."
"Kita seband ga pake basis...."
"Pan kita mah ngasal..."
"He euh nya.."
Kami hanya tertawa saja mendengarkan percakapan absurd mereka. Absurd sekali sampai mengundang tawa. Hanya Ai yang pusing mendengar informasi aneh dari mereka berdua. Wira dan Bimo.
"Yaudah, ntar saya ngomong ke stage manager yah, kalo oke, tar malem saya telpon si Anin yah.... " tutup Bimo menyimpulkan soal kolaborasi dua band ini.
"Siap Kang"
------------------------------
"Gimana Bali?" pesan media sosial dari Kanaya muncul.
"Asik"
"Hahahahaha padahal pengen ikuuuuuut"
"Nyusul gih"
"Ga ada duit... Lo enak kan kerja disonoo"
Aku duduk di lobby hotel. Dengan handphoneku. Mendadak aku melihat muka yang familiar. Tapi ada yang agak berbeda dari ingatanku.
"Anggia?" tegurku
"Eh.. Arya! Apa kabar!" senyumnya sumringah.
"Kirain siapa, rambutnya pendek sekarang ya?"
"Hahaha.... oh iya, kenalin"
"Adrian"
"Arya"
"Ini temen kamu yang bakal manggung besok ya?" tanya si lelaki.
"Nah iya, besok manggung jam berapa?" tanya Anggia.
"Wah, musti liat jadwal lagi.... Tapi lo pasti dateng buat nonton Soundrenaxxxx kan?"
"Iyak hahaha.... yowes, sampe ketemu besok ya kalo ketemu.
Alasan terbentuknya band ini ada disini. Kalau Anin tahu, bisa gemetar dia, senyumku dalam hati.
------------------------------
BERSAMBUNG