Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
2 hari berkutat dengan virus di laptop, ampun dah ketinggalan jauh banget.

Terima kasih Om @racebannon, updatenya.

Sukses selalu menyertaimu dan sehat selalu. :top:
 
MDT SEASON 1 - PART 85

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -

Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

image12.jpg

Apa yang lebih tidak enak dari ketidakpastian? Sepertinya tidak ada.

Kami berempat saling berpandang-pandangan. Aku dan Stefan jelas, tidak ingin memaksakan konser apabila kondisi tubuh Anin seperti ini sekarang. Demamnya muncul lagi. Mukanya terlihat amburadul. Kalau dulu kami suka juluki dia gorilla karena bentuk fisiknya, sekarang sang gorilla sudah jadi beruk, karena demam.

“Alasan lo apa Gas? Kenapa menurut elo Anin kuat main malem ini?” tanyaku.
“Bisa”
“Itu bukan alasannya, apa yang lo pikirin sampe lo bilang kesimpulannya adalah Anin bisa main nanti malem?” aku mengulang maksudku.

“Gue yakin bisa” jawab Bagas dengan persistent nya. Aku hanya menghela nafas. Iya, susah memang, dan mustahil berdebat dengan Bagas. Kairi saja enggan mendebat Bagas. Aku hanyag menatap kosong ke arah Stefan.

“Gue tetep gak bisa sih, kalo maksain Anin main, walaupun dia bisa dibilang cuma pilek, flu, apa lah, kalo dia makin capek, ntar sembuhnya makin susah, kalo kondisi badannya drop, malah penyakit laen bisa masuk, terus badannya makin lemah ntar butuh disuntik vitamin, diinfus… Emang dia dari malem minumnya banyak gak?” tanyaku ke Zee. Dan aku mulai terdengar seperti Dian.

“Not much”
“Nah kan”

“Arya, Stefan, plis, ini kan show terakhir, biarin gue tutup ini semua dengan enak” Anin membuka suara.
“Jangan sampe gue jadi pindah agama cuma karena lo butuh disolatin Nin” kesal Stefan bersungut-sungut. Tumben ruangan dimana Anin berada tidak bau rokok. Pasti Anin dan Zee menahan diri untuk tidak merokok.

“Mau nanya Sena?” tanyaku ke forum.
“Pendapat dia gak valid lah, dia aja gak bisa bedain visi dan misi cagub pilkada sekarang….” kesal Stefan.
“Anu, soal cagub, itu mah susah atuh” potongku.

“Sena masih tidak bisa menilai secara objektif” mendadak Bagas bersuara lagi.
“Hebring kalo lagi urusan gawat aja, lo ngomongnya banyak” keluh Stefan.

“Fan udah, gue kuat kok” Anin berusaha meyakinkan kami.
“Kalo menurut lo gimana Zee, dia kuat gak?” tanyaku mendadak.
“Nah iya, lo aja yang jawab, lo kan urusin dia dari awal sakit, gimana, kuat gak?” Stefan juga bertanya ke Zee.

Zee hanya diam, matanya bolak balik menatapku dan Stefan. Dia lalu melirik dengan tegas ke arah Anin. Air mukanya terlihat sangat khawatir, tidak cool seperti biasanya. Mendadak tangannya merayap, memegang leher Anin dan balik menggenggam tangan Anin.

“I’m afraid”
“Gak usah takut lah” senyum Anin.

“This is only a cold, but if you not having a proper rest, it will not easy to recover” lanjut Zee.
“Gue kuat, tenang”

“Anin” potong Zee.
“Gue udah ngelakuin ini kemaren, main sambil demam, gak akan kenapa napa kan kalo gue ulangin lagi?” tanyanya dengan retoris ke Zee. Mereka berdua saling bertatapan. Zee terlihat khawatir, sedangkan Anin terlihat percaya diri dengan lemasnya. Ironis, badannya sedang lemah, tapi dia sedang sangat percaya diri.
“But…”
“No But, Trust me” senyum Anin dengan muka amburadulnya, ke arah Zee. Aku bisa melihat tangan Zee menggenggam erat tangan Anin.

Mereka diam begitu lama, dan kami semua diam, menunggu kata-kata apapun yang mungkin keluar dari mulut mereka. Zee lantas memalingkan mukanya ke kami, dan membuang nafas dengan beratnya.

“I trust him”

--------------------------------------------

www-sh10.jpg

“Are you okay?” tanya Kairi ke Anin.
“Well…” jawabnya sambil lemas, sambil memainkan Bassnya di panggung, ketika kami Check Sound.
“Seriously, answer me…..” tatapnya dengan mata yang tegas.

“Maybe” jawab Anin.

“That’s not an answer” tatapan Kairi makin tajam. Sementara Stefan duduk bersila di atas panggung, tak berani mengangkat mukanya di depan Kairi. Iya, pasti, dia sudah habis dilumat dan dihancurkan oleh Kairi sehabis dari Kyoto. Bisa kulihat tampangnya seperti anak anjing yang dekat-dekat alpha male. Anjing Alpha Male yang biasa menjadi pemimpin kawanan Anjing.

“Are you okay or not?”
“I’m okay” senyum Anin dengan gagu dan anehnya karena mukanya terlihat lemah.
“You’re not”

“What’s wrong with you guys?” bingung Kairi. “First, his problem” tunjuknya ke Stefan. “Then we got a non talking freak like you” tunjuknya ke Bagas. “Now we got an Everything’s okay guy” tunjuknya ke Anin. “I don’t want you to force yourself, if you can’t make it, just tell, we cancel and it’s okay” lanjut Kairi, menutup kalimat panjangnya. Dia mengerti, kalau kondisi Anin tidak memungkinkan, maka tidak bijak juga untuk memaksakan bermain. Bunuh diri itu namanya. Terutama buat Anin.

“I’m okay, I can manage”
“No you’re not” kesal Kairi. “I will call the manager of WWW, to cancel your show tonight” dengusnya dalam ketidak pastian.

“Please don’t” Anin mendadak menghentikan Kairi.
“Why?”

“This is the last show, the ultimate one” Anin menatap Kairi dengan muka penuh harap. “Please” mohonnya dengan segala aura iba yang terasa bahkan sampai kepadaku yang ada di sisi lain panggung.
“Tell me, you can or you can’t?” tanya Kairi dengan tajam ke Anin.
“I can”
“Okay” Kairi menyerah. “But it’s your own risk” tegasnya. Anin hanya mengangguk setuju.

“Kok lo bisa-bisanya bilang percaya sama Anin sih” bisikku ke Zee yang kebetulan ada di dekatku.
“Well… He make me trust him”
“How”
“I don’t know” senyum Zee sambil menatap Anin dari kejauhan. Ya, chemistrynya jelas beda sekarang. Zee menatap Anin dari jauh dengan tatapan penuh percaya. Percaya kalau Anin bisa menaklukkan malam ini.

Baiklah, mari kita lihat nanti. Dan aku sekarang berharap antara dua hal. Show dibatalkan atau Anin survive menjaga tempo di panggung sampai beres nanti.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

xplayi10.jpg

Aku berdiri di tengah panggung, sendiri, dengan suara riuh rendah di depanku. Lampu gelap di arah penonton, aku tidak bisa melihat muka Kyou-Kun dan Kyoko yang juga menonton malam ini. Show ini baru saja di mulai, dan aku sendirian disana, dengan gitar berada di pelukanku.

Kubunyikan senar. Satu senar saja, senar ke tiga. Mendadak semua nada mengikutiku. Aku mencoba untuk memainkan solo gitar, ala-ala Al Di Meola, tapi lick-licknya aku tidak mengikutinya sama sekali. Mungkin bisa agak-agak Alex Scolnik sedikit. Atau ala-ala Guthrie Govan. Entahlah. Yang pasti not demi not dalam nada yang terdistorsi terdengar di penjuru ruangan.

Tepuk tangan mulai terdengar.

Tunggu.

Jari-jariku semakin cepat, bergerak dengan cara-cara yang tidak mungkin, memainkan nada-nada miring, dan memanfaatkan bunyi open string, karena gitar tersebut disetting drop d. Jadi pada tiap phrasing, aku tutup dengan dentuman senar ke lima dan ke enam, agar nuansa rock nya masih dapat. Rasa beratnya dapat.

Aku tidak menghiraukan suara penonton yang bersemangat, aku hanya bermain sendiri. Jari-jariku makin lama makin keriting, nada-nada miring yang cepat aku persembahkan malam ini untuk mereka semua yang sedang menonton kami. Kepalaku kosong, mulutku diam, tetapi tanganku yang bicara. Dia yang mewakiliku bersenang-senang malam ini.

Tiga sosok lainnya merayap ke panggung, dengan perlahan aku bisa merasakan kehadiran mereka. Anin dengan badan lemahnya berjalan paling pelan, menuju perangkat musiknya. Frekuensi rendah yang memandu kami semua, dan kami berdoa mudah-mudahan malam ini dia tidak tumbang. Bagas duduk di belakang drumset, untuk mengiringi kami semua. Stefan sudah menggenggam microphonenya.

Shibuya WWW. Semua orang menunggu aku selesai bermain gitar, dan sepertinya jari-jariku mulai ingin berhenti. Tahan, sebentar lagi. Ada nada yang dari tadi muncul di kepalaku dan ingin kucapai. Entah nada apa itu. Intinya aku belum puas. Aku tidak akan pernah puas bermain gitar.

Sedikit memori mendadak muncul di kepalaku, perjalananku belajar gitar, membentuk band, main di mana-mana sampai di titik dimana Hantaman bisa seperti ini. Tidak kusangka kita semua bisa menggantungkan hidup dan memulainya gara-gara alat musik yang terdiri oleh badan kayu dan enam senar ini.

Dan stop.

Aku berhenti membunyikan gitarku itu.

Tepuk tangan penonton membahana. Mereka sekarang sudah siap.

“Good evening, Tokyo” bisik Stefan. Lampu panggung belum menyala dan lampu sorot yang tadi menyorotiku kini sudah dimatikan. Penonton menjawab dengan suara riuh rendah yang tak jelas.

“This is our last show in Japan for now… Thanks for coming, thanks a lot” suaranya terdengar jelas di pengeras suara. Aku tersenyum, menatap Stefan dan langsung memainkan intro lagu pertama kami.

“Let’s rock” lanjutnya merespon suara musik yang mulai nyaring.

--------------------------------------------

cyhikt10.jpg

Aku memperhatikan Anin yang sedang meminum air mineral dari botol. Dia terlihat berkeringat, walaupun tidak bergerak sama sekali. Tatapannya sudah semakin kosong, dan mukanya terlihat semakin pucat. Dia mungkin tidak bisa menahan lagi lemas badannya karena sedang sakit. Sudah lemas, ditambah manggung, pasti energinya terkuras secara luar biasa.

Stefan, seperti biasa sedang bicara begitu kotornya di panggung. Memancing tawa penonton, dan memancing agar mereka bereaksi lebih agresif lagi dengan musik kami. Yang lucu dari Jepang, seheboh apapun reaksi mereka, mereka bisa dengan mudah tertib kembali. Beda dengan di kebanyakan negara lain, termausk di Indonesia, yang penontonnya lebih ekspresif.

Mungkin disini lebih enak untuk masalah tata panggung, profesionalisme kru dan panitia, tapi penonton terbaik tetap di Indonesia. Penontonnya begitu reaktif dan eksplosif, energi penonton Indonesia memang pure. Kadang ada yang menyebut kalau penonton Indonesia itu murahan. Tapi menurutku itu malah baik, artinya mereka siap dihibur dan seringkali tidak peduli siapapun yang manggung, asal attittude nya dapat diterima oleh para penonton, semua akan lancar saja dan apresiasi musik mereka tinggi.

Indonesia.

Tempat dimana aku akan tinggal dengan Kyoko.

Dan kini aku kembali melirik ke arah Anin. Dia tampak sedikit bersandar ke tumpukan amplifier. Aku melambai kepadanya dan bicara tanpa suara. “lu gapapa?” dia Cuma tersenyum dan menggelengkan kepalanya sambil menunjuk ke Bassnya lagi. senyum yang paling tulus dari Anin sebetulnya. Jika ada orang yang paling bisa berkorban untuk kami, Anin lah orangnya. Dia yang mengatur semua jadwal manggung kami, mengatur latihan kami, yang paling banyak menciptakan lagu, bertindak tidak hanya sebagai pemain Bass, tetapi juga sebagai manajer kami.

Stefan sudah selesai bicara, dan Anin tanpa banyak bicara memulai lagi berikutnya dengan intro bass, sambil bersender di dinding panggung.

Tak banyak bicara, walaupun dengan rasa khawatir yang luar biasa, aku langsung memainkan gitarku. Sayang aku tidak bisa berjalan sejauh itu ke arah Anin, karena kabel gitar menghalangi jalanku dan membatasi jarak pergerakanku.

Hang in there, Nin.

--------------------------------------------

all_0110.jpg

“This is the last song” Stefan membuka suara, badannya sudah tidak memakai baju lagi. atasannya sudah lama lepas dari tadi. Dia memang sepertinya tidak pernah nyaman memakai pakaian jenis apapun.

“Thanks all for coming. Thanks to WWW. Thanks to Titan. Thanks to God” tunjuknya ke atas. “God, who gave me this voice. God, who gave this opportunity to torture you with this voice” senyumnya.

Ya, ditutup sudah. Dan semua mudah mudahan berakhir dengan baik. Karena Anin sedang berjuang melawan demam di panggung. Supriingly, lick-licknya dan tempo yang dari tadi ia jaga tidak melambat sedikitpun. Aku melihat dari sudut mataku, dia berdiri di atas panggung, di depan amplifier, mematung, dengan keringat yang membasahi kepalanya. Aku curiga itu bukan keringat karena aktif bergerak sepertiku dan Stefan, tapi keringat dingin menahan rasa lemas, demam tinggi yang sedang berputar-putar di badannya.

“Last song, fight fire with fire!!!” teriak Stefan, dan kami langsung mulai bermain. Intro gitar yang diiringi oleh Bass dan Drum mulai menghentak. Suara bising kembali memenuhi WWW. Stefan mulai bernyanyi, menggeram dan melolong, merusak gendang telinga mereka semua dengan indahnya. Dan ah, akhirnya, aku menangkap muka Kyoko dan kakaknya di crowd. Aku tersenyum kepada mereka, dan tidak tahu apakah mereka tersenyum balik, karena aku mendadak sudah bergerak lagi entah kemana, untuk bermain gitar edan edanan.

Lirik-lirik keras dan tegas disemburkan oleh Stefan ke microphone, dengan penuh semangat, dengan suara yang stabil, tak berkurang sedikitpun kualitasnya dari awal mulai tour di Tower Records, lalu meluncur ke Osaka, dimana dengan suksesnya kami meluluh lantakkan Fandango dan Quattro Umeda.

Dan setelah semua insiden di Osaka yang gawat, kami harus berhadapan dengan Kyoto, dimana Live House takutaku dan Kyoto MUSE jadi pemberhentian berikutnya. Di Kyoto pun kami mendapati masalah yang lebih berat lagi.

Terakhir Tokyo. Disini akhirnya kami diuji, setelah segala kelelahan yang kami alami di perjalanan, setelah semua masalah gila dan kemudian ada masalah lagi dan datang terus terus dan terus, apakah kami bisa menyajikan musik dengan kualitas setara di Tokyo? Nyatanya bisa. Nyatanya tiga tempat, mulai dari Marz, Koenji 20000 V, dan terakhir disini, di Shibuya, di WWW, kami terus bisa menjaga kualitas bermusik kami. Dan kami diuji, di usia peralihan ini. Di usia yang menanjak dari umur 20 an lalu masuk ke umur 30an, kedewasaan kami diuji. Ini yang perlu kami perbaiki.

PR kami masih banyak, masih banyak yang harus kami hadapi di ujian kedewasaan yang dibawa oleh waktu.

Musik keras sudah mulai mendekati akhir. Aku sedang berada di bibir panggung, mempertontonkan keahlian permainan gitarku yang sudah lama aku pelajari sedari remaja. Mulai dari ekskul di sekolah, tempat les yang seperti sekolahan dibawah bendera alat musik asal Jepang, lalu ke guru gitar kesayanganku yang di lain kali akan kuceritakan, lalu berguru ke seorang gitaris Jazz-Rock Indonesia yang terkenal, dengan nekatnya. Kini aku ada disini, di Jepang, di WWW, menghadirkan permainan gitar yang jauh lebih baik dari biasa-biasa saja

Stefan kembali masuk, bernyanyi, melantunkan bait-bait terakhir dengan gagahnya. Bagas tetap disiplin seperti biasa. Anin sedang berjuang menahan rasa tidak nyaman di dalam tubuhnya untuk menjaga kami semua.

Not not terakhir sudah mulai kami mainkan.

Dan selesai.

Tepuk tangan dan teriakan bergemuruh, memekakkan telingaku. Suara siulan, suara kegembiraan malam itu membuatku tersenyum dalam hati.

“Thank you WWW” teriak Stefan. Anin menaruh bassnya, dan aku menaruh gitarku. Bagas berdiri dan kami semua berjalan ke arah Stefan, untuk membungkuk dan menerima kebanggaan. Kebanggaan menyelesaikan tur dengan semangat. Kebanggaan menjajah negeri orang. Kebanggaan mewakili diri kami di negara lain. Kebanggaan yang tidak dapat dituliskan lagi.

The tour is done.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

www210.jpg

“Ah, Kyoko desu, onegaishimasu….”
“Onegaishimasu” Kairi membungkuk ke arah Kyoko dan begitu juga sebaliknya. Ini kali pertama mereka berkenalan.

Suasana backstage lebih hangat dari biasanya. Stefan sedang di pojok, minum-minuman keras entah apa, karena dia sudah lega tour berakhir. Bagas diam, duduk sambil melihat handphonenya. Sena banyak berbincang dengan kru menggunakan bahasa inggris yang sama-sama terbatas. Ilham mengambil foto-foto kami.

Anin? Dia tidak kuat untuk sekedar beramah tamah dengan para karyawan Titan di backstage. Dia sudah pulang ke Nakano, ditemani oleh Zee, untuk beristirahat. Kyoko berbincang-bincang dengan Kairi, dengan kaleng bir di tangan mereka. Kucuri dengar, tentunya salah satu pembicaraannya adalah tentang pernikahanku dan dia. Aku tersenyum dan Kyou-Kun menangkap senyumku.

“So, the next thing is Kekkon” ucapnya memulai pembicaraan.
“Yep”
“Are you excited?”
“Always” senyumku.

“Can’t wait go to Indonesia” senyumnya, mungkin membayangkan udara hangat yang keterbalikan dengan suasana di Tokyo sekarang yang super dingin di februari ini.

“And I can’t wait to show you my studio”
“Ah.. So, how your album?” tanya Kyou-Kun.
“Ah, development hell” tawaku dengan kesal. Sial. Aku sedang tidak memikirkannya malah jadi terpikir lagi. rasanya seperti sedang sembelit. Sedang tidak bisa buang air besar. Ide-ide sedang mampet.

“Maybe after wedding I will work on it” lanjutku.

“Aya” Kyoko sudah selesai bicara dengan Kairi dan mendekatiku. Kyou-Kun mengerti tampaknya, untuk memberi ruang privasi untuk kami. Dia merayap ke arah Stefan yang sedang bicara dengan beberapa stafnya Kairi, mungkin untuk menikmati minuman gratis bersama.


“Hei” aku memeluk bahunya dan mencium pelipisnya.
“Selamat, sudah beres” senyumnya.
“Akhirnya ya”
“Nanti Aya pulang ke Jakarta, nanti Kyoko susul, lalu kekkon”

“Pasti”
“Tak sabar?”
“Banget”

“Kyoko sudah tak sabar ingin tinggal bersama Ai Chan dan Okasan, Kyoko senang dengan mereka” tawanya.
“Mereka juga senang kalo ada Kyoko” balasku.

“Aya senang kalau ada Kyoko di rumah?” tanyanya jahil.
“Senang pasti”
“Uso” dia melihatku dengan sudut matanya dan tersenyum meledek.

“Gak bohong kok, pasti seneng kalo ada kamu” aku mengacak rambutnya dan dia tertawa.
“Ah… ano.. bagaimana ya, rasanya, tinggal bersama Aya. Pasuti menyenangkan” senyumnya.

“Pasti sih”

“Gue mau beli rokok” mendadak Stefan bangkit dengan agak terhuyung, mungkin alkohol sudah memenuhi tubuhnya.

“Eh, jangan, gue beliin aja oke?” aku menawarkan diri.
“Minta kru aja” Ilham menyahut dari balik kamera.

“Gapapa, gue aja, bosen disini terus, mau jalan keluar bentar ama Kyoko, yuk” aku menarik tangan Kyoko, lalu keluar backstage. Kami berjalan dan turun lewat tangga. Tangga yang sepi, karena memang biasanya digunakan untuk lalu lalang kru dan penampil.

Kami berdua berjalan dalam sepi, dalam diam dan dalam tenangnya WWW sehabis kami tampil. Aku menggandng tangannya, dan kami berjalan beriringan dengan perlahan, meniti satu demi satu anak tangga yang menghubungkan backstage dengan pintu keluar.

“Aya kenapa mau beli ke minimarket?” tanya Kyoko. Pasti dia bingung, kok mendadak aku menawarkan diri membelikan rokok untuk Stefan.
“Karena mau ini”

Aku lantas menahan Kyoko ke dinding dengan lembut. Kyoko menatap mataku di tengah sepi. Kami saling diam, di tengah heningnya malam itu.

Dan bibir kami berdua bertemu. Bersentuhan dengan lembut. Aku menggenggam tangannya, disaat bibir kami berdua saling berkomunikasi, saling memberikan koneksi, koneksi perasaan cinta kami, perasaan sayang kami. Mata kami berdua tertutup, tapi semuanya terasa terang.

Bibir kami saling melumat dengan lembutnya, rasa hangat muncul dari dalam diriku, mengalahkan dinginnya Tokyo malam ini. Kyoko melepas tanganku, dan melepas bibirku. Dia lantas memegang pipiku dengan kedua tangannya.

“Aku sayang kamu” bisikku.
“Kyoko juga sayang Aya” balasnya lembut.

Dan kami kembali berciuman, melupakan sejenak semua kelelahan dan urusan dunia. Dan kami harap, waktu berhenti agar kami bisa berciuman selama-lamanya.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Habis ini kayak nya ada
"kan elo yg punya kendali kontol lo, bukan kebalikannya"
 
MDT SEASON 1 - PART 86

--------------------------------------------

1310710.jpg

“Kamu ini gimana sih?” Anin hanya tersenyum mendengar ibunya mengeluh tak berhenti-berhenti. “Pulang dari Jepang malah sakit, gak kuat udara dingin atau kurang tidur?”
“Kan yang penting pulang dapet pacar Bu” senyumnya dengan lemah di atas bed rumah sakit.

Iya, kami sekarang sedang berada di rumah sakit, karena kemarin, setelah kami sampai di Jakarta, tampaknya Anin terlihat semakin lemah dan parah. Penyakitnya, yang biasa disebut sebagai Flu itu, malah semakin memberatkan tubuhnya karena tampaknya sang penyakit nyaman untuk tinggal terus di tubuh yang sedang capek dan lemah.

“Ada-ada aja anak ini” geleng ibunya. Bapaknya hanya tersenyum, memperhatikan sang anak yang terkulai lemah di atas bed, sambil membaca koran yang teskturnya sudah kusut. Aku, Ai, Sena dan Stefan juga berada di dalam kamar, berdiri dengan manisnya, melihat sang ibu membongkar kiriman makan siang dari suster agar bisa dengan cepat dimakan oleh Anin.

“Kalo udah punya pacar, buruan kawin, liat tuh si Bagas, istrinya udah hamil sekarang” lanjut ibunya.
“Loh….. istrinya Bagas udah hamil tante?” tanyaku.
“Kamu belom tau?”
“Belom…”

Kapan bikinnya? Kami baru saja pulang dari Jepang. Masa sebelum kami berangkat ke Jepang? Ah, Bagas memang serba misterius. Sepertinya hidupnya lebih misterius daripada misteri harta karun Sukarno.

“Katanya kalian temennya, gimana sih?” senyum bingung ibunya Anin mengiringi kata-kata herannya. Aku cuma tersenyum geli sambil melirik ke teman-temanku dan adikku. “Tapi bagus lah, kalian semua udah pada gede kan, udah umur segini, Anin juga gak usah lama-lama pacarannya, nikah aja cepetan…”

Aku dan Stefan sepertinya menahan tawa terlalu dalam sehingga muka kami jadi agak datar kelihatannya.

“Kamu bentar lagi nikah kan?” tanya ibunya kepadaku.
“Iya tante”
“Calon kamu udah ke Indonesia?”
“Belum, baru minggu depan” Iya, Kyoko baru datang ke Jakarta minggu depan.

“Lengkap jadi ya, Bagas udah nikah, Kamu mau nikah, Anin udah punya pacar, Stefan malah pacarnya dibawa sekarang” ibunya Anin seperti nge-scan kami satu per satu.
“Pacarnya Stefan?” tanya Ai.

“Lah iya kalian emang pacaran kan?”
“Engga tante…” protes Ai dengan agak gusar. Aku masih menahan tawaku.

“Ah, boong…. keliatan kok” senyum ibunya Anin tidak mau kalah.
“Tapi..”

“Udah lah, kalian juga buru-buru deh kawin, udah umur 30an, lama amat sih nikahnya, nunggu apaan lagi?”

--------------------------------------------

yolo-i10.jpg

“Nasib sih emang lo disangkain pacarnya Stefan kalo bareng” tawa Dian. Ya, siang ini, kami makan siang bersama, aku, adikku dan Dian. Suaminya Dian? Sepertinya sedang giliran jaga anak di rumah.
“Tau” jawab Ai dengan kesal.

“Bahasa tubuhnya udah beda sih” tawaku mengomentari kondisi tadi.

Jadi, kemarin, sehabis landing, Anin langsung kami larikan ke UGD. Karena memang panasnya belum turun sejak dari Jepang. Bayangkan, semalam habis manggung di Shibuya WWW, dia langsung pulang ke penginapan, dan besoknya tidur seharian. Tentunya Zee berjibaku mengurus Anin sebisanya sampai Anin pulang ke Indonesia. Dan dari malam itu demamnya tidak turun-turun. Pasti kondisi tubuhnya yang kecapekan membuat penyakitnya dengan nyaman bersarang di tubuhnya. Untungnya sekarang sudah terlihat mendingan, mungkin karena disuntik vitamin dan diinfus. Kupikir jika besok dia sudah lebih segar, pasti sudah boleh pulang.

Aku sendiri di hari terakhir di Jepang hanya bisa beristirahat saja. Dan Kyoko tentunya datang berkunjung sebentar di siang hari, membawakan makan siang untukku. Ya, makanan masakan Kyoko yang kurindukan tentunya. Dan dia tidak menginap malamnya, karena kami pulang ke Indonesia pagi-pagi sekali.

Dan pikirku dan Kyoko, minggu depan Kyoko sudah datang ke Indonesia untuk menikah dan sebagainya, jadi tidak begitu urgent dia menginap di hotelku.

Persiapan pernikahan di Indonesia semuanya sudah hampir beres, hanya tinggal proses pindah agama Kyoko ke Islam, dan persiapan-persiapan kecil sebelum hari H. Semua urusan teknis pernikahan dibantu oleh Ai dan Dian, selama aku pergi ke Jepang. Sementara urusan administratif, masalah KUA dan masalah dokumen-dokumen Kyoko diurus oleh ibuku, yang tentunya dibantu oleh saudara ayahku yang bekerja di Kementrian Hukum dan HAM tentunya sudah berulang kali kuceritakan sebelumnya.

“Kyoko datengnya kapan sih YA?” tanya Dian, sambil makan.
“Minggu depan, hari selasa”
“Oo…. Terus besoknya langsung ke Al Azhar yak?”

“Yoi”
“Dia bakal ganti nama jadi pake nama islam gak ya, kayak kebanyakan muallaf lainnya?” Dian tampak menerawang entah kemana, memikirkan hal yang menurutku tidak penting ini.

“Katanya sih mau, Cuma gue bilang gak usah lah ya….” senyumku sambil mengunyah makanan yang agak terasa hambar siang itu, mungkin karena aku kelelahan dan agak kurang fit.

“Kalo aku Aisyah, dia Khadijah kali ya, biar cocok” canda Ai.
“Terus semuanya jadi nama istri nabi gitu ya” tawaku.
“Biasanya sih ustad yang ngislamin yang usulin nama” potong Dian.

“Kalo kata gue sih ga penting juga ya pake ganti nama, orang ntar di KTP juga pasti pake nama lahir kan, nama islam biasanya Cuma jadi kayak nama panggilan doang bukan sih?”

“Gak tau sih mas, belom pernah ganti nama jadi nama islam, orang namaku udah nama islam kok” tanggapan Aisyah Ariadi Gunawan membuatku tersenyum hampir tertawa.

“Jadi si tempat resepsinya sudah gue dp in ya, lo tinggal sisanya” potong Dian lagi.
“Elo depein dari hongkong, itu kan pake duit gue”
“Kan tetep aja yang memproses pembayaranya gue…” senyum Dian dengan sok lucu.

“Kampret” umpatku bercanda, sambil bersender di kursi, memperhatikan suasana restoran yang tenang siang ini. Ah, rasanya kurang tidur. Belum beres istirahat, harus menengok Anin di rumah sakit. Ah, dan besok, aku rencana berkunjung ke guru gitarku, mengobrol sedikit sekalian mengundangnya ke acara pernikahanku. Dan Java Jazz sebentar lagi, kalau tidak salah, bertepatan dengan tanggal pernikahanku. Sepertinya hari minggu setelah semua urusan pernikahan beres, aku akan mengajak Kyoko untuk nonton kesana.

Setelah sabtunya menikah, besoknya ke Java Jazz. Perfect.

“Eh, pada ikut ke JJF yuk?” aku mengajak Ai dan Dian.
“Laki gue ga demen Jazz, dia mah sukanya musik-musik galau…….. kesel juga gue bangun-bangun tadi pagi liat dia gendong anak gue sambil dengerin The Verve kenceng-kenceng, kapan hari anak gue dikasih denger Radiohead” balas Dian.

“Kenapa kok sewot?” tanyaku heran.
“Takut anak gue jadi galau ga puguh gitu, kayak bapaknya” haha, Dian meledek suaminya sendiri.

“Mana bisa begitu, ngaco ah elo” balasku.
“Kan katanya kalo anak bayi dengerin Jazz atau Klasik jadi pinter anaknya… Kalo dengerin britpop-britpop galau gimana tuh?”

“Mitos kali” tawaku.
“Aku ikut ya Mas ntar ke JFF sama kalian….” potong Ai tiba-tiba.

“Gue ga pernah denger elo suka ama Jazz deh” bingung Dian.
“Kan disana banyak juga yang bukan Jazz” tawa Ai.
“Dan elo juga bukannya honeymoon, malah ke Java Jazz, emang Honeymoonnya mau kemana sih lo?” tanya Dian kepadaku, seperti menyelidik.

“Gak tau, kalau ke Bali soh gue bosen sumpah, kalau ke Lombok gue ga tau disana ada apaan aja, kalo ke luar negri, ke Jepang lagi atau ke Singapur, si Kyoko ga bisa, kan dia harus tinggal berturut-turut 5 taun disini kalo mau jadi WNI, kalo menclok-menclok ke luar negri gitu jadinya dia baru bisa jadi WNI setelah 10 taun” jawabku panjang lebar.

“Jogja aja”

“Di Jogja ada apaan? Selain candi maksud gue” tanyaku.
“Banyak tau, suasananya sih yang enak” senyum Dian.
“Ah, elo mah enak sama laki lo hanimunnya ke Jepang ya……. gue sih sebenernya pengen honeymoon di Jepang, mana ga usah bayar penginapan kan, tinggal nginep di rumahnya aja” tawaku.

“Curang, pelit anaknya sih lo” ledek Dian.
“Biarin”

“Yaudah, biar elo ga curang pergi ke Jogja deh, gue pengen ke Jogja lagi sih, tapi entar lah kalo anak gue dah gedean dikit, biar Alika ngerasain enaknya travelling” lanjut Dian.

“Jogja…. Gue udah lama gak ke Jogja sih, kemaren juga perkara album baru cuman ke Bogor, Bandung ama Surabaya dan Bali.. Hotel-hotel disono katanya banyak yang lucu terus murah ya?” tanyaku.
“Prawirotaman sih banyak yang asik, kata temen gue sih disana kayak legiannya Bali gitu”
“Yaudah, Kyoko pasti mau lah ya ke Jogja”

“Ah, sayang jatah cutiku udah abis… Baru ada lagi abis April….” Potong Ai.
“Ngapain situ ikut-ikut aku sama Kyoko?” ledekku.
“Kan aku pengen liburan juga Mas…”

“Kerjanya jangan kerja kantoran kalo pengen bisa banyak libur mah…” tawa Dian.
“Mbak Dian juga susah libur kan? Sendirinya dokter praktek rutin….”
“Iya, udah mulai rajin praktek lagi nih abis cuti hamil dan ngelahirin” jawabnya sambil mengelus-elus perutnya yang dulu isinya bayi itu.

“Anyway, makasih lho gara-gara kalian urusin semua acara kawinan gue, gue jadi gampang nikah, ibarat kata udah tinggal bawa badan doang ke tempat resepsi, kan ijab kabulnya juga disana” tawaku.
“Curang ya Mbak, dia di Jepang, kita yang kesana kemari urusin catering, dekor, anu dan anunya” kesal Ai.
“Biarin lah, ntar tinggal siap-siap aja dia kita repotin balik”

“Iya, di kawinannya Ai ama Stefan” ledekku.
“Ih, aku gak mau sama dia, apalagi setelah denger ulah dia di Jepang kemaren”
“Emang dia ngapain kemaren di Jepang?” tanya Dian, penasaran. Matanya berbinar, haus akan gosip.

“Eh aku belom cerita ke Mbak Dian ya?” bingung Ai.
“Cerita dong, gue suka gosip di kala makan siang gini” jawab Dian.
“Ah dasar, elo udah jadi ibu-ibu makin demen gosip yak” tawaku.

Aku lantas bersandar di kursi, sambil mengirim pesan-pesan untuk Kyoko lewat handphoneku. Minggu depan dia akan ada di Indonesia, mengikuti proses yang akan membawa kami jadi man and wife. Pikiranku jelas kemana-mana, lebih karena excited sebetulnya. Apalagi akhir-akhir ini masalah agaknya sedang tidak rajin datang. Stefan sedang adem ayem, karena mungkin masih shock atas akibat perilakunya, walaupun hal itu belum kami diskusikan secara internal band, karena Anin sedang dirawat di rumah sakit. Dan aku sudah mulai membatasi perbincangan tak perlu dengan teman perempuan, terutama Arwen, untuk menghilangkan salah prasangka di kemudian hari. Setidaknya mungkin aku berusaha untuk memperbaiki kelemahanku.

Masalah yang berkaitan dengan musik itu juga bukan masalah, dan soal album solo, aku bisa mengerjakannya nanti, setelah menikah dengan Kyoko. Apalagi kalau ada Kyoko. Pasti lebih mudah rasanya mencari mood untuk bermain musik.

Jadi aman, semuanya aman. Tidak ada hal-hal yang bombastis, dan tidak ada lagi hal-hal yang memberatkan. Jadi, jalanku ke pernikahan lebih ringan rasanya.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

maxres12.jpg

“Sudah lama sekali kamu tidak kesini” ucap sang lelaki tua itu membuka pembicaraan antar kami berdua.

Umurnya sekitar pertengahan 70 tahunan. Rumahnya berada di tengah kota Jakarta, dekat dengan Pasar Baru. Rumah tua yang sederhana itu membangkitkan banyak memoriku ketika jaman kuliah dahulu. Rumah tua yang sederhana itu banyak sejarahnya. Banyak gitaris-gitaris jazz yang malang melintang di dunia musik Indonesia memulai karir musik mereka di rumah ini. Mereka lahir disini, dilahirkan oleh sang pria tua ini.

“Iya, dan Om masih ngajar?” tanyaku kepadanya.
“Masih, gak sebanyak dulu sih, tapi cukup lah untuk makan…” tawanya.

The Houw Jin. Alias Jaya Tejasukmana. Namanya sebenarnya hanya terkenal dikalangan gitaris Jazz atau para gitaris pemula yang haus akan ilmu. Rambutnya sudah putih semua, tubuhnya agak tambun, dan mukanya tampak berkerut walaupun dia selalu tersenyum. Aku memanggilnya Om Jaya. Aku sengaja mendatanginya sore ini, di hari minggu, setelah dia menjalani ibadah mingguan di gereja.

“Saya kaget waktu kemaren kamu nelpon, saya pikir kamu udah lupa sama saya” candanya.
“Siapa sih yang bisa lupa sama Om Jaya?” tawaku.

“Terus jadi datang kesini tuh cuman buat ngundang saya ke kawinan kamu? Gak bawa makanan apa gitu, habis dari gereja kan lapar saya” candanya lagi.
“Tau gitu saya tanya dulu ya, Om mau dibawain makanan apa”

“Tapi pasti gak cuma ngundang kawin kan? Kalo ngundang kawin saja kan kamu tinggal kirim pakai pos atau kurir undangannya….” tanyanya sambil duduk tenang di kursi teras rumahnya, menghisap rokok kretek yang baunya luar biasa menyengat, sambil melihat undangan pernikahanku di tangannya.
“Yah, itu cuma salah satu dari agenda saya kesini sih”

“Eh terus kok nama calon istri kamu begini?”
“Emang dia orang Jepang asli Om…”
“Oh, saya kirain orang tuanya iseng ngasih nama dia sok-sok Jepang, soalnya gak ada foto kalian di undangan kawinannya, kan saya jadi gak tau mukanya kayak apa…. Ngomong-ngomong kalian ketemu dimana?”

“Jepang” tawaku.
“Haha.. kita udah bertaun-taun gak ketemu, terus kamu dateng kesini lagi pas udah mau kawin, dasar memang murid durhaka” candanya.

“Untung nomer telpon rumah Om gak berubah ya” aku menggelengkan kepala sambil bersandar, melihat taman yang agak amburadul. Dirinya sudah lama menduda, bahkan lebih lama dari yang aku tahu. Anak-anaknya tinggal di luar negeri semua, sibuk dengan keluarga mereka masing-masing. Dan Om Jaya selalu disini, sendiri, mengajar gitar kepada siapapun, bahkan sepertinya tarif mengajarnya tidak banyak berubah jika dibanding dengan waktu aku kuliah dulu.

Tapi gara-gara dia, banyak sekali gitaris Jazz Indonesia yang lahir. Ya, yang namanya kalian sebut-sebut ketika kalian menonton Java Jazz. Yang kalian puji-puji karena lagu dan albumnya bagus-bagus. Ironis Om Jaya seumur hidupnya bahkan belum pernah membuat album, rekaman dan main di Java Jazz. Bahkan datang nonton di Java Jazz saja belum pernah.

Banyak yang mengundang dia untuk nonton? Banyak, apalagi mantan muridnya yang sudah sukses-sukses. Tapi katanya, gak usah, gak suka rame-rame katanya.

Banyak yang mengajaknya bikin album? Banyak, tapi, malas katanya, orang sudah tua ngapain sih kebanyakan gaya.

“Ngomong-ngomong, saya kangen pengen liat Om main gitar lagi” aku memecah keheningan.
“Ah, kan waktu kamu belajar udah, waktu dulu pas kamu belajar sama saya mah lama berkembangnya, kalo les kerjanya cuma nonton saya main gitar doang sih” ah Om Jaya, tidak pernah berubah, selalu bercanda sinis.
“Siapa yang gak jadinya nonton doang Om, kalo gurunya mainnya keren kayak Om”

“Terus, selain ngundang kawin, emang agendanya mau ngapain lagi?” aku mengambil cangkir kopi yang sudah dibuatkan Om Jaya tadi, ketika aku baru datang, lantas menghirup kopi hitam yang dia sediakan untukku.
“Anu, saya mau bikin album”
“Bagus”

“Tapi udah mau dua tahun gak jadi-jadi”
“Bagus juga dong, yang penting kan usaha”

“Iya sih……”
“Emang yang udah jadi berapa lagu?” tanyanya.

“1 lagu….”
“Kok payah, kayak bukan murid saya aja” tawa Om Jaya.
“Nah…”
“Coba saya dengerin, bawa gak lagunya, disimpen di Hape gak, anak jaman sekarang kan apa-apa disimpen di Hape, untung saya gak punya Hape” candanya.

“Sebentar om….”

Aku membuka handphoneku, menyambungkannya dengan speaker bluetooh dan dengan mudah aku menyalakan lagu Matahari Dari Timur. Untung suasana di sekitar rumahnya tidak ramai, hanya ramai oleh suara anak kecil lari-lari di jalanan kompleks.


Om Jaya dengan tenang mendengarkan lagu tersebut, sambil menutup matanya, sampai-sampai aku jadi khawatir kalau-kalau dia tertidur. Aku hanya bisa menatap dirinya yang manggut-manggut, mencoba menilai dan menakar lagu tersebut. Akhirnya lagunya selesai diputar juga.

“Bagus” pujinya.
“Makasih Om” senyumku.
“Ada tapinya tapi…” senyumnya tersungging.

“Apaan tapinya Om?”
“Ini kayak bukan kamu”
“Eh?”

“Gimana jelasinnya ya, coba masuk ke dalem deh” Om Jaya bangkit dan membuka pintu rumahnya. Di ruang tamunya yang merangkap tempat les, berjajar beberapa gitar, yang kebanyakan tipenya Hollowbody maupun Semihollow. Mendadak Om Jaya mengambil salah satu gitar yang dipajang, mencolokkannya ke salah satu amplifier yang ada disana.

“Main” dia menyerahkan gitarnya kepadaku.
“Main apa Om?” tanyaku bingung sambil menerima gitar itu.
“Main gitar dong, saya kan gak ngasih kamu trompet” tawanya dan dia lantas duduk di singgasananya, kursi tua yang kulitnya sudah robek-robek. Kursi yang selalu ia duduki ketika mengajar.

“Eh… Main lagu apa maksudnya?” aku masih bingung, lantas duduk di hadapannya, dengan gerakan yang masih kikuk.
“Terserah kamu.”

“Aduh… Apa ya?” aku menerawang. Mataku melirik ke arah langit-langit sambil memeluk gitar.
“Ah, kebanyakan mikir, langsung aja… Thelonius Monk, Reflections, cepetan” tawanya melihatku gagap.

“Oh oke”


Aku memainkan nada-nada yang kuingat dari lagu itu, dan juga menyisakan ruang improvisasi yang banyak. Om Jaya menghisap rokoknya dalam-dalam, kakinya bergoyang sesuai dengan tempo yang kumainkan. Kumainkan sebisanya dan kadang-kadang kuselipkan lick-lick gitar dan nada-nada yang sering kubawakan, baik ketika bersama Hantaman, maupun sebagai gitaris Jazz.

Tak terasa beberapa menit pun berlalu, dan aku berhasil menyelesaikan lagu itu.

“Nah, dikasih gitar malah keasikan dia…” tawanya setelah aku menyelesaikan lagu itu.
“Lantas gimana om? Kok saya jadi makin bingung” bingungku.

“Kamu gak cocok main smooth jazz… lagu-lagu yang ceria ceria hepi hepi ngepop gitu…” senyumnya.
“Eh?”

“Gaya main kamu, kelihatan banget banyak dipengaruhi era-era bebop taun 50 an, dan ada sedikit gaya-gaya dari musik rock dan fusion jazz taun 80 an, walau kamu main solo gitarnya tadi di sok-sok manisin kayak lagunya Monk tadi” komentarnya.
“Keliatan ya?”

“Arya, mau kamu udah semodern apapun, dioperasi plastik biar mirip bule juga, tetep aja keliatan kalo kamu tuh aslinya Jawa-Sunda….” dia menggelengkan kepalanya. “Gaya main asli kamu, di lagu smooth jazz tadi, gak keluar sama sekali, lagunya enak, bagus, keren, tapi bukan kamu” senyumnya.

Aku manggut-manggut seperti anak bodoh yang baru saja diajarkan hebatnya rumus perkalian.

“Terus gimana dong om?” tanyaku bingung.
“Kamu main lagi sana, main Jazz, jangan-jangan kebanyakan main rock bikin kamu lupa caranya main standards kayak gimana”
“Enggak sih, saya masih suka latihan dari Songbook dan…”

“Latihan yang beneran mah manggung” potongnya sambil senyum. “Sana, bikin Trio apa Quartet, terus kamu yang leading, bawain lagu-lagu standards, ala kamu, ntar ketemu sendiri kamu mau bikin lagu kayak apa. Jangan ujug-ujug bikin lagu fusion, smooth jazz, bebop, swing, tanpa pernah nemuin bentuk kamu kalo mimpin kelompok musik kayak apa… Inget, kamu suatu saat mesti leading, gak cuma leading keluarga aja, leading dimusik juga harus”

“Tapi…”
“Gak ada tapinya”
“Tapi gimana ya Om…” pusingku.

“Apa yang mesti dipusingin?”
“Saya kan ga pernah jadi leader di kelompok musik, nah kalo soal itu, apa ada tipsnya…”
“Orang tua mana ada yang ngasih tips ke anaknya buat belajar jalan, langsung main jalan aja kan si anak?” lanjutnya.

“Eh iya ya”
“Sana gih, pulang, kontak temen-temen kamu, cari working group. Belajar jadi leader kelompok musik, kalo udah lancar, baru bikin lagu, jangan kebalik”

“Iya om”
“Terus, ngapain masih diem disini, pulang sana” senyumnya dengan penuh pencerahan.

“Nunggu Om main gitar dulu, saya mau denger, udah lama”
“Nanti di kawinan kamu boleh?” tanyanya, tampaknya dia malas main gitar sekarang.
“Beneran mau main di kawinan saya?” mukaku pasti kelihatan sumringah membayangkan Om Jaya dengan gitarnya bermain di pernikahanku.

“Ya enggak lah, saya guru, bukan penampil”
“Yah, kalo gitu ajarin saya lagi sekarang”
“Kamu udah pinter, cuma ga pernah jadi leader aja” jawabnya sambil bersandar dengan santainya. Rokok tetap menyala dan mengepul dengan nikmatnya.

“Iya…. Nah sekarang saya udah kebelet pengen liat Om Jaya main gitar”
“Udah pulang sana”
“Tapi om”
“Pulang, ntar ketemu lagi pas kamu kawin” senyumnya menyuruhku pulang. “Pikirin siapa aja yang kamu mau ajak main, daripada nungguin saya main gitar”

“Iya deh….”

--------------------------------------------

01937310.jpg

Minggu, sore. Aku berjalan dengan pelan di atas motorku, sepulangnya dari rumah Om Jaya, dengan pikiran menggantung di langit-langit kepalaku.

Dengan siapa aku harus main? Bass? Jacob pasti, siapa lagi? Drum? Banyak pilihan. Piano? Yang pasti bukan Karina. Eh tunggu, harus pake piano? harus Quartet atau Trio? Ah pusing.

Ah sudahlah, yang penting aku menikah dulu.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Wah salah prediksi,, part selanjutnya nih brarti QUOTE the best dari anin

Lanjut om
 
Wah salah prediksi,, part selanjutnya nih brarti QUOTE the best dari anin

Lanjut om
 
honeymoonny d raja ampat aja suhu. lebih keren. g ada lawan pandainya d dunia
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd