Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
MDT SEASON 1 - PART 87

--------------------------------------------

guitar10.jpg

“Bangun, sarapan Mas” Ai membangunkanku. Aku terlelap di atas kasurku dengan memeluk gitar. “Kangen ama Kyoko ya, sampe yang dipeluk segala gitar sambil bobo” tawanya.

“Ketiduran semalem abis main gitar, ga sadar deh” senyumku sambil berdiri dengan mendadak, menyimpan gitar di tempat semestinya, dan lalu beranjak ke ruang makan. Sarapan yang khas dari ibuku sudah tersedia dengan rapihnya di atas meja makan. Aku curiga, nanti kalau Kyoko sudah tinggal disini, akan ada adu masak antara ibuku dengan dirinya.

Aku mengambil makanan di piring, menatanya asal asalan, dan segera duduk di depan adikku. Ibuku tampaknya sudah selesai makannya, dia sedang mencuci piringnya dan peralatan masak yang tadi ia gunakan.

“Hari ini jadi ke Plataran kamu?” tanya Ibuku.
“Jadi ma”
“Ngelunasin buat kawinan nih ye…” sahut Ai sambil sarapan.
“Ho oh”

“Dekornya udah liat kan konsep yang aku sama Mbak Dian bikin?” senyum Ai dengan lucunya.
“Udah, bagus banget sih, terus aku jadi curiga jangan-jangan yang ngonsep lakinya si Dian” balasku.
“Ya dia banyak kasih masukan sih, kan ngobrol ama dekornya kan dianterin sama dia, bawa bayi abisnya”

“Kalo dia yang ngasih masukan sih, dia yang bikin, dah pasti bagus lah” makanan ibuku terasa sangat enak di mulutku.

“Kalau Kyoko dan rombongan Jepang sudah dapet hotel kan?” tanya Ibuku lagi.
“Sudah ma, mereka yang pesen sendiri, sekarang lewat internet kan gampang, mana lagi dari Jepang Cuma ada 5 orang udah termasuk Kyoko ama kakaknya”

“Simpel ya orang luar itu, kalo nikah yang deket-deket banget baru dateng” dengus Ai.
“Ya kita orang Indonesia kebanyakan saudara sih” jawabku asal sambil tetap makan.
“Bukan cuma saudara, keluarga” senyum ibuku yang sudah membereskan urusannya di bak cuci.

“Iya” jawabku pelan. Aku tadinya malas memang kalau banyak dari saudara ayahku yang datang, tapi tak apa, aku memang tak dekat dengan mereka, bukan bearti aku benci mereka. Lagipula, tamu tak terlalu banyak. Teman-teman kuliahku dan teman bermusik ku saja yang akan hadir. Sisanya keluarga, tidak sampai seratusan malah. Jadi wedding venuenya cari yang outdoor dan mungil. Untung ada beberapa tempat yang bisa disewa sebagian pojoknya saja, seperti tempat yang kusewa sekarang untuk pernikahanku.

“Abis lunasin Plataran mau kemana kamu nanti?” tanya Ibuku yang tampaknya sudah siap berangkat ke apotik.
“Makan siang, terus pulang, anak-anak mau rapat disini”
“Rapatin kawinan kamu?”
“Dan evaluasi Jepang kemaren Ma”

“Anin gimana sekarang kondisinya? Kok udah kemana-mana lagi”
“Kemaren malem keluar sih dari rumah sakit, kita gak akan latihan malam ini kok, cuma ngobrol doang, kuat lah kalo ngobrol….” jawabku.

“Oh gitu, yaudah, bentar lagi Mama jalan” senyumnya kepada aku dan Ai sekaligus.
“Aku juga bentar lagi ngantor”

“Selamat macet-macetan” senyumku ke adikku dengan jahilnya.
“Selamat” jawab Ai lemah sambil terus sarapan.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

Aku menyalakan motorku di parkiran tempat pernikahanku. Uang sudah kulunasi. Jadi beres, tinggal kawin. Dan kebetulan dekat dari Kemang, jadi aku akan meluncur kesana, mungkin ke tempatnya Zul. Mungkin ya.

Tapi aku tidak ada ide lain dan malas makan sendiri. Setidaknya disana ada Zul yang lalu lalang. Dan pikiranku terus mencari drummer yang cocok dengan working groupku, bisa siapa saja sih, dan aku ingin berbincang-bincang dengan beberapa rekan musisi Jazz. Tapi nanti, bicaranya nanti saja, sama Jacob juga, setelah kawinan selesai.

Motor vespaku kupacu dengan pelan, ke arah kemang dari Dharmawangsa. Konsep pernikahanku simple saja. Sehabis ijab kabul, aku dan Kyoko akan mingle dan makan bareng dengan para tamu. Ada panggung kecil yang akan diisi oleh beberapa teman musisi. Jacob Manuhutu dan pengiringnya. Kebetulan mereka tidak sedang manggung di hari sabtu itu di Java Jazz. Dan pengiringnya kebanyakan anak-anak baru yang masih kuliah. Tapi kuliah musik. Enak jaman sekarang, banyak pilihan sekolah musik yang enak baik di Pondok Pinang, sekolahnya Aksan Sjuman maupun di Institut Musik Daya.

Nanti juga siapapun dari teman-teman musisi yang mau ikut mengisi dipersilahkan, asal tidak mengganggu set list nya Jacob. Dan aku juga baru sadar kemarin-kemarin, kalau Java Jazz bertabrakan dengan tanggal pernikahanku di hari sabtu, jadi banyak teman musisi Jazz yang tidak bisa datang. Tapi tidak apa-apa, aku bisa mendatangi mereka besok minggu. Dan gratisan untungnya, ada free pass tambahan dari Jacob. Itu baru temen namanya, haha.

Ah, Jakarta siang hari, walau di Jakarta selatan, tetap saja debu dan macet menghalangi jalanku dari Dharmawangsa ke Kemang. Mudah-mudahan Kyoko bisa tahan dengan kondisi yang seperti ini tiap harinya. Tapi mungkin dia tidak akan terlalu sering keluar rumah, karena ingin jadi ibu rumah tangga katanya.

Ah, akhirnya sampai juga.

Motorku diparkir di halaman parkir yang sempit itu. Setelah mengamankannya, aku berjalan menenteng helm ke dalam café milik Zul itu.

dsc_8810.jpg

“Salam alaikum” sapaku asal.
“Eh elo” jawab Zul. Ada beberapa tamu yang sedang entah ngapain disana. Ya pasti makan atau minum kopi lah, ngapain lagi.

“Panas ya siang-siang gini” aku berbasa-basi tai dan segera duduk di salah satu kursi disana.
“Padahal kemaren ujan semaleman”
“Asal pas jangan kawinan gue aja deh ujan” aku meringis membayangkan kalau kawinanku disambangi hujan.
“Pake pawang ujan dong..”

“Kata adek gue sih udah bayar pawang ujan, tapi gimana, kan barengan ama Java Jazz, kali aja pawang ujan gue kalah”
“Buangnya ujannya ke rumahnya Bram aja semua” canda Zul.

Memang, tidak ada yang suka dengan Bram. Semua dari kami tidak ada yang tahan lama-lama dengar ocehannya, apalagi kalau sudah mulai nyampah di grup whatsapp.

“Gimana kemaren Jepang?” tanya Zul sambil memberiku menu.
“Yah, gitu lah”
“Anin dapet cewek ya katanya disana? Tapi kok pake sakit segala?”

“Panjang ceritanya” aku meringis.
“Yaudah ntar kalo gue free lo urang cerita, lo mau ngopi doang apa makan juga?”
“Makan, tolong pesenin KFC dong, kan deket tuh di deket pengkolan sana..” candaku.
“Kurang ajar, pilih aja apa yang ada di menu deh, gak usah pake sok mesen KFC” tawanya.

“Yaudah, minum gue kasih kopi apapun yang lo pengen kasih ke gue, terus akua juga”
“Akua amat, Air mineral kek biar politically correct”
“Makannya apa ya, makanan lo kurang enak sih disini”
“Gue kopinya yang enak, makanannya biasa aja, semua orang bilang gitu, tapi rame terus kok” kesalnya.

“Yaudah sih, ini aja deh” aku menunjuk ke salah satu menu pasta yang ada disana dengan asal.
“Siap, kebetulan itu mau gue kasih racun buat elo” tawanya sambil berlalu, mulai memproses pesananku.

Aku tertawa dalam hati, membuka jaketku dan mulai sibuk dengan handphone. Salah satunya konsolidasi dengan Kyoko, masalah pernikahan. Selain itu juga banyak yang musti diobrolkan dengan Dian. Ya masalah pernikahan. Entah kenapa Dian senang sekali menjadi seksi sibuk, padahal waktu itu aku tidak datang ke pernikahannya karena bentrok dengan jadwalku manggung. Ya habis, dia mendadak sekali sih menikahnya.

Dan, ada history percakapan dengan Arwen. Aku meliriknya, terakhir kali berkomunikasi dengannya waktu aku di Jepang. Sudah lama tak mengontaknya. Ah biarkan saja. Toh paling-paling nanti dia datang ke pernikahanku karena sudah kuundang.

Sambil menunggu makanan dan minumanku, aku melihat ke arah luar.

Eh tunggu, siapa itu?

Siapa yang turun dari Gojek? Sosok yang tak asing, dandanannya terlihat casual dengan t-shirt, sneakers dan sweaternya. Arwen, turun dari Gojek dan berjalan masuk ke dalam café ini. Sudah pasti dia melihatku saat dia masuk ke dalam.

“Eh, Mas Arya!! Haloo!!” kagetnya dengan senyumnya yang lebar, sambil mendekat. “Kosong gak?” tanyanya sambil menunjuk kursi di hadapanku.
“Kosong” senyumku.

Arwen dengan sumringah mendatangiku dan duduk di depanku.

“Udah lamaaa gak kontak!! Duh pengen dengerin Jepang kemaren, rame kan tur nya?”
“Rame sih, sori dah lama gak bales, biasa lah, ketelen sama mesej-mesej yang laen” senyumku.
“Lah, ngapain siang-siang dateng, ga on air?” Zul datang dan menaruh kopi dan air mineral di hadapanku.

“Kalo hari ini sih kebetulan lagi free, ini janjian ama temen, tapi kayaknya ini jalan kesininya kecepatan, tapi gapapa deh, ada orang Jepang yang bisa diajakin ngobrol sambil nunggu” tawanya dengan muka yang cerah.

“Emang mau kemana mana ya hari ini?” tanyaku.
“Iya sih, bosen di rumah” tawanya.
“Kamu masih tinggal sama ortu berarti ya?”
“Masih, haha, namanya juga anak gadis”

“Dan bukan orang rantau sih ya, jadi enak tinggal sama ortu, gue aja tinggal masih sama ortu” lanjutku.
“Tapi abis nikah pasti tinggal sendiri dong Mas..”

“Enggak sih, kasian nyokap, ntar ga ada yang nemenin, jadi menantu ikut disana ntar” senyumku.
“Ooo…” Arwen mengangguk, lantas berdiri sebentar, menggenggam menu dan mendatangi Zulham untuk memesan entah apa.

Baru dipikirin, anak ini mendadak datang, memang sarangnya disini sih. Ah, lagipula jangan berpikir masalah terlalu akrab sama perempuan. Kan ini beda dengan Kanaya, asal gak sering-sering kontak gak penting di sosmed aja, gak masalah kan harusnya.

Arwen kembali dan duduk lagi di depanku.

“So, cerita dong Jepaaaang” pintanya dengan muka penuh harap.
“Capek” jawabku.
“Iya capek mah pasti, gimana tur disana, terus ke mitaka lagi kan? terus yang Kyoto itu gimana, rame gak Kyoto?”

“Ah iya, Kyoto, asik sih suasana disana”
“Iya”
“Abis itu apa ya, yang pasti, Bassist gue jadian sama cewek disana” tawaku.

“Hah, kok bisa? Sama orang Jepang juga?” senyumnya mengembang.
“Bukan, sama cewek yang waktu itu ada di instastory gue yang pas di Kyoto” aku malas menceritakan kejadian aslinya, soalnya melibatkan hal-hal yang berbau seks dan ada ledakan Kyoko disana.

“Terus apa lagi?” tanyanya antusias.
“Karena jadwal padet, jalan-jalannya Cuma pas di Osaka dan Kyoto aja, di Tokyo kita semua udah mau mati sama jadwal yang padet, banyak sesi latihan kita batalin saking pengennya cuman tidur doang di penginapan”
“Tapi pacaran bisa kan?”

“Bisa lah, kan dari penginapan – Nakano, ke Mitaka itu Cuma sekitar 15 menit. Dia bisa bolak balik dan gue juga bisa bolak balik buat ketemuan atau makan bareng” Tidak, aku tidak akan bicara soal nginep-nginepan sama orang yang bisa dibilang baru kenal dan baru akrab denganku.
“Wah, duh, apalagi dong ceritanya?” dia terlihat antusias, bagai anak kecil di toko permen.

“Paling yang rame suasana Osaka, Dotonbori pas malem, malem, banyak hostess keliaran cari pelanggan” tawaku.
“Hostess? PSK?” matanya tampak penasaran.
“Engga, tapi hostess yang nemenin minum doang, pakaiannya sih ala-ala office lady seksi gitu” tawaku.

“Yang liat boleh pegang jangan ya” tawanya.
“Iya”

Zul datang, membawakan makananku dan minuman yang dipesan.

“Nih anak nanya-nanya gue mulu pas elo ke Jepang, emang obses ama Jepang sih anak ini ya” senyum Zul.
“Biarin Mas, pengen banget tau kesana” jawabnya. “Eh tapi ntar abis nikah jangan-jangan honeymoon ke Jepang ya?”

“Engga” jawabku pelan.
“Kok?”
“Istri pengen jadi WNI, jadi dia gak mau kemana-mana sebelum lima tahun, biar gampang jadi WNI nya, soalnya kalo ke luar negeri, harus nunggu proses jadi WNI nya tuh 10 taun” jelasku.

“Ooo… Tapi kok hebat, dia pengen jadi WNI, kayak atlet bola aja naturalisasi” senyum Arwen.
“Dia pengennya gitu, padahal sih jadi WN Jepang aja gapapa ya” tawaku.
“Iya sih, tapi mungkin dia sebegitu sayangnya ama Mas Arya, jadi pengen ngikut”
“Bisa jadi”

“BTW, masih inget obrolan soal on air di radio? Masih berlaku loh tawarannya, mungkin kapan-kapan bisa ngobrol sama produser gue soal itu…” lanjutnya.

“Hmm…. Boleh aja sih” aku menerawang ke arah luar.
“Asik, ntar diobrolin lagi ya”

“Iya, ntar gue juga bilang ke temen-temen di Hantaman” senyumku, menjawab keramahannya.
“Siap… Tapi cerita Jepangnya lagi dong Mas, penasaran soalnya” mukanya masih penuh harap, berharap aku akan melanjutkan ceritaku kepadanya.

“Oke”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Udah gue transfer semua ya fee kemaren manggung” Anin duduk dengan muka yang masih agak lemah di teras. Stefan merokok dengan tenangnya, sambil menyeruput kopi instan yang tadi ia seduh di dapur. Bagas? Tidak perlu ada disini. Dia selalu setuju dan ikut atas apapun keputusan kami soal Hantaman.

“Ah, besok Kyoko dateng dan kita jemput yak…. Rombongannya berapa orang sih?” tanya Anin kepadaku.
“Lima orang udah sama dia dan kakaknya”
“Compact”
“Coba semua kawinan di Indonesia bisa gitu ya” tawaku.

“Amin”

“Evaluasi soal manggung udah, bagi-bagi tour fee udah, ngobrolin jadwal Hantaman kedepan udah, bagi-bagi tugas pas Arya kawin udah, sekarang tinggal satu yang belom diomongin” senyum kecut Anin mewarnai malam itu. Dia dari tadi tidak merokok. Walau sudah keluar dari rumah sakit dan sudah pulih, tenggorokannya tidak enak katanya. Jadi dia baru akan merokok lagi ketika tenggorokannya sudah enakan. Padahal berhenti sekalian ya?

“Ngomongin orang ini nih…” aku menunjuk ke Stefan.
“Ah” Stefan mematikan rokoknya dan mulai duduk tegak.

“Jadi dalam kepala gue, lo kayaknya udah musti berhenti Sleeping Around Fan, udah gak sehat gara-gara kejadian di Jepang kemaren” tembak Anin, langsung pada tujuan.
“Hebat gak pake pembuka obrolannya” senyum Stefan kecut.
“Kalo menurut gue gapapa lo sleeping around, tapi tolong diperhalus, dan jauh-jauh dari LO, panitia, dan orang-orang yang ada hubungannya sama kerjaan” aku membuka suara.

“Itu juga boleh, yang penting sih di rem Fan, lo udah 31” lanjut Anin.
“Lo udah 32”

“Gak usah ngingetin umur gue berapa, yang penting lo rem aja itu hasrat lo yang menggebu-gebu itu” Anin mengusap-ngusap mukanya sendiri dengan tangannya.
“Ini biasa kan, dulu lo semua gak ada yang complain, kenapa sekarang baru?” tanyanya tajam.
“Karena dulu-dulu kita complain lo anggap becanda doang dan sekarang baru ada kejadian model Chiaki gitu” aku memperhatikan Anin bicara panjang lebar soal ini.

“Udah lah, di rem, gak bagus” sambung Anin.
“Mentang-mentang baru punya pacar”
“Bukan gitu, jangan defensif lah, kita semua saling tau problem kita masing-masing apa” lanjut Anin.

“Kecuali Bagas” potongku.
“Kecuali Bagas” Anin membeo.

“Lo bicara seakan-akan itu penyakit dan elo dokter” tawa Stefan garing.
“Bisa aja dianggap gitu sih, karena kebiasaan lo itu, lama-lama jadi kacau kayak kemaren Fan” aku melanjutkan omonganku. “Dan lo mesti rem, bukan distop ya, tapi di rem aja, sesuai sikon...”
“Kalo lo sendiri bisa ngerem gak Ya?” tanya Stefan balik.

“Ngerem apaan?”
“Ngerem sok ramah dan sok baik ama cewek”
“Diusahakan lah, dan itu bukan sok ramah dan sok baik, guenya yang suka ga nyadar kalo terlalu deket ama cewek”

“Terus ini foto apa?” Stefan memperlihatkan Instagram Arwen. Ada foto kami berdua tadi siang, di tempat Zul. Dengan caption yang begitu hangat dari Arwen, seakan-akan kami berdua janjian bertemu disana dan aku sharing soal Jepang panjang lebar dengan dia.
“Itu kan kebetulan ada disana gue” tawaku.

“Dianya tapi seneng amat lo ada disana”
“Karena gue cerita soal Jepang”

“Jangan ngelebar deh Fan, ini kan lagi ngomongin elo” potong Anin.
“Dan mesti diakuin yang punya problem sama perempuan kan bukan Cuma gue, tapi dia juga” tunjuk Stefan kepadaku.
“Tapi Arya gak sengaja, dan semuanya serba kebetulan” senyum Anin, sepertinya dia menahan kesal atas Stefan yang membatu.

“Nah, pemecahannya gimana tuh, anggap aja gue naturenya begini, aslinya begini, liat cewek cakep dan saat gue butuh, gue pasti ga bisa nahan untuk ngelakuin hal yang kalian sebut ngemodus itu” lanjut Stefan.
“Di rem aja. Sesimpel itu” jawabku.

“Di kontrol lah kontol lu, kan elo yang punya komando atas dia, bukan kebalikannya” tembak Anin.
“Kena banget sih itu” tawaku, mencoba mencairkan suasana yang suka agak tegang antara Stefan dan Anin kalau bicara hal-hal serius seperti ini.

“Ah, sial, Yaudah, kalian berdua satu dong advicenya, gue telen dulu, gue pikirin” Stefan tampak menyerah.
“Kalo gue bilang, lo gapapa sleeping around, karena lo single dan ga punya tanggungan, tapi direm, jangan seliar biasanya, jangan ngemodusin anak SMA sama Mahasiswi panitia acara pensi, LO, orang rekaman, radio, maupun wartawan.” ucapku panjang.

“Yaudah, gue ikut Arya aja” balas Anin.
“Lo mau gue ngerem atau mau bikin gue gak ngewe lagi sampe kapan tau entahlah?” bingung Stefan.

“Kenapa musti bingung, kan bisa aja itu ngemodusin orang di luar acara ngeband kita, misal kenal cewek di tempat minum, atau penonton abis manggung, atau cewek kenal dimana, itu kan masih banyak pilihan” respon Anin menjabarkan pilihan ladang Stefan untuk berburu.

“Bingung gue ama kalian, jadi gimana sih” Stefan menyalakan rokok lagi.
“Elo yang ngebingungin, kita advice, defensif, terus nyerahin ke kita advicenya gimana, pas kita kasih advice yang kayaknya win-win solution, elo defensif lagi, aneh” Anin menggaruk kepala botaknya.

“Kontol”
“Terus kalo udah kepepet gampang, tinggal nyebut Kontol….” kesal Anin.

“Fan, gini deh…. yang penting dari kejadian Chiaki kemaren itu, bahwa lo ga boleh lagi ngulang perbuatan yang bisa ngerugiin elo dan kita… Kita udah 30an. Cuma biar kita gak kenapa-napa aja sih kalo gue” jelasku panjang.
“Atau kalo lo rugi sendiri gapapa deh, jangan ajak kita-kita, kemaren di Jepang kan taruhannya kita, untung gak kejadian apa-apa lagi abis Chiaki” sambung Anin.

“Ah elo kan gara-gara gue juga bisa pacaran sama si Zee” potong Stefan.
“Gara-gara elo ga jagain kita berdua kan?”
“Bukan, aduh!” Stefan kaget saat aku menginjak sepatunya.

“Eh sori, gue pikir ada kecoa disana, taunya sepatu lo keinjek” aku menelan ludah dan menatap Stefan, agar dia merahasiakan erat-erat proses bersatunya Zee dan Anin, yang tiada lain adalah ekspresimen tolol Stefan yang memasukkan Anin mabuk ke kamarku yang ada Zee bugilnya.

Stefan mendadak diam.

Oke, lanjut.

“Jadi? Fan? Percuma kita berdua ngebacot kalo elo gak bisa ngerem, demi kita semua, dan gue gak bisa jagain lo lagi kayak dulu karena gue bakal nikah….” lanjutku.

“Yaudah… Mau bilang apa, toh kalo kalian rugi gue juga rugi pasti” senyumnya tipis, tampak tidak rela, namun dia sudah mengalah.

“Bener-bener dipikirin Fan, soalnya lo kan keluarga kita juga, jadi lo kenapa-napa, kita pasti kenapa-napa, dan lo utang banyak ama Bagas, karena dia yang selalu bantuin elo dari jaman dulu, berantem sama DIMH, nyariin elo di Osaka dan dia yang berhasil bikin Chiaki ngeper pas di Kyoto. Jadi… Kalo gue bilang, lo masih idup sekarang ya gara-gara Bagas” aku menarik nafas panjang setelah memuntahkan kalimat itu.

“Iya, gue bakal cari cara buat bales semua jasanya” senyumnya tipis tapi tampak tidak niat.
“Jangan bandel terus, orang seumuran lo biasanya udah dua anaknya” ledek Anin.

“Orang seumuran lo biasanya udah gak perawan Nin” balas Stefan.
“Taik”

“Elo, masih perawan? Ga ngapa-ngapain sama Zee di Jepang? Hebat” kagetku.
“Ah lo kok juga nanya-nanyain hal yang sama sih….”

“Itu yang kita semua pikirin pas lo sama Zee ada di kamar beduaan sampe pagi… pas lo sakit selama di Jepang Nin….” bingungku.

“Yah, ada waktunya lah buat itu” senyum Anin dengan muka sumringah nan cerah.
“Kok gue punya feeling ga lama lagi ada yang bakal nyusul elo kawin ya Ya?” kesal Stefan.

“Kecepetan gak sih?” jawabku sambil menatap Stefan dengan tatapan aneh.
“Ah, semua bakal pas ketika sudah waktunya kok” senyum Anin dengan cerah di mukanya yang masih terlihat lemas itu.

“Dan puntung rokok gue bakal pas kena ke muka lo ketika udah waktunya” Stefan menjentikkan jarinya dan puntung bekas dia merokok melenting dengan tepat ke muka Anin.

“BANGSAT!!”

Ah, Hantaman. Dasar keluarga aneh yang nyaman.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
MDT SEASON 1 - PART 88

--------------------------------------------

54168810.jpg

“Indonesia ni Youkoso” aku dan Anin membungkukkan kepala kami ke arah pamannya Kyoko dan dua orang temannya, yang tentunya baru pertama kali ini datang ke Indonesia dan baru pertama kali ini bertemu dengan diriku, calon suaminya Kyoko.

Kyoko tampaknya sudah banyak menjelaskan tentang diriku kepada mereka semua, jadi mereka tidak banyak bertanya kepadaku. Jadi setelah perkenalan, lebih banyak pertanyaan-pertanyaan casual soal kabar, kesehatan, cuaca, dan sedikit-sedikit soal jalannya pernikahan nanti.

Selanjutnya Anin yang akan mengambil alih dan mendampingi mereka, karena Bahasa Jepangnya sangatlah lancar. Aku? Sejak akhir tahun kemarin aku sudah malas les, malah sekarang tidak lanjut. Aku terlena oleh progress Kyoko yang begitu lancar bicara Bahasa Indonesia, sehingga Bahasa Jepangku masih sederhana seperti sekarang.

Entah kenapa Kyou-Kun tampak celingukan dan tidak fokus dalam proses perjalanan kami dari arrival hall ke tempat parkir. Tentu, ini pertama kalinya ia datang ke Indonesia, tetapi rasanya dia begitu penasaran dengan semua hal yang ada di sekitarnya, seperti antrian yang tidak rapih, pegawai kebersihan yang sloppy, dan kerumunan orang yang nongkrong-nongkrong gak jelas dimanapun.

“Interesting!” ucapnya dengan logat Jepang yang kental, mengomentari semua hal di sekitarnya. Kami semua berjalan menuju mobilku dan Anin.

Rombongan dibagi dua. Pamannya Kyoko dan teman-temannya di mobil Anin. Sedangkan Kyou-Kun dan Kyoko di mobil yang kubawa. Mobilnya Ai yang lagi-lagi kupinjam. Sehabis menikah nanti sepertinya aku perlu membeli mobil untuk mobilisasi keluargaku dan Kyoko nanti, untuk keperluan mengantar jemput anak dan juga untuk mengantar Kyoko ke dokter kandungan ketika sudah hamil serta urusan-urusan semacamnya.

Dan, tak jauh dari pintu gerbang bandara, di jalan menuju Jakarta, kemacetan ala Indonesia yang familiar sudah menghadang.

“Is it everyday? The Traffic?” tanya Kyou-Kun celingukan melihat kepungan mobil yang ada di sekitar kami.
“Of course, except in the middle of the night… or maybe during holidays, but again, it depends…” tawaku melihat muka penasarannya.

“Depends on what?”
“No one knows” tawaku. Sungguh, ekspresinya lebih kocak daripada Kyoko yang pertama kali dengan segala kekagetannya menghadapi macet Jakarta.

“Can you endure it?” rasanya dia sangat penasaran apakah kami, orang Indonesia, terutama Jakarta, tahan dengan kemacetan ini.

“Nii-san, taeru koto ga dekimasu… hontou ni…” Kyoko menjawabkan untukku. Kak, tentu dia bisa tahan, beneran. Kyoko menekankan jawabannya, karena dia sepertinya tidak yakin kalau kakaknya percaya. Aku masih ingat betapa bingung dan paniknya Kyoko waktu pertama kali ke Jakarta, di tengah kemacetan jalanan ini.

Sekarang ini kami sedang meluncur ke hotel yang sudah dipesan oleh Kyoko dan rombongannya di area Kemang, dekat dengan Dharmawangsa, tempat pernikahan kami. Nanti kami akan membawa rombongan untuk makan siang setelah urusan check in di hotel beres. Aku sendiri berencana akan membawa Kyou-Kun untuk melihat studio di rumahku.

Untuk persiapan pernikahannya sendiri, baru besok prosesi pindah agama Kyoko dilakukan. Sedangkan untuk gaun pengantin, Kyoko sudah mempersiapkannya dari Jepang jauh-jauh hari. Sisanya tinggal bawa badan saja untuk pernikahan nanti, karena dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah diurus ke kedutaan Jepang di Indonesia dan Kantor Urusan Agama.

“So, I can’t wait to see Aya’s studio” senyum Kyou-Kun di bangku belakang. Kyoko hanya mengukur jalan, memperhatikan setiap mobil yang ikut merayap bersama kami di dalam pekatnya jalanan Jakarta.
“You will be excited” tawaku.

“And really, the traffic not move, how come?” bingung Kyou-Kun, masih celingukan melihat traffic pagi Jakarta yang mengancam.
“It’s moving already” jawabku. Karena memang mobil bergerak merayap, tidak berhenti seperti yang dia bilang.
“But it is very slow!”
“Haha” tawaku lucu melihat calon kakak iparku yang sepertinya panik

Aku curiga di mobil belakang, percakapan yang sama terjadi. Karena mereka semua belum pernah ke Indonesia, kecuali Kyoko. Sesaat aku melirik ke arah Kyoko. Dia selain ke Indonesia, dia pernah ke Korea Selatan katanya. Ah, aku rasanya ingin juga keliling dunia bersama Kyoko

Tapi tentunya proses menjadi WNI akan tertunda jika ia pergi ke luar negeri. Jadi 10 tahun masa tunggunya, dan dia sudah bertekad untuk tidak kemana-mana selama 5 tahun agar cepat menjadi WNI. Padahal, rasanya pasti nyaman kemana-mana berdua dengan Kyoko, ke negara-negara yang dekat dulu saja, seperti Singapura, Thailan, maupun Australia. Dan terpaksa kutahan rasa ingin tamasya bersama itu untuk 5 tahun lamanya, demi Kyoko.

Mendadak hujan rintik turun, karena memang suasana sudah mendung di Jakarta semenjak subuh tadi. Memang cuaca semakin tidak menentu dari hari ke hari. Kadang hujan deras seharian, kadang panas seharian, pokoknya suka-suka yang punya alam lah.

“Ah it rain!! What will happen if it rain, with the kekkon?” tanyanya dalam bingung, lagi-lagi bingung. Iya, Kyou Kun memang orang yang tidak bisa diam. Pasti merepotkan untuknya, diam sabar di dalam kemacetan yang tak perlu seperti ini, apalagi ketika hujan turun.

“Don’t worry” jawabku pelan sambil melirik ke Kyoko. Kami sudah membayar pawang hujan, untuk membantu kami dalam proses resepsi nanti hari sabtu.

Tentunya aku sudah menjelaskan panjang lebar soal Pawang Hujan ke Kyoko, dan dia mengerti karena dia bisa Bahasa Indonesia. Walaupun, prosesnya lama, karena aku mau tidak mau mencoba menjabarkan secara sederhana dan membanding-bandingkan profesi pawang hujan dengan dukun-dukun atau orang pintar di negara-negara asia lainnya.

“It’s a garden party right?” tanyanya sambil melirik ke arahku dan Kyoko.
“Nii-san, daijobu, ame ga furanaiyo…” Kyoko menjawabkan untukku, katanya gak bakal hujan. Kyoko juga pasti bingung bagaimana caranya menjelaskan konsep pawang hujan ke kakaknya, karena dia susah untuk menelan penjelasanku tentang pawang hujan sewaktu aku menjelaskan lewat media sosial.

“Abunai… Garuden paruti to… Ame… Saigai.. da” Bahaya katanya kalo ujan. Iya sih, tapi kan pake pawang hujan.
“Ano…. Indonesia ni wa… ame no… Choukyoushi ga aru…”
“Ame no choukyoushi? Nanika?” bingung Kyou-Kun, tidak memahami terjemahan literal Pawang Hujan ke Bahasa Jepang.

“Handora no Ame mungkin Kyoko….” bisikku ke Kyoko.
“Handora? Ame? Naniyo…” Kyou-Kun makin bingung.

“So, In Indonesia… We often employ someone to halt the rain or move the rain spot” aku berusaha menjelaskan.
“How? Science, using drone? Or mini plane?” bingung Kyou-Kun. Mungkin dibayangannya, orang tersebut menggerakkan drone atau terbang dengan pesawat kecil dan menebarkan serbuk kimia entah apalah di langit.

“Emm… No. Spiritually” aku senyum dengan muka awkward, dan tanganku bergerak-gerak berusaha menjelaskan dengan gerakan orang berdoa pada umumnya.
“Witch doctor?” witch doctor artinya dukun.
“No, not like that… ummm…” nah kan, makin bingung.

“Is it expensive?”
“Not really… maybe about 10.000 Yen or 20.000 Yen per event, and it depends on the job. Only postponing the rain or moving the rain to another space….”

“Wow” bingungnya. “This guy, is it always 100 per cent success?” tanyanya dengan bahasa Inggris yang amburadul.
“Of course not…. The one we paid said that he cannot determine the result, only God can, and he was just trying to do his best to halt rain” jawabku mencoba membahasakan ulang yang dikatakan oleh Ai kepadaku soal pawang hujan yang ia dan Dian kontak.

“Fushigi na…..” Kyou-Kun hanya mengangkat tangannya, heran dengan penjelasanku soal si pawang hujan ini. Sementara Kyoko hanya tersenyum kecil, menahan tawanya sambil memandang ke langit gelap Jakarta, yang menyambut kedatangan mereka.

--------------------------------------------

Kami semua sudah makan siang, tentunya bersama-sama dengan semua rombongan Jepang dan banyak berbincang-bincang soal perkawinan nanti. Kyoko yang terlihat paling semangat bercerita, tentunya dengan bahasa Jepang kepada semuanya. Ditambah lagi rasa excited para tamu memakan makanan khas Indonesia. Anin memang memberi ide untuk membawa mereka ke tempat seperti tadi, restoran sunda yang macam makanannya banyak. Tentunya lucu melihat mereka amazed dengan makanan yang biasa kita lihat sehari-hari.

Sekarang Anin sedang membawa setengah rombongan yang lain berkeliling entah kemana. Sementara Kyou-Kun bertamu ke rumahku. Dan sudah pasti dengan si calon istri, Kyoko.

sebstu10.jpg

Dia sedang melihat-lihat studioku. Aku duduk di kursi kebesaranku, yang jadi tempat dudukku ketika aku sedang mengawal sesi rekaman orang, atau sedang melakukan proses mastering di depan komputer dan mixing console. Kyou-Kun tertambat di tumpukan piringan hitam dan cd koleksiku. Dia melihat-lihat semuanya, seakan-akan dia sedang berada di toko musik. Kyoko duduk manis di salah satu kursi, sambil melirikku sambil tersenyum, menertawakan dalam hati tingkah kakaknya.

Dan kakaknya belum tahu kejutan hari ini akan berlanjut, setelah macet dan koleksi piringan hitamku. Ya, ada tamu dari Bandung yang akan datang, walaupun pernikahan aku dan Kyoko masih empat hari lagi, ada tamu pernikahan yang katanya mau duluan datang, karena ada urusan di minggu ini di Jakarta. Entah urusan apa, apakah itu urusan musik, tapi yang pasti ketika aku memberitahukan bahwa kakaknya Kyoko ada disini, mereka dengan semangat meluncur ke rumahku.

“Ah, cool collection!” seru Kyou-Kun sambil mengacak-ngacak piringan hitamku. Aku menumpuknya sesuai dengan genre dan sub genre. Dia sedang melihat tumpukan Funk. Tentunya Funk, apalagi yang nyerempet-nyerempet Jazz, sangat disukai oleh calon kakak iparku. Kebanyakan koleksiku hasil berburu di internet, di forum-forum jual beli, tapi makin kesini aku semakin mengandalkan Kang Bimo, calon tamuku yang katanya sedang dalam perjalanan ke studio.

“Thanks” aku bangkit dan mengintip dari balik bahu Kyou-Kun. Dia sedang memegang piringan hitam Herbie Hancock, album Rockit. Album Jazz Funk klasik yang pada zamannya merupakan pionir musik elektronik. Aku meregangkan badan dan tersenyum geli melihat Kyou-Kun yang begitu semangat, tapi tanpa memintaku untuk memutarnya di turntable.

“In Indonesia can you find again something like this?” tanyanya dengan muka yang begitu ceria.
“Haha, in a moment you will meet a guy who owns a Vynil store” Kang Bimo tentunya.
“Really, your friend?”
“Yep. He’s on the way here, he’s also musician”

“Naisu… Maybe I will talk and maybe he own album that I want” senyumnya lebar, membayangkan dia akan semakin mudah mencari album-album yang dia inginkan dalam format piringan hitam.

“Sure, and I can help you with the shipping to Japan”
“Ah, cool!”

“Selamat pagi siang, sore dan malam~” terdengar nyanyian dari lagu 90an Indonesia yang mendadak terdengar dari pintu studioku.

Rupanya Kang Bimo yang masuk tanpa permisi dan menyapa kami semua. Dia datang dengan Kang Wira, berdua tidak dengan manajer mereka yaitu Kang Giting. Nama terakhir yang disebut katanya mau istirahat, setelah mereka meeting dari pagi untuk entah urusan apa, mereka tidak cerita.

“Eh, siang Kang” senyumku sambil menatap mereka berdua dengan muka senyum.
“Eh… Ada Kyoko…. Gimana, siap belajar bahasa sunda lagi?” tanya Kang Wira excited melihat Kyoko. Kyoko hanya tertawa kecil sambil menutup mulutnya.

“Kenalin guys, kakaknya Kyoko” aku mempersilahkan mereka berdua berkenalan dengan Kyou-Kun.
“Ah halo, Bimo” dia menyalami Kyou-Kun dengan sumringah.
“Just call me Kyou-Kun” iya, nama aslinya Kyoshiro Kaede, dan itu panggilannya yang malah lebih sering terdengar daripada nama aslinya sendiri.

Kang Bimo menunduk pelan, dan dibalas dengan tundukan kepala Kyou-Kun juga. Kang Wira ikut menunduk di samping Kang Bimo, tapi lantas kemudian dia langsung teralihkan fokusnya dengan kedatangan Kyoko disini.

“Kumaha kabarna, sae, kumaha di jalan ka Jakarta, macet teu kapalna, pegel? Bade kulem heula akang?” Kang Bimo langsung nyerocos dalam bahasa sunda dengan asalnya.
“Ah… Ano…”
“Haha, He’s always like that, always joking around….” Aku mengomentari tingkah Kang Bimo yang mendadak mengajak bicara dalam bahasa sunda.

“Ah, sori.. Kidding, kidding… So, ngaroko?” tanyanya sambil mengajaknya merokok di luar, menawarkan rokok kepada Kyou-Kun. Kyou-Kun yang masih kaget dengan bahasa sunda yang baru pertama kali didengarnya lantas mengangguk, mengiyakan, dan mengikuti langkah Kang Bimo keluar dari studio, merokok di teras.

“Ah, gimana Kang, habis dari mana?” tanyaku berbasa basi ke Kang Wira.
“Ah males ngobrol sama kamu, sama Kyoko aja, kamu mah gak cantik…” Kang Wira lantas menarik kursi dan duduk di sebelah Kyoko, langsung akrab seperti waktu di Bandung, ketika acara Tahun Baru kemarin.

Dan jadilah aku nganggur, tanpa teman bicara. Tapi lucu melihat suasana ini. Calon keluargaku berbicara begitu akrab dengan teman-teman lamaku, tanpa beban, tanpa batasan. Aku bisa melihat masa depan Kyoko yang cerah disini. Dia sudah bisa nyambung dengan teman-temanku dari awal bertemu, tidak ada rasa awkward, dan semuanya terlihat begitu natural.

Lucu rasanya mendengarkan Kang Wira tampak begitu ingin mengajari Kyoko bahasa sunda, atau Kang Bimo dan gaya sok akrab yang penuh candanya setiap berkenalan dengan orang baru. Aku lantas berjalan keluar studio, berusaha menghampiri Kang Bimo dan calon kakak iparku di teras. Bisa kudengar percakapan mereka dalam Bahasa Inggris, yang satu berlogat sunda, yang satu berlogat jepang, tapi belum membicarakan masalah piringan hitam.

“Wah, Aya, Indonesian cigarettes is very warm!” serunya ketika ia melihatku muncul di teras.
“Really?” tawaku dan aku lantas duduk di kursi yang dekat dengan mereka.
“Ini teh kakak ipar kamu nanyain soal besok Kyoko jadi muallaf, kenapa nanyanya ke saya yah?” bingung Kang Bimo. “Kan saya mah ga tau atuh persyaratan dan prosesnya, da saya mah KTP nya islam, jadi ga perlu pindah agama jadi islam”

“Penasaran kali, tadi aja di jalan nanyain pawang ujan”
“Oh, dijelasin atuh sama kamu?”
“Iya lah, bingung saya juga ngejelasin soal pawang ujan itu gimana pake bahasa inggris”

“Aya, tell me more about becoming a muslim, he said that muslim not drink alcohol, but he said he drink, I’m so confused” Kyou-Kun mencoba mempertanyakan hal-hal yang mungkin muncul di kepalanya.
“Yes, muslim also pray five times a day, it’s a compulsory” ya, itu kewajiban.

“And then how come I never see you pray before?” bingungnya. “Ano, pray five time, I seen it in internet, in ano… mosque, I never see you pray”
“Ah… hahahahaha” tawaku.

“Dia mah musrik kali kang” bisik Kang Bimo, cuek dalam bahasa Indonesia dan menyebabkan Kyou-Kun jadi bingung.
“Ah ahahahahaha… Kayak Kang Bimo rajin solat aja” ledekku.
“Tatona ngalangin air wudu masuk soalna euy” dia menunjuk tato di tangannya yang super banyak itu.

Sementara Kyou-Kun celingukan mendengarkan percakapan kami berdua dalam bahasa Indonesia.

“Umm… I pray, but..” aku berusaha menjelaskan kalau ibadahku bolong-bolong.
“But gak rajin” potong Kang Bimo lagi, selalu cuek dalam membuat siapapun di sekitarnya bingung.
“Maybe I’m not a good moslem” lanjutku.

“Ah, but Kyoko want to be a good moslem, you must be good also to give her example” ujar Kyou-Kun sambil menghembuskan asap rokok kretek dari mulutnya. Pasti Kyoko cerita banyak soal pindah agama dan keinginannya kepada kakaknya.
“Tah siah” tawa Kang Bimo sambil menatapku dengan muka yang begitu
“I’ll learn how to be a good one” senyumku.

“Now you will be her husband, you must lead her and always care for her” senyum Kyou-Kun sambil melipat tangannya, merokok kretek di teras. Rasanya seperti sedang menghadapi bapak mertua tiba-tiba.

“Euleuh siah….lanceukna ngomong kitu” Kang Bimo pun mendadak seperti orang usil yang mendadak suka muncul dimana mana di saat-saat yang tidak tepat. Wait. Dia memang selalu seperti itu.

“Well…. Trust me, Kyoko no koto o daijini suru…. Yakusoku…” aku berjanji, akan selalu menempatkan Kyoko menjadi yang terpenting dalam hidupku di depan kakaknya. Kyou-Kun lantas mengangguk dengan mata yang berbinar-binar.
“Haha, Shinjiteruyo!” serunya mengungkapkan rasa percayanya kepadaku dalam bahasa jepang.

“Nah, sekarang saya yang ga ngerti” Kang Bimo menggaruk-garuk kepalanya bingung.
“Biar deh, gantian situ yang ngerasain lieur” tawaku.

“Ah now, I want to ask about Vynil records” dia menepuk bahu Kang Bimo untuk kembali mengajaknya bicara berdua.
“Ah yes, sok, kumaha atuh vynil teh” senyum Kang Bimo lebar.

Aku hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala melihat dua orang yang beda kultur dan sama-sama unik ini saling bicara.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

Rabu, dan Adzan Dzuhur sudah berkumandang dengan kerasnya, menyisakan gema di dalam mesjid.

al-azh10.jpg

Aku tersenyum ke arah Kyoko yang sedang berbicara dengan imam masjid. Betapa menariknya tadi melihat calon istriku pindah agama. Proses Kyoko masuk ke Agama Islam telah selesai. Surat pernyataan dari imam mesjid sudah dipegangnya, dan bisa langsung dikirimkan ke KUA, sebagai acuan penghulu untuk menikahkan kami sabtu nanti, selain juga dokumen-dokumen resmi dari Jepang yang masuk duluan ke KUA.

Aku memperhatikannya dari jauh. Dia mengenakan kemeja lengan panjang putih dan celana krem, dengan kain yang menutupi sebagian kepalanya, pura-puranya sebagai kerudung.

Yang menemani kami hari ini tentunya selain rombongan Jepang adalah Anin, Adikku dan Ibuku. Ibuku dan Ai sengaja izin dari pekerjaan mereka masing-masing untuk menemani prosesi Kyoko mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan imam masjid dan para saksi. Salah satu saksinya ya aku, calon suaminya sendiri. Dan Kyoko akan resmi tercatat sebagai muslim di KITAS nya dan calon KTP nya nanti, setelah proses menjadi WNI selesai 5 tahun kedepan.

Kyoko telah selesai berbicara dengan imam masjid, menghampiri ibuku dan dia mendapatkan pelukan dari ibuku. Pemandangan yang hangat. Pemandangan yang akan berlangsung seumur hidupku, sampai nanti kami tua. Aku bisa merasakan betapa besarnya rasa sayang ibuku kepada perempuan yang telah kupilih sebagai pendamping hidupku.

“Akhirnya udah siap ya, buat ntar ijab kabul” bisik Ai, sambil memperhatikan ibuku dan Kyoko. Ai tampak lucu, menutupi sebagian rambut panjangnya dengan pashmina yang bercorak warna-warni.
“Iya, dan rasanya semua ini magical” balasku, tak bisa menahan senyum lebar yang terpasang secara otomatis di wajahku.

“Kalian juga rasanya magical buatku, kebayang gak sih, rasanya buatku keluarga kita makin lengkap dengan adanya Mbak Kyoko nanti”

Aku mengangguk, setuju dengan perkataan Ai.

“Dan sekarang rasanya ringan, gak ada yang ngeganjel lagi, semua hal-hal yang pernah kualamin, kalau endingnya begini aku juga ngerasa semua hal gak enak yang kualami jadi worth it…” perasaanku rasanya penuh. Bisa kuperhatikan Anin yang dengan sabar menjelaskan soal apapun yang ditanyakan pihak Kyoko ke dirinya, lalu ibuku yang tampak begitu bahagia melihat prosesi tadi, dan tampaknya kebahagiaan itu tidak akan pernah luntur.

Kebahagiaanku dan Kyoko pasti tidak akan pernah luntur.

Lingkungan yang sehat, dan rasanya perasaan diantara kami berdua tidak akan pernah luntur. Lihat betapa relanya ia banyak berkorban untuk kepentingan kami berdua. Mulai dari memutuskan untuk tinggal disini, menikah disini, pindah agama, bahkan rela menjadi WNI, yang pasti didorong atas keinginannya untuk membahagiakan keluarga kami.

Dan pengorbananku malah terasa sangat kecil dibandingkan dengan apa yang telah ia korbankan selama ini. Aku sekarang mungkin cuma bisa menjadi suami yang baik, walaupun itu pun bukan merupakan hal yang mudah. Dengan kesadaran sendiri, aku memang akan selalu berusaha menjaga perasaannya, dan berjanji, untuk bekerja makin giat lagi dan akan membiarkan diriku berkembang di duniaku dengan bebasnya.

Aku akan lebih giat lagi menjadikan dunia musik sebagai ladang untuk membahagiakan keluargaku. Aku tidak ingin hanya menjadi sekedar gitaris, produser musik maupun recording engineer. Aku ingin lebih dari itu lagi. Aku ingin mengembangkan diriku agar aku bisa membuat bangga keluarga baruku dan menjadikan pekerjaanku berarti buat Kyoko dan calon anak-anakku kelak.

Kehidupanku bersama dengan Kyoko baru akan dimulai, dan aku akan menjadikan keluarga ini tempat yang nyaman untuk Kyoko. Aku telah berjanji akan menjadikan Kyoko prioritas hidupku. Selamanya, tanpa cela.

“Aya” Kyoko menegurku, tersenyum dan menurunkan kain kerudungnya ke leher, lalu mengalungkannya seperti syal. Dia baru saja selesai bicara panjang lebar dengan ibuku, lantas menghampiriku dengan muka cerah yang bersemu merah.

“Hei” sapaku balik sambil tersenyum. Tidak ada kata-kata lagi yang terucap diantara kami berdua. Kami berdua tahu, hari ini pencapaian besar untuk Kyoko. Dia sudah memenuhi keinginannya untuk berpindah agama dimana nantinya proses pernikahan kami disini pasti akan lancar dan dapat dicatat oleh negara. Dan bukan Cuma itu. Ini salah satu langkahnya menunjukkan bahwa ia siap menjadi istri yang baik buatku, mengikuti jalan suaminya, dan tidak cuma menjadikan proses ini sebagai syarat nikah saja.

Perlahan lahan manusia-manusia berkumpul di dalam masjid ini untuk segera melaksanakan ibadah wajib siang ini. Dan kami pun akan melakukannya. Ini yang pertama untuk Kyoko.

Kami saling bertatapan. Tanpa kata-kata, hanya senyum. Sepertinya tidak ada yang perlu dibicarakan dari hari ini. Karena semuanya semakin menuju penyatuan kami. Penyatuan kami menuju keluarga. Sebuah keluarga antara Arya dan Kyoko.

Tidak, tidak perlu kata-kata untuk menggambarkan betapa sempurnanya semua proses dari perkenalan kami secara tidak sengaja, lalu kencan yang tidak disengaja, lalu janji kami untuk bersama, semua momen manis kami, juga semua momen yang tidak enak, yang mewarnai perjalanan kami sampai akhirnya tiba detik-detik terakhir menuju pernikahan kami, pernikahan Arya dan Kyoko.

Manusia semakin memenuhi tempat ibadah ini, dan gerakan mereka seakan menyuruh kami untuk memisahkan diri sejenak, dan membiarkan Kyoko melakukan ibadah shalat untuk pertama kalinya. Dia berjalan perlahan dengan teratur, menghampiri Ai dan Ibuku yang tampaknya akan menuntunnya. Matanya masih terpaku padaku, melihatku dengan muka ceria yang sama, yang kulihat saat pertama kali aku melihatnya tersenyum begitu lebar di Inokashira Park Zoo.

Dan mungkin pada saat itu juga, aku merasa orang ini akan jadi bagian hidupku. Ya, Kyoko akan jadi bagian hidupku, selamanya.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
MDT SEASON 1 - PART 89

--------------------------------------------

mark-a10.jpg

Buatku, tidak ada hari yang lebih membahagiakan daripada hari ini.

Buatku, tidak ada momen yang lebih indah daripada penyatuan dua orang yang memang sudah bersumpah untuk saling setia.

Buatku, senyumnya hari ini adalah senyum yang paling cantik. Senyum paling cantik dari orang paling cantik yang pernah hadir di dalam hidupku.

Rekaman adegan tadi tergambar kembali di kepalaku, mulai dari melihatnya berdiri dengan anggunnya di hadapanku, dalam balutan baju pengantin berwarna coklat muda. Baju pengantin yang sederhana tapi indah. Aku sendiri memakai jas yang berwarna senada. Dan semuanya tampak cocok dengan baiknya.

Memoriku terasa seperti bergerak kembali di kepalaku dalam gerakan slow motion. Mulai dari kedatanganku ke area akad nikah, lalu melihat Kyoko yang begitu cantik muncul dihadapanku. Juga ketika melihatnya berjalan dengan anggun ke arahku, dan kemudian duduk bersama di depan penghulu, yang juga bertindak sebagai wali nikahnya.

Dan pada saat aku mengucapkan ucapan sakral itu, waktu mendadak berhenti. Ingatanku kembali ke semua momen yang pernah kami alami bersama, senang maupun sedih, lantas semua kelembutan dan kesabaran Kyoko ter-flashback di kepalaku. Aku menganggapnya sebagai pertanda. Pertanda bahwa semua ini memang tepat, tanpa cela dan tanpa kesalahan. Kyoko adalah istri dan teman hidup yang sempurna.

Kini lengannya melingkari tanganku, dan kami sedang berjalan ke tengah kerumunan tamu yang memancarkan aura kebahagiaan yang sama besarnya dengan yang kami rasakan. Tangan satunya menggenggam buket bunga sederhana yang ia pegang sedari tadi.

Hatiku terasa bergetar saat musik yang dimainkan oleh Jacob Manuhutu dan band pengiringnya berhenti. Dan jantungku lantas ikut berhenti ketika Jacob membisikkan kalimat yang menurutku ajaib itu ke microphone.

“Para tamu undangan, kita sambut pasangan pengantin kita yang berbahagia, Achmad Ariadi Gunawan – Arya, dan istrinya, Kyoko Kaede”

--------------------------------------------

weddin10.jpg

Musik Jazz mengalun dengan indahnya mewarnai SUASANA. Aku duduk di sebuah kursi, dengan jas ku bertengger di punggung kursi. Kyoko duduk tak jauh dariku. Dia tampak sedang mengobrol dengan seru bersama teman-temannya yang memang khusus datang dari Jepang bersamanya.

Bisa kurasakan ada sosok yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku melirik ke samping. Stefan. Rambut panjangnya digerai dengan asal. Dia mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang coklat, dan dasi kupu-kupu yang berwarna coklat pula. Itu memang seragam yang dipakai oleh para personil Hantaman di pernikahanku, mirip dengan pakaian yang kukenakan, namun mereka tidak memakai jas dan suspender.

“Congrats” bisiknya.
“Lo udah kasih selamat tadi lho pas abis akad, kok ngasih selamat lagi haha….” senyumku sambil meneguk segelas air dingin.

“Well, gue udah ga bisa ngomong apa-apa lagi kan yang sifatnya nyetanin elo kalo lo udah kawin Ya… Jadi gue speechless hari ini..” senyumya. “Dan gue doain supaya lo ga jadi seperti orang yang gue bilang sebelom-sebelomnya”

“Amin”

“Itu Om Jaya-nya elo ya?” tanyanya sambil menunjuk ke salah satu meja. Dan Stefan menyalakan rokoknya.

“Iya, gue sempet khawatir dia kagak dateng, tapi akhirnya dateng juga” kami melihat ke arah Om Jaya Tejasukmana, guru gitar legendaris di kalangan musisi Jazz Jakarta, yang merupakan orang yang sangat berpengaruh pada karir musikku.

“Bagus, setanin dia supaya main di panggung Ya” bisik Stefan lagi.
“That’s my plan….”

“Eh setan, malah ngerokok di kawinan kakak gue” suara kesal Ai tiba-tiba terdengar dari belakang. Ai mengenakan strapless dress berwarna coklat muda, menyesuaikan dengan warna bajuku dan Kyoko.
“Lah, itu guru gitarnya kakak lo juga ngerokok” balas Stefan dengan nada ketus ke Ai.
“Dia kan udah sepuh, biarin lah…. Gak ada yang bisa ngelarang… Kalo elu tuh…”

“Lah ngatur-ngatur, yang kawinnya aja ga sewot, elunya rese…” potong Stefan.
“Kan gue adiknya yang kawin”

“Berantemmm mulu… Gue suruh nikah ntar kalian berdua lama-lama” tawaku melihat mereka berdua.

Dan sebelum sempat mereka membalas ledekanku, aku mendengar suara yang sangat familiar.

“Aya, here” panggil Kyoko mendadak, mengalihkan pandanganku dari adikku dan Stefan yang tampaknya siap untuk ronde ledek-ledekan diantara mereka berikutnya. Aku bangkit dari kursiku dan menghampiri Kyoko. Kami saling tersenyum. Musik dari panggung sudah selesai. Kyoko memanggilku karena kami memang harus naik ke panggung, untuk mengucapkan terimakasih kepada para tamu dan keluarga. Dan Kyoko harus melemparkan buket bunga ke arah para perempuan-perempuan single yang ada disini. Ritual standard pernikahan modern, tapi memang menarik untuk dijalankan.

Kyoko meraih tanganku dan dia lalu berdiri. Kami berjalan beriringan ke panggung, mengambil alih perhatian dari Jacob yang sudah sedari tadi menghibur kami semua. Tidak ada MC di pernikahan ini, dan semuanya berjalan natural tanpa Wedding Organizer yang biasanya bertindak sebagai time keeper. Hanya butuh dua orang yang repot malam ini, Dian dan Ai, dua orang perempuan hebat yang sangat berarti untukku.

“Assalamualaikum dan Selamat malam” bisikku dengan senyum yang penuh di atas panggung, dan para tamu serta keluarga menjawab salamku.

“Terimakasih semuanya sudah sempetin datang di pernikahan saya dan Kyoko yang sederhana ini” senyumku. “Saya dan Kyoko mau ngucapin terimakasih, buat semuanya, buat kalian…..” aku mendengarkan tepuk tangan yang hangat dari arah tamu.

Aku menatap ke arah ibuku yang duduk bersama keluarga besarku. “Mama, terimakasih selama ini sudah ngebesarin saya dan Ai jadi orang yang seperti sekarang ini, dan sekarang Arya udah berkeluarga, dengan lancar, dengan baik, mudah-mudahan kami berdua bisa ambil contoh kekuatan dan ketegaran dari Mama” Ah rasanya susah menahan haru. Aku menatap ibuku lama, dan dia sepertinya sangat memahami besarnya rasa terimakasihku padanya.

“Buat adik saya, Ai….” lanjutku setelah ibuku. Mereka berdua adalah orang-orang luar biasa yang memperkuat diriku selama ini. “Makasih sudah nemenin Mas-mu ini tumbuh sampe umur segini, dan kebahagiaan ini semua gak bakal lengkap tanpa kamu” Ai tertawa lebar menatapku dari jauh, merasakan kehangatan yang besar di resepsi pernikahan malam ini.

Mataku melihat hamparan tamu yang tidak banyak itu, tapi semuanya sungguh berarti untukku. Aku menarik nafas panjang. Lagi lagi nafas panjang, karena rasanya otakku benar-benar penuh dengan kata-kata.

“Keluarga besar dari keluarga papa dan mama… Terimakasih sudah bantu saya selama ini, tidak Cuma pernikahan ini aja, tapi semuanya, terutama sepupu-sepupu yang kompak, yang selalu bikin saya senyum kalau ingat kalian semua” aku menatap ke arah Dian dan suaminya, yang tampak serasi malam ini. Dan juga satu persatu muka om, tante, sepupu-sepupuku tampak muncul di mataku. Ya, ini saatnya juga membuktikan ke mereka kalau aku kedepannya tidak akan seperti ayahku.

“Kyou-Kun…. Nii..San… Doumo Arigato Gozaimashita…. Because of you, we’re together, because of you, all of this possible” senyumku ke arah pria Jepang itu, Kyoushiro Kaede, sang kakak ipar, yang tentunya tersenyum dan mengangkat gelasnya dari jauh untuk memberi selamat bagi kami, entah keberapa kalinya.

“Keluarga saya yang lain, Hantaman… Stefan, Anin dan Bagas – juga Sena” mereka berpencar, tapi aku dapat menangkap mereka semua dengan mataku. “Kalian bikin saya dewasa, kalian bikin saya jadi lebih hebat lagi, makasih, dan Anin, ditunggu kawinannya” ya, bisa ditebak, aku bicara seperti itu, dia langsung salah tingkah. Padahal Zee ada di Jepang sana. Aku juga memperhatikan senyuman Sena dan Stefan yang mengangkat gelas ke arahku. Entah gelas apa itu, di pernikahanku tidak ada minuman keras. Dan juga Bagas, yang tetap bermuka datar di samping istrinya yang sedang hamil.

“Temen-temen musisi, lingkungan saya tumbuh, makasih banyak….” bisa kulihat satu persatu wajah yang akrab, beberapa musisi Jazz, musisi Rock, dan pembuat ulah seperti Kang Bimo dan Kang Wira yang ditemani oleh Kang Giting.

“Temen-temen kuliah, halo…” aku menyapa ke arah kerumunan teman-teman kuliahku.
“Haloo” balas mereka dengan nada bahagia.
“Makasih buat kalian, dan gue tungguin undangannya Rendy ama Anggia” tunjukku ke mereka berdua yang disambut oleh tawa mereka.

“Juga Om Jaya, halo Om, sehat terus Om, nanti abis Kyoko lempar bunga naik panggung ya, saya penasaran banget pengen liat Om naik panggung sekaliiii aja dalam hidup saya, mudah-mudahan Om berkenan, dan makasih banget atas ilmunya dari jaman saya bocah sampe sekarang” Om Jaya tampak menekuk jidatnya dan tertawa tanpa suara, reaksinya atas todonganku untuk bermain di panggung. Beberapa orang tampak bertanya-tanya siapakah pria tua keturunan Tionghoa itu, terutama saudar-saudaraku.

“Dan terakhir, semuanya yang gak bisa saya sebut satu persatu, makasih…. Kalian semua teman dan keluarga yang hebat…” ucapan penutupku direspon oleh tepuk tangan lagi, tepuk tangan yang hangat dan memenuhi telingaku dengan nyamannya.

“Okei… Sekarang… Kyoko mau lempar… Bunga… Bagi perenpuan yang, singeru… ayo ke depan Panggung” bisik Kyoko di microphone dengan muka bersemu merah.
“Jangan malu-malu” bisikku sambil tertawa. Bisa kudengar suara-suara tamu mulai kasak-kusuk tampil ke depan. Ai maju duluan dengan tampang jumawa, mengangkat bahunya sambil menatap lucu ke arah aku dan Kyoko.

Lucu melihat sedikit demi sedikit para perempuan yang masih single maju ke depan panggung. Ada yang bersemangat, ada yang canggung, ada yang tarik-tarikan, saling bercanda. Ah, mereka serepot ini untuk sebuah ritual lempar buket bunga. Memang, menurut takhayul yang entah dari mana, siapapun yang bisa menangkapnya akan menikah selanjutnya. Kupikir mereka juga sudah kebelet ingin nikah, terutama yang maju dengan penuh semangat.

“Stefan gak maju?” tanyaku di microphone, yang disambut dengan tawa.
“Gue kan bukan cewek!” teriaknya.
“Gapapa maju aja, biar cepet kawin” tawa beberapa teman mengiringi reaksi Stefan yang menggeleng dan bahkan membakar rokok lagi.

Beberapa tamu undangan, sepupu dan teman kuliah yang belum menikah maju ke depan juga, menyusul mereka yang lebih bersemangat maju.

“Woi maju woi, biar cepet punya pacar” aku menyuruh Arwen yang ada di tengah-tengah tamu untuk maju. Dan dia tampaknya terpaksa maju dengan senyum lebarnya. Ya, dia datang, tidak dengan ditemani siapa-siapa, tidak membawa gandengan dan tidak juga dengan teman perempuan. Dia datang sendiri.

Setelah tampaknya tidak ada lagi yang maju. Kyoko lantas berbalik dan mengambil ancang-ancang. “Siap-siap” bisikku memberi aba-aba di microphone. Pemain drum langsung mengerti akan aba-aba itu dan lantas membuat drum roll sebagai penanda bahwa Kyoko sudah siap melempar buket bunga ke belakang.

Semua tamu diam, memperhatikan drum roll yang terus-terusan berbunyi.

Dan.

Suara simbal memekakkan telinga. Itu tanda Kyoko akan melempar. Dan sudah terjadi. Bisa kulihat betapa lucunya para perempuan yang berdandan itu saling berdesakan ingin mengambil bunga yang dilempar Kyoko. Aku melihat bunga itu turun perlahan ke kerumunan dan akhirnya sebuah tangan yang familiar meraih buket itu.

“Lah dia yang dapet!” suara Kang Bimo terdengar begitu nyaring malam itu.

“Hahaha” tawa Ai, sambil memeluk bunga itu dengan muka bahagianya.
“Lah adik saya sendiri” bisikku di microphone, yang disambut dengan tepuk tangan dan siulan tamu undangan. Muka Ai tampak begitu sumringah dengan keberhasilannya menangkap buket bunga.

“Berarti bakal ada kawinan lagi di keluarga ini dalam waktu dekat ya? Fan, siap-siap” ledekku dan Stefan terlihat mendengus kesal. Aku hanya tertawa saja tanpa suara melihat reaksi Stefan.

Kyoko melihat ke arahku dan mengangguk, aku juga mengangguk. Dia lantas turun sendiri dari panggung. Aku masih akan bicara sedikit.

“Jadi, lanjut yang tadi, permintaan saya untuk guru gitar saya tercinta….. Om Jaya, please maju Om, saya udah gak tahan pengen liat anda main” senyumku.

Om Jaya menggeleng-geleng dengan muka senyum kecutnya dan mematikan rokoknya di asbak. Dia lantas berjalan ke arah panggung dengan langkah tegapnya walaupun usianya sudah tua. Aku menyambutnya saat dia sudah naik ke atas panggung. Kami berdua bersalaman lantas berpelukan sejenak. Rasanya hangat, dan rasa penasaranku soal ilmunya yang selama ini hanya bisa kunikmati di ruang tamunya, kini sebentar lagi akan kudengarkan dan kunikmati dari sisi penonton.

Dia mendekati microphone setelah melepas pelukanku. Tangannya masih menggenggam bahuku, entah tanda ikut bahagia, ataukah tanda bangga.

“Jadi main apa saya?” tanyanya di microphone.
“Main gitar om” jawabku sambil senyum.
“Lagu apa maksudnya, kalo saya sih gak bisa main yang lain selain gitar” tawanya dan disambut oleh tawa-tawa kecil tamu yang medengar dialog di atas panggung itu.

“Terserah Om Jaya”
“Kok terserah saya, kan yang nyuruh kamu…” matanya memicing, seakan mencoba menjitakku dengan tatapannya.
“Lagu yang Om pikir cocok untuk hari ini aja, lagu yang kira-kira ada maknanya buat saya”
“Ah, ngerjain, oke lah…. Saya terima ajakan kamu untuk main sekarang…” jawab Om Jaya dengan muka setengah bercanda.

“Oke, ladies and gentlemen, Om Jaya Tejasukmana” Aku menyerahkan panggung ini ke Om Jaya. Tamu lantas bertepuk tangan lagi dan aku turun dari panggung, meninggalkan maestro tua itu sendiri di panggung.

Pemain gitar Jacob menerima aba-abaku dan menyerahkan gitar ke Om Jaya. Dengan agak enggan ia mengalungkan gitar itu dan lantas menarik kursi. Dia lantas duduk, dan beberapa orang membantunya menyetting amplifier dan menyesuaikan microphone agar dia mudah menjangkaunya.

Om Jaya lalu terlihat berbincang-bincang di panggung dengan Jacob. Tampaknya berembuk untuk penampilannya malam ini. Prosesnya cukup lama, mungkin sambil dia mendircet Jacob sedikit-sedikit, harus bagaimana nanti. Akhirnya Jacob mengangguk, dan menyingkir dari perbincangannya dengan Om Jaya, menggenggam kembali upright Bass nya, atau yang biasa dikenal sebagai Bass Betot oleh orang awam.

“Saya kayaknya dikerjain sama murid saya yang satu ini” ucapnya di microphone setelah proses rembuk selesai. “Jadi, saya ini gak pernah manggung-manggung, pernah dulu pas muda, tapi saya kan guru, ngapain manggung, ya kan?” para tamu tertawa kecil. “Ah, yasudah tapi, karena ini pernikahannya dia, dan mungkin saya sebentar lagi lewat, ya saya kabuli aja permintaannya….”

Dia mengambil nafas dalam dan melemaskan jari-jarinya.

Dan dia melanjutkan kalimatnya. “Saya sama Jacob aja ya mainnya, yang lainnya jangan ikut bunyi” senyumnya. “Dan saya mau cerita sedikit….”

“Saya mau cerita tentang pasangan hidup saya….. Istri saya, almarhum, yang meninggal sudah lama sekali…. Waktu saya umur berapa, 40an mungkin… Dan sekarang saya sudah agak lupa saya ulang tahun yang keberapa…. Haha..” dia menarik nafas panjang di sela-sela kalimatnya. Dia tampak menerawang jauh, mungkin mengingat-ngingat semua hal yang telah ia jalani sendirian selama ini.

“Saking lamanya dia pergi, sampai saya udah lupa rasanya sedih sendirian” tawanya kecil. “Saya lupa rasanya lonely malah”

“Dan saya gak pernah, kepikiran nikah lagi, cari istri… Nggak, Nggak pernah, walau anak-anak saya nyuruh, tapi saya gak pernah…” dia menatap cincin kawin yang masih melingkar di tangannya yang keriput.

“Bahkan saya gak pernah mau lepas cincin ini……”

Dia menarik nafas lagi, menaikkan volume gitar dan mulai bicara lagi.

“Alasannya mudah saja, seperti judul lagu ini – There Will Never Be Another You”


--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

guitar10.jpg

Aku kini sudah di rumah. Berbaring dengan nyamannya di atas kasurku, memperhatikan langit-langit. Di benakku masih terbayang alunan gitar Om Jaya. Alunan gitar yang luar biasa lembut, dan menyejukkan hati.

There will never be another you. Ya, there will never be another Kyoko.

Kyoko lantas masuk ke kamarku, dan dia mengunci pintu kamar. Dia sudah mengenakan baju tidurnya yang lucu, yang tampak seperti sebuah t-shirt besar yang menutupi tubuhnya. Dia baru saja menyelesaikan ritual mandi, membersihkan diri setelah acara pernikahan yang menguras tenaga ini.

Kyoko duduk di sampingku dan tersenyum.

“Hai, suami” sapanya.
“Hai, istri” sapaku balik.

“Akhirnya ya” aku tersenyum dan memeluknya dari samping.
“Husband to waifu” tawanya dan dia beringsut masuk ke dalam pelukanku.

Kami berdua lantas berciuman ringan, sambil melepas lelah.

“Jyadi, Aya mau ajak Kyoko ke mana?” tanyanya.
“Besok sih kita nonton JJF ya” jawabku.
“Maksud Kyoko, Hanimun nya”
“Oh, ke Jogja, aku dah beli tiket, tadi sih…. enak jaman sekarang bisa beli pake apps ya…”

“Hai, tahu kan Jogja, tapi Jogja kemana saja, Kyoko sempat lihat-lihat Jogja, Browsing, banyak yang omoshiro di Jogja….” senyumnya.
“Kita liat lah kemana arah angin bawa kita ke Jogja nanti” jawabku.

Ya, honeymoon yang tidak terlalu dipersiapkan, tapi dengan spontan aku lantas tadi mengajaknya ke Jogja beberapa hari untuk melepaskan penat setelah rangkaian acara pernikahan, menjauh dulu dari studio dan musik yang beberapa waktu belakangan benar-benar menyita waktu dan pikiranku.

“Hai.. tapi kemana yang benar-benar menarik di Jogja?” lanjut Kyoko.
“Semuanya menarik kalo perginya sama kamu” balasku.
“Uso”
“Uso janaiyo…” aku mencium pipinya dan mempermainkan hidungku untuk membuatnya geli.

“Ahaha… Aya….”
“Sini” aku memeluknya dengan erat, sambil menarik tangannya dan memaksanya untuk mengusap-ngusap rambutku.

“Ah, Obochan” Kyoko Cuma tersenyum dan mengabulkan permintaanku untuk manja-manjaan. Aku tidak menjawab dan hanyut kedalam irama tangannya mengacak-ngacak dan mempermainkan rambutku. Aku memeluknya erat, dan membiarkan mukaku menempel di dadanya.

Kyoko, akhirnya resmi menjadi istriku. Mimpi macam apa ini? Pertama kali bertemu, masih kuingat, dia yang kaget melihatku tidur di lantai café miliknya dan kakaknya. Lalu seperti ingin memukulku dengan sapu. Lalu kencan pertama yang tidak jelas itu, karena mesin kopi rusak. Entah bagaimana, angin takdir membawa kami sampai jadi pasangan kekasih. Dan masih bisa kuingat dengan jelas, ciuman lembut kami di Tokyo Skytree yang begitu hangat. Belum lagi air matanya yang menetes saat kami berpisah sementara.

Lalu Fuji Rock, dengan kejadian super konyol yang isinya Zee dan dia berebut aku. Juga insiden yang berujung ke false positive tes kehamilan itu. Lalu kedatangannya ke Indonesia, hal-hal yang tidak mengenakkan dengan Kanaya, juga lamaranku yang diterimanya dengan bahagia pada saat pergantian tahun di Bandung.

Dan terakhir, rangkaian tur Hantaman di Jepang dengan segala carut-marut dunia persilatannya. Momen-momen manis dan juga hal-hal menyakitkan terjadi disana. Dan sekarang, dia sudah jadi Istriku. Perjalanan yang gila, dan tidak mungkin hal ini bisa kulupakan, ini pengalaman hidup yang luar biasa indah dan menariknya.

“Aya” bisik Kyoko.
“Hmm?”
“Aishiteru” dia lantas mencium rambutku. Aku beringsut naik dan mencium erat bibirnya tanpa aba-aba. Kyoko hanya bisa menerima ciumanku dengan reaksi kaget yang lucu. Memang lucu, suami istri, tapi istrinya kaget saat suaminya main cium.

Aku tidak ingin melepaskan ciumanku. Di kamar yang temaram itu, aku lantas melumat bibir Kyoko dengan hangatnya. Lucunya, aku bisa merasakan Kyoko tersenyum. Tersenyum dalam proses saling mencium itu.

Tidak bisa rasanya melepas pelukan ini, melepas ciuman ini. Rasanya kami berdua jadi satu. Tidak hanya suami istri, tapi satu badan. Ah, ini yang benar-benar kami berdua tunggu. Bersatu tidak hanya tempat dan waktu saja, tapi juga jiwa. Aku melepaskan ciumanku dan menatap matanya di dalam cahaya yang minim. Matanya terlihat begitu terang.

“Aya to Kyoko” bisiknya.
“Aku dan kamu” balasku.

Kami berciuman kembali. Larut dan lupa oleh waktu. Lupa akan semua hal yang ada disekitar kami, karena memang beginilah rasanya dimabuk cinta. Tanganku mendadak turun, mencoba menyentuh bagian lain selain pinggang. Aku meraba pahanya yang lembut, dan bergeser ke lututnya. Aku menarik kakinya agar sedikit melingkari kakiku. Kyoko juga melakukan hal yang mirip. Tangannya merayap dan menarik perutku agar menempel ke perutnya.

“Nanika?” tawanya.
“Nande?” balasku.

“Sore… Nanda?” tawanya sambil menunjuk dengan matanya.
“Kore?” aku menekankan badanku ke Kyoko, memberikannya pertanda bahwa ada sesuatu yang bangun dibawah sana.

“Ah, Aya” dia lantas melumat bibirku lagi, dan satu tangannya dengan cepat menggenggam benda yang tadi terasa oleh badannya saat kami berdua berpelukan. Ya, penisku sudah berdiri tegak akibat bermesraan dengan istriku sekarang.

Setelah memposisikan diriku agar ia bisa leluasa mempermainkannya, aku tak tahan lagi untuk masuk ke dalam baju tidurnya. Tanganku masuk lewat bawah, dan meraba yang bisa kuraba, merayap mulai dari paha, ke pantat dan pinggangnya. Sudah berapa kali aku menyentuh badannya yang benar-benar mulus itu, dan tak sedikitpun ada rasa bosan maupun rasa jenuh. Kyoko memang selalu menarik untuk dijelajahi.

“Mmmnnn….” bisiknya pelan di tengah beradunya kedua bibir kami. Kami tak henti-hentinya saling melumat dan saling merasakan dengan bibir kami. Kami tak ingin ini berhenti. Ini terlalu nyaman dan nikmat untuk kami.

Perlahan, aku mencoba meraba lagi, menyingkap sedikit baju tidurnya, agar aku bisa meraba buah dadanya dari dalam bajunya. Tapi gagal, bentuk baju tidur itu menghalangi pergerakan tanganku, sehingga aku putus asa, tapi aku lantas melakukan hal lain. Tanganku merayap kebawah, mengenggam celana dalamnya, dan mencoba menariknya.

Dia tak melawan.

Dia tak memberikan perlawanan sedikitpun, pasrah saat aku menarik, melepas dan menjadikan celana dalam itu tidak berada di tempatnya lagi. Dia bahkan mencoba beringsut, agar aku bisa dengan lancar membukanya tanpa harus kami menghentikan ciuman kami dan melepas pelukan kami. Tak berapa lama, aku mulai meraba langsung ke bagian intimnya, tanpa harus memberitahunya dengan gerakan-gerakan yang tak perlu.

Lembab. Dia pun merespon dengan menggenggam erat penisku. Kami saling meraba, dan ciuman kami tidak dapat dilepaskan. Terlalu nikmat, terlalu menghanyutkan dan terlalu nyaman.

Jari telunjukku bermain, menyentuh bibir vaginanya, dengan penuh kelembutakn. Bisa kurasakan bagian tubuh di sekitarnya bereaksi dengan pelan, sedikit bergetar walau dia menahan getarannya agar dia bisa terus-terusan menikmati ciuman yang masih kami pertahankan. Dia tidak ingin sentuhanku yang lain menghentikan kemesraan kedua bibir kami.

Tapi di satu sisi, dia terus menggenggam dan mengocok pelan penisku yang masih diselimuti oleh celana tidurku. Padahal dia bisa dengan mudah memintaku melepasnya atau berinisiatif sendiri. Tapi itu tidak semudah itu, dia harus rela melepaskan ciuman denganku dulu.

Jadi dia hanya bisa menstimulasiku dengan hanya menggenggamnya dan menyentuhnya di luar celana.

Aku yang sekarang mundur.

“Haha” tawaku melihat senyumnya yang penuh arti. Aku sudah tidak bisa menunggu lagi, bahkan dengan tidak sabar, aku menurunkan celanaku dan membuangnya entah kemana. Kyoko juga sudah tidak bisa menunggu lagi. Dia menggenggam penisku dengan lembut dan mengocoknya pelan, sambil menatapku.

Aku bisa merasakan nafasnya memburu, dan kusentuh kembali bibir vaginanya yang tampaknya sudah siap. Dia sudah siap. Dia selalu siap untuk ini. Bahkan mungkin tidak perlu lagi banyak sentuhan yang tak perlu atau adegan-adegan biasanya. Dia sudah siap dan dia tersenyum.

Kudorong tubuhnya, agar tidur telentang dan aku menyingkap kedua pahanya. Aku bergerak, memposisikan diriku di depan kakinya yang terbuka. Dan dari sudut inilah dia terlihat begitu cantik. Pasrah, dan tanpa membuka baju tidurnya pun, dia sudah terlihat sangat seksi.

Penisku sudah berdiri tegak, melihat istriku membuka kedua kakinya, dengan badan masih tertutup oleh baju tidur yang menggemaskan itu, dan senyumnya yang mengundangku. Dan perlahan, aku menerima undangannya. Aku melepaskan t-shirtku sehingga aku telanjang bulat. Bisa kurasakan, aku semakin mendekat, dan ujung penisku menyentuh pintu masuk ke tubuhnya yang telah rela menerimaku.

“Ahhh…. Aya…” Kyoko merintih pelan, merasakan hangat dan nikmatnya saat tubuh kami berdua bersatu. Proses ciuman kami yang lama membuat segalanya menjadi mudah. Kakinya terbuka lebar, dan aku menggenggam pahanya, sambil menusukkan penisku perlahan, menikmati kehangatan ini.

Kyoko meringis, kenikmatan, menutup matanya, sambil tangannya meremas bantal yang jadi tempat bertumpu kepalanya. Dia berusaha untuk tidak bersuara malam ini. Aku terus menjadikan gerakanku sebagai sumber kenikmatannya. Kurasakan detak jantungnya, nafasnya, semua mengikuti gerakanku.

Hangat sekali rasanya. Kenikmatan menjalar perlahan, mematikan rasa di kepalaku, dan semua perhatianku hanya tertuju pada Kyoko. Kyoko yang sedang fokus merasakan kenikmatan yang diberikan oleh suaminya. Kenikmatan yang akan terus ia rasakan seumur hidupnya. Aku terus memompakan penisku dengan gerakan yang teratur, pelan, merasakan dinding vaginanya melumat penisku.

Dindingnya begitu terasa hangat dan lembut. Kulit pahanya terasa begitu halus, sehingga membuat tanganku secara tidak sadar merayap ke atas dan aku mencondongkan tubuhku. Aku menekankan penisku ke dalam vaginanya, saat aku merubah sedikit posisi tubuhku agar tanganku bisa meraih tubuhnya. Kyoko tersentak kaget sejenak, saat penisku makin menghunjam ke dalam lubang kewanitaannya.

Tanganku bertumpu di samping badannya, sambil tangan satunya mencoba meremas buah dadanya dari luar pakaiannya. Bibirku menyentuh lembut bibirnya, namu karena aku terlalu fokus bergerak dibawah sana, aku tak dapat melumatnya dengan maksimal. Aku merasakan nafas panasnya menyentuh mukaku. Aku bisa merasakan tubuhnya menggelinjang pelan merasakan kenikmatan. Perutnya kadang menegang, kadang ia juga menarik rambutku dengan kekuatan yang lemah, pertanda stimulus yang kuberikan benar-benar efektif.

Entah berapa lama aku menggerakkan batang penisku di dalam kehangatan tubuhnya. Rasanya benar-benar nyaman, dan bibir kami berdua kini bersentuhan. Tanganku sudah tidak mampu lagi untuk bertindak nakal, karena menjadi tumpuan tubuhku. Kyoko merintih tanpa suara, membisikkan padaku nafasnya.

Tidak, bukan Cuma nafas, tapi rasa nafsunya yang bergejolak di dalam tubuhnya.

Hawa panas yang keluar setiap ia bernafas menggambarkan betapa dia merasakan bahwa tubuhku memberikan kenikmatan yang luar biasa padanya.

“Aya…. “ bisiknya.
“Ya?”

Dia lantas mencoba memutar badannya, ingin mengambil alih kendali. Aku menahannya dan malah melumat bibirnya, memeluknya erat, merasakan buah dadanya yang lembut di pelukanku. Penisku bergerak dengan perlahan namun pasti, memberikan kenikmatan yang lebih pada dirinya.

Kyoko mencoba lagi untuk mengambil alih kendali, memposisikan badannya diatas. Tapi aku tidak menyerah. Aku suka dia detik ini. Aku suka caranya merespon rangsanganku. Aku suka pemberontakan-pemberontakan kecilnya yang lemah. Dan aku suka betapa nafasnya sudah semakin tidak beraturan, sudah tidak senada dengan gerakanku.

“Nggghhh” dia menggelinjang kecil, merasakan getaran yang terjadi di dalam vaginanya, menjalar membuat tubuhnya merasakan geli. Kepalanya terdongak, mulutnya terbuka lebar, meneriakkan kenikmatan dalam pelan. Matanya tertutup begitu rapat, dia melayang entah kemana sambil memelukku dengan dekapan yang lemah.

Akupun terlena, gerakanku makin kencang, perlahan namum pasti gerakannya semakin membuatnya merasakan nikmat.

Dan disitulah aku lengah. Kyoko mendadak bangkit, mencium hidungku dengan cepat, mengalihkan perhatianku. Dia lalu mendorong tubuhku dan aku kehilangan keseimbangan. Dia dengan cepat menaiki badanku yang ia paksa untuk tidur telentang. Aku menurut saja, aku sudah tidak bisa menahannya lagi.

Kyoko menduduki penisku, dan dia duduk dengan tegak. Pantatnya bergerak pelan, memutar dengan perlahan, memberikan rangsangan yang luar biasa pada batang penisku. Sudah tak tertahan lagi, rasanya, tapi Kyoko seperti ingin mempermainkanku. Dia lantas membuka baju tidurnya perlahan, sambil terus memutar pantatnya pelan.

Aku bisa melihat bentuk tubuhnya yang indah, buah dadanya yang bulat sempurna, menyempurnakan paras cantiknya yang benar-benar menggoda. Dia lalu meremas buah dadanya, seperti menggodaku, sambil terus mengocok penisku dengan gerakan tubuhnya.

“Nani o mimasuka?” tanyanya dengan nada mendesah.
“Kyoko….” bisikku menjawab. Dia menanyakan apakah yang aku lihat sekarang dengan mataku.
“Nani o mimasuka?”

“Kyoko… Watashi no… Ahh…” aku menggelinjang kegelian saat Kyoko menggerakkan pantatnya agar penisku menghunjam lebih dalam lagi.

Kyoko lantas menggetarkan badannya dengan luar biasa di atas tubuhku. Dia bergerak ke arahku. Dia lantas bertumpu dengan tangannya, untuk mendekatiku. Aku memeluk pinggangnya, membenamkan kepalaku di atas dadanya, merasakan badannya yang lembut, hangat dan luar biasa nikmat.

Kulit kami berdua bersentuhan, bersentuhan dengan lembutnya. Aku tak ingin membiarkannya bergerak sendiri. Aku juga menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya, dengan gerakan yang cepat dan dia juga melakukan tindakan yang sama. Kami saling menatap, dengan tatapan yang penuh nafsu dan kehangatan. Kami berdua bergetar, bersama, menyatukan badan kami. Kami berdua saling memberi kenikmatan yang menjalar, membuat kami mati rasa dan menjadi satu.

Ya, memang sebentar lagi terasa. Rasanya seperti sudah diujung tanduk. Aku tidak bisa lagi mengantisipasi ledakan yang akan terjadi. Kyoko pun melepaskannya, melepaskan semua penahan di dalam tubuhnya dan dia siap untuk merasakan kehangatan yang akan kuberikan kepadanya.

Pelan, namun pasti, perasaaan itu kurasakan. Penisku semakin mengeras, merasakan aliran darah terus menjalar kesana, membuatnya sangat tegang. Sementara badan Kyoko menjadi kaku, dia sepertinya berupaya agar tubuhnya tidak kaget saat orgasme itu tiba.

“Aya…” bisiknya dan rasanya dia menggigit bibirnya sendiri. “Ahh…” Badannya mendadak menjadi tegang, dan gerakannya menjadi tidak beraturan. Dia tidak bisa menahan dan mengatur ritmenya lagi.

“Aahh… Ahhh…” rintihnya, tak tertahan lagi. Badannya mendadak tersentak, dia berteriak tanpa suara. Berteriak dalam kenikmatan.
“Kyoko…. Aahhh…” aku tak bisa menahannya lagi. Kurasakan benda hangat keluar dari ujung penisku, di dalam lubang kewanitaan Kyoko.

Terjadilah. Cairan hangat itu meledak di dalam tubuh Kyoko. Kyoko pasti merasakan kenikmatan yang luar biasa karena dia terlihat terkejut dan tersentak. Matanya tertutup, nafasnya memburu, dan dia terlihat terpaku, karena ini pertama kali dalam hidupnya dia merasakannya. Merasakan seorang lelaki yang mencintainya melepaskan kehangatan di dalam dirinya. Kehangatan yang membutakan indra-indranya sejenak, ditengah puncak kenikmatannya.

Dia terbius, tak sadar dan tenggelam dalam kenikmatan.

“Aaaahhh………..” rintih Kyoko tak karuan, saat dia menegang, sambil merasakan spermaku mengalir di dalam tubuhnya. Pasti dia merasakan rasa hangat yang kini juga kurasakan. Bisa kurasakan kelembaban dinding vaginanya sekarang. Dia menggelinjang perlahan-lahan, seiring dengan rasa lemas yang kudapat.

Kami bersatu. Aku berada di dalam Kyoko. Dan rasanya begitu luar biasa. Kyoko sekarang tergolek lemas, sambil sedikit demi sedikit bergetar, bergetar merasakan hangatnya spermaku di dalam tubuhnya. Kami saling menatap dan saling berciuman dengan lemahnya, tanpa kuasa lagi melepas penisku dari dalam tubuhnya. Kami saling berpelukan, berciuman, dan saling merasakan bahwa kenikmatan telah datang. Kami merasakannya bersama, dan kini tidak ada penghalang lagi diantara diriku dan dirinya.

Tidak, kami tidak ingin melepaskan pelukan kami. Kami membiarkan badan kami tetap bersatu, dan merasakan bahwa diri kami tidak ingin berpisah selamanya. Kami saling menatap. Saling merasakan bahwa kami diciptakan untuk satu sama lain.

Kami diciptakan untuk bersama. Kyoko diciptakan untuk tinggal bersamaku. Aku diciptakan untuk tinggal bersama Kyoko. Kami berdua diciptakan untuk selalu berdua seumur hidup. Dan kami menyadari, bahwa malam ini kami telah membuktikan bahwa kami tidak bisa dipisahkan lagi seumur hidup.

Kyoko lantas tersenyum lemah padaku. Dia lalu membisikkan kata-kata yang tak akan pernah kulupa selama hidupku.

“Aya… itsumademo… Isshoni itai…”
I want to be with you forever…

Tentunya aku menginginkan hal yang sama. Dan bisa kurasakan bahwa hidup ini akan semakin ringan bersamanya. Dan kami berdua terbenam, malam itu, tenggelam bersama. Menjadi satu bersama.

“Pasti, kita akan berdua terus, gak akan pisah lagi…. Sampai tua, sampai mati” bisikku.
“Sampai mati”
“Sampai mati”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
MDT SEASON 1 - PART 90 | EPILOG

--------------------------------------------

17194610.jpg

Pesawat membawa kami terbang, terbang ke Jogjakarta. Kyoko tampak excited, menatap hamparan lautan awan yang dibelah oleh pesawat terbang. Aku mendengarkan musik lewat handphoneku, mendengarkan entah apalah, aku acak saja playlistnya. Mulai dari lagu pop, lagu metal, lagu jazz, lagu apapun, semuanya campur-campur.

Kehidupan di pernikahan ini memang menarik. Kami berkomunikasi dengan sangat lancar, dan beberapa hari ini rasanya magical. Magical karena ketika aku bangun dari tidurku, muka yang pertama kulihat adalah Kyoko.

Aku masih ingat, sesaat sebelum aku jalan ke Jogjakarta, Anin berisik lagi di grup whatsapp Hantaman, mempertanyakan proses perpindahan warga negara. Aku menjelaskan dengan sabar, tapi aku tahu ini arahnya kemana. Dia pasti merencanakan hubungan yang serius bersama Zee. Terkesan buru-buru? Tidak juga. Umurnya sudah 32 tahun. Dan Zee ternyata 28 tahun umurnya. Jadi rentang usia dan kematangan usia mereka sudah tepat. Hanya yang jadi masalah, si perempuan tahu tidak, kalau Anin sedang begitu lebaynya masalah pernikahan akhir-akhir ini?

Sementara Stefan, si setan, tampaknya kembali lagi ke habitat lamanya. Yakni kelamin perempuan. Dengan sombong dia mempertunjukkan foto perempuan entah siapa yang sedang tertidur di sebelahnya kepadaku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengirimkan emoticon muka datar sebagai balasan atas pesannya. Dia pasti merayakan kebebasannya setelah tur selesai.

Tentu tingkahnya yang kembali lagi seperti itu membuat Ai makin bersungut-sungut. Kata Stefan, sekarang sedang agak susah bicara dengan adikku. Katanya jadi super judes. Ya, pasti super judes, aku saja yang lelaki kadang risih mendengar cerita petualangan seks Stefan yang sepertinya penuh trik dan tipuan.

Ah, biarlah, itu hidup mereka. Asal tidak mengganggu tidak apa-apa.

Yang sekarang penting untuk dipikirkan adalah masalah album pribadi. Pasti sulit mengerjakannya, karena aku sudah merasakan sulitnya menghandle musisi yang mau rekaman tapi tidak tahu mau merekam apa. Dan aku ada di dalam posisi itu sekarang. Menyebalkan memang.

Aku sudah berbicara panjang lebar ketika Java Jazz kemarin dengan teman-teman musisiku. Tapi itu akan kuceritakan lain kali, karena tampaknya mataku agak berat.

Ya, entah kenapa semalam aku kurang tidur. Excited rasanya akan travelling dengan Kyoko. Ada beberapa spot di Jogjakarta yang nanti ingin kami datangi.

“Ah Aya” tegur Kyoko, dan aku membuka mataku lagi perlahan, serta membuka headset.
“Ya?”
“Ini, lupa bilang Aya, dapat salam dari Arwen” senyumnya.

“Hmm? Kok kalian bisa kontak-kontakan, jangan nyalain hape dong pas terbang” tegurku setengah ngantuk.
“Bukan Aya, tadi ketika di taxi. Tapi Kyoko lupa kasih tahu Aya karau ada salam” lanjutnya.
“Emang dia bilang apa, dan kok dia bisa ngechat kamu?”

“Arwen minta kontak Kyoko sewaktu di Java Jazz dan dia kasih rekomendasi tenpat bagus di Jogja, to… Salam untuk Mas Aya, sehat terus dan cepat dapat anak, katanya” tawa Kyoko ceria.

“Oh, yaudah, bikin yuk” balasku asal sambil ingin kembali tidur dan mulai menutup mataku kembali.
“Ahahaha…. Aya kenapa tidur lagi?” bingung Kyoko.
“Ngantuk, ntar kalo udah mau sampe bangunin deh yah……”

“Hai…. okei” jawab Kyoko sambil menatapku dengan manisnya.

Ya, aku sudah menutup mataku, dan dengan sadar aku telah membuka lembaran baru setelah menikah.

Awal baru, cerita baru dan petualangan baru.

--------------------------------------------

MATAHARI DARI TIMUR - SEASON 1 – TAMAT
 
Terakhir diubah:
“Terus ini foto apa?” Stefan memperlihatkan Instagram ..... Ada foto kami berdua tadi siang, di tempat Zul. Dengan caption yang begitu hangat dari ....., seakan-akan kami berdua janjian bertemu disana dan aku sharing soal Jepang panjang lebar dengan dia.
Om.... ini lupa di edit
 
Terakhir diubah:
Om @racebannon ada blm lolos edit tuh diatas, di sebut dua kali sama mas epan..
pas ngobrol be tiga..haha..
Om langsung sambung yang ke 2 y..
Dulu gantung bgt..keburu ilang..
 
masih tuh, nyebut arwen mirip zee..
ada komen suhu Race yg bilang mereka gak mirip sama sekali.
just in case kalo ini bagian penting..

btw, makasih banyak sudah menamatkan kisah luar biasa ini, suhu..
tetap berkarya dan semangat :beer:
 
masih memantau dulu, kalau udah sampe di fase yang dulu pernah ada dan mandek
baru ijin menyelam baca dari page satu hehe

semangat suhu RB :beer
 
“Pasti, kita akan berdua terus, gak akan pisah lagi…. Sampai tua, sampai mati” bisikku.
“Sampai mati”
“Sampai mati”
Married Couple can still be together afterlife. May not stop because of death. As a Moslem I believe so..

Selesai juga Akhirnya. Bagus Banget.. Nggak pernah bosen nungguin update.
Proses Nikahnya pun juga diceritain.. mantab :beer:

Nah, karena sudah TAMAT season 1, sekarang waktunya untuk best couple..
Karakter yang ane suka di MDT.. Kyoko pastinya.
Sayangnya Kyoko bukan pemeran utama. Tidak ada PoV nya seperti di Penanti.

Untuk Karakter Utama ane tetep lebih suka "Aku". Karena "Aku" bisa menolak Anggia di saat yang tidak seharusnya, dan konflik ceritanya juga menurut ane lebih dalem dan lebih fokus.

Ga bisa pilih Arya-Kyoko karena Arya-nya. Nggak suka Arya karena ngumpanin adek sendiri buat penjahat kelamin. :ogah:
Jadi, so far Best Couple-nya versi ane adalah "Aku" dan Dian. :Peace:
Terima Kasih suhu RB untuk cerita-cerita di "Bastardverse"-nya :hore:
 
Terakhir diubah:
“Di kontrol lah kontol lu, kan elo yang punya komando atas dia, bukan kebalikannya”
Paling favorit nih quote nya anin :D

Selamat untuk tamat yg ke2 MDT 1, semoga lanjut MDT 2 dgn alur yg berbeda

Cheeers :beer:
 
Bimabet
Terima kasih Om @racebannon, telah berbagi cerita dengan kami sampai tamat. :ampun:

Tetap semangat Om dalam bekerja dan berkarya. :top:

Sukses selalu menyertaimu dan selalu sehat.

Ditunggu karya-karyamu selanjutnya. :ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd