Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

ikuti dulu suhu..
 
uvoria gun's n rosses cadaaaass, coba band pembukanya HANTAMAN, pasti lebih uyeeee
hmmm ngemeng ngemeng Arya and Kyoko ikut nonton GX ya kemaren,,,
 
OmG.. ,akhirnya kluar juga suhu yg satu ini,kirain MDT udh gak bakal di kluarin lagi huu,,,maksih sebelumnnya
 
MDT SEASON 2 – PART 13

--------------------------------------------

guitar10.jpg

Bangun.

Mataku menyesuaikan dengan cahaya remang-remang di kamarku. Aku menatap ke sekeliling, hanya untuk menemukan bahwa aku terbangun pukul dua pagi. Aku melirik ke sebelah, ada istriku tergolek dengan indahnya disana. Tanpa busana. Akupun tanpa busana.

Ya, lagi-lagi kami bercinta tadi. Entah jam berapa, tapi yang pasti sehabis melakukannya, kami berdua tertidur. Dan kini aku terbangun, lantas aku bangkit, mencari celana tidurku, untuk berjalan ke kamar mandi. Setelah menemukannya, aku keluar kamar dengan perlahan, dan mencoba untuk menyelesaikan beberapa urusan yang genting. Seperti buang air kecil dan sikat gigi.

Pikiranku lari kemana-mana. Sudah seminggu kurang berlalu. Hari-hariku tampak makin sibuk, terutama menjelang bulan puasa, dimana aku harus mempersiapkan rekaman Speed Demon agar semuanya berjalan dengan efektif dan efisien. Diantaranya dengan cara mereview lagu-lagu ciptaan mereka yang mereka kirimkan secara berkala, lalu mencoba membuat komposisi kasarnya melalui program-program di komputer.

Stefan sudah mengamankan kontrak sponsor dengan salah satu produsen rokok sebagai salah satu pendukung acara launching mereka di jogja nanti, sehabis lebaran.

Anin pun sudah membuat beberapa marketing kit yang tinggal dijalankan.

Somehow, karena proporsi pekerjaanku yang lebih banyak dari mereka, di perjanjian yang kami buat di awal, memang sebagian besar keuntungan lari ke kantongku. Tapi rasanya capek sekali, mementori orang lain. Menjadi pembimbing memang sangat sulit. Dan akhir-akhir ini tenagaku makin terkuras, karena bukan hanya soal Speed Demon saja yang jadi kesibukanku, tapi juga latihan rutin dengan Quartetku, selain juga latihan rutin Hantaman dan kami masih ada beberapa jadwal manggung, di sekitar Jabodetabek sebelum bulan puasa.

Dan tentunya, yang memberatkan adalah problemnya Kyoko. Ibuku sudah mencoba membongkarnya sedikit demi sedikit, tapi yang didapatkan tidak terlalu banyak, jauh dari harapanku. Aku teringat tadi, pembicaraan dengan ibuku sebelum aku naik ke kamarku untuk tidur.

--

“Sejauh ini hanya sedikit aja yang mama bisa kasih tau soal Kyoko ke kamu… Karena dia sepertinya berusaha nutupin hal-hal yang membuat dia berat itu ke mama juga…”
“Ya, sama berarti ke aku juga gitu” balasku.

“Mama coba bertanya dengan halus, diawalin dengan cerita mama waktu awal-awal nikah dan adaptasinya gimana…. Dan mama coba tanya, gimana rasanya mendadak hidup di Indonesia setelah seumur hidup di Jepang, dia Cuma jawab, kalau dengan kamu, bisa tinggal di mana saja….”

“Diplomatis…”

“Sangat diplomatis, sepertinya dia khawatir kalau dia mengeluh, dia dicap sebagai istri yang kurang berbakti atau gak bersyukur kamu udah sayang sama dia….” Lanjut ibuku.

“Tapi ya tetep ma, dia gak boleh kayak gitu, itu namanya maksain, seenggaknya walau aku gak bisa bantu dia, aku pengen dengerin apa yang bikin dia nangis malem itu, dan ini udah kelamaan, aku takut dia lupa-lupain penyebabnya dan sampe kita tua aku gak bakal pernah tau……” keluhku panjang.

Ibuku hanya tersenyum. “Adaptasi perlu waktu” jawabnya singkat.

Aku menelan ludah dan merasa payah. Merasa payah karena tidak dapat menebak apa yang ada dalam kepala istriku.

“Tapi mama agak sedikit nemu pencerahan tadi” senyumnya lagi.
“Apa ma?”

“Tadi pas mama coba ngobrol lagi, nanyain kabar kakaknya dan kabar dari Jepang sana… Dia mendadak ngomong panjang lebar, nyerocos dengan muka yang benar-benar berseri-seri. Mungkin memang dia sangat kangen sama Jepang, mungkin karena memang kangen beneran, atau juga karena shock dengan segala macam tetek bengek kehidupan Jakarta-nya sekarang”

“Hmm….”

“Dan dulu, kamu tahu apa yang bikin mama nekat kerja lagi di apotik?”
“Bukan karena keuangan kan?”

“Uang dari papamu gak pernah kurang” lanjutnya. “Tapi mama gak ngerasa punya pride di depan dunia dulu, karena mendadak mama jadi gak punya pekerjaan setelah papamu paksa mama untuk jadi ibu rumah tangga…. Dan kamu pasti inget, betapa marahnya papa waktu tau mama mau kerja lagi kan?”

Ya, aku masih mengingat fragmen menyakitkan dari masa kecilku itu. Aku terdiam dan mengangguk.

“Dia pasti limbung juga, dari tadinya ada kesibukan rutin, sekarang begini, itu wajar… Tapi mama sarankan kamu jangan langsung bertindak, kamu juga harus ngobrol sama dia, coba gali pelan-pelan dari ngobrol-ngobrol biasa, jangan kamu tanya langsung…. Biasanya kan dari dulu kamu selalu bisa bicara sama perempuan dengan baik, mungkin coba diulangi ke istri kamu” senyum ibuku.

Aku mengangguk dengan dalam, dan akan berupaya juga untuk mencari tahu apa penyebab utamanya.

--

Aku kembali ke kamarku, menutup pintunya dan menguncinya dari dalam. Sebelum kembali ke tempat tidur, aku mengangkat handphoneku dan melihat isinya. Beberapa notifikasi media sosial dan aku hanya melihatnya untuk menghapus notifikasinya. Tidak ada yang penting dan tidak ada yang urgent untuk malam ini. Sepertinya aku akan mencoba untuk kembali tidur, dan mencoba merancang kalimat-kalimat yang dapat membongkar isi kepala Kyoko.

Sebelum kembali menutup mata, aku mencium bahu Kyoko dan mencium pipinya.

“Hmm? Aya?” dia mendadak bangun perlahan.
“Eh, sori, tidur lagi sana” senyumku sambil memeluknya dari belakang dan menghirup aroma wangi rambutnya.

“Aya tidak bisa tidur?” tanyanya dengan suara yang lemah.
“Bisa, Cuma tadi kebangun, terus ke kamar mandi bentar…. Sekarang mau tidur lagi” bisikku sambil melingkarkan tanganku di perutnya, merasakan kulitnya yang lembut dan hangat.

“Aya badannya dingin”
“Mungkin karena aku habis dari kamar mandi…. Makanya meluk kamu biar anget”
“Mmm….” Jawab Kyoko sambi menekankan badannya ke badanku.

“Aya ingin lagi?” Bisiknya dalam senyum, mungkin merasakan benda keras yang menempel di bokongnya.
“Gak usah… ntar kamu kecapekan, aku juga kecapekan”
“Aya diam saja, biar Kyoko yang bikin Aya puas”

“Gak gitu juga kali” bisikku sambil mencium tengkuknya. “Tidur aja mendingan kita, besok masih banyak yang mesti kita kerjain kan?”

“Iya”

“Kyoko capek gak akhir-akhir ini?” tanyaku mencoba untuk membuka pembicaraan yang memancing dirinya untuk curhat.
“Capek bagaimana maksud Aya?”
“Enggak, aku pengen nanya ke kamu aja, kalau ngerjain kerjaan rumah sehari-hari itu capek atau enggak sih, soalnya itu menurutku pekerjaan yang berat” bisikku.

“Hmmm… Tapi kalau lihat Aya sedang kerja di studio, atau baru pulang, capainya hilang” jawabnya, lagi-lagi diplomatis.
“Hehe, aku juga kalau capek, kalo liat kamu pasti ilang capeknya” aku mencoba mengikuti alur pembicaraannya, agar tidak begitu terasa kalau aku mencoba membongkarnya.

“Berarti Kyoko sama dengan Aya” senyumnya.
“Tapi dulu pas di Jepang kerjaan kamu lebih banyak lho, gak Cuma ngurusin rumah aja, tapi juga ngurusin café… Pasti lebih capek lagi ya?” tanyaku.

“Hmmm….” Kyoko tampak ingin bicara tapi tampaknya kalimatnya tertahan.

“Kenapa?”
“Tidak apa-apa Aya” senyumnya mendadak, seakan ingin menyembunyikan beberapa hal yang tidak ingin aku ketahui.
“Tapi kayaknya lebih capek sekarang sih…. Soalnya kan bisa dibilang kamu ngurusin tiga orang kan ya? Aku, Ai sama mama” aku memeluknya lebih erat lagi.

“Sepertinya Aya” senyum Kyoko.
“Tapi kita udah gede-gede lho, jadi praktis kamu cuma repot pagi sama malem aja, tapi aku yakin banget kamu pasti capek…..” bisikku. “Soalnya kata mama dulu, waktu masih ada bokap, dia suka bilang, kalau jadi istri itu tidak mudah tapi dia suka” bisikku.

“Aya…” Kyoko mendadak berbalik dan dia tampak curious. “Kyoko tidak pernah dengar cerita soal papa Aya…”
“Kamu tau kan dia orang yang kayak apa, dari omonganku”
“Iya, tapi Aya tiap mulai ada pembicaraan soal dia, pasti Aya terlihat seperti ingin marah…” lanjut Kyoko.

“Kalau kamu kenal orangnya kamu pasti pengen marah juga sayang….”
“Kasihan Aya, untung sekali Aya orangnya tidak seperti itu ya, sayang semua disini, ke Ai chan, ke Kyoko dan Okasan juga” lanjut Kyoko.
“Iya, makanya aku pengen banget bisa ringanin beban kalian semua…. Kayak mama, kan harusnya dia udah pensiun, toh uang penghasilanku sama Ai kan cukup buat kita semua…”

“Iya Aya, Okasan harusnya istirahat ya di rumah, dan Kyoko juga ingin ringankan beban semuanya” senyum Kyoko.
“Dan kamu juga harusnya gak cuman di rumah aja sih…. Aku kok ngerasa kamu kayak dipenjara disini hahaha….”bisikku.

“Penjara bagaimana Aya?”
“Ya, aku takut kalau kamu gak begitu nyaman cuman jadi ibu rumah tangga aja, pengen kerja gitu, apa gitu…..”

“Haha, Aya bisa saja, disini kan tidak ada café yang bisa Kyoko kerjakan bersama dengan Onisan…” senyumnya.

Hmm. Café, lalu dari pembicaraannya soal mamaku, sepertinya dia tidak ingin menambah beban di keluarga ini. Pasti dia ingin menghasilkan juga seperti dulu, contribute ke keluarga kami seperti dulu ia ikut berkonstribusi untuk usaha keluarganya. Menarik. Sedikit terlihat apa yang dia inginkan sebenarnya. Tapi aku tidak tahu apakah itu yang menyebabkannnya menangis. Tampak terlalu gampang untuk disimpulkan dan sepertinya aku tidak bisa menanyakannya secara langsung, karena dia pasti tidak menjawab. Harus lewat pembicaraan yang halus dan penuh maksud tersembunyi seperti ini tampaknya.

“Emang kalo kamu dikasih tempat kayak café sama Kyou-Kun dulu gitu bakal suka?” tanyaku sambil memeluknya dengan erat.
“Sepertinya bakal Aya”

“Hehehe…. Yasudah, kita tidur lagi, sementara cafenya di mimpi aja ya” Aku mencium bibirnya dengan erat, dia menyambutku dan kami lantas berusaha untuk kembali terlelap.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Kok si bir mendadak gak jadi seponsorin gini ya….” Anin mengeluh sambil memutar-mutar rokok yang belum ia bakar.
“Mau gimana lagi…. Walau gue rada kesel juga, cuman ya gimana…” jawab Stefan seadanya, sambil menatap ke arah diriku dan Anin. Bagas sedang ada di dalam, entah ngapain seperti biasa.

Sebelum latihan rutin hantaman yang selalu dilaksanakan di hari Senin, Rabu dan Jumat (terkecuali di hari dimana salah satu dari kami berhalangan karena urusan yang lebih penting, seperti Anin mengajar les, atau Stefan harus rapat dan atau aku harus manggung sebagai gitaris jazz), sekarang ada ritual baru, yakni rapat sebelum latihan. Tentunya rapat label kami bertiga, MDT.

“Berita-berita ini gak ada yang gue kasih tau ya ke Speed Demon, soalnya bukan ranah mereka, biar mereka konsen di bikin album dan manggung aja” aku bersuara untuk menetralkan kekecewaan kami bertiga atas lepasnya sponsor yang lain.

“Tapi masih agak-agak polemik sih soal mereka, si orang Rokok ngingetin ke kita jangan sampe ntar jadi kontroversi karena mereka umurnya masih di bawah 21” balas Anin.

“Itu ada trik nya supaya gak polemik” Stefan menarik nafas panjang. “Yang penting, gak main di lingkungan kampus selama disponsporin sama Rokok, kita juga gak rilis umur mereka dan sebut-sebut usia mereka pas launching….”

“Itu curang gak sih namanya?” tanya Anin.
“Itu namanya nyari celah”
“Tapi…”

“Gak ada tapi-tapi, selama ini yang kenceng ngeluarin duit buat musik siapa lagi kalo bukan rokok? Dan faktanya sekarang mereka gak bisa nolakin anak-anak dibawah umur buat ikutan di acara yang mereka sponsorin…. Selama gak keluar usia mereka di media, gak masalah” lanjut Stefan.

“I can live with it” komentarku. “Lagipula, inikan bukan buat sponsor mereka selamanya Nin, Cuma sponsor pas lagi launching doang…”

“Hmmm….” Anin sepertinya masih agak berat menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa sponsor rokok bisa menimbulkan polemik kalau publik tahu, mereka mensponsori acara yang penampil utamanya umurnya dibawah 21.

“Santai, asal lo tau aja kita pernah munculin model seksi yang umurnya belom tepat 18” senyum Stefan.
“Lah, gimana ngakalinnya Fan? Kontrak majalah kalian sama dia gak bermasalah?”

“Kita punya banyak senjata, karena selain orang tuanya ngizinin, dia juga gak kita publish umurnya di artikelnya. Gapapa curang dikit… Gak ada yang tau kok” tawanya, mengingat pekerjaannya.

“Tapi jangan sering-sering kayak gini deh, takut gue, belum apa-apa ntar kena masalah gimana?” tanya Anin dengan khawatir.

“Bisnis itu ngambil resiko…. Kadang emang harus ada keputusan-keputusan yang rada nyeleneh dan rasanya gak enak buat nyelametin kita kedepannya nanti” ujar Stefan dengan muka yang berusaha membuat Anin tenang.

“Hmm…”

“BTW, gimana kabar bini lo, udah berapa lama lo gak apdet ke kita soal kondisinya?” tanya Stefan.
“Perlahan udah mulai agak kebongkar sih, gue ajakin ngomong soal café yang dulu dia kelola sama kakaknya, dia keliatan hepi dan berbinar-binar, malah kata nyokap gue, dia ceritain soal café kakaknya ga berenti gitu, waktu itu pernah dipancing ama nyokap gue”

“Terus?”
“Yah, keliatannya dia kayak lebih capek sekarang sih daripada pas dia sibuk di Jepang dulu” lanjutku.

“Wajar, orang yang nganggur itu lebih cepet capek daripada orang yang gawe” komentar Stefan.
“Oh ya? Kan kegiatannya lebih dikit Fan” bingung Anin.

“Adek gue pas masih nganggur, keliatan kayak orang frustasi gitu dan dia kayak lemes terus, makanya mungkin wajar si Kyoko stress karena kesibukannya gak ada lagi, dia jadi lebih lemes, gak ada semangat idup, gak punya pride. Inget dia tadinya punya pekerjaan, dan itu pekerjaan bukan sembarang pekerjaan” lanjut Stefan.

“Usaha keluarga” aku melengkapi kalimat Stefan sambil menggosok-gosok mukaku.

“Tepat, apalagi usaha keluarga, pridenya lebih gede daripada sekedar jadi pegawai… Dan sekarang dia jadi ibu rumah tangga, di Indonesia pula….” Lanjut Stefan.
“Ah, lo malah bikin gue jadi ngerasa bersalah, kampret” umpatku ke Stefan.

“Yah itulah kan udah gue bilang, kalo pacaran, malah sampe nikah sama cewek yang submissive, jadinya ya gitu, dia kasih hidupnya ke elo, dia suka apa enggak, pokoknya mah suami nomer satu aja, dianya nomer sekian”

“Ya kan gue gak mau kayak gitu Fan, gue juga gak pernah berharap dia kayak gitu ke gue sampe sekarang, dan gue sangat ngarep mentalitas dia yang kayak gitu berubah” balasku dengan nada agak frustasi.

“Santai Ya, lo nikah kan belom ada setaun kan? Hehe” senyum Anin.
“Iya, baru mau empat bulan dan menuju bulan puasa”

“Bulan puasa tinggal hitungan perkara dua mingguan, dan liat ntar adaptasi si Kyoko yang katanya pengen puasa itu, apa gak makin payah mentalnya dia…” lanjut Stefan.

“Fan…” aku berusaha menghentikan dirinya yang mendadak banyak bicara seperti di Jepang dulu.
“Nah coba kalo ama Karina kawinnya, ribut mulu sih, tapi secara mental lebih imbang lah…”

“Fan…”
“Kalo sama Kanaya….. Sebenernya gak cocok mau nikah ama dia, dia nya gak dewasa sih hahahahaha” tawa Stefan sambil membakar rokoknya.

“Udah ah Fan, gak enak didengernya” sahut Anin berusaha menghentikan kalimat-kalimat ngaco khas Stefan.

“Ngaco abis, mending latihan” aku berdiri dan bangkit.
“Atau kayak sama Arwen misal, wih, gila, cocok abis, penyiar radio ama musisi, seimbang banget secara mental, dan gak ada yang jadi submissive, dua-duanya bakal luwes, gak ada yang maksain dan supress dirinya secara emosional”

“Eh kontol, latihan yuk, sebelum gue gak mood” ucapku dengan kesal, sambil berdiri.
“Hahaha, sori, kebawa suasana”
“Lagian nanyain Arwen mulu, lo embat sana, jangan-jangan lo malah diem-diem suka” kesalku ke Stefan.

“Ogah” tawa Stefan.

“Kenapa emangnya? Kan cocok sama profil elo, keliatan mature, aktif kemana mana, terus juga dandanannya anak indie banget, kerjaannya keren…. Oh iya lupa, lo kan sukanya sama adik gue” balasku meledek.

“Kontol, kagak, gue ogah karena gue gak mau ngembat fans nya elo” balas Stefan meledek.

“Kontol” jawabku ke Stefan. Dan mendadak kami semua dikagetkan oleh suara laki-laki yang menegur kami.

“Eh sori Mas Arya” Toni ternyata.
“Oh mau ngambil stik yang kemaren ketinggalan ya?” senyumku ramah ke Toni.

Tadi pagi dia memang menghubungiku, bertanya apakah antara jam sore ke malam aku ada di rumah atau tidak, karena kemarin, dia meninggalkan stick drumnya di studioku. Dan kalau aku ada di rumah, dia mau mampir mengambilnya. Dan karena hobinya telat, aku sangka dia baru akan datang malam-malam.

“Lah ini anak giliran stik dram nya ketinggalan, dia malah tepat waktu ngambilnya” kesal Stefan.
“Hehehe” tawanya diplomatis.

“Udah, masuk aja, lo cari di dalem, ada si Bagas tuh di dalam” senyumku ke Toni. Dan dia tersenyum, lalu masuk untuk mencari peralatannya yang tertinggal. Tak berapa lama kemudian, sekitar 3-4 menit, dia keluar dengan benda yang ia cari.

“Ketemu mas, makasih banyak ya….” Senyumnya kepadaku, dengan sangat ramah.
“Langsung balik?” tanya Anin.
“Iya mas, harus ikut jam session mingguan soalnya”
“Oh iya, gue udah janjian sama Arka buat ikutan kapan-kapan, ntar lah ya, pas puasa masih ada kan?” tanyaku ke Toni.

“Masih Mas”
“Siap, salam ke Arka dan anak-anak yang laen ya!” seruku, sambil melihat kepergian Toni.
“Oke mas, sori ya semuanya, duluan….” Ucapnya dengan ramah.

“Anaknya nyenengin ya keliatannya” komentar Anin sambil melihat sosok Toni yang sedang bersiap-siap di sebelah motornya.
“Banget, makanya walau dia suka telat kalo dateng latihan atau manggung, tetep aja ga ada orang yang bisa sebel sama dia” jawabku.

Mendadak, ada mahluk yang keluar dari dalam Studio. Bagas. Dia berdiri tegak, sambil menatap ke arah Toni dari kejauhan. Air mukanya tenang, cenderung dingin seperti biasa. Namun tak biasanya dia bertingkah seperti ini. Dia tampak seperti waspada, seperti pemburu yang sedang memperhatikan binatang buruannya dari kejauhan.

“Kenapa lo?” tanya Stefan dengan penasaran, melihat gesture Bagas yang aneh. Oke, dia memang selalu aneh gesturenya, tapi untuk ukuran Bagas, gesture seperti sekarang ini tidak biasa.

“Hmm…” Bagas tampak menyelidik ke arah Toni yang sedang memacu motornya untuk pergi.

“Hmm kenapa?” bingung Stefan. Aku dan Anin juga tampak bingung melihat respon atau reaksi Bagas, detik ini, entah merespon atau bereaksi terhadap apa.

“Gue gak suka orang itu” ucapnya pelan, sambil tetap menatap ke arah dimana tadi Toni berada di halaman.
“Eh?” bingung Stefan.

Aku juga menekuk jidatku dan bisa kulihat ekspresi muka aneh Anin juga menguasai mukanya. Aneh. Kenapa dia bisa tidak suka pada Toni yang disukai semua orang itu?

“Kenapa pula sih, becanda lo ya” tawaku, berharap itu bisa memecahkan suasana.
“Tidak, gak bercanda” ucap Bagas dengan nada datar.
“Kenapa, dia mencurigakan, orangnya keliatan palsu atau apa?” tanyaku, berharap tebakanku atas pemikiran Bagas benar.

“Bukan. Gue gak suka banget sama orang itu”

Dan tanpa sadar aku menelan ludahku.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Om perasaan ada scene arya katauan sakaw ya? Disebelah mana ane agak2 lupa
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd