Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Makasih updatenya suhu racebannon:beer:
Semoga sehat dan sukses di RL....
 
Akhirnya update juga. Menarik ketika Bagas ternyata nggak suka juga dgn Toni. Gw jadi punya teman. Hehe...
 
Akhirnya om RB udah enggak penat lagi jadinya update ceritanya.

Anyway si arwen kerjaannya berubah ya?
 
Selamat datang & apdet kembali om. Juga smoga gak da lagi aral melintang utk selalu konsistensi apdet & sukses slalu RL nya.

Tak lupa buat makasih apdetnya di scene Bagas & Toni bertemu pertama x
:beer:
 
Cerita yg keren, mengalir tanpa dipaksa..

Nagih bukan karena SS nya, tapi nagih karena cerita ini seperti nyata, imaginasi pembaca ikut membayangkan apa yg sedang terjadi bahkan lingkungan cerita ini ikut terbayangkan dalam benak pembaca..

Keren om RB, ijinkan saya mengikuti lagi cerita MDT.
 
***** bukan narkoba, itu sayuran atau lalapan lah Kaya daun singkong di rm Padang
 
MDT SEASON 2 – PART 14

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

“Bentar lagi puasa” ujar Stefan sambil menyalakan rokoknya.
“Bentar lagi anak kuliah liburan” aku menyeruput kopiku, sore itu di Kemang, di café milik Zul.

“Udah gue transferin ya ke mereka duit buat tiket keretanya” lanjut Stefan sambil menatap jalanan sore Kemang yang mulai padat itu. Aku mengangguk, sambil menerawang entah kemana. Pikiranku sebenarnya ada di tempat lain. Yakni di istriku. Setelah percakapan di pagi buta itu, aku sempat beberapa kali menanyakan secara halus, kendala apa saja yang ia hadapi di Indonesia, tapi rata-rata buntu.

“Susah ya bini lo” seringai Stefan, seakan tahu apa yang aku pikirkan.
“Susah” jawabku tanpa menghindar “Gue gak sangka dia setertutup itu soal perasaannya… Mau gue tanya langsung, susah jawabnya, kalo secara halus, guenya yang gak sabaran ngebongkarnya”

“Cowok itu lebih direct, to the point… Sedangkan cewek, apalagi orang Jepang kayak gitu… Susah kalo mau ngomong, yang ada di pikirannya mah, laki gue nomer satu, gue nomer dua” senyumnya getir.

“No shit” jawabku, seakan ingin membenamkan mukaku di kopi panas. Mendadak Zul muncul dan memberikan pesanan Stefan.

“Sori lama” senyumnya dengan ekspresi muka kelelahan.

“Lama amat, makanya hire pegawai dong” keluh Stefan sambil memicingkan matanya.
“Gak ada duit pak”
“Padahal rame terus ya tempat elo…” Stefan celingukan, tampaknya semua meja sudah terisi penuh.

“Yah, rame tapi karena tempat gue kecil dan rata-rata tamu yang dateng disini nongkrongnya lama, jadi ya gitu deh…”
“Cashflow nya mandeg ya?” tanya Stefan, pertanyaan retoris sebenarnya karena tanpa pernah kuliah atau belajar ekonomi sekalipun, kita semua bisa tahu kalau aliran keuangan tempatnya Zul macet.
“Gak salah” jawab Zul dengan senyum yang dipaksakan.

“Diexpand dong tempatnya, atau pindah ke tempat yang lebih gede” saran Stefan, sambil masih celingukan.
“Gue lagi nabung” jawab Zul pendek, tampaknya pertanyaan-pertanyaan Stefan membuatnya tidak nyaman.
“Bagus” angguk Stefan.

“Eh tuh, ada yang manggil Zul” aku menegurnya, karena memang ada tamu yang berusaha memanggilnya.
“Eh bentar…” Zul berbalik dan lantas berjalan ke arah tamu tadi. Aku dan Stefan lantas berpandang-pandangan.

“Lo bilang bini lo seneng kan kalo dia bisa kayak dulu lagi, kayak di café kakaknya?”
“Ya kali... Masa gawe disini Fan, lo denger kan tadi si Zul lagi ga bisa nge hire orang, apalagi kalo Kyoko... Pasti standar salarynya gede lah, gak kayak pegawai coffee shop di sini.. Gimana sih”
“Bukan, maksud gue, lo invest ke Zul, atas nama Kyoko, jadi si Zul bisa Expand ini café pake duit elo, terus keuntungan juga ngalir ke Kyoko” jelas Stefan. Ya, dia memang jago kalau urusan beginian.

“Yang lo bilang itu bener, tapi gue lagi babak belur gini Fan…. Duit gue abis buat DP mobil, cicilan, terus buat label kita…. Duit gue gak sebanyak elo, mana kalo tiba-tiba Kyoko hamil, musti ada cadangan duit gue buat segala macem urusan anak….” keluhku sambil menatap Stefan dengan muka lemah.

“Hmm”
“Lagian belum tentu juga bini gue galau karena urusan kegiatan, dari yang sibuk jadi enggak, bisa aja dia sebenernya gak suka di Jakarta ini, atau malah dia ngerasa pusing karena ga hamil-hamil….” lanjutku.

“Tapi semuanya menurut gue bisa diobatin dengan kegiatan di luar rumah, ketemu orang macem-macem, daripada diem di rumah seharian, beda tau Ya, seenggaknya dengan kesibukan di luar rumah, masalah lainnya bisa jadi terselesaikan juga…”

“Yah… Masuk akal juga sih… cuman gue bingung duitnya… Itu aja… Kalaupun ada, mungkin gak dalam bulan ini atau bulan depan…. Kan pekerjaan kita gak ada THR nya…” senyumku. “Eh, kalo elo mungkin ada ya, kan elo kantoran juga”

“Gak ada, cuma ada bonus akhir taun kalo buat gue” seringai Stefan.
“Oh, udah gede sih ya gajinya”
“Gede dari hongkong”
“Gede lah, anaknya yang punya” tawaku getir sambil meledek untuk meringankan suasana.

“Kontol”
“Haha”

--------------------------------------------

Malam itu, entah kenapa Aku, ibuku dan Ai ada di dalam kamar Ai semua. Ada satu hal yang kami bicarakan, yakni soal Kyoko.

“Kesimpulan itu masuk akal banget sih Mas, soalnya aku pernah ngajak ngobrol soal café kakaknya, terus kalo diajakin nongkrong di tempat-tempat semodel gitu, ekspresinya keliatan ceria banget....” Ai menjelaskan pendapatnya.

“Mama juga sependapat soal itu, seperti yang mama bilang kan kemaren-kemaren itu” sambung ibuku.

Aku mengangguk dan tampaknya kesimpulan itu cukup tepat. Karena aku sudah mendengarnya sendiri dari Kyoko, dari pembicaraan sewaktu pagi buta itu, dikala aku terbangun. Mungkin dengan kegiatan di luar rumah, apalagi yang ia sukai, mood nya bisa membaik dan galaunya hilang. Tapi sampai detik ini, aku tidak tahu bagaimana caranya mengkomunikasikannya dengan Kyoko, karena dia pasti agak-agak menghindar dengan sifat tertutupnya itu.

Ditambah lagi, kalaupun dia mau, entah bagaimana caranya untuk membantu Zul mengembangkan bisnisnya, karena aku juga sedang tidak punya uang. Mungkin bisa meminjam ke Bank, tapi pasti beresiko, karena aku sekarang sedang memulai sebuah bisnis baru. Pinjam duit ke Stefan? Yakali. Pinjam duit ke ibuku atau Ai? Yakali juga. Kalau bisa, pemecahan masalahnya jangan yang memberatkan orang lain, selain aku.

“Intinya sih….” aku menarik nafas terlebih dahulu sebelum melanjutkan kalimatku. “Aku bakal coba gali lagi dan omongin ke Kyoko soal ini, mudah-mudahan dia tertarik, dan kalau dia tertarik, mungkin dia bisa coba mikirin gimana eksekusinya….”
“Yang penting, jangan sampai dia jadi merasa tambah membebani kamu ya…” ibuku berusaha mengingatkan.

“Iya, Mbak Kyoko orangnya gampang gak enakan sama orang sih…..” senyum Ai.
“Yaudah, intinya sih gitu ya…. Aku coba deh ngomong ke dia, ga tau gimana caranya….” senyumku balik, sambil mencoba menerka-nerka dan mereka-reka cara yang pas untuk menyampaikannya.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

mall-l10.jpg

Dan sekarang kami ada di sebuah restoran, makan siang berdua. Aku sengaja mengajaknya makan siang di luar, karena hari itu dia tampak sangat kebosanan di rumah. Kebetulan hari itu aku sedang tidak ada kegiatan. Beberapa pekerjaan sudah selesai, dan aku tinggal menunggu anak-anak Jogja itu datang beberapa hari lagi, setelah puasa ramadhan dimulai.

Acara-acara manggung pun, terutama yang melibatkan Hantaman, sudah tidak ada lagi, setidaknya sampai selesai lebaran. Bulan puasa adalah bulan yang paceklik untuk kami para musisi untuk manggung. Aku memang ada satu jadwal manggung, tapi itu bersama quartetku.

Dan kini aku menghadapi istriku yang sedang makan dalam diam.

“Kamu ntar ikutan puasa gak?” tanyaku pelan, kembali mencoba menggali apapun yang membuatnya galau. Karena makin kesini dia makin terlihat seperti itu.
“Iya Aya, Kyoko mau coba” mendadak, seperti biasa, dia tersenyum kembali dan menampilkan muka yang ceria.

“Kalo gak kuat ntar gimana?” tanyaku lagi.
“Kata Okasan, latihannya setengah hari dahulu, Tapi Kyoko mau langsung coba sampai malam”
“Idealnya sih emang sampe malem, tapi kalo gak kuat boleh kok setengah-setengah, yang penting niatnya”
“Kalau tidak dilatih sampai maksimal, Kyoko takut nanti tidak lancar puasanya” senyumnya.

“Iya sih, tapi gak boleh dipaksain lho, inget badan kamu gak biasa dengan puasa” balasku tersenyum.

“Yang penting Kyoko mau coba” lanjutnya.
“Bagus kalo mau coba, tapi ntar pas buka puasanya, jangan kebanyakan makannya ya, kamu kan belom biasa juga, perutnya tar kaget”

“Sudah pernah baca Aya, makanan apa dan caranya bagaimana yang bagus sehabis puasa”
“Bagus dong haha”

“Oh iya, Niisan sudah kirim kopi dari Mitaka, seharusnya sebentar lagi datang” senyumnya memberitahuku.
“Wah, gak sabar, emang paling enak kopi racikan kalian ya?”
“Terimakasih kalau Aya suka”

“Tapi aku kok mikir harusnya gak cuman aku aja yang ngerasain kopi itu ya?” aku berusaha memancing.
“Bagaimana maksudnya Aya?”
“Enggak, kalo aja orang-orang bisa rasain kopinya kalian, misal dijual disini, itu bakal asik gak sih? Orang-orang pasti suka dan kamu juga pasti seneng kalo orang pada suka kan?” lanjutku.

“Haha, menarik Aya… Kyoko tidak terpikir soal itu”

Bohong. Kenapa sih kamu selalu harus menutupi keinginan kamu, dan bersikap submissive terus-terusan di hadapanku. Bentar Ya. Sabar. Dia terbiasa seperti itu, dan dia pada dasarnya ingin nyenengin kamu. Dan dia pasti berhati-hati, supaya keinginannya tidak merepotkan suaminya. Setidaknya senyum tampak terlihat di wajahnya. Dan entah kenapa, senyum ini tidak terlihat seperti senyum untuk menutupi sesuatu. Ini senyum yang berbeda.

“Soalnya gimana Ya, maaf kalo aku ikut campur urusan kamu, tapi kamu kayaknya bosen banget di rumah… Entah kamu pengen sibuk kayak dulu lagi, atau malah kamu gak seneng hidup disini” lanjutku.
“Ah tidak Aya, Kyoko senang disini bersama Aya” senyumnya.

“Hmm…” aku berpikir, kalimat-kalimat seperti apa lagi yang harusnya kupakai untuk membongkar Kyoko habis-habisan.

“Coba kalo kamu…. Tinggal di Indonesia, tapi gak sama aku” lanjutku.
“Ano… Tidak mau Aya”
“Gak maunya kenapa?”
“Karena tidak ada Aya”

“Kalau misal aku mendadak Tur keliling Indonesia habis lebaran? Terus aku gak ada di rumah sebulan?” tanyaku lagi.
“Yang pasti Kyoko akan rindu kepada Aya”
“Itu pasti, tapi gimana perasaan kamu, jangan apa-apa disangkut pautin ke aku terus… aku pengen tahu gimana kalo kamu mikirin soal diri kamu sendiri” lanjutku.

“Aku gak mau kamu tinggal disini, karena terpaksa, karena gara-gara mau ikut dimanapun kamu ada, tapi kamunya sendiri enjoy gak tinggal di Jakarta?”

Dan Kyoko diam. Bisa kurasakan dia sepertinya ingin berusaha mempertontonkan senyumnya, tapi dia tidak bisa. Dan makannya pun terhenti, dia hanya memainkan alat makannya saja di depanku.

“Kamu suka gak tinggal disini?” tanyaku.
“Ano…..”

“Anata ga, koko ni sunde… Suki desuka?” tanyaku, menanyakan hal yang sama dalam bahasa Jepang.
“Hoka ni….. nanika-banashi o shimashou… Aya…” jawabnya, menghindar. Ya, dia mengatakan, agar mengganti topik pembicaraan.

“Shitakunai…” balasku. Aku tidak ingin mengganti topik.
“Ano… Dokoka… De.. Hanasu koto ga dekinai no… ka?” Apa? Ngobrol soal ini di tempat lain? Lain kali? Oh come on… Kita bahkan bicara dalam bahasa Jepang, sengaja agar tidak menarik perhatian orang lain disini.

“Ie… Ima, Koko” Tidak, aku ingin ini dibicarakan sekarang, disini.
“Aya… Onegai” Please, dia bilang.

“Koko de… Sore o shinakereba naranai….” kita harus membicarakannya disini. Harus, wajib. Aku sudah bosan berputar-putar. Entah kenapa aku sudah bosan dengan sikap Kyoko yang terus menghindar dan pura-pura terlihat senang setiap saat. Karena rasanya tidak natural, karena rasanya seperti ada yang dipaksakan.

Pelan-pelan aku mencoba meraih tangannya. Untung dia tidak menghindar, tapi dia hanya diam sambil menatap makanannya yang belum habis itu. Mungkin selera makannya sudah hilang. Untung juga makananku sudah habis, jadi aku bisa fokus total ke Kyoko.

“Aku masih kepikiran soal malem itu, udah lama banget kepikiran dan kamu ngehindar terus…. Dan aku gak suka…..”
“Maaf Aya, tapi… Kyoko akan selalu berusaha untuk buat Aya bahagia” dia mencoba tersenyum, tapi dia tidak bisa melawan perasaan di dalam dirinya, yang mungkin teraduk-aduk karena aku seperti mencecarnya.

“Gimana bisa kamu bikin aku bahagia kalau kamu sendiri diem-diem nangis waktu malem pas aku gak ada?”

Kyoko diam.

“Gimana bisa kamu bikin aku bahagia kalau aku suka nangkep kamu kayak melamun pas lagi gak ngobrol sama orang?”

Dia masih diam, dia mempermainkan alat makannya dengan tangan satunya yang bebas. Kyoko berusaha tidak melihatku, dan dia seperti mengulum bibirnya sendiri. Pasti rasanya teraduk-aduk didalam sana. Tapi aku lebih memilih untuk begini. Karena aku sudah tidak tahan lagi merasakannya. Aku tidak bisa memahami bagaimana ada orang yang bisa begitu tidak jujur pada perasaannya sendiri.

“Aku gak bakal bahagia kalo kamu gak bahagia”

Dan mendadak, tetesan air mata itu keluar. Mukanya agak memerah dan dia berusaha meraih tisu yang ada di atas meja. Air mata Kyoko turun perlahan. Aku membantunya untuk menghapus air matanya, sambil berharap tidak ada orang yang memperhatikan kami dan salah mengerti. Dengan cepat aku menuju kasir, meminta bill untuk segera membayarnya. Sepertinya kami harus cepat-cepat pulang sekarang.

--------------------------------------------

Perjalanan dari tempat makan di mall itu ke rumahku, walaupun cukup dekat, tapi rasanya lama sekali. Sulit untuk tidak menarik perhatian orang. Rasanya semua mata memperhatikan kami, mulai dari kami berjalan keluar ke parkiran, lalu menuju ke motorku, dan rasanya ketika kami di jalan pun, semua mata tampak tertuju kepada kami.

Tidak nyaman rasanya. Kyoko sudah berusaha menahan tangis sebisanya, tapi mukanya yang memerah tampak menarik perhatian. Setidaknya itu yang kami rasakan.

Kalau saja bisa kutarik kalimatku tadi. Kalimat yang membuat tangisnya pecah mendadak. “Aku gak bakal bahagia kalo kamu gak bahagia”. Aku tidak tahu kenapa kalimat itu membuat dirinya menangis. Mungkin dia merasa gagal menjadi istri. Mungkin dia merasa gagal karena tidak atau belum bisa membahagiakanku. Atau entahlah. Atau dia merasa aku membencinya. Atau tidak tahu.

Motorku rasanya berjalan begitu lambat, dan rasanya rumahku ada nun jauh di ujung sana. Di ujung entahlah, di ujung apakah. Rasanya tidak sampai-sampai. Gerbang rumahku terasa jauh, walaupun dia sudah ada di ujung mataku.

Dan ketika aku berhasil memasukkan motorku ke gerbang rumah, Kyoko lantas turun. Dia menunggu sampai motorku diam, dan kami berdua membisu. Dia turun dengan cepat, dan segera membuka kunci rumah, berjalan ke kamar kami, tanpa suara. Aku menutup mata, sambil melepas helmku, dan menaruhnya di atas motorku. Perlahan aku masuk ke rumah, menyusul Kyoko dengan langkah berat dan menutup pintu.

guitar10.jpg

Sudah bisa ditebak. Dia duduk, di kasur, dengan menutup mukanya dengan kedua tangannya. Dia pasti melanjutkan tangisnya yang tertahan. Aku menutup pintu kamar, dan menatapnya, sambil menarik kursi dan duduk di depannya.

“Dari kayak gini aja aku udah tau kalau kamu gak bahagia” aku bersuara memecah keheningan. “Gak mungkin kamu bakal kayak gini kalau kamu hepi-hepi aja ada disini…”

Dia diam, dan bisa kudengar suara tangisnya yang pelan itu.

“Kalau kamu ngerasa ada apapun yang bikin kamu gak bahagia, kamu kan bisa bilang” bisikku. “Aku suami kamu, bukan atasan kamu, kita harusnya bisa sharing, gak cuma aku aja yang sharing ke kamu kan?” aku berusaha memegang dan mengelus kepalanya. Dia tidak menghindar. Berarti dia tidak kecewa atau marah kepadaku.

“Sini…” aku bergerak, pindah ke sebelahnya, dan ia memelukku dari samping, sambil menangis pelan. Aku bisa merasakan mukanya bersandar ke bahuku, dan air matanya membasahi bajuku. Aku memegang kepalanya dan membelai rambutnya perlahan.

“Apa yang kamu rasain?” tanyaku.

Dia masih diam.

“Apapun yang kamu rasain, itu gak bikin kamu gagal jadi istri kok…. Kamu berhak ngerasain apapun, dan tugas kita bareng buat mecahin masalahnya” bisikku sambil mencium rambutnya.

“Zasetsu…”
“Nani?”
“Zasetsu…. shita……” bisiknya.

Frustasi.

“Nande?” Kenapa, tanyaku.
“Shiranai….” Gak tau, dia bilang.

“Kamu suka bareng sama aku, selama kita nikah?” tanyaku.
“Hai…” jawabnya pelan, sambil menangis pelan. “Kyoko selalu senang kalau bersama Aya…” bisiknya, dan air matanya menetes pelan, belum berhenti.

“Apa yang kamu tidak suka selama ini?” tanyaku.

Dia terdiam.

“Apa yang bikin kamu gak nyaman?”

Dia menatapku, seakan-akan dia memiliki dosa besar yang harus ia sembunyikan.

“Koko desu…” disini.
“Rumah ini?”

“Chigau…..” bukan.

“Jakarta?”

Dia lantas mengangguk dengan pelan.

“Apa yang kamu gak suka dari Jakarta?” aku menatap ke matanya yang basah itu. Kyoko hanya menggeleng. Dia mungkin tidak bisa menjelaskannya. Tapi wajar, kalau dia tidak menyukai tempat ini. Dia datang dari Mitaka yang benar-benar asri. Dan dia sekarang ada di Jakarta. Pasti adaptasinya susah, kemana-mana susah, mau ngapa-ngapain yang dulu gampang, sekarang jadi sangat sulit.

“Kamu jenuh disini?” dia mengangguk. “Kamu bosen di rumah terus?” dia mengangguk sambil merengut. Sepertinya tangisnya akan pecah lagi.

“Kamu harusnya bilang ke aku…..” aku memeluknya, mencoba naik ke atas tempat tidur, agar ia bisa memelukku sambil tiduran. Dia akhirnya pasrah, berbaring di pelukanku, menjadikan ketiakku sebagai tempat menangisnya yang nyaman.

“Atashi wa… kowai desu…” dia takut.
“Nani ga kowai no?” tanyaku, sambil mengelus punggungnya, agar dia merasa lebih nyaman. Aku menanyakan, apa yang membuatnya takut.
“Kyoko takut…. Kalau bicara sama Aya, Aya akan repot untuk mencari cara supaya Kyoko tidak Zasetsu…. Jadi diam saja…”

“Bukannya tugas kita untuk bikin pasangan kita gak stress ya?” bisikku. “Aku mungkin bakal repot dan pusing mikirinnya, gimana caranya supaya kamu gak jenuh di Jakarta, tapi buatku itu lebih membahagiakan, daripada pura-pura bahagia” senyumku.

Dia mengangguk, berusaha untuk mendengarkan.

“Atau kamu pengen pulang lagi ke Jepang? Kalau kamu emang pengennya gitu, aku yang pindah kesana?” tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.
“Tidak… Kyoko masih ingin tinggal disini… Demo… Rasanya berat sekali”
“Wajar, kamu bukan orang sini dan gak biasa sama semua hal yang ada disini” aku menarik nafas, membelai punggungnya, dan mencium keningnya.

“Kamu biasa kemana-mana jalan kaki, naik kereta, beli apapun gampang, dan kamu disana punya pekerjaan. Kamu biasa menghasilkan uang sendiri…… Disini, kamu susah kemana-mana, karena kamu mau gak mau harus bergantung sama aku, kan kamu gak bisa nyetir sendiri, baik mobil ataupun motor” lanjutku.

“Hai…”
“Udah gitu mendadak kamu jadi ibu rumah tangga, langsung ngurusin tiga orang. Setelaten apapun kamu, tetep aja ini pasti jadi beban buat kamu…” bisikku.

“Dan ini wajar, budaya kita beda, aku gak bisa dan gak mau, kalau istriku terus pura-pura bahagia biar aku seneng… Aku maunya kamu jujur, dan kamu harus coba…. Kalau kamu susah ngomong, entah gimana caranya, kamu cari cara supaya kamu bisa bilang ke aku kalau kamu gak nyaman…..” jelasku panjang, sambil tetap membuatnya merasa nyaman.

“Lalu sekarang Kyoko harus apa?” tanyanya sambil menarik nafas panjang. Dia tampak menatap ke jendela, tanpa ekspresi. Yang pasti dia kelelahan karena habis menangis.
“Sekarang? Selain harus jujur, kamu juga harus istirahat…. Ntar gimana caranya supaya kamu bisa nyaman disini kita pikirin…”
“Apa Kyoko harus kerja?” tanyanya.
“Kalau itu kamu pikir bisa bikin kamu lebih bahagia dan jadi gampang adaptasi, kenapa enggak?” jawabku.

“Apa Kyoko harus belajar menyetir?” tanyanya dengan lugu. Entah lugu atau desperate.
“Mungkin harus…” bisikku. “Tapi jalanan Jakarta gak tertib kayak di Jepang”

Kyoko mengangguk.

“Ah lagian sekarang gampang kemana-mana kok tanpa harus nyetir, transportasi umum banyak pilihan” bisikku. Dia hanya mengangguk dalam diam. “Sekarang kamu santai aja, kita pikirin ya bareng-bareng, gimana caranya supaya kamu bisa nyaman disini…. Untuk sekarang, detik ini, aku gak tau bakal gimana, tapi selama kita bareng, pasti ada jalan keluarnya ya sayang….”

“Baik Aya…”

“Udah lebih enak sekarang?” tanyaku, memastikan perasaannya.;
“Yang pasti tidak seperti tadi” jawabnya.

“Yah, kita masih banyak PR…. Kita liat kedepannya aja ya, dan sekarang, aku pengen kamu ngomong, apapun yang kamu rasain, supaya kita bisa saling bantu…. Oke?”

“Hai..”

Dia memelukku dari samping, dan berusaha membenamkan dirinya lebih dalam lagi. Dan kuharap, ini tangisnya yang terakhir. Aku tidak akan membuatnya menangis lagi, sampai kapanpun.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd