Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Aseeekk ada lagiii...revisian yah semoga ga ilang lagi atau ga kena lagi hehehe sukses suhu RB
 
meskipun udah pernah baca yang versi sebelumnya, episode ini selalu bikin ane trenyuh... :(
 
Welcome back suhu RB, updatenya senin rabu jumat apa selasa kamis sabtu om?

Ditunggu updateannya
 
sebenernya masih kepo masalah sih bagas sama si toni suhu hehee anyway thanks yoo sudah mau update suhu :adek::adek::beer:
 
MDT SEASON 2 – PART 15

--------------------------------------------

guitar10.jpg

Bulan puasa sudah tinggal lusa. Anak-anak Speed Demon akan datang ke Jakarta dua hari setelah hari pertama puasa. Aku sedang di dalam kamarku, mencoba membuka referensi-referensi yang bagus untuk diberikan ke anak-anak Speed Demon nanti. Aku sedang memperhatikan Wolf Alice, Greta Van Fleet dan Royal Blood, dari tadi. Buatku mereka adalah salah satu band-band yang menarik di jaman sekarang. Di tengah gempuran musik elektronik ke dunia musik pop, ada beberapa nama-nama pengusung musik rock yang mencuat.

Kopi mengepul di sebelahku, siang itu. Aku baru saja makan siang, dan Kyoko sedang beres-beres di dapur.

Masih ingat ketegangan yang terjadi beberapa hari lalu? Saat Kyoko menangis ketika makan siang? Setelah tertidur dan bicara panjang lebar di pelukanku, sepertinya moodnya membaik. Sekarang kami sedang mencari apa kesibukan yang bisa dilakukan oleh Kyoko, untuk membantunya beradaptasi di Jakarta.

Dia lulusan sekolah tata boga, jadi lebih cocok di industri makanan. Dia terdidik sebagai coffee barista, jadi pekerjaan di café cocok. Kalau di tempat Zul? Mengetahui kondisi keuangan Zul yang pas-pasan, sudah pasti dia tidak bisa menjadikan Kyoko karyawan. Mau dibayar berapa istriku?

Dan kalau ikut dalam rencana expand cafenya, terus terang kami semua sedang kekurangan uang. Aku tidak mau menjadikan uang tabungan Kyoko habis untuk itu. Itu disimpan untuk dana darurat, tidak boleh diganggu gugat. Uangku sudah menipis, karena macam-macam. Untuk DP mobil, untuk record label, untuk ini dan itu. Jadi kalau harus mengeluarkan uang lagi, sepertinya berat. Apalagi Hantaman pasti vakum ketika nanti bulan puasa. Bahkan bulan Puasa, bagi para musisi seperti kami, ini bulan paceklik, beda dengan para pegawai kantor yang bisa menikmati THR.

“Aya” tegur Kyoko dari belakang dan akupun menengok.
“Udah beres dibawah?” tanyaku.
“Hai… Owarimashita” senyumnya dengan manis.

Dia lantas duduk di kasur, memperhatikanku sambil memegang handphonenya.

“Aku lagi abis ide nih….” aku membuka percakapan.
“Ide apa Aya?”
“Soal kamu, ntar kamu bisa ngapain dimana ya….”

“Hai Aya, sayang Starbucks Indonesia ada batasan usia dan tidak boleh orang sudah menikah” senyum Kyoko. Ya, gerai kopi kemahalan itu memang membatasi usia baristanya. Ada-ada saja, menutup rejeki namanya. Aku sudah memberitahu Zul, kalau-kalau ada temannya yang butuh barista berpengalaman dan cekatan. Ada satu yang butuh. Tapi di BSD. Bumi Serpong Damai. Kenapa tidak sekalian saja café dan Pluto atau Mars yang meminta Kyoko untuk bekerja disana?

“Habis ide sih aku untuk sementara, sambil nunggu kabar dari temen-temenku yang siapa tau ada tempat buat kamu” lanjutku.
“Iya aya, daijobu… Terimakasih sudah usahakan buat Kyoko” jawabnya sambil menatapku dalam dalam.

Jujur, setelah pembicaraan waktu itu dan tangisan terakhirnya, dia terlihat jauh lebih ringan menjalani harinya. Memang manusia akan jadi lebih kuat jika mengakui kelemahannya. Dan kuharap itu tangisan terakhirnya saat bersamaku.

Di satu sisi, walaupun aku bahagia dengan adanya Kyoko disini, tapi aku merasa bodoh karena tidak mempersiapkan kehidupannya disini. Kita tidak membicarakannya sama sekali. Aku hanya berharap bahwa semuanya mengalir begitu saja dan ternyata itu salah. Ternyata itu sebuah kesalahan. Sebaiknya sebelum menikah, kehidupan setelahnya dipikirkan matang-matang. Aku terlalu percaya kepada keinginannya yang selalu dia katakan dari dulu. Yakni menjadi ibu rumah tangga, dan ikut kemanapun aku pergi. Ternyata tidak semudah itu. Ternyata dia tidak memperhitungkan damage yang terjadi untuk kesehatan mentalnya.

Tentunya sekarang, setelah ada pengakuan bahwa ia tidak nyaman dan susah beradaptasi di Jakarta, aku jadi lebih lega. Dan ide untuk dia bekerja lagi merupakan ide yang bagus. Aku sudah bicara kepada ibuku dan Ai soal ini. Mereka menyambut dengan baik, sambil Ai juga berusaha mencarikan apapaun yang mungkin untuk Kyoko kerjakan. Tidak mesti banyak, tidak mesti mentereng, yang penting rutin dan menghasilkan.

“Sini…” aku mencoba meraih tangannya dan dia menyambut tanganku. Aku menariknya dan dia sekarang duduk di pangkuanku. Mendadak ia membelai rambutku dan menciumnya.
“Aya kalau tidak ada agenda keluar rumah atau latihan suka tidak mandi” bisiknya.
“Gapapa kali”
“Kotor Aya, lagipula Jakarta kan tidak pernah dingin, tidak ada musim dingin yang membuat malas mandi” senyumnya.

“Udah kebiasaan dari jaman sebelom ada kamu sih”
“Kalau sesudah ada Kyoko kebiasaannya apa?” tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang luar biasa manis. Senyum yang selalu kunantikan kalau aku baru kembali dari luar rumah, baik itu urusan Hantaman, working group ku ataupun urusan label.

“Kebiasaan kalau pas udah ada kamu ini” aku mencium bibirnya mendadak dan ia kaget. Dia berusaha sedikit bermain dengan menghindar. Tidak bisa. Kamu tidak bisa menghindar hari ini. Aku memeluk pinggangnya, berusaha bergulat dengannya sedikit untuk kemudian mengangkatnya dan melemparnya dengan lembut ke atas kasur.

“Hehe…” tawanya saat aku maju, mencoba menerjang dirinya. Aku berusaha menindihnya tapi dia menghindar. Usaha menghindar yang agak terlambat, karena aku berhasil menangkap tangannya. Aku menarik badannya dan berusaha untuk menarik bajunya.

“Nani kore….” tawanya, bertanya-tanya, berpura-pura bodoh, pura-pura tidak tahu apa yang akan segera kulakukan padanya sekarang.
“Sini ah…”
“Doa wa aiteiru, Aya” bisiknya, mengatakan kepadaku kalau pintu sedang terbuka.
“Dare mo inai….” aku menariknya, sambil meyakinkan padanya kalau tidak ada orang di rumah.

“Shiteru… Demo… Ah..” Aku menarik bajunya, dan dia tampak pasrah saat kulucuti. Aku lantas bergerak ke celana cropped nya. Aku berusaha membuka kancingnya dan menurunkan resletingnya. Kyoko tampak malu-malu, lebih karena khawatir ada orang lewat ke atas. Tapi siang ini tidak ada siapa-siapa di rumah, dan sore nanti tidak ada jadwal latihan, rekaman, maupun jadwal apapun. Jadi siang ini kami bebas. Rumah ini milik kami berdua dan kami bisa melakukannya tanpa ada hambatan maupun gangguan.

Berhasil. Aku melempar baju dan celananya entah kemana, untuk kemudian mendapati bahwa dirinya hanya tinggal berbalut pakaian dalam. Aku dengan bersemangat membuka kaosku, dan menurunkan celana tidurku yang dari tadi malam belum kuganti itu. Dengan cepat, aku sudah telanjang bulat dan siap untuk menggauli Kyoko.

“Ayaa…. Ah…” Aku mencium bibirnya dan memeluk pinggangnya, sambil menarik dirinya untuk mendekat. Aku membaringkan Kyoko, agar aku leluasa untuk melakukan apapun kepadanya.

Aku mencium bibirnya dengan sekuat tenaga, tanpa melepasnya sedikitpun, sementara salah satu tanganku yang bebas, meraba-raba dari mulai pahanya, merayap pelan menuju area kewanitaannya.

“Mmmnnn….” desahnya ketika aku mulai mendekat ke area sensitif. Tapi aku, entah kenapa, mungkin karena sudah ada perasaan lega, merasa lebih bebas untuk melakukannya dengan Kyoko. Dia pun terlihat lebih menggairahkan, mungkin karena aura suramnya sudah terangkat pelan-pelan sedikit demi sedikit. Tanganku menari-nari di antara pahanya, mencari celah untuk bermain.

Hingga akhirnya kuputuskan untuk menarik celana dalamnya kebawah, tanpa banyak kata-kata lagi.

“Ngg….” Kyoko berusaha menahanku, tapi dia tak kuasa. Aku bisa menariknya sampai lepas, dan aku pun melemparnya entah kemana dan menghilang dari pandangan. Aku lantas bermain dengan jari-jariku, meraba bagian intim Kyoko dan kemudian mulai mrangsangnya. Dia tak kuasa untuk bersuara, walaupun tertahan. Tertahan oleh bibirku yang terus-terusan melumat bibirnya dan menguasai tubuhnya.

Di atas kasur itu aku menciumi dan mempermainkannya. Tanganku meraba-raba daerah sensitifnya, mulai dari bibirnya, kujelajahi sampai rasanya, seluruh permukaannya sudah kuraba tanpa kecuali. Aku mulai memainkan jariku, mengambil inisiatif untuk sedikit masuk, dan mencari clitorisnya. Dan aku mendapatkannya dengan mudah, tentu saja. Aku sudah hapal akan tubuh ini. Aku sudah hapal tubuh istriku dari jauh-jauh hari. Aku sudah hapal dimana letak apapun.

Jari tengahku kemudian bermain dengan lambut, menyentuhnya, memberikan kenikmatan untuknya. Aku terus merabanya, sambil menciumnya dengan lembut, menurunkan intensitasku agar dia menjadi lebih santai. Rasanya begitu nyaman, melihatnya tidak berdaya di hadapanku.

Jariku terus bermain, dan bisa kurasakan perubahan kimiawi tubuhnya. Badannya mulai santai, ketegangan yang tadi ada karena kami sedikit bergulat dan bermain-main kini hilang. Tanganku mulai merasakan kelembaban yang cenderung basah, perlahan tapi pasti pun, gerakan jariku semakin luwes. Luwes karena kondisinya memungkinkan, luwes karena area kewanitaannya sudah basah.

Aku menarik bibirku dari bibirnya, dan Kyoko menatapku dalam-dalam. Ia bernafas perlahan, dengan berat, sambil merasakan permainan jariku.

“Aya….”
“Ya?”
“Irete… Kudasai….” Nafasnya begitu memburu, tak kusangka permainan tanganku bisa membuatnya begitu bernafsu. Aku lantas melepaskan tanganku dari vaginanya. Aku dengan perlahan membalikkan Kyoko, dan mulai membuka BH nya, aku membukanya dengan tak sabar, dan dia mempersilahkanku untuk memperlakukannya dengan cara apapun.

Kini dia sudah telanjang bulat, siap akan diriku.

Kyoko berbaring tengkurap dan aku tidak ada niatan untuk merubah posisinya. Aku langsung menungganginya, menyerangnya dari belakang. Dia menaikkan pantatnya sedikit, agar aku bisa leluasa menggauli dirinya. Seku memeluk perutnya dan menariknya agar dia bertumpu pada kedua lututnya. Kyoko menurut dan dia siap untuk melakukannya. Dengan perlahan aku mencoba memasukkan penisku yang sudah berdiri tegak ke dalam dirinya.

“Ahh…. Nggg…” Kyoko meringis keenakan saat penisku masuk. Rear entry position, katanya. Doggy Style, katanya. Aku sudah tidak memikirkannya lagi dan aku sudah menikmati gerakan penisku di dalam tubuh Kyoko. Dia bertumpu dengan kedua tangannya, menahan gerakanku yang menggaulinya dari belakang.

Suara paha kami yang beradu bergema di telingaku. Desahan Kyoko, yang mengalun seiring dengan pergerakanku terdengar begitu jelasnya. Rasanya seakan-akan seisi rumah ini jadi milik kami. Tanganku memeluk perutnya, dan terkadang aku mencium punggung dan tengkuknya.

Entah berapa lama kami bertahan di posisi itu, sampai aku merasakan ketegangan di dirinya. Sepertinya dia lelah pada posisi itu. Aku lantas meraih pinggangnya dan menjatuhkan diri dengan perlahan ke kasur. Aku menarik badannya, memeluk dirinya dari belakang, dan meraih salah satu tungkai kakinya agar terbuka. Aku kembali menggaulinya, bergerak di belakang tubuhnya, sambil menciumi lehernya sebisaku. Ekspresi muka Kyoko tidak dapat kujelaskan lagi seperti apa. Seperti percampuran antara kenikmatan dan perasaan excited. Excited karena kami melakukannya dengan agak terbuka, mumpung tidak ada orang di rumah.

Selama ini kami melakukannya tanpa bersuara, dan selalu pada malam hari. Pura-pura sepi. Pura-pura gak ngapa-ngapain supaya tidak mengganggu penghuni rumah yang lain.

Tak puas hanya menggaulinya dan menciumi lehernya, tanganku mulai bermain. Aku merangsangnya dengan menggunakan tanganku. Jari-jariku mempermainkan putingnya, dengan gerakan-gerakan lambut yang membuat badannya bereaksi dengan gerakan-gerakan kejang kecil tanda ia kegelian.

“Aya… angg… Ah… Ahh… Uh……” Dia mendesah tidak karuan, karena aku menstimulasinya dengan segala cara yang kutahu dan kubisa. Bisa kurasakan seluruh badannya menerima rangsanganku dengan baik. Mulai dari ciumanku di lehernya, permainan jari dan tanganku di buah dadanya, juga penisku yang dengan penuh semangat menggagahinya.

Tanganku meremas buah dadanya yang bulat, tanpa ampun. Entah kenapa hari ini seluruh bagian tubuhnya terasa sangat menggoda. Aku ingin menjelajahi seluruh jengkal badannya, seluruh sudut tubuhnya dan merasakan semuanya dengan indra-indraku yang tersisa. Aku ingin menjilatinya sebadan-badan, menciumi sekujur tubuhnya dan ingin menjadikan dirinya bulan-bulanan perasaan cintaku.

Tak terasa, makin lama rasanya bagian vitalku semakin menegang.

Aku terus menggerakannya, menghunjamkan diriku ke dalam tubuhnya.

Karena tanganku bebas, aku bisa mempermainkan permukaan vagina Kyoko sambil menggerakkan penisku dengan frekuensi yang lumayan cepat. Dirinya tampak begitu kegelian, dan tubuhnya bereaksi begitu menyenangkan saat aku meraba bibir vaginanya.

“Nggghhhh… Aya… Kusugattai…” Geli katanya.

Aku merabanya, memberikan segala yang bisa kuberikan siang itu. Dia dari tadi tidak kuberi kesempatan untuk mengambil alih. Aku menguasai dirinya, membiarkan dirinya masuk kedalam kenikmatan. Sudah terlalu sering dia memberikanku kenikmatan sepihak, dan kali ini aku ingin membalasnya. Aku ingin membuat istriku merasakan bahagia di atas peraduan kami.

“Aya….” dia meringis, keenakan, entah menahan apa, atau malah mungkin dia sedang tidak menahan sesuatu. Dia sedang berusaha melepaskannya. Dia sedang berusaha untuk membiarkan dirinya hanyut kedalam kenikmatan seksual yang terjadi diantara sepasang suami istri ini.

“Ahhh….” Dia menegang.

Menegang, mengejang dan dia berusaha berontak, tapi aku mengerakkan tanganku dengan lebih ganas lagi. Aku berusaha memberikan stimulasi ganda ke area kewanitaannya. Dan dia tampaknya menikmatinya, sehingga dia tenggelam oleh puncak kenikmatan yang sebentar lagi datang itu.

“Aya……” dia mengerang, memanggil-manggil namaku, seakan memohon.

Sebentar lagi.

Tangannya mendadak menggenggam pergelangan tanganku, sambil melepaskan sesuatu yang luar biasa,

“Uhhhh……. Aahhh……..” Dia menegang, badannya melenting dan seperti ingin lepas dari pelukanku. Nafasnya terhenti sesaat dan kemudian badannya menjadi lemas. Nafasnya kembali teratur, perlahan dia mulai menemukan ritme yang nyaman untuk dirinya.

Aku masih berada di dalam dirinya. Mendadak, perlahan aku melepas penisku dari vaginanya.

“Aya?” Kyoko terdengar seperti bingung.
“Ya?”
“Aya tidak mau?” mungkin dia bingung kenapa aku tidak menyelesaikan urusanku juga.

“Bentar…” bisikku sambil mencoba melepaskan pelukanku dari dirinya.
“Atau Aya mau….” dia berbisik, memandang kepadaku dengan matanya yang lemah, sambil melakukan gerakan oral sex dengan tangannya.

“Enggak, aku maunya ini…”

Mendadak aku memposisikan diriku di depan Vaginanya, sambil meraih kedua kakinya, dan memposisikan dirinya agar berbaring telentang. Aku menggenggam kakinya, sambil berusaha memasukkan penisku lagi ke dalam tubuhnya. Jalannya sudah lancar, karena perbuatanku tadi.

“Nngg….” Kyoko kaget saat penisku masuk kembali. Aku berlutut, dan kemudian menggenggam pergelangan kakinya, sambil membuka kakinya lebar-lebar. Kyoko menatapku dengan pasrah. “Ahhh.. Aya… Ah… Ah… Ah….” dia mendesah seirama dengan gerakan penisku yang masuk kembali. Kali ini aku akan menuntaskannya.

Dengan posisi seperti ini, aku bisa menguasai Kyoko sepenuhnya.

“Kyoko…” bisikku dengan nada tak sabar. Memang dari tadi sudah tidak tertahankan, aku Cuma mencari posisi yang lebih enak dan lebih nyaman untukku.
“Aaahhhh……….” Kyoko merasakan sensasi yang luar biasa lagi, merambat ke seluruh tubuhnya dari vaginanya.

“Aku bentar lagi….” bisikku lagi dengan nafas tersenggal-senggal. “Aaa… Ahhh…”

Dan terjadilah. Badan Kyoko sedikit bergetar, karena merasakan cairan hangat itu meledak di dalam tubuhnya. Rasanya begitu luarbiasa. Rasanya begitu membahagiakan. Kepalaku mendadak kosong, hanya terisi oleh istriku dan aku, menyelesaikan semua persetubuhan kami dengan indahnya.

Aku melepaskan kakinya, dan menarik penisku dari dalam dirinya. Terasa beberapa tetesan mengiringinya. Aku lantas berbaring di sebelahnya, sama-sama mengatur nafas dan menatapnya dengan hangat.

“Hai” sapaku sambil tersenyum.
“Hai Aya”

“Aku sayang kamu” bisikku.
“Onaji”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

dscf2210.jpg

“Bentar lagi nyampe kayaknya” aku dan Stefan sedang berada di parkiran stasiun Gambir, menunggu kedatangan anak-anak Speed Demon di Jakarta.
“Lo puasa?” tanya Stefan sambil menyalakan rokoknya. Beberapa pasang mata menatap Stefan dengan sinis.

“Puasa dong… Matiin dong rokok lo, gak enak diliat orang” aku menegur Stefan.
“Lah kan gue ga puasa”
“Iya tapi jangan ngerokok juga, kebiasaan….”
“Suka-suka gue dong, kan bukan gue yang ibadah”

“Tar ada orang yang keganggu gue gak tanggung…..” lanjutku.
“Biarin aja ntar gue tampol… Lagian gue ga puasa masa disuruh ikut puasa juga, apa-apaan….” kesal Stefan.

“Katanya baru aja sampe” lanjutku.
“Iya gue denger kok ada kereta mendekat di atas sono” Stefan menunjuk ke rel kereta.

Akhirnya mereka ke Jakarta juga untuk rekaman. Keempat awak Speed Demon telah melalui perjalanan dari Jogja ke Jakarta. 10 jam, kira-kira mereka ada di jalan, menghabiskan waktu di dalam kereta untuk menunggu kereta sampai ke Gambir. Anin katanya minta dikabari kalau mereka sudah sampai. Aku segera memberitakannya setelah memberitahu posisiku ke Panji, bassist sekaligus leader dari anak-anak itu. Lucu, agak mirip Hantaman. Anin juga leader kami. Tapi kalau Panji terlihat sangat dominan dan memimpin dengan gagahnya, Anin lebih banyak jadi seksi sibuk. Lebih banyak bertindak sebagai manajer, dibanding sebagai frontman. Yang lebih muncul di Hantaman adalah Stefan. Dan Stefan kini menatap, menerawang ke kerumunan manusia yang baru keluar, sambil mencoba mereka-reka, yang mana para anggota Speed Demon.

Tak berapa lama, aku melihat empat sosok pemuda tanggung, sambil menenteng tas gitar dan bass, muncul di hadapan mata kami. Aku melambai, berusaha menarik perhatian mereka.

“Itu kan?” tanya Stefan kepadaku.
“Gak salah, itu mereka, Speed Demon”
“Nice” puji Stefan melihat langkah penuh percaya diri mereka sambil menghampiri kami.

“Siang mas” sapa Panji kepadaku dan Stefan.
“Siang juga, BTW, ini Stefan… Kenalin, dia juga ntar bakal ikut di proses rekaman kalian, karena kan MDT ada di bawah anak-anak Hantaman”

Mereka berempat tampak terperangah, mungkin sosok yang mereka selama ini lihat di panggung atau di youtube macam Stefan, berdiri dengan gagahnya - setidaknya gagah di mata mereka - di hadapan Speed Demon. Wajah mereka seakan tak percaya, bahwa kami semua di Hantaman bakal mengawal dan menggawangi mereka selama proses rekaman berjalan.

“Salam kenal mas..” Panji mengulurkan tangannya ke Stefan dan Stefan menyambutnya.
“Stefan”
“Panji Mas…”

“Ini yang rada kribo Panji, bassist, terus ini Nanang, Ini Ibam, dan satu lagi, itu Billy, yang pake topi” aku mengenalkan mereka satu persatu kepada Stefan, sambil menunjuk-nunjuk, yang mana siapa agar Stefan bisa lebih mudah mengenal mereka.

“Oke…. Jalan kita sekarang ya ke Studio?” tanya Stefan diplomatis, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Iya mas… Anu tapi…” bingung Nanang.
“Kenapa?”
“Gak puasa mas?”

“Emak lu salto… Kapan gue pernah puasa?” kesal Stefan sambil membuka pintu mobilnya.
“Oh… Non ya?”
“Non-non apaan, Racebannon?” canda Stefan sambil menyebutkan nama salah satu band grindcore ternama.

“Udah, masuk…. Orang puasa gak puasa, mau non, mau enggak, terserah” Panji tampak berusaha galak di depan teman-temannya.
“Nggih Ndoro….” canda Billy, mulai masuk ke mobil setelah sebelumnya membantu Panji menaruh tas alat musik di bagasi. Nanang mendadak dengan tergopoh-gopoh menaruh tas gitarnya di bagasi dan menutupnya.

Aku masuk di kursi sebelah Stefan, sambil memperhatikan anak-anak itu masuk. Untung hari ini Stefan membawa mobil besar, jadi muat semuanya, walaupun mereka berempat harus agak berdesakan di bangku penumpang.

“Jalan yak…” Stefan menyalakan mesin mobil dan mobil mulai meluncur keluar dari komplek Stasiun Gambir.

“Anu…” bisik Nanang mendadak ke Panji.
“Opo”
“Mendadak yo aku jadi kepengen juga… Wangine….” bisik Nanang.

“Lemah kowe”
“Udah ngerokok mah ngerokok aja kalo mau” Stefan merogoh kotak rokok di dashboard dan melemparnya ke belakang. Mendadak suasana jadi hening.

“Balikin” bisik Panji.
“Rokok Su..”
“Puasa”

“Kita kan muallaf Su…” bisik Nanang.
“Musafir, dudu muallaf!!” kesal Panji, karena Nanang salah istilah.

“Ra sayang, tadi pagi wis saur?” tanya Ibam.
“Ya piye…”

Stefan, dasar setan, malah sengaja mengarahkan angin AC ke belakang dan dia menghembuskan banyak-banyak asap rokok. Aku tersenyum sambil menggelengkan kepalaku.

“Anu… Nji,kan musafir… Dadi…”
“Yo wis, serah” Panji tampak kesal dan mukanya merengut. Mendadak ketiga anak lainnya berebut kotak rokok itu dan akhirnya batal-lah niat mereka untuk puasa di hari itu. Aku tertawa dalam hati sambil melirik ke arah Stefan. Dia tersenyum, menyeringai.

“It's gonna be one hell of a ride” bisik Stefan kepadaku.
“No Shit” tawaku, sambil membayangkan keseruan apa yang akan terjadi pada proses rekaman.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd