Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
MDT SEASON 1 - PART 83

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3

Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

image13.jpg

“Nin?” tanyaku di backstage.
“Hmm?” jawabnya lemah. Dia bersandar begitu lemahnya di kursi.
“Lo kuat gak?” aku melengkapi pertanyaanku.
“Kuat”

“Yakin, kok gue gak yakin ya?”

“Yakin” senyumnya dengan muka pucat. Dia baru saja menyelesaikan sesi batuk yang panjang. Kutebak pasti hidungnya mampet juga. Sepertinya baru besok dia akan mulai keluar ingus. Dan benar, sekarang belum reda demamnya. Aku berdiri dan menghampiri Anin, menyentuh lehernya. Panas. Kalau tanganku air mungkin sudah mendidih.

“Tadi mandi lo air panas?”
“Iya” jawabnya lemah.
“Udah minum obat kan?”
“Udah, siang udah, malem belum, abis belom makan malem….” jawabnya dengan mata sayu.

Mendadak Zee datang, dengan nafas berat terburu-buru. Dia membawa sebungkus besar plastik minimarket. Pasti makanan. Dia duduk di sebelah Anin, dan dia dengan muka penuh rasa khawatir membuka plastiknya.

“I told you, jangan merokok” Zee tampak gusar melihat puntung rokok di asbak.
“Hmm…” jawab Anin lemah.
“Jangan merokok, please”
“Abisan bingung mau ngapain nunggu di backstage…”
“Kamu sakit, makan dahulu ini” Zee memberikan sekotak makanan ke tangan Anin. Anin dengan malas menerimanya, dan langsung melahapnya tanpa berkata apa-apa lagi.

“Ini air minum, ini obat untuk malam hari, sekarang saya foto-foto stage kosong dulu… Jangan lupa habiskan makanannya” Zee lalu bangkit lagi, menghampiri tasnya yang tergeletak di kursi, mengambil kameranya dan langsung berlalu ke stage. Sambil makan, Anin terlihat senyum-senyum sendiri.

“Kenapa lo, muka lo kok aneh gitu?” tanyaku melihatnya aneh.
“Blessing in disguise” senyumnya tolol.
“Zee?”
“Ho oh” senyumnya lagi. Itu senyum tertolol yang pernah kulihat seumur hidupku.

“Oit” Stefan dan Bagas masuk, mereka baru saja dari toilet.
“Oit” jawabku.

“Kuat gak lo?” tanya Stefan sambil melihat Anin yang makan. Makannya terlihat enggan tapi mau. Enggan tapi mau. Kalimat apa itu?
“Kuat” jawab Anin sambil makan.
“Kalo tumbang di panggung nanti gimana?” tanya Stefan lagi.

“Gue cuma flu, bukan parkinson” jawab Anin.
“Lo kira elo tuh Muhammad Ali pake parkinson segala” kesal Stefan.
“Michael J Fox juga parkinson…” aku iseng bersuara, sambil melepas jaket tipisku.

“Michael J Fox tu yang mana sih?” bingung Stefan.
“Itu, apa… Duh kok gue lupa nama filmnya” sambung Anin sambil makan, dengan lemahnya.
“Back to the Future” jawabku, sambil berkaca di cermin.

“Ngapain ngaca, lo udah ganteng kok” ledek Stefan.
“Apaan sih tai, Cuma liat muka di cermin doang”

Stefan hanya tertawa, dan dia menyalakan rokoknya. Suasana di luar sudah ramai, walau kami baru akan naik ke panggung 30 menit lagi.

“Gue udah makan dan udah minum obat” sahut Anin.
“Eh terus emang kenapa?” tanya Stefan.
“Gue mau tidur dulu ya, kalo ntar pas mau main bangunin” lanjutnya. Dia lantas bergerak ke sofa, dan langsung begitu saja berbaring disana. Kami melihatnya dengan perasaan khawatir.

“Gimana tuh?” bisik Stefan kepadaku sambil menatap Anin yang berusaha menyamankan dirinya di sofa belel itu.
“Ga tau… sumpah. Dan yang pasti di detik ini kita ga punya pilihan lain lagi selain izinin dia main…. Ntar kalo mendadak dia tumbang, gue udah mikir banyak hal sih”
“Apaan aja emang?”

“Ada tiga, pertama kita mundur dari panggung karena doi tumbang, kedua gue terpaksa mainin bass, tapi lo harus main gitar, ketiga, gue tetep main gitar, tapi ntar di equalizer gue bakal tebelin suaranya, naikin frekuensi rendahnya biar suaranya tebel” jawabku.
“Tebel kayak gimana tapi?”
“Kayak Royal Blood atau White Stripes gitu lah”
“Jaminan bakal enak gak?”

“Gak jaminan, bahkan mungkin jadi ga enak, yang bikin kita enak tuh salah satunya disiplinnya dia ama bagas, sama lick-lick bassnya… Lo tau sendiri kan kita kalo udah manggung, vokalnya liar, gitarnya liar?” aku menatap kosong ke arah Stefan. Stefan Cuma garuk-garuk kepala.
“Atau kita bikin jadi akustikan?” tanya Stefan.
“Bisa…”

“Tapi garing, misal suhu penonton udah naik, kita kasih model akustikan gitu malah jadi garing pasti…. slow ntar suasananya” bingung Stefan.
“Si Sena suruh main bass aja” ideku tolol.
“Ah dia mah….”
“Asal bunyi aja, kan dia apal lagu-lagu kita bukan?”
“Ya, jangan tolol deh lo”
“Kalo elo gak tolol kemaren malem mungkin gak jadi kayak gini” bisikku bersungut-sungut.

“Diem lu” bisiknya balik, berusaha agar omongan tadi tidak didengar Anin maupun Bagas.
“Ah, tau gini gue panggil aja Kyou-Kun ya? Biar dia baca partitur juga yang penting ada pemain bass cadangan” pusingku.

“Guys, gimana kondisi si Anin?” mendadak Ilham masuk ke dalam.
“Tuh” aku menunjuk ke Anin.
“Kok ngorok gitu?” bingung Ilham.
“Pengaruh obat kali?” tanyaku balik.
“Kan baru banget kata Zee dia minum obatnya?”

“Cepet kali efek sampingnya” celetuk Stefan, dia menyalakan rokoknya lagi.
“Kalian gimana rencananya kalo dia tumbang di panggung?” tanya Ilham.
“Itu yang kita bingungin dari tadi nyet” jawab Stefan.

“Jalanin dulu aja deh” aku menyerah dengan keadaan.
“Kayak orang baru pacaran” ledek Stefan.

Aku mengangkat bahuku dan tersenyum dengan anehnya. Oh iya, ada satu lagi yang kupikirkan, kalau Anin tumbang di panggung, siapa yang kuat mengangkatnya? Mudah-mudahan kami dan dengan bantuan entah siapa mampu mengangkatnya.

“Terus gimana, udah ketemu gak kalian pemecahan kalo dia tumbang di panggung?” Ilham kembali bertanya.
“Baru juga tadi lo nanya pertanyaan yang sama kan, udah s2 di Jepang tetep aja ya kalo bego mah bego” kesal Stefan, yang tampak sedang berpikir keras.

“Menurut gue, ada satu solusi yang paling enak kalo sampe kejadian dia tumbang” aku bersuara, sambil menatap Bagas, Stefan dan Ilham bergantian.
“Apa tuh?” tanya Stefan dan Ilham nyaris berbarengan.
“Kita cancel show nya”

“Kenapa itu jadi yang paling enak?” tanya Stefan.
“Sekalian, soalnya kita butuh istirahat, ga cuma Anin yang ancur banget, fisik iya, mental iya, kalo mental mah jangan ditanya lah, dan banyak yang belom kita bahas berempat karena gak sempet dan takut ngerusak mood tur…. Terutama soal elo Fan, dan soal semuanya” aku menjabarkan isi kepalaku. “Kalau kita cancel show nya habis dia tumbang, justru malah kesempatan, kita semua dapet bonus libur setengah malem ini dan besok…”

“Setuju” mendadak Bagas bersuara.

Aku menatap ke Bagas dan melempar senyum kepadanya. Tapi dia tidak membalas. Dia hanya menatapku beberapa detik dan kemudian sibuk kembali dengan layar handphonenya. Aku melirik ke arah Stefan, dan dia Cuma bisa melihatku dengan tatapan pasrah. Pasti dia maklum.

“Oke ya, kalau si monyet itu sampe ga kuat lagi atau tumbang, kita bakal cancel semua kegiatan show malem ini, ntar biar gue yang ngomong ama Shigeo” aku mengambil kesimpulan sambil menunjuk Anin yang masih terpuruk di Sofa.

--------------------------------------------

35211210.jpg

“So far so good” bisikku ke Stefan, di tengah riuhnya penonton yang menonton kami malam itu. Anin tampak pucat di pojok sana, dan beberapa lagu kami tadi jadi agak tak karuan temponya, beruntung Bagas bisa mengimbangi naik turun temponya Anin. Bagas tampak begitu anteng melihat sepupunya yang sedang setengah teler karena pengaruh obat. Dia santai saja memperlambat atau mempercepat tempo, tergantung Anin. Penonton mudah-mudahan tidak ada yang sadar.

“So tonight I want you all to cheer for Anin” tunjuk Stefan ke arah Anin.
“WOOO”
“He’s playing well tonight, despite his problem… He catch a little cold earlier this morning… You know, Indonesian guys like us, in this winter wonderland…” tawanya, disambut oleh tawa penonton.

“But we will rock this night, and I hope you’re ready like him” senyum Stefan sambil menunjuk ke Anin. Anin hanya tersenyum dengan pucat mukanya dan lemah ekspresinya. Tak berapa lama kemudian, sesuai dengan aba-aba Stefan, kami kembali menghentak, dan aku tidak konsentrasi karenanya. Karena aku memperhatikan Anin terus, yang berdiri diam, tak bergerak, tak seperti biasanya.

Permainannya, walaupun masih sebaik biasanya, rasanya seperti berjalan di tebing. Di jalan setapak sebuah tebing yang curam. Jalan setapaknya aman, tapi pasti kita merasakan perasaan pusing dan khawatir. Khawatir karena akan jatuh, tertarik oleh pusaran gravitasi, walau gravitasi sebenarnya adalah gelombang, bukan gaya, seperti Newton bilang. Oleh karena itu kemudian hari, ketika para fisikawan modern merasa bahwa Newton melakukan kesalahan, mekanika dibagi dua, jadi mekanika klasik dan mekanika kuantum, untuk menghindarkan hukum Newton dipakai untuk sesuatu yang bersifat variabel.

Dan tadi aku mikir apa? Pelajaran yang bahkan aku tidak menguasainya. Yang biasa kudengar dari omongan Dian, waktu menerangkan pelajaran fisika kuantum jaman SMA kepadaku. Karena saking pusingnya, hanya itu saja yang bisa kuingat dari semua penjelasannya.

Iya, aku khawatir sebegitunya sehingga pikiranku melantur. Anin terlihat terombang-ambing, dengan segala macam upaya dia berusaha untuk begitu tegar buat kami. Apalagi buah sakitnya, Zee jadi super perhatian kepadanya. Entah si perempuan merasa Anin sakit gara-gara ulah dia, atau Zee merasa Anin membelanya.

Membela dalam artian, ketika lelaki lain mungkin akan mengambil manfaat dari kejadian malam itu, atau menghindar sepertiku, Anin malah memakaikan Zee bajunya, menata tempat tidurnya dan menyelimutinya, lantas mengorbankan dirinya untuk tidur di lantai, tanpa baju atasan. Yang akibatnya sekarang, gorila besar itu terserang demam karena badannya melemah akibat terpaan AC.

Not-not meluncur dari tanganku dengan tidak lancar. Tentunya karena perhatianku terbagi dua, antara gitar dan Anin. Sosok yang kebapakan buat Hantaman sekaligus yang paling childish diantara kami ini sedang berjuang antara bermain bass atau berbaring lemas karena influenza. Badannya yang besar jadi lemah ketika dia terekspos oleh udara dingin dari AC dan anginnya. Dan ketika lemah, virus jadi leluasa menguasai tubuhnya. Ah, sialan, jadi inget soal dokter-dokteran dan Dian kalau lihat orang sakit, jadi makin kemana-mana pikiranku karena khawatir.

Dan pada saat seperti ini, tak ada cara lain selain berdoa.

Berdoa sekaligus berjuang bermain gitar dan berharap Bagas terus bisa menutupi tempo Anin yang sedang naik turun tak keruan.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

“Hebat” puji Stefan ketika Anin dengan lemahnya duduk di dalam mobil van yang kemana-mana Shigeo kendarai untuk mengantar kami manggung.
“Biar dia tiduran aja, gue sama Stefan naik kereta” ucapku ke Ilham. Ilham mengangguk dan langsung naik ke mobil.

“Lay down” bisik Zee ke Anin.
“Hmmm?” jawab Anin dengan linglungnya.
“Rest your head” Zee beringsut ke pojok, dan Anin tanpa banyak tanya langsung menurutinya. Kepalanya langsung tersandar di paha Zee. Zee tampak tidak risih karenanya. Anin langsung menutup matanya, nyaman oleh bantal yang merupakan paha perempuan idamannya itu.

“Dah naik semua kan? sampe ketemu di hotel” mereka langsung jalan. Tentu saja, karena Anin tiduran di jok, aku dan Stefan jadi tidak punya tempat di dalam mobil itu. Kami lantas berjalan ke stasiun Higashi-Koenji, untuk lanjut ke Nakano, tempat kami menginap. Waktu masih menunjukkan pukul 12 malam.

“Lo gak mau naek bis aja Fan?” tanyaku di tengah perjalanan dengan kaki.
“Emang bedanya apa sama naik kereta ke Nakano?” tanyanya.
“Kalo kereta mesti pindah stasiun nanti, soalnya perusahaan pengelola stasiun Higashi-Koenji ama stasiun Nakano beda” jawabku.

“Bis boleh lah” jawabnya.
“Nah disitu sih kalo kata google map, tinggal nunggu sekitar 5 menit lagi sampe katanya si bisnya”

Aku dan Stefan lantas berbelok ke sebuah halte bis yang sangat sepi di malam hari yang super dingin ini.

2028_110.jpg

Dia mendadak menyalakan rokoknya.
“Ntar ditilang lho”
“Mumpung ga ada orang, cuek aja lah, gue juga suka liat orang-orang jalan sambil ngerokok kalo udah tengah malem gini” jawab Stefan.

“Ah, ntar di Nakano mau mampir minimarket dulu? gue agak laper” ajakku.
“Boleh….”
“Si Anin jadi blessing in disguise gitu ya sakit, si Zee jadi perhatian banget, dan gue curiga pas kita ga ada mereka mendadak jadian tanpa bilang-bilang kita gitu…” tawaku.
“Bisa jadi, kita liat aja ntar abis selesai dia sakit apa masih dijutekin ama si Zee apa engga” tawa Stefan.
“Dan itu gara-gara elo, jangan ketawa-ketawa aja”

“Harusnya terimakasih dong mereka jadi bareng gara-gara gue”
“Tapi kalo tadi dia tumbang di panggung ribet kan”
“Untung ga jadi tumbangnya” lanjut Stefan tersenyum, sambil menghisap rokoknya.

Beberapa menit lagi bus akan datang.

“BTW Kyoko gimana?” tanya Stefan penasaran.
“Gimana apanya?”
“Soal kejadian kemaren malem”

“Gue pikir dia masih bete sama gue” jawabku.
“Kenapa lo pikir dia masih bete?”
“Gue nulis banyak-banyak di line dia jawabnya sepotong dua potong doang, biasanya cerewet”
“Oooh… Yah namanya juga cewek, dia lama-lama harus sadar dong kalo lakinya cowok yang suka tebar pesona sama terlalu ramah ama cewek” tawa Stefan.

“Masih aja ya dibecandain”
“Ah, makanya jangan kawin, gue kalo punya modal kayak elo pasti gue pake buat cari cewek lebih banyak lagi”
“Modal apaan Fan?” tanyaku bingung. “Lo mau bilang gue ganteng? Homo abis” candaku.

“Bukan, kalo gue ngobrol ama cewek kan musti skenario dulu, kalo elo alami gitu kan bisa bikin mereka klepek-klepek, gue yakin pas lo makan ama si Zee di Osaka, terus yang bedua di Kyoto itu bikin dia ngak ngik nguk sama elo terus pas mabok rem nya blong” tawanya.
“Lo salah, dia tadi ke Kyoko ama gue bilangnya ga suka banget sama cowok yang kayak gue” aku menjelaskan kejadian sebenarnya ke Stefan.
“Terus?”

“Dia bilang dia ga bisa deket-deket cowok ganteng kalo mabok, makanya dulu suka dibegoin kali ama cowok mesum, tapi katanya semenjak kenal Ilham dilindungin kalo kemana-mana, mungkin baru sekarang lagi kali dia ketemu cowok ganteng” tawaku.
“Najis lo makin lama kedengerannya makin kayak homo anjing” kesal Stefan.
“Gue cuma bilang apa yang dia bilang nyet”

Bus datang dan Stefan mematikan puntungnya di sepatunya, dan dia tak lupa ingin menjadi turis yang baik, dengan membuang puntung itu di tong sampah sebelum masuk ke dalam bis. Kami lantas duduk dengan tenang di dalam bis yang sepi itu. Hanya ada sebiji dua biji penumpang lainnya yang berpakaian kantor. Sepertinya mereka habis pulang lembur di hari senin yang bangsat ini.

“So, sekali show lagi, terus balik ke Jakarta, dan abis itu lo langsung sibuk nikahan” lanjut Stefan.
“Yang pasti, habis dari Jepang mesti rapat berempat, banyak yang mesti dibenahin” lanjutku.
“Apaan aja emang?”
“Yang paling gede sih elo, semenjak lo bikin ulah kemaren, gue jadi khawatir soal kita kedepannya”

“Gitu doang aja”
“Gitu doang aja itu bikin lo ditampol ama Bagas” potongku. “Dan bikin anak orang jadi gak jelas gitu, lo mesti kurang-kurangin Fan, seenggaknya kalo ngajak tidur sama cewek yang keliatan udah mateng dan cuma nyari seks doang gitu loh, jangan lo tipu-tipu bullshit kayak kemaren itu”

“Lo kedengeran kayak Anin atau Kakak gue lama-lama” keluh Stefan.
“Biarin, emang benernya begitu kok, lo bebas aja mau nyalahin bokap lo, nyalahin semuanya dan cari pembenaran di tingkah lo…. Emang, lo pada dasarnya orang baik, tapi lo mesti kurang-kurangin tanduk setan di kepala lo keluar kalo ketemu cewek. Umur lo 31, bukan umur 25 lagi” jelasku panjang.
“Tau ah”

“Itu mesti diobrolin, secara gue gak bakal terus-terusan jadi bodyguard lo kalo mabok. Gue udah bakal punya istri, dan gue keluar malem pasti Cuma buat main musik. Ngapain gue keluar malem maen kalo udah ada Kyoko di rumah. Itu namanya mengingkari nikmat-Nya” tawaku.
“Pasti lo ewe terus abis nikah”
“Namanya juga orang nikah, pasti pengen lah punya anak….”

“Gak semua orang yang nikah pengen punya anak Ya” sanggah Stefan.
“Emang, dan gue oke-oke aja sih sama orang yang ga pengen punya anak, pilihan mereka itu mah, tapi kalo gue pengennya ya punya anak” jawabku ringan, sambil mengukur jalan dari Koenji ke Nakano.

Ya, sudah lama tidak mengobrol panjang berdua dengan Stefan secara serius seperti sekarang.

“Terus no gele juga kan”
“Gue udah brenti kan sejak akhir taun?”
“Jadi ga asik elonya”
“Biarin jadi gak asik daripada bini gue kenapa napa…..” jawabku.

“Sorry kalo gue ngelantur, tapi gue mau nanya hal ini…. Dan jangan marah sih, tapi terserah deh kalo marah, gaplok gue aja kayak si Bagas” tawa Stefan, sambil memperhatikan google maps di tangannya. Sepertinya sudah setengah jalan menuju Nakano.
“Nanya apa, cepetan, biar gue gaploknya enak, pake persiapan dulu” jawabku.

“Jangan-jangan lo selama ini jadi pacar yang baik dan sekarang berencana jadi suami yang baik itu karena lo gak pengen kayak bokap lo kan? Gue penasaran aja, soalnya dulu pas elo sama si Karina yang segitu tainya aja lo bisa tahan ga selingkuh, bahkan ga mutusin duluan…..”
“Siapa juga yang pengen kayak bokap gue…” jawabku.
“Bener gak pendapat gue?” Stefan berusaha mengkonfirmasi pemikirannya.

“Gak salah juga sih, cuma gue mikirnya, gue ga mau punya keluarga ancur kayak keluarga inti gue sebelom bokap gue mokat” jawabku.
“Mokat amat kata-katanya”
“Ga ada istilah laen yang lebih bagus buat dia” ya, aku masih sedendam itu dengan ayahku.

“Keliatan sih dengan lo jadi mr nice guy kayak sekarang ini, lo pengen balas dendam ke bokap lo” senyum Stefan dengan muka sinisnya.
“Ah, selama bagus niat dan hasilnya sih, lagian, apa susahnya buat jadi laki-laki yang setia dan lurus”
“Susah” balasnya pelan sambil tersenyum kecil.

“Apa susahnya?” tawaku.
“Lo bakal kehilangan rasa deg-degan, rasa adrenalin lo naik disaat lo ngejar cewek”
“Tetep ada ah perasaan kayak gitu, dari dulu gue selalu rasain” sanggahku.
“Kapan?”

“Ya pas gue deket ama Karina dulu, tiap gituan, sama Kyoko juga, tiap ketemu, tiap gituan” tawaku meremehkan kenikmatan adrenalin yang Stefan rasakan.
“Lo ngomong gitu karena lo sama Karina berantem mulu, pas balikan lagi atau ngajak damai pasti mesra lagi….. Dan sama Kyoko, LDR, tiap ketemu lo pasti naik adrenalinnya….. Ntar liat aja kalo dah nikah, anyep titit lo” ledek Stefan.

“Lo ngomong apa sih” bingungku. “Dulu sebelom ama Karina aja gue pacaran selalu tertantang kok tiap ada hal baru” aku geleng-geleng kepala mendengar pernyataan Stefan.
“Percaya dah sama gue, lo tuh cowok, didesign buat ngewe, menjajah, makanya raja-raja jaman dulu kalo tiap ke jajahan baru pasti deh kawinin orang di daerah jajahannya” oke, alasannya mulai ngelantur.

“Lo ngomong gitu seakan-akan lo sendiri udah pernah ngerasain settle terus bosen Fan” tawaku.
“Lo liat aja bokap gue… Settle, taunya begitu… Taik lah semua settle itu, masih mending bokap lo, jujur” jawabnya asal.
“Ati-ati men, dia bikin nyokap gue sakit, gue sakit, Ai sakit, ga pantes lo puji-puji”

Bis kami berhenti di tempat kami seharusnya turun. Kami bergegas turun dan menyentuhkan kartu prabayar kami di bis dan segera menatap ke tanah. Kami berjalan ke arah minimarket sebelum menuju hotel.

“Ya makanya gue ga kawin, biar ga kayak dia juga” balas Stefan.
“Ati ati juga kalo ngomong, ntar lo kawin, ucapan lo semua itu ga ada artinya” balasku sambil senyum tipis.
“Ya, gue tanya buat yang terakhir kalinya” dia menatapku tajam lewat sudut matanya sembari kami berdua berjalan ke minimarket.

“Hmm?”
“Lo yakin mau nikah?”
“Yakin”
“Lo ga akan nyesel lo ga bisa ngapa-ngapain sama cewek lain?”
“Pertanyaan macam apa itu?” jawabku sambil tertawa pedih.

“Jawab aja”
“Ga nyesel”
“Yakin?”
“Ya yakin lah…..”

“Lo ga nyesel Cuma sama satu cewek doang seumur hidup lo?” tanya Stefan lagi, setengah memaksa.
“Fan, kalo boleh jujur, bener yang elo bilang, gue liat pantat anak SMA juga pengen gue apa-apain itu pantat” jawabku.

“Nah”

“Tapi gak kayak gitu caranya keluarga bekerja… Gue punya perasaan besar yang gue pengen kasih ke Kyoko, dan sori kalo kedengeran lebay, atau gay, atau homo banget seperti yang elo bilang ke gue tiap gue ngomong kayak gini, tapi gue Cuma pengen sama dia sampe gue mati ntar. Gue udah sayang banget sama orang itu, bahkan dia bete dan nangis kayak kemaren aja gue panik minta ampun, dan gue ga mau bikin dia sedih lagi….. Jadi, gue bakal bareng terus sama dia dan biarin keluarga gue tumbuh seperti apa yang gue mau”

Aku menjawab sebegitu panjang, walau tidak berharap Stefan mengerti.

800px-10.jpg

“Masuk akal” jawab Stefan pendek, saat kami belok ke minimarket. “Tapi gue tanya terakhir kalinya dan abis ini gue gak akan pernah nanya lagi, elo yakin, bakal nikah, dan seumur hidup bareng sama Kyoko, ngelewatin kesempatan elo buat fooling around sama semua memek di dunia?” tanyanya tajam.

“YAKIN”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Di TLB ada Valerie & di MDT ada Stefan yg jadi konselor. Kalau di Amyra & Penanti siapa yah konselornya. Perlu baca ulang ni sepertinya.
pokoknya mah kecuali Bagas :D

Ane setuju om ma quotenya.
Dan teringat ane dulu ada yg minta side story nya Bagas yah? Ni sebuah tantangan yg sudah jelas jawabannya satu kata "DIAM". Kecuali om RB mo buat model sinetronnya Indonesia pake formula "hati & fikiran yg bisa berbicara". :D
 
tadinya ngebet banget biar Om Race posting ulang mdt 2 , tapi setelah baca2 coment tentang mdt 2nya yang kayaknya bakalan baper banget , sekarang jadi nothing to lose lah, diposting lagi sukur, ngga juga ga apa2 :hammer:

setelah selesai ini, lanjut baca amyra :beer:
 
MDT SEASON 1 - PART 84

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V

Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW

Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

image12.jpg

“Gue ntar malem ke Mitaka” jawabku ketika kami sedang makan siang bareng di kamar Anin. Burger dari restoran cepat saji yang sudah mendunia kini jadi pilihan kami. Lucu, rasanya agak sedikit beda dengan yang dijual di Indonesia.

Anin makan di atas tempat tidur. Mukanya sudah terlihat agak segar, walau menurut pengakuannya, kepalanya masih pusing dan suhu badannya masih hangat. Zee duduk di sebelahnya, juga sedang makan dengan ekspresi cueknya.

Dari tadi kulihat interaksi mereka berdua begitu lucu, Anin masih saja terlihat caper, dan Zee masih seperti cuek, tapi dari tadi berulang kali Zee membantu Anin dengan makanan siangnya, mengingatkannya untuk tidak lupa meminum obat dan banyak lagi hal yang hangat lainnya. Sudah pasti mereka sekarang terkoneksi, entah pakai status atau tidak.

“Terus elo bakal nginep?” tanya Stefan sambil makan.
“Iya”
“Digas terus nih pasti ya sebelom kawin?”

“Engga….Gue Cuma mau ngerasain rumah itu, dan cafenya, secara mungkin gue ama Kyoko bakal ke Jepang masih beberapa taun lagi…” jawabku.
“Oh iya calon bini mau jadi WNI ya, gak bakal kemana-mana setelah nyampe Indonesia entar”
“Iya”

“Kalo orang singapur jadi WNI gimana ya prosesnya?” Anin bertanya dengan polosnya sambil melirik ke arah langit-langit.
“Sama aja bego” jawab Stefan sambil membakar rokok. Dia baru saja selesai makan. Zee cuma melirik Anin dengan senyum aneh dan ekspresi ‘ada-ada saja’ tergambar di wajahnya.

“Besok terakhir kan kita manggung… Jaminan bakal sembuh gak lo besok?” tanyaku ke Anin.
“Ah, walau masih meler, tapi sekarang dah mendingan, pasti besok lebih enak mainnya, gak kayak pas di Koenji…..” jawab Anin dengan muka lemasnya.

“Jujur sih, gue udah eneg banget sama yang namanya musik….” tawaku membayangkan gig besok.

“Sama” balas Anin.
“Sama” balas Stefan.

Bagas hanya terdiam, dia fokus makan, seperti tidak mempedulikan kami..

“Gue ntar balik Jakarta, terus abis kawin mau ngapain ya….. ngelarin album solo gue paling…..” aku menerawang ke jendela, memperhatikan gedung-gedung lain di sekitar Nakano.
“Album yang gak kelar-kelar itu kan” respon Anin.
“Mampet soalnya kepala gue nih”
“Mikirin kawin kali, kepusingan….” senyumnya.

“Engga, gak jalan aja kalo gue mau buat lagu lain tuh…”
“Padahal kalau lo ngeproduserin orang tuh udah paling kreatif aja rasanya ya…..” tawanya dengan suara sengau.

“Kalo kata gue sih….” Stefan menatapku dengan rokok terselip di bibirnya.
“Apaan?”
“Lagu lo yang Matahari Dari TImur itu kurang elonya…”
“Masa?” aku menekuk jidatku dan berpikir dalam-dalam.

“Beneran, emang enak dan oke sih, Cuma kayaknya, buat gue gak Arya banget gitu…” lanjut Stefan.
“Sok pengamat musik lo” ledek Anin.
“Orang sakit diem aja deh, tuh, cewek lo, lo sikat aja daripada lo ngerecokin komentar gue” ledek Stefan balik.

“Gue pengen denger kalo menurut elo, gak gue bangetnya itu dari mana…….” sumpah, aku penasaran.

“Gini, lo kan main musik rock sehari hari, terus lo kalo main jazz ngiringin orang lain, pasti kalo ga bawain straight ahead, bawain musik jazz kontemporer gitu lah, ga pernah gue denger lo main smooth jazz yang hepi hepi kayak lagu Matahari Dari Timur…”

“Masuk akal sih, terus gimana ujungnya dari kesimpulan lo tadi?”
“Pertama elo musti ngerasain jadi frontman dulu deh…. Coba lo bikin working group yang bener-bener elo, jangan ngiringin orang dulu, mainin musik yang lo rasa sesuai ama diri elo sendiri kalo mimpin… “

“Masuk akal sih…..” aku menerawang jauh, menembus jendela dan membayangkan adegan-adegan aku bermain gitar di panggung, di genre apapun.

Iya, aku memang tidak pernah menjadi front man, di band bukan, dan ketika beralih peran sebagai gitaris jazz, aku juga selalu mengiringi orang lain, tidak pernah aku menjadi headliner atau tampil sebagai leader dalam sebuah working group.

“Sono gih, bikin grup jazz, Arya and the kontols namanya oke tuh…” tawa Stefan.
“Arya Achmad Trio lah, kayaknya keren kalo dipajang di poster Java Jazz” canda Anin.
“Arya Achmad group, yang menurut gue poster-able sih…” balas Stefan.
“Arya Achmad project juga oke” balas Anin lagi.
“Arya and Kanaya tusuk-tusukan dibelakang Kyoko - Band, baru gokil” tawa Stefan.

“Kontol lo Fan…” dan aku menutup pembicaraan siang ini.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

800-mi10.jpg

Kopi panas, seporsi besar pasta, dan senyum Kyoko. Ini semua membuatku kenyang malam ini. Aku memperhatikan lagi pemandangan yang familiar. Kyoko dan kakaknya berjibaku di dapur, membuat pesanan orang dan melayani apapun yang mereka pesan, selama itu tertera di menu.

Kodama tadi kulihat, ada di luar, melingkar dengan bodohnya sambil memperhatikan aku masuk. Di Jakarta ada Hana, di Mitaka ada Kodama. Mudah-mudahan mereka berjodoh.

Aku menaruh sendok dan garpu di atas piring kosong. Pirig yang baru saja kuhabiskan isinya. Yang lumayan besar untuk porsi orang indonesia, mungkin memang besar porsinya, ataupun mereka berbaik hati menambahkan porsinya untukku. Aku menghirup aroma kopi yang kemudian memenuhi seluruh rongga hidungku. Wangi. Aku melirik sejenak ke arah dapur, utk mendapati Kyou-Kun berjalan ke arahku.

“Tired?” tanyanya dengan senyuman khasnya.
“Mochiron” tentu saja, jawabku.

“Ah, later after Kyoko go, I will tired too, with new people” lanjutnya dengan bahasa inggris yang tetap amburadul. Aku tak mengerti, di sekolah mereka, bahasa inggris adalah pelajaran wajib, how come bisa ancur kayak gini ya?

“I just want to rest… this tour is very tiring and consume a lot of energy” senyumku ke calon kakak iparku.
“Understand. And little time to rest from show to show, must tiring” ya, memang lelah, lelah sekali, dan aku mengharapkan malam ini Kyoko tidak terlalu menggoda agar aku tidak menggaulinya lagi malam ini dan kembali membuang energiku. Dan aku tersenyum sendiri oleh pikiran nakalku yang kemana-mana. Lihat Fan, pikiranku sekarnag dipenuhi oleh Kyoko, gak mungkin bisa ada perempuan lain atau apapun godaan yang masuk dan menggantikan Kyoko di kepalaku, tak seorangpun.

“Nii-san” Kyoko mendatangi meja kami.
“Hai?”
“Koohi o onegaishimasu”
“Ah, chotto”

Kyou-Kun lantas bangkit dari kursi di depanku dan dia langsung menuju ke mesin kopi, membaca notes yang ditempelkan oleh Kyoko di sana, dan mulai bekerja meracik kopi. Kopi, bidang yang aku sama sekali tidak tahu. Selama ini aku hanya tahu soal itu dari ceoltehan Zulham yang kuanggap sangat menyulitkan logikaku di grup whatsapp alumni kuliah. Tapi kini calon keluargaku pun hidup dari emas hitam itu. Kyoko dan Kyou-Kun sangat handal membuat kopi yang enak. Mungkin itu juga sesulit membuat lagu yang enak.

Kyoko melirik ke arahku dengan senyum tipisnya, pertanda mungkin rasa kesalnya atas kejadian kemarin yang hampir menimpaku sudah perlahan-lahan hilang. Dia lantas beringsut kembali ke dapur, untuk kembali berjibaku dengan pesanan-pesanan yang perlahan lahan datang.

Tempat ini, Mitaka, membangkitkan kenangan indah. Kenangan saat bertemu Kyoko pertama kalinya. Semuanya terjadi karena aku mengantarkan kakaknya yang mabuk dari sebuah acara jam session di Yokohama. Lalu berlanjut ke rusaknya mesin kopi, yang membuat Kyou-Kun menyuruhku dan Kyoko berjalan berdua keluar. Dan disitu kami entah kenapa saling nyambung. Kami jadi semakin nyaman untuk mengobrol, bertukar informasi soal keluarga, teman dan lingkungan masing-masing.

Lalu ciuman itu. Ciuman yang terjadi secara tiba-tiba di ruangan ini. Di ruangan café yang telah tutup. Dan aku langsung pulang karena malu. Dan tak lama dari kejadian itu, aku dan Kyoko menjalani hubungan ini dengan senang.

Walaupun ada beberapa hambatan, seperti LDR, lalu kejadian dengan Kanaya, Zee, maupun false alarm kehamilan yang pernah terjadi, kami bisa survive. Sudah saatnya hubungan yang begitu menyenangkan ini dihadiahi oleh sebuah pernikahan. Awal baru lagi untuk kami, terlebih karena Kyoko akan tinggal bersama aku, ibuku dan Ai. Kami akan jadi satu unit keuarga yang benar-benar saling mendukung dan melindungi.

Tak bisa kubayangkan betapa cerianya rumah nanti setelah kedatangan Kyoko.

Tanpa Kyoko pun, setelah kematian ayahku, suasana rumah berubah menjadi ceria. Ibuku sudah tidak terkekang lagi, aku dan Ai udah tidak harus melihat kekasaran dan menjadi objek kekasaran lagi, dan kami berdua bebas untuk melakukan apapun yang kami mau. Termasuk membesarkan Hantaman. Termasuk mencari makan dari bermain kecapi inggris yang biasa kalian sebut gitar ini.

Makanya, aku semakin tidak sabar, menunggu hari pernikahan kami. Hari dimana kami akan jadi satu. Arya dan Kyoko. Dia juga pasti tak sabar menunggunya.

--------------------------------------------

“Kodama!” seru Kyoko sambil berjongkok, memperhatikan Kodama yang sedang makan. Makan yang terlalu malam untuk Kodama mungkin. Kodama tampak cuek, lebih memperhatikan hidangan yang ia makan, daripada tuannya, Kyoko Kaede.

Aku duduk, memperhatikan mereka berdua di dalam ruangan café yang telah bersih dan sepi. Kyou-Kun dak Kyoko sudah beres-beres tadi, dan aku hanya menonton saja. Aku tamu, kata Kyou-Kun, dan calon adik ipar, jadi jangan ikut beres-beres, katanya, santai saja. Aku mengiyakan saja sambil tersenyum. Setelah ritual beres-beres dan bersih-bersih selesai, Kyou-Kun langsung pamit untuk tidur. Dia tidak mau terlalu capek, karena dia dan Kyoko besok katanya mau datang dan menonton show terakhirku dan Hantaman di Shibuya WWW.

Venue yang asik, menurut penuturan calon kakak iparku. Dia pernah manggung disana beberapa kali. Dan itu akan jadi panggung pamungkas bagi perjalanan Hantaman selama tiga minggu kurang sedikit ini di negeri sakura. Setelah beberapa kejadian bombastis yang melibatkan Chiaki dan Zee, aku tidak sabar ingin menutup ini semua.

Perjalanan kami di Jepang kali ini membuka tabir baru soal kedewasaan. Terutama soal Stefan, Bagas dan Anin. Kita bisa melihat, betapa tidak dewasa dan begitu asalnya tingkah Stefan, yang sering kali lebih banyak menggunakan penisnya untuk berpikir, dan malah merugikan kami dalam setiap ulahnya, kenalakannya yang sudah tidak pantas lagi disebut sebagai kenakalan remaja. Usianya sudah 31 tahun, dan kami ingin sekali ia tumbuh dewasa.

Dewasa seperti kedua sepupu itu. Walaupun terkesan kenanak-kanakan dan polos, Anin ternyata telah membuktikan pada kita semua bahwa dia mampu melindungi Zee di saat-saat mereka berdua paling lemah. Ya, saat mereka berdua mabuk, dan sangat memungkinkan terjadi drunk sex. Tapi anin malah melindungi Zee dengan mengorbankan kesehatannya, dan karena hal itu juga dia bisa meruntuhkan tembok pertahanan Zee terhadapnya. Tembok itu kini meleleh dan sudah tidak ada batas lagi diantara Anin dan Zee.

Dan Bagas, yang mendadak jadi penyelamat atas kejadian gila antara Stefan dan Chiaki. Ya, tak heran dia yang menikah duluan. Dia tampak sudah matang dan tahu apa yang ia suka dan tidak suka, semua gerakannya efektif dan efisien, zero waste, zero bullshit dan selalu tepat pada waktunya. Semua yang ia lakukan selalu cukup. Enough. Dan dia tahu semua resiko perbuatannya, oleh karena itu dia tidak pernah berlebihan.

Pantas saja waktu itu perkelahiannya dengan vokalisnya DIMH tidak heboh jadi berita di media online dan sosmed. Pasti karena jumlah pukulan yang ia berikan tepat, yang memberikan efek jera secara tepat. Dan mungkin memang menyakitkan, tapi tidak sebegitunya menjadi luka yang benar-benar parah dan tidak merusak mukanya, namun cukup untuk memberi statement agar mereka menjaga sikapnya di lain waktu.

Mungkin.

Tapi walaupun dia paling jarang bicara dan tidak bisa ditebak isi hatinya, tetap saja dia yang tindakannya paling dewasa dari kami semua. Kesetiakawanannya jangan ditanya lagi, walau dia pasti akan malas menjawab apapun yang kita bicarakan dan tanyakan ke kepadanya.

“Aya” panggil Kyoko. Dia sedang berada di dapur. “Mau kopi lagi?” tanyanya.
“Enggak, udah cukup” senyumku.

“Ada cake sisa dari tadi siang aya, ada tiga, Aya mau?” tanya Kyoko lagi, sambil melihat ke display. Iya, ada tiga cake sisa, yang kalau didiamkan besok pasti either jadi keras atau jadi kurang nikmat untuk dimakan.
“Boleh” dan Kyoko langsung mengambil tiga piring yang tersisa di display dan kemudian membawanya ke meja untuk kami makan berdua, berlindung dari udara dingin di luar, bersama Kodama yang sedang diam dengan sombong sekaligus tolol, melirik kami seakan kami ini mahluk rendahan.

Aku mengambil garpu yang disiapkan Kyoko, untuk mulai melahap kue di hadapan kami. Dia duduk di depanku, dan matanya berbinar melihat kue sisa itu.

“Kalau ada sisa dan gak kalian makan, diapain kue-kue begini?” tanyaku penasaran.
“Di buang, Aya”
“Sayang dong”
“Demo, kalau di buang, tida ada pemasukan, tapi kalau kami makan, kami sisihkan okane dari kami untuk bayar makanan yang kami makan ke café” jawabnya. Oh begitu, kalau ada makanan sisa atau mereka makan dari stok, mereka menyisihkan uang pribadi untuk dibayarkan ke kas café. Disiplin sekali. Mungkin bidang food and beverages bukan duniaku, jadi rasanya aneh mendengar itu.

Baru beberapa potong, aku menghentikan makanku, karena memang selain sudah kenyang, rasanya buatku terlalu manis.

“Aya tidak mau lagi?” tanya Kyoko. Aku menggeleng dengan pasti. “Untuk Kyoko?” tanyanya lagi dengan muka mengharap. Aku mengangguk. Dan Kyoko dengan muka senang tersenyum kepadaku, sambil mungkin sudah membayangkan seluruh kue tersebut berada di dalam perutnya.

Aku memperhatikan dirinya yang tengah melahap kue tersebut dengan muka sumringah. Aku tersenyum melihatnya, walau pikiranku masih digantungkan beberapa hal. Ya, pikiran selalu saja ada yang mengganggu. Terutama soal albumku yang mangkrak. Haha. Ah tapi percuma untuk dikeluhkan ke Kyoko. Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mengeluhkannya, sebaiknya aku bicara dengan orang-orang yang lebih paham soal masalah ini dibandingkan ngerecokin Kyoko.

Lagipula aku akan memilih malam ini dengan menghabiskan waktu berdua, mengobrol, beristirahat, menginap dan santai bersama calon istriku ini. Kami mungin akan bicara sampai tengah malam, tertidur bersama ditengah obrolan yang hangat.

--------------------------------------------

untitl10.jpg

Bohong. Santai dari mana?

Yang ada sekarang sebaliknya. Kyoko sedang berbaring, telentang. Baju tidurnya tersingkap, kakinya melingkar di pergelanganku. Aku dan dia lagi-lagi melakukannya. Memang tidak bisa menahan perasaan seperti inijika berdua dengannya. Apalagi di dalam kamarnya yang hangat. Di dalam kamarnya yang buanya begitu segar, yang rasanya membuat seluruh indra kita menjadi tajam dan sensitif.

Saking sensitifnya sehingga kurasa penisku menegang begitu tegangnya setiap kami berciuman. Tubuh kami sedang bersatu, saling bergerak dengan penuh kenyamanan. Rasanya semuanya begitu pas, interlocking. Lekuk tubuhnya pas dengan semua genggamanku, begitu juga dengan bentuk bibirnya, pas sekali ketika kami berciuman, tidak ada bagian-bagian yang dengan anehnya saling bertubrukan atau bergesekan.

“Kyoko?”
“Hai?” jawabnya dalam kenikmatanya.
Aku hanya memandangnya, dengan tatapan yang dalam, tatapan yang menginginkanya. Tatapan yang harusnya membuat ia merasa satu denganku. Kyoko tersenyum kepadaku, ditengah kenikmatan yang ia rasakan. Dia tampak ingin meaihku, menggigit dan menyentuh bibirku dengan bibirnya.

Aku menyambut ciumannya, dan kami kemudian bergumul lagi malam itu, tanpa mempedulikan hari esok. Yang kami tahu, besok dan besoknya lagi kami akan menjadi man and wife.

Kami tenggelam dalam segenap mimpi kami berdua. Mimpi kami untuk bersatu. Kami yang dulu berjarak ribuan kilometer, nantinya akan tinggal dibawah satu atap, membentuk keluarga baru, keluarga yang tidak kalah hangatnya jika dibandingkan dengan aku, ibuku dan Ai sekarang. Keluarga yang masa depannya membuat semua penghuninya nyaman dan aman.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

mitaka10.jpg

Jalanku ringan pagi ini. Pagi yang tenang dan dingin di Mitaka. Aku baru saja berpamitan dengan calon istriku dan calon kakak iparku. Hari ini penuh harap, karena memang konser pamungkas kami akan terjadi malam ini. Grup whatsapp Hantaman sepi, mungkin karena sekarang masih jam 8 pagi, masih pada tidur, istirahat. Dan Anin mudah-mudahan semakin sehat dan nanti malam bisa melaksanakan konser dengan penuh semangat.

Aku duduk di halte bis, diiringi oleh ramainya manusia yang juga memulai hari.

Dingin pagi ini tidak melunturkan semangat kami semua. Iya, kami semua yang menunggu bis pagi ini. Entah kenapa suasana Mitaka selalu menyemangatiku. Ya, udaranya yang bersih, suasananya yang tentram dan bersahabat. Anginnya yang tidak pernah menusuk tulang. Harum dedaunan selalu mewarnai kota ini walaupun di musim dingin.

Di kota inilah semangatku terbit, Matahari Dari Timur terbit, dan mengisi hatiku dalam bentuk Kyoko. Dan nanti aku akan memindahkan sebagian kehangatan dari Mitaka ke Jakarta. Dalam bentuk Kyoko. Dan sekarang tugas hari ini menanti, menggetarkan Shibuya WWW, show kami yang terakhir disini.

Tak lama lagi bis akan datang, dan aku sudah tidak sabar untuk kembali ke panggung, kembali merusak telinga orang-orang, memberikan hiburan luar biasa untuk yang terakhir, di rangkaian tur jepang kami ini. Di rangkaian tur yang melelahkan, melelahkan fisik dan pikiran, dan memakan korban. Anin sudah jatuh sakit kemarin, dan hari ini mudah-mudahan dia sudah prima, dengan bantuan dan semangat dari Zee yang sekarang sudah bersamanya, menemaninya.

Ah, bis datang. Aku berdiri menyongsongnya. Berdiri menyongsong malam ini. Malam yang pasti akan lancar seperti sebelum-sebelumnya.

Shibuya, tunggu Hantaman.

--------------------------------------------

image12.jpg

“Apa? Panas lagi?” teriakku ke Zee.
“Hey, ini biasa, he’s still weak and tired” jawabnya sambil melihat mukaku dengan aneh. Zee tampak menggunakan seragam tidurnya, training dan t-shirt yang senada, berjaga mungkin sedari malam, menemani Anin yang jatuh lagi dalam demam.

“Kok bisa ya…” bingungku sambil memutar otak. Ga jadi kita ancurin Shibuya dong malam ini.
“Bisa, he’s still too tired” Zee melirikku sambil mengganti handuk yang mengompres kepala Anin. Anin tampak melongo dengan lemah, menahan rasa tidak nyaman yang hadir dari demam.

“Terpaksa batalin aja dah” aku menggaruk kepalaku dengan malas, mungkin Kairi akan marah lagi, atau mungkin juga tidak.
“Jangan Ya” jawab Anin lemah.
“Bego, lo makin sakit ntar, sekarang demam karena flu, besok-besok jadi apa badan lo?” balasku.
“Ini terakhir, udah, tar sore sembuh kok” jawabnya.

“Mana ada tar sore sembuh, Stefan mana?” tanyaku.
“Stefan still sleeping” Iya sih, sekarang masih jam setengah sepuluh. Biasanya Stefan bangun menjelang makan siang. Dia pasti lelah juga, untung tidak jatuh sakit juga.

“Udah, batalin ah, gue ga mau lo makin ancur ntar, diopname disini gimana coba?” bingungku.
“Ih, kuat” jawabnya dengan senyum yang dipaksa.
“Listen to your friend” bisik Zee ke Anin, dengan muka yang cool tapi terlihat kekhawatiran di sudut matanya.

“Kuat kok”
“Nin”
‘Kuat”
“Nin”
“Kuat”
“Nin”
“Kuat”

“MANA SI KONTOL YANG SAKIT NYA BALIK LAGI?” mendadak Stefan muncul secara tiba-tiba di dalam, merangsek dari pintu, atau mungkin dia mendadak muncul disini lewat bantuan ilmu teleportasi yang dianugrahkan Iblis kepada Setan favoritnya.
“Jangan teriak teriak ah” balas Anin.
“Kacau ini” keluh Stefan sambil menyentuh leher Anin.

“Panas banget!!!”
“Ya, makanya udah gue bilang untuk batalin, dia gak mau” komentarku.
“Panasnya udah kayak neraka” keluh Stefan.
“Emang pernah ke neraka?” tanya Anin, mencoba bercanda.

“Tempat main lu tuh, Akihabara, neraka buat gue!” tunjuk Stefan entah kemana.
“Udah ga usah pada ribut, sekarang gue tidur dulu sampe makan siang, abis itu kan check sound, kuat kok” senyum Anin dengan penuh keterbatasan.

“CHECK SOUND DARI HONGKONG, BATAL AJA UDAH” balas Stefan.
“Kuat, jamin deh” senyum Anin sok manis.
“Nin, gimana sih… Batal aja….” kesalku.

“Udah kalo kalian maksa, voting aja, panggil Bagas…” lanjut Anin.
“Yaudah, bentar” Stefan mencoba keluar ruangan, tapi mmendadak mengurungkan niatnya. “Ya, elo aja deh, tar gue digampar lagi… takut gue…”

“Ah banci” kesalku sambil berjalan dengan gusar ke kamar Bagas. Aku ada di hadapan pintunya sekarang. Aku menarik nafas, dan berniat mengetuk pintunya. Tapi mendadak tanganku tak menemukan daun pintu yang akan kuketuk. Ah. Pintunya terbuka bersamaan dengan gerakan tanganku. Sial.

Bagas lalu mendadak muncul di depanku dengan pintu yang sudah terbuka, dengan memasang muka datarnya, dia sudah berpakaian lengkap, seperti sudah siap beraktivitas.

“Eh” aku kaget melihatnya.
“Kenapa?” tanyanya melihatku.

“Anin demam lagi”
“Iya, tau”
“Kita mau batalin manggung, tapi Anin gak mau, dia bilang suruh panggil elo, buat voting..”
“Oh” Bagas lalu keluar dari kamar, dan mengunci pintunya. Lantas kami berdua berjalan dengan langkah pasti ke kamar Anin.

Keempat personel Hantaman sudah lengkap, dan kini sedang berada di dalam kamar Anin.

“So?” tanyaku ke semuanya.
“Gas, mereka berdua mau batalin manggung karena gue sakit, tapi gue masih pengen main, jadi kita voting, dua suara ga mau lanjut, satu suara mau lanjut, yaitu gue, kalo elo?” tanya Anin dengan muka penuh harap.

Aku menarik nafas panjang, lebih karena tahu dan paham, Bagas yang ultra logis pasti memilih untuk tidak main, tidak manggung, tidak main musik, karena dia pasti tahu betapa tidak nyamannya main musik dalam keadaan demam, dan ada resiko untuk memperparah kondisi badannya. Sakitnya mungin memang hanya flu, tapi kalau kondisi badannya makin lemah, bisa juga makin menjaga demamnya tetap ada di dalam tubuh.

Kami semua memperhatikan Bagas menarik nafas, dan kemudian mengeluarkan jawabannya.

“Main” jawaban Bagas membuatku dan Stefan melongo.
“Gas gila lu ya?” bingungku.

“Imbang.........” komentar Zee. Dia melirik ke wajah bingung Stefan.
“Terus sekarang gimana dong kampret?” bingung Stefan.
“Don’t ask me” bingung Zee melihat situasi ini.

“Terus gimana? Main atau gak main?”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd